Pagi ini sebelum keluar rumah, seperti biasa sembari menunggu jamnya tiba, saya membuka twitter sekedar membaca berita terbaru atau gosip atau mencari kesenangan dengan menjadi pengamat twitwar. Iya, saya memang menikmati sekali segala hal yang disuguhkan twitter. Kemudian tanpa sengaja saya menemukan foto berisi tulisan :
Mengapa Istri harus bisa masak?
Padahal itu rumah tangga bukan rumah makan?
-Pidi Baiq-
Saya otomatis tergelak. Tulisan tersebut melemparkan ingatan akan cerita kedua orang tua saya (yang diceritakan berulang sampai saya dan adik-adik hafal luar kepala), Ibu dan almarhum Bapak. Siapa sangka Ibu yang mempunyai pekerjaan sampingan usaha katering, sebelum menikah adalah wanita yang sama sekali tidak bisa memasak. Wajar saja, kalau merunut dari cerita Mbah Putri, sewaktu kecil tugas ibu adalah bekerja mencari tambahan uang setelah pulang sekolah. Memasak menjadi tugas Pak Lek (adik Ibu) dan Mbah Putri. Ibu adalah anak kedua dari sembilan bersaudara. Meskipun Ibu datang dari keluarga yang cukup (tidak berlebihan maupun tidak kekurangan), tetapi untuk menambah dan membantu perekonomian keluarga, Ibu bekerja serabutan sepulang sekolah. Walhasil yang namanya memasak ataupun mengenal bumbu dapur sama sekali tidak ada dikamus Ibu sebelum menikah. Ditambah lagi setelah merantau ke Situbondo untuk bekerja, Ibu ngekos yang fasilitasnya sudah termasuk makan.
Bapak dan Ibu sejak pertama kenalan sampai menikah membutuhkan waktu yang tidak lama, hanya 6 bulan saja. Mereka bukan hasil perjodohan ataupun kenalan di online dating (ya kali tahun ’80 sudah ada online dating), melainkan murni dari kenalan biasa. Kapan-kapan saya akan ceritakan bagaimana kisah mereka bertemu, yang mengikuti aliran kalau memang jodoh tidak akan kemana. Entah mengikuti jejak orangtua atau memang sudah jalannya, Adik saya menikah dalam waktu 6 bulan sejak kenalan, saya 8 bulan. Oke, kembali lagi ke cerita Ibu dan Bapak. Dalam masa 6 bulan pengenalan tersebut, Bapak sudah tahu kalau Ibu tidak bisa memasak. Tetapi Bapak tidak pernah mempermasalahkannya. Pada saat Ibu diajak untuk berkenalan dengan keluarga Bapak dan oleh Mbah (ibu dari Bapak) diajak ke dapur untuk membantu masak, Ibu sama sekali tidak tahu segala jenis bumbu-bumbu disana. Apakah kemudian Mbah tidak menyetujui Ibu dan Bapak untuk menikah karena Ibu tidak bisa memasak?
Terlahir sebagai bungsu dari 4 bersaudara, Bapak adalah satu-satunya anak lelaki dikeluarga. Semua kakak Bapak (saya memanggil bude) sangat jago memasak. Legendaris sekali masakan mereka dikeluarga besar kami, TOP enaknya. Hal itu disebabkan karena Mbah memang jago masak juga, dan Mbah tidak pernah menyuruh anak-anak perempuannya untuk belajar memasak. Semua datang dari kesadaran sendiri. Bude-bude masuk ke dapur karena mereka ingin belajar memasak, bukan karena memasak adalah sebuah keharusan. Kembali ke pertanyaan sebelumnya : Apakah kemudian Mbah tidak menyetujui Ibu dan Bapak untuk menikah karena Ibu tidak bisa memasak? jawaban Mbah (aslinya dalam bahasa jawa, saya sudah terjemahkan) :
Perempuan itu tidak harus bisa memasak. Namanya Rumah Tangga, semuanya ya dikerjakan bersama. Kalau istri tidak bisa memasak, ya berarti suaminya yang belajar masak, atau keduanya sama-sama belajar masak. Kalau malas dan punya uang, ya beli saja diwarung, kan gampang. Urusan yang simpel jangan dibuat susah.
