Sabtu setelah kami selesai makan malam, sekitar jam setengah delapan, saya bertanya ke suami enaknya ngapain ya. Mumpung masih sore dan kami sedang tidak ada hal mendesak urusan masing-masing yang harus dikerjakan. Lalu saya mengusulkan untuk menonton film karena seingat saya terakhir kami menonton film bersama itu dua bulan lalu. Suami setuju. Saya lalu membuat coklat panas dan suami mengambil beberapa buah di kulkas sebagai camilan ketika menonton film. Kami tidak berlangganan Netflix di rumah (bahaya kata suami, bisa-bisa istrinya 24 jam di depan TV haha), jadinya pilihan film yang ditawarkan oleh provider TV kami juga terbatas. Setelah memilih beberapa judul, lalu kami memutuskan untuk menonton Maudie. Film baru, drama, ringan sekali ceritanya, gampang dicerna, terasa manis. Tetapi setelahnya membuat saya meneteskan air mata. Bukan karena filmnya sedih, tapi mengingatkan saya akan suatu hal. Saya merekomendasikan sekali film ini karena memang menarik. Saya tidak akan menuliskan di sini tentang bagaimana jalan cerita Maudie, film yang berdurasi hampir dua jam, karena pasti sudah banyak sekali yang menuliskan tentang film ini. Jadi silahkan dicari. Akhir dari cerita ini adalah sang istri meninggal dunia (spoiler sekali :D).
Setelah film selesai, tenggorokan saya tercekat dan perlahan mata saya berembun. “Bagaimana kalau aku meninggal duluan?” begitu tanya saya pada suami dengan suara yang agak serak menahan tangis. Suami lalu melihat saya perlahan, kemudian memeluk pundak saya, “kamu kan orang Statistik, jadi tahu donk berapa prosentase kemungkinan hidup pria dibandingkan wanita.” Duh, lagi melankolis gitu lalu menyebut tentang Statistik kan jadi mendadak males. Lalu saya bilang kalau namanya hidup itu kan bukan tentang Statistik. Umur itu sudah ditentukan, itu menurut saya. Sedangkan menurut dia yang semuanya berdasarkan logika, yang namanya umur itu ya tergantung bagaimana kita menjaga badan dan keberuntungan. Ok, tentang umur memang kami sepakat tidak memperdebatkan karena sudah dibahas beberapa kali tetap tidak menemukan titik temu.
Yang membuat saya menangis itu bagaimana kalau saya meninggal duluan, lalu siapa yang akan mengurus orang-orang yang saya tinggalkan. Saya pernah bilang ke suami bahwa saya tidak akan mengirimkan dia ke panti jompo kalau kami sudah sama-sama menua. Kami akan saling menjaga satu sama lain. Saya yang selama hampir dua tahun bekerja di panti jompo, tahu betul bagaimana kehidupan di sana. Bukannya kehidupan di panti jompo tidak baik, bukan begitu. Tapi saya bilang ke dia kalau panti jompo bukan tempat yang cocok untuk dia karena ada beberapa alasan. Jadi saya selalu bilang ke dia, “nanti kalau kamu sudah tua dan saya masih sehat, biar saya yang mengurus kamu. Saya tidak akan mengirimkan kamu ke panti jompo.” Nah, kalau saya mati duluan bagaimana? siapa yang akan mengurus orang-orang yang saya tinggalkan. Bagaimana keadaan mereka nanti? Film Maudie ditambah suhu yang beberapa hari ini kembali ke angka minus dan salju datang lagi (padahal saya sudah ke PD an memasukkan jaket winter dan menggantinya dengan jaket musim semi) membuat hati saya jadi sedih sekali.
