Tempat-Tempat yang Dikunjungi Selama di Malta (Bagian 1)

DINGLY CLIFFS - MALTA

Tahun 2019 cepat banget ya rasanya, kok moro-moro sudah akhir tahun. Kayaknya baru beberapa bulan lalu ke Malta, lah kok ternyata hampir setahun lalu. Daripada foto-foto liburan ke Malta tersimpan manis di laptop, saya ceritakan saja di blog beberapa tempat yang kami kunjungi selama di sana. Meskipun Malta tidak terlalu besar, tapi banyak sekali tempat menarik yang bisa dikunjungi. Kami hanya mendatangi beberapa saja sesuai dengan minat. Tulisan ini akan terbagi jadi dua (dan mudah-mudahan lanjutannya tidak dituliskan tiga tahun kemudian haha, kebiasaan!).

Tulisan Malta sebelumnya bisa klik :

Musim Dingin yang Hangat di Malta (Bagian 1)

Musim Dingin yang Hangat di Malta (Bagian 2)

Natalis Notabilis – Pasar Natal di Malta

Tulisan kali inipun seperti biasa, mengorek ingatan karena sudah setahun lalu. Baiklah, saya mulai saja.

  • VALLETTA

Valletta adalah kota pertama yang kami kunjungi saat di Malta. Valletta adalah Ibukota Malta, jadi bisa dibayangkan kalau turis tumplek di kota ini. Meskipun kami di sana sudah masuk musim dingin, tetap saja banyak turis di Valleta. Jadi tidak terbayang bagaimana ramainya kota ini jika musim panas.

VALLETTA - MALTA
VALLETTA – MALTA
VALLETTA - MALTA
VALLETTA – MALTA

Valletta masuk dalam daftar Unesco World Heritage. Turis yang datang ke Malta kebanyakan memilih untuk menginap di Valletta atau di kota disekitarannya. Toko, restoran, pub, cafe, buka sampai dini hari.

VALLETTA - MALTA
VALLETTA – MALTA
VALLETTA - MALTA
VALLETTA – MALTA

Kami saat itu menyusuri jalan-jalan kecil di Valleta. Lumayan takjub dengan desain bangunannya terutama bentuk balkon yang jadi ciri khas Malta. Balkon tersebut selain berwarna coklat tanah, juga banyak yang memberi cat warna warni. Namun bentuknya tetaplah sama, khas dan unik. Kontur kota di Malta, sama dengan Italia. Naik turun banyak tangga. Sewaktu di Italia, kami sampai punya pendapat, “pantes orang Italia makan malamnya larut sekali (jam 9), ga takut jadi lemak lha wong jalan kaki naik turun tangga banyak sekali. Beda sama Belanda, negara datar jam 6 sudah selesai makan malam, jam 9 sudah siap-siap mau tidur.” Haha ini pendapat ngaco ya. Karena kontras sekali jam makan malam antara Belanda dan Italia. Saat orang Italia baru mulai makan malam, di Belanda sudah akan siap-siap tidur.

VALLETTA - MALTA
VALLETTA – MALTA
VALLETTA - MALTA
VALLETTA – MALTA

 

  • RABAT DAN MDINA

Rabat dan Mdina sebenarnya satu area. Jadi semacam kota di dalam kota. Mdina adalah kota kecil dalam kota Rabat. Saya waktu itu sampai bingung bertanya pada penduduk lokal, mana kota Rabat. Ternyata ya memang kota dalam kota. Saat di Rabat, kami tidak terlalu banyak berkeliling di kotanya. Hanya sekadarnya saja dan berkunjung ke Pasar Natal.

Salah satu gang di kota Rabat
Salah satu gang di kota Rabat

Mdina letaknya di atas bukit. Dari jalan besar menuju Rabat, akan terlihat kemegahan kota Mdina. Masuk ke dalam Mdina, kita seperti merasakan berjalan di ruang waktu yang lain. Rasanya seperti tersedot ke dimensi waktu yang lalu. Bentuk bangunannya, jalan sempit diantara bangunan, benar-benar kontras dengan kota Rabat yang terletak persis di luar pintu gerbang Mdina. Mdina jadi salah satu tempat lokasi film Game of Thrones selain Gozo di Malta (saya baca dari artikel, karena saya sendiri tidak pernah nonton film ini).

Gerbang kota Mdina - Malta
Gerbang kota Mdina – Malta
Mdina - Malta
Mdina – Malta
Cathedral of Saint Paul - Mdina - Malta
Cathedral of Saint Paul – Mdina – Malta

Salah satu bangunan yang wajib dikunjungi saat di Mdina adalah Cathedral of Saint Paul. Saya sampai terkagum dengan kemewahan di dalam Cathedral. Lantainya, ornamennya, lukisan di langit-langitnya, setiap detilnya benar-benar membuat decak kagum tidak berhenti.

Cathedral of Saint Paul - Mdina - Malta
Cathedral of Saint Paul – Mdina – Malta
Cathedral of Saint Paul - Mdina - Malta
Cathedral of Saint Paul – Mdina – Malta
Cathedral of Saint Paul - Mdina - Malta
Cathedral of Saint Paul – Mdina – Malta
Cathedral of Saint Paul - Mdina - Malta
Cathedral of Saint Paul – Mdina – Malta
Mdina - Malta
Mdina – Malta
Mdina - Malta
Mdina – Malta

  • DINGLY CLIFFS

Dingly adalah nama desa di bagian selatan Malta. Desa ini letaknya tidak jauh dari Rabat. Dingly terletak 250 meter di atas permukaan laut dan merupakan salah satu tempat tertinggi di Malta. Dari atas, bisa terlihat laut Mediterania secara jelas dan jadi salah satu tempat paling bagus untuk mengabadikan sunset. Kami melakukan hiking karena penasaran ingin melihat beberapa tempat yang lebih menarik lainnya di Dingly.

DINGLY CLIFFS - MALTA
DINGLY CLIFFS – MALTA
DINGLY CLIFFS - MALTA
DINGLY CLIFFS – MALTA
DINGLY CLIFFS - MALTA
DINGLY CLIFFS – MALTA
DINGLY CLIFFS - MALTA
DINGLY CLIFFS – MALTA

DSC09517

Untuk bagian pertama, cukup sampai di sini. Bagian kedua akan saya ceritakan kunjungan ke pulau Gozo, Mallieha, dan Popeye Village. Nantikan lanjutannya ya. Kalau ada yang ingin ditanyakan tentang Malta, silahkan. Saya akan jawab sesuai pengalaman selama di sana.

-6 November 2019-

Verona dan Siena

Cathedral of Santa Maria Assunta - Siena

Salah satu yang membuat saya bermimpi untuk bisa ke Italia dikarenakan film Letters To Juliet. Entah sudah berapa belas kali sampai sekarang saya menonton film tersebut, masih belum ada bosannya. Filmnya sih biasa saja ya, cerita cinta biasa dan gampang ditebaklah jalan ceritanya. Tapi ada yang membuat saya terpikat yaitu alam Italia (khususnya wilayah Tuscany) dan aksen British pemain filmnya. Saya memang gampang terpikat kalau mendengar ada pria yang berbicara menggunakan aksen British haha padahal belum tentu juga saya paham yang diomongkan karena terdengar tidak jelas di telinga.

Letters To Juliet seperti memberikan sebuah ambisi pada saya untuk bisa ke beberapa kota yang ada di film tersebut. Ketika ada kesempatan ke Italia pada tahun 2016, tidak saya sia-siakan memasukkan Siena (serta beberapa kota di Tuscany) dan Verona ke dalam kota yang wajib dikunjungi. Karena film ini juga, saya sampai punya niatan, kalau punya anak perempuan ingin diberi nama Siena atau Sophie (nama karakter perempuan di film ini). Segitunya ya haha.

Inilah cerita singkat yang akan saya tuliskan kali ini. Mengunjungi dua kota di Italia yang berawal dari film Letters To Juliet.

VERONA

Verona adalah dua kota yang terakhir kami kunjungi saat road trip selama di Italia, setelah dari Venezia. Letak kota ini tidak jauh dari Venezia. Kami hanya menginap satu malam di Verona, itu sudah cukup untuk mengelilingi pusat kotanya. Senangnya lagi, di Verona ada Amphitheatre dan lumayan besar. Saya selalu menuliskan bahwa kami berdua memang punya ketertarikan mengunjungi kota-kota yang mempunyai catatan sejarah berhubungan dengan amphitheatre.

Verona
Verona
Verona Arena Amphitheatre
Verona Arena Amphitheatre
Verona Arena Amphitheatre
Verona Arena Amphitheatre

Verona adalah kota yang dikenal secara Internasional sebagai tempat dalam karya Shakespeare, Romeo and Juliet. Wisatawan yang datang ke Verona salah satunya bertujuan untuk melihat di mana tempat tinggal Juliet. Adalah sebuah bangunan yang tidak jauh dari Piazza delle Erbe, yang akhirnya dijadikan tempat sebagai rumah dari Juliet. Tidak peduli bahwa ceritanya fiksi, wisatawan tetap berbondong-bondong ke tempat ini untuk melihat rumah tersebut. Nama rumah tersebut adalah Casa di Giulietta. Pada tahun 1930, ditambahkan balkon yang menghadap ke halaman, lalu beberapa dekade kemudian ditambahkan patung perunggu dan di dalam rumah dijadikan semacam museum yang mengisahkan perjalanan hidup Juliet. Untuk sampai ke balkon, wisatawan  harus membeli tiket.

Verona
Verona

Niatan awal mengunjungi Verona karena ingin napak tilas segala yang ada di film kan, jadinya wajib mengunjungi Rumah Juliet ini. Pada gerbang masuknya, di dinding kanan kiri, banyak sekali coretan. Mungkin memang disediakan untuk dicorat coret. Di halaman, penuh sekali wisatawan yang ingin melihat seperti apa sih balkon yang konon ada di bagian cerita Romeo and Juliet. Setiap ada yang muncul di balkon, orang-orang yang di bawah langsung melambaikan tangan pada orang yang di balkon haha agak lucu juga jadinya. Padahal ya mereka tidak saling kenal. Suami lalu menyuruh saya untuk masuk ke dalam dan naik sampai balkon. Saya awalnya ragu karena kok agak malu ya dadah-dadah dari atas haha. Karena suami bilang nanggung sudah sampai sini tidak naik sampai balkon. Saya pikir, iya juga.

Casa di Giulietta
Casa di Giulietta
Casa di Giulietta
Casa di Giulietta

Nah, foto di bawah ini ketika saya sudah sampai balkon. Pas dadah-dadah ke suami, kerumunan di bawah mendadak riuh. Bukan riuh karena saya muncul dari balkon haha tapi karena ada adegan melamar di bawah. Jadi ada sepasang kekasih yang sedang dalam adegan melamar, Waahh romantis sekali ya. Jadinya saya menonton dari atas, lumayan dapat tontonan yang saya ingat seumur hidup. Entah saya tidak ingat apakah prosesi melamar tersebut berakhir indah (yang dilamar menjawab iya maksudnya).