Ya, kepandaian memasak ternyata bukan kriteria utama Ibu diterima sebagai menantu. Bapak yang sejak SMA sudah hidup ngekos dan memang sudah biasa ikut membantu memasak Mbah, tumbuh sebagai lelaki yang terbiasa didapur. Jadi, yang mengajari Ibu memasak sejak kawin adalah Bapak dan Bude-bude. Memperkenalkan satu persatu segala bumbu dapur dan resep masakan. Saya selalu ingat cerita ini : suatu hari, Ibu ceritanya ingin sekali membuat soto ayam untuk Bapak. Berbekal dari catatan resep yang diberitahu bude, mulailah Ibu mengolah soto ayam sepulang mengajar. Ketika Bapak pulang kerja, dengan bangganya Ibu berujar kalau nanti malam menunya spesial, yaitu soto ayam. Bapak tentu girang bukan kepalang. Saat yang dinanti tiba. Ketika soto ayam dihidangkan, kening Bapak sempat berkerut melihat soto ayam yang tersaji di mangkok. Tapi itu tidak berlangsung lama karena setelahnya Bapak berujar, “wah, terima kasih ya, kamu sudah memasak soto ayam buat saya. Saya senang sekali soto ayam kali ini sangat spesial karena warnanya berbeda dari biasanya. Tapi tidak masalah, yang penting namanya soto ayam.” Saya bertanya kepada Bapak memang sotonya berwarna apa. Soto ayamnya ternyata berwarna hijau karena Ibu mengulek seledrinya berbarengan dengan bumbu halus lainnya. Saya kalau teringat cerita itu selalu tertawa. Karena Ibu sendiri selalu menceritakan dengan ditambahi guyon-guyon lainnya. Bapak tetap menyantap soto ayam tersebut sampai tandas, yang dikemudian hari Bapak menyebutnya soto ayam rasa seledri.
Tetapi sejak saat itu Ibu semakin tertantang untuk belajar memasak. Bukan karena Bapak yang menuntut, tetapi karena Ibu memang ingin belajar memasak. Keinginan yang datang dari dalam hati, bukan karena tuntutan. Secara perlahan tapi pasti, akhirnya Ibu semakin mahir memasak. Tetapi kalau Ibu sedang capek atau malas, giliran Bapak yang memasak. Saat Ibu sering sakit, Bapak yang memasak untuk seluruh anggota keluarga, setiap hari sampai Ibu sembuh. Sampai sebelum Bapak meninggal, beliau tetap rajin memasak. Ada satu masakan Bapak yang membuat kami anak-anaknya selalu kangen. Kami menyebutnya nasi goreng super pedes Bapak. Bumbunya sangat sederhana : bawang putih, cabe rawit hijau dengan jumlah yang sangat banyak, garam diulek ditambah dengan daun jeruk. Juara sekali sekali rasa pedasnya, sampai telinga kami berdengung kalau makan nasi goreng Bapak, tapi rasanya joss gandoss enak. Walaupun saya mencoba membuat sendiri, tetapi selalu beda rasanya dengan buatan Bapak. Nasi goreng inilah salah satu hal yang membuat kami selalu merindukan Bapak.
Sering saya bertanya kepada Bapak, kenapa sebelum menikah dan tahu kalau Ibu tidak bisa memasak tidak membuat Bapak menyurutkan langkah?
Saya mencari wanita untuk dijadikan Istri, bukan Koki
Itu jawaban Bapak. Pertanyaan yang sama pernah saya lontarkan ke suami sebelum kawin “kalau saya tidak bisa memasak, apa kamu masih mau meneruskan rencana perkawinan kita?” suami tergelak kemudian menjawab, “pertanyaanmu aneh, kita kan akan kawin, bukan interview jadi tukang masak di restoran. Lagian kan saya bisa memasak. Kalau kamu tidak bisa dan tidak mau masak, saya tidak masalah memasak untuk kita.” Tetapi karena saya selalu kangen makanan Indonesia (dan kalau beli terus mahal), jadinya ya saya dengan senang hati masak makanan Indonesia. Giliran dia masak yang sesuai keahliannya, makanan Belanda dan Eropa (cerita tentang pembagian memasak dengan suami sudah pernah saya tulis disini). Bukan tanpa sebab saya mempertanyakan hal tersebut, karena ketika punya hubungan dengan lelaki-lelaki sebelum suami, pasti ada pertanyaan, “kamu bisa masak ga?” Kan njeketek kalau setiap pacaran ditanya seperti itu. Atau selalu ada celutukan, “Ibuku masakannya uenaakk lho, mudah-mudahan kamu bisa masak seenak Ibuku ya.”