Pembicaraan tentang kematian bukan sesuatu yang saya hindari lagi sejak kehilangan sepupu saya tercinta pada tahun 2011. Sedih sekali rasanya waktu itu dan saya seperti menggugat Tuhan kenapa harus dia yang dipanggil secepat itu. Setahun kemudian, Bapak meninggal. Hidup saya langsung melorot dititik nol, bahkan minus mungkin. Pertanyaan “kenapa harus Bapak?” terngiang terus di kepala dan selalu saya tanyakan pada Tuhan, bahkan mungkin sampai sekarang. Bukannya saya tidak ikhlas, tapi ada banyak hal diluar ikhlas yang tetap mengganjal hati dan pikiran saya. Percayalah, ikhlas itu tak segampang ketika saya menuliskan kata ini di blog atau mengucapkannya. Kata orang waktu yang akan menyembuhkan. Kalau menurut saya, ya kita sendirilah yang harus menemukan apa yang membuat kita ikhlas. Sejak tahun 2011, saya banyak berpikir dan mencari bahan bacaan tentang kematian, apa yang akan kita lakukan setelah mati, kemana kita setelah mati dan semua yang ada sangkut pautnya dengan kematian.
Bertemu dan menikah dengan orang yang selalu mengedepankan logika, membuat saya seperti mendapatkan lawan bicara yang cocok untuk membahas kematian. Papa mertua meninggal ketika saya baru dua bulan pindah ke Belanda. Melihat bagaimana keluarga di sini memaknai kematian dan melihat sesuatu yang berbeda dengan di Indonesia tentang prosesi pemakaman, kembali otak saya tidak berhenti berpikir tentang mati. Bukan sekali atau dua kali saya dan suami membicarakan tentang kematian, bagaimana kalau salah satu diantara kami mati duluan, akankah yang ditinggal mati nanti menikah lagi, menunggukah di suatu tempat yang mati duluan dan banyak hal. Membicarakan kematian buat kami bukan berarti kami tidak takut mati. Paling tidak, saya masih takut mati. Entah ya kalau suami. Tapi, membicarakan kematian bagi kami adalah mempersiapkan banyak hal di depan dan membuat kematian tidak terlalu lagi nampak mengerikan. Kami bahkan sering tergelak ditengah-tengah pembahasan tentang mati. Meskipun yang namanya kematian itu akan selalu menyisakan ketidaksiapan, walaupun dipersiapkan serapi mungkin. Kematian itu pasti, tidak bisa dielakkan. Tapi menyambut kematian itu yang sering kami perbincangkan dan juga kemana kita setelah mati.
Suami selalu bilang kalau dia sudah mempersiapkan daftar lagu yang harus diputar ketika prosesi pemakamannya dan ada beberapa daftar permintaan lainnya. Kalau saya sederhana, meskipun mungkin nantinya akan meninggal di Belanda tapi saya ingin dikuburkan di tanah kelahiran. Membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan kematian membuat kami jadi tahu satu sama lain apa yang kami inginkan ketika sudah mati nanti jadi ada hal-hal yang sudah bisa dipersiapkan dari sekarang. Berbicara tentang kematian bukan hal yang tabu buat kami. Dan saya sering bilang ke dia, “siapapun nanti yang mati duluan, saling tunggu ya di suatu tempat. Supaya kita tetap saling bergandengan tangan di sana dan tetap jatuh cinta meskipun tidak di dunia lagi.”
Selain itu, hal menarik lainnya yang selalu kami bahas adalah tentang kemana kita setelah mati. Bukannya tidak percaya tentang hal-hal yang sudah dituliskan dalam kitab suci agama saya, tapi saya masih merasa belum dapat gambarannya. Masih absurd menurut saya. Kami mempunyai pendapat yang berbeda tentang kehidupan setelah mati. Saya mempunyai pendapat yang saya sendiri masih belum sreg 100%, sedangkan suami mempunyai pendapat dari hasil pemikiran dan penelusurannya. Saya tidak berbicara tentang kesangsian akan ajaran agama sendiri, hanya saya sedang dalam proses pencarian. Salah satunya adalah : benarkah nantinya ada surga dan neraka? Apakah kita beribadah hanya untuk mengharapkan surga supaya tidak masuk ke neraka? bagaimana kalau ternyata surga dan neraka itu tidak ada, apakah kita tetap beribadah? kenapa beribadah tidak hanya dengan tujuan berucap syukur? masih banyak pertanyaan yang bergaung di kepala dan saya selalu haus ilmu untuk mencari jawabannya termasuk kemana kita setelah mati nanti.
