Kemana Kita Setelah Mati

Sabtu setelah kami selesai makan malam, sekitar jam setengah delapan, saya bertanya ke suami enaknya ngapain ya. Mumpung masih sore dan kami sedang tidak ada hal mendesak urusan masing-masing yang harus dikerjakan. Lalu saya mengusulkan untuk menonton film karena seingat saya terakhir kami menonton film bersama itu dua bulan lalu. Suami setuju. Saya lalu membuat coklat panas dan suami mengambil beberapa buah di kulkas sebagai camilan ketika menonton film. Kami tidak berlangganan Netflix di rumah (bahaya kata suami, bisa-bisa istrinya 24 jam di depan TV haha), jadinya pilihan film yang ditawarkan oleh provider TV kami juga terbatas. Setelah memilih beberapa judul, lalu kami memutuskan untuk menonton Maudie. Film baru, drama, ringan sekali ceritanya, gampang dicerna, terasa manis. Tetapi setelahnya membuat saya meneteskan air mata. Bukan karena filmnya sedih, tapi mengingatkan saya akan suatu hal. Saya merekomendasikan sekali film ini karena memang menarik. Saya tidak akan menuliskan di sini tentang bagaimana jalan cerita Maudie, film yang berdurasi hampir dua jam, karena pasti sudah banyak sekali yang menuliskan tentang film ini. Jadi silahkan dicari. Akhir dari cerita ini adalah sang istri meninggal dunia (spoiler sekali :D).

Setelah film selesai, tenggorokan saya tercekat dan perlahan mata saya berembun. “Bagaimana kalau aku meninggal duluan?” begitu tanya saya pada suami dengan suara yang agak serak menahan tangis. Suami lalu melihat saya perlahan, kemudian memeluk pundak saya, “kamu kan orang Statistik, jadi tahu donk berapa prosentase kemungkinan hidup pria dibandingkan wanita.” Duh, lagi melankolis gitu lalu menyebut tentang Statistik kan jadi mendadak males. Lalu saya bilang kalau namanya hidup itu kan bukan tentang Statistik. Umur itu sudah ditentukan, itu menurut saya. Sedangkan menurut dia yang semuanya berdasarkan logika, yang namanya umur itu ya tergantung bagaimana kita menjaga badan dan keberuntungan. Ok, tentang umur memang kami sepakat tidak memperdebatkan karena sudah dibahas beberapa kali tetap tidak menemukan titik temu.

Yang membuat saya menangis itu bagaimana kalau saya meninggal duluan, lalu siapa yang akan mengurus orang-orang yang saya tinggalkan. Saya pernah bilang ke suami bahwa saya tidak akan mengirimkan dia ke panti jompo kalau kami sudah sama-sama menua. Kami akan saling menjaga satu sama lain. Saya yang selama hampir dua tahun bekerja di panti jompo, tahu betul bagaimana kehidupan di sana. Bukannya kehidupan di panti jompo tidak baik, bukan begitu. Tapi saya bilang ke dia kalau panti jompo bukan tempat yang cocok untuk dia karena ada beberapa alasan. Jadi saya selalu bilang ke dia, “nanti kalau kamu sudah tua dan saya masih sehat, biar saya yang mengurus kamu. Saya tidak akan mengirimkan kamu ke panti jompo.” Nah, kalau saya mati duluan bagaimana? siapa yang akan mengurus orang-orang yang saya tinggalkan. Bagaimana keadaan mereka nanti? Film Maudie ditambah suhu yang beberapa hari ini kembali ke angka minus dan salju datang lagi (padahal saya sudah ke PD an memasukkan jaket winter dan menggantinya dengan jaket musim semi) membuat hati saya jadi sedih sekali.

Pembicaraan tentang kematian bukan sesuatu yang saya hindari lagi sejak kehilangan sepupu saya tercinta pada tahun 2011. Sedih sekali rasanya waktu itu dan saya seperti menggugat Tuhan kenapa harus dia yang dipanggil secepat itu. Setahun kemudian, Bapak meninggal. Hidup saya langsung melorot dititik nol, bahkan minus mungkin. Pertanyaan “kenapa harus Bapak?” terngiang terus di kepala dan selalu saya tanyakan pada Tuhan, bahkan mungkin sampai sekarang. Bukannya saya tidak ikhlas, tapi ada banyak hal diluar ikhlas yang tetap mengganjal hati dan pikiran saya. Percayalah, ikhlas itu tak segampang ketika saya menuliskan kata ini di blog atau mengucapkannya. Kata orang waktu yang akan menyembuhkan. Kalau menurut saya, ya kita sendirilah yang harus menemukan apa yang membuat kita ikhlas. Sejak tahun 2011, saya banyak berpikir dan mencari bahan bacaan tentang kematian, apa yang akan kita lakukan setelah mati, kemana kita setelah mati dan semua yang ada sangkut pautnya dengan kematian.

Bertemu dan menikah dengan orang yang selalu mengedepankan logika, membuat saya seperti mendapatkan lawan bicara yang cocok untuk membahas kematian. Papa mertua meninggal ketika saya baru dua bulan pindah ke Belanda. Melihat bagaimana keluarga di sini memaknai kematian dan melihat sesuatu yang berbeda dengan di Indonesia tentang prosesi pemakaman, kembali otak saya tidak berhenti berpikir tentang mati. Bukan sekali atau dua kali saya dan suami membicarakan tentang kematian, bagaimana kalau salah satu diantara kami mati duluan, akankah yang ditinggal mati nanti menikah lagi, menunggukah di suatu tempat yang mati duluan dan banyak hal. Membicarakan kematian buat kami bukan berarti kami tidak takut mati. Paling tidak, saya masih takut mati. Entah ya kalau suami. Tapi, membicarakan kematian bagi kami adalah mempersiapkan banyak hal di depan dan membuat kematian tidak terlalu lagi nampak mengerikan. Kami bahkan sering tergelak ditengah-tengah pembahasan tentang mati. Meskipun yang namanya kematian itu akan selalu menyisakan ketidaksiapan, walaupun dipersiapkan serapi mungkin. Kematian itu pasti, tidak bisa dielakkan. Tapi menyambut kematian itu yang sering kami perbincangkan dan juga kemana kita setelah mati.

Suami selalu bilang kalau dia sudah mempersiapkan daftar lagu yang harus diputar ketika prosesi pemakamannya dan ada beberapa daftar permintaan lainnya. Kalau saya sederhana, meskipun mungkin nantinya akan meninggal di Belanda tapi saya ingin dikuburkan di tanah kelahiran. Membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan kematian membuat kami jadi tahu satu sama lain apa yang kami inginkan ketika sudah mati nanti jadi ada hal-hal yang sudah bisa dipersiapkan dari sekarang. Berbicara tentang kematian bukan hal yang tabu buat kami. Dan saya sering bilang ke dia, “siapapun nanti yang mati duluan, saling tunggu ya di suatu tempat. Supaya kita tetap saling bergandengan tangan di sana dan tetap jatuh cinta meskipun tidak di dunia lagi.”

Selain itu, hal menarik lainnya yang selalu kami bahas adalah tentang kemana kita setelah mati. Bukannya tidak percaya tentang hal-hal yang sudah dituliskan dalam kitab suci agama saya, tapi saya masih merasa belum dapat gambarannya. Masih absurd menurut saya. Kami mempunyai pendapat yang berbeda tentang kehidupan setelah mati. Saya mempunyai pendapat yang saya sendiri masih belum sreg 100%, sedangkan suami mempunyai pendapat dari hasil pemikiran dan penelusurannya. Saya tidak berbicara tentang kesangsian akan ajaran agama sendiri, hanya saya sedang dalam proses pencarian. Salah satunya adalah : benarkah nantinya ada surga dan neraka? Apakah kita beribadah hanya untuk mengharapkan surga supaya tidak masuk ke neraka? bagaimana kalau ternyata surga dan neraka itu tidak ada, apakah kita tetap beribadah? kenapa beribadah tidak hanya dengan tujuan berucap syukur? masih banyak pertanyaan yang bergaung di kepala dan saya selalu haus ilmu untuk mencari jawabannya termasuk kemana kita setelah mati nanti.

Membicarakan dan mengingat tentang kematian membuat saya jadi selalu menghargai setiap detik kehidupan. Selalu bilang tentang saya sangat sayang dan cinta kepada orang-orang yang saya cintai, meminta maaf sesegera mungkin jika melakukan kesalahan, berterimakasih sebanyak mungkin akan banyak hal, berusaha dan belajar untuk tidak selalu mendongakkan kepala. Mengutip apa yang Tulus bilang, “kita tak pernah tahu berapa lama kita diberi waktu.” Kalau kata Bude saya, “hidup itu seperti pagi dan malam. Ketika kita tertidur saat malam, belum tentu kita bangun lagi saat pagi. Jadi sebelum tidur malam, selesaikan apa yang harus diselesaikan.”

Sebenarnya ngeri-ngeri sedap sih menuliskan tentang kematian di blog, apalagi mengangkat topik ini diawal minggu. Buat saya membicarakan atau menuliskan tentang kematian itu tidak masalah karena yang namanya mati itu pasti.

Kalau kalian, apakah pembicaraan tentang kematian itu tabu atau hal yang dihindari? Pernah membicarakan tentang kematian dengan pasangan atau orang terdekat? kalian ingin ketika sudah mati nanti orang mengingat kalian seperti apa? dan satu pertanyaan lagi, diluar apa yang sudah tertera dalam kitab suci, menurut kalian sendiri : kemana kita setelah mati? Pertanyaannya banyak ya, hanya ingin tahu saja persepsi tentang kematian.

Selamat mengawali minggu dengan kebahagiaan

-Nootdorp, 18 Maret 2018-

Kompetisi Penderitaan

A : Pas pembukaan 5, aku sudah ga kuat banget. Rasanya pengen dadah-dadah ke kamera menyerah. Padahal itu sudah 8 jam, stuck ga nambah.

