Tahun ini, terasa lebih berat buat saya dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya. Banyak sekali kabar duka yang saya terima, baik dari kerabat jauh, keluarga, teman, kenalan, bahkan sahabat. Setahun terakhir, rasanya gelap suasana hati, meskipun banyak juga kebahagiaan yang saya dapatkan. Pikiran saya terpecah dan sangat sedih sampai berhari – hari, menangis, dan jadi ngelangut. Menerima berita duka, buat saya menjadi sebuah cerita tersendiri. Ada semacam ketakutan. Dulu, kematian saya maknai sebagai sebuah proses perjalanan yang harus dilalui setiap makhluk hidup. Mutlak. Sudah sesederhana itu saya berpikirnya. Tetapi sejak 9 tahun lalu, semua jadi berubah.
Berita meninggalnya sepupu dekat tanpa sakit sebelumnya, membuat saya sangat berduka selama beberapa bulan. Saya mulai mempertanyakan banyak hal. Kenapa dia harus meninggal cepat, kenapa harus meninggal mendadak, kenapa semuda itu sudah berpulang, kenapa ini kenapa itu. Saya semacam menggugat kewenangan Yang Kuasa atas nyawa yang diberikan pada MakhlukNya lalu bisa mengambilnya sewaktu – waktu tanpa pemberitahuan di awal. Hanya berselang beberapa bulan kemudian, Bapak meninggal. Tanpa sakit juga, secara tiba – tiba. Saya semakin linglung. Makin berpikir sebenarnya ada apa ini dengan hidup kok semacam naik turun seperti permainan halilintar di Dufan. Naik perlahan trus melorotnya sangat cepat.
Sejak 9 tahun lalu, otak saya tidak berhenti berpikir tentang kematian. Saya ketakutan dan setiap waktu selalu terbersit bagaimana kalau menerima berita duka. Saya susah menggambarkan dengan tulisan. Jadi kalau saya deskripsikan, setiap langkah saya, rasanya di punggung itu seperti ada bayangan kematian yang selalu mengikuti. Bukan takut diri sendiri akan mati, tapi memikirkan orang yang saya kenal akan meninggal. Jika saya berkumpul dengan teman – teman atau saudara atau siapapun itu, jadi suka berpikir : jangan – jangan ini terakhir saya ketemu mereka. Lalu saya menjadi ketakutan dan cemas berlebihan jika yang saya pikirkan jadi kenyataan.
Efek positifnya, saya jadi benar – benar memaksimalkan momen. Saya berpikir umur tidak ada yang tahu, jadi ingin berbuat baik selalu, berprasangka baik, ingin bermanfaat, ingin membuat senang orang – orang sekitar, selalu memaksimalkan apa yang saya lakukan dan kerjakan, memaksimalkan waktu bersama keluarga. Saya tidak pernah tahu apa yang akan terjadi sedetik kemudian.
Tapi yang saya rasakan tentang dibayangi ketakutan menerima berita duka selama 9 tahun ini, hidup saya jadi berat secara mental. Lelah. Saya berjuang keras keluar dari bayangan ini. Berusaha keras untuk lepas dari rasa takut. Meminta bantuan professional, sudah beberapa kali saya lakukan selama 9 tahun ini. Segala cara sudah saya lakukan. Selama ini, semua saya pendam sendiri. Hampir tidak pernah saya ceritakan perihal yang mengganggu hidup pada siapapun (kecuali pada professional tersebut), termasuk suami.
Sampai setahun lalu, tepatnya bulan November, saya ceritakan semuanya perihal ini pada suami. Dia terkejut karena selama ini saya nampak baik – baik saja. Tidak pernah terbersit saya menyimpan beban yang sebegitu berat. Saya simpan sendiri dan berlaku seperti tidak ada apa – apa. Saya tidak ada maksud menyembunyikan apapun pada suami karena menurut saya ini bukan hal yang besar. Saya pikir karena saya sudah pernah melakukan terapi, konseling, dan seiring berjalannya waktu, akan semakin berkurang dan hilang. Tapi setahun lalu, ketakutan ini semakin menjadi. Saya jadi sering menangis, perasaan jadi semakin gelap, semakin takut kalau orang terdekat, teman, keluarga dekat tiba – tiba meninggal. Semakin gampang cemas, jantung gampang berdebar. Ketakutan yang sampai mengganggu aktifitas harian, makin sering mimpi buruk, tapi kok ya anehnya selera makan saya tidak berubah. Tetap doyan makan.