Entah kalimat dalam foto tersebut sarkastis ataupun kalimat sesungguhnya, tetapi saya melihat dari sisi kehidupan saya dan lingkungan terdekat. Menurut pendapat saya, Istri memang tidak wajib untuk bisa memasak. Kalau bisanya hanya memasak mie instant, ya terimalah sesuai keadaan yang ada. Memasak mie instant juga butuh keahlian lho, tetap saja namanya memasak. Kalaupun suatu hari istri ternyata ingin belajar memasak, berarti memang dia ingin, bukan dituntut. Memasak untuk keluarga itu paling enak dengan penuh rasa cinta karena sampainya juga penuh cinta, tidak menyoal rasanya seperti apa. Tetapi jika istri tidak bisa memasak bukan berarti dia tidak punya rasa cinta ataupun tidak perduli kepada keluarga. Meskipun memang menyenangkan kalau bisa menyajikan makanan hasil olahan sendiri ke keluarga, selain lebih hemat juga (mudah-mudahan) lebih sehat. Tetapi kembali lagi, menurut saya itu tidak mutlak, apalagi di Indonesia disetiap pengkolan pasti ada warung, restoran atau tukang jual makanan yang aduhai enak rasanya. Kalau istri tidak bisa atau tidak mau memasak, tidak ada salahnya juga lho para suami turun ke dapur untuk belajar masak atau bergantian masak untuk keluarga. Memasak itu bukan hanya tugas istri. Rumah tangga itu tidak sama algoritmanya antara satu dengan lainnya seperti yang pernah saya tulis disini (terima kasih untuk komentar-komentar yang mencerahkan). Karena tidak sama tersebut, maka tidak elok juga rasanya menyerang istri-istri yang tidak bisa memasak, atau para suami yang membandingkan istri-istri yang jago memasak. Semua istri itu hebat dengan segala kekurangan dan kelebihan masing-masing, jago atau tidaknya dia memasak bukan menjadi persoalan utama.
Bagi lelaki yang sedang mencari istri dengan kriteria harus bisa memasak, semoga kembali berpikir ulang dan bijak terhadap kriteria yang ditetapkan. Memang tidak salah mempunyai keinginan seperti itu, wong masing-masing orang pasti punya kriteria idaman. Saya hanya teringat ucapan Bapak saja, “mau cari istri atau cari koki.”
–Den Haag, 25 Februari 2016-
catatan seorang istri yang sudah sebulan lebih sedang muaaales masak, males semales malesnya, berharap tukang nasi goreng atau tahu tek-tek atau tahu campur lewat depan rumah, atau ada warung kepiting saos padang disebelah rumah.
I like this-Great to find, but I am not sure where to go next. Which of your articles would you recommend I read next?
Aku sebelum married sama sekali buta masak memasak, Den! Pertama kali masak nasi tanpa rice cooker aza harus nanya kakak ipar yang orang Australia gimana coba ituh 🙂 Setelah punya anak, mau ga mau aku harus belajar masak, dan sampe sekarang I don’t mind cooking and baking, tapi ya ada masa2nya males juga. Nah kalo lagi males, biasanya pak suami yang giliran masak. Pak suami bisa masak tapi hanya beberapa masakan tertentu aza sik. Hari gini rasanya suami istri harus bisa saling mengisi, memasak bukan hanya special tugas istri/wanita, ya kan. Sorry Den selalu telat komen soalnya aku harus ke website-mu dulu baru bisa komen ga bisa langsung dari wordpress. xx
Hahaha terima kasih sudah berbagi pengalamanmu dalam hal memasak Ria. Senang aku membaca pengalaman dari komentar-komentar disini. Iya Ria, memasak ataupun pekerjaan RT lainnya memang (menurutku) adalah tugas bersama, bukan dibebankan pada satu orang saja. Aku sekarang doyan bikin kue ya karena awalnya berhasil bikin cake dengan resepmu, akhirnya ketagihan haha.
