Sebenarnya dari dulu ingin menuliskan topik ini karena beberapa kali mendapatkan komentar yang berhubungan dengan hal ini. Sengaja saya tidak menggunakan judul Bule karena sejak dulu tidak mau numpang beken dengan menggunakan kata tersebut. Tidak mau menggunakan embel-embel Bule supaya terkenal. Biarlah saya terkenal karena usaha sendiri *huwopooo ae.
Jadi begini, beberapa kali di blog dan di twitter saya mendapatkan komentar tentang beruntung dapat suami bule. Kata mereka, punya pasangan bule itu tiap saat pasti romantis dan mereka membaca dari cerita saya di blog atau beberapa cuitan di twitter yang disimpulkan rumah tangga saya adem ayem saja. Jadi ada beberapa yang minta dicarikan bule untuk dijadikan pasangan (entah pacar atau untuk status pernikahan).
Begini ya, yang namanya rumah tangga itu pasti ada saja celahnya untuk tidak adem ayem. Dua kepala yang tiap hari bertemu satu rumah ya pasti ada saja berselisihnya. Dari hal kecil sampai hal kecil yang dibesar-besarkan. Mau menikah dengan yang sama sebangsa ataupun yang tidak sebangsa, kemungkinan untuk berbeda pendapat dan bertengkar, akan selalu ada. Bule romantis? tergantung definisi romantis seperti apa. Setiap orang pasti punya standar romantis yang berbeda. Buat saya, romantis itu kalau suami pulang dari belanja lalu bilang dia tidak lupa membelikan cabe, tempe, dan tahu. Itu menurut saya romantis karena dia mengingat fovorit istrinya dan membelikannya tanpa saya minta. Jadi merasa dia mengingat saya setiap melihat cabe haha.
Kalau memberikan bunga, mungkin buat orang lain romantis, tapi buat orang Belanda itu sudah jadi hal yang biasa. Saya tetap senang kalau diberikan bunga oleh suami. Tetap ada rasa kupu-kupu di perut jika dikasih bunga. Tapi buat saya bukan masuk definisi romantis. Mungkin jika patokan romantis seperti yang ada di film-film, saya rasa pria Indonesia juga banyak yang romantis. Jadi, jangan dijadikan patokan jika setiap Bule pasti romantis.
Kembali ke pembahasan rumah tangga yang nampak adem ayem. Alhamdulillah kalau ada yang berpikir seperti itu dan saya amini sebagai doa. Saya tidak pernah mau membawa apapun permasalahan yang terjadi di rumah sampai ke luar rumah. Apa yang terjadi di rumah, kami selesaikan di rumah. Tidak perlu dunia tahu apalagi diumbar ke media sosial. Saya selalu ingat perkataan Ibu : simpan baju kotormu di rumah, tidak perlu tetangga dan saudaramu tahu. Sejauh ini, wejangan itu yang selalu saya ingat dan suami satu pemikiran. Saya menceritakan hanya yang ingin saya ceritakan di blog atau di media sosial. Selebihnya, biarkan jadi ruang privasi saya. Jikapun mungkin ada masalah, kami akan menyelesaikan sendiri, tidak perlu seluruh lapisan masyarakat berperan di dalamnya. Lha wong kami ini bukan orang terkenal, buat apa woro-woro, ya tho? Jika tidak bisa menyelesaikan sendiri, kami akan minta bantuan professional. Sebisa mungkin tidak melibatkan saudara apalagi teman, supaya tidak ada keberpihakan. Apalagi sampai dijadikan status di media sosial, buat apa. Malah saya pikir jadi membuat banyak orang bersorak sorai. Saya tidak bisa mengontrol apa reaksi orang, tapi saya bisa mengontrol apa yang perlu saya bagikan. Semakin bertambah umur, semakin saya berhati-hati dengan yang namanya kecepatan jari.
