Sebelum menulis lebih lanjut, yang saya maksud Teknologi di sini adalah telefon genggam, tablet (ini saya juga bingung menyebutnya apa, tapi biasa disebut tablet kan semacam iPad gitu), televisi, dan komputer. Kata suami saya, semua itu disebut media devices. Saya bingung mencari padanan kata dalam bahasa Indonesia, jadi saya menyebutnya teknologi. Kalau ada yang tahu padanan kata yang lebih tepat, tolong saya dikoreksi dan mohon masukannya ya.
Suatu malam ketika kami ditraktir oleh Mama mertua makan di restoran Indonesia yang tidak jauh letaknya dari rumah, kami menempati meja yang sudah dipesan sebelumnya persis di sebelah keluarga bersama satu anak usia sekitar 5 tahun. Saya awalnya tidak memperhatikan ada yang unik dari keluarga tersebut. Selama menunggu pesanan, Mama kasak kusuk kalau keluarga yang di sebelah meja kami sibuk dengan HP (telefon genggam) masing-masing. Anak sedang menonton kartun, sang Bapak sedang menonton siaran entah apa, dan sang Ibu juga asyik memelototi telefon genggamnya. Mereka dalam posisi sama-sama makan. Namun tidak ada pembicaraan diantara mereka, senyap sibuk dengan HP masing-masing.
Melihat hal tersebut, pikiran saya mulai terusik. Dan terus terang saat itu saya mbatin yang bernada menghakimi. Semacam, wah kok sibuk sendiri-sendiri melototin Hp padahal kan sedang makan. Kenapa tidak mengobrol saja sambil makan. Cerita apalah asalkan tidak terpukau dengan Hp. Dilain tempat lain waktu, saat kami makan di restoran, ada beberapa keluarga juga yang membawa anak berusia dari bayi sampai sekitar 5 tahunan. Nah ada dua meja dari dua keluarga berbeda tentunya yang saya perkirakan usia bayinya sama, kira-kira 7 bulanan. Yang satu bayi duduk anteng (dan makan) di kursi makannya sambil bersenda gurau dengan kedua orangtuanya (yang juga sambil makan). Sedangkan satu bayi duduk anteng dengan melihat tablet didepannya yang memutarkan kartun, sedangkan dua orangtuanya menikmati makanannya. Nah di meja lainnya, anak usia 5 tahun saya lihat sedang urek-urek buku gambar sedangkan orangtuanya makan. Sesekali orangtuanya bertanya ini itu kepada anaknya (yang saya lihat memang tidak makan, atau makannya sudah selesai saya kurang tahu). Jadi anak umur 5 tahun ini anteng di restoran selama orangtuanya makan, dengan melakukan aktivitas menggambar. Nah dari beberapa pengalaman (yang sebenarnya masih banyak sih, cuma saya ambil contohnya saja untuk dituliskan di sini), otak saya jadi sibuk berpikir. Kenapa satu bayi bisa anteng makan dan duduk di kursi makannya dengan cara berkomunikasi dengan orangtuanya, sementara bayi yang lain anteng karena melihat kartun di tablet. Kenapa satu anak usia 5 tahun anteng dengan menggambar, kenapa yang lainnya anteng dengan melihat tayangan di Hp. Pertanyaan saya ini jangan dianggap sedang menghakimi ya, tapi lebih tepatnya ke sebuah pemikiran.
Karena kepikiran, saya lalu bercerita hal tersebut ke grup WA yang isinya perempuan-perempuan perantau di Eropa. Kebanyakan sudah punya anak. Saya bercerita tentang keresahan saya akan anak kecil yang memelototi Hp atau tablet untuk melihat tayangan YouTube atau kartun atau permainan saat makan di restoran. Karena terus terang bukan sekali dua kali saya melihat kejadian seperti ini.