No Worry Ria, terima kasih sudah menyempatkan komen 🙂
Quotenya nusuk banget ya mba, haha.. Dengan budaya patriaki yang masih kuat di Indonesia, saya rasa pertanyaan seperti soal masak-memasak ini memang harus ditanyakan sebelum lanjut ke pernikahan. Kesannya pertanyaan sepele banget tapi bisa berdampak sangat besar. Udah lihat beberapa kasus kayak gini soalnya, haha..
Harus ditegaskan diawal mungkin tentang pembagian tugas kerja dirumah. Karena menurutku pembagian tugas kerja akan lebih baik dibanding harus membebankan pada satu orang saja.
Nasi gorengnya keliatannya enak banget, eh tapi aku nggak kuat makan pedes :/
Aku nggak bisa dan malas masak, sementara Bartosz sih demen-demen aja. Jadi disini dia yang masak, aku yang bersih-bersih rumah. 😀
Untungnya suami pencinta pedas, jadinya ga pernah rewel kalo istrinya masak pedes2 haha dan selama ini juga belum pernah sakit perut.
Enak kayak gitu Steph, pembagian tugas kerja. Kalo kami kebalikan kalian, suami yg bagian bersih2 sama nyuci baju dan setengah setrika juga 😀
Den, jawaban bapak keren sekali……
Teima kasih. Kenangan bersama Bapak Yang 🙂
dari kecil aku dituntut untuk bisa masak karena anak perempuan paling besar tapi yang ada masakanku nga seenak yang diharapkan wkwkwk.. ada aja rasanya yang kurang. hikss. jadinya kesini kalau stres doang baru masuk dapur.
Haha, mudah2an nanti kalau sudah ada “yang diajak” bersama untuk menikmati masakanmu, jadi makin hepi ya Lin ke dapurnya. Masak jadi bahagia mudah2an rasanya kebawa semakin enak 🙂
hahahaha, jleb bgt itu twitnya Pidi Baiq ya Teh 😀
Awalnya aku emang ‘disuruh’ masuk dapur karena aku cewek (anak sulung pula) yg mesti bantuin Mamah (termasuk masak) krn ga pernah ada ART di rumah, tp ya lama2 emang menemukan keasyikan tersendiri dari memasak (kalo suami smp nambah berkali2, misalnya) kan seneng bgt hihihihi.
Iya, Jenius banget Pidi Baiq bikin Quote 🙂
Toss Arin, aku juga anak sulung. Iya, lama2 memasak memang menyenangkan.
Setuju bangeettt…kan cari istri ya, bukan cari koki 😀
Aku jg aslinya gak bisa masak. Setelah menikah ya belajar masak karena pengen aja bisa masak. Trus udah bisa masak, pengen bisa bikin kue, ya belajar bikin kue. Jadi semua karena pengen bukan karena dituntut harus begitu 😀
Haha, Iya Bapak jawabannya keren juga 🙂
Aku juga memasak karena penasaran, juga buat survival sih, eh lama2 asyik juga 🙂
Iih bener tuh mbak. Masak kita harus bisa masak kan yak. Kalau aku gak bisa juga gak. Bisa jiga gak jago. Kalau sekedar tumis tumis bisa lah. Yapi kalau disuruh buat sebangsa ayam penyet atau gimana gak bisaaaa dan males mau belajarnya. Hihihihihi.
Ga beda jauhlah Niee sama aku, jago tumis menumis soalnya praktis :))) meskipun sudah lama aku ga tumis lagi tapi kupanggang biar hemat minyak dan lebih sehat.
hehehe, aku juga ga bisa masak mbak, bisa siiih dan aku selalu suka sama masakanku sendiri, makanable lah pokoknya hehehe tapi punya suami yang picky eater itu susaaah bgt, makanan ga bisa di “gaya2in” sedikit deh, misal nih baru kemarin aku bikin olahan telur, bikin telur kukus, ngeliat ekspresi dia kayak mo muntah gitu, dipaksa nyobain ama istrisnya, komennya cuma “terlalu lembut” hiihh.. akunya jadi kesel ya udah aku gorengin aja tempe goreng, seneng bukan maen deh dia
Hahaha, yang penting kamu happy suami happy, makan tempe goreng rasanya sudah nikmat banget itu Fey. Malah enak kamu menyajikan yang original, ga perlu dimodifikasi :))
Aku suka masak… Tapi kalo emang ada yg mau masakin ya aku terima.. Btw syuuka banget sama quotenya mbak..
iya, kalo dimasakin sesekali juga enak. Jadi ga bosen sama masakan sendiri 🙂
Quote yang pertama punya Pidi Baiq, Quote yang kedua punya Bapak saya 🙂
Hahaha, suka quote-nya ya. Menikah kan bukan mau bikin rumah makan 😛 .