B : Pembukaan 5 sih ga ada apa-apanya ya. Ga seberapa itu. Aku pas menuju ke pembukaan 9 baru tuh mulesnya ga kira-kira. Pas aku pembukaan ke 5 masih bisa akrobat segala. Pas pembukaan 9 sampai 5 jam tapi masih kuat ngeden.


A : Kerjaan kok gini-gini amat ya. Sudahlah gaji ga seberapa, bos galak, eh kolega di kantor pada sikut-sikutan pula.

B : Masih untung lho itu. Aku sudahlah gaji pas-pasan, musti biayain adik-adik sekolah pula dan ada tanggungan kredit rumah. Ngos-ngosan banget deh tiap bulan


A : Setelah melahirkan, aku sempat kena baby blues. Duh, ga enak banget ya rasanya. Gelap dan sedih berkepanjangan. Kira-kira sampai sebulanan kayak gitu.

B : Masih mending itu sebulan. Aku dulu sampai berbulan-bulan dan lebih parah dari itu. 


A : Tetanggaku ini lho, setiap siang hari muter lagu dangdut kenceng sekali. Ditegur berkali-kali kok ya tetep aja gitu. Aku yang sakit kepala jadi makin parah aja ini karena ga bisa tidur. Surem banget deh punya tetangga kayak gitu.

B : Dulu sebelum aku pindah ke rumah yang sekarang, tetanggaku muter lagu rock tengah malam kenceng banget. Aku di kantor sampai sering ketiduran gara-gara kalau malam ga nyenyak tidur denger lagu-lagu itu


A : Anakku ini lho kenapa ya umur 2 tahun masih belum bisa ngucapin sepatah katapun dengan jelas. Aku kan jadi gelisah gini. Dia cuma bisa ngedumel ga jelas gitu anaknya.

B : Anakku hampir 2.5 tahun ngomong masih belum bisa, jalan pun masih belum PD. Masih mending itu anakmu.


Dan daftar pun masih panjang.

Merasa seperti pernah dalam salah satu dari contoh perbincangan di atas? pernah menjadi A atau pernah menjadi B? Saya pernah menjadi kedua duanya. Pernah secara sadar maupun tidak sadar berkompetisi dalam penderitaan. Padahal lawan bicara inginnya mencurahkan isi hati, hanya ingin didengarkan, eh malah saya menimpali dengan kalimat yang bukannya menghibur atau menenangkan, malah membuat kalimat yang seolah-olah keadaannya tidak ada apa-apanya dibandingkan keadaan saya. Seakan saya ingin menegaskan bahwa dia harus bersyukur karena keadaan saya lebih terpuruk dibandingkan dia. Padahal yang namanya keadaan sedih atau sedang tidak beruntung, tidak ada yang bisa mengatakan bahwa siapapun lebih beruntung.

Dan ketika saya ingin mencurahkan isi hati karena sedih atau gelisah akan suatu hal, eh malah ditanggapi dan ditimpali bahwa penderitaan saya tidak ada seujung kuku dari apa yang pernah atau yang sedang dialami lawan bicara. Padahal saya hanya ingin didengarkan, bukan ingin mendengarkan perbandingan.

Semakin bertambahnya usia, saya semakin lebih belajar untuk mendengarkan, bahkan sampai sekarang dan sampai kapanpun. Tidak semua yang bercerita butuh nasihat, tidak semua yang berkeluh kesah butuh perbandingan, tidak semua yang bersedih butuh dihibur. Saya perlu banyak belajar untuk mendengarkan. Ketika mereka butuh tanggapan, saya akan menanggapi sesuai dengan kondisi. Sebisa mungkin tidak akan menasehati jika memang tidak diminta. Menahan diri untuk tidak cepat-cepat menimpali. Mendengarkan jauh lebih baik.

Setiap orang punya perjuangan masing-masing, tidak perlu berkompetisi dalam penderitaan.

Punya cerita seputar pengalaman di posisi A? atau di posisi B? atau keduanya? Gimana perasaanmu?

-Nootdorp, 12 Maret 2018-

Pernah Tirus

Tadi pagi sambil sarapan, sebelum kehebohan sehari-hari di rumah dimulai, saya melihat-lihat foto lama. Niatnya mencari foto jaman kuliah 3-4 tahun lalu. Saya sedang rindu dengan teman-teman kuliah, dengan mereka tempat saya berbagi canda tawa getir pahit jatuh bangun menyelesaikan perjuangan 2.5 tahun (mustinya 2 tahun, saya yang molor 0.5 tahun). Sudah tahu namanya kampus perjuangan, masih saja kecemplung di sana sampai 3 kali. Begitu melihat beberapa foto dengan mereka, tiba-tiba saya tergelak sendiri sambil mbatin, “pernah tirus ya.” Setelahnya saya membahas tentang “pernah tirus” ini dengan sahabat-sahabat saya di grup wa. Kami sampai menarik waktu kebelakang, saat pertama bertemu di kampus 19 tahun lalu. Semuanya sama-sama kurus dan pastinya juga tirus. Saat masalah terbesar dalam hidup hanya berputar pada kalkulus dan seputar mau makan apa akhir bulan saat uang mulai menipis. Maklum, anak kosan. Saking kurus dan tirusnya kami, sampai ada julukan kami sama-sama punya “wadah sabun” *mudah-mudahan ngerti ya istilah ini 😅 tapi saat itu, badan kurus dan pipi tirus yang saya miliki sebenarnya bukan berat badan ideal. Terlalu kurus. 

Badan saya ini sebenarnya tidak rewel. Mau naik atau turun berat badan bisa disesuaikan dengan kebutuhan. Tidak pernah susah. Seperti jungkat jungkit. Malah lebih gampang turun daripada naiknya. Tapi itu dulu, sebelum usia 33 tahun. Setelah melewati usia tersebut, untuk membuat berat badan ideal harus dengan kerja keras. Bukan hanya mengatur pola makan tetapi juga olahraga. 

Saya selalu mengatakan berkali-kali bahwa saya tidak pernah percaya dengan yang namanya hasil yang instan tanpa berproses. Mau berat badan yang ideal, ya olahraga juga dong bukan hanya mengandalkan mengatur pola makan. Olahraga di sini jangan dibayangkan harus selalu gerak badan yang “hardcore” ya. Hardcore ini istilah yang saya buat sendiri ya untuk menyebut olahraga yang saya geluti dulu seperti Karate, Lari 10km-an, atau renang. Badan bergerak mengerjakan pekerjaan rumah seperti ngepel rumah manual merangkak, bersih-bersih taman, menyapu, bersih-bersih naik turun loteng rumah 3 lantai. Semuanya itu juga bisa disebut olahraga karena meng-olah-kan raga. Jalan kaki, naik sepeda dengan jarak tertentu juga termasuk olahraga. Yang penting badan gerak. Yang saya sebutkan tadi adalah jenis gerak badan yang saya lakukan setahun terakhir sejak tidak aktif lari.

Ok, kembali ke pembahasan pernah tirus. Dua anggota badan yang bisa jadi tolok ukur kalau badan saya tambah berisi adalah pantat dan pipi. Tidak perlu menimbang, kalau pantat sudah mulai agak semok atau pipi mulai melebar, tandanya berat badan saya sedang naik. Oh iya, perlu digaris bawahi yang saya maksud berat badan naik ini bukan massa ototnya bertambah ya, tapi benar-benar lemak. Karena sewaktu dulu saya rajin olahraga, berat badan malah naik karena larinya ke otot dan secara penampakan tetap sama. Berisi tapi padat. Nah ini yang saya bilang berat badan ideal. Sedangkan saat ini berat saya sedang tidak ideal karena lemaknya yang bertambah bukan otot. Makanya jadi melebar.

Terhitung sejak bekerja sampai saat ini, transformasi BB saya angka depannya pernah di angka 4, 5, bahkan 6. Jadi BB saya pernah di angka 40an kg, 50an kg, bahkan 60an kg. Kalau sekarang sih dikisaran 50an kg (yang kalau tidak direm bisa tembus ke 60kg😅). Walaupun saat ini bukan BB ideal, tapi ya sudahlah, sedang waktunya saja. Yang penting setiap hari badan saya selalu bergerak. Setidaknya lemak-lemaknya tiap hari ada yang luruh, meskipun langsung tergantikan dengan lemak-lemak yang baru *haha lha piye karepe *maklum, lagi banyak makan. 

Melihat transformasi pipi yang pernah tirus sampai saat ini pipi yang mengembang seperti diberi fermipan dan baking soda, membuat saya tetap tersenyum bahagia karena bisa menertawakan diri sendiri dengan transformasi tersebut. Seperti halnya tidak ada yang abadi di dunia ini, saya juga percaya dan yakin kalau pipi tembem ini juga tidak akan abadi 😅. Suatu saat akan kembali tirus, nanti pada saat yang tepat *halah, bahasaku ndakik-ndakik 😅

Kalau buat banyak orang pembahasan BB ini adalah hal yang tabu dan sensitif, buat saya tidak. Seperti juga saat membahas umur. Memang sekarang saya sedang semok-semoknya, saat beberapa tahun lagi menuju umur 40 tahun (Insya Allah). Mudah-mudahan tahun depan mulai menyusut.

Ada yang mau berbagi cerita tentang transformasi berat badan? Atau pernah tirus? Monggo lho dipersilahkan.

Selingan : saya tidak bisa menahan senyum setiap ingat selorohan bahwa kesuksesan lelaki setelah lulus kuliah bisa dilihat dari perubahan lingkar pinggangnya.

-Nootdorp, 7 Maret 2018-

Berakhir Pekan di Münster – Jerman

Münster terletak di Jerman bagian utara. Selain dikenal sebagai kota sepeda karena populasi sepeda di kota ini yang banyak, Münster juga dihuni oleh banyak pelajar, sekitar 40 ribu karena ada universitas besar di sini. Meskipun pada perang dunia ke dua kota ini rusak parah terkena bom, secara bertahap pembangunan di kota ini membuat Münster terlihat sebagai kota modern tetapi masih menyisakan beberapa bangunan bersejarah.

