Tidak ada latar belakang apapun yang mendasari tulisan saya kali ini. Bukan pengalaman pribadi juga. Hanya sebagai pengingat diri sendiri atau yang membaca -mungkin-, bahwa bentuk badan dan pilihan olahraga orang lain, bukanlah urusan kita. Kecuali Anda adalah instruktur olahraga, dokter, ahli gizi, atau dietist yang dibayar seseorang untuk mengubah bentuk badannya supaya lebih sehat. Jika tidak, sekali lagi, buka urusanmu. Apalagi menjadi tanggungjawab kita yang berujung pada body shaming. Yang menjadi urusan dan tanggungjawab kita, adalah badan kita sendiri, pun pilihan olahraga yang kita jalani saat ini.
Oh sebenarnya, tulisan ini ada dengan sedikit pemicu pengamatan pribadi di twitter tentang orang – orang yang gampang sekali mengomentari a.k.a julid alias nyinyir melihat pilihan olahraga orang lain dan bentuk badan mereka. Padahal yang berkomentar pedas tersebut pernah ada di posisi orang yang dikomentari. Jadi saya bertanya – tanya : Kok bisa ya nyinyir terhadap keadaan orang lain, padahal dia sendiri pernah di posisi yang tidak menyenangkan tersebut.
Sebelum mulai jauh membahas, saya ingin bercerita tentang diri sendiri dulu sehubungan dengan olahraga dan bentuk badan.
OLAHRAGA
Dari kecil, saya suka sekali yang namanya berolahraga. Kalau ada yang mengenal saya sejak lama, pasti sudah tau hal ini. Banyak jenis olahraga yang sudah saya coba, dalam rangka ingin mencari yang mana sesuai dengan kesukaan. Dari Karate, Taekwondo, Voli, Badminton, Yoga, Pilates, jalan cepat, Lari, Renang, Sepak Takraw, sampai olahraga di rumah mengikuti channel di Youtube. Pindah ke Belanda, olahraga saya bertambah satu, yaitu bersepeda. Ya karena ke mana – mana menggunakan sepeda. Bukan sepeda yang khusus untuk race.
Dari sekian banyak jenis olahraga tersebut, yang saya tekuni dan lumayan menghasilkan prestasi adalah karate dan lari. Karate yang sudah saya ikuti dengan tekun dari SD sampai SMA, sudah menghantarkan sampai sabuk coklat akhir dan pernah ikut kejuaraan Kata tingkat karesidenan. Bahkan saat kerja di Jakarta, saya sempat mengajar ekstrakurikuler karate di salah satu SD di Jakarta Timur. Sedangkan Lari, saya sudah sering ikut lomba sejak SD sampai saat ini. Saat ujian akhir Ebtanas di SMA, praktek lari, saya menjadi yang tercepat satu sekolah diantara para murid perempuan. Saya mendapatkan nilai olahraga yang tinggi.
Entah darimana kesukaan saya terhadap olahraga awalnya datang. Yang pasti, olahraga bukanlah sesuatu yang baru dalam hidup saya. Sampai saat inipun, saya masih (usahakan untuk rutin) berolahraga. Saya ikut senang, beberapa tahun ke belakang, dengan makin banyaknya pilihan media sosial semacam tiktok (walaupun saya tidak punya akunnya) ataupun channel YouTube, semakin banyak yang memamerkan kegiatan olahraganya. Termasuk saya, tentu saja.
Saya pamer kegiatan olahraga, tidak ada maksud tertentu, selain memang pamer haha. Murni pamer. Ya termasuk menulis di sini juga dalam rangka pamer. Apakah lantas dalam kegiatan pamer tersebut saya berusaha menyelipkan upaya untuk mengajak orang lain ikut rajin seperti saya? Oh tentu tidak! Lha saya saja males kalau diajak orang untuk olahraga, jadi saya pun tidak “berkampanye” dengan mengajak orang lain ikut olahraga. Kalau ada orang yang sedang memamerkan kegiatan olahraganya lalu diakhiri dengan tulisan “Saya saja bisa, pasti kamu juga bisa” pasti akan saya jawab dalam hati “Ya kamu aja kalau begitu, saya mau leyeh – leyeh menikmati hidup”. Saya pun tidak memandang sebelah mata orang yang tidak ada keinginan olahraga. Pikiran saya simpel : duh bukan urusan saya. Mau orang olahraga kek, nggak kek, rugi untungnya ditanggung masing – masing.