Iya, jenius Ko yang bikin Quote ini, langsung ngakak aku :))
saya suka masak…tapi maunya masak masakan yg saya suka saja —>ini juga tetap problem kan bagi suami yg maunya dimasakin istri wkwk…untungnya suami tipe yg suka masak….kalo ada mertua aja sy yg masak *pencitraan.com* . anak laki saya nanti juga akan saya ajarin masak..krn ini masalah survival….jadi kalo istrinya ga bisa masak plg ga dia tau masak itu sebetulnya bukan kewajiban istri…sukur kalo dapet yg pinter masak, kalau ga?
Hahaha pencitraan itu perlu Fee, bagian dari sosialisasi diri :)))
Ah iya beneer Fee, memasak itu merupakan bagian dari survival. Setuju ini. Terasa banget manfaatnya disituasi genting 😀
Setuju mba, kalo mau pinter masak mending sama koki aja… saya juga kadang masakin istri juga kok, walau cuma tumisan sayur + telor ceplok :p
Sweet sekali Abah, saya selalu meleleh kalau mendengar cerita ada suami memasakkan istrinya, apapun rasanya tak jadi soal, yang penting penuh cinta memasaknya 🙂
Sepakat Bu..
Suka banget tulisan Deny yg ini. Sweet
Suwun Zi, pengalaman pribadi 🙂
Tulisannya baguuusss 🙂 kadang2 aku suka membatin kalau denger cerita suami yang ingin ini – itu terhadap istrinya, yah salah satunya masak itu. Bener banget kayak yg kamu tulis, kan cari istri bukan cari koki hehehe. Aku bisa masak, tapi ya nggak bisa dibanggakan, masakan hasil merantau, segala tumis aja jagonya, yg penting cepet dan gampang :))))) si R udah aku wanti2 dari sekarang, kalau nanti menikah, siap2 ya makan tumisan aku hehehe. Mungkin nanti akan muncul dorongan buat belajar masakan yg lebih “sophisticated”, tapi saat ini belum Den, masi asal perut kenyang saja 🙂 yah untungnya doi menerima hihi
Terima kasih Christa, berbagi kisah orangtua ini ceritanya 🙂
Iya bener banget Chris, dorongan buat belajar memasak itu terkadang timbul karena keadaan “terpaksa” bukan karena tuntutan. Akupun semenjak males masak ini suamiku sering masak sendiri huahaha. Kalopun aku mau masak, yang gampang2 aja, kayak bikin sop.
ngga Go Food sih ya di sana?
*ditimpuk rendang*
Adanya Go Sip mbak huahaha
Tambah lagi den semoga jejamura buka samping rumah..
Alhamdulillah aku bisa masak namun tidak jago namun bisa, tapi jarang masak karena sering jajan. Masak kalau pas weekend aja tu juga jarang ya ampun intinya bisa masak namun malas masak..
Hahaha iya bener Ria andaikan dekat dengan Jejamuran ya.
Andaikan pilihan Jajannya sebanyak dan seenak di Jogja serta murah, pasti aku akan sering jajan juga Ria. Kadang2 bosen juga sama masakan sendiri haha
nasi goreng daun jeruk itu jadi favorit ku jg skarang lho…nyumehhh
Aiihh Terima kasih Fe 🙂
Akupun bisa masak karena belajar sendiri dan bukan karena suami tapi karena mau nyenengin perut sendiri selama tinggal di perantauan. *istri egois* Tapi ternyata bermanfaat juga sih karena sekarang yang minta dimasakin Indonesia itu Medea.
Iyaa bener Min, berawal dari nyenengin perut sendiri :))
Senangnyaaa Medea suka masakan Indonesia.