Saya ini mendem njero kalau kata orang Jawa. Ada hal – hal yang bisa saya ceritakan, ada banyak hal yang saya pikir lebih baik saya simpan sendiri. Itu kenapa saya tidak terlalu punya banyak teman karena saya tidak terlalu suka bercerita yang macam – macam dan kumpul – kumpul. Dengan suami, saya bisa bercerita banyak hal, semuanya.
Saya susah menjelaskan lewat tulisan sebenarnya apa yang saya alami dan rasakan ini. Semoga gambaran yang saya uraikan di atas bisa ditangkap, sedikit ada bayangan. Setahun ini, kabar duka seperti bertubi datangnya. Saya seperti orang linglung setiap menerima kabar duka apalagi dari mereka yang saya kenal dekat. Apalagi membaca berita yang berkaitan dengan Pandemi. Itulah kenapa saya sangat menyibukkan diri supaya pikiran saya tidak hanya fokus pada hal – hal yang menyangkut kematian. Aktifitas harian saya sebenarnya sudah padat, tapi tahun ini semakin saya tambahi supaya lebih padat lagi. Saya melakukan apapun yang ingin dilakukan supaya pikiran tidak fokus pada satu hal itu. Ada masanya juga saya menarik diri sejenak dari media sosial, untuk menenangkan diri. Ada masanya saya aktif lagi. Jadi saya ikuti saja maunya hati bagaimana. Setelah dipikir lagi, tulisan saya tahun ini pun kayaknya temanya gelap. Banyak cerita sedihnya.
Pandemi sialan ini, makin membuat mental saya berjalan tak tentu arah. Saya bisa bilang bahwa tahun ini saya tidak baik – baik saja, secara mental. Badan saya sehat, jiwa saya tidak. Sebenarnya selama 9 tahun terakhir inipun saya juga tidak baik – baik saja, berjuang merelakan kepergian Bapak dan berjuang keluar dari perihal berita duka. Tapi setahun ini, semakin tidak baik. Saya memutuskan untuk menulis di sini pun sudah saya pikirkan berulang. Saya menulis juga salah satu sarana terapi diri.
Saya selalu merasa terharu kalau ada yang berkirim pesan : Den, gimana kabarnya, sehat, baik – baik saja? Mata saya selalu berair membaca pesan singkat itu, dari siapapun. Terutama setahun terakhir ini. Merasa tulisan satu baris tersebut sangat bermakna. Terima kasih pada siapapun yang telah bertanya kabar dan berkirim pesan pada saya selama ini. Terima kasih.
Ada sebuah toko yang selalu saya datangi untuk membeli kartu ucapan. Seringnya, yang saya beli di sana adalah kartu ucapan selamat ulang tahun, kelahiran, dan ucapan Natal serta tahun baru. Setahun ini, saya ke toko itu seringnya membeli kartu ucapan duka cita.
Sebulan terakhir, saya menerima kabar duka dari 10 orang : kerabat, teman, kenalan, teman dekat, bahkan sahabat. Mereka kehilangan Ibu/Bapak/Suaminya. Hati saya pedih sekali. Bahkan beberapa teman di sini kehilangan Bapak/Ibunya di Indonesia tapi tidak bisa pulang ke Indonesia karena Pandemi. Saat saya menuliskan kartu ucapan bela sungkawa, saya menulis sambil menangis. Perih rasanya hati saya membayangkan mereka tidak bisa bersama Bapak/Ibu untuk terakhir kali, bahkan tertunda pulang ke Indonesia.
Kemarin, saya ke toko tersebut untuk kedua kalinya dalam sebulan ini. Membeli 3 buah kartu ucapan duka. Saat memilih kartu di rak, mata saya berair. Saya tidak kuasa menahan tangis. Dalam waktu seminggu, beruntun 3 kabar duka saya terima. Terakhir yang saya terima beberapa hari lalu dari sahabat yang Ibunya meninggal. Patah hati ini karena saya mengenal Beliau. Kami bersahabat selama 21 tahun, jadi keluarga dia sudah saya anggap keluarga sendiri karena kami sama-sama kenal dekat. Saya benar – benar berduka. Berat rasanya hati, sangat pedih.