Dari hasil diskusi di grup, memang ternyata banyak sekali alasan yang melatar belakangi memberikan sarana media untuk anak saat makan di restoran atau tempat umum. Benang merahnya adalah supaya anak duduk tenang dan anteng. Belum tentu anak yang diberi tontonan di restoran, di rumah mereka juga dibiasakan seperti itu. Karena suasana rumah dan suasana restoran (atau tempat umum lainnya) berbeda dengan suasana rumah, mungkin anak (atau bayi) jadi merasa tidak nyaman. Jadilah orangtua memberikan ijin untuk menonton di sarana media tersebut supaya anak anteng tidak mengganggu pengunjung lainnya dan orangtuapun enak makannya. Nah dari hasil ngobrol di grup itulah saya jadi ada rasa bersalah telah menghakimi keluarga pertama yang sibuk dengan Hp masing-masing tanpa tahu alasan mereka apa. Menurut kacamata saya, hal tersebut memang tidak ideal karena kebiasaan di keluarga kami kalau makan ya benar-benar makan, saling ngobrol satu sama lain. Apalagi saat makan malam, ya saatnya bercerita tentang kegiatan satu hari. Meletakkan segala macam tekhnologi apapun bentuknya. Jadi sebenarnya saya tidak bisa menghakimi satu perkara benar atau salah karena tidak sesuai dengan standar saya, karena masing-masing keluarga pasti punya aturan masing-masing.
Tujuan dari tulisan ini adalah saya ingin bertanya kepada rekan-rekan blogger atau siapapun yang membaca tulisan ini yang sudah mempunyai anak (balita juga termasuk ya ini) atau jika belum tapi berpengalaman dengan keponakan atau sepupunya atau anak kecil lainnya, untuk bisa memberikan komentar atau gambaran dari beberapa pertanyaan saya di bawah. Sekali lagi saya tegaskan bahwa tidak ada komentar benar atau salah karena masing-masing keluarga punya aturan masing-masing yang bisa jadi berbeda dengan keluarga lainnya. Dari jawaban rekan-rekan, saya akan belajar banyak hal.
- Anak sudah dikenalkan pada teknologi (TV, HP, Tablet dan Komputer) sejak usia berapa dengan alasan apa. Media apa yang pertama kali dikenalkan?
- Aturan makan di rumah bersama keluarga seperti apa? Apakah boleh sambil melihat TV, apakah boleh sambil mengecek Hp sesekali ataukah waktu makan memang khusus untuk makan dan ajang saling bercerita antara anggota keluarga?
- Jika sedang makan di luar rumah (restoran atau warung atau tempat makan lainnya), apa yang biasa dilakukan untuk membuat anak tenang supaya tidak resah sendiri, tidak mengganggu pengunjung lain, dan orang dewasa dalam meja yang sama makannya pun jadi nyaman?
- Jika memang anak sudah dikenalkan dengan teknologi, berapa lama maksimal dalam satu hari toleransi melihat layar media tersebut?
- Jika memang anak sudah dikenalkan dengan teknologi, apakah selama melihat layar media selalu ada yang menemani atau dibiarkan saja sendiri atau seperti apa?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut spontan muncul di kepala saat saya menulis. Jadi saya tidak cek dulu tentang variabel-variabelnya ya. Namanya juga pertanyaan spontan. Apapun pendapat yang masuk, tidak akan menjadikan satu keluarga lebih baik dari keluarga lainnya karena kembali lagi seperti yang saya bilang tadi : masing-masing keluarga punya aturan yang berbeda sesuai dengan kebutuhannya. Mari jadikan pertanyaan-pertanyaan keingintahuan saya tersebut sebagai bahan diskusi karena sayapun akan banyak belajar dari pengalaman rekan-rekan. Terima kasih sebelumnya atas urun pendapatnya.
-Nootdorp,1 Agustus 2018-
Hi mbak Deny, aku mencoba menjawab pertanyaan ya 🙂 Mewakili orangtuaku yang anak bungsunya lahir di akhir 90-an waktu teknologi perlahan bergerak maju. Aku dan si bungsu beda umurnya 8 tahun.
