Menutup Diri Setelah Tinggal di Luar Negeri?

Membaca postingan  di blog ini, pendapat penulis tentang Diaspora yang disinyalir mengalami sindrom menutup diri, jadi tertarik untuk membuat tulisan dari sudut pandang saya dan berdasarkan pengalaman diri sendiri tentunya. Sejak pindah ke Belanda, seringkali saya mendengar dari kerabat, kenalan, teman di Indonesia kalau saya semakin menutup diri dan menjaga jarak dengan mereka. Ada benar dan tidaknya apa yang mereka sampaikan serta ada alasannya juga kenapa saya bersikap seperti itu. Salah satu alasan saya membuat tulisan ini adalah untuk memberikan gambaran tentang hal tersebut.

Saya nyaris 5 tahun tinggal di Belanda dan belum pulang sama sekali ke Indonesia. Jadi saat membaca penjabaran selanjutnya bisa membayangkan kondisi dan situasi saya. Tulisan ini lumayan panjang.

GANTI NOMER TELEPON

Pindah ke Belanda, artinya ganti nomer telepon. Saatnya tidak lagi bergabung dengan banyak grup WhatsApp (WA). Sampai saat ini, saya hanya punya tiga grup WA. Ya, cuma tiga. Saya membatasi berbagi nomer telepon yang baru. Hanya pada yang merasa dekat saja saya berbagi nomer telepon Belanda. Itupun ternyata beberapa kali ada yang lancang membagikan nomer tanpa sepengetahuan saya lebih dahulu.

Alasan saya tidak lagi bergabung dengan banyak grup wa, pertama karena zona waktu sudah berbeda. Kedua, karena seringnya saya tidak membaca isi grup wa yang sangat aktif. Ketiga, ya saya mau fokus dulu dengan kehidupan di Belanda. Disinilah awal mula ada beberapa komentar yang saya dengar kalau saya “mengasingkan” diri. Mereka berpikir saya tidak mau ikut grup lagi karena sudah tinggal di LN, tidak level dengan mereka yang tinggal di Indonesia. Lha, apa hubungannya ya. Tapi ya sudahlah, saya juga tidak mau repot-repot menjelaskan.

PROSES ADAPTASI YANG TIDAK MUDAH DAN JUGA TIDAK SUSAH

Saya memulai semuanya di Belanda dari nol, dari awal. Jatuh tersungkur-sungkur belajar bahasa baru, mengenal lingkungan baru, mendaftar sebagai sukarelawan untuk beberapa kegiatan supaya memperlancar bahasa Belanda, ujian bahasa Belanda sebagai syarat memperpanjang ijin tinggal, jungkir balik mencari pekerjaan, lalu dapat kerja di bidang yang baru dan sangat berbeda dengan latar belakang pendidikan maupun pengalaman kerja sebelumnya, penyesuaian terhadap cuaca, mempelajari (dan belajar panjang sabar) terhadap segala sistem birokrasi di sini, dan masih banyak lagi yang harus saya lakukan sebagai proses adaptasi. Semuanya bukan perkara yang mudah, terutama untuk bahasa dan cuaca, namun buat saya juga bukan hal yang susah. Saya fokus dengan apa yang ada sekarang, apa yang perlu saya jalani saat ini. Bukan berarti saya melupakan apa yang ada di Indonesia, tapi setiap hari di sini adalah proses adaptasi, pun sampai detik ini. Banyak hal-hal baru yang terus saya pelajari dan perlu fokus. Itu saja sebenarnya. Fokus saya sudah berbeda dengan kehidupan sebelumnya sewaktu di Indonesia. Menjadi imigran buat saya tidak mudah, karenanya saya ingin membuat lebih mudah dengan menjalani secara fokus apa yang ada sekarang dan menerapkan skala prioritas.