 

Munster
Munster

Munster
Munster
Dua minggu lalu, setelah dengan rencana yang mendadak (seperti biasa), kami memutuskan untuk berakhir pekan di Münster, Jerman. Kenapa memutuskan, karena sebelumnya ada beberapa pilihan tempat. Awalnya ingin ke Texel, ganti lagi ke pulau lainnya dekat Texel. Dua duanya sama mahalnya karena harus membayar biaya kapal buat menyeberang dan hotel di sana pun mahal. Padahal kan kami hanya ingin liburan akhir pekan saja. Anggap saja liburan musim dingin. Biasanya kami menginap di Airbnb, tapi nampaknya kedepan kami akan lebih sering menginap di hotel.  Lalu tercetus ide dari saya, ke Münster saja. Selain letaknya tidak terlalu jauh dari tempat kami tinggal, juga kotanya nampak menyenangkan, tidak terlalu ramai. Kami berangkat jumat siang setelah dari Gemeente untuk membuat kartu identitas lalu belanja mingguan. Sampai Münster sudah jam 7 malam. Sebelumnya kami mampir dulu ke Restoran Yunani untuk makan malam. Baru pertama ini saya makan di Restoran Yunani, enak juga ya rasa makanannya.

Munster
Munster

Munster
Munster
Hotel yang kami tempati letaknya persis di pusat kota, lebih tepatnya di daerah Prinzipalmarkt, pusat perbelanjaan di Münster. Setelah berbenah sana sini, jam 8 malam kami tidur. Memang kali ini liburannya santai sekali, dan mengingat faktor umur juga, jadi jam 8 malam sudah tidur hahaha, biasanya jam 10 kami baru tidur.

Munster
Munster

Munster
Munster

Munster
Munster
Paginya setelah sarapan di hotel, kami langsung bergegas menuju beberapa tempat. Masih pagi sebenarnya, jam 9 pagi dan suhu juga hanya 3 derajat celcius. Dingin tidak karuan. Ketika saya melihat prakiraan cuaca di tempat kami tinggal, matahari bersinar dan suhu diatas 5 derajat. Duh, langsung pengen pulang cari yang hangat :D. Tapi seperti pepatah bilang “There is no such thing as bad weather, only bad clothes.” Kami berjalan santai saja, tidak melihat peta sama sekali. Karena dari informasi yang kami dapatkan, tempat-tempat yang menarik tidak jauh letaknya dari hotel. Persinggahan pertama kami adalah pasar besar yang ada setiap hari rabu dan sabtu. Pasar yang terkenal dengan Wochenmarkt Münster (Münster’s Weekly Market) terletak di Domplatz, buka sejak jam 7 pagi sampai setengah tiga sore. Wah, kami beruntung bisa datang ke pasar besar ini. Entah kenapa, saya itu memang selalu senang mengunjungi pasar, apalagi sejak di Belanda. Satu yang pasti, pasarnya tidak becek dan kotor.

Munster
Munster

Munster
Munster
Selain itu kami juga mampir ke Cathedral. Setelah berkeliling selama tiga jam, kami memutuskan untuk kembali ke hotel. Istirahat siang. Selama kami bepergian, baru kali ini lho ada istirahat siang dan kembali ke hotel. Benar-benar liburan yang santai sekali haha. Sekitar jam 3 sore, kami kembali melanjutkan jalan-jalan. Seperti yang telah saya tuliskan di awal, Münster adalah kota sepeda. Jadi tidak heran kalau saya melihat kota ini seperti kota-kota di Belanda. Tidak semua kota di Jerman konturnya bisa dilalui sepeda, berbeda dengan di Belanda yang datar.

Munster
Munster
Saya mempunyai teman, kenalan dan tahu beberapa blogger yang tinggal di Jerman. Dari mereka saya lumayan tahu kalau orang Jerman sangat sensitif dengan orang yang membawa kamera, maksudnya memotret tanpa seijin mereka. Karenanya saya sangat hati-hati sekali kalau memotret. Sebisa mungkin pas lagi sepi atau dari jarak jauh. Takut kena tegur :D. Dan karena alasan ini juga saya tidak terlalu banyak memotret.

Numpang mejeng
Numpang mejeng

Kami kembali ke Belanda jam 9 pagi hari minggu. Sesampainya di Belanda, seperti biasa entah ini dinamakan ritual atau apa, kalau kami dari berpergian dan kembali ke Belanda, tempat yang pertama dituju adalah Pempek Elysha. Ini bukan promosi ya haha tapi saya selalu mengandalkan tempat ini karena setiap liburan kami tidak punya stok makanan di rumah jadi langsung ke tempat ini untuk makan di tempat atau bungkus. Selain itu tempatnya juga dekat dengan rumah, karenanya andalan banget deh, penolong saat lapar :D.

Kami menyebut liburan akhir pekan musim dingin ini adalah test drive sebelum liburan sebenarnya akan datang. Akan ke mana kami? Tunggu saja ceritanya nanti di blog ini *sok ada yang nunggu ceritanya.

 

-Nootdorp, 4 Maret 2018-

Bercerita Tentang Makanan

Beberapa waktu lalu, seorang teman menyampaikan “protes” pada saya. Dia membaca tulisan saya sebelumnya dan rasanya tidak percaya kalau saya akan menulis hal yang receh seperti itu. Seperti bukan tulisan saya yang biasanya. Dan kalau membaca beberapa komentar, mereka pun bertanya, tumben saya menulis hal seperti itu. Tenang saja, tulisan itu akan menjadi permulaan dari tulisan-tulisan receh lainnya yang akan mengisi blog kami tahun ini 😅saya pastikan, tahun ini akan lebih banyak tulisan-tulisan santai di blog kami. Energi dan waktu yang biasanya saya gunakan untuk riset sana sini sebagai bahan tulisan di blog, kali ini saya pergunakan untuk hal yang lebih bermanfaat lainnya di dunia nyata. Jadi, selamat membaca tulisan saya yang santai-santai saja 😁 

Kali ini saya akan menuliskan beberapa hal yang berkaitan dengan makanan. Ya apalagi, makanan selalu membuat saya gembira, apalagi dingin begini.

1. Bawang Goreng Inly

Beberapa waktu lalu, kami mengadakan syukuran. Tidak terlalu yang besar-besaran, hanya mengundang keluarga dan teman-teman dekat. Karena rumah kami tidak terlalu besar, dari undangan yang disebar, acara dipisah pada 3 waktu yang berbeda. Jadi kloter pertama, untuk keluarga. Kloter kedua dan ketiga untuk teman-teman kami. Makanannya tentu saja masakan Indonesia. Karena waktu itu Ibu masih di sini, jadi kebanyakan Ibu yang masak. Saya kebagian yang ringan-ringan saja. Dan juga ada beberapa teman yang datang sambil bawa makanan. Mereka memang menanyakan sebelumnya apakah ada yang bisa dibantu berkaitan dengan makanan. Saya dengan tanpa sungkan langsung menyebutkan makanan yang bisa dibawa seperti kue-kue, campur Bali, jeroan (babat dan paru) goreng. Selebihnya menunya saya dan Ibu yang masak. Menunya adalah : mie goreng kuning, rendang, urap sayur, ayam panggang bumbu saus, sambel bajak, nasi kuning.


Dari semua menu di atas, salah satu yang menarik perhatian dan jadi pertanyaan terutama dari teman-teman saya adalah bawang goreng yang ada di dalam toples plastik. Mereka tanya apakah saya menggoreng sendiri bawangnya. Saya jawab : tentu sajaaaa….. tidak! 😅 saya suka sekali dengan bawang goreng. Kalau lagi rajin, saya selalu menggoreng sendiri. Tapi masalahnya rajin saja tidak cukup. Musti punya waktu yang cukup juga. Jadi, bawang goreng yang jadi primadona ini darimana? Saya beli di Inly. Tahu kalau keluarga Inly bisnisnya adalah berjualan bawang goreng dari salah satu tulisan Mariska. Sejak saat itu saya niat, kalau ada keluarga yang akan ke Belanda, saya akan nitip bawakan bawang goreng itu.

Pucuk dicinta, Ibu datang ke Belanda. Langsung saya hubungi Inly lewat twitter bertanya bagaimana cara pemesanannya dan bertanya bertahan berapa lama. Asli, ini bukan endorse-an. Sebagai penyuka bawang goreng renyah dan ga gampang melempeng, bawang goreng keluarga Inly ini josss banget. Tidak pakai tepung juga. Jadi asli bawang tanpa campuran. Saya beli 1kg yang dipisah menjadi 4 toples. Masih ada sisa 2 toples, saya sayang-sayang banget. Yang penasaran dan berminat, silahkan hubungi Inly ya. Ini testimoni dari konsumen yang puas. 

Penampakan bawang goreng Inly jadi taburan. Ini foto teman saya
Penampakan bawang goreng Inly jadi taburan. Ini foto teman saya

2. Sayur Daun Kelor aka Gengan Maronggi

Pada postingan tentang masakan rumah, saya menyebutkan kalau salah satu masakan yang saya kangeni dari rumah adalah gengan maringgi atau sayur kelor. Sayangnya, selama di Belanda, saya belum pernah menemukan yang namanya daun kelor. Kalau buah kelor aka kelentang, saya selalu beli di pasar. 

Nah sewaktu awal Ibu di sini, kami ke toko Asia, mau beli tempe. Tiba-tiba Ibu bilang, “Lho Den, katanya ga ada maronggi, lha ini ada” lalu saya ambil bungkusan itu. Owalaahh ternyata daun kecil-kecil yang hampir selalu ada di rak itu maronggi aka daun kelor tho. Saya ga ngeh sama sekali. Lagian selama di Indonesia, saya jarang memperhatikan daun kelor itu bentuknya seperti apa. Yang saya perhatikan dengan seksama kalau sudah dikirimi sayur kelor oleh tetangga dalam keadaan siap santap haha.

Waahh, saya tentu saja senang sekali ternyata kelor dijual di toko Asia. Sejak saat itu, kerinduan saya untuk makan sayur kelor terobati. Harganya pun tidak semahal buah kelornya. Sudah beberapa kali saya membuat sayur kelor dimasak pake kunci. Segernya luar biasa. Ini salah satu penampakan sayur kelor bersama lauk pauk lainnya. Teman saya yang sedang mampir ke rumah sampai nambah 3 kali hahaha. 