Membicarakan dan mengingat tentang kematian membuat saya jadi selalu menghargai setiap detik kehidupan. Selalu bilang tentang saya sangat sayang dan cinta kepada orang-orang yang saya cintai, meminta maaf sesegera mungkin jika melakukan kesalahan, berterimakasih sebanyak mungkin akan banyak hal, berusaha dan belajar untuk tidak selalu mendongakkan kepala. Mengutip apa yang Tulus bilang, “kita tak pernah tahu berapa lama kita diberi waktu.” Kalau kata Bude saya, “hidup itu seperti pagi dan malam. Ketika kita tertidur saat malam, belum tentu kita bangun lagi saat pagi. Jadi sebelum tidur malam, selesaikan apa yang harus diselesaikan.”
Sebenarnya ngeri-ngeri sedap sih menuliskan tentang kematian di blog, apalagi mengangkat topik ini diawal minggu. Buat saya membicarakan atau menuliskan tentang kematian itu tidak masalah karena yang namanya mati itu pasti.
Kalau kalian, apakah pembicaraan tentang kematian itu tabu atau hal yang dihindari? Pernah membicarakan tentang kematian dengan pasangan atau orang terdekat? kalian ingin ketika sudah mati nanti orang mengingat kalian seperti apa? dan satu pertanyaan lagi, diluar apa yang sudah tertera dalam kitab suci, menurut kalian sendiri : kemana kita setelah mati? Pertanyaannya banyak ya, hanya ingin tahu saja persepsi tentang kematian.
Selamat mengawali minggu dengan kebahagiaan
-Nootdorp, 18 Maret 2018-
Ya kadang2 saya sering mikir apakah nanti klo kita meninggal kita bisa bertemu lagi dengan saudara kita yg telah meninggal sebelumnya,anak2kita nanti,terus kemana kita setelah meninggal,apakah ada kehidupan lagi stelah kematian,rasanya saya masih belum siap menghadapi itu semua,terus kdg saya berpikir kenapa kita harus meninggal,trs klo kita terbuat dari tanah,bearti klo kita meninggal apakah kita sudah berakhir sampai disitu saja,iya klo ada kehidupan lagi setelah kematian,klo kembali jadi tanah yang tidak bernyawa,membayangkan saja jadi takut saya
Ya, saya juga sering berpikir kehidupan setelah mati. Di mana nantinya kita semua.
Hai deny assalamuAlaikum,
Aku bahas kemarin2 dengan ibuk beberapa kali dan ya spt kebanyakkn dia hanya “hush! Ngomong opo?”, padahal saya sedang berpesan dimanaa/bagaimana mereka bisa menguburkan jasad ku kelak.
Selama ini soal surga & neraka ga mau terlalu kuppikir, saya percaya spt yg disebutkan dlm satu hadist “sebaik baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi lainnya” sorry kalimatnya ga percis begitu tapi ya kira-kita begitulah. Aku berharap hidupku bermanfaat secara positif bagi lainnya, ga mau sia sia.
Hai Ru, Waalaikumsalam. Gimana kabarmu? Lama banget ga saling bertegur sapa denganmu ya. Beberapa kali mampir ke blogmu tapi masih belum ada tulisan baru.
Terima aksih Ru sudah berbagi pendapat tentang hal ini. Dan setuju dengan dua kalimat terakhirmu. Semoga kamu selalu sehat yaaa.
membahas kematian ini bikin mikir dan takut juga ya, tapi suka bacanya dan baca komen-komennya jadi bikin makin tercerahkan. Yang jelas setuju sama poin berbuat sebaik-baiknya dan bersyukur sebanyak-banyaknya, entah itu nanti surga atau neraka ada beneran atau gak 🙂
Iya bener Dit. Berbuat sebaik2nya. Perkara nanti ya itu nanti.