PERTANYAAN YANG TERLALU PRIBADI

Ada beberapa kenalan, teman, dan kerabat yang mengajukan pertanyaan atau memberikan pernyataan yang sudah jauh masuk dalam ruang privasi saya. Misalkan saja : suami kerja di mana, gaji suami berapa, beli rumah di Belanda harganya berapa, suami sholat nggak, sudah punya anak apa belum, sudah dapat apa saja dari suami (mengacu pada materi), kenapa kamu kok tidak bekerja kantoran, kenapa kok kamu sudah sekolah tinggi tapi malah tinggal di rumah, dan sebagainya dan sebagainya. Masih banyak sebenarnya, tapi tidak akan saya tuliskan semua. Pertanyaan tersebut datang dari orang-orang yang tinggal di Indonesia maupun dari orang-orang Indonesia yang tinggal di Belanda. Saya merasa tidak nyaman dengan hal tersebut dan saya memilih untuk selalu mengatakan bahwa apa yang mereka katakan terlalu masuk dalam ranah pribadi saya dan saya tidak akan memberikan jawaban atau pernyataan apapun. Saya tidak berhutang penjelasan pada siapapun. Jadi, kalau saya menjaga jarak dengan mereka, bukannya tanpa sebab, melainkan karena mereka sendiri yang membuat saya berlaku seperti itu. Bertukar kabar dengan berbagi cerita yang umum saja saya sudah cukup, tidak perlu bertanya sampai jauh ke ranah pribadi.

Saya punya teman-teman baik (belum sampai level sahabat) di Belanda, tapi sangat terbatas. Tidak lebih dari jumlah jari tangan. Prioritas hidup saya saat ini (dan sejak awal di sini) bukan untuk mencari teman baru, jadi saya sudah cukup bahagia dengan teman-teman dekat yang ada sekarang. Sebenarnya sejak saya pindah ke Belanda, mencari teman bukanlah prioritas. Ada atau tidak ada teman, saya biasa saja. Saya lebih sibuk untuk adaptasi hal-hal lainnya. Semuanya mengalir dalam pertemanan, tidak pernah saya buat ngoyo. Karena itulah, saya punya teman sangat sedikit dan itu tidak jadi masalah.

Saya selalu membalas senyuman atau tegur sapa orang Indonesia yang ketemu dijalan (meskipun saya sendiri nyaris tidak pernah menegur duluan), menjawab obrolan mereka juga. Namun jika sudah terlalu jauh topik obrolannya, saya memilih tidak melanjutkan dan lebih baik permisi pergi. Saya pernah menuliskan di sini, cerita tentang mereka yang saya temui di Belanda, asal njeplak berkomentar padahal kenal (baik) saja tidak.

img_1521

LEBIH “MELEK” DENGAN YANG NAMANYA PRIVASI

Melanjutkan dari tulisan di atas, semakin bertambah umur, saya semakin melek dengan yang namanya privasi. Dulu sih semuanya saya ceritakan dan tuliskan terutama di media sosial. Semakin ke arah sini, saya semakin membatasi dan berpikir berulang kali perkara penting tidaknya mengunggah foto, status, cerita dan tulisan. Tahun 2015 saya deactive FB. Lalu tahun 2018 saya aktifkan lagi. Sejak mengaktifkan lagi, saya benar-benar menggunakan FB sebijak mungkin. Saya kurangi daftar teman yang ada di sana, hanya mereka yang sudah saya kenal yang dipertahankan. Saya makin selektif menerima permintaan pertemanan. Saya unggah sesuatu yang umum-umum saja, bahkan seringnya hanya sebagai sarana berbagi tulisan blog. Berbagi foto? seingat saya, tidak sampai 10 kali foto yang diunggah sejak FB aktif kembali.

Hal tersebut menimbulkan pertanyaan beberapa orang kenapa saya nampak terlalu menutup diri, tidak pernah mengunggah foto keluarga, tidak pernah bercerita tentang keluarga. Bahkan ada yang bertanya apakah kehidupan pernikahan saya baik-baik saja. Mungkin karena dulunya saya terlalu gampang “berbagi” di media sosial dan sekarang nampak lebih tertutup, jadi mereka menginterpretasikan bahwa kehidupan saya di Belanda tidak baik-baik saja. Padahal sebenarnya simpel : sekarang saya lebih nyaman seperti ini, tidak terlalu “obral” diri di media sosial maupun di blog, lebih nyaman dengan ruang privasi saya dan keluarga yang terjaga. Jejak digital tidak bisa dihapus, itu pegangan saya.