1. Dari kelas 5 SD, kalo gak salah ingat. Alasannya karena waktu itu aku lagi kuliah di Bali, mama lagi kerja di USA, papa suka dapet jatah dinas keluar kota, dan adik nomor 2 beda sekolah sama si bungsu. Dia pernah nyasar juga di mall, jadi dikasih hape biar gampang mantau lokasi di mana
2. Makan keluarga di rumah boleh sambil melihat TV tapi tidak boleh pegang hape. Alasannya karena kadang seharian susah ketemu jadi waktu makan disambi waktu cerita-cerita, dan nonton TV membantu obrolan kalau2 habis topik bicara (misalnya hanya berdua atau bertiga di rumah, gak komplit). Kalo pake HP jadinya antaranggota keluarga gabisa saling ngobrol karena layarnya hanya muat untuk fokus 1 orang.
3. Aku lupa2 ingat kalo yang ini waktu adekku kecil diapain hahaha.. Kalo gak salah ingat papa-mama tetep gak ngasih gadgets mbak Den, mereka ngobrol gitu sambil ngawasin adekku (kami) biar dia juga tau apa aja yang dimakan. Jadi kalo ada makanan/sesuatu yang adekku gatau dan dia tanya, ortu bisa langsung jawab. Dan sebisa mungkin obrolannya yang umum jadi adekku (kami) bisa denger juga.. Selesai makan juga gak lama2 duduk disitu, daripada adek gak betah, sekalian ngasih tau kalo restoran / warung = tempat makan, jadi ya selesai makan, pulang.
4. Batas waktunya gak pasti yah.. Kalo PR lagi banyak ya jatah nonton TV dipotong.. Kalo lagi sedikit agak loose. Toh weekend gantian kami yang menguasai TV mbak 😆
5. Ada yang temani, bergantian. Waktu SD adek bawa hape ke skolah titip di gurunya sih. SMP-nya adik juga rada strict mengenai gadget.
Semoga membantu 🙂
Aku ada bikin draft postingan tentang topik ini udah dari kapan tau cuma belom sempet nyelesain Den wkwkwk. Intinya mo share gimana aku dan suami ngatur anak-anak dengan perangkat media *baru tau btw ada istilah gawai*
Kami termasuk yang lumayan longgar untuk urusan ginian, tapi tetap ada aturan. Kalo menurut aku, sepanjang penggunaan masih dalam batas kewajaran (dan ga menjadi candu bagi si anak) penggunaan teknologi bisa bantu tumbuh kembang mereka juga.
Karna dunia teknologi memang eksis dan ga bisa dihindari, kami milih untuk mengenalkan lebih awal, supaya nantinya ga kaget begitu mereka punya kewenangan sendiri.
Ayo coba diteruskan Anis nulisnya. Bisa jadi bahan belajar buat aku. Lagi konsen banget dengan masalah teknologi terutama gadget yang bisa mempengaruhi tumbuh kembang anak. Aku lagi baca buku judulnya Irresistible. Ngomongin tentang kecanduan orang terhadap internet khususnya. Menarik banget fakta2 di dalamnya. Yang bikin tercengang adalah (karena aku baru tahu) : anaknya Steve Jobs ga pernah dibolehin mainan iPad karena dampak buruknya. Lha dia nyiptai iPad malah anaknya ga dibolehin dan malah dikasih buku beratus2 supaya dibaca dan teralihkan ga mainan gadget. Menarik kan.
Kalau kami, terus terang untuk tablet dan hp memang belum diperkenalkan. TV pun nontonnya cuma berita sore hari (dia suka banget nonton berita btw hahaha. Kartun malah ga doyan). YouTube pernah coba dilihatkan kinderen voor kinderen, dia ga suka. Jadi ya memang dari dianya sendiri lebih milih ngublek sama buku2 dan mainan2nya.
