Hai hai saya muncul kembali setelah 2 bulan absen menulis blog. Tulisan kali ini lumayan panjang karena sangat detail. Sekalian merangkum jawaban dan tinggal copy paste kalau ada yang bertanya. Buat yang berminat membaca, siapkan waktu lebih supaya lebih menghayati cerita saya kali ini.
Untuk mereka yang bertanya kenapa saya tiba – tiba menghilang dari Twitter dan Facebook (FB), tulisan kali ini akan membahas secara tuntas pertanyaan tersebut. Kabar saya sehat wal’afiat, tidak sakit, masih hidup, berkegiatan seperti biasa (lumayan makin sibuk), dan semua baik – baik saja sekeluarga. Terima kasih untuk yang menanyakan langsung kabar saya dan keluarga. Ada yang berpikir saya sakit, ada masalah keluarga, ada masalah dengan suami, ada anggota keluarga yang sakit, atau berpikir saya sedang kesusahan sehingga tidak muncul lagi di dua media sosial tersebut. Alhamdulillah, saya dan keluarga dalam keadaan sehat, tidak ada masalah dengan suami, bugar, segar, tanpa kekurangan suatu apapun (kecuali lemak – emak di badan saya sudah lumayan banyak berkurang, Yiaayy akhirnyaa! Tunggu ceritanya ya di tulisan selanjutnya).
Sengaja memang tanpa pamitan. Pertama, karena ya apalah saya ini ya pesohor juga bukan, mau woro – woro pamitan kok ya semacam sungkan sok terkenal. Kedua, karena memang keputusannya mendadak tanpa direncanakan jauh hari, ingin melipir (entah sejenak atau dalam jangka waktu lama) dari 2 media sosial yang saya punya tersebut. Ketiga, karena saya belum tahu apakah ini sifatnya akan permanen atau sementara saja. Daripada sudah heboh pamitan ternyata besoknya balik lagi, kan kayak balik kucing namanya.
Jadi ini saya ceritakan runutannya ya, sedikit berbagi cerita dibalik mak bedundug istirahat dulu dari ramainya 2 media sosial tersebut. Saya bukan undur diri dari media sosial karena akun YouTube masih aktif dan blog juga masih terus aktif sebagai sarana menulis. Ini khusus Twitter dan FB saja. Saat tulisan ini diunggah, saya akan masuk bulan ketiga log out (bukan deactived dan juga bukan delete akun) dari Twitter dan FB, juga membuang aplikasinya dari telepon pintar. Selama saya log out, tidak pernah log in lagi atau mengintip akun yang saya punyai tersebut, tidak pernah stalking akun orang lain. Sejauh ini benar – benar tidak menyentuh (dan belum terpikir untuk menyentuh kembali) 2 media sosial tersebut.
LATAR BELAKANG (macam bikin tulisan karya ilmiah, pakai latar belakang)
Dalam hidup, saya punya prinsip, secukupnya saja. Termasuk ketika memutuskan untuk nyemplung secara sadar di dunia media sosial, saya pilih sekiranya hanya yang cocok saja. Jadi, selama ini saya tidak pernah punya akun di Tiktok, Path, Snapchat, apalagi ya saking banyaknya jenis rupa media sosial. Pernah punya akun Instagram (IG) selama 1 tahun, tapi sejak tahun 2015, akun tersebut lenyap setelah saya deactived selama 3 bulan. Saya malas tidak menelusuri lagi hilangnya ke mana, bahkan juga tidak membuat akun baru. Jadi, saya sudah tidak punya lagi akun di IG. Tanpa IG bagaimana hidup saya? Alhamdulillah sehat wal’afiat tidak kekurangan suatu apapun. Tidak merasa terbelakang ataupun kurang wawasan. Intinya baik – baik saja. Pun saya tidak ada hasrat membuat akun IG yang baru karena memang ternyata saya tidak sebutuh itu dengan IG. Hubungan saya dengan IG waktu itu ya baik – baik saja, menyenangkan, bisa dapat kenalan dan ada yang berteman sampai sekarang. Ada yang sudah menjadi mantan teman pun. Seingat saya, waktu itu IG masih belum terlalu ramai.
Twitter dan Facebook (FB), 2 akun media sosial yang lumayan aktif saya mainkan sejak punya 11 (atau 12) tahun lalu. Di FB, saya pernah deactived akun selama 3 tahun karena ingin konsentrasi belajar ujian integrasi dan setelahnya sibuk bekerja. Setelah berhenti kerja, saya aktifkan lagi akun FB, dengan alasan cari hiburan. Saya memilih mutual yang benar – benar dikenal saja, minimal pernah bertemu dalam dunia nyata. Kalau tidak salah ingat, saya membuang sekitar 400 an nama – nama di daftar mutual. Jadi di FB, mutual saya ya teman dan kenalan yang pernah saya temui dalam dunia nyata.
Twitter, lain cerita. Sejak punya, saya tidak pernah menonaktifkan media sosial ini. Terpikir untuk log out saja tidak pernah karena sangat menikmati apa yang ada di sana. Semacam saya sudah cocok di sana. Bahkan 3 tahun lalu, saya pernah membuat tulisan tentang twitter di blog ini. Silahkan bisa baca di sini jika tertarik. Saking cintanya sampai dibuatkan tulisan khusus. Interaksi di twitter selalu menyenangkan buat saya. Jadi kalau sampai saya memututuskan keluar dari twitter, pasti ada sesuatu yang besar di belakangnya. Nah, hal ini akan saya ceritakan secara rinci di bawah.