MENASEHATI TANPA DIMINTA PENDAPAT

Karena saya terlihat menutup diri dibandingkan sebelumnya, ada beberapa yang memberi nasihat tanpa diminta, berdasarkan asumsi mereka sendiri. Jadi semacam tebak-tebak buah manggis lalu mencoba menasehati. Misalkan : Saya tidak pernah bercerita secara detail tentang keluarga atau memasang foto keluarga, lalu ada yang berasumsi bahwa kehidupan saya di Belanda ada masalah. Lalu dinasehatilah saya bahwa kehidupan berkeluarga memang seperti itu, ada naik turunnya. Padahal, saya tidak pernah memberi komen apapun tentang asumsi yang dibuat. Karena tidak ada komentar dari saya, lalu mereka memberi cap kalau saya sombong sejak tinggal di Belanda. Padahal yang saya lakukan hanyalah tidak mau memberi ruang akan segala hal yang sudah mereka asumsikan sendiri. Saya diberi cap sombong? ya silahkan saja. Sejak di Indonesia pun saya sudah sering diberi cap sombong bahkan judes. Jadi kalau sekarang diberi cap itu lagi, rasanya ya biasa aja. Saya tidak bisa mengendalikan reaksi orang. Itu salah satu contohnya.

PERKARA JANJIAN

Beberapa kali ada teman dan kenalan dari Indonesia yang akan main ke Belanda, selalu dadakan mengajak janjian. Seringnya mereka mengajak ketemuan di Amsterdam. Tempat tinggal saya ke Amsterdam lumayan jauh, sekitar 1.5 jam naik transportasi umum. Pertama, Belanda itu negara kecil dan transportasi di Belanda seringnya tepat waktu (karena ada masanya tidak tepat waktu juga karena kendala teknis). Jadi, jarak tempuh 1.5 jam itu adalah waktu yang lumayan lama. Kedua, transportasi umum di Belanda itu mahal. Jadi biasanya kalau akan pergi jauh, saya mencari info lebih dahulu apakah ada tiket kereta yang dijual murah (banyak promo tentang ini). Meskipun saya menggunakan kartu abonemen (yang akan mendapat diskon 40% jika naik kereta), tapi jika dihitung akan lebih murah menggunakan tiket promo, ya saya menggunakan tiket promo. Belanda ini negara mahal, jadi kalau ada banyak cara untuk bisa hidup hemat, kenapa tidak ya kan.

Alasan ketiga, kami tinggal di Belanda semua dikerjakan berdua. Bukan berarti dengan saya tidak bekerja kantoran lalu saya banyak waktu senggang lalu bisa mengajak ketemuan dadakan. Setiap hari saya sudah punya rencana apa saja yang harus saya kerjakan. Saya sudah terbiasa membuat janjian jauh hari, wong mau makan bakso saja musti janjian paling tidak sebulan sebelumnya. Jadi kalau dadakan, seringnya saya tolak.  Kalau ketemuannya di kota terdekat, akan saya pertimbangkan.

Lalu tanggapan yang saya terima, dibilang saya terlalu londo, terlalu kaku padahal di Indonesia dulu tidak begitu. Mereka lupa, bahwa saya tinggal di Belanda hampir 5 tahun dan sudah menyesuaikan (nyaris) semuanya dengan tempat tinggal saat ini. Ya, lalu bagaimana saya menjadi tidak “terlalu londo?” *sudah terbaca belagu belum.

MEMBATASI DAN MENJAGA JARAK, BUKAN MENUTUP DIRI

Dari semua hal yang saya jabarkan di atas, jika banyak yang mengatakan saya menutup diri, mungkin bagi mereka nampak seperti itu. Saya membatasi dan menjaga jarak dengan orang-orang yang tidak saya kenal baik yang berada di Indonesia maupun orang-orang Indonesia yang ada di Belanda. Buat saya, jumlah teman tidaklah penting. Yang lebih penting adalah kualitasnya. Keluarga, teman-teman dekat, sahabat yang ada sekarang (cuma 4 orang yang semuanya ada di Indonesia), sudah lebih dari cukup. Mereka tidak pernah terlalu mencampuri urusan pribadi, sayapun berlaku sama. Kami tahu batasan masing-masing. Kami saling menanyakan kabar terbaru, cerita terbaru, dan sering juga mengirimkan foto terbaru. Hanya dengan mereka saya merasa nyaman berbagi cerita yang ingin saya bagi. Lalu kalau ada yang bilang saya menutup diri, artinya saya tidak dekat dengan mereka.