Thanks ya Anis buat sharingnya
Iya Den, insya allah diteruskan biar tumpukan draftnya berkurang
Pokonya ikutin insting dan kata hatimu aja, menurut aku there’s no right or wrong in raising a child, kecuali kamu nyuekin dan menelantarkan mereka ya. Mereka yang ga bersentuhan dengan teknologi belum tentu lebih baik dari yang tiap hari nempel mulu sama teknologi. Begitupun sebaliknya. Yang penting ada aturan dan balans menurut aku
Btw buah ga akan jatuh jauh dari pohonnya Deen, anakmu (hampir) pastiii selera dan kesukaannya ga jauh dari ibu bapaknya, plus mereka bakal nyontoh dan ikut apa yg ibu bapaknya lakuin – jadi ga heran kalo si kecil hobinya liat berita, besok udah gedean hobinya baca buku
Iya Den, insya allah diteruskan biar tumpukan draftnya berkurang
Pokonya ikutin insting dan kata hatimu aja, menurut aku there’s no right or wrong in raising a child, kecuali kamu nyuekin dan menelantarkan mereka ya. Mereka yang ga bersentuhan dengan teknologi belum tentu lebih baik dari yang tiap hari nempel mulu sama teknologi. Begitupun sebaliknya. Yang penting ada aturan dan balans menurut aku
Btw buah ga akan jatuh jauh dari pohonnya Deen, anakmu (hampir) pastiii selera dan kesukaannya ga jauh dari ibu bapaknya, plus mereka bakal nyontoh dan ikut apa yg ibu bapaknya lakuin – jadi ga heran kalo si kecil hobinya liat berita, besok udah gedean hobinya baca buku deh
Iya Anis, aku selalu percaya buah jatuh ga jauh dari pohonnya. Ngelihat aku sendiri yang ga terlalu suka nonton TV dan lebih suka baca buku, nurun dari Ibukku. Karena ngelihat Ibukku jarang banget nonton TV dan lebih suka baca (apapun), makanya aku ikutan.
aku menyebutnya media dijital yaa, hmm..
1. anakku bersentuhan dengan media dijital dari dia lahir. dia tumbuh sehari-harinya dengan hp, komputer, dan tablet, kalau tv jarang2. alasannya: emaknya belajar dan bekerja di bidang teknologi pendidikan, keluarga kecil dan besarnya hidup berjauhan
2. ngga bikin aturan khusus penggunaan media dijital buat saat makan bersama (keluarga), pada hobi makan dan gila cerita soalnya, jadi otomatis kalau makan atau lagi cerita ya fokus sama makan dan ceritanya aja. sesekali makannya sambil nonton film bareng. kalau lagi berdua sama anak, setiap momen2 seharian termasuk makan selalu diawali atau diakhiri dengan media dijital, buat say hi dan bercerita sama papanya, dari dia bayi sampai sekarang
3. yang nomor 2 berlaku di dalam dan di luar rumah.
4. sampai sekarang tidak ada aturan khusus juga tentang durasi bersentuhan dengan media dijital. anakku amat aktif sejak bayi. namun karena suatu hal, sejak usia 6 tahun dia harus belajar untuk tidak terlalu lelah beraktifitas. karena itu harus dibujuk dengan media dijital ini. pada awalnya, tidak mudah menemukan permainan atau tontonan yang bisa membuat dia tidak terlalu aktif, dan anaknya mudah bosan.
5. semasa balita, dia lebih sering ditemani daripada sendirian, ini sesuai permintaan dia. kalau ada permainan baru pun, si emak harus ikutan main, atau justru emaknya disuruh main sementara dia menontonnya.. sy rasa karena itulah dia terbiasa akan lebih lama menggunakan media dijital kalau ada temannya, misalnya: dia akan lebih lama main minecraft bareng daripada main minecraft sendirian, berlaku juga untuk nonton sesuatu, kalau ngga ditemenin (dan diskusi2) dia bakalan cepet bosen.
tambahan:
batasannya adalah kelekatan, aku anggap baik-baik saja bila keberadaan atau ketidakadaan media dijital tidak mempengaruhi kebutuhan pokoknya (makan, tidur, dan berkomunikasi) ^^, jadi kalau pas ada ya suka, kalau ngga ada yaa ngga bikin bete
aturan khusus media dijital yang ada saat ini hanya 2 hal: productivity and creativity jadi penggunaan media dijital harus diiringi kemunculan ide atau bahkan membuat sesuatu. sbg emak, TUGAS WAJIB sy adalah menagihnya sehari-hari.
catatan:
di sekolah belajarnya diorganisir dengan pemanfaatan media dijital (chromebook) jadi belajar di rumah juga dari apps sekolahan
Oh ok, media dijital. Thanks ya infonya.Nanti aku tambahin di bagian tulisan.