Setiap rumah tangga punya rambu-rambu dan tidak bisa disamakan dengan yang lainnya. Kepentingan juga berbeda, sehingga aturan yang dibuat juga disesuaikan kondisi yang ada. Yang penting dibicarakan sama-sama dan disepakati bersama supaya menjalani dengan bahagia. Tidak ada yang paling sempurna. Hidup memang sawang sinawang. Orang melihat kawin dengan bule kok terlihat bahagia, padahal ya jatuh bangunnya selalu ada. Hanya kami memilih untuk tidak berbagi bagian jatuh ndelosornya. Bukan untuk pencitraan, bukan untuk menampilkan yang baik-baik saja. Kembali lagi, saya hanya ingin berbagi yang ingin saya bagi. Jika dari yang membaca blog ini ada yang mengikuti akun twitter (atau FB) saya, tahu jika saya jarang sekali berbincang hal-hal yang menyangkut suami (atau keluarga kami). Saya saling follow dengan suami di twitter, tapi kami tidak pernah saling “berbincang” di media sosial. Lah yo buat apa tho, wong satu rumah. Malah nampak aneh kalau segala sesuatunya dibicarakan lewat media sosial padahal tidur juga sebelahan. Eh, tapi ini menurut saya lho ya, kalau berbeda dengan yang lainnya ya monggo tidak masalah.
Bule itu juga manusia biasa. Sama saja dengan segala bangsa di dunia ini. Ada yang baik, ada yang blangsak. Ada yang mampu mengingat setiap tanggal bersejarah, ada yang ingat nama lengkap pasangannya saja sudah untung. Banyak yang pinter, yang tidak pintar juga tidak kalah banyak. Ada yang anti air, ada yang ketetesan keringet sebiji aja langsung mandi. Ada yang pintar masak, ada yang lebih baik istrinya saja yang masak daripada dapur berubah kayak Pasar Gembrong. Yang penting, sebelum memutuskan melangkah terlalu jauh untuk berkomitmen yang serius, ditinjau dulu segala sesuatunya, jangan silap mata dengan status bule. Ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan sebelum melangkah untuk serius.
Jangan berpikir tentang setiap hari akan dapat bunga dan lantunan puisi. Mungkin memang ada yang tipe seperti itu, tapi prosentasenya saya yakin tidak banyak. Jangan berpikir semua bule pasti cakep. Yang tampang pas-pasan juga luber ke mana – mana. Sama saja intinya. Di Indonesia juga ada NicSap yang cakep tho *Loalaahh mbak, ga iso mup on teko mas iku. Jangan berpikir nikah dengan Bule hidup pasti terjamin. Ingat, seperti halnya semua bangsa, tidak semua bule punya harta berlimpah. Yang pas-pas an juga tak kalah banyaknya. Belum lagi perjalanannya panjang dengan sederet dokumen yang harus dipenuhi. Jika memutuskan pindah negara, sudah siap kalau pas kangen ingin makan tempe tapi ga ada yang jual tempe? Sudah siap ngonthel sepeda ditengah hujan salju? siap lapar tengah malam pengen makan sate tapi yang ada roti dingin?
Rawat tanaman di halaman sendiri supaya tetap segar dan menarik dilihat. Kalau tidak punya tanaman, ya rawat apa yang ada. Sesekali nengok halaman tetangga ya tidak apa-apa, siapa tahu mendapatkan inspirasi, atau malah berjodoh dengan tetangga. Berjodoh dengan siapapun, jangan jadikan kewarganegaraan tertentu untuk dijadikan patokan, apalagi sampai niat untuk memperbaiki keturunan. Lha memang keturunannya yakin baik kalau nikah dengan yang berbeda warna kulit? kalau tidak sesuai yang diharapkan, lalu bagaimana? kalau pasangannya tidak mau berketurunan, lalu bagaimana?
Banyak hal yang perlu dipikirkan lebih panjang, bukan hanya sekedar bule. Mereka juga manusia biasa, yang punya kelebihan dan kekurangan. Mereka manusia biasa, bukan dewa, jadi tak perlu didewa-dewakan.
-12 Juni 2020-
Bener banget ini mbak. Mau numpang komen ya. Pacaran/partner an sama orang yang tinggal di Belanda menurutku ga enak di bagian background pemikiran kita. Apalagi untuk hal yang boleh dan yang gak boleh. Orang sini kan kebanyakan menjunjung tinggi kebebasan ya, jadi opininya tentang hal2 sensitif kadang bisa berbeda dengan aku yang dulu tinggal di negara yang kalo sekalinya ga boleh, bakal langsung stigma gak boleh dan dosa banget.
Contoh kecilnya adalah ganja. Disini selain ditoleransi, masyarakat bisa dapat info selengkap mungkin tentang ganja, keputusan mau konsumsi atau nggak, terserah dia. Sementara di Indonesia ganja dianggap sebagai narkoba jahat perusak moral bangsa dan ngga ada ruang aman untuk belajar tentang pro-kontra ganja secara obyektif. Ini pengalaman dan cara liat aku aja sih.