Casa di Giulietta
Casa di Giulietta
Verona
Verona

Senang sekali ke Verona bisa sampai ke rumah Juliet dan napak tilas ke beberapa tempat yang ada di film Letters To Juliet. Ya beginilah kalau termakan dengan film haha. Tapi tak apa, Verona memang sungguhlah cantik. Oh ya, di Verona ada Verona Card. Jika akan tinggal di Verona minimal 24 jam, bisa menggunakan kartu ini untuk mengunjungi semua museum bahkan masuk ke Amphitheatre dan digunakan ke Balkon rumah Juliet. Akan lebih murah kalau berencana masuk ke banyak museum juga menghindari antrian panjang. Pilihannya ada yang 24 jam (20 euro) dan 48 jam (25 euro).

Verona
Verona

SIENA

Cantik ya nama kota ini, Siena. Kotanya juga secantik namanya. Kami sampai Siena setelah sebelumnya menginap dua malam di San Gimignano. Kami mengunjungi Siena juga karena alasan yang sama : saya ingin napak tilas beberapa tempat yang ada di film Letters to Juliet.

Seingat saya, pusat kota Siena tidak terlalu besar. Lebih besar Verona. Jadi, waktu satu hari juga sangatlah cukup mengunjungi semua tempat yang ada di sana. Saya naik ke Tower bernama Torre del Mangia untuk melihat kecantikan Siena dari atas.

Sungguhlah cantik memang wilayah Tuscany ini.

Piazza del Campo - Siena
Piazza del Campo – Siena
Palazzo Pubblico and Museo Civico - Siena
Palazzo Pubblico and Museo Civico – Siena
Siena
Siena

Melewati setiap jalan yang saya ingat jelas ada di film tersebut, membuat senyum tidak terhenti tersungging dan rasanya pipi saya menghangat. Rasa agak lebay ya, tapi ya memang begitulah rasanya haha. Saya sampai hapal sekali semua yang ada di film tersebut sampai akhirnya hapal dialognya. Sama seperti dialog film AADC 1 dan Kuch Kuch Hota Hai yang saya hapal luar kepala karena keseringan nonton. Percayalah, saya ini memang agak-agak terobsesi dengan film kalau sudah sangat suka bisa menonton sampai berulang kali. Bukan di bioskop tentu saja karena nonton film di bioskop cukup satu kali. Selebihnya biasanya nonton dari YouTube.

Siena
Siena
Cathedral of Santa Maria Assunta - Siena
Cathedral of Santa Maria Assunta – Siena
Siena
Siena

Begitulah cerita singkat saya napak tilas ke dua kota yang jadi impian ingin saya kunjungi sejak pertama nonton film Letters To Juliet. Sewaktu menonton film tersebut, rasanya agak ngayal yang berlebihan bisa sampai ke Verona dan Siena. Tidak terpikirkan di masa depan malah saya bisa mengunjungi bersama orang yang saya cintai. Ya filmnya kan romantis, jadi makin romantis kalau datang bersama belahan jiwa.

-1 November 2019-

Menutup Diri Setelah Tinggal di Luar Negeri?

Suasana kampung tempat tinggal kami

Membaca postingan  di blog ini, pendapat penulis tentang Diaspora yang disinyalir mengalami sindrom menutup diri, jadi tertarik untuk membuat tulisan dari sudut pandang saya dan berdasarkan pengalaman diri sendiri tentunya. Sejak pindah ke Belanda, seringkali saya mendengar dari kerabat, kenalan, teman di Indonesia kalau saya semakin menutup diri dan menjaga jarak dengan mereka. Ada benar dan tidaknya apa yang mereka sampaikan serta ada alasannya juga kenapa saya bersikap seperti itu. Salah satu alasan saya membuat tulisan ini adalah untuk memberikan gambaran tentang hal tersebut.

Saya nyaris 5 tahun tinggal di Belanda dan belum pulang sama sekali ke Indonesia. Jadi saat membaca penjabaran selanjutnya bisa membayangkan kondisi dan situasi saya. Tulisan ini lumayan panjang.

GANTI NOMER TELEPON

Pindah ke Belanda, artinya ganti nomer telepon. Saatnya tidak lagi bergabung dengan banyak grup WhatsApp (WA). Sampai saat ini, saya hanya punya tiga grup WA. Ya, cuma tiga. Saya membatasi berbagi nomer telepon yang baru. Hanya pada yang merasa dekat saja saya berbagi nomer telepon Belanda. Itupun ternyata beberapa kali ada yang lancang membagikan nomer tanpa sepengetahuan saya lebih dahulu.

Alasan saya tidak lagi bergabung dengan banyak grup wa, pertama karena zona waktu sudah berbeda. Kedua, karena seringnya saya tidak membaca isi grup wa yang sangat aktif. Ketiga, ya saya mau fokus dulu dengan kehidupan di Belanda. Disinilah awal mula ada beberapa komentar yang saya dengar kalau saya “mengasingkan” diri. Mereka berpikir saya tidak mau ikut grup lagi karena sudah tinggal di LN, tidak level dengan mereka yang tinggal di Indonesia. Lha, apa hubungannya ya. Tapi ya sudahlah, saya juga tidak mau repot-repot menjelaskan.

PROSES ADAPTASI YANG TIDAK MUDAH DAN JUGA TIDAK SUSAH

Saya memulai semuanya di Belanda dari nol, dari awal. Jatuh tersungkur-sungkur belajar bahasa baru, mengenal lingkungan baru, mendaftar sebagai sukarelawan untuk beberapa kegiatan supaya memperlancar bahasa Belanda, ujian bahasa Belanda sebagai syarat memperpanjang ijin tinggal, jungkir balik mencari pekerjaan, lalu dapat kerja di bidang yang baru dan sangat berbeda dengan latar belakang pendidikan maupun pengalaman kerja sebelumnya, penyesuaian terhadap cuaca, mempelajari (dan belajar panjang sabar) terhadap segala sistem birokrasi di sini, dan masih banyak lagi yang harus saya lakukan sebagai proses adaptasi. Semuanya bukan perkara yang mudah, terutama untuk bahasa dan cuaca, namun buat saya juga bukan hal yang susah. Saya fokus dengan apa yang ada sekarang, apa yang perlu saya jalani saat ini. Bukan berarti saya melupakan apa yang ada di Indonesia, tapi setiap hari di sini adalah proses adaptasi, pun sampai detik ini. Banyak hal-hal baru yang terus saya pelajari dan perlu fokus. Itu saja sebenarnya. Fokus saya sudah berbeda dengan kehidupan sebelumnya sewaktu di Indonesia. Menjadi imigran buat saya tidak mudah, karenanya saya ingin membuat lebih mudah dengan menjalani secara fokus apa yang ada sekarang dan menerapkan skala prioritas.

PERTANYAAN YANG TERLALU PRIBADI

Ada beberapa kenalan, teman, dan kerabat yang mengajukan pertanyaan atau memberikan pernyataan yang sudah jauh masuk dalam ruang privasi saya. Misalkan saja : suami kerja di mana, gaji suami berapa, beli rumah di Belanda harganya berapa, suami sholat nggak, sudah punya anak apa belum, sudah dapat apa saja dari suami (mengacu pada materi), kenapa kamu kok tidak bekerja kantoran, kenapa kok kamu sudah sekolah tinggi tapi malah tinggal di rumah, dan sebagainya dan sebagainya. Masih banyak sebenarnya, tapi tidak akan saya tuliskan semua. Pertanyaan tersebut datang dari orang-orang yang tinggal di Indonesia maupun dari orang-orang Indonesia yang tinggal di Belanda. Saya merasa tidak nyaman dengan hal tersebut dan saya memilih untuk selalu mengatakan bahwa apa yang mereka katakan terlalu masuk dalam ranah pribadi saya dan saya tidak akan memberikan jawaban atau pernyataan apapun. Saya tidak berhutang penjelasan pada siapapun. Jadi, kalau saya menjaga jarak dengan mereka, bukannya tanpa sebab, melainkan karena mereka sendiri yang membuat saya berlaku seperti itu. Bertukar kabar dengan berbagi cerita yang umum saja saya sudah cukup, tidak perlu bertanya sampai jauh ke ranah pribadi.

Saya punya teman-teman baik (belum sampai level sahabat) di Belanda, tapi sangat terbatas. Tidak lebih dari jumlah jari tangan. Prioritas hidup saya saat ini (dan sejak awal di sini) bukan untuk mencari teman baru, jadi saya sudah cukup bahagia dengan teman-teman dekat yang ada sekarang. Sebenarnya sejak saya pindah ke Belanda, mencari teman bukanlah prioritas. Ada atau tidak ada teman, saya biasa saja. Saya lebih sibuk untuk adaptasi hal-hal lainnya. Semuanya mengalir dalam pertemanan, tidak pernah saya buat ngoyo. Karena itulah, saya punya teman sangat sedikit dan itu tidak jadi masalah.

Saya selalu membalas senyuman atau tegur sapa orang Indonesia yang ketemu dijalan (meskipun saya sendiri nyaris tidak pernah menegur duluan), menjawab obrolan mereka juga. Namun jika sudah terlalu jauh topik obrolannya, saya memilih tidak melanjutkan dan lebih baik permisi pergi. Saya pernah menuliskan di sini, cerita tentang mereka yang saya temui di Belanda, asal njeplak berkomentar padahal kenal (baik) saja tidak.

img_1521

LEBIH “MELEK” DENGAN YANG NAMANYA PRIVASI

Melanjutkan dari tulisan di atas, semakin bertambah umur, saya semakin melek dengan yang namanya privasi. Dulu sih semuanya saya ceritakan dan tuliskan terutama di media sosial. Semakin ke arah sini, saya semakin membatasi dan berpikir berulang kali perkara penting tidaknya mengunggah foto, status, cerita dan tulisan. Tahun 2015 saya deactive FB. Lalu tahun 2018 saya aktifkan lagi. Sejak mengaktifkan lagi, saya benar-benar menggunakan FB sebijak mungkin. Saya kurangi daftar teman yang ada di sana, hanya mereka yang sudah saya kenal yang dipertahankan. Saya makin selektif menerima permintaan pertemanan. Saya unggah sesuatu yang umum-umum saja, bahkan seringnya hanya sebagai sarana berbagi tulisan blog. Berbagi foto? seingat saya, tidak sampai 10 kali foto yang diunggah sejak FB aktif kembali.

Hal tersebut menimbulkan pertanyaan beberapa orang kenapa saya nampak terlalu menutup diri, tidak pernah mengunggah foto keluarga, tidak pernah bercerita tentang keluarga. Bahkan ada yang bertanya apakah kehidupan pernikahan saya baik-baik saja. Mungkin karena dulunya saya terlalu gampang “berbagi” di media sosial dan sekarang nampak lebih tertutup, jadi mereka menginterpretasikan bahwa kehidupan saya di Belanda tidak baik-baik saja. Padahal sebenarnya simpel : sekarang saya lebih nyaman seperti ini, tidak terlalu “obral” diri di media sosial maupun di blog, lebih nyaman dengan ruang privasi saya dan keluarga yang terjaga. Jejak digital tidak bisa dihapus, itu pegangan saya.