Jadi jika ada yang tidak mengenal saya dengan baik lalu berasumsi sendiri tentang kehidupan saat ini, ya monggo. Sekali lagi, saya tidak berhutang penjelasan detail pada siapapun. Yang terpenting, saya tidak pernah menutup diri, hanya membatasi dan menjaga jarak, melakukan hal yang membuat nyaman. Berteman dengan mereka yang saling menyamankan, berbagi kabar pada keluarga yang membuat saya merasa nyaman, dan berbagi hal-hal yang seperlunya saja di media sosial. Rasanya motto yang cocok dengan hidup saya sejak tinggal di Belanda adalah : bertindak, berbicara, dan nyetatus seperlunya saja.

-21 Oktober 2019-

 

20 thoughts on “Menutup Diri Setelah Tinggal di Luar Negeri?

  1. Setuju dengan beberapa poin ini, semenjak tinggal di LN memang lebih terasa menutup diri sih. Awalnya ya karena untuk jadi imigran dan minortias itu ternyata butuh energi sangat besar, capek kadang pusing juga. Mau ala chat ngobrol-ngobrol kayak zaman waktu di Indonesia dah nggak bisa lagi. Belum kalau facebook beberapa tahun ini suka ramai politik sampai pada perang sendiri, bikin eneg. Akhirnya memang setuju dengan berteman itu juga kualitasnya yang penting. Terlalu banyak teman tapi bukan yang tulus malah bakal jadi masalah saja.

    1. Betul sekali. Jadi imigran itu energinya luar biasa. Banyak sekali yang harus disesuaikan dan musti pintar2 menempatkan diri. Belum lagi perkara bahasa. Jadinya lebih fokus dengan diri sendiri. Sudah ga sempat drama kumbara

  2. yg terlalu privasy, belajar dr pengalaman di awal2..skrg saya jauh lbh santai ketika bener2 jauh dr temen2 WNİ, krn terpencil.untuk teman di İndonesia, tetap kontak dgn grup WA sendiri, dan itu cuma 1 grup, saya keluar dr grup alumni sekolah, krn ya itu terlalu sering nyerang privacy, toh msh kontak di sosmed semacam fb untuk temen2 sekolah, kl 1 grup WA saya khususkan untuk teman2 dekat

    1. Kayaknya lebih ayem ya kalau tinggal di kota yang ga banyak WNI nya. Ga kebanyakan drama haha. Kalau yang banyak WNI nya adaaa aja kedengeran drama ini itu.

  3. Hai Den, untuk “pertanyaan yang terlalu pribadi” ga hanya teman atau keluarga yg kenal aja sih yang sering kepo, ini yang kuperhatikan dari Youtube vlog org Indo dg bule ya (belakang youtube lebih terkenal dibanding blog 🙁 ). Krn sdh ngikutin satu vlog jd berasa kenal, bahkan baru satu kali nonton juga berani nanya “apa rumah si bule kontrak atau rumah sendiri”, suami bule kerja apa, bahkan pernah ada nanya kerjaan mertua bule apa haha .. org Indo memang tingkat keponya tinggi, makanya vlog2 org Indo nikah dg bule ramee luar biasa viewnya, apalagi klo pemilik saluran bikin judul bombastis, cumaaa yg komen serem2 banget spt yg ku tuliskan td, belum plus caci maki, hinaan macem2.. makanya aku ambil tema aman aja “berkebun dan seluk beluknya”, drpd makan hati di hina haha padahal emang aku nya cemen sih, klo ada komen ga nyaman bisa uring2an haha.

    1. Hahaha Nel,kamu bener2 telaten bacain komen ya. Jadi pakar analisa komentar di YouTube. Lumayan juga, jadi ada bahan nulis blog :))

      Ya ampun, sampai mertua segala ditanya :))). Aku juga heran lho, selintas2 kulihat judul Vlog banyakan kenapa pake kata Bule ya. Mungkin lebih menjual. Tapi jadinya risih sendiri sih, kayak ga percaya konten akan bagus tanpa harus menjual kata “Bule”.