Sayur kelornya yang di dalam panci
Sayur kelornya yang di dalam panci

Pernah dengar mitos atau cerita seputar kelor ga? Kan katanya bisa merontokkan susuk haha. Kalau buat orang Jawa katanya kelor buat memandikan mayat ya.

3. Pecelan Komplit

Sabtu minggu lalu ada acara kumpul-kumpul di salah satu rumah teman di Rotterdam. Masing-masing orang yang datang bawa makanan. Tuan rumah masak ayam saus dan bakso lengkap dengan balungan dan gajih-gajihnya. Ada yang bawa siomay dan cendol. Ada yang bawa onde-onde dan kue. 


Saya sejak awal menawarkan akan membawa pecelan lengkap dengan sambel tumpang dan mendol. Sambel tumpang dan mendolnya saya buat asli dari tempe yang sudah kadaluarsa satu bulan. Jadi rasanya ciamik soro. Nah, bumbu pecelnya, Ibu yang membuat sebelum berangkat ke Belanda. Jadi Ibu membawa 2kg sambel pecel. Enak banget sambel pecel buatan Ibu. Sambel pecel Nganjuk gitu. Terasa bumbunya. Testimoni dari yang pernah merasakan seperti itu. Malah ada yang pesan untuk dibawakan. Makanya saya irit-irit sekali makan sambel pecel. Harus cukup sebelum nanti kami liburan ke Indonesia. Selain itu, sayuran di pecel yang saya bawa ada kenikirnya. Ini juga dibawa Ibu dari desa. Jadi kenikirnya dikeringkan. Harta berharga sekali kenikir ini, makan juga saya irit supaya tidak cepat habis. Maklum, di Belanda saya belum pernah menjumpai kenikir.

Pecelan Komplit
Pecelan Komplit

Suami saya doyan sekali dengan mendol dan pecel. Walaupun dia tahu mendol dibuat dari tempe kadaluarsa, tetap saja dimakan dengan hati gembira.

Nah, itu cerita singkat saya tentang beberapa hal yang benang merahnya adalah makanan. Suhu di Belanda minggu ini semakin drop. Di tempat tinggal kami kalau pagi sampai minus 8. Besok malah sampai minus 10. Bahkan di beberapa kota, salju datang lagi. Dalam minggu ini salju nampaknya akan rata datang lagi. Matahari sih sebenarnya bersinar cerah sekali, cuma dingin dan anginnya yang tidak kuat. Kami yang biasanya hampir tiap hari jalan kaki cari udara segar kalau siang atau sore, seminggu ini rencananya di rumah saja. Saya sudah kangen sekali hangat matahari. Supaya kalau mau beli tempe ke toko yang jalan kaki cuma 5 menit tidak harus ribet dengan pakaian yang membutuhkan waktu lebih dari 15 menit. 

Jadi, ada rencana makan siang apa kalian? Sewaktu saya jadi mbak kantoran di Indonesia, pertanyaan mau makan siang apa sudah didiskusikan satu ruangan semenjak jam 8 pagi 😅Besok siang saya ada rencana masak jamur goreng pedas, sambel tempe kemangi dan oseng kangkung. Ya mudah-mudahan rencana bisa terlaksana supaya tidak berhenti jadi wacana.
-Nootdorp, 26 Februari 2018-

Cinta Sendiri

Jam 7 malam, saat saya dan suami makan malam, entah kenapa saya mengajukan pertanyaan yang melintas di kepala.
Saya : Seberapa besar kamu percaya sama aku?

Suami : Aku tidak pernah meragukan kamu

Saya : Bagaimana kalau aku suatu hari nanti kembali ke mantan?

Suami : Aku tidak pernah meragukan kesetiaanmu pada keluarga kita

Saya : Tapi aku tidak bisa memastikan apakah hatiku tidak goyah ketika bertemu dengan mantan yang paling melekat dalam hidupku

Suami : Mantanmu yang mana yang paling melekat? (Hahaha berasa mantan dari istrinya ada banyak *lalu muter lagu Mantan Terindah). Aku tidak mau berandai-andai sesuatu yang belum terjadi

Saya : Aku hanya ingin mengatakan bahwa kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan, termasuk masalah mantan.

Lalu sayapun bercerita ke suami tentang kabar perceraian Pak Ahok dan Bu Vero. Ya menghubung-hubungkan dengan perbincangan kami di atas. Karena sebelum tidur biasanya saya menonton YouTube tentang kulineran atau video klip lagu-lagu dan juga beberapa gosip di Tanah Air, makanya saya tahu tentang kabar ini dan itu. Tapi tenang saja, saya tak akan menggosip atau mengulik kebenaran tentang cerita Pak Ahok dan Bu Vero. Itu bukan urusan saya.

Kembali ke perbincangan saya dan suami, saya lalu bercerita kalau hati saya ini gampang sekali lemah kalau lihat lelaki yang pintar, cerdas tapi tidak menampakkan kepintaran dan tidak terlalu banyak omong. Dan saya juga bercerita kalau saya ini gampang sekali terkena cinta lokasi. Waktu kerja di Jakarta dulu, saya dua kali (tentu saja dalam dua waktu yang berbeda ya 😅) terkena cinta lokasi. Sering berada dalam satu project, pulang malam-malam karena lembur, dan sering curhat-curhatan (bahaya banget nih yang namanya curhat), lama-lama hati goyah juga walaupun ujung-ujungnya yang terakhir harus memunguti hati yang berceceran di lantai karena Cinta Sendiri (lalu nyanyi lagunya Kahitna)

Perbincangan kami semakin dalam. Saya juga bercerita kalau saya ini tipe pemburu (hahaha lalu ngebayangin berburu pakai senapan). Kalau saya suka dengan seseorang, lebih baik saya mengatakan kalau saya suka daripada memendam. Saya tidak suka memendam perasaaan atau menunggu dia ngomong tapi tidak tahu kapan atau digantung tanpa kepastian *tsaahhh bahasanya 😅 intinya mending saya ngomong kalau suka daripada penasaran seumur hidup. Buat saya ngomong suka ke seseorang yang saya suka itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan harga diri atau gender. Kalau ngomong suka duluan bukan berarti lalu harga diri saya langsung murahan atau ga pantas kalau perempuan ngomong suka ke laki-laki terlebih dulu. No no, itu tidak ada dalam kamus saya. Tapi saya kalah cepat dengan suami. Dia lebih cepat ngomong duluan sebelum saya menyadari kalau saya suka dia haha.

Ujung-ujungnya suami komentar, “wah, aku jadi berpikir nih kalau kamu kerja kantoran nanti, mudah-mudahan ga terlibat cinta lokasi ya. Kan katanya hatimu lemah kalau kenal lelaki yang pintar” lalu saya balas dengan senyum-senyum saja, menggoda dia tentu saja.

“Tenang saja suamiku, mudah-mudahan istrimu ini selalu dikuatkan hatinya untuk selalu menjaga kesetiaan kepada keluarga kita. Apa yang sudah kita perjuangkan dan kita lalui sejauh ini mudah-mudahan tidak akan kutukar dengan godaan sesaat. Semoga”

Meskipun kadang-kadang saya suka cerita ke suami sih, penasaran dengan kabarnya mantan(-mantan). Kira-kira kabarnya (mereka) bagaimana ya. Trus suami sering menanggapi,”ya googling aja. Pasti ketemu kok.” Halah, malah ditanggapi 😅 saya bukan tipe orang yang akan kembali ke Mantan. Karena yang namanya Mantan, ya itu adalah masa lalu yang letaknya dibelakang. 

Ada yang punya pengalaman dengan mantan? Atau dengan Cinta Sendiri? Atau dengan Cinta Lokasi?. Lalu dibuka sesi curhat pada kolom komentar 😁

Selamat hari Senin, semoga minggu ini lancar ya semua kegiatannya.

*postingan kali ini diiringi oleh lagu-lagu Kahitna, supaya makin menghayati

-Nootdorp, 11 Februari 2018-

2017 dan 2018

Cover

Setelah hiatus beberapa bulan, mudah-mudahan blog ini kedepannya akan kembali menyemarakkan dunia perbloggan dan menelurkan tulisan-tulisan yang berfaedah *gimana berfaedah, judulnya aja ga kreatip plus pembukaan tulisan diawali dengan kata “menelurkan” *Hah, ya sudahlah. Mau nulis begini saja harus nyicil beberapa hari, mencari inspirasi. Saya rasa kali ini lebih sulit menulis blog dibandingkan menulis tesis. Ya bagaimana tidak, satu kata lalu hapus, ganti lagi hapus lagi. Macam mau kirim sms ke gebetan pada jaman dulu *lalu tsurhat.

