Berawal dari cuitan akun @shitlicious di twitter yang sliwar sliwer, mempertanyakan : “perkataan apa yang menyakitkan dari orang lain tapi malah membuat bangkit?” Awalnya saya sudah mengetik jawabannya, maksudnya ikutan nimbrung. Tapi setelah diketik, lalu saya baca lagi, menjadi ragu. Akhirnya tersimpan di draft. Sehari kemudian, saya memutuskan untuk mengunggahnya. Kenapa saya sempat ragu? karena melibatkan orang dari masa lalu yang ucapannya masih teringat sampai sekarang.
Tidak disangka, dari yang hanya sekedar berbagi cerita, kok responnya dari warga twitter diluar dugaan, sampai lebih dari seribu (per tanggal tulisan ini diunggah). Saya mendapatkan banyak sekali tanggapan yang positif, juga banyak yang berbagi kisah nyaris sama dengan yang saya alami, bagian diremehkannya. Silahkan baca komen-komen dari cuitan saya (akunnya silahkan cari sendiri *haha sok misterius). Akan banyak sekali cerita-cerita yang miris. Tentang betapa orang gampang sekali melontarkan ucapan atau komentar tidak baik. Jumlah karakter di twitter terbatas, karenanya saya menuliskan secara singkat dan garis besar saja di sana. Kenyataannya lebih pilu dari yang saya tuliskan. Saya jadi ingin menuliskan secara lengkap kisah 18 tahun lalu.
Alkisah, tahun 2000 saya mempunyai hubungan dengan mahasiswa S2 satu kampus tetapi berbeda jurusan. Status saya waktu itu mahasiswa D3. Kenal dia sebenarnya sejak saya masih SMA. Singkat cerita kami dipertemukan kembali oleh jalan hidup, di satu kampus lalu hubungan menjadi lebih serius. Saya tidak menceritakan secara rinci ya tentang hubungan saya dengan dia, wong sudah masa lalu. Saya hanya mau menceritakan yang berhubungan dengan apa yang tertulis di akun twitter.
Singkat cerita, Sang Ibu tidak setuju dengan hubungan kami. Ibu dia, bukan Ibu saya. Tahun 2001, terjadi sebuah percakapan antara saya dan Si Ibu, lalu ada sebuah perkataan yang tidak bakal saya lupa sejak saat itu sampai kapanpun, “Kamu kan kuliahnya D3, tidak cocok dengan anak saya yang lulusan S2. Ya minimal anak saya dapat dokter lah supaya setara dan selevel.” Saat si Ibu mengatakan tersebut, posisi anaknya memang sudah akan lulus S2. Buat saya, perkataan tersebut benar-benar menyakitkan. Seolah D3 tidak ada harganya, tidak setara, dan tidak selevel. Si Ibu juga tidak pernah menanyakan rencana ke depan saya seperti apa, seolah-olah saya tidak punya rencana untuk menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Yang membuat saya tidak lupa adalah bagaimana Beliau meremehkan D3 saya.
Singkat cerita (haha memang sengaja ceritanya disingkat-singkat ya, karena kalau dijabarkan akan menjadi curhatan masa lalu), setelah lulus D3, bekerja sebentar lalu saya melanjutkan lagi ke S1. Lulus S1 saya bekerja di dua PMA di kota berbeda selama 8 tahun, lalu melanjutkan kuliah S2 setelah mengundurkan diri dari pekerjaan yang terakhir di Jakarta.
Tahun 2015 awal, saya dinyatakan lulus S2 setelah sidang tesis yang lumayan tidak terlalu rumit (tapi proses menyusun tesisnya, ampun dije sampai ingin dadah dadah ke kamera saking rumit bin ruwet). 3 minggu setelah sidang dan dinyatakan lulus, saya akan berangkat ke Belanda untuk tinggal menetap. Seminggu setelah lulus S2, karena sebuah urusan, saya pergi ke salah satu RS. Kok ya mak bedundug mak jegagik setelah 14 tahun tidak bersua, saya papasan dengan si Ibu di sana. Beliau yang menyapa saya duluan (heran kok masih ingat, padahal saya sudah berjilbab, sudah beda penampakan. Terakhir ketemu Beliau, saya pake celana jeans, kaos lengan pendek dan berambut pendek) :
Si Ibu : Mbak, Apa kabarnya? Kerja di mana sekarang?
