Disuatu waktu -mungkin setahun lalu- seorang kenalan yang sudah lama tidak saling berkirim kabar dengan saya mengirimkan pesan dan bertanya tentang beberapa hal lalu terjadilah pembicaraan diantara kami melalui aplikasi kirim pesan. Kemudian saya pikir pembicaraan kami sudah berakhir. Ternyata saya salah. Dia melanjutkan dengan pertanyaan, “Bagaimana, apakah ada rencana program anak?” Mengingat hubungan kami yang hanya sebatas kenalan dan lama tidak saling bertukar sapa, saya tentu saja kaget dengan pertanyaan seperti itu. Saya lalu bertanya kembali, “kenapa?” Saya lupa dengan jawaban dia. Karena saya sedang “bolong atine” -kata orang Jawa- maka saya jawablah pertanyaan dia, “Saya dan suami santai untuk masalah anak, karena punya anak sama halnya dengan pernikahan : adalah pilihan bukan kewajiban. Semua ada saatnya, kami tidak pernah memaksakan apa yang sudah jadi ketetapanNya.” Dia lalu tidak membahas lagi dan harapan saya dia cukup teredukasi dengan jawaban saya seperti itu. Beberapa bulan kemudian -sialnya- saya bertemu dia lagi dalam sebuah kesempatan. Setelah berbasa basi yang tidak penting, dia melontarkan pertanyaan yang sama mengenai anak dan apakah kami mengikuti program untuk memiliki anak. Saya agak lama lumayan mengernyitkan dahi sebelum merespon pertanyaan dia. Kalau mengingat kembali bagaimana dia dulu sangat sensitif kalau ada yang bertanya anak dan setelah punya anak kenapa dia jadi ringan mulut bertanya perihal anak kepada orang-orang yang belum atau memilih tidak punya anak, apakah dia tidak ingat bagaimana dia dulu sampai menarik diri dari media sosial hanya karena tidak sanggup melihat teman-temannya yang selalu memposting foto-foto anak mereka. Karena saya tidak cukup cepat memberikan respon, dengan tidak sopannya dia bertanya kepada suami yang memang sedang ada di sebelah saya. Jawaban suami saya cukup menampar -untuk ukuran orang waras ya- “Kami sangat menikmati waktu bersama, ada atau tidak ada anak. Saya yakin semua sudah ada saatnya kapan waktu yang tepat kami memiliki anak jika memang kami ingin punya anak. Keberadaan anak bukan jadi tolok ukur kebahagiaan kami. Belum ada anak, hidup harus terus berjalan kan dan tidak perlu pusing memikirkannya apalagi sampai stress sendiri. Apapun yang jadi keputusan kami, orang lain yang tidak punya hubungan dekat dengan kami tidak perlu tahu. Hidup dan rencana kami cukup keluarga dan mereka yang sangat dekat dengan kami yang layak tahu. Diluar itu, tidak ada kewajiban bagi kami untuk memberitahu.” Kenalan saya lalu terdiam, kicep tak bersuara. Saya senyum-senyum mendengar suami saya ngomong panjang lebar sambil dalam hati ngomong “kapokmu kapan!”
Yang akan saya garis bawahi dari sekilas cerita di atas adalah bukan perkara kelancangan kenalan bertanya tentang hal-hal pribadi yang memang tidak patut ditanyakan ataupun perkara tentang anak. Semua ada saatnya, itulah yang ingin saya kemukakan pada tulisan kali ini. Dulu saat darah muda masih bergejolak, kalau sedang terjatuh dan gagal lalu ada yang memberi nasehat, “sabar, mungkin memang belum saatnya,” pasti deh saya langsung bersungut-sungut. Rasanya kesal sekali dengan setiap orang yang memberi nasehat seperti itu. Saat putus dengan pacar yang nampaknya sudah didepan mata akan jadi jodoh seumur hidup tenyata njekethek cuma numpang lewat kisah asmara aja lalu saya menangis dan ngelangut selama seminggu (saya kalau putus cinta selalu memberi batasan pada diri sendiri sedih maksimal seminggu. Lewat dari seminggu, hidup harus berjalan lagi tanpa harus menengok kisah kasih yang tak sampai). Saat lagi sedih-sedihnya pasti akan ada yang kasih nasehat, “tidak usah terlalu dipikirkan, mungkin memang belum jodohnya, belum saatnya,” dan saya selalu kesal dengan nasehat seperti itu. Masih banyak contoh-contoh lainnya waktu saya masih dalam pencarian jati diri dulu.