2020 adalah tahun yang spesial buat semua orang. Apalagi kalau bukan karena Pandemi. Bukan hanya kesehatan raga yang diobrak abrik, juga kesehatan jiwa yang terpengaruh oleh Covid. Termasuk saya, yang sempat mengalami masa – masa gelap dengan mental tahun lalu. Saya mencari pengalihan perhatian dengan menjadi lebih intensif bermain di twitter. Kemudian hari saya merasa malah semacam tidak bisa lepas dari twitter. Entah ini namanya kecanduan atau apa ya karena sejauh ini saya tidak pernah merasakan yang namanya kecanduan pada hal lainnya, jadi tidak bisa membandingkan. Kalau tidak membuka sehari saja, merasa ada yang kurang dalam hidup. Semacam menemukan banyak hiburan di sana. Bisa berkenalan dengan banyak orang yang punya latar belakang berbeda. Bisa membaca banyak cerita dan pengalaman yang memberikan motivasi positif. Banyak hiburan dan cerita yang lucu juga. Bukan hanya hal baik, yang tidak baik juga sama banyaknya. Intinya, tahun lalu, saya sangat menikmati interaksi di twitter. Saking “menikmati” nya, tanpa sadar ada yang tidak beres dengan diri sendiri yang saya sadari (agak telat) kok ternyata efeknya buruk ya. Awalnya saya denial merasa tidak ada yang salah antara saya dan twitter, semua baik – baik saja. Tapi lama – lama saya memang harus jujur dengan diri sendiri, memang ada yang tidak beres.
Saya di sini khusus menuliskan pengalaman tahun lalu, karena penggunaannya yang sangat intens dibandingkan tahun – tahun sebelumnya. Dan saya lebih menyorot ke interaksi di twitter dibandingkan FB karena di FB saya tidak terlalu aktif dan yah tidak ada yang spesial di sana. Penekanannya di sini adalah kurangnya kontrol diri sendiri dengan alasan ingin mencari hiburan dan mengalihkan perhatian dari rasa cemas, yang ternyata saya sadari dikemudian hari malah jadi sumber kecemasan.
Hal – hal yang saya sadari agak telat dan ternyata tidak bagus untuk mental (termasuk badan) saya karena interaksi terlalu erat di dua media sosial tersebut (khususnya twitter) saya sebutkan pada poin – poin di bawah ini :
- TERLALU BISING BUAT SAYA, UNTUK SAAT INI
Twitter tahun lalu dibandingkan tahun – tahun sebelumnya, menjadi sangatlah ramai. Mungkin karena mereka memiliki alasan yang sama dengan saya, mencari hiburan untuk mengalihkan fokus dari hingar bingar dunia yang lagi bergejolak. Awalnya saya menikmati kebisingan itu. Tapi lama – lama kok semakin melelahkan. Banyak orang jadi gampang beropini, termasuk saya. Ada yang beropini sehat, ada juga yang sebaliknya. Ada yang jadi pihak sorak – sorak bergembira, ada yang hanya sekedar pengamat tapi menikmati kebisingan itu. Kalau dianalogikan, kumpulannya terlalu padat, saya ditengah – tengah merasa tidak bisa bernafas dengan baik karena mereka yang di sana berlomba berbicara lantang ingin didengarkan tapi sedikit yang terlihat untuk bersedia mendengarkan, tertimbun mereka yang saling berbicara. Jadi saling berlomba untuk beropini.
Tidak ada yang salah, karena memang setiap orang punya hak yang sama untuk berpendapat. Hanya, ternyata saya tidak sanggup. Jadi saya memutuskan keluar dari kerumunan tersebut. Memutuskan untuk menepi dan memilih jalan yang lebih sunyi yang pada akhirnya lebih menentramkan jiwa. Saya yang secara sadar masuk dalam kerumunan tersebut, ikut berkecimpung, akhirnya secara sadar juga keluar karena ternyata tidak mampu mengontrol diri sendiri. Merasa hidup, waktu, dan pikiran terlalu terfokus di sana. Merasa ternyata tahun lalu saya menjadi susah lepas dari twitter.
- BUKAN KARENA UNGGAHAN KEBAHAGIAAN, ATAU KESUKSESAN ORANG LAIN
Alasan saya untuk rehat dari dua media sosial itu, 90% karena alasan diri sendiri, demi ketenangan jiwa dan raga dan 10% karena unggahan orang lain. Nah, saya akan bahas bagian 10% pada poin ini. Unggahan orang lain yang saya maksudkan bukanlah tentang bagaimana mereka mengunggah sukses ini itu, atau mencantumkan hal – hal apa yang mereka miliki. Bukan. Saya sudah lewat masa – masa iri karena orang lain lebih ini dan itu. Hal tersebut sudah saya lalui awal usia 30 tahun. Sekarang saya sudah pada fase ga ngefek kalau orang lain mau unggah mereka turun 30 kg, atau punya anak yang lucu menggemaskan, liburan ke A B C, bisa baking segala jenis rupa roti kue dan sebagainya, punya banyak teman, punya suami yang super romantis, punya rumah yang super kiyut atau apapun itu, sama sekali tidak mengusik iman. Sama sekali ga ngefek. Saya sudah sangat cukup dengan apa yang dimiliki saat ini, sudah sangat bersyukur. Jadi unggahan keberhasilan orang lain, tidak mengusik apapun dalam hidup. Saya tidak membandingkan hidup atau diri saya dengan keadaan orang lain. Orang ingin memperlihatkan apa yang mereka perlihatkan, sama dengan saya. Jadi, ya buat apa saya perlu membandingkan saya dengan orang lain di media sosial.
Namun, ada satu jenis unggahan yang masuk 10% menganggu dan sering membuat emosi itu : unggahan opini yang lumayan kontroversial atau yang menurut saya kok rasanya tidak masuk akal ada orang bisa beropini seperti itu. Pendeknya, opini yang tidak satu frekuensi dengan otak saya. Lalu ketika membaca komen – komen yang pro dan kontra, saya seperti tertarik masuk di dalamnya lalu ikut emosi juga. Nah, seringnya, hal ini membuat saya terlalu menjiwai apa yang terjadi di sana sampai mempengaruhi emosi dan pikiran sepanjang hari. Harusnya saya lebih bisa mengontrol diri. Harusnya. Tapi seperti yang saya bilang, kalau sudah mulai muncul suatu topik yang relevan, saya jadi tertarik untuk mengikuti secara runtun. Lalu jadi emosi sendiri, kepikiran sepanjang hari, mempengaruhi mood, dan malah jadi topik pembahasan dengan suami. Konyol parah.