Jadi siapa yang kangen dengan saya blog kami? Jangan malu-malu silahkan komen kalo kangen *lalu banyak yang melipir pergi :))) Saya menerima beberapa email dan pesan langsung, menanyakan keberadaan saya kok lama tidak muncul menulis di blog. Ada yang saya jawab apa adanya dan ada juga yang saya jawab seadanya. Tergantung seberapa dekat saya mengenal yang bertanya. Terima kasih ya yang sudah menanyakan kabar saya dan keberadaan blog kami. Pada tulisan perdana di 2018 ini, saya mau menulis secara singkat dan mudah-mudahan padat apa saja yang sudah kami lewati di 2017 dan apa harapan kami di 2018

2017

KEHIDUPAN

  • Senang sekali tahun 2017 Ibu dan Adik saya bisa berkunjung ke Belanda meskipun tidak dalam waktu yang bersamaan. Mungkin karena saya lama tidak pulang (sudah tiga tahun), jadi mereka ingin memastikan bahwa saya baik-baik saja di negara ini (ini asumsi saya saja sih :D). Selama Adik saya di sini, bisa mengajaknya jalan-jalan ke beberapa tempat wisata di Belanda, ke Belgia dan juga Paris. Tetapi ketika Ibu di sini, karena musim dingin yang memang dinginnya ekstrim untuk ukuran Ibu saya, akhirnya kami tidak kemana-mana. Hanya di rumah saja dan jalan-jalan seputaran Den Haag.
  • Tidak berapa lama setelah Ibu sampai Belanda, salju datang. Senanglah Ibu melihat salju pertama kali. Rejeki buat Ibu karena tidak disangka salju kali ini turun dengan lebat selama dua hari. Saking senangnya Ibu, di hari pertama salju Beliau malah jalan-jalan disekitar rumah untuk memantau keadaan katanya haha. Selama di Belanda, tempat yang paling sering Ibu kunjungi sendirian (naik tram sendiri tanpa saya temani) adalah Pasar. Kata Ibu, kalau ke Pasar selalu membuat Ibu senang.
  • Setelah sekitar 10 tahunan saya tidak mengkonsumsi Unggas dan Daging, akhirnya tahun 2017 saya memutuskan kembali untuk mengkonsumsinya karena tubuh saya membutuhkan asupan zat besi lebih dari biasanya. Setelah kembali mengkonsumsi, perlahan kembali naik dan mencukupi sesuai yang dibutuhkan tubuh saya.
  • Awal tahun 2017, ada satu tulisan saya dimuat di buletin Maiyah. Ini karena salah satu editornya menghubungi saya untuk menuliskan pengalaman menghadiri acara Cak Nun di Amsterdam dan testimoni selama mengikuti Maiyahan di Surabaya dan Jakarta.
Buletin Maiyah
Buletin Maiyah
  • Lumayan produktif mengirimkan video-video ke Net CJ yang artinya juga semakin menambah tabungan saya. Rasanya senang karena video ditayangkan di TV, sesekali saya juga bisa numpang nampang, dibayar pula. Tabungannya kan bisa menambah biaya selama liburan ke Indonesia.
  • Banyak berkah dan rejeki yang kami dapatkan di tahun 2017. Semoga kami tidak terlena dan tidak lupa untuk selalu bersyukur atas segala amanah ini.

JALAN-JALAN

Banyak syukur karena tahun 2017 membawa kami ke beberapa negara baru, terutama saya ya karena memang untuk pertama kalinya mengunjungi negara-negara tersebut seperti Belgia, Austria, Ceko. Tidak hanya negara saja, beberapa kota baru juga sempat kami datangi. Beberapa cerita sudah saya tuliskan, tetapi banyak juga yang belum sempat terdokumentasikan secara tulisan di blog ini. Mudah-mudahan punya mood baik untuk berbagi cerita.

BUKU YANG DIBACA

Saya gembira sekali 2017 menjadi tahun yang produktif dalam hal membaca, setidaknya dibandingkan tahun 2016. Sejak bertekad untuk mengurangi intensitas memandangi layar Hp, saya jadi banyak waktu untuk membaca. Mengikuti Reading Challenge yang diadakan Goodreads setiap tahunnya, dimana setiap tahun saya selalu membuat target 50 buku -dan selalu tidak tembus-. Tahun 2017 saya berhasil menyelesaikan membaca 25 buku. Walaupun secara kuantitas hanya 25 buku, tetapi secara halaman, buku-buku yang saya baca lumayan tebal dan membutuhkan waktu untuk mencernanya. Jadi buat saya, bukan bacaan yang terlalu ringan karena tidak bisa terburu-buru dan harus mengerti dulu sebelum masuk ke halaman selanjutnya. Mudah-mudahan nanti saya bisa menuliskan secara terpisah buku apa saja yang sudah saya baca selama tahun 2017 karena ada beberapa buku yang memang bagus sekali.

LAIN-LAIN

Itu sih yang saya ingat karena selebihnya sudah pernah saya tuliskan di blog ini selama 2017. Nanti kalau tiba-tiba ada yang teringat akan saya update lagi.

 

2018

Ada beberapa rencana yang ingin saya (dan kami) lakukan di tahun 2018. Semoga terealisasikan. Ini yang saya tulis yang bisa saya bagi saja ya karena selebihnya kami simpan sendiri.

  • Saya kembali memasang target 50 buku yang akan saya baca tahun ini, setidaknya itu yang saya ikuti untuk Reading Challenge di Goodread (ayo siapa yang punya akun Goodreads, bisa ikutan challenge ini, lumayan bikin termotivasi). Setidaknya itu yang saya inginkan. Setelah tahun kemaren kepala dibuat berasap dengan topik-topik buku yang saya pilih, tahun ini saya mau santai-santai saja memilih bahan bacaan yang ringan. Ketika Ibu akan ke Belanda, titipan terbanyak saya adalah buku. Ada 17kg sendiri untuk berat buku-buku yang dibawa. Saya sangat senang sekali karena akan banyak membaca buku berbahasa Indonesia dan kebanyakan adalah novel serta cerita-cerita ringan. Tidak lagi didominasi oleh topik yang membuat kepala berasap.
  • Tahun ini kami sekeluarga berencana mengunjungi beberapa negara baru. Dan tahun 2018 menjadi tahun yang menantang buat kami dalam hal jalan-jalan. Bukan menantang karena negara yang akan dikunjungi, tetapi lebih menantang dalam hal pelaksanaannya. Semoga lancar dan bisa berbagi cerita di blog.
  • Akhir tahun kami berencana untuk liburan ke Indonesia. Akhirnya ya, setelah dua tahun berturut ada rencana ke Indonesia selalu tertunda karena beberapa hal. Mudah-mudahan 2018 liburan ke Indonesia benar-benar terlaksana karena setelah nanti hampir 4 tahun saya tidak pulang, kami akan tinggal minimal 2 bulan di sana (rencananya sih 3 bulan). Jadi banyak kesempatan jalan-jalan juga mengunjungi beberapa kota di luar pulau Jawa. Tapi Suami tidak bisa berlama-lama liburan, jadi kembali terlebih dulu ke Belanda.
  • Tahun ini saya ingin kembali bisa mengikuti lomba lari. Setidaknya bisa kembali ke 10km. Setelah setahun lebih cuti dari dunia lari dan beralih ke Yoga (selain jalan kaki dan bersepeda), saya kangen juga ikutan lomba-lomba gitu. Bukan buat gaya-gayaan, tapi untuk memotivasi diri sendiri supaya lebih rajin berlatih. Semoga!
  • Lebih rajin menulis di blog.
  • Lebih banyak bersyukur atas segala apa yang sudah kami punya saat ini
  • Meluangkan waktu untuk menyapa kenalan atau teman atau keluarga yang sudah lama tidak saling berkirim kabar.
  • Ujian ONA tahun ini harus lulus (iya, saya belum ujian ONA), sebelum kena denda DUO dan didepak dari Belanda (semoga malasnya bisa diusir jauh-jauh dari badan saya). Januari saya tepat tiga tahun di Belanda, seharusnya sudah lulus semua ujian. Tapi saya masih nyangkut di ONA, belum ujian malahan.
  • Bisa nambah kopi darat dengan blogger-blogger yang saya kenal setelah bulan Januari bisa bertemu Maureen di rumah kami. Akhirnya ya Bu Dosen, setelah beberapa kali janjian yang tak bisa terealisasikan, kita dipertemukan oleh undangan dadakan :))) Selain itu, awal tahun ini saya juga diberikan berkah bisa kenal lebih dekat dengan Astrid meskipun kami belum pernah bertemu langsung, masih sebatas percakapan lewat WhatsApp beberapa minggu lalu tetapi sudah sangat intens. Saya selalu mengatakan ke Astrid bahwa dia adalah perpanjangan tangan Tuhan untuk menolong saya pada saat yang sudah genting. Saya selalu percaya bahwa tidak ada yang namanya kebetulan. Semua ini sudah diatur oleh Yang Kuasa. Terima kasih Astrid.
  • Semoga ada waktu untuk bertemu dengan sahabat-sahabat saya yang sudah selama hampir 20 tahun kami bersahabat. Karena mereka inilah yang membuat saya selalu waras -melewati beberapa kali masa-masa sangat sulit dalam hidup,termasuk baru-baru ini- dengan guyonan receh ala kami dan nasihat tapi tidak menggurui.
  • Karena ditahun 2017 entah kenapa saya mendadak jadi tidak suka sayur padahal sebelumnya saya adalah orang yang tidak bisa makan tanpa sayur, maka target di tahun 2018 ini saya ingin kembali bisa mengkonsumsi sayuran (terlebih yang mentah).
  • Rencananya ingin daftar kuliah. Tapi kok ya semakin kesini rasanya makin males. Mudah-mudahan apapun itu apakah kuliah ataupun kursus, yang penting tahun ini saya ingin belajar hal baru.

 

Setidaknya itu yang bisa saya tuliskan kali ini. Semoga kami sekeluarga selalu diberikan kesehatan yang baik dan umur yang berkah sehingga bisa melalui setiap waktu di 2018 ini dengan bahagia dan berbagi kebahagiaan, kegiatan yang bermanfaat dan tidak lupa banyak bersyukur. Dan untuk mereka yang sedang berjuang (berikhtiar) dalam hal kesehatan, karir, keluarga atau apapun itu, saya haturkan doa semoga perjuangannya diberikan kemudahan untuk mencapainya dan kelancaran pada saat prosesnya.

-Nootdorp, 1 Februari 2018-

Cerita Terbaru

Karena saya sedang tidak bisa tidur padahal sudah lebih dari jam 12 malam dan dari tadi sudah baca buku, maka saya mau cerita ngalor ngidul saja di blog ini. Siapa tahu setelah menulis mata jadi mengantuk. 

MAKAN GRATIS

Sabtu minggu lalu saya ada undangan ke salah satu rumah teman yang ada di Rotterdam. Undangan makan dan kumpul-kumpul saja. Awalnya untuk merayakan ulang tahunnya, tapi mendekati hari H beberapa orang yang diundang mengusulkan untuk bawa makanan sendiri. Nambah-nambah makanan yang sudah disediakan tuan rumah. Saya bawa yang gampang saja, tahu isi dan kue (tentu saja kuenya beli). 