Seiring bertambahnya umur dan bertambahnya pengalaman hidup yang asem manis pahit pedes maupun seger, saya yang sampai saat ini percaya dengan campur tangan dan keberadaan Tuhan dalam setiap sendi kehidupan saya, semakin mengerti konsep Semua ada saatnya. Dulu saya belum tahu dan tidak terlalu paham tentang hal tersebut. Maklum, dulu hanya mengedepankan logika tanpa pemahaman. Saya belum tahu bahwa tidak semua harus sesuai keinginan dan kehendak saya. Ada hal yang sudah saya perjuangkan sedemikian hingga tapi ternyata hasilnya diluar kuasa, gagal, mungkin memang belum saatnya untuk berhasil atau akan diganti dengan yang lebih baik. Pada waktu itu konsep berserah masih belum saya genggam dengan kuat dan sampai kapanpun akan menjadi pembelajaran yang tanpa henti selama nafas masih ada. Berserah dan ikhlas. Semua memang ada saatnya.
Ada saatnya melepaskan jika memang sudah bukan waktunya jadi milik kita lagi. Hal ini saya rasakan saat Bapak meninggal. Meskipun butuh waktu untuk ikhlas, tapi kalau sudah kembali berpikir bahwa memang sudah saatnya Bapak berpulang ke penciptaNya, saya bisa apa.
Ada saatnya terjatuh lalu butuh perjuangan untuk bangkit, ya memang mungkin caranya seperti itu. Yang saya selalu ingat adalah selama saya sudah mengerahkan kemampuan untuk berjuang lalu berdoa dan berserah tentang hasil (berserah ya bukan pasrah), hasil akan mengikuti usaha yang telah saya perjuangkan. Bisa jadi sesuai yang diinginkan, diberikan yang lain yang lebih baik atau justru tidak diberikan apapun dengan kemungkinan bahwa memang itu yang terbaik untuk saya.
Ada saatnya perkara-perkara dalam hidup memang harus diperjuangkan sekuat tenaga, pikiran, hati dan iman. Tetapi diluar itu, yang selalu saya imani adalah ada kekuatan yang memang tidak bisa saya lawan karena hal-hal seperti rejeki, maut, dan jodoh memang sudah ditentukan.
Ada saatnya sedih, ada saatnya gembira. Ada saatnya senyum, ada saatnya marah. Ada saatnya bekerja, ada saatnya berlibur.
Semua ada saatnya.
Jika memang saat itu belum tiba, nikmati saja waktu yang ada. Lakukan hal-hal membuat hati senang karena waktu tidak bisa diputar kembali. Untuk apa menghabiskan detik tanpa hal yang berarti sibuk merutuki diri sendiri ataupun keadaan. Lebih baik melakukan banyak hal yang bermanfaat dan sibuk memantaskan diri.
Dan jika suatu hari saat itu tiba, apapun itu, berarti saya dirasa sudah mampu untuk menjaga hal tersebut dan masuk dalam ketetapanNya. Saya selalu yakin bahwa semua akan datang pada saat yang tepat, tidak datang terlalu cepat maupun datang terlambat. Pas pada waktu yang telah ditentukanNya.
Saya selalu menempatkan diri saya seperti ini : Jika ada sesuatu yang tidak saya ketahui dari orang lain lalu dikemudian hari saya tahu tapi sudah lewat masanya, ya berarti saya tidak cukup layak untuk mendapatkan berita tersebut langsung dari si empunya pada saatnya. Begitupun sebaliknya karena tidak semua hal akan saya bagikan kepada semua orang seperti yang pernah saya tulis pada postingan ini.
Ada saatnya kita tidak harus tahu semua hal yang terjadi dari semua orang. Ada saatnya kita tidak selalu menjadi garda terdepan yang harus selalu tahu.