Kalau ada yang termotivasi dengan ikut berolahraga juga setelah melihat aktivitas pamer saya di twitter (saya menerima beberapa komentar tentang ini), wah ya saya senang sekali. Minimal, pamer yang saya lakukan menghasilkan nilai positif. Kalau tidak adapun, saya tetap pamer.
Hal inipun berlaku dengan jenis dan tempat olahraga. Orang senyamannya saja mau olahraga di mana, mau pake apa. Kalau saya, dari dulu memang tidak suka olahraga di Gym. Sudah pernah mencoba saat kerja di Jakarta, tapi ternyata saya tidak cocok. Jadi setelahnya sampai sekarang, olahraga di Gym, bukan pilihan. Saya lebih nyaman workout di rumah dengan memilih channel YouTube olahraga mana yang sesuai kebutuhan. Kalau dilakukan di rumah, bisa saya sambi dengan memanggang roti di oven, menunggu masakan matang, atau bahkan ajang bermain dengan anak. Buat saya lebih murah juga karena gratisan haha.
Untuk apa yang saya kenakan, ada sepatu lari, barang olahraga mahal yang saya punya. Kalau ini, memang saya khususkan beli yang bagus kualitasnya. Untuk lari rutin, supaya tidak cedera kaki, saya pilih sepatu yang kualitasnya bagus, tentu saja harganya mahal. Selain itu, saya juga punya smartwatch yang meskipun tidak beli sendiri melainkan hadiah ulangtahun, tapi itu harganya mahal. Selebihnya, penunjang olahraga yang saya punya, kualitasnya biasa saja dan harganya terjangkau. Tidak perlu khusus.
Apa lantas saya mengucilkan dan nyinyir kalau melihat orang yang tidak menggunakan penunjang olahraga yang bermerek? Duh, saya tidak punya banyak waktu untuk menelisik satu persatu apa yang dipakai orang. Mau bermerek bagus atau tidak ada merek, bukan urusan saya. Apa yang nyaman dipakai orang, tidak menjadi tanggungjawab saya. Kan mereka beli pakai duit sendiri, tidak minta saya. Lalu kenapa saya musti nyinyir, seperti tidak ada kegiatan yang bermanfaat lainnya saja.
BENTUK BADAN SAYA
Bentuk badan saya sejak kecil sampai sebelum melahirkan, kurus. Tinggi badan saya pun ya tidak tinggi. Jadi kalau dilihat, saya ini kecil. Berat badan saat kuliah sampai sebelum melahirkan, berkisar dari 45kg sampai 51kg. Saya susah gemuk, gampang kurus. Porsi makan saya, jangan ditanya, bar bar saking banyaknya. Saya tidak suka menyamil, tapi suka makan berat.
Setelah rangkaian yang tanpa putus dari hamil melahirkan menyusui – hamil lagi melahirkan lagi menyusui lagi, lalu kembali hamil lagi beruntun, bentuk badan saya mulai berubah. Saya tau dengan pasti yang menyebabkan kenapa pernah ada di satu masa berat badan sampai 80kg. Ya jelas saja karena tidak memperhatikan asupan makan dan malas berolahraga. Saya tidak pernah mengkambinghitamkan proses hamil melahirkan dan menyusui sebagai penyebab terbesar lonjakan berat badan, meskipun faktor hormon ada pengaruhnya. Saya dengan sadar tau bahwa berat badan saya naik dengan pesat karena tidak rutin olahraga dan terlalu sembarangan makan. Hanya menuruti keinginan lidah saja tanpa memperhatikan kandungannya. Lebih menuruti kata hati untuk selonjoran saja dengan scrolling media sosial sampai beberapa jam tanpa menyisihkan waktu minimal 30 menit untuk berolahraga. Saya sadar dengan pasti kenapa bentuk badan berubah.