Bu Dosen, keren banget penjelasannya. Bolehkan aku rikues kalau ada waktu dibikinkan tulisan di blogmu tentang ini? Karena penjelasanmu bagus banget, jadi kalau ditulis di blog jangkauannya bisa lebih luas dan bisa membaca dari sisi berbeda orangtua yang membolehkan anaknya dari usia balita sudah berkenalan dengan media dijital. Sekalian mungkin yang baca bisa lihat sejauh mana kebebasan yang bisa diberikan karena kalau terlalu bablas juga ga baik ya kan. Nanti aku taruh tautannya di tulisan ini. Makasih banget ya Sharingnya.
hmm iya sudah lama pengen nulis ini, tapi ngga tau mulai darimana, hehehe.. trus melibatkan sakitnya Stan pula, jadi sedikit pedih (trus ntar jadi panjang bgt postingannya) hahaha.. komen ae dowo, ndanio posting iki..
Beberapa keponakanku hanya diberi tablet ketika harus bepergian jauh, jadi di dalam pesawat bisa tenang. Beberapa orang yang aku kenal juga ngasih tablet ketika makan di luar aja, biar anaknya tenang.
Tapi aku tahu juga ada yang ngasih anaknya gawai dimana-mana, gak lepas dari gawai deh. Sebel kalau lihat yang model gini, karena anaknya jadi kasihan.
Terima kasih Ail untuk Sharingnya. Iya, ada anak2 yang diberikan gawai ketika sedang di luar rumah supaya win win solution. Sedangkan di dalam rumah mereka malah ga bersentuhan dengan gawai karena sudah ada aktifitasnya sendiri.
Akupun kalau melihat anak yang terlalu terpaku dengan gawai kadang suka kasihan. Tapi ya itu tadi balik lagi aku ga tau kebijakan masing2 keluarga
Ikutan urun rembuk dari keluarga kami :
1. HP dikenalkan saat usia 2 thn untuk telepon, karena keluarga suami yang berdomisili di Padang dan ingin dengar cucu perempuan satu-satunya ini ngoceh. 4 thn diperkenalkan dengan games di HP yang ada hanya saat liburan, saat naik mobil dan bosan di jalan, saat semua jurus bekal alat tulis & mainan sudah dikeluarkan terlebih dahulu. Solusi terakhir, games di gadget.
2. Makan bersama di meja makan tanpa gadget
3. Ketika makan di luar dan anak kurang nyaman. Maka saya & suami bergantian makan, sehingga satu dari kami momong anak.
4. 1-2 jam toleransi nonton TV, itupun jatah kalau tidur siang. 18-21 tidak ada TV / gadget.
5. Selalu ada yang menemani saat main games di hp atau nonton tayangan di hp.
Semoga istiqomah. Untuk teknologi Alhamdulillah kami tidak membiasakan, sekedar mengenalkan. Bila playdate ada anak teman yg makan sambil nonton yutup, jadi anak saya jadi ikut nonton. Ya mau gimana lagi, gak mungkin ekstrim juga ngelarang yg gimana.
Fran, makasih banyak ya sharingnya. Sangat bermanfaat dan buat masukan ke aku juga.
Untuk yang gantian jaga pas makan, bagus juga jalan keluarnya ya. Jadi anak pun masih tetap berinteraksi dengan orangtuanya.
Kalau anak sudah mulai gede, mungkin rasa bosan akan cepat datang ya kalau perjalanan jauh gitu. Jadi dengan segala jurus sudah dikeluarka, jurus terakhir gadget.