Bagi yang sedang memperjuangkan apapun itu, tetap semangat untuk berjuang dan berdoa serta jangan lupa untuk bahagia. Karena hidup di dunia hanya sekali, yuk pergunakan waktu sebaiknya dengan hal-hal bermanfaat. Tidak perlu terlalu resah memikirkan apa yang diluar kuasa kita. Tidak perlu pusing dengan pertanyaan yang tak penting. Kita hidup sesuai dengan apa yang kita inginkan, apa yang membuat kita bahagia dari dalam diri, bukan untuk memenuhi standar hidup orang lain ataupun untuk menjawab pertanyaan orang lain.
Bagi yang sudah mendapatkan apa yang sudah diperjuangkan, selamat dan jangan lupa bersyukur serta tidak menjadikan hal tersebut kita tinggi hati dan lupa diri. Tetaplah berjuang untuk hal-hal selanjutnya. Karena konon, hidup selalu penuh perjuangan.
Semua selalu ada saatnya, apapun itu.
-Nootdorp, 11 juni 2017-
jazz for work
Mbak.. Mau tanya dong….
Utk urusan anak kapan di kasihnya kan tergantung Allah, tapi ada faktor usahanya juga… Dan dr segi usaha ada banyak faktor juga yang mempengaruhi bisa/gaknya punya anak..
Aku kan belajar ttg apa aja yg pengaruhi kesuburan/faktor2 apa aja yg dibutuhkan supaya kehamilan lancar, sehingga kadang jd kepo sama yg blm punya anak, kira2 apa faktor (dr segi usaha) yg mempengaruhi.. Tp keponya lebih ke case study.. (krn memang byk bgt yg mempengaruhi, sampai utk diriku sendiri jg agak khawatir krn sampe skrg jodohnya jg blm ada penampakan, hehehehe)..
Kalau tanya2 dgn tujuan di atas ttp bikin risih gak Mbak??
Kalau aku kamu tanya seperti di atas bagaimana penyikapanku, ada dua hal :
1. Kalau secara pribadi aku akan sangat menghindari bertanya2 hal-hal yang sangat pribadi kepada orang yang tidak kukenal dengan baik bahkan yang kukenal dengan baik pun, kecuali mereka yang memulai bercerita. Kenapa aku menghindari bertanya? karena memang itu sangat tidak sopan dan akan membuat yang bersangkutan tidak nyaman. Kita tidak tahu apa yang sudah mereka alami. Kalau pun mereka bercerita, aku juga lihat dulu sikonnya, apakah mereka hanya dalam rangka bercerita atau minta pendapat atau bagaimana. Jadi bagiku, kepo itu BIG NO.
2. Kalau untuk urusan profesi yang memang akan melakukan riset, tentu ada prosedur formalnya. Nah, responden tentu sebelumnya sudah ditanyakan kesediaannya untuk menjawab pertanyaan yang bersifat pribadi. kalau untuk urusan profesi, tentu beda dengan yang nomer satu di atas karena yang di tanya sudah menyatakan persetujuannya akan di tanya sampai yang mendalam. Ini tentu tidak masalah karena sudah ada persetujuan dan perjanjuan sebelumnya.
Jadi intinya, tolong dibedakan urusan bertanyanya dalam rangka riset untuk pekerjaan atau kepo untuk kepentingan sendiri. Kalau kepo diluar urusan pekerjaan yang sifatnya informal, lebih baik simpan saja segala pertanyaan keponya itu untuk diri sendiri.
Thank you Mbak udah dijawab dgn terang benderang… Pdhal aku udah mulai lupa komentar ini.. Hehehe…
IRL blm kulakuin yg kutanyakan itu, cm br ide di pikiran, untungnya ada postnya Mbak Deny, jd bs numpang nanya.. 🙂
Yang biasa tjd, pas lg praktek gigi ada yg curcol ttg itu, kebanyakan ngira aku udah nikah & punya anak, abis itu br aku jelasin klo aku blm nikah tapi sdg belajar ttg herbal. *kata belajarnya hrs ditekankan.. Hehehe..
Mbak Deny thank you for posting this 🙂 Ada masa-masa dimana aku merasa menyesal akan hidup ini, merasa salah ambil keputusan, merasa jalan hidupku harusnya bukan begini.. Sok tau banget ya hehe. Kadang kalo lagi flashback ke belakang, ada masa dimana aku senang ada juga masa dimana aku sedih, berarti emang tergantung timing-nya aja kan.. Aku masih harus sering2 belajar akan hal ini.