Kenapa tidak dipergunakan fasilitas mute, block, dsb? Tujuan utama saya punya dan main media sosial adalah sekedar mencari hiburan, syukur – syukur kalau mendapatkan informasi yang berguna. Kalau saya merasa sudah tidak bahagia dan tidak terhibur, ya berarti sudah meleset jauh dari tujuan tersebut. Apalagi sampai diatur teknologi untuk menggunakan fasilitas – fasilitas tersebut, sungguh merepotkan. Saya tidak mau terlalu diatur teknologi. Yang bisa saya lakukan, ya keluar saja kalau sudah merasa ada yang mengganggu penggunaan saya dalam bermedia sosial. Media sosial saya menggunakan akun pribadi, bukan untuk berbisnis. Beda lagi kalau untuk bisnis, mungkin akan saya pertahankan karena sumber penghasilan saya di sana. Lah ini sudahlah ga dapat uang dari media sosial, kok ya mau – maunya saya mendedikasikan waktu dan mental di sana.
Dibuat santai saja mainan medsos, jangan terlalu serius. Sebelum tahun lalu, saya santai sekali mainan twitter dan FB. Entah tahun lalu kok jadi tidak bisa lepas begitu, ga jelas juga arah hidup saya bagaimana. Seperti mendapatkan tempat untuk menghibur diri, tapi kok ya ternyata banyak dampak tidak sehat lainnya yang menyertai. Jadinya, saya rehat sajalah. Dampaknya sudah tidak santai lagi buat mental dan raga saya.
Salah memilih yang difollow sih! Percayalah, saya follow orang – orang yang menyenangkan di twitter. Yang kebanyakan memberikan cerita dan berita yang positif. Tapi hal – hal yang negatif adaa saja yang mampir. Belum lagi saya sendiri yang cari – cari perkara mencari informasi yang ga jelas. Yo salahmu dewe!
- KEPALA TERASA SANGAT PENUH DAN TINGKAT KECEMASAN BERTAMBAH PARAH
Masih ada hubungannya dengan alasan di atas, kepala saya menjadi sangat penuh. Terlalu banyak informasi yang saya dapat, terlalu banyak pendapat yang saya baca, terlalu banyak perseteruan yang saya ikuti, membuat kepala saya menjadi sangat penuh. Benar – benar penuh sampai rasanya tidak ada ruang lagi untuk mencerna. Tidak punya ruang lagi untuk berpikir mana informasi yang benar – benar bermanfaat. Penat rasanya. Bahkan berdialog dengan diri sendiri yang dulu sering saya lakukan, tahun lalu jadi tidak sempat dilakukan. Karena kepala terasa penuh, jadi ada hal – hal yang seharusnya lebih penting masuk ke kepala, jadi tergeserkan oleh informasi yang lebih tidak penting. Jadi kepala saya terasa sesak, penuh, dan terasa pengap oleh banyaknya informasi dan hal – hal yang saya dapatkan dari media sosial.
Hal tersebut membuat rasa cemas saya semakin bertambah parah dan meningkat drastis. Saya secara sadar bahkan mencari – cari sendiri semua informasi yang ingin diketahui. Instruktur menyetir saya pernah menyarankan : Jangan terlalu banyak membaca berita, menonton TV, itu akan membuatmu jadi makin tidak tenang. Tapi saya tentu saja tidak mendengarkan sarannya. Bagaimana bisa saya tidak mengikuti situasi terkini, saya merasa kok makin gelisah kalau tidak tahu apa – apa. Itu pemikiran saya tahun kemarin. Hasilnya, rasa cemas bertambah parah, saya jadi kemrusung, overthinking, yang mempengaruhi kesehatan mental dan mengganggu ritme tidur. Benar – benar melelahkan. Suasana hati rasanya engap terus seperti berkabut.
- MENGAWALI HARI DENGAN LETIH
Setiap pagi, dengan sadar saya mengawali hari dengan membuka media sosial, twitter lebih tepatnya. Saya manusia pagi, jadi otak saya akan lebih segar jika digunakan sepagi mungkin. Salahnya, tahun lalu saya memilih “produktif” di pagi hari untuk membaca hal – hal di twitter, yang seringnya adalah adaaa saja perseteruan di sana. Padahal yang diperdebatkan ya topiknya begitu – begitu saja. Ibu bekerja tidak bekerja, mau punya anak atau tidak, Istri bisa masak atau tidak, lebih bangga mana punya twitter atau IG dan topik – topik yang ya sudahlah basi banget kan. Tapi saya dengan sadar malah “mencemplungkan ” diri dengan tetap membaca perseteruan itu dan membaca komen – komennya. Belum lagi berita – berita di Indonesia dan Belanda yang tidak semuanya membawa pesan baik. Ya saya sendiri yang mencari penyakit.
Hanya dengan membaca hal – hal tersebut, ternyata saya mengawali hari dengan rasa letih. Energi yang seharusnya saya pergunakan untuk 15 jam kedepan, sudah tersedot banyak hanya dengan mengikuti perseteruan orang lain, bahkan ikut nyemplung di dalamnya, membaca berita yang bikin sakit kepala, lalu merasa letih ketika aktifitas dalam dunia nyata benar – benar baru dimulai. Merasa saya hanya punya 50% energi untuk menjalani 14 jam kedepan karena 50% lainnya sudah tersedot hanya karena saya secara sadar menggunakan 1 jam sebelumnya untuk memantau apa yang terjadi di twitter.
- GAMPANG EMOSI
Saya menjadi lebih terpancing untuk marah. Kalau ada suatu hal yang tidak menyenangkan di 2 media sosial tersebut, gampang mempengaruhi emosi saya, menjadi gampang marah di dunia nyata. Menjadi lebih susah untuk tenang. Konyolnya, yang menjadi pemicu bukanlah hal dari dunia nyata tapi lebih seringnya dari media sosial yang saya bawa ke dunia nyata. Kan miris sekali. Saya kurang punya kontrol diri untuk memisahkan antara dua hal tersebut. Jadi kalau misalkan ada hal yang tidak mengenakkan saya baca di twitter, hal itu akan terbawa ke emosi saya melewati hari. Padahal mereka yang di dunia nyata tidak mengerti apapun yang terjadi, malah jadi bahan pelampiasan kekesalan saya. Duh Gusti, tobat.