Lalu dengan sadar juga, saya harus mengubah gaya hidup tersebut. Pemicunya adalah telapak kaki saya mulai terasa sakit setelah bangun tidur. Artinya ada yang tidak beres. Perlahan, saya mulai kembali berolahraga secara rutin, mengatur pola makan lebih sehat dan tidur lebih berkualitas saat malam hari. Setelahnya, setelah 1 tahun, berat badan saya turun ke 57kg dari 80kg. Lumayan lah ini, melalui proses panjang akhirnya stabil di angka segitu, sebelum akhirnya naik lagi karena hamil. Hamilpun, saya tetap usahakan untuk rutin olahraga dan tidak nggragas makan supaya badan tidak terlalu menggemuk.
Saya tidak pernah punya isu tidak percaya diri dengan bentuk badan. Saat berat 80kg, perasaan saya ya biasa saja, karena saya tau pasti penyebabnya. Jadi saya menerima dengan sadar bahwa saya gemuk, ya karena salah diri sendiri kenapa malas olahraga dan makan sembarangan, padahal kalau sudah umur 40 tahun segala proses metabolisme jadi melambat.
BODY SHAMING
Mungkin ya, ini mungkin, analisa abal – abal, karena saya tidak pernah punya isu pribadi tentang tidak percaya diri terhadap bentuk badan sendiri, jadi saya tidak terpikir untuk nyinyir tentang bentuk badan orang lain, ataupun pilihan olahraga orang lain. Saya terlalu fokus dengan diri sendiri. Entah kalau misalnya saya pernah punya rasa tidak percaya diri terhadap badan sendiri, apakah jadi kacang lupa kulit atau malah punya empati yang besar. Rasanya, saya tetap yang seperti sekarang. Tidak terlalu ngurusi bentuk badan atau pilihan olahraga orang.
Seperti yang saya tuliskan di awal, tentang keheranan saya terhadap orang yang (gampang sekali) berkata tidak menyenangkan akan bentuk badan orang lain, padahal dia pernah di posisi tersebut dan merasakan ketidaknyamanannya, apa motivasi yang mendasari.
Misal begini : A pernah menuliskan kalau dulu badannya pernah gemuk (entah penyebabnya apa, tidak disebutkan). Lalu dengan kesadaran penuh, dia mengubah gaya hidupnya. Rajin berolahraga, makan lebih sehat, dan memperhatikan segala aspek yang berhubungan dengan hal tersebut. Dengan proses dan perjuangan panjang, bentuk badannya berubah lebih langsing berotot berisi atau apapun namanya, pokoknya lebih bagus dari sebelumnya. Pola makan pun berubah jadi lebih sehat dan kualitas hidup yang lain pun mengikuti jadi lebih baik. Saya senang membacanya dan ikut merasakan bahagia karena dia sudah mencapai yang diinginkan terkait hidup lebih sehat.
Namun, entah kenapa A ini juga jadi gampang nyinyir ke orang yang badannya gemuk dan santai memperolok menggunakan kata – kata semacam, “pahanya gendut ya” atau “pantatnya lebar kayak wajan” atau “kerempeng banget badannya'” dan kalimat tak pantas lainnya. Pun kalau misalkan melihat ada yang olahraga “cuma” bermodalkan channel olahraga di YouTube, trus disindir, “kalau badannya mau jadi, ya bayar lebih lah ke gym, ga bisa cuma di rumah saja olahraganya”.
Si A ini, mendadak jadi pongah. Padahal, dia pernah ada di situasi yang tidak menyenangkan saat badannya tidak sebagus sekarang atau saat hari – harinya tidak diisi dengan kegiatan di gym yang bayaran tiap bulannya mahal. Dia pernah merasakan saat orang – orang nyinyir ke dia. Nah, kenapa sekarang saat sudah terlepas dari keadaan yang dulu, malah sikapnya sama seperti orang – orang yang berkata tidak menyenangkan tersebut? Bukankah dia tau kalau itu rasanya tidak menyenangkan?