Saya : Kabar baik Bu. Saya baru saja lulus S2.
Si Ibu : Wah, lulus S2 ya. Sambil kerja atau bagaimana?
Saya : Saya kuliah dan kerja sambilan paruh waktu, karena kuliahnya siang.
Si Ibu : Main-mainlah ke rumah, ketemu (menyebutkan nama anaknya), mungkin kalian akan berjodoh lagi.
Saya : Saya sudah menikah Bu. Suami saya juga lulusan S2.
—– hening. Si Ibu tidak berkomentar. Lalu saya lanjutkan :
Saya : Sebelum kuliah S2, saya 8 tahun bekerja di PMA. Setelah ini saya akan tinggal di Belanda mengikuti suami. Jadi, saya tidak bisa main ke tempat Ibu. Maaf Bu saya masih ada urusan. Saya duluan.
Saya lalu pamit setelah mengucapkan salam. Pertemuan yang sangat tidak disangka. Bayangkan, setelah 14 tahun lamanya setelah perkataan Beliau yang tidak mungkin akan terlupakan, seperti sudah diatur Yang Kuasa, kami dipertemukan kembali. Karena mumpung ketemu itulah saya jadi mendadak congkak hahaha. Aji mumpung kan ya, makanya saya ucapkan juga kalau suami saya lulusan S2 -yang pada kenyataannya waktu itu masih nyusun tesis dan baru sidang 6 bulan kemudian :))- Tidak lupa saya sertakan kalau akan pindah ke Belanda, jadi saya tidak bisa main ke rumahnya yang beda kota dari kota tempat kami papasan.
Saya memang tidak akan lupa apa yang Beliau ucapkan, tapi saya tidak dendam. Hanya tidak akan bisa saya lupakan. Motivasi saya kuliah S2 juga bukan karena ucapan Beliau. Saya kuliah S2 karena ingin dan ada kesempatan. Bukan karena ingin membuktikan ucapan beliau salah, wong setelah itu kami tidak ada komunikasi lagi. Kalaupun ternyata suatu hari dipertemukan kembali pada saat yang tepat, pasti memang sudah direncanakan seperti itu oleh Yang Kuasa. Semoga Beliau ingat dihari saat meremehkan D3 saya dan tahu bahwa tidak sepantasnya mengeluarkan perkataan tersebut. Yang saya ucapkan pada saat bertemu Beliau bukan dalam rangka balas dendam. Saya hanya mengatakan fakta, bahwa perempuan yang 14 tahun lalu berpendidikan D3 dan Beliau bilang tidak setara dengan anaknya yang level S2, saat bertemu kembali sudah menyelesaikan S2 dan mempunyai suami (akan) lulusan S2 -tapi bukan anaknya-.
Selama hidup, saya sering mendapatkan respon yang meremehkan. Entah karena pembawaan saya yang tidak meyakinkan untuk berprestasi atau saya yang terlalu selengekan jadinya sering disepelekan. Seiring berjalannya waktu, toh pada akhirnya saya bisa membuktikan pada diri sendiri bahwa apa yang mereka sangkakan tidaklah terbukti, bahkan bisa jauh melampaui dari apa yang mereka ucapkan. Maklum, jiwa tidak suka dipandang sebelah mata jadi muncul kalau ada yang meremehkan.