Semoga Istiqomah Fran, apapun itu, yang tahu terbaik buat anaknya ya ortunya kan ya. Fran kamu ga mau bikin tulisan tentang hal ini di blogmu? Sharing gitu Fran, biar bisa jadi bahan masukan dan pembelajaran buat yang baca. Cara2 dan tahapan2 pengenalan gadget ke Teona dari pertama kali sampai sekarang. Nanti tautannya aku taruh di postingan ini. Jadi aku bisa baca2 lagi kalau sedang butuh 🙂
Kadang aku suka gak PD sharing tentang mendidik anak dengan cara Kami. Tentulah banyak kurang dan khilafnya. Jadi biasanya saya bikin post dari narasumber yang mumpuni (menurut saya). Narasumber tsb tentu jauuhhh lebih berpengalaman dari saya. Bisa jadi teladan, minimal buat saya dan suami terapkan ke anak. Tapi insya Allah, kalau memang dirasa perlu. Diusahakan bikin post tentang ini
Waaah.. Deny, kmrn aku mau bikin IG story soal ini gara2nya Mommiesdaily posting meme yang isinya gambar Prince william sama Kate Middleton lagi ketawa: when you hear new parents say they aren’t going to allow their kids to have screen time.
Terus captionnya: “nggak bakalaaaan anakku dikasih gadget gitu, nanti matanya rusak, kurang empati, nggak tau waktu”.
Satu tahun kemudian barulah disadari: YouTube is the best nanny ever
Nah, reaksinya ada dua kubu nih, yang pro dan kontra, seperti biasa lah yaaa… disatu sisi banyak yang bilang, anaknya bisa bahasa inggris atau baca hitung dari YT. Nggak sedikit pula yang menegur kok MD posting begitu sihh?? Buikan mustahil kok membesarkan anak tanpa gadget.
Nah kalo ini aku ya, Den. Dulu si mas bocil nggak kukenalkan YT, komitmen sama suami anak no TV dibawah 2 tahun. Sampe akhirnyaaa.. setahun kurang atau setahun lebih sedikit (tepatnya aku lupa) dia mulai aku kasih TV. Nontonnya disney / disney junior. Karena ya the best nanny ever itu, aku bisa sambi2 ngerjain domestic things (or dulu aku ada bisnis dari rumah juga produksi body care).
Sampai ketika umur 18 bulan dsa nya bilang kalo si mas kosakatanya masih sedikit utk anak seumurnya. Jleb dong.. padahal Ibunya nggak kurang ngajak ngobrol (bawaan orok, ceriwis ). Akhirnya TV aku stop total (thank God anaknya gak ada penolakan or cranky), aktivitas diluar yang sebenernya udh banyak.. aku tambahin lagi dan lagi. Beli peluit sekian biji, kalo ajak dia strolling around aku kalungin peluitnya biar dia tiup2 (utk melemaskan otot mulut).
Dari yang tiupannya ga ada bunyi smp dia mahir kenceng banget ngejepriitttt. Umur 22 bulan udah tak terbendung itu kosakata yang muncul dari mulutnya. So, kalo kubilang pemberian gadget yg berlebihan itu MEMANG NGEFEK sama perkembangan anak.. apapun itu.
Kl sekarang, sejak awal tahun ini (usia TK -—5th) aku kasih YT dan TV berbatas waktu. Senin – jum’at (karena sabtu minggu pasti kami ngelayap).. masing2 30 menit perharinya jadi total screen time 1 jam.
Tapi.. aku pake fasilitas YT yang disetel dari perangkat TV, Den (providernya namanya Indihome). Waktunya dia yang atur, tapi nggak bs di pagi hari. Jadi bisa pulang sekolah.. nonton YT di TV 30 menit. Habis itu terserah dia mau lanjut TV apa mau buat sorenya.. jam 12 makan siang, sholat.. tidur siang. Nah jatah 30 menit nonton TV nya kadang dia ambil setelah bangun tidur.. abis itu sore main bola/ sepedaan di depan rumah sama temen2 komplek.