Sama-sama Ge, inilah gunanya nge Blog bisa saling belajar, akupun masih banyak belajar banyak hal. Tidak perlu disesali Ge yang sudah lewat dan ada di belakang. Semua hal pasti ada manfaatnya bagi hidup kita, baik pelajaran pahit maupun manis. Membuat kita lebih berhati2 dalam melangkah dan mudah-mudahan semakin tahu mana yang baik dan benar. Klise, tapi terkadang pelaksanaanya masih susah karena ya ga selamanya akal sehat berjalan sesuai yang diharapkan. Semoga dengan banyak bersyukur jadi bikin hidup lebih mudah.
Amiiinn 🙂
Peluk mbDeni..
Bener banget ko,mungkin kadang maksute perhatian,tapi suka gak paham klo pertanyaannya men-jleb-kan lawan bicara 🙁
Iya. Tapi emang musti dibedakan mana yang perhatian tulus, mana yang sok perhatian hehe.
Suka banget sama postnya mbak den. Aku juga sering ngalamin kayak gitu, contohnya sekarang sering banget ditanya kapan punya anak. Huhh… Kadang ada orang yang memang kasih pernyataan atau pertanyaan tidak pada tempatnya. Aku juga selalu percaya, kalau memang sudah waktunya, pasti keinginan kita akan terwujud. Kalau belum ya tetep aja kita harus nikmati n syukuri apa yang kita punya. Sabar ya mbak den…
Terima kasih Shinta 🙂 ada masanya memang ya, saat2 ditanya kawin, ditanya kapan punya anak, ditanya kapan nambah anak, never ending. Betul, apapun keadaannya, tetap bersyukur dengan segala berkah yg didapat sampai detik ini.
Haha siap2 disini lebaran akan panen dg pertanyaan “kapan…..?”(silahkan isi sesuai musim). Ya beginilah hidup dalam we-culture kali ya Mari kita bersabar. Mgkn 2 generasi ke depan sdh putus rantai warisan pertanyaan atau sdh jauh lbh cerdas penyampaiannya tanpa menyakiti…
Iya, Lebaran itu selain waktu yang menyenangkan karena kumpul keluarga juga kadang jadi waktu yang mendebarkan karena kejadian yang tak terduga
betul tapi terima kasih tulisannya mba jadi terinspirasi membuat tulisan tentang ini berdasar pengalaman juga…
Dulu juga aku hampir selalu ditanya gitu Den. Sebelum menikah kapan nikah, sebelum punya anak kenapa belum punya anak, bahkan aku yang baru juga ngelahirin begitu ke indonesia sama anakku kemarin orang-orang udah pada ribut kapan tambah satu lagi yang cewe (dikira sini toko apa zz). Herannya yang ribut itu ya bukan keluarga dan orang terdekat. Bagai pertanyaan ga berujung wkwk.
orang indonesia (umumnya) memang kadang lebih sibuk ngurusin kehidupan orang lain, menyeragamkan apa yang menurut mereka hidup bahagia, padahal ga semua orang sama kan 🙂
Iya bener, seringnya memang yang ribut itu yang ga deket sama kita ya. Karena biasanya mereka nanya itu cuma asal nanya, tapi yg denger kan krenyes2 rasanya haha.
Setuju banget sama judulnya, Den.. Sodaraku tak jawabin ” Semua ada waktunya ” pas ditanya kapan nikah.. Langsung marah, bilang sama ibuku, aku kurang ajar.. hehe.. Bis kesel yeeee, kok ngurusin banget..
eh inly, aku ada pengalaman yg sama nyebelinnya lho. jd awal2 dulu, aku kadang BT klo ditanya kapan pny anak. trs aku bahas di blog klo aku BT. eeeh ada sodara yg kepo bacain blogku, trs dia gak terima klo aku ngomel di blog. lalu aku dilaporin ke orang tua, katanya “Jangan suka ngomel di blog…” Lah? ngatur amat. ini orang2 aneh2 aja ya: ada yg suka ngatur kapan pny anak, ada yg suka ngatur konten blog. padahal rasaan aku klo ngomel di blog jg berusaha dibawa lucu2an aja, nggak kasar.