MENASEHATI TANPA DIMINTA PENDAPAT

Karena saya terlihat menutup diri dibandingkan sebelumnya, ada beberapa yang memberi nasihat tanpa diminta, berdasarkan asumsi mereka sendiri. Jadi semacam tebak-tebak buah manggis lalu mencoba menasehati. Misalkan : Saya tidak pernah bercerita secara detail tentang keluarga atau memasang foto keluarga, lalu ada yang berasumsi bahwa kehidupan saya di Belanda ada masalah. Lalu dinasehatilah saya bahwa kehidupan berkeluarga memang seperti itu, ada naik turunnya. Padahal, saya tidak pernah memberi komen apapun tentang asumsi yang dibuat. Karena tidak ada komentar dari saya, lalu mereka memberi cap kalau saya sombong sejak tinggal di Belanda. Padahal yang saya lakukan hanyalah tidak mau memberi ruang akan segala hal yang sudah mereka asumsikan sendiri. Saya diberi cap sombong? ya silahkan saja. Sejak di Indonesia pun saya sudah sering diberi cap sombong bahkan judes. Jadi kalau sekarang diberi cap itu lagi, rasanya ya biasa aja. Saya tidak bisa mengendalikan reaksi orang. Itu salah satu contohnya.

PERKARA JANJIAN

Beberapa kali ada teman dan kenalan dari Indonesia yang akan main ke Belanda, selalu dadakan mengajak janjian. Seringnya mereka mengajak ketemuan di Amsterdam. Tempat tinggal saya ke Amsterdam lumayan jauh, sekitar 1.5 jam naik transportasi umum. Pertama, Belanda itu negara kecil dan transportasi di Belanda seringnya tepat waktu (karena ada masanya tidak tepat waktu juga karena kendala teknis). Jadi, jarak tempuh 1.5 jam itu adalah waktu yang lumayan lama. Kedua, transportasi umum di Belanda itu mahal. Jadi biasanya kalau akan pergi jauh, saya mencari info lebih dahulu apakah ada tiket kereta yang dijual murah (banyak promo tentang ini). Meskipun saya menggunakan kartu abonemen (yang akan mendapat diskon 40% jika naik kereta), tapi jika dihitung akan lebih murah menggunakan tiket promo, ya saya menggunakan tiket promo. Belanda ini negara mahal, jadi kalau ada banyak cara untuk bisa hidup hemat, kenapa tidak ya kan.

Alasan ketiga, kami tinggal di Belanda semua dikerjakan berdua. Bukan berarti dengan saya tidak bekerja kantoran lalu saya banyak waktu senggang lalu bisa mengajak ketemuan dadakan. Setiap hari saya sudah punya rencana apa saja yang harus saya kerjakan. Saya sudah terbiasa membuat janjian jauh hari, wong mau makan bakso saja musti janjian paling tidak sebulan sebelumnya. Jadi kalau dadakan, seringnya saya tolak.  Kalau ketemuannya di kota terdekat, akan saya pertimbangkan.

Lalu tanggapan yang saya terima, dibilang saya terlalu londo, terlalu kaku padahal di Indonesia dulu tidak begitu. Mereka lupa, bahwa saya tinggal di Belanda hampir 5 tahun dan sudah menyesuaikan (nyaris) semuanya dengan tempat tinggal saat ini. Ya, lalu bagaimana saya menjadi tidak “terlalu londo?” *sudah terbaca belagu belum.

MEMBATASI DAN MENJAGA JARAK, BUKAN MENUTUP DIRI

Dari semua hal yang saya jabarkan di atas, jika banyak yang mengatakan saya menutup diri, mungkin bagi mereka nampak seperti itu. Saya membatasi dan menjaga jarak dengan orang-orang yang tidak saya kenal baik yang berada di Indonesia maupun orang-orang Indonesia yang ada di Belanda. Buat saya, jumlah teman tidaklah penting. Yang lebih penting adalah kualitasnya. Keluarga, teman-teman dekat, sahabat yang ada sekarang (cuma 4 orang yang semuanya ada di Indonesia), sudah lebih dari cukup. Mereka tidak pernah terlalu mencampuri urusan pribadi, sayapun berlaku sama. Kami tahu batasan masing-masing. Kami saling menanyakan kabar terbaru, cerita terbaru, dan sering juga mengirimkan foto terbaru. Hanya dengan mereka saya merasa nyaman berbagi cerita yang ingin saya bagi. Lalu kalau ada yang bilang saya menutup diri, artinya saya tidak dekat dengan mereka.

Jadi jika ada yang tidak mengenal saya dengan baik lalu berasumsi sendiri tentang kehidupan saat ini, ya monggo. Sekali lagi, saya tidak berhutang penjelasan detail pada siapapun. Yang terpenting, saya tidak pernah menutup diri, hanya membatasi dan menjaga jarak, melakukan hal yang membuat nyaman. Berteman dengan mereka yang saling menyamankan, berbagi kabar pada keluarga yang membuat saya merasa nyaman, dan berbagi hal-hal yang seperlunya saja di media sosial. Rasanya motto yang cocok dengan hidup saya sejak tinggal di Belanda adalah : bertindak, berbicara, dan nyetatus seperlunya saja.

-21 Oktober 2019-

 

Mencicipi Ragam Kuliner di Italia – Bagian II

Baru saja membuka deretan panjang draft, lalu terhenti saat membaca judul dan isinya foto-foto makanan selama di Italia. Ternyata cerita tentang kulineran di Italia yang bagian kedua hanya sebatas judul dan foto, lalu nangkring manis begitu saja di draft haha, padahal sudah ada sejak 2016 *tukang ngedraft. Daripada sia-sia, saya lanjutkan saja, meskipun sudah banyak yang lupa :))) maklumin saja ya, sudah 3 tahun lalu. Cuma satu yang saya ingat dengan pasti, selama makan di Italia, makanannya ga ada yang ga enak karena enak semua. Apalagi yang restoran benar-benar lokal ya, enak semua yang kami makan. Itulah salah satu keuntungannya kalau nginep di airbnb, minta rekomendasi makanan dari orang lokal. Mereka pasti tahu yang enak yang mana.

Cerita kulineran bagian pertama, bisa klik di sini.

Cerita beberapa kota (Venezia, Lake Como, Portofino, Cinque Terre, Burano Murano) yang sempat saya tuliskan selama kami roadtrip di Italia bisa klik di siniMasih banyak yang belum dituliskan seperti Florencia, San Marino, Ravenna, San Gimignano, beberapa kota di Tuscany. Kalau ada waktu mudah-mudah bisa di cicil.

TURIN

Kami sampai Turin sudah menjelang malam, dalam keadaan capek karena muter-muter salah terus menemukan alamat apartemen. Setelah sampai, pemilik airbnb menyarankan kami untuk makan malam di sekitaran Piazza Castello. Nanti di sana akan banyak dijumpai restoran lokal yang kualitas rasanya dijamin ok. Akhirnya selama dua malam kami di Turin, makan malam kami selalu di seputaran Piazza Castello.

Turin, meskipun bangunannya banyak yang nampak kusam, tapi secara keseluruhan kotanya menyenangkan. Jika ada waktu lebih, saya sarankan ke Basilica di Superga yang berada di atas bukit. Dari sana bisa terlihat kota Turin yang cantik. Turin juga dikenal sebagai tempat Juventus berasal dan stadionnya juga di sana (kami tidak ke sana).

 

 

Turin 7

Turin 6Turin 4Turin 3

Turin 8Turin 5

Turin 1.jpg

Turin 2

BRA

Dari Turin, kami mampir sebentar ke kota Bra yang merupakan asal muasal slow food.  Kotanya kecil, jadi cuma beberapa jam saja sudah selesai mengelilingi pusat kotanya. Kami tidak makan siang selama di sana, hanya membeli pizza (camilan haha) dan beberapa pastry.

Bra 1Bra

LA SPEZIA

Saat akan ke Cinque Terre, saya mendapatkan saran dari Anggi untuk mencari penginapan di sekitaran La Spezia karena selain harganya tidak semahal di Cinque Terre, juga bisa mencicipi pesto khas wilayah Genoa (ini kalau tidak salah ingat ya). Kata Anggi, pesto di wilayah Genoa rasanya khas dan berbeda dengan wilayah Italia lainnya. Kami makan di restoran kecil yang isinya orang-orang lokal. Makanannya benar-benar enak dan rasa pestonya memang berbeda dari beberapa kali kami makan di beberapa kota sebelumnya. Nama makanannya yang memakai pesto saya lupa. Yang pasti saya akhirnya membeli satu botol kecil pesto dari La Spezia.

La Spezia 1La SpeziaLa Spezia 3La Spezia 2

SEBUAH KOTA DEKAT VENEZIA

Nah ini dia, saya bener-bener lupa nama kota tempat kami menginap selama ke Venezia. Yang pasti tidak terlalu jauh karena kami naik bis hanya sebentar saja. Kami dapat rekomendasi dari pemilik airbnb untuk mencoba spaghetti cumi item karena khas sana. Makanan di tempat ini enak-enak semua, apalagi spaghetti seafoodnya *saya jadi lapar lho malam-malam nulis ini haha.

M 1MM 3M 2

VERONA

Setelah dari Venezia, kami lanjut ke Verona. Karena cuma satu malam di Verona, kami tidak terlalu kulineran. Tulisan tentang Verona dan Siena sebenarnya juga sudah nangkring lama di draft. Mudah-mudahan saya bisa menyelesaikannya karena dua kota inilah saya akhirnya bisa keturutan juga mewujudkan impian ke Italia. Oh ya, saya kan tidak terlalu suka truffle karena aroma dan rasanya yang tajam. Tapi, selama di Italia jadi doyan banget karena kok rasanya tidak setajam yang pernah saya makan sebelumnya. Kembali ke Belanda, jadi tidak doyan lagi haha. Memanglah makanan Italia di Italia itu luar biasa, semuanya jadi enak.

VeronaVerona 2Verona 3

LAKE COMO

Selama di Lake Como, kami hanya satu kali makan di luar penginapan. Selebihnya kami pesan makanan di penginapan karena memang rasanya lokal sekali. Entahlah, tulisan di blog ini kok terlalu banyak saya menuliskan kata enak, karena memang nyatanya seperti itulah penggambaran selama kami makan di Italia. Tidak ada makanan yang tidak enak yang kami makan.

Lake Como 1Lake Como 2Lake Como

Wah, selesai juga akhirnya, pfiuhh. Saya tidak menuliskan secara rinci ya makanan apa saja dan namanya yang kami makan. Seperti yang saya tuliskan di awal, karena sudah tiga tahun lalu jadi banyak lupanya haha. Beda sekali dengan cerita kulineran bagian pertama yang lengkap sekali ulasannya. Mudah-mudahan setelah baca tulisan kali ini, tidak ada yang keruyukan lapar ya, karena saya sendiri jadi lapar melihat foto-foto makanannya .