Wah tulisan yg menarik. Jarang ada yg mau ngomongin kematian blak blakan loh. Kebanyakan orang menghindar dengan alasan pamali. Padahal in the end, mau selama apapun kita hidup kita akan mati juga. Kita kan bukan immortal :).
Dalam menyikapi kematian menurut aku baiknya kita mengesampingkan tentang pamali. Umur kita hari ini esok lusa gak ada yg tau. Aku sendiri pernah mengalami depresi walau sekarang sudah jauh membaik tapi pikiran tentang kematian sering banget singgah di otak aku.
Dulu masih mikir, kalo aku mati ini gimana atau itu gimana ya, tapi makin kesini pemikiran gimana itu makin hilang karena dipikiran aku kalo sudah mati ya udah selesai. Orang mati ya gak bawa make up, gak bawa skin care, gak bawa harta, gak bawa apa2 cuma bawa badan tapi bukan berarti gak bisa di prepare.
Awalnya suamiku risih loh ngomongin soal kematian tapi pelan2 sering aku omongin, sering aku pesen pesenin. Kalo nanti aku sampe meninggal aku akan meninggalkan ini itu semua udah ada dalam surat warisan dan mengenai pak suami aku sih ijinkan banget dia untuk kawin lagi. Toh kalo aku sudah mati, gak akan berasa apa2 harusnya justru dia yg aku tinggalkan yg harus melanjutkan hidup dan berbahagia. Aku gak mau diratapin terus2an 🙂
Bukan masalah aku gak percaya surga atau neraka, aku mah hidup setiap hari disengaja maupun engga pasti bikin dosa. Nanti itu semua akan aku pertanggungjawabkan sendiri, sekarang gak mau dipikirin dulu. Tapi yg jelas kalo hidup aku harus selesai kapanpun ya so be it. Aku sendiri berharap sih gak ada lagi after life, hidup cukuplah cuma sekali hahahaha
Kita kan bukan Highlander yang setelah ditebas eh hidup lagi 😀
Thanks May sudah sharing pendapat dan pandangannya tentang kematian. Mencerahkan sekali 🙂
Aku dan M lumayan sering membahas ini, entah itu dari sisi praktikal ataupun spiritual. Kebetulan dia bekerja di industri pertambangan yang resiko keselamatan kerjanya dinilai tinggi, maka banyak perusahaan yg minta karyawan mengisi semacam form “kondisi darurat”. Menurutku terlepas dari yg diyakini berbagai agama, ketika mati arwah/nyawa akan disimpan di suatu tempat, sementara tubuh/jasad karena sifatnya organik maka selesai ceritanya. Aku ngerasa ada proses siklus dalam banyak hal, salah satunya arwah ini. Jadi mungkin saja arwah itu akan masuk kembali ke tubuh yg sudah ada (manusia), atau manusia baru (janin). Konsep surga/neraka itu sama seperti konsep reward/punishment. Manusia kalo gak diatur sama konsep reward/punishment dianggap tak akan bisa hidup dengan baik. Apakah surga/neraka itu sesuatu yang bersifat harfiah atau kiasan? Aku gak tau.. Terkait konsep siklus itu, aku jadinya suka mikir, ketika aku mau tidur, apa aku bakal bangun lagi? atau kalo memang bangun lagi, apakah nyawa yg ada di dalam tubuhku itu masih nyawa yg sama?
Terima kasih Emmy sudah berbagi pandangan dan opini. Aku juga suka mikir tentang arwah seperti yang kamu pikirkan. Bahkan sampai saat ini aku tetap meyakini bahwa Almarhum Bapakku selalu ada disekitarku (entah dalam wujud apa, hanya merasa saja) karena aku mempercayai bahwa arwah itu akan adadi suatu tempat. Tentang surga dan neraka, aku masih tetap dalam pencarian dan meyakinkan diri sendiri (pencarian sejak aku SMP, tentang keraguanku akan surga dan neraka)
Den, aku diam-diam di kepala suka mikir gitu lho… kalo mati nanti ke mana? Makanya senang nonton episode Black Mirror yang judulnya San Junipero. hahaha.