Saya pergi sendiri naik metro tanpa suami, karena ini adalah salah satu me time kami berdua. Saya kalau me time memang sukanya keluyuran haha, sedangkan suami lebih senang di rumah, berkutat dengan hobi bermusiknya. Sampai di rumah teman saya jam 12, saya pikir sudah telat. Eh ternyata saya yang pertama datang. Perut keroncongan tapi harus menunggu 2 keluarga yang lain datang. Untung jam 1 mereka sudah datang. Makanan yang tersaji sungguh menggugah selera. Terutama Combro karena isinya benar-benar dari Oncom yang dibawa si pembuat sewaktu mudik ke Sumedang. Saking enaknya, saya dengan tak tahu malu makan lebih dari 5 *nggragas ga boleh nanggung 😅 #prinsip

Opor ayam telur, lodeh rebung kacang, sayap ayam, mie goreng, lontong, nasi, bebek, cumi hitam, kulit ayam, berbagai macam taart, es buahnya menyusul
Opor ayam telur, lodeh rebung kacang, sayap ayam, mie goreng, lontong, nasi, bebek, cumi hitam, kulit ayam, berbagai macam taart, es buahnya menyusul
Kue Cubit, Combro, Bala Bala (aka ote-ote), Tahu isi
Kue Cubit, Combro, Bala Bala (aka ote-ote), Tahu isi
Peserta Makan Gratis
Peserta Makan Gratis
 

Saking serunya obrolan kami dan becandaan, duduk di meja makan sejak jam 12 saya datang sampai jam 8 malam betah sambil mulut ga berhenti ngunyah (saya ini maksudnya haha). Pindah cuma geser tempat duduk saja dan ke toilet. Sampai suami kirim wa kok ga ada kabar dari saya. Ihiiyyy kangen nih si mas (GR😅). Padahal dia kawatir takutnya ada apa-apa seharian tanpa kabar. Ditambah angin kencang dan gerimis, karena saya dari stasiun ke rumah naik sepeda. Jadi dia kawatir soalnya sudah malam. Pas ngontel sepeda memang ngeselin banget sih, anginnya ga santai. Saya harus pelan-pelan sekali karena jalanan yang saya lewati gelap gulita ditambah angin dan gerimis. Extra hati-hati.

Sampai rumah jam 21.30. Senang sekali kumpul teman seharian dan makan-makan. Hati senang, perut kenyang. Tentu saja ada acara bungkus membungkus karena makanannya lebih banyak. Jadi minggu saya tidak perlu memasak.

RAJIN BERBERES RUMAH

Sudah sebulan ini saya rajin berberes. Dari merapikan tanaman di taman depan belakang rumah, merapikan isi lemari baju, merapikan isi gudang, merapikan isi lemari dapur, merubah posisi isi kamar-kamar, ngecat beberapa rak dari Ikea yang masih belum ada catnya, dll. Lumayan juga ya bikin encok, jadi butuh tukang pijit.

Dari hasil berberes itu, bisa mengumpulkan barang-barang yang sudah tidak layak simpan seperti koran2, majalah2, bumbu dan bahan2 dapur yang sudah ED, baju2 yang harus disingkirkan, sepatu2 yang jarang terpakai, dan masih banyak lainnya. Saya sih memang ratu tega buang ya, sementara suami raja sayang buang. Tapi lumayan lah dia sekarang agak berkurang kebiasaan ngumpulin barang-barang. Kalau ga dijual lagi, ya langsung buang. 

RAJIN BACA BUKU

Karena saya sedang banyak waktu luang dan kalau malam agak susah tidur cepat, mengakibatkan saya jadi rajin baca buku. Lumayanlah jadi bisa kejar target Reading Challenge Goodreads (meskipun pasti ga akan kekejar sih). Sampai saat ini, sudah baca 20 buku dari target 50 buku. Ini sangat lumayan dibandingkan tahun kemarin sepertinya hanya 10 buku. Topik yang saya baca tahun ini pun beragam. Tidak hanya novel saja. Nanti kalau sudah akhir tahun mudah-mudahan bisa membuat ringkasan buku-buku apa saja yang sudah saya baca tahun ini. 

Saya sekarang sedang membaca bukunya Laksmi Pamuntjak yang judulnya Amba. 

MULAI AGAK RAJIN MEMASAK

Saya mulai agak rajin masak (lagi). Meskipun ya menunya standar sih, seputar oseng mengoseng. Karena beberapa bulan terakhir ini saya mulai mengkonsumsi daging dan unggas, kalau akhir pekan membiasakan untuk makan dan masak yang ada daging atau unggasnya. Karena sudah lama tidak makan, jadi membiasakan dengan rasanya kembali. Meskipun sejujurnya saya lebih suka makan tahu tempe telur atau ikan.

Nasi gurih, ayam bakar dan lauk lainnya
Nasi gurih, ayam bakar dan lauk lainnya
Lodeh tewel pakai tetelan
Lodeh tewel pakai tetelan
Tumis kangkung, ayam dan tempe bakar
Tumis kangkung, ayam dan tempe bakar
Oseng Pare tempe teri
Oseng Pare tempe teri

Rawon daging labu siem kacang panjang
Rawon daging labu siem kacang panjang

Begitulah cerita ngalor ngidul saya. Mata mulai mengantuk. Oh ya, suhu di sini sudah mulai dingin, tadi pagi 5°C. Kalau ke luar rumah sudah mulai pakai jaket tebel. Perbedaan waktu dengan Indonesia menjadi 6 jam.

-Nootdorp, 31 Oktober 2017- 

Yuk, Bergerak!

Beberapa waktu lalu, ada berita yang cukup menggemparkan tetapi tidak cukup mengejutkan (terutama bagi saya) bahwa penduduk Indonesia yang menempati posisi paling bawah dari hasil survey tentang berjalan kaki. Kenapa sampai menggemparkan, karena tidak menyangka hasilnya menempatkan Indonesia pada posisi paling buncit. Kenapa tidak mengejutkan, ya karena memang pada kenyataannya tidak hanya di kota besar, tetapi di pedesaan setidaknya sampai 3 tahun lalu saat saya masih di Indonesia, semakin sedikit orang berjalan kaki. Ke sawah sambil bawa pacul pun naik sepeda motor. Paling tidak ini gambaran desa yang saya kenal. Mengesampingkan tentang metode sampling dan lain sebagainya dari sisi Statistik, harus diakui bahwa hasil survey tersebut seharusnya bisa menjadi bahan perenungan.

Pada tulisan kali ini, saya tidak akan membahas satu persatu faktor-faktor yang menyebabkan kenapa orang Indonesia malas berjalan kaki yang mengakibatkan malas bergerak juga. Saya ingin berbagi cerita dari pengalaman sebagai seorang pejalan kaki (hampir) sejati selama tinggal di Indonesia yang di”paksa” untuk bergerak dengan berjalan kaki.

Sejak kecil, saya memang sudah suka sekali yang namanya olahraga, terutama lari. Kemungkinan besar kesukaan saya tersebut muncul karena melihat Bapak yang juga suka lari pagi. Berbagai macam jenis olahraga pernah saya coba dari karate, bulutangkis, renang, lari, taekwondo, voli, bersepeda, bahkan yang paling gampang yaitu jalan kaki. Dari hasil coba-coba sampai menekuni yang lumayan bertahan adalah karate, lari, jalan kaki, bersepeda, dan renang. Yang lainnya bubar jalan karena ternyata tidak sesuai dengan minat (termasuk ikut aerobic pun tidak lama bertahan).

Kalau saya dan Bapak menjadi anggota keluarga yang rajin olahraga, tidak begitu dengan Ibu dan kedua adik saya. Bahkan rasa-rasanya saya tidak pernah melihat kedua adik saya punya ketertarikan dengan olahraga. Kalau Ibu, sewaktu Bapak masih ada, sesekali ikut Bapak jalan kaki di pagi hari. Setelah Bapak meninggal, hampir tidak pernah saya melihat Ibu olahraga jalan kaki di pagi hari ataupun melakukan olahraga lainnya. Kedua adik saya sangat lihai mengendarai sepeda motor, berbeda dengan saya yang memang penakut kalau naik sepeda motor. Meskipun secara resmi mereka punya sepeda motor sendiri saat kuliah, tetapi mereka sudah punya SIM saat umur 17 tahun (benar kan ya umur 17 tahun sudah bisa punya SIM? Lupa-lupa ingat). Sedangkan saya “dipaksa” punya SIM oleh Ibu saat umur sekitar 22 tahun, itupun hampir tidak pernah saya pakai karena lebih memilih jalan kaki atau naik sepeda kalau mau ke mana-mana atau naik kendaraan umum kalau tempatnya agak jauh. Sedangkan Ibu dan kedua adik saya sudah terbiasa mau ke warung yg jaraknya beda 5 rumah saja naik sepeda motor. Ini kejadian nyata lho, bukan membesar-besarkan. Kalau saya tanya kenapa tidak jalan kaki saja atau kalau males ya naik sepeda. Jawabannya : males dan biar cepet. Kalau jalan atau naik sepeda, lama. Akibatnya mereka jadi malas bergerak juga kalau di luar rumah. Kalau di rumah masih tertolong bergeraknya dengan bersih-bersih rumah.

Karenanya, saat adik saya datang ke Belanda beberapa bulan lalu, sudah pasti dong ke mana-mana saya ajak jalan kaki atau naik sepeda, wong kami tidak punya mobil pribadi. Kalau tujuannya jauh, baru saya ajak adik naik kendaraan umum. Awalnya dia sepertinya menikmati kegiatan menggerakkan tubuh lewat jalan kaki dan bersepeda. Lama-lama muncul juga kata-kata “aku hari ini di rumah saja, ga ikut keluar. Kemarin jalan kakinya jauh, sekarang capek” hahaha menyerah juga akhirnya dia. Ya bagaimana, selama di Indonesia hampir tidak pernah olahraga, begitu diajak jalan kaki langsung njarem kakinya.