- SERING TERGESA DAN TIDAK FOKUS
Misalnya ada sebuah perseteruan di twitter, saya kan jelasnya tidak bisa memantau sepanjang hari karena harus berkegiatan lainnya. Nah, saat melakukan aktifitas lainnya, pikiran saya jadi terbagi. Memikirkan perseteruan atau topik yang lagi hangat tersebut dan kegiatan yang saya lakukan. kepikiran bagaimana lanjutannya topik yang lagi dibahas atau perseteruan yang sedang terjadi. Saya jadi tidak fokus dengan dunia nyata yang ada di depan mata. Jadinya, saya cepat – cepat menyelesaikan kegiatan saya supaya saat waktu istirahat, saya bisa kembali menyimak kelanjutannya. Misal saat masak, pikiran saya tidak sepenuhnya ke masakan yang sedang saya buat. Mikir : eh penasaran gimana ya lanjutannya tadi. Eh ada berita baru apa ya. Lalu secara tergesa menyelesaikan masak supaya bisa curi – curi waktu membuka twitter untuk melihat lanjutan atau ya hanya sekedar mengecek apa sih yang lagi hangat di timeline sekarang. Saat makan sendiri saja sampai saya tidak khusyuk menyimak rasa makanan yang saya makan karena disambi membaca twitter, bukannya fokus pada makanan yang ada di depan mata. Karena mengerjakan kegiatan tanpa fokus dan selalu tergesa, akhirnya hasilnya ya asal – asalan. Saya seperti tidak sepenuh hati karena memang pikiran saya terbagi, mengerjakannya pun ya terbagi. Saya merasa tidak produktif.
- WAKTU HANYA 24 JAM DAN MERASA TIDAK PRODUKTIF
Dalam waktu 24 jam, tahun lalu saya menggunakan 6-7 jam untuk istirahat di malam hari, 2-3 jam istirahat di siang hari, dan sisanya untuk berkegiatan. Anehnya, saya merasa kok waktu tersebut tidak pernah cukup dan rasanya saya tetap kurang mempunyai waktu untuk diri sendiri. Padahal waktu istirahat saya kalau ditotal lumayan banyak, 10 jam. Tapi kok rasanya saya selalu saja merasa kelelahan. Atau waktu 14 jam berkegiatan, saya merasa kok tidak menampakkan hasil yang maksimal. Ya jelas saja, wong di waktu istirahat, bukannya saya menggunakan untuk hal – hal yang bisa membuat diri sendiri bahagia atau menggunakan untuk kegiatan yang lebih bermanfaat, saya malah memantau media sosial. Bukannya saya fokus dan perlahan dalam mengerjakan sesuatu, pikiran saya malah terbelah dengan ingin cepat – cepat menyelesaikan supaya bisa membuka media sosial. Jadinya saya merasa tahun lalu, sebenarnya apa sih yang saya kerjakan. Saya selalu kelelahan karena merasa waktu istirahat saya tidak cukup, emosi yang tidak stabil, merasa apa yang saya kerjakan tidak maksimal.
Saya istirahat sih memang, secara badan. Saya leyeh – leyeh rebahan, tapi tangan dan mata saya bekerja. Scrolling dan membaca apa yang ada di media sosial. Lha ya jelas saja, wong waktu istirahat bukannya dipakai benar – benar untuk istirahat malah dipakai untuk membaca opini orang lain yang malah memancing emosi dan membuat energi makin tersedot. Membaca timeline itu melelahkan lho buat saya karena bisa menyedot energi dan membuat labil emosi hasilnya saya kurang produktif dalam berkegiatan di dunia nyata. Ini yang saya bilang kalau saya belum mampu mengontrol malah dikontrol oleh media sosial. Kalau pakar mengibaratkan seperti slot machine. Secara sadar saya scroll – scroll terus ingin tahu apa yang terbaru. Mungkin saya sudah dalam fase kecanduan. Lelah ternyata.
- TIDUR TERGANGGU
Tahun lalu, kualitas tidur jadi terganggu. Saya orangnya gampang tidur dan juga gampang terbangun. Biasanya dalam keadaan normal, kalau terbangun tengah malam, saya bisa kembali tidur dengan gampang. Nah, tahun lalu beda. Karena hubungan saya yang semakin erat dengan twitter, membuat saya seperti tidak terpisahkan bahkan oleh jam tidur. Kalau terbangun tengah malam, saya ambil Hp lalu buka twitter (atau kadang FB). Penasaran apa sih yang terjadi sekarang. Berita apa sih yang lagi “seru” di Indonesia. Akhirnya saya jadi terhanyut dan tidak sadar sudah menghabiskan sekian menit di sana lalu menjadi susah untuk kembali tidur yang membuat kualitas tidur saya tidak bagus. Terbangun pagi, yang dilakukan pertama ya ngecek media sosial. Jadi tidur saya tahun lalu tidak benar – benar nyenyak karena ada hubungannya dengan pikiran saya selalu pada twitter. Setiap bangun, saya merasa kelelahan karena jam tidur jadi berantakan dan tidur tidak nyenyak. Walhasil menjalani hari juga dengan kelelahan. Begitu saja terulang setiap harinya. Tidur saya seperti tidak berkualitas.
- INTERAKSI YANG MENYENANGKAN SEKALIGUS MEMBUAT TERLENA
Interaksi di FB dan Twitter, sangat menyenangkan buat saya. Di sana, saya menemukan banyak informasi yang bermanfaat dari mereka yang punya minat yang sama, misalkan : baking, masak, jalan – jalan atau informasi lainnya. Saya mempunyai banyak kenalan baru dan yang mengejutkan, dalam setahun kemaren jumlah follower di twitter bertambah secara pesat. Kalau tidak salah ingat hampir mencapai 2000. Ya jumlah segitu mungkin masih kategori sedikit buat mereka yang memang menekuni media sosial secara serius. Tapi buat saya yang tidak terlalu sering mengunggah dalam sehari, tidak mengerti juga mereka follow saya karena apa.