-17 Oktober 2019-

Yang Terjadi Pada Kehidupan Setelah Keguguran

Perihal Keguguran. Saya pernah bercerita di blog tentang salah satu keguguran yang terjadi. Cerita singkatnya pernah saya tuliskan di bagian akhir tentang Berkah dan Musibah. Iya, salah satu, karena saya mengalami keguguran tidak hanya sekali. Jumlah keguguran yang pernah saya alami bukanlah hal yang ingin saya banggakan atau untuk kompetisi penderitaan. Bukan. Jika memungkinkan, lebih baik saya tidak pernah mengalami peristiwa yang akan selalu membekas dalam hidup sampai kapanpun. Perihnya bukan hanya tertinggal pada badan, tetapi juga pada jiwa dan pikiran. Sampai sekarang saya masih berdamai dengan keadaan, hati, dan juga pikiran. Tidak semudah itu buat saya untuk melepaskan yang telah pergi, yang pernah satu raga, dan pernah saya lihat detak jantungnya. Tidak semudah itu buat saya untuk melupakan yang pernah saya kandung tetapi tidak sempat saya lahirkan pada saat cukup umur. Hidup memang terus berjalan, tapi kenangan akan mereka selalu melekat dalam setiap langkah saya melewati hari. Kehidupan setelah keguguran tidaklah mudah, sangat tidak mudah.

image1.JPG

Butuh waktu buat saya untuk bercerita tentang keguguran pada lingkungan selain keluarga. Bahkan pada keluarga dekat pun saya memilih untuk tidak bercerita secara detail, malah pada akhirnya saya memilih untuk tidak bercerita sama sekali. Pada akhirnya saya lebih memilih bercerita pada yang saya percaya dan menyamankan. Hal yang paling menyakitkan dan menyedihkan buat saya adalah saat menerima komentar tentang keguguran (di luar lingkungan keluarga). Percayalah, ucapan belasungkawa saja sangatlah cukup. Jika memang tidak diberitahu, lebih baik simpan keinginan untuk bertanya, “kenapa keguguran?” meskipun memang mungkin keinginan bertanya hal tersebut sangatlah kuat. Apalagi kalau komentarnya disertai penghakiman seperti : Terlalu capek sih. Makanya makannya dijaga jangan sembarangan. Mungkin kamu melakukan hal-hal yang dilarang. Sudahlah lupakan saja toh hanya keguguran. Move on dan fokus dengan yang sudah ada sekarang. Dan sebagainya dan sebagainya. Keguguran sudahlah sangat membuat sedih, tolong jangan ditambahi dengan komentar yang lebih membuat terluka. Jika memang tidak diminta pendapat, tolong simpan saja segala macam komentar. Cukup berikan rasa simpati dan empati, itu sungguh sangat berarti. Mudah-mudahan tulisan saya kali ini bisa memberikan gambaran, bagaimana musti menyikapi dan bersikap ketika kita mendengar ada kerabat, teman, atau kenalan yang mengalami keguguran. Mungkin memang membingungkan bagaimana harus bersikap. Jika lama tidak berkomunikasi lalu mendengar ada yang keguguran dan kalian ada sedikit waktu, sekedar menanyakan kabar, itu sangatlah berarti. Jika mereka butuh dipeluk untuk membuat tenang, peluklah. Mungkin tampak luar mereka baik-baik saja, tapi dalamnya mereka sedang berjuang menyatukan kepingan-kepingan hati supaya kuat kembali. Mereka sedang bingung dan butuh ruang. Terkadang mereka butuh bahu dari seorang teman untuk menyandarkan sejenak dari rasa sakit akan kehilangan.

IMG_0123

Dukungan dari pasangan sangat diperlukan. Saya tahu, kesedihan bukan hanya dimonopoli oleh calon Ibu yang kehilangan calon bayinya. Rasa sedih pasti juga dirasakan oleh calon Bapak. Dalam situasi yang seperti ini, saatnya untuk menguatkan satu sama lain. Saling mendampingi dan tidak meninggalkan sesulit apapun kondisi dan situasinya. Jika memang kata-kata tak cukup untuk saling menguatkan, peluk sesering mungkin pasangan kalian. Perempuan yang kehilangan janinnya, perasaannya akan hampa dan kosong, bahkan seringnya emosi juga turun naik. Bagi suami atau pasangannya, tolong dampingi istrimu atau pasanganmu. Jangan anggap sepele perkara keguguran. Buat Istri, Perempuan yang mengalami keguguran, tolong sempatkan untuk menanyakan perasaan suami atau pasangan kalian. Kesedihan bukan hanya milik kalian saja. Suami atau pasangan kalian juga merasakan kehilangan itu. Inilah waktunya untuk saling menguatkan. Keguguran bisa mengakibatkan depresi jika tidak ada dukungan dari orang terdekat, bahkan bisa juga membuat retak hubungan dan ikatan pernikahan.

image3.JPG

Untuk semua Ibu yang kehilangan bayinya, doa saya selalu menyertai semoga saya, kalian, kita semua yang kehilangan selalu dikuatkan. Saya tahu, entah butuh berapa lama untuk bisa berdamai dengan keadaan ini. Rasa sakit yang menyertai hari-hari kita, pertanyaan yang selalu datang, “jika mereka lahir dengan sehat, tahun ini mereka seperti apa, sudah bisa apa?” Pertanyaan itu tetap datang pada saya, setiap saat. Bukan karena saya tidak mau melepaskan dan melanjutkan kehidupan dengan yang ada saat ini, tetapi seperti yang saya bilang di awal, kehilangan tetaplah kehilangan. Butuh waktu yang entah berapa lama untuk mengatasi rasa sakit karena kehilangan. Mungkin setahun, dua tahun, atau mungkin memang waktu tidak bisa menyembuhkannya karena sakit itu akan selalu ada. Saya tidak tahu caranya menghentikan rasa sakit itu dan saya memang tidak mencari tahu bagaimana caranya. Saya tahu rasa sakit yang kalian alami juga and I am sorry that any of us ever had to know this reality. Saya tahu duka itu mungkin akan selalu ada. Yang bisa kita lakukan adalah tetap menjalani hari demi hari dan membawa dalam hati dan pikiran, hati bayi kita yang hilang. Mereka pernah ada di sini. Mereka pernah ada satu badan dengan kita. Mereka pernah ada satu detak jantung dengan kita. Mereka pernah kita kandung. Kenangan akan mereka akan selalu ada sampai kapanpun. Bawa mereka dalam doa. Saya, Kalian adalah Ibu mereka, selamanya dan untuk selamanya.

Peluk erat dari saya.

Terima kasih saya ucapkan (kali ini saya tuliskan di blog setelah waktu itu saya ucapkan langsung) sepenuh hati pada teman-teman yang telah menguatkan saya, memikirkan, mencari dan menanyakan kabar saat saya tidak bisa dihubungi karena sedang butuh ruang untuk sendiri, serta ikut mendoakan yang terbaik untuk keluarga kami. Terima kasih.

-15 Oktober 2019-

 

 

Lima Tahun Ngeblog

Como - Lake Como - Italy

…. di WordPress.org. Kalau lama ngeblog dihitung sejak awal mula sampai pindah-pindah platform dari friendster, multiply, blogspot, tumblr sampai wordpress, ya sudah lebih dari 15 tahun. Lumayanlah, lebih dari 15 tahun nggedabrus lintas platform haha. Tapi yang paling tidak terlupakan sewaktu aktif di blogspot karena sampai bisa menulis yang dijadikan beberapa buku (antologi) bersama penulis-penulis lainnya. Kalau tidak salah ada 5 buku berbeda. Produktif sekali waktu itu. Jamannya sering pulang subuh karena lembur di  kantor, diantara tumpukan angka-angka dan materi presentasi, masih sempat juga saya untuk mengikuti beberapa project membuat buku, tetap aktif menulis di blog, aktif di media sosial.

Umur blog ini sesuai dengan umur pernikahan karena memang dibuat beberapa bulan sebelum kami menikah. Awalnya ditulis bareng suami. Lama-lama suami fokus dengan blognya sendiri dan saya tetap menulis di sini. Selama 5 tahun sudah ada 280 tulisan. Ya lumayanlah meskipun tidak terlalu aktif sekali tapi setidaknya selama lima tahun tetap konsisten menulis, dari tulisan yang sangat serius sampai yang super receh.

Perjalanan menulis lima tahun di WP pun bisa terlihat dengan jelas. Kalau dulu dipikirkan setiap mau menulis kira-kira temanya harus yang seperti apa ya. 2.5 tahun terakhir saya semakin santai, menulis apa yang ingin saya tulis. Apa yang melintas di kepala. Karena tidak terbawa beban mungkin ya jadinya ya mengalir begitu saja dan temanya pun tidak terlalu saya pikirkan apakah akan kontroversial atau tidak. Selama tidak menyinggung orang lain, ya saya tuangkan saja apa yang ada diisi kepala. Misalkan tema yang sensitif seperti agama, kalau saya ingin bahas ya santai saja saya tulis. Dan juga saya tidak lagi memikirkan apakah tulisan saya ada yang membaca atau tidak, ada yang berkomentar atau tidak. Apapun itu, saya tetap menulis.

Hanya saja, ada beberapa hal yang sampai saat ini tetap saya patuhi rambu-rambu yang saya dan suami buat untuk blog ini. Salah satunya, sejak awal kami sepakat tidak menuliskan secara detail cerita tentang keluarga. Sejauh ini, saya tetap patuh dengan aturan yang kami buat sendiri. Apa tidak pernah tergoda untuk menuliskannya? saya bisa jawab dengan tegas, tidak sama sekali. Ada banyak tema yang bisa saya tulis di blog ini selain tema keluarga. Banyak sekali ide-ide lainnya, jadi saya menuliskan yang menyamankan saja.

Ditengah suasana dunia blog yang semakin sepi, saya tetap konsisten bisa menulis seminggu sekali. Mungkin karena saya tidak terlalu memikirkan konten jadi ya santai saja. Atau memang karena saya sangat suka menulis, jadi kalau tidak menulis ada yang kurang dalam hidup *tsaahh!. Sebenarnya seminggu sekali masih kurang karena ada banyak ide-ide di kepala yang ingin saya tuliskan. Tapi prioritas saya bukan ngeblog untuk saat ini. Lumayanlah ditengah keriuhan aktifitas sehari-hari yang lumayan padat, saya masih bisa meluangkan seminggu sekali untuk menulis di blog (dan membaca buku). Dunia blog semakin sepi mungkin karena para blogger sudah pindah aktifitas di media sosial ya atau karena kesibukan yang bertambah. Selama WP belum gulung tikar, saya akan tetap menulis apapun ide-ide yang ada di kepala. Kalau gulung tikar, ya pindah platform lagi :D.

Terima kasih untuk email-email yang saya terima. Apresiasi yang saya dapatkan karena beberapa mendapatkan informasi dari yang saya tuliskan dan juga mereka berterima kasih karena bisa membaca cerita-cerita ringan tapi enak dibaca dari blog ini. Saya berterima kasih kembali karena menyediakan waktu untuk membaca dan mengirim email pada saya. Terima kasih juga bagi rekan-rekan blogger atau pembaca yang telah menuliskan komentar meskipun ada beberapa yang menyampaikan bahwa kolom komentar di blog ini sulit ditembus seperti benteng Takeshi :))). Saran dan kritik dengan senang hati saya terima, jadi bukan hanya pujian saja. Monggo yang mau memberikan kritikan silahkan tulis di kolom komentar atau berkirim email pada saya. Ada beberapa kritik pernah saya terima di komentar dan juga email. Saya dengan senang hati membuka ruang diskusi.

Varenna - Lake Como - Italy
Varenna – Lake Como – Italy

Berkat blog, saya bisa mengenal dan berjumpa beberapa orang kenalan. Dari blog juga saya mendapatkan banyak wawasan baru karena membaca tulisan blogger lainnya juga bertukar pikiran dengan beberapa pembaca lewat email. Meskipun sekarang saya jarang sekali blogwalking karena keterbatasan waktu dan jika membalas komentar sangat lama, tapi jangan khawatir karena setiap komentar akan saya balas, setiap email akan saya balas juga serta jika ada waktu (sedikit luang) akan saya sempatkan BW, meskipun saya tidak mengomentari semua tulisan yang saya baca.