Hal seperti ini tidak hanya beberapa kali saya baca di twitter, bahkan saya saksikan langsung di dunia nyata. Kasarnya : kenapa kamu memperolok bentuk badan seseorang yang tidak sesuai standarmu, padahal kamu pernah ada diposisi yang diperolok tersebut dan pernah merasakan sendiri rasa tidak nyaman bahkan sakit hatinya.
Mengapa harus meneruskan perasaan tidak nyaman tersebut pada orang lain, apa motifnya? meneruskan dendam, atau ada hal masuk akal lainnya? Atau kamu merasa tidak percaya diri dengan badanmu saat ini? Bukankan orang yang sudah nyaman dengan dirinya sendiri, tidak ada waktu dan keinginan untuk berkomentar jelek terhadap badan ataupun kegiatan olahraga orang lain.
Kalau perkataan tersebut sampai terlontarkan pada saya, dengan lantang respon saya : BADANKU, PILIHAN OLAHRAGAKU, BUKAN URUSANMU!
Kita tidak pernah tau ada perjuangan apa dibalik badan seseorang. Kita tidak pernah tau. Bersikap bijaklah dengan jari dan mulutmu.
Semoga saya tidak akan pernah jadi bagian orang dengan mulut atau jari tanpa kendali mengomentari bentuk badan orang lain
Bulan ini, tepat delapan tahun lalu saya sampai di Belanda (Cerita Delapan Tahun Lalu). Memulai hidup baru sebagai imigran cinta. Meraba – raba harus mulai darimana. Semua nampak membingungkan di negara yang baru, yang hanya pernah saya kunjungi sebelumnya selama 2 minggu sebagai turis. Semua nampak samar – samar, apa yang harus saya lakukan di sini. Delapan tahun lalu, nyaris saya kehilangan identitas diri dan seringkali frustasi kenapa mencari pekerjaan sebegitu susahnya dan perkara bahasa serta cuaca tak kalah ruwetnya.
Delapan tahun lalu, saat saya baru selesai sidang S2, mengundurkan diri dari pekerjaan di Indonesia dan dua minggu kemudian terbang ke Belanda, membawa harapan setinggi langit bahwa semuanya akan baik – baik saja. Banyak doa yang saya bawa meskipun tau sebenarnya harus memulai dari langkah awal. Semua tak lagi sama saat masih di Indonesia. Saat hidup saya sudah tertata dengan rapi, saat langkah karier saya sudah mulus tak ada hambatan, saat saya sudah terbiasa menjadi perempuan mandiri baik secara mental, finansial dan fisik selama 13 tahun bekerja. Hidup yang aman damai sentausa. Saya letakkan itu semua dan berusaha keras untuk tak menengok lagi segala kenyamanan hidup yang sudah di genggaman tangan.
Lalu perjalanan penuh warna mewarnai selama delapan tahun ini. Tak selalu penuh warna ceria, juga sesekali warna abu – abu gelap seperti langit dan cuaca di Belanda pada umumnya, terutama saat musim dingin. Banyak hal yang saya harus kompromikan : dengan diri sendiri, dengan suami, juga dengan anak – anak. Hidup yang penuh kompromi dan memikirkan skala prioritas karena sekarang bukan lagi tentang saya. Tidak hanya memikirkan diri sendiri meskipun bahagia dan hidup penuh ketenangan tetap jadi tujuan utama saya.
Delapan tahun yang terkadang masih terseok untuk urusan bahasa, birokrasi, pekerjaan, negara, pun orang – orang yang ada di dalamnya. Delapan tahun yang terkadang ingin menyerah saja saat cuaca dingin datang dan sakit parah lalu dokter hanya memberikan kalimat sakti pamungkas : minum paracetamol, banyak minum air putih dan istirahat, meskipun suhu sudah mencapai 40 derajat celcius. Sungguhlah level kesabaran yang sangat amat teruji. Bahkan meminta antibiotik saja, meskipun sudah tau penyebabnya apa, masih diulur waktu menunggu sakaratul maut tiba nampaknya.