      Kalau Berkebun, kalaupun ada yg protes palingan ga sesengak Vlog yg lebih personal ya, yang nyantumin Bule :))

  4. Hai Den, Udah lama ngga komen di sini dan aku baru mulai ngeblog lagi minggu lalu. Setuju dengan tulisanmu. Tambahan dikit ya: dari pengalamanku pribadi udah sekian tahun tinggal di Belanda, makin lama mau ngga mau aku makin asimilasi dengan kebiasaan orang Belanda. Beberapa dari kebiasaan ini lain dengan kebiasaan Indonesia. Aku merasa nyaman dengan ini. Ya iya lah kalo ngga mana betah tinggal di sini 🙂

    Ada juga beberapa kenalan orang Indonesia yang aku kenal yang masih mempertahankan kebiasaan khas Indonesia. Aku ngga problem tentang itu, tahu sama tahu. Selama ngga memaksakan kehendak, sekedar kenal ya ok aja. Kita hidup di sini jauh dari keluarga dan teman dari negara asal, di sisi lain juga kita sudah membangun hidup kita sendiri di sini.

    1. Terima kasih banyak Mbak Yo sudah baca tulisanku dan komen juga. Senang rasanya bisa berinteraksi kembali di blog 🙂 Iya, aku baca tulisan2 Mbak Yo dan senang juga bisa kembali baca postingan Mbak Yoyen.
      Haha iya bener Mbak. Akupun dengan banyak hal-hal kebiasaan di Belanda jadinya makin beradaptasi dan merasa nyaman.
      Setuju dengah yang Mbak Yoyen tulis, akupun tidak terlalu ambil pusing dengan orang Indonesia di sini yang masih mempertahankan kebiasaan dari Indonesia. Selama tidak ada yang dirugikan, ya sudah sama2 maklum saja. Ga bisa kita memaksakan hal2 yang menurut kita ideal, tapi ternyata buat orang lain malah ga ideal. Saling menghormati saja.

  5. Halo mba Den, baru baca tulisannya. Terima kasih sudah memberikan masukan dari sudut pandang perantau. Kalau saya kan dari ex-perantau, ya. Sudah terlalu lama pula pulangnya. Hahaha. Cukup menarik dan fresh pendapat mba Den.

    Untuk kasus teman-teman dalam tulisan saya, secara pribadi saya sudah sampai pada kesimpulan : semua kembali kepada karakter orangnya, ya. Pada teman yang bertipe introvert, pemikir serius dan pemalu, kondisi diaspora mungkin semakin memicu dirinya untuk-meminjam istilah mba Den- membatasi dan menjaga jarak (kecuali ybs memutuskan sebaliknya). Sementara teman lain yang bertipe ekstrovert, saya lihat perubahannya tidak kentara. Saya dulu juga mengalami hampir semua yang mba Den alami diatas, ada tulisan tentang itu tapi masih draft. >_<

    Rasa kehilangan teman itu pasti ada, apalagi kalau sudah pernah akrab, menurut saya wajar bila hadir pertanyaan-pertanyaan. Tapi ya kita harus maklum juga, apalagi bila ybs tinggal jauh, ya.

    Di akhir saya memang menyarankan agar tetap menjaga networking dengan banyak kawan di tanah air, walau tidak nyaman, ya karena sudah mengalami dan melihat sendiri beratnya penyesuaian mereka yang ketika pulang kehilangan banyak kesempatan, saat fleksibilitas dalam pergaulan jadi salah satu faktor penting dalam proses adaptasi. Tapi itu mungkin hanya salah satu hikmah yang saya temukan, bisa saja orang lain ketemu cara berbeda. Dan ini hanya berlaku buat orang Indonesia yang suatu hari mau balik saja..

    1. Terima kasih untuk pendapatnya. Memang ada orang2 yang suka dan tidak masalah meluangkan waktu untuk tetap menjaga komunikasi dengan kawan2 lama. Mungkin juga banyak orang yang seperti aku, secukupnya saja. Karena energi yang dibutuhkan sebagai imigran yang menetap itu sangatlah besar. Banyak hal-hal yang harus dilakukan dan dipelajari. Jadi, terkadang waktu 24 jam berlalu sangat cepat. Dan juga, memang setelah jadi imigran, ada banyak hal yang dulu rasanya biasa saja, sekarang menjadi agak mengganggu. Contohnya segala pertanyaan yang terlalu masuk ke ruang privasi. Mungkin karena sudah tinggal jaduh dari Indonesia, jadi makin banyak waktu berpikir mana hal2 yang patut ditanyakan, mana hal2 yang sebaiknya disimpan saja.