Setujuuuu… Jd istri ga harus bisa masak.. Hahaha.. Msh banyak warung di luar sana. Kalo bukan kita yg beli, siapa lagi? Kan kasiaaan :))
Hahaha toss Eda! sesekali beli ga masalah, terkadang bosen juga sama masakan sendiri 😀
Wkwkwk aku kalu baca postingan Deny, jadi kangen Surabaya, sama2 SBY ya, njeketek!. Suamiku gak bisa masak , paling ala kadarnya. Kalau orang Eropa atau Western, kayaknya nggak nuntut perempuan bisa masak, soalnya banyak yang sejak usia 18 thn sudah pergi meninggalkan rumah jadi mandiri. Aku dirumah selalu masak, soalnya emang aku gak mau sering beli luar, buat kesehatan dan juga terutama buat anakku yang masih kecil yang aku pikir harus makan makanan rumah yang lebih sehat. Kalau aku lagi muales banget kayak awakmu , kita biasa makan roti ama daging iris2 atau salad hehe. Kalau aku ngandalin suami masal, wah Den ngiler opor, soto, tahu campur tiap hari heehe.
Ah Den, jadi berharap mimpi jadi kenyataan tahu campur lewat jam segini! enak ya!
Iya Lu, aku sejak males masak ini, suamiku yang masak dan nyiapin makanan. Kadang kasihan juga lihat dia nyiapin makan siang sendiri buat dibawa ke kantor. Tapi ya sudahlah, wong males hehe *istri njaluk dipentung. Iyo, kangen suara dog dog dari rombong tukang jualan yang lewat depan rumah.
Klo saya sejak dulu pinginnya punya istri yang bisa masak.Klo pun ia belum bisa masak, paling nggak punya keinginan buat belajar masak.
Soalnya klo kevanyakan makan diluar ntar kantong bolong donk. Kan penghasilan dari jualan di pasar nggak menentu ha ha ha…. Klo bisa masak kan bisa lebih hemat 😀
Semoga nanti istrinya masak karena keinginan sendiri ya, bukan karena terpaksa 🙂 Iya bener kalau masak sendiri memang terasa hemat dan mudah2an lebih sehat.
aku cooking mama ^^ ( https://maureenmoz.wordpress.com/2011/08/10/cooking-mama/ ) luk nunut promo postingan cooking malah… hahaha…
Hahaha, but i agree with your opinion 🙂
Bisa masak atau tidak sepertinya perlu dipertanyakan sblm melangkah ke jenjang selanjutnya (pernikahan), spy ke dua belah pihak bisa menerima keadaan klo misal istrinya gak bisa masak, ya suami bisa masak sendiri 😀 . Akupun klo lagi malas masak ku bilang ke suami, ntar dia malah seneng jaid bisa beli pizza haha 😆 .
Tapi terkadang pertanyaan itu menjadi semacam intimidasi buatku yang mengalami pengalaman itu Nel, walaupun aku bisa masak, rasanya ga enak aja ditanya seperti itu. Iyaaa, samaa, aku kalo males masak, trus suami juga lagi males masak, jadi ada alasan jajan makanan direstoran haha *trik 😀
Hallo mbak deny sampeyan temennya rurie yaaah. Salam kenal.
Iya ibu dulu cerita, awal pindah ke surabaya makan nasi semi bubur krn ibu gak bisa masak nasi. Sekarang masakannya enak enak. Suamiku ibunya juga gak pernh masak krn dagang. Jadi gak ribet kitanya ketika awal awal nikah kemampuan masakku pas pasan.
