Akhirnya hari ini datang juga. Saat saya memilih untuk bersuara untuk Indonesia. Saat hati saya sudah muak dengan ketamakan dan kerakusan sebuah keluarga dan penjilat – penjilat yang bersembunyi dibalik kekuasaannya.
Dulu, saya pernah ada dalam barisan pemilihnya. Saat muka polos dan niat tulusnya masih terpampang nyata dan hasil kerjanya bisa kita rasakan manfaatnya bersama. Dulu saya masih percaya bahwa pemimpin akan selalu membela rakyatnya. Tidak akan memenuhi kepentingan perutnya saja. Setidaknya harapan itu pernah ada setelah era orde baru sudah tiada. Sepolos itu hati saya pernah berharap.
Sampai perlahan tapi pasti, pemimpin yang satu ini mulai menunjukkan gelagat keluar dari batas. Ada banyak kepentingan rupanya yang sudah dia rencanakan. Rakyat kemudian menjadi bagian samar dalam tahun – tahun terakhir kepemimpinannya. Kepentingan lainnya lebih penting untuk didahulukan. Kepentingan keluarga dia lebih tepatnya. Menempatkan seluruh anggota keluarga pada posisi strategis di pemerintahan. Menjadikan calon pemimpin tertinggi meski tanpa ada ilmu yang menyertai.
Sejak Pemilu tahun ini, muak itu mulai datang. Ketika aturan tentang umur capres cawapres mulai diobrak abrik hanya untuk kepentingan satu orang. Entah apa yang orang ini punya sehingga mereka yang berwenang rasanya langsung tunduk. Akhirnya kesampaian juga dia bisa mencarikan kerja untuk anak tertuanya. Lalu kejadian di Olimpiade membuat saya makin eneg. Saat dia melalukan video call dengan 2 pemenang medali emas Indonesia di Olimpiade, tapi dia malah bertanya ke salah satu atlet : atlet apa ya Mas? kok bisa nanya begitu. Seorang pemimpin lho ini.
Keributan berlangsung lagi. Kali ini dalam rangka mencarikan pekerjaan anak laki bungsunya. Dia mau mengobrak abrik lagi peraturan yang ada. Kali ini saya tidak bisa tinggal diam.
Saya sudah capek melihat mereka yang punya kekuasaan mempermainkan rakyat. Yang digadang – gadang sebagai wakil rakyat malah hanya mewakili keluarga tertentu. Saya sudah capek mereka berpesta di atas duka rakyat. Saya sudah capek mendengar ketidakpedulian mereka saat rakyat sedang berjuang sehari – hari memenuhi kebutuhan hidupnya. Saya sudah capek menjadi rakyat yang hanya melihat saja segala kekacauan yang ada di negara Indonesia tercinta. Saya capek menahan rasa marah melihat gaya hidup anggota keluarga mereka yang lainnya memamerkan kekayaan saat di negaranya rakyat sedang memperjuangkan haknya. Saya adalah bagian dari rakyat yang capek dan muak dengan apa yang terjadi akhir – akhir ini.
Saya harus bersuara. Meski mungkin suara saya tidak terlalu berarti banyak karena pengikut di twitter jumlahnya bukan yang bombastis angkanya, paling tidak saya bersuara. Menjadi bagian dari perubahan. Saya bersuara meski tidak bisa ikut turun ke jalan. Saya bersuara lewat media sosial dan blog yang saya punya. Saya bersuara lewat tulisan.
Saya bersuara karena peduli dengan Indonesia.
Menyuarakan keresahan, ketidakpuasan, membantu menyebarkan informasi tentang donasi untuk membantu logistik mereka yang berdemo, membantu menyebarkan info titik temu mulai demo, berdonasi untuk pemenuhan logistik mereka yang turun ke jalan, menyebarkan secara luas informasi apapun yang sekiranya bisa membantu untuk menggagalkan keculasan satu keluarga dan para pemimpin yang dzolim.
Hari ini dan sampai kapanpun jika diperlukan, saya akan tetap berisik mengkritisi keserakahan para pemimpin di Indonesia. Saya akan mengawal proses demokrasi sebisa dan semampu saya melalui platform media sosial yang saya punya. Jiwa dan raga saya memang di Belanda, namun pikiran saya selalu tak pernah meninggalkan Indonesia. Keluarga besar saya ada di sana.
Inilah cara saya bersuara untuk Indonesia. Semoga langkah kecil yang saya lakukan hari ini dan kapanpun itu, bisa jadi bagian menjadikan Indonesia lepas dari keserakahan para pemimpinnya yang dzolim. Saya memang tidak tinggal di Indonesia selama 10 tahun ini, tapi darah yang mengalir dalam tubuh saya adalah darah orang – orang yang saya sayangi asli Indonesia. Saya tidak akan lupa akar darimana berasal.
Sejauh apapun saya melangkah, Indonesia tidak akan pernah terlupa. Ada dalam tiap denyut nadi dan darah yang mengalir dalam raga.
“Indonesia tanahku, tumpah darahku. Tempat aku dilahirkan, tempat aku dibesarkan. Tempat orang – orang yang aku sayangi tinggal dan menitipkan harapan”
Saya tidak akan pernah berhenti untuk bersuara. Saya tidak bisa berjuang dengan fisik ada di sana, saya akan berjuang dengan cara yang saya bisa. Tetap mengawal apapun kebenaran dan perjuangan kebaikan demi memusnahkan kerakusan dan keculasan pemimpin yang menghamba pada uang dan kekuasaan.
Mengutip apa yang diucapkan Reza Rahardian dalam orasinya, “Negara ini bukan milik keluarga tertentu”
Negara ini milik semua rakyat Indonesia.
Saya akan tetap bersuara demi Indonesia tercinta dan mereka yang saya sayangi di sana. Suara sekecil apapun saya yakin gaungnya akan terdengar jauh dan lantang.
Saya akan tetap mengawal proses ini.
Terima kasih saya ucapkan pada mereka yang turun ke jalan, berdemo dalam tenang dan memperjuangkan sampai menang. Terima kasih.
Panjang umur perjuangan dan pembela kebenaran!
-22 Agustus 2024-