  6. Saya bisa merasakan yang Mbak rasakan, bahkan meskipun saya sendiri belum pernah tinggal di luar negeri, hanya beberapa kali kunjungan ke luar negeri. Mungkin karena banyak teman ekspat yang memberikan saya perspektif baru. Sewaktu sahabat ada yang menyelesaikan 1 tahun scholarship menulis di Inggris, saya memutuskan untuk tidak mengganggunya dulu. Biar dia fokus sama studinya dan meski hanya sesekali update di media sosial, dia tidak pernah mengunggah yang pribadi. Paling hanya tempat wisata, studi, dan lokasi yang dia kunjungi.

    Kalau dia mau mengobrol, saya biarkan dia sendiri yang memutuskan kapan mau memulai atau menanggapi. Tidak ada paksaan.

    Kita tidak akan pernah bisa menyenangkan semua orang. Bahkan, saya tidak perlu menunggu tinggal di luar negeri dulu untuk merasakan hal serupa. Saya sudah biasa dibilang dingin, jutek, nggak bisa bercanda, dan “nggak bisa santai ya, buk?” – serta berbagai komentar nyinyir dan jahat lainnya. Padahal, banyak sesama orang Indonesia sendiri yang sedihnya masih belum bisa membedakan antara bercanda dengan menghina, bahkan yang nggak kenal-kenal amat maupun dekat-dekat amat sudah berani lancang berkomentar soal berat badan saya. Bahkan, perkara minta maaf pun masih banyak yang payah. Alih-alih cukup minta maaf karena sudah bersikap lancang dan menyinggung, mereka masih menambahkan dengan serangan balik: “Tapi kamu juga jangan kelewat sensi napa?” ‘Kan minta maafnya jadi nggak ikhlas. Mending nggak usah sekalian.

    Ada beda antara ramah dengan kepo. Ada juga beda antara ingin membantu dengan sok ikut campur. Ada juga beda antara “obrolan berkualitas” dengan “bergunjing”. Seharusnya Mbak jadi inspirasi sesama anak bangsa untuk lebih menghargai waktu dan peka dengan perasaan orang yang nggak nyaman dengan pertanyaan maupun lelucon mereka, alih-alih malah menuduh mereka baperan karena menuruti ego sendiri.

    1. Hai Ruby, terima kasih ya sudah berbagi cerita. Menyenangkan andaikan banyak orang yang mempunyai pemikiran sepertimu. Bisa memberikan ruang dan waktu untuk teman yang sedang berada jauh dari Indonesia. Kami tidak melupakan, hanya kami memang butuh waktu untuk fokus dengan yang ada sekarang. Betul seperti yang kamu katakan.

      Wah kalau inspirasi terlalu jauh haha aku hanya menuliskan berdasarkan pengalaman saja. Memang selayaknya kita mulai menghormati ruang privasi orang.

  7. Hai mba, tulisan (dan topik) yang sangat menarik. Mungkin aku pribadi engga mengalami–karena dari dulu sudah “tertutup” kali ya, at least dari segi pandang budaya Indonesia. Karena memang dari dulu sudah pilih-pilih teman sih, apalagi yang suka kepo gapenting dan nanya-nanya tidak sopan, selalu aku usahakan untuk engga sering ngobrol/ketemu. Walau mungkin sisi negatifnya bisa dicap sombong, setidaknya terhindar dari drama-drama gapenting. He he.

    Aku mengalami hal-hal yang mba tulis diatas, tapi justru dari sesama orang Indonesia di sini, bukan dari teman-teman di Indonesia, mba.

    Misalnya dari grup perantau Indonesia yang pernah aku temuin beberapa kali karena diundang. Pasti sebenarnya ada di antara mereka orang-orang yang santai dan asyik, tapi kalau mendengar sebagian besar topik pembicaraan, cara pikir, bahasan yang masih suka seputar gosip (gosipin sesama member yang kebetulan engga hadir), dsb., aku rasa kita engga nyambung aja, jadi untuk membuka diri sampai ngundang-ngundang mereka ke rumahku, atau ngajak shopping/nongkrong bareng, itu aku engga tertarik. Jadinya malah susah mencari teman-teman baru sebaik teman-teman yang aku temui saat kuliah dan kerja dulu.