Balik lagi ke ortu sih, Den. Kalo aku n suami tipikal yang gak kasih gadget berupa HP/ tablet ke anak.. tp boleh ntn via perangkat TV, berbatas waktu dan ditemenin, jadi aku tau yang disetel apa aja (ninja turtles, lego / toys unboxing, ben10 — ampe apal ).
Karena anak jaman sekarang.. di Indonesia pula yang semua anak pegang gadget sendiri2. Lebih baik dia tau dari ortunya/ dari rumah daripada dia dibatasin keras tp curi2 nonton di rumah temennya. Intinya ada aturan tp gak saklek juga, fleksibel.. asalkan bocil tau aturan di keluarga dia gimana dan.. tidak berbohong (ini salah satu tujuan lainnya).
Begitu, Denyyyy kalo dari aku hehehee
Ps: eh ini ada sedikit tambahan, beberapa kali aku makan / jajan bareng sama temen2 sesama parents di skolah. Waktu makan.. rata2 anak2 ini pada nyambi nonton YT, semuanya. Trus sambil disuapin ortu dengan mata tetap ke layar. Sedangkan si bocil makan sendiri no suap no gadget.. dan selesainya makan langsung main lari2 blusukan..
The parents suka tanya kok bs bocil bgitu?? Tipsnya bagaimana?
Tips nya ya waktunya makan ya makan, ga sambil dikasih distraksi gadget, kl misal gamau makan (dulu waktu kecil) ya aku biarin.. kan dia yang nantinya tau kl laper gimana.. aku ga masalah dia mau makan dikit. Gak harus makan banyak tp dikasih tontonan biar mau nelen. Aku kasih tipsnya gitu sih, tp itu dimulai dari dini banget.. jadi emang udh kebentuk. Maap panjang bgt dennn
Dilaaaaa, TOP BANGET sharingnya Dil. Aku baca beneran dengan berhati2 sekali. Sampai berulang2. Dil, ga mau dibikin tulisan kah di blogmu tentang hal ini. Tentang proses pengenalan teknologi ke Mas Bocil dari awal sampai saat ini dan segala apa yang terjadi diantaranya. Jadi bisa dibaca dua sisi antara keluarga yang longgar dalam penggunaan gadget dan keluarga yang ketat dalam penggunaan gadget. Bisa dijadikan bahan diskusi juga di blogmu. Nanti tautannya aku taruh di postingan ini jadi bisa makin banyak yang baca (kalau pas ada yang nyasar di postingan ini haha).
Tentang peluit, ide yang bagus Dil. Itu yang kasih tau DSA nya atau inisiatifmu sendiri? Oh tentang pelemasan otot2 mulut, bisa juga dari makanan yang diberikan Dil. Jadi sebelum usia 1 tahun, sebenarnya bayi sudah bisa diperkenalkan makanan yang bisa dikunyah. Macam metode BLW gitu Dil. Jadi ga hanya makanan lembut aja. Dicoba dulu perlahan misalkan pisang ga usah dikerok, langsung aja kasih ke anak berupa potongan2 pas dia umur sekitar 7 bulan. Nanti bayi akan kunyah sendiri. Bertahap selanjutnya ke roti, mangga, ayam goreng, ikan dll. Jadi mulut anak sudah biasa bergerak dan otot2 dalam mulutnya sudah terlatih untuk bergerak sejak usia dini. Itu salah satu cara merangsang bayi sebelum proses penyebutan kata.
Waahhh Pintar Mas Bocil makan sendiri. Sejak umur berapa Dil dia mulai makan sendiri? Aku setuju Dil dengan kamu, ga mendistraksi makan anak dengan gadget jadi dia tahu secara sadar apa yang dia makan dan seberapa banyak yang dia mau makan. Begitupun dengan waktu, biasanya kalau sudah lebih dari 30 menit, anak sudah ga antusias lagi makannya karena sudah kenyang. Ya sudah ga perlu dipaksa untuk menghabiskan karena mereka sendiri yang tahu seberapa banyak kapasitas perutnya.
Heheehe.. iya yah, mungkin someday bs coba kutulis ya, Den soal pengenalan teknologi ini. Seperti biasa, kalo udah niat biasanya ngalir sendiri (kaya pas balas komen diatas), tp kl lagi gak mood suka dong dong otaknya .