Sebagai gambaran, dalam satu hari saya maksimal mengunggah hanya 2 kali, seringnya malah satu kali. Jadi bukan yang sehari bisa menulis status atau mengunggah foto sampai 10 kali. Memang saya batasi, supaya saya sendiri tidak “kebablasan”. Menuliskan opini pun sangat berhati – hati sekiranya yang tidak sampai menjadi viral atau menimbulkan kontroversi. Saya sudah merasakan beberapa opini pernah menjadi viral (yang positif) tahun – tahun sebelumnya, melelahkan sekali saudara – saudara. Menjadi terkenal itu ternyata not my thing meskipun terkenalnya karena opini yang positif (untuk banyak orang). Jadi tahun lalu opini – opini yang saya tuliskan ya sekadarnya saja. Pun saya tidak pernah membuat utas yang sangat berguna. Saya tidak bisa membuat utas di twitter, lebih baik saya menulis panjang di blog, lebih nyaman.
Interaksi dengan beberapa orang yang saya kenal di twitter pun sangat menyenangkan. Kami berbagi banyak cerita, banyak infomasi. Intinya banyak hal positif saya dapatkan dari mereka. Tidak ada yang salah dengan interaksi yang saya lakukan, pun tidak pernah ada masalah yang saya temukan di sana, semua baik – baik saja. Bahkan saat memutuskan keluar dari twitter pun, tidak ada masalah yang terjadi. Hanya ternyata, saya terlalu banyak menginvestasikan waktu di sana dan interaksi yang menyenangkan tersebut membuat saya jadi terlena akhirnya malah menjerumuskan saya jadi tidak bisa lepas. Saya kurang bisa mengontrol diri. Bukan interaksinya yang salah, tapi saya yang terlalu kebablasan.
- MERASA SUDAH OVERSHARING DAN MERASAKAN KESENANGAN SEMU DALAM “LIKE”
Batasan oversharing bagi masing – masing orang berbeda. Apa yang saya pikir oversharing, belum tentu orang lain berpikir yang sama. Saat salah satu teman mengerti bahwa salah satu alasan saya undur diri dari FB dan Twitter adalah saya merasa sudah oversharing, dia kaget : Oversharing darimana wong kamu cuma menulis haal – hal yang umum, posting foto seringnya makanan dan pemandangan. Kamu tidak pernah menceritakan secara detail kegiatan keluargamu, bahkan isi rumahmu aja ga pernah kamu unggah di foto.
Benar, saya tidak pernah sama sekali mengunggah foto keluarga dalam formasi lengkap. Benar, saya tidak pernah bercerita sama sekali atau khusus bercerita tentang anak – anak (bahkan banyak yang tidak tahu kalau saya sudah punya anak karena memang tidak pernah woro – woro secara khusus tentang tambahan anggota keluarga karena selama ini saya sangat berhati – hati kalau sudah berurusan tentang anak. Rasanya baru pada tulisan kali ini saya secara jelas mengungkapkan. Saya masih memegang teguh tidak akan mengunggah foto mereka di media sosial atau bercerita secara detail tentang mereka sampai mereka bisa berpendapat boleh atau tidak. Bahkan pada komentar blog manapun yang membahas tentang anak, sebisa mungkin saya tidak ikut nimbrung, takut kebablasan). Benar, saya tidak pernah mengunggah foto isi rumah atau detail rumah (kecuali meja makan karena jadi tempat buat foto makanan). Benar, saya tidak pernah mengunggah barang – barang yang ada di rumah atau yang kami miliki. Benar, bahwa saya tidak pernah langsung mengunggah foto dan menceritakan saat kami sedang pergi liburan. Semua hal tersebut masih saya taati karena saya memang masih menyisakan banyak ruang untuk privasi.
Tapi, ada hal – hal yang sudah melenceng dari batasan yang saya tetapkan dalam bermedia sosial. Dengan banyaknya follower di twitter, membuat saya terlena untuk sering mengunggah foto makanan, pemandangan. Dalam unggahan tersebut tentu saya menuliskan ceritanya. Nah dalam cerita itu yang membuat saya merasa oversharing. Padahal ceritanya ya standar saja, tidak ada yang mendetail. Tapi ternyata kok membuat saya semakin lama semakin tidak nyaman berbagi dengan banyak orang yang tidak saya kenal dalam dunia nyata (ya kan saya belum pernah bertemu dengan mereka di dunia nyata. Kecuali beberapa orang yang saya percaya, seperti Maya, Inly, Christa). Seperti membagikan cerita ke kerumunan orang, yang sebenarnya tidak semuanya peduli pada cerita yang saya unggah. Lama – lama merasa kok saya jadi seperti laporan ke orang asing ya tentang hal – hal yang dilakukan. Saya jadi gampang pamer. Terlalu sering pamer ternyata membuat tidak nyaman juga. Ga bakat jadi selebriti atau influencer.
Ditambah lagi mereka memberikan like. Saya bingung fungsi like di twitter saat ini menjadi seperti IG. Dulu saya menggunakan tombol tersebut untuk menyimpan informasi. Jadi semacam tombol favorite. Sekarang, orang menggunakan tombol tersebut untuk menunjukkan mereka suka dengan postingan yang diunggah. Tidak semua unggahan saya mendapatkan like banyak. Ada yang sedikit, ada yang banyak, ada yang tidak mendapatkan sama sekali. Terkadang, itu malah mengusik saya. Jadi saya semakin mengunggah hal – hal yang sekiranya orang akan suka, bukan karena saya murni ingin mengunggah hal tersebut. Jadi semacam ingin mendapatkan pengakuan dari mereka yang kebanyakan belum pernah saya jumpai dalam dunia nyata. Saya suka sih semua yang saya unggah, tapi juga memikirkan apa orang yang melihat juga suka ya. Saya merasa konyol sih, padahal dalam dunia nyata saya sudah mendapatkan apresiasi, lebih dari cukup malahan. Ini kok malah mencari lebih lagi dari media sosial. “Like” yang melenakan saya dan membuat tidak nyaman. Semakin banyak “like” yang saya dapatkan, sebenarnya membuat saya semakin tidak nyaman. Berpikir sebenarnya mereka menekan tombol like itu karena apa ya. Apa benar – benar suka dengan unggahan saya atau ya sekedar iseng “like” saja. Kalau semakin banyak yang “like” saya jadi semakin termotivasi mengunggah yang sekiranya akan mendapatkan banyak “like” lagi. Ora uwis – uwis. Itu menjadi melelahkan karena saya sudah tidak menjadi diri sendiri lagi. Seperti melakukan hal berdasarkan standar “like” orang lain. Bukan hanya murni yang saya suka. Belum lagi kalau tidak mendapatkan “like” yang cukup, eh malah kepikiran. Duh kok uripmu ruwet men, Den! Padahal dulu saya mengunggah sesuatu tidak peduli orang mau suka apa tidak. Sak karepku.