Saya bisa maklumi kenapa berjalan kaki di Indonesia bukan menjadi hal yang diminati. Setidaknya ini dari pengalaman saya. Ada beberapa alasan misalkan : belum merata trotoar untuk pejalan kaki. Kalaupun ada, malah dipakai jualan pedagang kaki lima ataupun jadi tempat parkir. Jadi kalau mau jalan kaki agak was-was terserempet kendaraan bermotor. Selain itu, debu dari kendaraan dan panas yang menyengat membuat malas untuk jalan kaki. Dan yang paling menyebalkan adalah resiko disuit-suitin sama mulut-mulut usil. Oh ada satu lagi, ada anggapan kalau berjalan kaki (dan naik sepeda) itu masuk ke lapisan masyarakat yang tidak mampu ekonominya. Yang terakhir ini pengalaman saya waktu diberi sepeda oleh Bapak kos saat kembali kuliah di Surabaya. Jadi sewaktu saya naik sepeda ke kampus, ada beberapa orang yang menyelutuk,”Mbak, kok naik sepeda sih. Ga beli sepeda motor saja? Kan kelihatan lebih elit.” Yang tentu saja saya malas menjawabnya. Sewaktu saya kerja di Jakarta, saya rajin lho jalan kaki, setidaknya dari rumah kos sampai ke bis jemputan kantor. Lumayanlah sekitar 1km an. Tapi ya penuh perjuangan, debunya ampun dan harus melipir sangat ke pinggir daripada kena srempet metromini yang ugal ugalan. Selama kuliah di Surabaya juga mau tidak mau harus rajin jalan kaki karena jarak jurusan saya ke jalan besar jauh sekali, belum lagi kalau ke tempat kos, apalagi dari satu jurusan ke jurusan lain juga berjauhan.

Dengan kondisi yang semakin memudahkan orang Indonesia untuk tidak harus keluar rumah jika membutuhkan sesuatu, misalkan aplikasi berbagai macam GO (saya tidak terlalu paham tentang hal ini, hanya menyimak saja dari twitter atau pembicaraan di wa grup) dan semakin gampangnya untuk bisa membeli sepeda motor dengan uang muka yang ringan, maka keinginan untuk berjalan kaki pun menjadi semakin mengecil. Mudah-mudahan meskipun badan tidak diajak bergerak lewat jalan kaki, tetapi tetap bergerak dengan sarana yang lain, olahraga yang lain. Karena sayang sekali ya selama kondisi tubuh masih memungkinkan untuk bergerak tetapi tidak dibuat bergerak, yang ada ya ke badan jadi tidak segar atau bahkan mungkin menjadi ringkih gampang sakit.

Ketidakbisaan saya naik sepeda motor dan sudah terbiasa jalan kaki ataupun naik sepeda, membawa berkah saat saya pindah ke Belanda. Saya tidak perlu waktu lama untuk menyesuaikan. Jadinya malah sangat girang sekali karena pada akhirnya tinggal di negara yang sangat ramah dengan pejalan kaki ataupun pengguna sepeda. Di sini, pejalan kaki dan pengguna sepeda mempunyai jalan masing-masing, jadi berasa aman dan nyaman. Belum lagi udaranya juga mendukung (kalau cuaca sih harus nrimo ya kalau seringnya hujan dan angin besar). Dan yang pasti, saya belum pernah disuitin kalau pas lagi jalan kaki. Surga lah buat saya yang sangat menyukai jalan kaki dan naik sepeda.

Saya sempat singgung di awal tentang kesukaan saya dalam berolahraga yang tentu saja membuat segar dan fit di badan karena peredaran darah lancar yang berpengaruh juga ke mood, membuat gembira hati. Setahun terakhir, saya mencoba olahraga baru, yaitu Yoga. Awalnya karena saya ingin cuti dulu dari olaraga lari, tetapi saya ingin menggantinya dengan olahraga lainnya. Karena sering membaca tulisan Noni tentang Yoga, akhirnya saya berkirim pesan ke Noni bertanya lebih lanjut tentang Yoga. Sekitar awal Januari tahun ini, saya sempat ikut kelas percobaan Yoga yang letak studionya tidak jauh dari rumah. Tapi karena ada satu hal, saya tidak bisa ikut kelasnya secara tetap. Akhirnya saya cari-cari di YouTube panduan berYoga dan mulai mengikutinya. Saya jadi suka, meskipun yang saya lakukan adalah gerakan-gerakan dasar ya bukan yang tingkatan susah. Setidaknya tetap membuat badan saya bergerak meskipun cuti sebentar dari lari. Nah, kesempatan ikut kelas Yoga akhirnya datang bulan Agustus. Saya mendaftar untuk 10 kali pertemuan, seminggu hanya sekali, sisanya latihan sendiri di rumah. Lumayan lah ini jadi lebih tau tentang teknik-teknik berYoga yang benar dan kok ya pas biayanya ditanggung asuransi (meskipun tidak 100%).

Yang terpenting buat saya itu adalah badan tetap selalu bergerak, tidak duduk diam di sofa sambil mainan Hp sepanjang hari. Apalagi sejak saya tidak bekerja dan masuk musim gugur pula. Sewaktu saya masih bekerja, pulang pergi ke tempat kerja total 23km naik sepeda. Itu bisa 3 kali dalam seminggu. Nah sekarang karena naik sepeda jarak jauh sudah berkurang porsinya (naik sepeda jarak dekat saja), akhirnya jalan kaki yang saya tambah. Kalau biasanya 2 kali dalam seminggu maksimal 7km, sekarang saya tambah jadi 4 kali dalam seminggu tetap 7km. Sisanya saya gunakan untuk Yoga, sesekali renang (itupun jarang), bersih-bersih rumah dan taman. Saya ini paling tidak bisa melihat rumah kotor, inginnya tiap hari dibersihkan. Tapi ya gempor juga ya harus membersihkan 3 lantai belum taman depan belakang haha. Tapi kalau sedang datang malasnya ya cuma yang kelihatan kotor saja yang saya bersihkan 😅

Kalau cuaca bagus, bisa jalan kaki ke bukit dekat rumah. Lumayan nanjaknya bikin ngos-ngosan
Kalau cuaca bagus, bisa jalan kaki ke bukit dekat rumah. Lumayan nanjaknya bikin ngos-ngosan
Atau jalan kaki ke danau dekat rumah lalu mengitarinya
Atau jalan kaki ke danau dekat rumah lalu mengitarinya

Intinya, saya selalu mengingatkan pada diri sendiri untuk tidak malas bergerak, dengan catatan badan saya tidak sedang sakit parah ya. Selama masih memungkinkan dan sehat, tidak ada alasan untuk duduk manis sepanjang hari di sofa atau leyeh-leyeh di kasur. Apalagi sudah masuk musim gugur begini, godaan buat bermalasan semakin besar karena udaranya dingin dan hari terang semakin berkurang jamnya. Bergerak dan olahraga buat saya sudah jadi semacam kebutuhan. Ada yang kurang rasanya di badan kalau tidak bergerak aktif. Bukan karena ingin kurus atau langsing atau apalah itu, tapi memang karena ingin sehat dan bugar. Saya selalu percaya, badan punya mekanismenya sendiri untuk tahu berat idealnya berapa asal ditunjang dengan gaya hidup sehat dan seimbang. Untungnya suami saya ini doyan sekali berolahraga. Jadi ada motivasi kalau malas sedang kambuh. Malu, dia yang umurnya jauh di atas saya saja selalu rajin berolahraga (setiap hari) sedangkan saya masih dibawah 40 begini kok malas menggerakkan badan. Apalagi kalau lihat orang Belanda kalau hujan pun masih banyak yang olahraga lari (ya termasuk dia). Wah saya kalau hujan mending duduk manis saja di rumah sambil makan jagung rebus haha.

Yuk ah Den, bergerak!

Selamat berakhir pekan semuanya, jangan lupa bergerak ya!

Kalau kalian, suka bergerak yang seperti apa?
-Nootdorp, 27 Oktober 2017-

Ketika Memutuskan Untuk Mengundurkan Diri

Akhir minggu lalu resmi sudah sebagai hari terakhir saya bekerja. Jadi sudah seminggu ini saya leyeh-leyeh di rumah (yang sepenuhnya tidak leyeh-leyeh karena tetep umyek mengerjakan ini dan itu). Walaupun status pekerjaan tidak penuh waktu, tetapi tetap saja saat mengambil keputusan berhenti saya butuh waktu dua bulan untuk memikirkannya. Saya membuat daftar baik dan buruk saat berhenti bekerja atau tetap melanjutkan bekerja. Keputusan yang sudah saya ambil dengan bulat dan utarakan kepada atasan sebulan sebelumnya sempat goyah karena mereka menawarkan opsi lain. Tetapi pada akhirnya tekad saya sudah bulat untuk berhenti dan melanjutkan fase hidup saya dengan petualangan yang tidak kalah seru lainnya.

Hampir dua tahun saya bekerja di tempat tersebut, belajar hal yang benar-benar baru dari nol. Saya ingat sewaktu tes wawancara yang full dalam bahasa Belanda dan tentu saja bahasa Belanda saya pada saat itu masih sangat acakadut, tetapi saya cuek dan berusaha menjawab pertanyaan mereka semampu saya dan semaksimal mungkin. Rupanya hal tersebut menjadi nilai lebih di mata mereka karena menurut pengakuan, mereka kagum dengan kegigihan saya mencari kerja padahal belum ada setahun tinggal di Belanda dan masih dalam taraf belajar bahasa Belanda. Juga karena pekerjaan yang saya cari adalah pekerjaan yang bahasa pengantarnya Belanda. Padahal waktu itu saya sedang mempersiapkan ujian bahasa Belanda dan saya memang mencari wadah untuk mempraktekkan bahasa Belanda karena saya merasa kalau mengandalkan hanya praktek dengan suami maka tidak cukup. Selain itu karena sekolah bahasa Belanda sudah selesai, maka saya ingin ada kegiatan lain. Karenanya saya mulai mencari kerja kesana kemari. Dari yang sesuai dengan latar belakang pendidikan sampai yang tidak ada hubungannya sama sekali. Sempat putus asa karena dari sekian banyak surat lamaran yang dikirim, hampir 95% berisi penolakan. Sempat dua kali diterima bekerja dan sebenarnya sesuai dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja, tetapi karena ada suatu hal, saya yang menolak (sok ya, tapi memang tidak bisa saya terima).