Hoooo.. aku banyak mah yang gitu, untung akunya sebodo aja.. kayak posting foto di IG aja, ngetweet, dikomen macam2 sama sodara ke nyokap.. sampe aku kadang males dengerin mamaku hehe #durhaka-ya Yah habisnya kan aku posting juga gak ganggu mereka.. #kzl
Yang penting kita bahagia ya dengan apa yang sekarang dikerjakan dan dilakukan selama ga merugikan sekitar. Kalau memang sudah waktunya, ya akan tiba juga. Ga perlu khawatir.
Yoiiii.. Aminnnnnn..
Walaupun sehari – hari bergelut di dunia obgyn, IVF, dan sejenisnya. Tapi aku bertekad gak pengen kepo, tapi kalau ada temen / kenalan. Pasti aku info yg terbaik (versiku). Aku yakin Allah sudah memberikan takdir-Nya.
Aku prinsipnya ga akan nanya kalau ga diceritain untuk hal2 yang privat. Kalau diceritain ya direspon seperlunya atau kalau memang yang bersangkutan butuh masukan ya aku kasih masukan sepemahamanku. Kalau ga diceritain ya ga perlu nanya2 atau tebak2 buah manggis.
Gusti Allah mboten sare.
Dulu pun aku suka nanya2 soal status orang, pernah sekali keceplosan dan nyeselnya sampe sekarang. Semoga temenku nggak tersinggung sama omonganku. Mudah2an ke depan lebih behave dan nggak akan keluar pertanyaan/pernyataan semacam diatas……
Semoga ya Shin 🙂
Den, aku senennggg bgt tulisanmu ini. Kaya oase di padang pasir, halah… setelah sekian lama gak blogging / even cuma BW nih, nemu tulisan gini rasanya ati adem. Aku jg masih belajar untuk kesana.. tentang merelakan, bersabar dan segala hal yg mendukung untuk bisa sampai ke pemikiran: semua ada saatnya. Kadang masih suka: kenapa sih kenapa begini, kenapa begitu, kenapa bukan aku? Tanya2 sama Gusti Allah.. Itulah jeleknya.. bikin lupa sama rejeki dan kenikmatan yg sudah dikasih. Makasih ya, Den tulisan pengingatnya
Hahaha suwuuunn Dil. Duh oase jare :))) Aku yo jarang akhir2 ini BW dan nulis. Sak sempetnya saja mumpung ada yang lagi diurusin di dunia nyata. Iya, kalau mikir tentang semua ada saatnya itu jadinya lebih banyak bersyukur dan introspeksi dengan apa yang dimiliki sekarang. Ga perlu sawang sinawang sama rumput tetangga. Jadikan yang lebih sebagai motivasi untuk semakin maju dan memperbaiki diri, bukan untuk merutuki diri sendiri dan keadaan. PR sepanjang masa ini Dil. Semangaattt!!
Semangaaaaatsss!
Semua ada saatnya. Ini kalimat hidup aku. Makanya sampai kubuat sebagai kalimat permanen di blog. Semua Indah pada waktunya. Anggap saja kejadian duka juga indah biar kita belajar bersyukur. Entah mengapa pertanyaan basi seperti kapan nikah dan kapan punya anak itu kuanggap bukan sebagai bentuk perhatian (istilah klasik) dari orang yang bertanya. Melainkan kenyinyiran akan hidup orang lain. Aku punya teman SMA yang lumayan akrab, hilang kontak trus kontak lagi melalui media chat. After nikah nanya masalah anak. Trus dia bilang kalau aku musti punya prioritas. Serasa dibacok palu dibilang gitu. Bicara prioritas di rumah tangga orang. Menjengkelkan. Apa alasan aku harus wajib ngasih tau orang ttg prioritas hidup. Langsung aku delete semua daftar nama dia di segala pertemanan. Kasar? ahhhh ga seberapa itu dengan dibanding nyinyir dia. Kadang kita perlu keras terhadap orang ya ga ngerti melontarkan kata kata. I hate orang Nyinyir. Hahahhaa. Setuju dengan suamimu. Pas itu
Kalau pertanyaan “sudah punya anak?” aku anggap masih dalam ranah wajar. Tapi kalau dilanjutkan dengan “kok belum?” kan jadi beda auranya ya. Iya, bukan kewajiban kita ngasih tau rencana hidup ke orang lain. Ke keluarga dekat aja juga ga perlu.