Tinggal di Luar Negeri tidak selalu penuh suka cita. Sesekali keluh kesah jatuh bangun pasti menghampiri. Menangis mencoba berjalan dan berdiri tegak seolah semua akan bisa teratasi. Bahwa semua akan baik – baik saja, harapannya. Bahwa tinggal di negeri 4 musim bukan hanya perkara keindahan warna putih saat salju datang. Tidak pula nampak seperti bunga Tulip yang indah dipandang. Tinggal di negara orang, keras dan penuh perjuangan. Tidak semua hal pun saya tampilkan lewat cerita dan foto – foto indah. Ada masanya yang pahit saya telan dan yang manis pun saya nikmati tanpa perlu dipamerkan.
Namun begitu, delapan tahun ini banyak kebahagiaan pun datang. Bahkan kebahagiaan dan rasa suka cita rasanya lebih banyak menghampiri dibandingkan tangis kesedihan. Alhamdulillah. Suami yang luar biasa banyak hal baik yang bisa diceritakan dari dirinya. Dari awal menikah sampai saat ini, benar – benar sosok penuh kebaikan dan pendukung nomer satu serta tempat segala hal yang bisa saya bicarakan. Hanya dia yang membuat saya nyaman dan menjadi diri sendiri. Anak – anak yang sehat pintar dengan segala dinamikanya. Yang membuat saya belajar berdamai sebagai diri sendiri tentang masa lalu dan berusaha menjadi Ibu yang baik untuk mereka. Tak mengapa tidak menjadi baik – baik saja, bahwa rasa lelah pun sesuatu yang manusiawi.
Dan yang terpenting, selama delapan tahun ini, saya secara pribadi merasakan perubahan yang positif tentang cara berpikir, penerimaan diri, dan belajar banyak dari hal – hal kecil setiap harinya. Banyak bersyukur, bersyukur dan belajar ikhlas. Pada akhirnya, saya bisa melihat segala sesuatunya dari sudut yang lebih positif dan membuat saya lebih bahagia. Hidup yang nampak begini – begini saja tapi rasa senangnya sungguh luar biasa. Tidak pernah ada kata menyesal sudah memutuskan pindah sejauh ini. Jika tidak pindah, saya tidak akan banyak belajar tentang berjuangnya hidup di negara orang.
Kebahagiaan sebagai seorang deny, istri, dan Ibu. Delapan tahun yang tak mudah tapi banyak tawa bahagia pun suka cita. Delapan tahun penuh perjuangan dan syukur yang sering terucapkan.
Bahwa hidup saya sudah sangat dicukupkan dengan diri yang lebih positif, ikhlas, anak – anak yang sehat, suami yang penuh dukungan, lingkungan yang menyenangkan dan hati yang tenang. Semua memang tentang waktu dan bagaimana diri sendiri ingin berjalan.
Alhamdulillah untuk delapan tahun di Belanda. Alhamdulillah untuk segala berkah. Bukan tentang kesempurnaan hidup, tapi tentang syukur dalam setiap langkah. Alhamdulillah untuk keluarga kami, kebahagiaan saya saat ini. Alhamdulillah untuk diri sendiri yang sering lelah tapi tak pernah menyerah. Alhamdulillah untuk segala ketenangan hidup, tidak kemrungsung, dan merasa cukup.
Semoga banyak tahun – tahun di depan bisa terlewati dengan cerita penuh warna. Sehat dan berjodoh panjang untuk kami sekeluarga. Penuh berkah dan rejeki yang berlimpah.
Tanggal 30 Desember 2022, saya dan suami mengadakan tasyakuran. Bukan di rumah kami, tapi pesan 33 paket nasi kuning box, bubur merah putih, dan jajanan pasar di sebuah katering di Jakarta. Yang membuat terharu adalah, Mbak Tami yang punya katering malah membuatkan pengajian dengan memanggil Ibu – Ibu pengajian yang ada di lingkungan rumahnya, juga Pak Ustadz. Berdoa bersama untuk hajat, rejeki, dan amanah yang keluarga kami terima.