Satu tambahan cerita saat saya bekerja. Ada satu kolega yang selalu bilang kalau saya tidak akan berhasil naik jabatan karena saya nampak biasa-biasa saja dan tidak cemerlang. Ditambah lagi, menurut dia naik jabatan di kantor tersebut susah. Dia menyebutkan buktinya dia sendiri, sudah lama di sana tapi posisi tetap sama. Saya tidak mendengarkan perkataan dia meskipun ya kesel juga kok diremehkan seperti itu. Saya bekerja seperti biasa, sebaik-baiknya. Singkat cerita, selama 7 tahun di sana, yang awalnya masuk sebagai staff, setiap tahun mendapatkan promosi karena kerja keras terbaik membuahkan hasil. Sewaktu saya mengundurkan diri untuk melanjutkan kuliah, posisi saya jauh di atas dia. Hal tersebut membuktikan, dia meremehkan saya tidak bisa naik jabatan, toh nyatanya kalau bekerja sebaik-baiknya, pihak managemen akan melihat dan menilai dengan adil. Berarti ya dia sendiri yang tidak kompeten untuk bisa naik jabatan.
Yang ingin saya sampaikan dari tulisan kali ini, berhati-hatilah dalam melontarkan ucapan atau komentar. Jika tidak bisa mengucapkan yang baik-baik, lebih baik diam saja. Bisa jadi yang kita ucapkan tidak baik dan meremehkan, akan diingat sepanjang masa oleh pihak yang menerima komentar. Tahan lidah dulu dan pikirkan lagi kalau ingin berkomentar. Kalau di dunia maya, tahan jempol dulu dan pikirkan berulang sebelum diunggah, apakah kedepannya akan membawa kebaikan atau justru keburukan, ada manfaatnya atau tidak. Peristiwa yang saya alami dengan si Ibu memberi pelajaran berharga bahwa memang tidak seharusnya meremehkan orang berdasarkan status sosial, jenjang pendidikan, atau apapun itu. Intinya, jangan gampang meremehkan atau merendahkan orang lain karena menilai diri sendiri terlalu tinggi.
Kita tidak tahu takdir kedepan seperti apa. Jalan hidup orang tidak bisa tertebak. Siapa tahu yang diremehkan di masa lalu, jadi sukses di masa depan dengan jalan yang dipilihnya, meskipun tetap terngiang selalu perkataan yang terlontarkan belasan tahun lalu. Bukan menyimpan dendam, hanya tidak bisa melupakan.
Bijaksanalah menggunakan lidah dan jempol kita.
-8 Desember 2019-
Ada yang mempunyai kisah serupa dengan saya atau hampir mirip atau malah pernah menjadi pihak yang melontarkan omongan kurang menyenangkan?
Ada banyak sih cerita diremehkan, tapi kok malah keingatnya sakit hatinya doang terus jadi menjauh ke orang yang ngeremehin ya hehehe. Terakhir kali diremehkan malah masih da kekerabatan. Bandingin kalau keluarga dia punya gelar dan keluarga ortuku yah gitu saja. Mentang-mentang di keluarga dia ada yang baru dapat S3. Padahal yang ngeremehin juga S1, yang mana di keluargaku juga banyak. Dan dia S1nya nggak pernah dipakai kerja, jadi no professional experience sama sekali sampai tua sementara di keluargaku yang S1 pada punya pengalaman kerja. Cuma bisa senyum kecut sih waktu itu. Terus bilang ke diri sendiri udah ah nggak usah dekat-dekat saja hahaha.
Betul. Mending menjauh daripada selalu mendengarkan hal-hal negatif. Akupun begity, menghemat tenaga.
Wah terimakasih kisahnya mbak. Motivasi saya buat ngak nyerah lanjut kuliah lagi
Saya baru dua tahun lulus dan sempat pengen nyerah karena status breadwinner, dikatain org terdekat saya (masih bagian dari keluarga saya) ‘orang yang ngak punya keberuntungan’ — dan emang saya ngak pintar2 amat I won’t let them make me down
Ditunggu cerita2 sepanjutnya
Semangat! Jangan pantang menyerah karena perkataan orang lain yang menjatuhkan. Yang tahu kemampuan dan kemauan adalah diri kita sendiri. Yang nggak pinta pintar amat belum tentu di masa depan akan tetap nggak pintar pintar amat. Semua tergantung niat.