Apalagi kalau ada yang komen misalnya : duh enak banget ya di sana hidupnya, kayak yang nyaman. Atau komen : tentram sekali situasi di sana ya, jadi pengen, kapan bisa merasakan hidup enak ya dsb. Komen – komen tersebut membuat saya berpikir : Apa yang saya unggah, pasti ada yang merasa tidak nyaman lalu membandingkan hidup mereka dan saya. Merasa pada akhirnya kok saya ini jadi sumber ketidakbahagiaan buat orang lain yang mungkin hidupnya tidak seperti saya, menurut pemikiran mereka. Hal tersebut membuat saya resah. Padahal saya pamer yang ingin saya pamerkan saja kan. Itu semua nyata, tapi yang bagus – bagus saja. Babak belurnya ya jelas lah saya simpan sendiri. Ya buat apa diceritakan.
Itulah mengapa saya merasa kalau sudah terlalu Oversharing. Saya tidak nyaman dan memang musti disudahi saja. Benar saya tidak bisa mengendalikan apa yang orang lain pikirkan, apa yang orang lain unggah. Tapi, satu hal yang bisa saya lakukan adalah mengendalikan diri sendiri.
- HIDUP NYATA DALAM DUNIA NYATA
Kerinduan saya untuk ada secara nyata di dunia nyata, yang tidak saya dapatkan di media sosial, membuat saya mantab keluar dari “kenyamanan” dan kesenangan di sana. Saya rindu saling bertukar kabar dengan teman. Rindu bertanya kabar secara langsung dan ditanya kabar oleh mereka. Langsung di sini dalam artian bukan hanya bertemu langsung. Menanyakan kabar langsung lewat aplikasi pesan, juga termasuk langsung. Atau saling berkirim email. Bukan saya tahu kegiatan mereka atau mereka tahu kegiatan saya dari media sosial. Kok rasanya menyedihkan ya kalau teman dekat saya malah tahu saya sedang dalam kondisi A atau sedang ada kabar bahagia, mereka malah tahunya dari media sosial bukan karena saya berkabar langsung kepada mereka. Begitu juga sebaliknya.
Saya rindu bercerita banyak hal dengan mereka. Rindu ketika kami saling memberi sesuatu, tidak perlu diunggah di media sosial. Diucapkan secara langsung itu sangat menyenangkan. Diunggah di media sosial, itu bonus, yang sebenarnya buat saya juga tidak terlalu perlu. Saya tetap berterima kasih kalau mereka memang ingin mengunggahnya. Ga ada yang salah. Tapi, tidak perlu semua orang tahu saya sudah memberi A atau B, begitu juga sebaliknya. Kecuali dalam rangka promosi, tentu hal tersebut lain perkara. Begitu juga saya, rindu kalau diri ini memberi sesuatu pada orang lain tidak perlu dipamer di media sosial. Memberi ya memberi saja tanpa perlu saya pamer. Meredam hasrat pamer itu ternyata susah ya.
Saya ingat satu hal, pernah saya berkirim kartu ucapan, tapi kok tidak ada kabarnya ya apakah kartu ini sampai atau belum. Sampai suatu saat, saya memberikan komen ke unggahan yang bersangkutan, lalu dia bilang kalau kartunya sudah sampai dan tidak sempat mengabari secara langsung karena sibuk. Lalu saya berpikir : oh memberi kabar secara langsung tidak sempat karena sibuk, tapi mengunggah status masih sempat dan mengucapkan terima kasih di media sosial. Saya sedih sih setelahnya. Merasa diabaikan.
Saya tidak perlu terkenal kok. Saya tidak perlu semua orang tahu apa yang sudah saya lakukan untuk teman – teman. Saya lebih memilih berinteraksi secara intens dan intim dalam kehidupan sehari – hari. Nanti, kalau suatu hari saya sudah punya bisnis sendiri, nah itu lain cerita. Saya butuh bantuan mereka untuk mempromosikan bisnis yang saya rintis. Tapi kalau pemberian atau perhatian, cukup secara personal saja.
Saya rindu bertukar kabar dengan mereka secara langsung, bukan dari media sosial.
- KELUARGA
Keluarga adalah salah satu alasan terbesar saya untuk rehat dari media sosial, selain alasan – alasan pribadi yang sudah saya sebutkan di atas. Saya ingin benar – benar menikmati waktu bersama mereka tanpa ada distraksi. Saya ingin fokus dan hadir secara nyata untuk mereka, bukan setengah – setengah. Anak – anak semakin beranjak besar, waktu bersama mereka semakin sedikit. Saya ingin menikmati setiap momen yang ada, setiap perubahan yang terjadi, setiap tangis dan tawa, apapun itu. Saya dan suami semakin bertambah umur, kami ingin menikmati kebersamaan secara maksimal tanpa pikiran terganggu adanya media sosial yang kami miliki. Hanya 24 jam yang saya miliki setiap hari, ingin saya maksimalkan bersama mereka. Media sosial akan tetap ada dan bisa menunggu selama tidak bangkrut dan saya masih hidup. Tapi anak – anak selalu bertumbuh setiap harinya, mereka tidak bisa menunggu. Waktu bersama suami dan anak – anak tidak akan bisa terulang karena akan ada banyak hal yang berbeda setiap waktu. Saya tidak mau melewatkan itu. Saya ingin berlama – lama memeluk dan berbagi banyak hal, sebelum mereka keluar dari rumah dan kami sebagai orangtua kembali hanya hidup berdua.