Buat rekan-rekan blogger yang sedang tidak aktif dan membaca tulisan saya, yuk aktif ngeblog lagi. Mari kita ramaikan dunia blog seperti 4-5 tahun lalu. Sekarang saya membaca 2 tulisan baru setiap harinya, sudah untung-untungan. Padahal 4-5 tahun lalu, setiap hari sampai kewalahan mau blogwalking karena banyak sekali tulisan dari blogger. Yuk rekan-rekan blogger, ngeblog lagi biar ramai seperti ramainya media sosial macam IG dan Twitter.

Semoga kedepannya apa yang saya tuliskan di blog ini akan semakin baik lagi dan semoga yang membaca mendapatkan manfaatnya. Jadi, selama WP tidak gulung tikar, saya akan tetap ngeblog karena banyak sekali opini yang perlu saya tuangkan dalam tulisan. Tetap semangat ngeblog!

-23 September 2019-

Sebuah Pelukan

Sunset di Karimunjawa

Hari minggu kemaren saya pergi ke provinsi sebelah dalam rangka memenuhi undangan seorang teman yang mengadakan syukuran 7 bulan kehamilannya. Saya pergi tanpa suami. Total perjalanan 2 jam, diantaranya dengan naik kereta cepat selama 1 jam. Syukurlah suami dari teman saya tersebut menawarkan untuk menjemput dan mengantarkan kembali ke stasiun besar. Acara syukurannya berjalan lancar, menyenangkan, dan saya kenal dengan beberapa orang baru. Saya harus mengejar kereta kembali karena harus sampai rumah sebelum jam 7 malam.

Lima menit sebelum kereta tiba, saya sudah sampai stasiun. Saat kereta tiba, saya memilih duduk di ruangan antar gerbong, jadi bukan di dalam gerbongnya. Ruangannya cukup luas, ada 7 tempat duduk dan ruang kosongnya. Segera setelah kereta jalan, saya mengeluarkan Hp, mengirimkan pesan ke suami kalau saya sudah dalam perjalanan pulang dan sambil mengecek pesan-pesan yang masuk (selama acara berlangsung saya tidak mengeluarkan Hp). Saya satu-satunya orang dewasa dalam ruangan tersebut.

Tidak berapa lama, pintu antar gerbong terbuka. Dengan ekor mata, saya melihat seorang wanita muda berjalan dan memilih duduk di seberang, dekat dengan pintu. Mata saya masih membaca pesan-pesan dalam Hp sembari saling berkirim pesan dengan suami. Tak berapa lama, seorang kondektur datang memeriksa tiket. Saya mengangkat kepala dan baru menyadari bahwa wanita muda itu sedang menangis terisak. Kondektur tersebut bertanya pada wanita itu apakah ada yang bisa dibantu, wanita tersebut menggelengkan kepala sambil tersenyum, “terima kasih, saya tidak apa-apa.” Sebelum kondektur pergi, dia memastikan pada wanita tersebut jika membutuhkan bantuan jangan sungkan untuk mengatakan.

Tinggal kami, dua orang dewasa dalam ruangan kecil. Saya memandang dia, tidak tahu harus bagaimana. Sedangkan wanita itu semakin keras menangisnya sambil memandang keluar pintu. Suasana canggung, masih tersisa 50 menit perjalanan dan 4 stasiun yang harus saya tuju. “Anda baik-baik saja?” sangat terdengar konyol memang pertanyaan itu karena jelas dia sedang tidak baik-baik saja. Hanya, saya tidak tahu kalimat apa untuk membuka obrolan. “Terima kasih, saya baik-baik saja,” ucapnya sambil melihat sekilas ke arah saya. Dia kembali menangis dan saya mencoba membuka obrolan lagi, “boleh saya duduk sebelah Anda, mungkin ada yang bisa saya bantu.” Dia menganggukkan kepala.

Saya berjalan ke arahnya, duduk di sebelahnya, lalu saya melihat dia sedangkan dia juga memandang mata saya, “Sterkte, yang kuat ya,” kata saya sambil menyentuh lembut pundaknya. Apapun yang terjadi, pasti permasalahan yang sedang menimpanya sangat berat. Saya mencoba menguatkannya dengan mengucapkan kata itu. Dia melihat saya dan semakin deras air mata yang keluar. “Kalau kamu ingin ada yang diceritakan, saya bisa mendengarkan. Saya masih punya waktu banyak sampai stasiun yang saya tuju.” Saya mengganti kata Anda dengan Kamu, karena yakin dia lebih muda dibanding saya dan supaya suasana lebih cair.

Sambil menangis, dia bercerita dari awal sampai akhir dan detail apa yang sudah menimpanya. Cerita yang dia sampaikan terpotong-potong, beberapa kali sempat terhenti karena tangisannya yang semakin menjadi. Saya sabar mendengarkan sembari sesekali menyentuh pundaknya untuk menguatkan. Setelah ceritanya selesai, saya menarik nafas, “saya tidak punya apa-apa untuk membantu kamu. Bahkan air saja yang biasanya tidak lupa saya bawa, entah kenapa kali ini saya tidak membawa. Jadi saya tidak bisa menawarkan air minum. Tapi jika kamu mau, saya bisa memelukmu, mungkin akan membuat kamu sedikit tenang.”

Dia lalu memeluk saya dan semakin menangis. Saya mengelus punggungnya. Saat memeluk dia, mata saya berkaca-kaca. Mungkin karena kami dalam posisi yang sama, tapi dia sedang tertimpa musibah, jadi saya seperti bisa merasakan kepedihannya. Setelah beberapa menit, dia melepaskan pelukan lalu tersenyum pada saya, “terima kasih, saya sekarang lebih tenang. Terima kasih kamu sudah mendengarkan cerita saya dan menawarkan untuk memeluk. Itu sangat menenangkan dan saya butuhkan saat ini. Terima kasih.”

Saya tersenyum, tetap duduk disebelahnya, lalu saya menyandarkan punggung. Kami sama-sama terdiam dan dia lebih tenang dari sebelumnya. Tak berapa lama, dia membuka percapakan dengan bercerita beberapa hal. Karena suasana sudah lebih cair, saya bisa bertanya lebih banyak dan dia juga menceritakan banyak hal pada saya. Wanita muda yang sedang kesusahan. Wanita muda yang sedang diberikan cobaan hidup.

Saya mendengarkan pengumuman, stasiun yang saya tuju semakin dekat. Saya berpamitan, “Sebentar lagi saya harus turun. Yang kuat ya dan harapan saya kamu bisa mendapatkan jalan keluar yang terbaik dari masalah ini.”

Setelah turun dari kereta, perlahan saya menuju halte bus. Tiba-tiba saya terkesiap, teringat dengan kejadian beberapa tahun lalu. Sore itu, saya ingin keluar rumah sebentar menuju taman dekat rumah. Saya ingin menghirup udara segar setelah beberapa hari mengurung diri di rumah dan menangis karena ada masalah besar yang menimpa. Sesampainya di taman dan duduk, mata saya menikmati pemandangan angsa yang hilir mudik di sungai kecil. Tak berapa lama, saya terisak karena teringat kembali masalah itu.

Awalnya hanya isakan, lama-lama menjadi tangisan besar. Saya tidak tahu kalau ada orang lain di taman itu dan sejak datang sudah memperhatikan. Dengan ekor mata, saya melihat Ibu paruh baya melangkah mendekat dan duduk disebelah. Saya melihat dia dengan tetap menangis. Ibu itu tersenyum tipis, “boleh saya memeluk kamu? mungkin kamu akan lebih tenang.” Saya lalu memeluk Beliau dan menumpahkan apa yang menyesakkan di dada. Hanya menangis tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Saya menangis selama beberapa menit. Kemudian setelah agak tenang, saya melepaskan pelukan. Saya tersenyum, “terima kasih sudah bersedia memeluk saya. Sekarang saya lebih tenang. Terima kasih.” Dia lalu berkata, “saya tidak tahu masalah apa yang sedang menimpa kamu, tapi saya tahu kamu akan mendapatkan jalan keluar yang terbaik. Sterkte, yang kuat ya. Saya pergi dulu.” Saya tersenyum. Saya tahu, bahwa jalan keluar yang terbaik dari masalah yang terjadi saat itu adalah mengikhlaskan. Saya kembali ke rumah dengan perasaan lebih ringan.

Sunset di Karimunjawa
Sunset di Karimunjawa

Semoga wanita muda tersebut kuat dan mendapatkan jalan keluar terbaik, bisa melanjutan hidupnya ke depan dengan lebih baik. Saya tidak bisa membantu banyak, hanya mampu menawarkan pelukan. Semoga Ibu yang memeluk saya pada sore itu diberkahi hidupnya karena sudah memeluk saya meskipun kami berdua tidak mengenal satu sama lain. Karena pelukan Beliaulah, sore itu saya jadi tahu bahwa ikhlas adalah jalan keluar yang terbaik. Semua karena sebuah pelukan.

Bis yang membawa saya bergerak perlahan. Saya tidak sabar sampai di rumah dan bertemu keluarga kecil saya dan memeluk mereka satu persatu. Betapa saya sangat beruntung setiap saat menerima dan memberikan pelukan untuk mereka yang saya cinta.

Peluklah dengan hangat dan sesering mungkin yang kita cintai, ucapkan sayang, pandang mata mereka, dengarkan cerita mereka, segeralah minta maaf jika melakukan kesalahan, dan manfaatkan waktu bersama mereka. Hp, media sosial, dan segala macam gawai bisa menunggu, tapi waktu kebersamaan dengan yang kita cintai tidak akan terulang. Manfaatkan sebijaksana mungkin.

Tulisan ini ada karena kisah sebuah pelukan. Kita tidak pernah tahu, hal yang nampak sepele, mungkin bisa memberikan kekuatan pada orang lain.

-9 September 2019-

Saat Suami Berkunjung ke Indonesia

Saya tiba-tiba ingin menuliskan beberapa hal saat suami berkunjung ke Indonesia 5 tahun lalu. Tahun 2014 ada dua kali kunjungan, yang pertama untuk melamar dan 6 bulan kemudian suami datang lagi untuk menikah. Kunjungan pertama hanya satu minggu, sedangkan kunjungan kedua selama 6 minggu karena setelah menikah kami bulan madu backpacker-an dari Bali sampai Bandung, benar-benar naik transportasi umum perjalanan darat berhenti di beberapa kota. Nah selama dua kunjungan itu, ada hal-hal dari yang lucu sampai yang biasa saja tapi teringat terus sampai sekarang. Sebenarnya banyak ya cerita-cerita selama suami di Indonesia, tapi saya tuliskan yang paling diingat saja.

  • TANGAN SAKTI

Malam pertama dia di Surabaya (saat itu status masih teman), saya jemput dia di penginapan yang tidak jauh dari kos saya. Lalu kami jalan kaki menuju tempat makan yang ada di Mulyosari. Nah ketika hendak menyeberang jalan, saya kan tengok kiri kanan dulu. Lalu saya bilang, “nanti kalau aku nyebrang, kamu ikut nyebrang ya sambil tangan kamu agak diangkat satu kayak posisi menyetop,” saya memberikan contoh. Dia masih bingung, tapi mengikuti saya ketika menyeberang. Itu jalanan Mulyosari lumayan ramai kalau malam. Jadi kalau terlihat agak sepi, harus cepat-cepat menyeberang.