Iya, latar belakang berbeda cara berpikir memang adaptasi yang ga bakalan berhenti. 6 tahun lebih bersama suami, aku juga masih meraba2 cara pikir dia gimana, sebaliknya juga. Akhirnya balik2 ke kompromi.
Setuju banget Deny. mereka sama kayak kita juga.. Banyak yang suka bilang, waduh enak poll.. MInta dikenalin bule juga yah ada.. Yang dipikir enak2nya aja.. Suka kubilang ” lihat di sosmed, semua pencitraan, termasuk aku juga gitu kok ” hahaha..
Hahahaha Toss! ya ngapain juga bagian bertengkarnya musti diceritakan ya ga. Sudahlah kita bad mood pas bertengkar, diceritakan di media sosial malah makin jelek suasana hati. Makanya simpan yang jelek2, ceritakan yang baik2 supaya hati juga ikutan senang.
Bener banget Mba Den masalah bunga dibilang romantis. Padahal ngasi bunga hal biasa bukan semata2 karena romantis semata. Masalahnya disini wong di supermarket aja jualan bunga, kalau mau beli pas sekalian belanja ya biasa. Suami juga pulang habis belanja, sambil bawa bunga bukan karena romantis tapi karena ngerasa vas bunga di rumah kok kosong. Hehe.
Iya, di Belanda beli bunga kayak beli beras, saking sudah kayak kebutuhan. Biar rumah berwarna. Jadinya kita terbiasa.
Menarik. Mereka memang manusia biasa, sama kayak kita. Paradigma masyarkat saja yang terlalu berpikir bahwa mereka “wah”. Tinggal di luar negeri setahun sudah cukup bagi saya untuk membuka wawasan tentang teman2 dari berbagai dunia. lol. terimakasih postingannya mba
Terima kasih sudah membaca. Mengenal banyak orang dari berbagai latar belakang, lebih membuka mata ya.
Saya suka sekali dengan kata-kata ‘‘rawat tanaman di halaman sendiri“. Memang kalau masalah pasangan, pada akhirnya kita yang paling tahu satu sama lain.
Kalau masalah per-Bulean, sepertinya ada kaitan historis dengan cara kita dari dulu memandang bangsa Belanda. Jadilah sampai sekarang banyak orang masih memandang tinggi bangsa asing, terutama yang dari barat (Bule).
Bener. Memandang lebih tinggi yang berkulit putih. Hasil dari masa lampau yang masih tertanam sampai saat ini.
Iya bener, definisi romatis beda-beda. LDMan trus kebanyakan nonton drakor, aku bilang ke suami pengen makan bareng. Karna secara fisik ga bisa, aku bilang pas sama2 makan aja video call. Aku udah lupa tuh kalo tadi ngomong gitu, trus suamiku call pas dinner, jadi makan bareng deh 😀 Dan aku baru nyadar pas makanannya udah pada mau habis 😆
Dia suka sok2 cool ga dengerin apa yg aku bilang, tp dilakuin :”)
Kalian sweet sekali. Sehat2 selalu yaa. Mudah2an keadaan ini semakin membaik. Kalian bisa kumpul kembali.
Mbak Dennnnn, hahaha. Aku nahan ngikik jam 3.30 pagi membaca postingan ini. Gongnya adalah: berjodoh dgn tetangga, eeaaaa eeaaa eaaa…… (ala penonton Tukul). Jd teringat ceritaku sendiri yg ttg jodoh. Nyari jodoh kesana kemari, eh taunya suatu saat penghuni kantor tetangga datang ke ruanganku di SMA itu. Jrenggg…. singkat kata singkat cerita, ya akhirnya nikah. Kantor tetangga ini maksudny bukan sekolah sebelah; tp si abi dulu pas ngajar, ruangannya dia ngajar & nongkrong, beda sama ruang guruku. Kepisah lapangan bakset eh basket gitu
Alhamdulillah lek menghibur pembaca haha. Lha iyo, kadang ndakik2 pengen jodoh kriteria A-Z, padahal sebenarnya A-D ae wes cukup. Yo impian ga apa, tapi ojok lali berpijak ke tanah, karena yang ngawang iku hanya kuntilanak *kok horor lha koyok dirimu contohe, leher sampai tengeng nengok kanan kiri, lha sang Imam hanya terpisah tembok semata
Allahu akbar kuntilanak, wkwkwk. Lgsg terbayang…