Kalau orang Belanda ini kan memang direct ya orangnya kalo ngomong. Ini suamiku ukurannya masih sopan ngomong panjang lebar. Rasanya aku lebih Belanda dibandingkan dia kalau untuk Nge”skak” orang haha.
Kayanya, kalo orang ada kawin atau hamil. Pasti adaaaa aja yang suruh nyusul buru – buru, atau ikutan.
Semacam lomba lari ya disuruh nyusul
Buru buru ambil cermin, apakah saya termasuk ke dalam oknum yang suka bertanya ‘kapan’? Semoga enggak, semoga kalo keceplosan, feel free buat ingetin aku ya buat jagain mulutku ☺☺
Aku selalu ingetin kamu untuk ga nge lambe turah atau nge lambe2 yang lain.
Bahahahaha lambe is laif lho mbak. Hiburaaann ituu okee mulai deh dikurang kurangi ngelambenya
iya ya, mba.. semua ada saat-Nya.
kita gakbisa semena-mena mengambil ranah itu..
Setuju Titin
Pertanyaan tentang kapan menikah, kapan punya anak itu adalah ‘ice breaker’ percakapan khas orang Indonesia. Kenapa khas, karena di negara lain belum tentu pertanyaan hal ini diterima sebagai hal yang lumrah. Kitalah yang butuh kepekaan terhadap orang lain.
Seperti uneg-uneg dan kesebalan yang pernah kutuliskan di sini http://www.devieriana.com/2014/06/14/about-the-kapan-things/ , closing statement-ku:
“Pertanyaan basa-basi seperti “kapan menikah”, “kapan punya anak”, dan berbagai pertanyaan ‘kapan’ lainnya tidak akan seketika berhenti setelah kita menikah atau punya anak. Pertanyaan “kapan nambah anak”, hingga “kapan mantu” pun harus siap kita hadapi saat kita sudah menikah. Jadi, mau tidak mau, suka tidak suka, sebagai makhluk sosial kita tidak mungkin menghindari obrolan-obrolan ice breaker semacam itu. Tinggal siapkan saja hati dan mental kita sembari menebalkan telinga. Tapi tidak perlulah sampai kita masukkan ke dalam hati, dibawa rileks saja. Keep enjoy the whole process, dan tetap percaya bahwa Allah selalu memberi sesuatu tepat pada waktunya.*group hugs*”
Selama di Belanda, aku ga pernah ditanyain ttg Kapan punya anak-oleh orang Belanda. Kalau ditanyain “sudah punya anak?”, beberapa kali. Tapi ya berhenti sampai disitu, ga yang melanjutkan dengan komentar berkepanjangan.
Suwuunn Mbak Dev. Untuk beberapa hal dalam hidupku atau hidup kami, memang aku (atau kami) lebih memilih tertutup dan tidak membagikan cerita di dunia maya atau media sosial. Salah satunya tentang anak. Biarlah anak menjadi ranah dunia nyata kami, tidak perlu sampai dia terpapar dunia maya atau media sosial di usia yang dia belum bisa berpendapat atau menentukan sikap. Nanti ada saatnya kalau memang dia mau atau dia sudah bisa berpendapat dan menentukan sikap sendiri 🙂
Kalau aku pulang, mudah2an ada kesempatan ya kita ketemu di Jakarta. Kangeennn.
Well said.
Soale standare wong Indonesia utk “bahagia” iku kakean Den. Kudu nduwe omah, kudu nduwe anak, kudu..kudu..
Sing jelas kudu waras ngadepi standare wong liyo.
Yook, aq yo msh berusaha membangun standar bahagia ku sendiri..
Iyo banget nih! Kudu duwe omah, kudu nduwe anak, kudu nduwe uwit… duwit maksute dudu beringin #jayus
Iyoo bener. Selain kakehan, juga nampak seragam. Begitu onok sing bedo sitik, langsung dicap nyeleneh. Hahaha sepakaatt. Kudu waras ngadepi wong2 iku. Semangaattt!!
Ih sama bangeeet mbak, suka dapat pertanyaan yang sama dan kadang sampe judging gitu deh semacam “Kamu sih sibuk banget, makanya anaknya nggak jadi jadi “…. kan rasanya sedih gitu :(((
Ya abis gimana lha wong masih ada tanggungan yang harus di selesaikan dulu (read : kuliah & kerja), kan kesibukan orang juga beda. Dan bener banget, semua ada waktunya, udah ada yang ngatur, buat apa terlalu dipikirin bikin ga happy ya mbak.