Hai Ikha, iyaa aku kemaren nanya Rurie, ternyata kamu teman bakingnya dia ya 🙂
Memasak itu memang proses ya, datangnya musti datang dari hati bukan karena tuntutan pasangan. Biasanya kemampuan masak itu akan datang kalo kepepet 🙂
saya paling gak bisa masak masakan indonesia yang perlu banyak bumbu dengan takaran yang pas 😀 tapi kalo bikin spaghetti okelah.. manalah untuk makan selera saya lebih ke makanan internesyenel, sementara suwami justru sebaliknya.. ribet kan jadinya 😛 untung dia gak riwil soal makanan.. dan kalo untuk bikin sambel, justru dia juaranya.. nyambelnya luar biasa enak… jadi malah saya yang suka ngerayu-rayu untuk dibikinin sambel 😀
Wahh keren berarti kalian, saling melengkapi kemampuan memasak, jadinya malah bisa makan jenis masakan yang berbeda ya 🙂
Aduhh jadinya pengen makan telor ceplok pakai sambal trasi nih baca sambel malam2 haha. Kebayang enaknya sambel bikinan suamimu 🙂
Suka banget sama tulisan ini Den. Memang benar dalam rumah tangga yang penting adalah balance, suami istri bisa saling mengimbangi dan melengkapi. Bukan masak tugas istri, cari uang tugas suami mutlak. Kayaknya gak fun amat kalo begitu. Salut sama bapakmu ya, he’s so sweet 🙂
Dulu waktu menikah juga, mama ku gak bisa masak. Masak nasi sekalipun gak bisa karena beliau wanita karier. Sekarang, wah koki jempolan. Aku banyak belajar dari dia. Tapi aku belajar memasak bukan dalam rangka nanti aku jadi istri yang jago di dapur, aku belajar masak karena aku suka. Waktu aku nikah sama si Mbul, dia gak nuntut aku mesti bisa masak dan haru selalu masak. Sesempatnya aja lah, kalo gak bisa masak ya beli aja di luar soalnya si Mbul juga gak bisa masak hehehe.
Terima kasih May, aku belajar banyak dari Bapak, dan aku sangat mengagumi Beliau 🙂
Benar, rumah tangga akan lebih asyik kalau balance, saling seimbang dan saling melengkapi dalam pembagian tugas, termasuk urusan dapur. Iya May, aku ngelihat foto-foto masakan Mamamu jadi ngiler beneran. Kebayang pasti enak banget itu. Nah kan, kalau memasak dari hati, nyampenya juga ke hati, akhirnya malah membekas indah dan akan selalu diingat. Kalau males masak emang enak kalau beli diluar May huahaha apalagi kalo pasangan ga riwil ya. Akupun sejak males masak, suamiku yang masak haha pengakuan. Tapi kadang suka kasihan lihat dia nyiapin bekal makan siang sendiri. Kalopun lagi pengen masak, aku masakin yg gampang2 aja, kayak sayur sop :)))
Hahahaha walaupun aku ga bisa masak juga, tapi pantesan bapaknya heran.. segala soto ayam lah warna hijau.
Manits ya bapakmu mbak, huhu kok aku jadi haru :’)
Ya, aku sama sekali gak bisa masak heboh aku cuma bisa bikin kue2.. yang masak Nuwis :p tapi keinginan untuk masak berat ada sih, cuma … selalu gagal 🙁
Ibukku sebenarnya waktu selesai masak heran juga Tasha, kok warna sotonya hijau haha, kok beda sama yang biasa Ibu beli, tapi dipikir Ibu mungkin itu resep keluarga Bapak kalau bikin Soto warnanya hijau hahaha ternyata Ibu ga teliti baca resepnya. Asal main ulek aja semua. Ah aku jadi haru juga nih, kangen Bapak.
Wah, kalian saling melengkapi itu Tasha, jadi masing2 pos didapur beda. Sama kayak kami, aku doyan masak, suami doyan ngabisinnya hahaha kan bagi2 tugas :)))
Salut sama mbah dan keluarga bapakmu. Memang seharusnya begini, tapi budaya patriarki di Indonesia sayangnya sangat kuat. Aku suka gemes sendiri kalau pas pulkam ke Indonesia lalu ketemu sama temen2 (yang otomatis sudah berkeluarga) terus si suaminya diem2 aja gitu ga ngapa2in sementara temen2ku ribet ngurusin rumah.