Semoga yang kami rencanakan dan terima, lancar tanpa terkendala apapun. Sehat dan selamat sampai hari H dan setelahnya.
NONTON FILM DI BIOSKOP
Liburan sekolah akhir tahun, kami tidak ada rencana pergi ke manapun. Liburan tipis – tipis baru akan kami laksanakan awal tahun. Untuk mengisi waktu liburan krucils, salah satu kegiatan yang dilakukan adalah mengajak mereka nonton bioskop film anak yang sesuai usia mereka. Saya pilihkan film kartun yang sekiranya jalan cerita tidak terlalu rumit dan kategori untuk semua usia.
Selama film berlangsung, mereka anteng menyimak film yang berdurasi 80 menit. Bekal snack dan minum saya persiapkan dari rumah. Karena filmnya pas jam makan siang, saya juga bawakan roti buat mereka.
Anak anteng nonton, Ibuk tidur dengan nyenyak haha. Saya ini memang pelor ya. Di manapun bisa tidur dengan nyenyak. Termasuk di bioskop. Apapun jenis filmnya, mau film perang atau horor, kalau ngantuk ya saya tidur.
15 menit sebelum film berakhir, saya terbangun. Jadi saya tidak tau secara keseluruhan ini film bercerita tentang apa. Yang penting krucils senang. Sampai di rumah, suami nanya gimana nontonnya. Saya bilang kalau tidur dengan sukses, krucils anteng nonton sambil ngunyah. Kata suami : dibelikan tiket nonton malah pindah tidur haha.
OLIEBOLLEN
Apalah arti malam tahun baru tanpa kehadiran gorengan ala Belanda. Oliebollen, Appelbeignet, Berlinerbollen dan beberapa gorengan lainnya. Suami beli Oliebollen 20 biji di bakery lokal dekat rumah. Saya yang tidak terlalu doyan, lebih memilih Berlinerbollen yang ada creamnya. Walhasil kami berpesta gorengan dari makan malam sampai keesokan siang.
KEMBANG API
Tahun lalu, kembang api dilarang di Belanda. Tahun ini diperbolehkan kembali tapi di beberapa kota tetap ada pelarangan. Salah satu alasannya karena cuaca sedang tidak bagus, angin kencang. Di kampung kami tinggal, kembang api tetap berlangsung dengan meriah. Sebagai penyuka kembang api, saya tentu saja menanti pergantian tahun dengan melihat pertunjukan kemeriahan kembang api.
Tahun ini Krucils lebih mengerti tentang kembang api. Kami beli kembang api yang batang kecil lalu main di belakang rumah. Pas sekali hujan sudah berhenti. Kembang apinya ditancap di tanah supaya tidak dipegang. Si Sulung sempat protes kenapa tidak boleh pegang kembang api, sedangkan saat di Indonesia, di rumah Uti, mereka bisa pegang kembang api. Ya di sana kan kembang apinya ditancap di pelepah pisang. Jadi aman. Lha di sini mana ada pelepah pisang. Tapi mereka tetap senang dan seru main kembanv api saat malam tahun baru.
Malamnya, menjelang jam 12, kami bangunkan mereka. Tidak seperti tahun lalu yang malas bangun, tahun ini mereka sangat antusias bangun dan berkumpul di kamar kami. Sama – sama berhitung mundur, lalu kami berpelukan, saling mengucapkan selamat tahun baru dan berdoa bersama untuk harapan tahun 2023. Setelahnya kami melihat kembang api dari jendela kamar, kruntelan bersama. Hangat dengan celoteh anak – anak.
Hati saya merasa terharu. Sadar bahwa kami sebagai orang tua sudah semakin menua, anak – anak semakin besar, dan kami sebagai keluarga semakin kuat ikatan emosinya. Kami selalu menikmati setiap momen kebersamaan, hadir saat itu secara utuh. Semoga kami bisa tumbuh dan saling membersamai apapun keadaannya.