Ketika membayar, kasir menghitung jumlah kartu yang saya beli. Lalu dia berucap : Gecondoleerd, sterkte! – Turut berduka cita. Yang kuat ya. Untung pakai masker, jadi dia tidak tahu kalau saya sudah sangat menahan tangis. Saat berjalan kaki pulang ke rumah, saya sudah tidak sanggup menahan air mata. Rasanya sedih dan perih yang ada di hati. Saya berucap dalam hati : Tuhan, tolong cukupkan sampai di sini berita duka yang saya terima. Cukup, ini sudah terlalu banyak. Tolong berikan kesehatan yang baik dan keselamatan buat kami semua. Tolong bantu kami melewati pandemi ini Tuhan. Tolong kuatkan saya juga saat menerima berita duka. Tolong. Ini tidak mudah buat saya.
Untuk siapapun yang sedang berduka, berkabung, doa saya bersama kalian. Semoga dikuatkan. Turut berduka cita.
Semoga kesehatan yang baik selalu menyertai kita semua dan keluarga.
– 11 Desember 2020-
Hi Deni,
Happy new year! Turut berduka cita atas semua kehilanganmu. Stay well and strong ya Den, my best and warmest regards from Switzerland. Malikah.
Hai Malikah.
Terima kasih 🙂 Selamat tahun baru juga buatmu ya. Sehat selalu dan stay safe di sana.
Dear Mbak Den, sekali lagi aku turut berduka cita, ya. Makasih udah mau terbuka di blog tentang ini, ngga semua orang nyaman dan berani. Kadang kekhawatiran yang berlebihan itu emang ngga bisa dihindari, apalagi kalau suasana lagi kayak gini (pandemi, winter, dll), dan kita jauh dari keluarga di Indonesia. Semoga selalu dikuatkan ya, Mbak. Dapet support dari keluarga dan orang-orang terdekat. Kalau butuh rumpi atau ngobrolin yang receh sejenak boleh senggol-senggol di Twitter lho 🙂
Hai Ananti, terima kasih ucapan belasungkawanya ya 🙂
Semoga kita sama2 dikuatkan yaa. Sehat jiwa raga.
Peluk mbak Deny… Turut berduka ya mbak den… Semoga selalu kuat dan keadaan cepat membaik.
Amiin. Terima kasih ya 🙂
Ouwh Den… peluk erat
Aku sebagai orang rantau kayaknya mengerti deh perasaan takut akan berita duka. Beberapa kali ini terjadi, sungguh bingung bagaimana caranya berduka sementara kehidupan di sekitar kita berjalan seperti biasa.
Semoga kita semua dan orang-orang terkasih diberi kesehatan dan dikuatkan selama masa pandemik ini ya. Masa yang sulit, aku semakin kekurangan kesibukan untuk distraksi dari pikiran-pikiran kelam. Tapi semoga kita keluar dari masa ini dengan kekuatan.
Terima kasih Dita 🙂
Sehat2 selalu kalian di sana ya. Stay safe dan semoga keadaan ini segera membaik.
Makasih sharingnya, Den..dan turut berduka cita atas semua kehilangan yang Deny rasakan.. Jujur setahun belakangan ini, aku juga sebenarnya lagi down banget, walaupun mungkin di luar orang orang melihatnya aku baik baik saja..apalagi aku juga orangnya kayak Deny, yang lebih suka memendam perasaan sendiri. Tapi belakangan, aku mulai ngungkapin apa yang aku rasain ke orang lain, biar orang lain juga ngerti kalau aku kadang juga ga baik baik aja. Semoga ga ada berita duka lagi yang Deny terima dalam waktu dekaj
Membicarakan ttg kematian dg teman atau saudara dianggap terlalu mengerikan, tabu, jadi aku simpan sendiri saja atau nulis di jurnal. Gecondoleerd den, sterkte.
Hai Ruru, terima kasih. Sehat2 selalu yaa di sana 🙂
Terima kasih Inong sudah membaca dan menyempatkan menulis komen 🙂
Semoga kamu makin dikuatkan ya Inong dan semoga apa yang terjadi padamu sekarang perlahan berlalu dan berganti hal – hal yang menggembirakan. Sehat2 selalu di sana.
Aamiin, makasih doanya Den 🙂