Ternyata, akhirnya saya berjodoh bekerja paruh waktu di tempat yang selama hampir dua tahun terakhir membuat saya belajar banyak sekali hal baru. Pekerjaan yang justru tidak ada sangkut pautnya dengan latar belakang pendidikan bahkan pengalaman kerja. Pekerjaan yang memberikan saya kesempatan untuk belajar banyak hal. Tidak hanya tentang pekerjaan itu sendiri tetapi juga tentang kehidupan dan cara pandang tentang hidup. Bekerja di tempat ini benar-benar merubah saya, jiwa saya dan tentang cara saya memaknai hidup. Karena sudah sangat dekat dengan kolega dan orang-orang yang ada di dalamnya, tidak mengherankan pada hari terakhir saya bekerja dan saat mereka mengadakan perpisahan kecil-kecilan, saya tidak bisa untuk tidak menangis. Padahal saat berangkat, saya sudah yakin tidak akan menangis. Namun saya salah. Saat mereka memberikan bingkisan, bunga, kartu ucapan, dan satu persatu merangkul saya, air mata tidak bisa terbendung tumpah berderai. Mereka semua yang ada di sana adalah guru saya untuk memperlancar bahasa Belanda. Mereka begitu telaten selalu memberikan koreksi jika ada susunan kata yang salah atau kosakata yang saya tidak mengerti. Tidak hanya itu, mereka juga membantu saya menerangkan tentang ini dan itu. Selain itu, selama di sana saya juga banyak diikutkan beberapa pelatihan, tentu saja gratis. Banyak sekali ilmu yang saya dapatkan selama hampir dua tahun ini. Yang membuat hati saya tersentuh adalah saat beberapa hari lalu ada buket bunga yang mereka kirimkan ke rumah untuk saya. Orang Belanda ini memang suka sekali dengan bunga.

Buket bunga yang dikirim ke rumah
Buket bunga yang dikirim ke rumah

Tentang keputusan mengundurkan diri dari tempat bekerja, mengingatkan saya akan beberapa tahun lalu ketika saya dengan sangat berat hati harus mengajukan surat pengunduran diri dari tempat saya bekerja selama hampir 7 tahun di Jakarta. Kalau saya hitung-hitung, sejak lulus kuliah (karena sewaktu kuliah saya juga sempat bekerja jadi kuliah dan kerja), selama total 10 tahun bekerja hanya pindah 3 kali tempat kerja (ini termasuk yang di Belanda). Dan diantara 3 tempat tersebut, yang paling lama ya yang di Jakarta. Saya tidak akan pernah lupa hari sewaktu saya diwawancara oleh Direktur departemen yang saya kirimkan surat lamaran pekerjaan. Beliau ini orang Filipina, tidak terlalu bisa bahasa Indonesia karena memang sehari-harinya komunikasi dengan bahasa Inggris. Nah, saya pada saat itu sangatlah tidak lancar berbahasa Inggris. Intinya modal nekad ketika melamar ke perusahaan ini padahal salah satu persyaratannya adalah lancar berbahasa Inggris. Walhasil ketika diwawancara, bahasa Inggris saya yang acakadut membuat Beliau lumayan pusing memahami jawaban-jawaban saya haha. Akhirnya Beliau menelepon bagian HRD dan meminta satu orang untuk mendampingi dan menterjemahkan apa maksud dari jawaban-jawaban saya. Menurut saya ini epic sekali. Jadi sesi wawancara tersebut ada penerjemahnya. Saya selalu tertawa sendiri kalau mengingat hal tersebut. Ketika waktu wawancara selesai, saya sudah 100% yakin tidak akan diterima karena tidak lancar sama sekali berbahasa Inggris. Lha bagaimana, nantinya saya akan bekerja langsung di bawah Beliau. Lha kalau tidak bisa bahasa Inggris trus berkomunikasinya bagaimana. Lagipula, sebelum saya kandidatnya ada 2 yang lancar sekali berbahasa Inggris dan dari Universitas negeri terkenal lainnya ditambah lulus cumlaude pula. Jadi saat meninggalkan kantor tersebut, saya benar-benar tidak berharap sekali.

Dua hari kemudian, saya menerima telepon dari HRD kantor tersebut yang meminta saya datang ke kantor itu lagi untuk melakukan wawancara lanjutan. Lho, saya kaget donk. Lho kok bisa. Singkat cerita, setelah beberapa kali tes ini dan itu sampai tes kesehatan, saya dinyatakan lulus dan bisa mulai bekerja di sana. Ajaib! Usut punya usut, saat sudah sebulan bekerja di sana, iseng saya bertanya ke Manager apa alasannya kok saya yang diterima bekerja bukan kandidat yang lain. Salah satu dari tiga Manajer yang mewawancarai saya mengatakan bahwa mereka cukup terkesan dengan kenekatan dan kegigihan saya. Nekat karena berbekal bahasa Inggris yang tidak mumpuni tapi tetap mengirimkan lamaran pekerjaan dan mereka melihat ada kemauan keras dari saya untuk belajar hal yang baru serta jawaban-jawaban dari hasil wawancara bukanlah hal-hal yang dibesar-besarkan, apa adanya. Lha ya bagaimana saya mau membesar-besarkan, wong pengalaman kerja sebelumnya baru satu tahun kemudian berhenti dan perusahaan ini adalah tempat kedua setelah lulus kuliah. Tidak dinyana tidak disangka, saya berjodoh dengan perusahaan ini sampai hampir 7 tahun lamanya. Hampir dari semuanya saya belajar dari nol karena berbeda dengan apa yang saya kerjakan di tempat sebelumnya. Untunglah dari segi keilmuan tidak terlalu melenceng jauh.

Selama hampir tujuh tahun tersebut tidak hanya pekerjaan yang saya pelajari dari nol, dari jalannya karir juga. Dari dasar sampai pada posisi yang memang saya inginkan. Menjalin hubungan baik dengan sesama kolega, melibatkan diri dengan cinta lokasi (hahaha, selalu ngakak kalau ingat ini), ditelikung, dimarahi, dihantam lembur sampai pagi, tiga kali terkena sakit thypus, tiga bulan tidak saling bertegur sapa dengan atasan (saya nggondok berat makanya males ngobrol sama atasan waktu itu, jadi komunikasi hanya via email) dan masih banyak sekali suka dukanya. Intinya, mereka akhirnya menjadi seperti keluarga kedua saya. Apalagi atasan saya yang super baik tersebut (yang tidak saya tegur selama tiga bulan itu haha), selalu ingat kalau pergi kemana-mana pulangnya pasti diberi oleh-oleh (yang lainnya juga sih, bukan saya saja). Dan jam tangan pemberian Beliau masih saya pakai sampai sekarang. Sampai saat ini saya juga masih berhubungan baik dengan Beliau. Oh ya, Beliau juga yang mengajari saya cara makan steak dan sushi haha. Maklum, sebelum ke Jakarta kan saya ini anak kos kuliahan yang sehari-harinya makan penyetan tempe terong ikan asin. Jadi pertama kali merasakan makan steak dan sushi ya saat kerja bersama Beliau. Awalnya merasa gimanaaa gitu melhat sushi. Eh akhirnya doyan sampai sekarang.

Karena hubungan yang sangat dekat dalam satu departemen selama hampir 7 tahun tersebut, maka saat berpikir untuk berhenti dari kantor tersebut saya butuh waktu 6 bulan sebelumnya untuk menimbang baik dan buruknya. Apalagi keputusan untuk mengundurkan diri bukan karena saya ingin pindah ke kantor lainnya tetapi karena ingin melanjutkan kuliah. Dua hal yang berbeda. Tetapi karena pertimbangan bahwa saya harus melanjutkan kuliah demi masa depan yang lebih baik, maka bulat keputusan yang diambil bahwa saya harus mengudurkan diri dari pekerjaan. Saat saya sudah positif diterima kuliah, segera mungkin saya menghadap atasan yang tentu saja membuat kaget. Mereka tidak menyangka saya akan berhenti bekerja saat beberapa hari sebelumnya saya diberi tahu bahwa beberapa bulan kedepan saya akan dipromosikan. Mereka meminta saya untuk berpikir berulangkali. Tetapi saya sudah bulat dengan keputusan tersebut (lha gimana, wong sudah keterima kuliah). Seminggu menjelang hari terakhir saya di sana menjadi saat-saat yang paling emosional. Tiap hari sediihh rasanya. Mereka mengadakan pesta perpisahan sampai tiga kali. Apalagi sewaktu satu persatu dari mereka memberikan kesan dan pesan, duh air mata saya tidak berhenti mengalir. Terlebih dua orang atasan saya, saat mereka terdiam untuk menahan tangis (tetapi tetep nangis juga) dan memeluk saya, tangis saya langsung pecah. Kalau tidak karena dua orang ini, tidak mungkin saya bisa bertahan sampai hampir 7 tahun di sana. Mereka yang selalu percaya akan kemampuan saya dan selalu memberikan tantangan untuk membuktikan bahwa kemampuan saya lebih dari yang saya tunjukkan. Ah, saat menuliskan ini saya jadi rindu dengan mereka.

Bekerja buat saya bukan hanya tentang mendapatkan materi dan belajar tentang ilmu yang berhubungan dengan pekerjaan itu sendiri tetapi ada banyak hal lain yang bisa didapatkan misalkan bagaimana cara berhubungan dengan sesama kolega pada satu departemen maupun departemen lainnya, klien, memecahkan masalah, mengelola emosi dan banyak hal lainnya. Mungkin memang saya orangnya yang terlalu sensitif dan perasa, tetapi hari terakhir saat bekerja selalu merupakan hari yang paling emosional karena merasa itu adalah terakhir kalinya berada di tempat yang telah mengajarkan dan memberikan banyak hal selama periode bekerja.

 

Punya cerita tentang mengundurkan diri dari pekerjaan atau hari perpisahaan di tempat kerja?

-Nootdorp, 19 Oktober 2017-