Sama, aku juga percaya alam setelah kematian, tapi suami kan logis dan mengagungkan ilmu pengetahuan, jadinya beda pemahaman kami. Aku sih maunya ya bisa ketemu lagi, apalagi sekarang ingat ortu yang tinggalnya jauh, jadi sedih
Mudah2an nanti dipertemukan lagi ya kita Mar dengan pasangan masing2. Biar sama2 terus 🙂
Nggak tabu kok. Menurutku org akn lebih mudah merasa bahagia dg hidupnya bila ingat ia suatu saat akn mati. Dan berpikir dua kali untuk berbuat dan bertindak bila tahu akibatnya nanti di after life. Aku sendiri sdh stop memikirkan kemana kita akan pergi secara ilmu pengetahuan. Jangankan aku yg bukan scientist, sekelas Einstein dan Stephen Hawking saja sudah give up. Mereka berdua berkesimpulan sama. Keterbatasan ilmu pengetahuan, tidak akn pernah sanggup melihat yang awal dan yang akhir. Jadi untuk menemukannya perlu masuk ke hal-hal yg sifatnya spiritual seperti agama dan kepercayaan. Jawaban kemana kita akan pergi menurutku hanya bisa dirasakan dengan hati. Semoga bisa menjawab kegelisahannya.
Terima kasih sudah berbagi pandangan dan pendapatnya 🙂
Aku justru kebalikannya, ingin terus mencari supaya aku tidak puas dengan apa yang ada sekarang. Tetapi sesungguhnya semakin aku mencari, semakin aku merasa dahaga. Karenanya kadang2 aku butuh rehat juga.
Aku nulis komen panjang sebelumnya, pas dipost malah error. Ilang jadinya -_-
Intinya sih kadang susah ngobrolin hal yang berkaitan dengan kematian apalagi itu modelnya “what if”, malah ntar dikira ga percaya kehidupan setelah kematian. Padahal kan otak ini selalu berfikir dan ada pertanyaan2 yang muncul. Tidak pernah bermaksud untuk ga percaya keberadaan surga dan neraka, dll.
Aku juga nantinya mungkin bakal meninggal di Belanda. Dan mungkin akan dikuburkan di Belanda. Pernah denger tentang pengiriman jenazah yang mana akan disuntik formalin di jaringan lunak seperti mata. Entah bener apa ga, tapi kok ga rela ya badanku nanti disuntikin formalin.
Aku belum pernah ngobrolin hal ini ke suami. Mungkin nantinya aku akan bahas topik ini.
Terima kasih ya sudah berbagi pandangan. Aku ga kepingin dikubur di Belanda karena merasa keluarga besarku di Indonesia dan biar keturunan kami nantinya tetap dekat dengan keluarga di Indonesia karena mereka akan ziarah ke kuburku. Tapi apapun keputusan tentang dikubur di mana, yang penting sudah sama2 dibicarakan dengan pasangan. Soalnya mulangin ke Indonesia biayanya pun ga murah. Makanya ikut asuransi kematian, biar tertolong masalah biaya (inipun aku masih rencana).
awwww.. tulisannya dalem banget, it got me thinking deeply, meski baru saja membahasnya (sm anak) sebelum jam tidur hari ini.. – pssst inginnya dia, sebelum salah satu dari kami di panggil, kami sempat jalan2 saat dia dewasa dan aku masih kuat- ^^
jadi, membahas topik ini bukan hal tabu buat kami (dan keluarga).. apa yg terjadi dan harus dihadapi saat seseorang yg dekat dengan kita berpulang. apa yg hrs aku siapkan sebelum pergi, baik scr fisik (minimalisir barang kepunyaan misal) atau scr mental (idem dgn kata bude: selesaikan apa yg hrs di selesaikan, dan dgnmu ttg usaha berbuat dan berkata baik), dan katakan cinta sebelum terlambat..
penyebabnya mungkin krn sering kali kami diingatkan ttg hal ini, entah kehilangan (mendadak) keluarga dekat serumah (keponakan, pakde, dan ayah – ketiganya saat aku jauh . _. ), keluarga ngga serumah, sampai para sahabat dekat.. dan rasa kehilangan itu ngga hilang, ia menetap dan muncul kapan pun ada pemicunya, anytime anywhere..