Wah postingan komenku hilang. Banyak yang dihina tapi belum dapat kesempatan untuk mengucapkan kata-kata seperti itu terhadap yang meremehkan. Positifnya mereka termotivasi jd maju, negatifnya mereka ada amarah yg belum dikeluarkan. Mba Den beruntung dua kali, satu karena ada kesempatan mengucapkan itu secara langsung. Dua, karena nggak jadian dengan anak si ibu. Belum jadi mertua saja sudah begitu, gimana kalau sudah berumah tangga? Ramai amat di twitter nggak ada yang mau mutualan?
Gara2 ramai di twitter, jadi nambah banyak follower (yang malah bikin ga bebas berekspresi :D)
Iya, jadi bersyukur ga jadi sama anaknya.
“Tinggal elu nih di geng kita yang belum nikah.”
Wadidaw. ingin kubales, keknya kita bukan geng kalo situ nyinyirnya berasa nitijen. bukan temen segeng.
ku menyimpen kekesalan namun tidak dendam, sungguh. ga pernah ngedoain apa apa juga. cuma melengos dalem ati.
2 tahun kemudian, yang ngomong dikasih ujian rumah tangga hingga berencana untuk berpisah. >,<‘
Wihhh teman se geng kok gitu amat ngomongnya. Di geng kami, ga pernah ada yang membahas tentang pernikahan. Ya buat apa, nikah lalu punya anak kan pilihan.
Wah, jadi banyak belajar ya kalau gitu. Lebih baik diam daripada ngomong yang menyakitkan. Semoga temanmu mendapatkan jalan yang terbaik.
Top banget mba ketawa kejam
Kesimpulan nomor dua, anaknya si ibu itu sampai saat itu juga ternyata masih lajang >_< nah jangan-jangan juga karena ibunya seperti itu lidahnya. Aku kasihan deh sama (calon) menantunya.
Yang bikin saya penasaran itu kenapa ya kok banyak orang kalau bicara itu enggak mikir perasaan orang lain. Apakah mereka tahu tapi tidak peduli, atau memang tidak tahu?
Haha aku no comment tentang anaknya, meskipun tahu kabar terkini.
Atau mungkin buat mereka biasa aja, ga sampai mikir bahwa itu akan menyakitkan lawan bicara. Kurang terasah empatinya kurasa.
LOVE IT.
Soal yang naik jabatan itu juga kejadian. Er, bukan naik jabatan, tapi pindah dari frontliner ke staf. Sejak awal udah dibayang-bayangin, “susah jadi staf, mesti blablabla” eeh setahun doang dong aku dipindahin ke belakang sampe-sampe teman senagkatan ada yang serius banget nelepon dan nanya, “Yan, kamu ada kenalan siapa di dalem?”
Lol.
Aku ngebayangin muka si ibu cemmanalah itu ya saat dibilangin mau pindah ke Belanda hwhw
Terima kasih OmNduut sudah mampir baca dan meninggalkan komen 🙂
Duh paling kesel banget tuh kalau naik jabatan atau pindah divisi yang lebih baik lalu ditanya kenal orang dalam. Kayak kita ga punya kemampuan aja sampai mengandalkan orang dalam.
Aku lupa sebenarnya muka Ibu setelah aku ngomong mau pindah ke Belanda. Karena buru2 pamit, takut makin congkak akunya kalau berlama2 di sana hahaha.
Suka banget baca posting ini, setelah membaca ringkasannya di twitter. Memang ada rasa kepuasan tersendiri ya kalau bisa membuktikan keberhasilan kita pada orang orang yang meremehkan kita
Sebenarnya aku ga ada niatan untuk membuktikan apapun kepada siapapun. Tapi karena dipertemukan dengan tidak sengaja (macam cerita2 di sinetron), jadilah memanfaatkan kesempatan buat congkak haha