Saya benar – benar ingin menikmati waktu sebagai Ibu dan Istri, selain sebagai seorang Deny. Saya ingin seutuhnya ada untuk mereka dan diri sendiri, tanpa harus berbagi perhatian dengan media sosial.
TAMBAHAN
Dari cerita di atas, kok nampaknya tahun lalu saya benar – benar kecanduan ya. Tersiratnya seperti itu. Setelah saya pikir lagi, ya belum sampai taraf kecanduan sih. Saya punya aturan main dalam bermedia sosial yang tetap saya patuhi yaitu : Tidak mainan Hp di hadapan anak – anak dan suami kecuali menerima telepon penting atau merekam dan memfoto mereka untuk dokumentasi pribadi, mematikan notifikasi kecuali aplikasi pesan dari suami dan yang berhubungan dengan anak, Hp selalu mode silent kecuali ada janjian telepon, dan membatasi mainan Hp maksimal 4 jam dalam sehari. Kalau keluar rumah tanpa Hp pun hal yang biasa dan tidak membuat saya cemas. Jadi kalau saya pikir, sebenarnya masih belum dalam taraf kecanduan ya wong saya masih bisa mengontrol penggunaannya. Tapi pikiran yang selalu lekat dengan twitter ini kok ya rasanya saya jadi merasa candu pengen dekat – dekat dengan Hp terus.
PENUTUP
Itulah alasan – alasan yang menguatkan saya untuk undur diri dari twitter dan FB. Alasan sejujurnya dan keadaan saya yang sebenarnya tahun lalu merasa terlalu lekat pada 2 media sosial tersebut. Saya tidak tahu apakah undur diri ini akan jadi permanen atau sementara saja. Nanti kalau kangen ya mungkin sesekali berkunjung lagi. Yang pasti, saya sekarang sudah merasa nyaman tidak bersentuhan lagi dengan 2 media sosial tersebut. Merasa hidup saya lebih fokus, produktif, dan bahagia karena banyak hal – hal positif yang berdatangan dan saling berhubungan setelah saya tidak berkutat dan sibuk di sana.
Saya tidak pernah menyalahkan media sosialnya atau menyalahkan unggahan orang lain. Saya menyalahkan diri sendiri yang tidak mempunyai kontrol yang kuat untuk memilah memilih mana yang seharusnya. Media sosial dan unggahan orang lain tidak pernah salah karena saya tidak punya kuasa mengontrol apa yang di luar diri sendiri. Yang bisa saya kontrol adalah saya sendiri, ini yang saya lakukan sekarang. Rehat dari twitter dan facebook.
Tulisan ini saya tautkan ke twitter (entah bagaimana cara kerjanya, kalau log out apa masih bisa tertaut atau tidak). Bagi yang membaca dari twitter, misalkan saya masih punya hutang dalam bentuk apapun pada siapapun di sana atau sekiranya saya belum menyelesaikan satu tanggungan, silahkan kirim pesan ke saya di sini. Pasti akan saya balas email yang dituliskan. Atau kalau sekedar ingin ngobrol – ngobrol dengan saya, monggo menghubungi saya di tautan tersebut. Kita masih bisa saling berkirim kabar meskipun saya tidak di 2 media sosial tersebut. Malah lebih intim bisa saling ngobrol lewat email. Saling berbagi kabar terkini. Kalau ada yang mempunyai nomer telepon saya, silahkan saya langsung dihubungi kalau ingin berbagi kabar. Saya akan sangat senang jika ditanya dan saling bertanya kabar. Tidak perlu sungkan, saya akan jawab pesannya meskipun pasti lama membalasnya. Menunggu saya senggang tentu saja. Twitter setelah ini akan saya pergunakan sebagai sarana berbagi tulisan di blog saja. Nampaknya seperti itu. Saya akan kembali aktif menulis di blog. Kembali pada jalur saya. Meredam hasrat pamer di blog lebih gampang. Paling tidak bisa meminimalisirnya.
Terima kasih sudah membaca tulisan super panjang ini. Semoga kita semua selalu dalam keadaan sehat jiwa dan raga.
*Selanjutnya, saya akan menuliskan hal – hal positif apa yang sudah merubah hidup selama menerapkan Digital Minimalism (bukan hanya terhadap media sosial, tapi hal – hal digital lainnya) sejak awal tahun sampai saat ini. Pada tulisan selanjutnya ya akan saya paparkan secara lengkap.
-25 Februari 2021-
Hi mbak Deny, salam kenal yaa.. Saya salah satu follower mbak di twitter, pengagum baking mbak Deny..
Sedih tau mbak Deny undur diri dr twitter, tp apa yg Mba sampaikan mirip dgn yg saya rasakan , beda nya saya blm siap undur diri
Terima kasih yaa mbak Deny sdh banyak berbagi selama ini, mewarnai timeline saya!
Sehat dan bahagia selalu mbak Deny dan keluarga
Hai Miah, apa kabar? Iya aku ingat kamu sering kasih apresiasi untuk foto – foto roti yang aku bikin. Terima kasih ya kamu menyempatkan diri untuk nulis komen di blogku. Semoga kamu sehat selalu 🙂
Untuk sekarang, aku nyaman dengan berjauhan dulu dari twitter. Mungkin nanti kalau sudah bisa menguasai diri untuk tidak terseret arus di twitter, aku balik lagi. Tapi mungkin ya, ga tau juga. Aku ga ada di twitter, masih bisa ditemui di blog ini Miah, aku menulis seminggu sekali. Walapun ya ga selalu ngomongin baking.
hanya diri masing2 yang tau yang terbaik buat dirinya.. paling tidak – memulai belajar untuk itu..
dan pemaparanmu (like always) selalu lugas dan menunjukkan bahwa dirimu bisa menganalisa, menerjemahkan kebutuhan, dan ujungnya: penerimaan diri sendiri.. selamat bu.. hidup damai dalam kebaikan yaa.. peluk jauh..
Terima kasih ya Buk untuk waktunya membaca dan menuliskan komen. Dikasih komen aja aku sudah senang sekali. Aku jago menganalisa, karena aku orang Statistik haha.