pertanyaan berikutnya. hmm apa yaa.. susah juga meski hal ini kan yg menentukan tingkah laku seseorang di masa hidupnya.. well, mungkin ingin diingat sebagai manusia biasa saja sudah cukup buatku, yg punya (banyak) kelemahan dan juga punya kebaikan dalam peran2 yg aku jalani.
topik perjalanan setelah mati juga menarik, daaan bbrp minggu lalu kami nonton along with gods yg menceritakan apa yg terjadi setelah mati (ala “film” Korea) yg bikin kami lantas baca2 dan diskusi ttg hal ini dari bbrp sudut pandang termasuk ala atheist dan ala alien.. sampai sekarang sih..
yaaaa panjang deh yaa ^~
Aku jadi terharu dengan jawabanmu, terlebih kalimat di awal. Aku ga sempat membahas tentang kematian dengan Bapak. Makanya kagetnya sampai sekarang ga sembuh2. Iya bener katamu, rasa kehilangan itu nggak hilang. Muncul kapanpun dan dimanapun ketika ada pemicunya.
Terima kasih ya sudah berbagi pemikiran di sini. Berbicara tentang kematian dan surga neraka adalah pillow talk kami *kok medeni yo pillow talk nya :)))
Ayok donk dibikin tulisan di blog. Pengen tahu versi panjangnya.
Tulisan yang bagus mbak, aku juga kadang mikir gini kalau lagi kena virus berpikir atau ada trigger. Berikut jawaban2ku dari pertanyaan di akhir tulisan.
Sampe sekarang aku menilai diri sendiri sebagai orang yang cukup bisa menerima kematian. Aku percaya bahwa kematian adalah salah satu fase hidup. Kalau mengutip salah satu ayat di Alkitab, segala sesuatu ada masanya. Yang bikin aku sedih justru membayangkan orang2 terdekat yang ditinggalkan. Tahun 2014 lalu, opaku pernah masuk ICU karena komplikasi penyakit. Saat itu aku udah pasrah jika opa meninggal, toh umurnya udah cukup senior, umur bonus istilahnya. Tapi aku malah nangis lihat oma yang gak berenti2 nangis ngebayangin gimana kalo seandainya opa yang pergi duluan.
Kalo soal pergi kemana setelah kita mati, aku agak denial mikirinnya. Kalo ngikutin agama sih harusnya ke surga karena Yesus udah menghapus dosa2 umatnya. Tapi ada surga dan ada juga neraka, yakin sebersih2nya manusia tanpa dosa? Kalo gitu neraka buat siapa dong? Terus, yang namanya baik dan jahat kan bukan saklek, atas dasar apa orang bisa masuk surga atau neraka? Gitu lah kalo dipikir2. Sekarang aku berpikirnya, mau berbuat baik aja dan menjalani hidup di dunia dengan sebaik2nya, biar nanti kalo meninggal dan klo ternyata gak ada surga atau neraka, kita bisa tenang karena selama hidup di dunia, kita udah melakukan hal2 bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain.
Anyway. Kadang suka mikir, apa kabar ya orang2 yang selama hidup berbuat baik cuma biar masuk surga, terus pas meninggal ternyata surga/neraka itu gak ada. Menyesal gak ya, kalau reward nya ternyata cuma mitos?
Terima kasih Crys sudah berbagi pemikiran dan pandangan.
Kalo Ewald suka nanya gini “Bakteri itu nanti masuk neraka atau surga? Virus masuknya ke mana? Trus bayi yang meninggal kemana? Orang2 yang punya disabilitas perginya ke mana?” pertanyaan2 itu yang membuatku berpikir. Sama kayak yang kamu tulis. Aku juga setuju dengan pemikiranmu ttg berbuat sebaik2nya di dunia. Supaya apapun yang terjadi nanti, enath surga neraka itu ada atau ga, yang penting kita sudah berbuat yang terbaik di dunia.