Sesampainya di seberang jalan, dia bertanya,”kok tadi kita tidak menyeberang di tempat penyeberangan? Kok bisa sih menyeberang hanya dengan mengacungkan tangan seperti itu?” saya jawab,”wah, bisa kelamaan kalau nyebrang di tempat penyeberangan. Ya beginilah cara kami menyeberang. Memang kalau menyeberang seperti itu, meskipun tidak jaminan kendaraan akan berhenti sih. Tapi lumayan memberi tanda kalau kita akan menyeberang.”

Dia cuma komen,”sakti sekali ya fungsi tangan di sini, bisa untuk menyeberang dan memperlambat laju kendaraan.” haha saya waktu itu tertawa melihat mukanya yang masih bingung. Setelah tinggal di Belanda, barulah saya paham kenapa waktu itu dia reaksinya seperti itu. Di Belanda, tidak bisa sembarangan menyeberang jalan. Kalau mau menyeberang, di tempat penyeberangan dan musti memencet tombol dulu dan tunggu sampai lampu untuk pejalan kaki (atau pesepeda) berwarna hijau. Bisa saja menyeberang tanpa di tempat penyeberangan khusus, misalkan jalan di desa yang kecil, tapi perhatikan rambu disekitarnya. Meskipun di Belanda pejalan kaki adalah raja, tapi jika ada tanda bahwa pejalan kaki menyeberang menunggu mobil lewat, maka harus dipatuhi juga. Dan tidak ada tangan sakti di sini.

  • SARAPAN SUPER LENGKAP

Sejak pertama dia datang ke rumah orangtua, saya sudah mewanti-wanti kalau Ibu selalu menyiapkan sarapan yang pasti termasuk ukuran berat buatnya, apalagi kalau ada tamu yang menginap. Berat di sini maksudnya setara dengan makan siang dia. Benar saja, saat sarapan Ibu memasak nasi goreng, telor dadar, sambel, ayam goreng, pepaya, dan menyajikan nasi putih juga oseng kangkung. Dia yang biasa cuma sarapan dengan roti gandum dua lembar, mentimun diiris, telor rebus, keju dan yoghurt, terbelalak betapa banyaknya menu sarapan di Indonesia. Dia lalu bisik-bisik ke saya.”sarapannya seperti ini, bagaimana makan siang dan malamnya ya.” Saya bilang kalau di Indonesia tidak ada beda antara sarapan, makan siang, atau malam, semuanya berat haha.

Sebagai bayangan, kami di Belanda makan berat hanya sekali dalam sehari. Umumnya orang Belanda akan makan panas saat makan malam. Tapi di keluarga kami, makan panas justru siang hari sedangkan makan malam hanya roti atau salad. Makan panas ini maksudnya makan lengkap ya dan dalam keadaan panas. Sedangkan sarapan, saya cukup makan buah (pisang atau apel), minum susu almond. Itu sudah cukup sampai waktu makan siang. Kalau lagi males sarapan buah, ya saya sarapan roti dua lembar pakai keju atau selai coklat pakai meses. Simpel kan.

  • ARTI LAMPU LALU LINTAS

Saya ingat sekali kejadian ini. Setelah kami selesai berkunjung ke museum House of Sampoerna, kembali ke penginapan kami naik bemo O dari jembatan merah. Kami duduk di muka. Sesampainya di depan Galaxy Mall, saat lampu lalu lintas terlihat warna kuning dari kejauhan, supir bemo melambatkan kendaraan. Nah saat lampu berwarna merah, kami melihat beberapa sepeda motor tetap menerobos. Pemandangan tersebut tentu saja biasa untuk saya, tapi tidak untuk suami. Dengan perlahan memutar kepala ke arah saya, dia nanya, “arti lampu berwarna merah di sini dengan di negaraku apa beda ya? kalau di Belanda, lampu warna merah berhenti. Kalau di sini apa perkecualian untuk sepeda motor?” Hahaha saya langsung tergelak mendengar pertanyaannya. Saya lalu menjelaskan, ya di mana-mana sama artinya, hanya di Indonesia pemandangan seperti itu akan sering dilihat. Memang salah, tapi ya sudah mendarah daging nampaknya. Dia hanya mengangguk-angguk tapi mukanya tetap bingung haha.

  • TUKANG PARKIR SILUMAN

Beberapa kali kejadian, saat naik mobil, cari posisi parkirnya sendiri, eh tiba-tiba saat akan pergi tukang parkir datang minta uang parkir. Lah dia fungsinya apa ya, bantuin cari tempat kosong nggak, minta uang iya. Nah, suami juga komennya sama, dia sampai bingung, orang kok tiba-tiba muncul kayak siluman trus minta uang. Maklum ya, di Belanda mau parkir pun pasti nyari tempat sendiri. Tidak ada yang namanya tukang parkir, apalagi yang tiba-tiba muncul hanya minta uang saja.

  • SHOWER DAN WC JONGKOK

Di Belanda kan kamar mandinya kering. Bagian basah hanya untuk mandi. Selebihnya, kering semua. Sedangkan di rumah ortu, kamar mandi adanya ya bak mandi besar. Sedangkan WC tipe yang jongkok. Di kamar mandi selalu tersedia selang yang fungsinya untuk mengeluarkan kotoran yang ada di bagian bawah bak mandi. Kotoran ini maksudnya seperti tanah lembut yang terikut air keran. Sewaktu mandi, suami mikir selang ini fungsinya apa. Lalu dia ngarang sendiri apa mungkin semacam shower gitu haha. Tapi kalau misalkan semacam shower, cara pakainya bagaimana. Selesai mandi, dia cerita sama saya lalu saya tertawa terpingkal. Untung saja dia tidak menggunakan selang itu untuk mandi haha. Dan selama di rumah orangtua, tentu saja dia sangat tersiksa kalau di WC. Ya bagaimana tidak, kebanyakan orang Belanda kan tidak bisa duduk jongkok. Pasti susah buang hajat besar sambil jongkok.

Kami, 5 tahun lalu. Dan Saya, berpuluh-puluh kg lalu :D
Kami, 5 tahun lalu. Dan Saya, berpuluh-puluh kg lalu 😀
  • TISSUE TOILET

Di Indonesia, pada umumnya tissue yang digunakan dan diletakkan di atas meja restauran adalah tissue gulung yang sebenarnya adalah tissue toilet. Saya pun dulu cuek saja menggunakannya. Tapi suami saat pertama melihat sudah merasa aneh dan memastikan apakah tissue yang di taruh di atas meja itu tidak tertukar dengan tipe tissue lainnya.

Setelah tinggal di Belanda dan dipikir kembali, wah iya ya, pantas saja suami males menggunakan tissue gulung yang disediakan di restauran atau warung-warung di Indonesia, lah wong memang fungsinya untuk di toilet, bukan untuk mengelap mulut.

  • DUDUK MELANTAI

Nah ini yang tadi sempat saya singgung. Seperti kebanyakan orang Belanda (dan orang Eropa mungkin ya), mereka tidak bisa duduk dalam posisi jongkok. Entah mungkin tidak terbiasa sejak kecil. Hal tersebut akhirnya berpengaruh pada susahnya mereka untuk duduk lesehan. Suamipun seperti itu. Keluarga saya sudah terbiasa ngobrol santai ya lesehan. Sedangkan suami kesusahan duduk lesehan. Daripada merasa tersiksa, saya suruh saja dia duduk di kursi. Jadi terbayang, orang-orang lainnya duduk di lantai (bahkan sampai yang paling tua pun), suami seperti raja duduk sendirian di kursi haha. Orang kalau tidak mengerti dipikir suami tidak ada unggah ungguhnya. Yang lain duduk melantai, dia duduk di kursi, padahal yang sepuh lainnya ada di bawah. Untuk ukuran orang Jawa, tentu saja hal tersebut tidak sopan ya. Tapi buat suami, perkecualian. Daripada kakinya bengkak kan.

  • SAUDARA SATU DESA

Setelah menikah, kami menyempatkan untuk berkunjung ke rumah saudara-saudara yang ada di desa. Meskipun mbah saya sudah meninggal, tapi kami ada satu rumah yang biasa kami tempati jika berkunjung ke sana. Selama tiga hari saya dan suami tinggal di desa. Selama itu, saya memperkenalkan suami ke semua saudara yang ada di sana. Yang anehnya dan baru saya sadari waktu itu, ternyata hampir seluruh penduduk desa mempunyai hubungan saudara haha. Sampai suami bingung, banyak sekali saudara saya. Dibandingkan dia dan keluarganya yang memang sangat sedikit jumlahnya, saya dan saudara-saudara tentu saja jumlahnya terlalu banyak untuk ukurannya. Dia bilang,”bagaimana kamu bisa hafal kalau A adalah Bude kamu, C adalah sepupu kamu, Z adalah keponakan kamu dll. Padahal jumlahnya kan banyak,” saya bilang saja,”ya setiap lebaran selalu diulang-ulang lama-lama jadi hafal sendiri.” hahaha.

  • MAKANAN SUPER MURAH

Ya kalau ini memang sudah tidak diragukan lagi ya. Makanan di Indonesia tentu saja relatif lebih murah dibandingkan harga makanan di Belanda. Salah satu contoh saja saat kami makan di Jejamuran Jogjakarta. Kami memesan menu super lengkap ditambah minum beberapa jenis, saat membayar hanya sekitar 60 ribu rupiah atau setara 4 euro saat ini. Dia sampai sangat heran, makanan yang begitu banyak, enak, dan sangat mengenyangkan hanya seharga satu jenis makanan di Belanda. Belum lagi waktu di kota  saya, beli nasi goreng cuma 50 cent, sudah bisa dimakan berdua saking banyaknya.

10391041_10152692204928812_7177307795553235946_n

  • JALAN TOL ATAU LAPANGAN PARKIR

Minggu terakhir bulan madu, kami menginap di rumah pak lek saya di Bekasi. Nah, kami berencana akan liburan ke Bandung dan menginap satu malam. Jadwal kereta ke Bandung yang paling awal sekitar jam 8 (kalau tidak salah ingat ya). Pak Lek saya bilang, lebih baik berangkat setelah subuh dari Bekasi karena kalau telat sedikit, jalan tol sudah macet parah. Benar saja, meskipun kami sudah berangkat pas setelah sholat subuh, ternyata keluar dari tol Jati Asih, kendaraan bergerak lambat cenderung tidak bergerak. Telat beberapa menit saja sudah begitu keadaannya. Suami waktu itu sampai bingung dan bertanya ke Pak Lek yang posisi menyetir mobil,”ini kita sedang ada di lapangan parkir atau bagaimana ya, kok banyak mobil yang berhenti.” hahaha Saya dan Pak Lek langsung tertawa terpingkal. Saya terangkan kalau kita sedang berada di jalan tol yang selalu banyak hambatan haha.Ya maklum saja, di negaranya namanya jalan tol ya jalan yang lancar meskipun tidak selalu ya. Jika jam-jam sibuk misalkan jam pulang kantor juga macet meskipun tidak sampai berhenti total.

Cerita yang saya tuliskan di atas kejadiannya 5 tahun lalu ya, jadi mungkin saja ada yang berbeda saat ini. Saya sendiri sudah lebih dari 4.5 tahun sejak tinggal di Belanda, belum pernah sekalipun mudik, jadi tidak tahu situasi saat ini. Menuliskan hal-hal yang berkesan tersebut membuat saya senyum-senyum sendiri dan tertawa ngikik bersama suami yang ada di sebelah saya sedang membaca buku sambil ngobrol. Jadi kangen dengan Indonesia.