Aku juga pas awal mula dengar cerita ini merasa heran, orang jaman dulu ada juga ya yang punya pemikiran seperti Mbah, biasanya kan nuntut menantu musti bisa masak ini itu atau anak gadisnya musti masak buat suami.
hahaha, aku gak bisa masak mbak. kemaren dulu nyoba masak nasi goreng gagal, jadinya masih males buat masak lagi 😀
keren banget tu di keluarganya mbak gak ada keharusan buat bisa masak. kalau aku, aku disindir mama melulu, gimana mau punya suami klo gak bisa masak 😀
Gpp Mayang ga bisa masak. Warung masih banyak yang jual masakan enak hehe. Nanti kalau keinginan masak muncul lagi, mudah2an nasi gorengnya berhasil ya 🙂
Alhamdulillah suami tipe yg gak suka istrinya lama2 di dapur..wkwkwk..
tapi bikin istrinya terlena nih jadi males mau belajar masak beneran..haduh,,,
Hahaha, waah keren ini suami gak suka istrinya berlama2 didapur
Aku mbacanya sampe ngiler beneran membayangkan nasi gorengnya bapakmu Den. Bagus postnya. Menurutku cari pasangan ya yang saling melengkapi… kalo istri ga bisa masak yowes suaminya ikutan belajar masak dong. Jaman sekarang semuanya equal.
Aku malam2 balesin komen jadinya ngiler juga Mar pengen goreng nasi goreng haha.
Iya Mar, pasangan yang saling melengkapi itu menyenangkan 🙂
Hahaha akuu banget inii. Pertama nikah ga bisa masak :p awal nikah masakan andalan adalah tumis. Entah tumis sayur ato tumis tahutempe. Pokoknya hidup tumis 😀
Krn ga sempet masak, kami pesen katering tiap hari ke tetanggga. Dan beliau kepo,” Itu suaminya ga protes ga pernah dimasakin sama istri?”
Kujawab :”Alhamdulilah suami saya ga penuntut. Yg penting ada makanan yg bisa dimakan, dia kenyang, sehat, udah. Dia bahagia, saya juga bahagia :)))
Etapi kdg kalo Minggu aq masih tetep masak, tapi cuma kudapan ringan doank sih
Gak opo2 Na, toh suami menerimamu apa adanya. Apalagi kalian berdua kerja, jadi ya terima apa adanya haha. Ibuku dulu juga kerja, jadi masak ya sesempetnya (meskipun disempet2in seringnya soalnya masak buat anak2nya).
Nah, dirimu tambah berpahala iku Na, memajukan katering tetanggamu dengan menjadi pelanggan setia 🙂
Di Islam sendiri juga gak ada suruhan wanita wajib masak dll , aku inget waktu sebelum nikah kan ikutan kelas pra nikah isinya ceramah gitulah buat calon suaministri ya yang namanya urusan dapur dkk dikerjakan bersama2 bukan kewajiban satu pihak doang yaiti istri. Tapi jaman sekarang kadang pria banyak salah kaprah nuntut istrinya wajib bisa masak klo gak bisa wajib belajar masak dll… Seakan2 urusan dapur cuma dipegang cewr doang.
Wah, kamu ikut kelas pra nikah Nis, kereen. Aku malah baru tahu ini ada kelas pranikah di Islam. Soalnya teman2 yang katolik yang biasanya ada kelas pranikah.
Iya, ditulisan yang sebelumnya ada komentar dari Fee yang memberitahukan tugas dan kewajiban suami. Jadinya aku tambah wawasan, plus dapat tambahan dari kamu. Thanks buat infonya Nis 🙂
sambil baca ini trus makan masakan bojo yang dibungkusin di kantor 😀
hamdalah, bojoku iso masak mbak, walau menunya kadang itu2 aja/// hihihihi
hehehe… soto sledri nya pasti enak, karna saya memang paling demen sledri…
tapi urusan masak dan dapur, saya setuju kalo itu bukan tanggungjawab perempuan semata.
Kata Bapak enak hehe, tapi ga bayangin bagaimana warna hijaunya itu 😀
Iya, lelaki pun sebaiknya tahu urusan dapur dan terjun langsung.
Alhamdulillah sik dibungkusno bojomu. Bojoku wes suwi mbungkus dewe haha *istrine sik hiatus masak 😀
Aku yo lek masak ngono2 ae menune, sampai aku sering tanya suami “kamu ga bosen ta tak masakno iki thok” haha
Eh tadi siang aku juga sempat lihat meme di FB (eh apa IG ya? Aku lupa hihi…) feed yang kira-kira dialognya begini:
Boyfriend: can you cook?
Girlfriend: can you build a house? F*ck you!
Langsung ngakak deh
Hahaha apik Beth. Bisa dipraktekkan buat mereka yang suka nanya2 bisa masak *pengalaman pribadi selalu ditanya2 dulu