NASI KUNING MINIMALIS
Menu tetap setiap tahun baru adalah nasi kuning. Bedanya, tahun ini nasi kuningnya minimalis. Badan saya masih belum terlalu fit untuk masak nasi kuning dengan lauk yang lengkap. Jadi saya masak lauk yang simpel saja.
Saya mulai masak jam 9 pagi (semua bangun siang karena tidur telat), iris bawang merah putih, blender bumbu, ungkep ayam, goreng tahu tempe. Ayamnya saya bumbu manis seperti bacem, lalu sisa bumbunya saya buat bacem tahu tempe. Tahu tempe saya masak orek. Lalu saya membuat mie goreng. Setelahnya merebus sayur untuk urap. Bumbu urapnya sudah ada dari stok. Terakhir adalah menanak nasi kuning.
Jam 12 siang, kami sudah duduk manis menikmati hidangan nasi kuning tahun baru. Suami seperti biasa memberikan pidato singkat haha berdoa bersama dan menyampaikan doa dan harapan untuk tahun ini. Sehat, banyak berkah, dan panjang umur.
KUNJUNG MERTUA DAN TETANGGA
Setelah makan siang, kami ke rumah Oma (Mama mertua). Saat Natal saya absen tidak ke rumah Mama karena sedang sakit. Krucils selalu senang kalau ke rumah Oma karena bisa makan snacks sepuasnya terutama coklat. Kalau di rumah kan dibatasi. Kalau di luar rumah, baru bisa makan yang lebih banyak.
Setelah 2 jam di rumah Mama, kami pulang dan mampir sebentar ke rumah tetangga untuk mengucapkan selamat tahun baru. Kami diberi sangu Oliebollen dan appelflappen.
FOTO KELUARGA
Mengakhiri keseruan tanggal 1 Januari, kami membuat foto keluarga dengan bantuan tripod. Ini juga salah satu tradisi yang kami lakukan setiap tahun. Berfoto bersama saat Natal dan Tahun Baru. Jadi kami bisa melihat perbedaan dari tahun ke tahun foto keluarga yang kami buat. Selain itu, kami gunakan foto itu juga untuk berkirim ucapan digital ke teman – teman dan saudara.
BEBERES POHON NATAL
Tahun baru artinya beberes pohon Natal. Sedih setiap kami beberes pohon Natal. Harus menunggu sampai November lagi supaya bisa pasang pohon Natal dan menikmati kelap kelip lampunya. Krucils membantu memasukkan pernak pernik di dos dan bilang “sampai bulan november ya pohon Natal”
Begitulah cerita keluarga kami seputaran malam tahun baru dan tahun baru 2023. Doa kami tahun ini sehat sekeluarga, banyak berkah, bahagia, dan Bismillah.
Hidup penuh manfaat, tetap bisa banyak berbagi, dan selalu penuh syukur. Selebihnya, jalani hari dengan doa dan usaha.
Wij wensen iedereen hele warme gezellige kerstdagen!
Selamat merayakan Natal penuh suka cita bersama keluarga
En fijne vakantie!
Selamat libur akhir tahun.