Kadang justru yang bikin kita nggak bersyukur sama kondisi sendiri adalah omongan orang. Udah gitu hahah, kok aku jadi curhat sekalian ya mbak? :’))
Masing2 orang punya prioritas hidup masing2 dan merekalah yang tahu apa yang terbaik dan yang membahagiakan untuk hidup mereka. Ga perlu diambil hati perkataan yang membuat hidup tak nyaman, ambil yang bermanfaat saja sebagai masukan. Yang ga bermanfaat langsung singkirkan dan kalau perlu kasih tau ke mereka secara tegas. Semangaatt ya dan tetap bahagia dengan apa yang dijalani 🙂
Kejadian-kejadian kek gini yang jadi bikin gue berpikir kenapa ya kok budaya kita (terutama di Jawa) itu seperti itu. Sampek kadang heran pol-polan soal pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan orang ke kita. Sama kek yang mbok tulis dan dibilang Mbak Eva di atas, gue berprinsip kalo mereka bebas nanya ke kita, nah kita bebas dong jawabnya gimana ya.
Soal semua ada saatnya ini, selalu berusaha mengingatkan diri sendiri kalo memang kita cuma bisa berencana. Rasanya enak banget kalo sudah paham tentang ini. Jadinya lebih ikhlas gitu ngapa-ngapain Den. Semuanya indah pada waktu-Nya. Waktu yang Dia pilih.
Aku kadang yo mikir, ini ancene “penyakit” orang Indonesia kebanyakan yang senang jadi pengurus, kabeh diurusi.
Iya, kita menang dalam berencana tapi ada yang lebih segalanya dalam proses penentuan. Makanya butuh proses berserah supaya indah pada saatnya atas ijinNya
Sweet reminder 🙂 thanks..
Btw aku urun sorak2 “kapokmu kapaaaaaaaan” hahaha aku yo mbatin ngono iku pas moco..
Sama-sama 🙂
Ngomong ngono dengan penekanan ala Jatim haha
Betul Den, semua ada saatnya… kita bisa berencana tapi siapa yang tau ya? Kaya yang aku baru tulis di blog, rencana mau acara ulang tahunan bapak, eh ndilalah istrinya sepupuku mendadak meninggal. Siapa yang tahu usia baru 27th sudah meninggal, anaknya masih bayi 1 bulanan lagi.
Selepas itu, kadang memang orang2 perlu diingatkan untuk tidak tanya yang bukan urusan mereka. Aku sudah dilabeli “nggak sopan” sama orang2 Indonesia disini karena aku sering “mengingatkan” mereka bahwa ada hal2 tertentu yang bukan urusan mereka haha. Jadi inget pernah kenalan sama orang Indonesia di Denmark lewat fesbuk, dan tentu pertanyaannya tentang anak. Aku bilang “Saya nggak ada anak” (pertamanya), lalu dia bilang “Oh ya aku doakan ya biar cepat punya”. Loh, aku bilang ke dia kalau saya memang memilih nggak mau punya, terus jawabannya dia keukeuh “Yah saya doakan biar kepengen punya dan dapat”. Loh, yang punya hidup siapa, kok dia sok tau banget sama hidup dan kemauan saya? Kesel deh. Sori curcol, tapi ya gitu deh orang kita…want to know aja, padahal klo sudah tau itu informasi mau dibuat apa juga ga jelas.
Iya Va, kita menang dalam hal merencanakan. tapi ya ada hal-hal yang diluar kuasa kita yang memang kita ga tau kedepannya gimana. Karenanya butuh Plan A, B, C dan butuh berserah atau ikhlas kalau kenyataan tidak sesuai dengan yang direncanakan.
Kenapa ya konsep menikah dan punya anak anak itu buat banyak orang masih menjadi kewajiban. Padahal jelas2 itu adalah pilihan setiap orang. Ga ada yang mewajibkan padahal untuk menikah atau punya anak. Lha mosok kalau ga menikah atau memilih ga punya anak trus didenda. Lha kalo tolok ukur kebahagiaan dari dua hal tersebut, jadi merasa kasihan dengan hidupnya. Padahal banyak hal yang membuat kita bahagia diluar 2 hal itu.