Peluk jauh juga buatmu yaa. Sehat selalu.
Salam kompak Den! Aku juga dua bulan terakhir ini membatasi penggunaan gawai dan sosial media. Akhir tahun terasa sekali penat dan aku baca buku Digital Minimalism. Mungkin karena pandemik dan di rumah terus kali ya, jadi gawai selalu dalam jangkauan. Dan bener sih, ini udah bukan kita dengan kebiasaan sehari-hari, tapi kita vs perusahaan besar yang membeli perhatian kita. Aku masih ada di twitter, fb, ig, goodreads dan clubhouse (!). Lah kok banyak? LOL. Tapi alhamdulillah pemakaian sedikit demi sedikit menurun, ga gampang ke-trigger dan saat istirahat aku beneran bengong sampe ketiduran 😀
Ohh kamu juga ya Dit. Wahh kompakan banget ya kita!
Aku juga baca buku itu, tapi setelah aku memutuskan keluar twitter dan FB. Baru pertengahan bulan lalu tepatnya baca. Ternyata poin2 yang ada di dalamnya, sudah kuterapkan.
Yes, kendali memang seharusnya ada di tangan kita ya karena kita sendiri yang tahu mana yang terbaik. Jangan sampai kita yang dikontrol oleh perusahaan besar tersebut. Sehat selalu yaaa Dita. Kita masih bisa terhubung di goodreads dan wa
Hai, mbak. Salam kenal. Saya suka membaca blog ini, tapi blm pernah komentar. Jadi tergerak berkomentar karena saya mengalami seperti yang mbak alami, terutama soal Twitter, hingga putus hubungan dengan Twitter dan FB sejak cukup lama. Sekarang, saya jauh lebih produktif, pikiran juga lebih tenang. Kalau merasa butuh asupan berita, saya cari sumber2 “resmi” (TV berita atau media cetak/daring yg memang khusus berita dan tepercaya). Saya gak pakai coba2, langsung saja hapus permanen dan… Sama sekali tidak menyesal, hehehe. ~Annisa di Jakarta.
Hai Annisa, salam kenal juga. Terima kasih yaa sudah menyempatkan untuk membaca dan meninggalkan komentar 🙂 Terima kasih juga untuk komplimennya buat blog ini.
Terima kasih sudah berbagi pengalaman kamu. Benar, memang pikiran jauh lebih tenang dan jauh lebih produktif serta fokus. Ini aku sudah masuk bulan ketiga dan ternyata baik – baik saja. Ternyata selama ini aku yang ga bisa kontrol diri akhirnya terbawa arus. Kalau masa percobaan ini berhasil, mungkin kedepannya tetap akan hidup tanpa twitter dan FB.
Hai Den, akhirnya postinganmu menjawab pertanyaanku “kenapa bbrp minggu ga lihat Deny di Twitter”. Aq ikutan twitter sdh 10 thn, jarang aktif. Pakai twitter cuma buat share postingan blog, nulis blogpun jarang 😆 . Buka twitter biasanya klo mau tidur, buat baca2 kabar kabari aja, termasuk klo lihat tweetmu atau reply km ke teman2mu hampir tiap hari baca kan, saat menghilang ya ada yg aneh aja hehe .. klo ada tweet war kaga pernah sy ikutan ngeramein krn hp ku sering error, sy nulis bhs Indonesia keluar kata2 bhs Jerman haha .. ngedit2 balik lagi, bikin kesel 😆 . Semoga kamu sehat dan berbahagia selalu ya Den bersama keluarga 😉 .
Hai Nel. Dulu berisik banget ya di twitter, sampai pas ngilang lumayan bikin ada yang hilang haha.
Hahaha Nel, canggih banget Hp mu langsung translate Jerman.
Sehat2 juga yaaa kalian sekeluarga Nel. Anak – anak juga sehat selalu.
Aku udah sama sekali nggak main Facebook. Kala cuma scroll-scroll Twitter dan IG sih masih, Tapi kalau sampai latah komentar atas suatu yang lagi happening sama sekali nggak pernah.
Lagi berusaha aktif nulis lagi, biar jiwaku tetap sehat. Meski nggak rajin-rajin amat, pokoknya diluangkan waktu buat nulis selama sempat. Karena ternyata menulis itu salah satu stress reliever-ku selama ini :))
Sehat-sehat selalu ya, kalian di sana.
Mwach!
Mbak Deeeevvv, aku kangen padamu. Kangen baca cerita2 lucumu di twitter. Semoga ada kesempatan yaa kita ketemuan di Jakarta. Sehat2 selalu juga buat Mbak Devi sekeluarga.
Ayookk Mbak Dev nulis. Aku selalu senang baca tulisanmu. Bener Mbak, menulis juga salah satu yang bikin aku relax selain baca buku dan masak. Kecuali masakan gosong yang malah bikin. emosi haha.
Kaloa aki, dg FB pernah deactivated akun berkali-kali meski balik lagi. Tp sekarang teramat jarang buka2, log out aja, sebentar2 saja lihat kabar orang2. Dg IG, kl sekedar logout, takutnya masih dibuka. Jadi uninstlled- installed. Kemarin sebulan ga mainan IG, ga scrolling up-down, ternyata hidup juga baik2 saja, pandemic masih terjadi. Aku tau kamu passionate dg tulis-menulis, meski kayaknya ga utun lagi(rajin). Tapi apa yg membuat mu bertahan nulis di blog? Sorry kl terlewat baca ttg cerita minat blogging mu
Hai Ru, apa kabarmu? Terima kasih ya sudah meninggalkan komen.
Aku pernah menuliskan tentang ngeblog. Ada di sini http://www.conedm.nl/denald/2018/10/28/ngeblog-itu/ dan di sini juga http://www.conedm.nl/denald/2019/09/23/lima-tahun-ngeblog/ dasarnya aku memang suka menulis. Jadi tersalurkan lewat blog. Cerita lainnya mengenai blog juga bisa baca di sini http://www.conedm.nl/denald/2014/11/01/secangkir-kopi/ yang bisa membuatku berkolaborasi dengan penulis lainnya bikin beberapa buku.
Sehat2 selalu buatmu