Hooh, Deny.. setuju banget tuh. Si mas juga makan kubatasin 30 menit, abis nggak abis kukuuuttt. Kalo makan dulu udah table food dari setahun, 7 bulan duduk di high chair n makan buah potong (yang gampang2: melon, semangka, mangga), 8 bulan mulai kasih homemade cookies.. 10 bulan udah makan nasi samaan sama bapak ibunya dan menunya udah variatif ketika itu (kebanyakan ikan di steam or daging cincang sayur), dann makanan2 bule yang dipanggang2 . Jadi kalo si mas ini kemarin 18 bln disuruh terapi wicara sama dsa nya murni gara2 Ibunya (kesenengen) ngasih TV ✌.
Btw aku suka heran, step2 makan dia ini masih keingetan aja.. aku rabid mom kalo soal makan anak sama vaksin, Den . Tapi si bocil ini makan sayurnya kurang loh, Den.. terbatas doyannya pas udah gede. Makanya aku harus coba cara lain nanti buat adeknya.
Kalo makan sendiri itu luwes di umur 3 tahunan.. soalnya dia juga masuk childcare kan di melbourne. Itu membantu juga, walau pengenalan makan duduk n suap sendiri udah dimulai dari bayi.. tapi aku juga ttp mix blw sama spoon fed. Kadang udah gede gini dia juga masih minta disuapin kalo di rumah, walaupun jarang bgt juga, fleksibel aja soalnya ndulang anak tuh menurutku salah satu kenikmatan n menciptakan kenangan buat anak maupun ortu hihihi.
Thank you sharingnya jg ya, Den
Dikenalkan bertahap. Dan dibatasi sesuai usia. Penggunaan saat weekend atau kondisi darurat 30-60 menit saja idealnya. Aturan dasar bila di hadapannya hadir manusia lain tidak boleh pegang layar….jadi termasuk di meja makan, restoran, dsb. Kalau gadget no wifi. Dan bila berselancar untuk mencari info harus melalui ortu.
Terima kasih banyak ya masukannya. Iya, idealnya kalau di hadapannya ada manusia, lebih baik ga ada gadget. Memaksimalkan komunikasi.
topik ini jadi topik utama kompas minggu lalu lho
2 hari berturut” jadi headline
saking kecanduannya generasi sekarang
sampe” banyak yang jadi pasien RSJ
ada juga yang melakukan kekerasan ke orangtuanya
semuanya gara” gawai
hiiii
Kalau di rumah bagaimana? Apakah anak2 sudah diperkenalkan dengan gadget atau TV? kalau iya, sejak usia berapa. Kalau tidak, apakah ada alasan khusus?
gadget, gawai mungkin bisa jd padanannya mba..
iya sik, gakselalu yg kita liat itu sebuah kebiasaan, tapi kalo titin yg liat pasti kepikiran; ini ko gitu siy, itu ko gitu hehe
Kalau komputer itu masuk ke kategori gawai juga Tin? Televisi?
Eiyaya, ada TV nya komputer segala
Hehe.. Tin fokus sm ilustrasinya
Iya, jatuhnya teknologi kali ya..
berhubung saya masih single mungkin saya akan jawab dari pendapat saya yaa. Kalau kebiasaan keluarga saya waktu makan tidak ada satupun anggota keluarga yang menyentuh gadget (handphone dkk). Karena fungsi dari meja makan memang untuk makan dan berkumpul keluarga dan saling berbincang satu sama lain. Mungkin memang karena sudah kebiasaan dari dulu meja makan memang menjadi tempat untuk berinteraksi dengan anggota keluarga jadi tak ada satupun anggota keluarga yang bermain hp. Jadi tergantung kebiasaan setiap keluarga sih kalau menurut saya karena kebiasaan setiap keluarga kan berbeda-beda.. 😀
Terima kasih banyak ya sharingnya. Iya benar, kebiasaan keluarga yang pada akhirnya membentuk kebiasaan anak juga.