    1. Terima kasih Mae.

      Ya ampun, sesama anggota saling gosip ya. Pertemanan ga sehat itu.
      Iya Mae, akupun makin santai sekarang. Mungkin juga karena faktor sibuk, jadi ga sempat ngurusin drama2an di Belanda. Kalau ada yg ga suka, ya sudah terima saja. Namanya hidup, ga semua orang suka. Selama ga mengganggu hidupku dan keluargaku, silahkan bikin drama berseri2 haha.

  8. Nah ini, tulisannya bagus banget! Sebelum baca tulisan mbak, aku baca tulisan acuan mbak dulu untuk tahu konteksnya lalu baca tulisan mbak. Menurutku tulisan pertama terlalu “Indonesia banget” mungkin karena yang nulis udah tinggal di Indonesia atau saat dia merantau, pergaulan dia memang lebih banyak sama orang Indonesia. Entahlah, aku juga gak kenal dia kan. Tapi poin2 mbak itu benar sekali, sejak aku pindah NL aku cuma masih punya 2 grup WhatsApp yaitu grup sahabat dekat, selain itu aku leave semua terutama grup keluarga (yang biasanya toxic banget itu). Dan sama seperti mbak, sejak di Indonesia aku udah dijuluki sombong, tega, jutek… makin tinggal di NL makin pula dijuluki itu. Bodo amat lah, ora urus, toh masih ada juga kontak sama sahabat2 di Indonesia, yang komen2 gitu biasanya yang ngga tau aku banget.
    Soal facebook, karena minggu lalu aku ada “masalah”, aku jadi kepikiran untuk deaktivasi facebook juga karena orang2 kepo. Heran, friends udah sedikit tapi masih aja ada yang usik kehidupan aku. Sementara twitter dipake buat kenalan sama sesama diaspora dan Instagram dipake untuk inspirasi seni.
    Menutup komentar panjang ini, menutup diri/pilih2 pergaulan itu wajar adanya, karena dengan kita tinggal jauh dari koneksi Indonesia, akan makin banyak asumsi2 berkeliaran tentang kita. Ga usah di dengerin.

    1. Hi Crystal, agak aneh sebetulnya reply-an denganmu disini 🙂 Saya sering mampir dan reply2an di blogmu, lho dari jaman masih di wordpress.com sampai pindah ke hostingan sendiri. Sebelumnya terima kasih atas opininya. Tebakan pertama kamu betul saya memang sudah tinggal di Indonesia. Tebakan kedua, nganu rasanya saya imbang-imbang aja, ya. Orang Indonesia di Perancis umumnya (dan Paris khususnya), jauh lebih sedikit daripada di Belanda. Di keseharian selalu tinggal dengan orang setempat bersama teman asal Eropa lain atau sendirian, tapi ya bergaul juga dengan teman2 imigran Magreban. Sering ketemu dengan orang Indonesia pas kumpul-kumpul, kawan seangkatan, atau acara.

      1. Hai mbak! Makasih lho udah baca blog aku dari dulu. Mungkin kita pernah tukar2 komen tapi maaf kalau aku lupa. Aku pribadi emang sejak dulu tertutup dan sejak masih tinggal di Indonesia kayak ada yang kurang gitu. Di Belanda malah masyarakatnya meng-encourage aku untuk jadi lebih tega, ya sudah lakukan saja hahaha… temen Indonesia aku cuma segelintir orang. Mbak Deny termasuk diantaranya. Emang aku berteman tu pilih2 banget, kalau ada yang ga cocok langsung aku gak mau ketemu lagi. Ketemu orang Indonesia cuma 1x per 2 atau 3 bulan. Jadi keknya kita agree to disagree udah cocok banget nih mbak. Semoga selalu sehat dan bahagia di Indonesia ya!

    2. Terima kasih Crys!

      Kalau aku memang ga ada niat untuk menutup diri. Karena buatku, ga mungkin juga menutup diri karena aku masih butuh berinteraksi. Cuma memang energinya ga sebanyak dulu lagi untuk urusan bersosialiasai, apalagi yang ga deket2 banget di Indonesia. Fokusnya sudah beda.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.