Selamat berakhir pekan semua. Mungkin ada cerita dan pengalaman kenalan atau pasangan atau teman saat pertama kali berkunjung ke Indonesia, bagaimana kesannya, mungkin ada cerita lucu silahkan tulis di komen.

-5 September 2019-

 

 

Pembahasan Penting Sebelum (Memutuskan) Kawin

Saya menikah saat umur tak lagi muda untuk ukuran orang Indonesia. Justru saya bersyukur sekali menikah saat jiwa raga, mental spiritual sudah siap, meskipun kata lingkungan terbilang telat. Saya pribadi tidak memandang dan merasa menikah saat usia 33 tahun telat. Saya menikah ketika banyak hal suka duka dalam kehidupan sudah terlewati, mengajarkan banyak hal, jadi saat memutuskan serta melihat sesuatu tidak grasa grusu lagi. Pun ketika saya dipertemukan dengan suami, saya memutuskan menikah dengannya setelah melalui pembicaraan dan diskusi yang panjang tentang beberapa hal. Diskusi ini benar-benar sangat terbuka tanpa ada satupun yang kami tutupi. Kami melakukan pembicaraan ini untuk memperkecil gesekan yang akan kami hadapi dalam kehidupan rumah tangga. Memperkecil ya, bukan meniadakan. Dua kepala yang berbeda tinggal dalam satu rumah dengan sebuah ikatan, mustahil kalau selalu adem ayem. Tapi dengan pembicaraan yang tuntas tentang beberapa hal yang kami anggap penting sebelum melanjutkan untuk memutuskan menikah, saya rasakan rumah tangga kami tak terlalu gonjang ganjing. Justru seringnya pertengkaran datang dari hal-hal yang sepele, misalkan saya lupa menutup kran setelah menyiram tanaman atau suami memakai sepatu naik ke lantai atas karena terburu-buru ingin mengambil suatu barang. Selebihnya, ya kami lewati 5 tahun pernikahan (dan semoga banyak tahun-tahun di depan) dengan baik-baik saja.

Beberapa hal di bawah ini yang kami bicarakan sebelum melanjutkan hubungan dan memutuskan untuk menikah. Hal-hal di bawah ini juga saya terapkan saat saya berhubungan dengan beberapa pria sebelum bertemu suami *bukan bermaksud sok laku ya haha. Tulisan ini sangat panjang, jadi siapkan waktu luang jika berniat membaca.

  • BAYANGAN AKAN RUMAH TANGGA

Bayangan akan rumah tangga ini maksudnya kami saling mengemukakan pendapat rumah tangga seperti apa yang ingin kami punya nantinya. Hubungan yang seperti apa, keluarga yang bagaimana ataupun bayangan hal-hal apa saja yang akan kami lakukan. Lebih khususnya kami dulu membicarakan tentang hak dan kewajiban. Misalkan salah satunya tentang mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Apakah harus istri semua yang mengerjakan atau ada pembagian atau fleksibel siapapun bisa mengerjakan apapun. Itu sangat penting dibicarakan diawal untuk menghindari kekesalan yang timbul nantinya setelah menikah.

Saya dibesarkan oleh orangtua yang selalu berbagi dan saling membantu pekerjaan rumah tangga. Bapak saya selalu penuh suka cita saat mencuci baju (Kami tidak pernah punya mesin cuci, jadi mencuci baju manual dengan tangan), memasak, mencuci piring, menyapu, bahkan mengepel (Bapak selalu mengepel dengan berjongkok, tidak pernah menggunakan alat) dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya. Apalagi saat Ibu melanjutkan kuliah, otomatis Bapak yang sering berperan dalam mengerjakan pekerjaan RT. Kami anak-anaknya pun sejak kecil sudah diajari untuk membantu tugas dalam rumah meskipun saat itu kami punya pembantu. Saya sudah diajari menanak nasi dengan cara aron dan memakai dandang saat kelas 4 SD. Dan sejak itu, salah satu tugas saya adalah menanak nasi.

Dengan latar belakang seperti itu, penting bagi saya mempunyai suami yang dengan kesadaran (tanpa disuruh-suruh apalagi menggerutu) untuk berbagi peran dalam rumah tangga, mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan fleksibel dalam tugasnya. Beberapa kali mengenal pria yang tidak mau mengerjakan pekerjaan rumah tangga karena menurut mereka hal itu adalah mutlak harus istri yang mengerjakan. Meskipun misalkan pria tersebut seganteng Nicholas Saputra, saya jadi tidak selera lagi melanjutkan hubungan.

Ada satu lagi yang saya biasanya langsung berpikir ulang untuk melanjutkan hubungan, jika bertemu dengan pria yang selalu membandingkan dengan Ibunya dan mengharapkan saya seperti Ibunya. Percayalah, saya tidak bisa berhubungan dengan lelaki seperti itu. Saya adalah saya, berdiri sendiri tidak mau dikasih tempelan ataupun dituntut seperti orang yang sangat dikaguminya. Jika hal ini tidak dibicarakan di awal, nantinya pasti akan jadi salah satu sumber pertengkaran hebat jika sudah menikah.

Begitulah beberapa contoh yang berhubungan dengan gambaran tentang rumah tangga. Oh ya, yang akan pindah ke LN (yang mempunyai 4 musim) mengikuti domisili pasangannya, cek dan ricek dulu secara akurat calon tempat tinggalnya bagaimana, cuaca, lingkungannya, budayanya dan sebagainya. Jangan hanya membayangkan luar negeri itu romantis seperti di film-film Hollywood. Misalkan : Siapkah mempelajari bahasa domisili pasangan dan memulai lagi kehidupan dari awal, meninggalkan apa yang sudah dirintis di tanah air? Sudah siapkah saat kangen makan tempe tapi harus membeli dengan perjuangan melewati tumpukan salju dengan jaket bertumpuk? Persiapkan untuk hal yang terburuk, jika ternyata tidak siap, pikirkan lagi sebelum memutuskan untuk melanjutkan menikah.

  • KEUANGAN

Bagi orang Indonesia pada umumnya, sangatlah tabu membicarakan tentang keuangan sebelum menikah. Buat saya pribadi, justru hal ini harus dibicarakan di awal. Saat suami mengutarakan maksudnya untuk menikah dengan saya, pertanyaan pertama yang saya lontarkan pada bagian keuangan adalah : Apakah kamu punya hutang? Jika memang ada, berapa jumlahnya, apa saja, dan dalam jangka waktu berapa tahun harus lunas? Pertanyaan yang sama dia lontarkan juga pada saya. Jadi sejak awal kami sudah buka-bukaan tentang kondisi keuangan masing-masing. Hutang, aset, gaji, pekerjaan, semuanya yang berhubungan dengan keuangan, kami buka di awal.

Hal ini juga berkaitan dengan expense dalam rumah tangga. Hal-hal apa saja yang harus saya bayar dan dia bayarkan. Tentang hal ini, saya juga melihat langsung dari orangtua. Kedua orangtua saya bekerja, jadi mereka berbagi dalam pembayaran pengeluaran rumah tangga. Jadi hal ini juga harus saya dan suami bicarakan di awal. Kalau misalkan saya belum bekerja bagaimana, dan jika sudah bekerja namun gaji saya lebih kecil atau lebih besar bagaimana pembagiannya. Hal ini kami cantumkan semua dalam perjanjian Pra Nikah (Saya tuliskan secara rinci dalam bahasan akhir). Saat saya bekerja selama dua tahun, kami berbagi prosentase pembayaran pengeluaran rumah tangga. Ini juga berlaku untuk pengeluaran selama liburan ya. Jadi semuanya kami tanggung berdua pengeluaran dalam rumah tangga, bukan hanya jadi tanggungjawab suami. Nah saat saya tidak bekerja, ada tak tik lainnya yang kami lakukan.

Untuk orang Indonesia yang biasa membantu keluarga dan menikah dengan WNA, saya sarankan untuk dibahas di awal juga tentang hal ini. Jangan menjadi batu sandungan di kemudian hari saat sudah menikah. Jangan curi-curi kesempatan juga untuk bisa mengirim keluarga. Lebih baik dikemukakan di awal, jadi kalau ada pihak yang merasa keberatan, bisa dicari jalan keluarnya. Untuk hal ini, saya tidak melakukan karena saya tidak pernah memberi uang kepada Ibu. Tapi saya mengamati dari beberapa kenalan dan teman yang sudah menikah lama dengan WNA.

DE_0445

  • ANAK

Pembahasan yang tidak kalah pentingnya adalah tentang anak. Pastikan dulu apakah calon yang akan menikah dengan kita mempunyai pandangan yang sama tentang memiliki atau tidak mau memiliki anak. Jika dari awal sudah terjadi perbedaan pendapat, lebih baik dipikirkan berulangkali untuk melanjutkan menikah. Misi tentang anak ini harus sama. Jangan mengentengkan : ah nanti siapa tahu berubah pikiran. Jangan seperti itu. Harus jelas di awal tentang hal ini.

Saya waktu itu masih belum yakin ingin memiliki anak, tapi ada keinginan mungkin 10%. Sedangkan suami, menikah dengan saya tidak dengan tujuan hanya untuk memiliki anak. Buat dia, punya anak ok, tidak pun tidak masalah. Saya utarakan hal tersebut kepada suami. Saya bilang : bagaimana kalau nanti kita tidak punya anak karena saya tidak mau, bagaimana kalau ternyata kami tidak bisa memiliki anak karena masalah kesehatan, kalau misalkan ingin memiliki, berapa anak, kalau misalkan tidak bisa punya anak karena kendala kesehatan apakah ada opsi untuk adopsi, dan sebagainya. Kami terbuka tentang hal ini sejak awal.

  • KESEHATAN

Berterus terang tentang kesehatan sama pentingnya buat kami berterus terang tentang kondisi keuangan. Jadi sejak awal kami sudah memberitahu apakah kami punya sakit serius atau tidak, sakit apa saja yang biasa kami derita, apakah dari keluarga ada keturunan sakit serius, dan sebagainya. Jadi, blak-blakan tentang kondisi kesehatan masing-masing sangat perlu buat kami.

  • AGAMA

Nah, pembicaraan tentang agama, buat kami sama pentingnya dengan pembicaraan tentang anak karena ada juga kaitannya. Hal ini juga harus disepakati di awal bagaimana kedepannya nanti. Jangan sampai satu pihak berharap lebih, lalu nanti merasa kecewa ketika setelah menikah kenyataan tidak sesuai yang diharapkan. Kalau berhubungan dengan anak, kami ada kesepakatan di awal. Kalau misalkan kami punya anak, akan dibesarkan dengan cara apa anak ini. Apakah dibesarkan sesuai ajaran agama, apakah dibesarkan sesuai ajaran kebaikan tanpa cenderung ke agama tertentu, ataukah anak nantinya akan dibebaskan mau memilih beragama atau memilih tidak beragama, dimasukkan ke sekolah umum atau sekolah agama, dan pembahasan lebih mendalam dan detail tentang agama. Semuanya sudah kami bahas diawal. Jadi selama  menikah, kami tidak pernah lagi membicarakan hal-hal yang berhubungan tentang agama karena semua sudah jelas di awal.

  • PERJANJIAN PRANIKAH

Ada anggapan bahwa perjanjian pranikah dibuat karena berjaga-jaga jika terjadi perceraian, jadi membuat perjanjian pranikah tidak disarankan karena belum apa-apa kok sudah memikirkan tentang cerai. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya salah meskipun juga tidak benar seutuhnya. Perjanjian pranikah, buat kami pribadi justru melindungi hak dan kewajiban kami sebagai pasangan juga hak dan kewajiban sebagai individu. Misalkan mencantumkan berapa persen pembayaran pengeluaran rumah tangga oleh masing-masing pihak (seperti yang sudah saya bahas sebelumnya). Selain itu, juga melindungi hak kami sebagai individu misalkan jika kami mempunyai properti yang kami beli sebelum menikah, maka hal tersebut tetap menjadi milik pribadi. Jika nanti terjadi perceraian, hak dan kewajiban juga tercantum dengan jelas di situ. Jadi buat kami, perjanjian pranikah sangat perlu, terlebih karena saya menikah dengan WNA.

Sepatu

Begitulah tulisan panjang tentang diskusi saya dengan suami akan beberapa hal penting. Nampak ruwet ya, sebelum menikah kok pembicaraannya berat sekali. Kami lebih memilih ruwet di awal dan mempunyai kata sepakat daripada tidak dibicarakan tapi nanti jadi ganjalan dan batu sandungan dalam pernikahan. Memperkecil gesekan, kami menyebutnya.

Semoga yang saya tuliskan ini bisa membuka wacana dan pandangan bahwa tidak ada hal-hal yang dirasa tabu dan perlu dibicarakan sebelum menikah. Jika memang hal tesebut penting, lebih baik bicarakan di awal. Lebih baik ruwet di awal daripada ruwet di pertengahan. Tentu saja poin-poin di atas subjektif dan sesuai kondisi kami. Masing-masing pasangan punya poin-poin penting lainnya yang mungkin berbeda untuk didiskusikan.

Menikah bukan hanya tentang hal-hal manis saja. Pahitnya pun tak kalah banyaknya. Menikah bukan hanya perkara cinta yang penuh bunga, tapi juga duri-duri harus dihadapi dan diselesaikan. Saya menuliskan tentang topik ini bukan dengan tujuan menggurui dan sok mengerti lika liku pernikahan. Saya ingin berbagi pemikiran dan pengalaman saja, meskipun pernikahan kami baru berjalan 5 tahun. Jika hal-hal yang dirasa mendasar sudah disampaikan dan didiskusikan di awal, semoga bisa memperkecil gesekan.

-26 Agustus 2019-

Berakhir Pekan ke Cochem – Jerman

Cochem - Dari atas jembatan

Ide untuk berakhir pekan di Cochem, Jerman, mendadak setelah kami pulang liburan dari Kroasia. Tidak direncanakan sebelumnya untuk merayakan 5 tahun perkawinan kami dengan berlibur ke Cochem, karena biasanya makan malam di restoran sudah cukup. Tahun pertama perkawinan, kami sebenarnya juga merayakan dengan bepergian, yaitu ke Texel. Setelahnya, setiap ulang tahun pernikahan, kami rayakan dengan makan malam di restoran saja. Namun karena lima tahun dan kami rasa sangat spesial, maka kami sepakat untuk weekendje wegistilah bahasa Belanda untuk liburan akhir pekan dengan bepergian ke suatu tempat dan menginap.

Awalnya kami inginke Hamburg. Tapi setelah mempertimbangkan banyak hal, rencana tersebut dibatalkan. Hamburg kotanya sangat besar, jadi sayang kalau hanya kami kunjungi untuk akhir pekan saja. Mungkin lain waktu kalau kami jadi roadtrip ke arah Denmark dan sekitarnya. Lagipula kalau ke Hamburg, waktunya lebih lama di perjalanan (sekitar 5 jam berkendara dari tempat kami, tanpa berhenti) dibandingkan jalan-jalan di kotanya. Setelah bertanya di grup, akhirnya Beth memunculkan satu nama kota yaitu Cochem. Setelah saya cari info, langsung suka. Kota kecil tapi indah karena ada kastil dan juga wisata kapal menyusuri sungai. Kami sekeluarga memang sangat menyukai berwisata ke tempat yang ada kastilnya, selain juga suka ke Amphitheater.

Cochem dari atas Kastil
Cochem dari atas Kastil

Kami berangkat Jumat siang. Cuaca di Belanda sejak dini hari hujan lumayan deras. Sampai siang saat kami berangkat juga masih deras. Waktu itu kami berharap semoga hujannya tidak mengikuti kami sampai di Cochem. Maklum ya, hujan di Belanda ini kadang-kadang semacam kutukan, bisa ngintil ke manapun orang mau liburan haha. Eh ternyata ya doa dan harapan belum dikabulkan. Sepanjang perjalanan dari Belanda sampai Cochem hujannya super deras ditambah petir dan kilat. Benar-benar mencekam di sepanjang jalan tol. Suami harus menyetir sangat pelan karena jarak pandang yang pendek. Perjalanan ke Cochem yang normalnya hanya 3.5 jam, jadi molor 8 jam karena kami berhenti dua kali, hujan deras, ditambah pula macet. Lengkaplah sudah. Untungnya (selalu saja untung ya), keadaan di dalam mobil sangat kondusif, jadinya meskipun perjalanan panjang tetap tanpa stres. Semua tetap riang gembira.

Keesokan harinya, cuaca di Cochem lumayan cerah meskipun pagi masih sedikit mendung dan agak hujan rintik. Tujuan pertama adalah ke Kastil. Hotel kami tidak jauh kastil, jadi jalan kaki ke atas tidak terlalu jauh, hanya sekitar 30 menit sambil menanjak. Tanjakannya lumayan ya, berasa juga agak ngos-ngosan. Mungkin selain membawa berat tubuh, juga berat dosa makanya makin berat :)))

Jalan menuju kastil
Jalan menuju kastil
Cochem Kastil
Cochem Kastil

Kastil di Cochem dibangun pada abad ke 12 dan sudah mengalami beberapa kali renovasi. Jadi kastil yang nampak sekarang ini bukan bangunan aslinya. Untuk menuju kastil, ada dua jalur yang bisa ditempuh. Satu adalah jalur mendaki menggunakan tangga dan satunya jalur mendaki jalan biasa yang melewati perkebunan anggur (dipinggir jalannya, bukan pada jalur mendakinya). Melihat dalamnya kastil, kita wajib mengikuti tour yang bisa dipilih berdasarkan bahasa penuturnya. Kami waktu itu ikut tour yang berbahasa Belanda.

Tour ini tidak gratis, tepatnya membayar berapa saya lupa, kalau tidak salah €6 per orang. Lama tour di dalam kastil sekitar 45 menit. Selama di dalam, saya tidak terlalu banyak mengabadikan dengan kamera. Terlalu khusyuk menyimak penjelasan guide nya, maklum pakai bahasa Belanda kan. Wong pakai bahasa Inggris saja kadang-kadang agak mbleset mengartikan kalau guide nya menggunakan aksen tertentu. Nah ini Guide nya menggunakan aksen daerah Brabant, makanya saya harus menyimak dengan seksama. Itupun masih saja ada kejadian konyol yang kalau saya bahas dengan suami selalu membuat kami mengakak :)))

Dari atas jalan menuju kastil
Dari atas jalan menuju kastil

Jadi begini ceritanya. Saat guidenya menerangkan tentang sebuah lampu yang berbentuk dewa laut, waktu itu saya sempat meleng sebentar melihat ke arah yang lain. Jadi ada penjelasan dia yang saya tidak terlalu mendengar. Lalu dia menyuruh para peserta tour untuk memegang badan orang disebelahnya, sambung menyambung begitu. Nah Ibuk guidenya memegang lampu tersebut. Lalu saya sayup-sayup mendengar dia berkata sesuatu yang sebenarnya saya tidak jelas. Nah, orang-orang mulai menutup mata. Lalu saya main asumsi, oh mungkin disuruh merasakan apakah ada aliran listrik yang terasa dari lampu. Saya tunggu-tunggu kok tidak terasa apa-apa (suami memegang lengan saya, sementara saya memegang lengan Opa di sebelah).

Saat orang-orang sudah membuka mata, saya bilang ke suami, “mana sih aku kok ga kerasa ada aliran listrik.” Suami bingung, “aliran listrik apa?” lah saya jadi bingung juga,”lho tadi itu disuruh saling memegang bukannya untuk merasakan aliran listrik ya. Nah itu guidenya ngapain pegang lampunya?” Suami lalu ngakak ditahan (maklum tournya belum selesai),”itu tadi disuruh meminta sesuatu. Kayak berdoa gitu lho, mohon apa gitu. Katanya lampu dewa laut itu membawa keberuntungan. Berarti kamu ga mohon apa-apa ya?” hahaha kami lalu berdua ngakak. Duh Den, pintar sekali kamu. Disuruh memohon sesuatu malah mikir disuruh merasakan aliran listrik :))) koplak!

Cochem
Cochem

Setelah dari kastil, kami turun menuju kotanya. Karena ini memang kota sangat kecil ya, jadi menjelajah sehari sudah cukup. Meskipun kota kecil, turisnya sangat padat. Tapi saya tidak merasakan ramai yang umpel-umpelan. Ramainya masih asyik buat dinikmati. Menyusuri gang-gang di kota tuanya menyenangkan. Menikmati bangunan tua, gereja, mendengarkan lonceng dari gereja berbunyi setiap 15 menit, duduk-duduk menikmati pretzel, lalu kami ikut wisata sungainya dengan menggunakan perahu besar.

Cochem
Cochem

Tour menggunakan perahu durasinya selama satu jam, kita bisa melihat kota Cochem dari sisi lainnya. Jadi bukan hanya di pusat kotanya tapi juga di pinggirannya. Selama tour juga dijelaskan, bangunan bersejarah apa saja yang dilewati. Cochem ini terbagi jadi dua bagian kota yang dipisahkan oleh sungai Mosel. Nah untuk melihat Cochem bagian satunya, sebenarnya kita bisa berjalan melewati jembatan, jadi tidak perlu naik perahu. Namun, jika ingin merasakan keseruan naik perahu, bisa dicoba juga.

Dari atas perahu
Dari atas perahu
Cochem - Dari atas jembatan
Cochem – Dari atas jembatan

Liburan ke kota kecil seperti Cochem, saya sangat suka. Cochem mengingatkan saya pada Monschau, kecil tapi menarik. Meskipun turisnya banyak (karena musim panas juga kan), tapi tidak terasa sesak. Kami juga santai sekali jalan-jalan. Semua tempat bisa dikunjungi. Malah sorenya kami sempat satu jam mampir ke taman bermain yang ada di sisi sungai Mosel.

Keesokan harinya, kami kembali ke Belanda setelah sarapan. Perjalanan pulang lumayan lancar. Tidak ada macet, cuaca cerah, kami berhenti satu kali untuk makan siang. Total lama perjalanan pulang 5 jam. Selesai sudah weekendje weg. Karena roadtrip kali ini berjalan lancar, semoga roadtrip selanjutnya pun tidak akan banyak kendala. Ke mana? nantikan saja ceritanya 🙂

-20 Agustus 2019-