Serta turut berduka cita untuk mereka yang ditinggalkan yang tercinta
MAKAN MALAM NATAL DI SEKOLAH
Bagian ini akan bercerita tentang kegiatan krucils di sekolah. Akhirnya tahun ini kegiatan menjelang Natal berjalan dengan normal setelah tahun lalu terkendala dengan edisi lockdown entah episode ke berapa. Sehari menjelang libur sekolah akhir tahun selama dua minggu, biasanya akan ada makan malam Natal di sekolah. Tahun lalu, makan malam ditiadakan, diganti sarapan. Tahun ini bersyukurnya, makan malam Natal di sekolah berjalan seperti semula. Dua minggu sebelumnya, di grup WhatsApp (wa) kelas orangtua mulai berbagi tugas siapa membawa apa. Sebagai orang Indonesia, saya langsung berpikir akan membawa makanan yang Indonesia sekali seperti nasi kuning lauk perkedel dan telor dadar suwir. Lalu saya teringat, oh ini Belanda. Ga usah dibawa rumit. Bawa potongan mentimun dan tomat bulet saja sudah diterima dengan baik haha. Akhirnya saya menuliskan akan membawa mini cupcakes baking sendiri. Membuat yang simpel saja. Bisa dilihat dari foto di bawah, makanan yang dibawa para orangtua ya yang gampang – gampang saja. Ingat, ini di Belanda, jangan mempersulit diri dengan membawa makanan yang rumit kalau anak – anak saja sudah bahagia diberi mentimun dan pancake :))
Saya sangat antusias dengan acara ini. Meskipun badan saya masih agak lemes, tetap dengan semangat tinggi datang ke sekolah bersama suami dan krucils. Mereka saya pakaikan baju yang resmi. Benar – benar beda dari keseharian di sekolah. Melihat teman – teman mereka, duh keren – keren semua. Memakai dress dan pakaian resmi. Gemes lihatnya, anak – anak kecil sudah berpakaian resmi. Sementara anak – anak makan bersama di kelas masing – masing, para orangtua bisa menunggu di hall sekolah sambil menikmati live music (guru musik di sekolah yang tampil) dan makanan yang disediakan, gratis. Standar makanannya : kentang goreng, sup tomat, dan burger sosis dengan sayuran. Berhubung ini Belanda yang jarang ada benda gratisan, jadi ada makanan gratis begini sangatlah spesial.
Selesai acara, kami pulang ke rumah. Acara diagendakan selesai jam 7 malam. Benar – benar tepat waktu jam 7 malam selesai. Terharu sama orang Belanda nih, makan malam aja bener – bener on time selesai ga ada molor sama sekali. Antara kagum dan mbatin, mosok ga ada bincang – bincang santai gitu lho setelah acara :))). Krucils senang sekali dengan acara ini. Langsung nanya kapan ada lagi. Ya nunggu tahun depan Nak, mosok tiap hari mau Natalan.
MISA NATAL PERTAMA
Keesokan harinya, mereka masuk sekolah setengah hari. Paginya ada jadwal ke Gereja, Misa Natal, seluruh murid – murid di sekolah. Ini akan jadi pengalaman krucils yang pertama ikut misa Natal karena tahun kemarin ditiadakan. Orangtua boleh ikut ke gereja, jika memungkinkan. Saya jelas tidak bisa ikut Misa, jadi suami yang datang.
Krucils tentu saja bertanya kenapa saya tidak ikut misa Natal juga. Saya jelaskan yang kesimpulannya bahwa ada beberapa hal prinsip yang berhubungan dengan agama, tidak bisa saya lakukan. Tentu saja saya menjelaskan dengan bahasa sesederhana mungkin supaya mereka mengerti dasarnya apa. Saya bilang kalau Papa saja sudah cukup ke gereja, ibu tunggu di rumah.
Karena ini pertama kali mereka ikut Misa, tentu saja semua antusias, termasuk saya. Pagi sudah saya siapkan baju rapi dan bersih buat mereka. Si Sulung bertanya kenapa harus pakai baju yang bersih dan rapi. Saya bilang, karena kalian akan masuk rumah ibadah, untuk beribadah. “Ingat kan waktu kalian masuk ke Masjid, selalu pakai baju yang bersih dan rapi. Karena kita akan beribadah, menghadap Tuhan, jadi harus bersih dan tidak boleh asal – asalan. Masuk ke Gereja untuk Misa, juga begitu”
Sewaktu mereka mudik, karena rumah kami dekat dengan masjid, jadi setiap maghrib pasti mereka ikut ke masjid dan saat lebaran juga ikut ke masjid. Bahkan selama Ramadhan, setiap malam ikut taraweh. Juga beberapa kali ikut sepupunya belajar membaca Al – Qur’an.
Saat dikirim foto dan video anak – anak sekelas di gereja, hati saya menghangat. Terharu luar biasa. Rasanya baru beberapa waktu lalu melahirkan mereka, sekarang sudah difase belajar tentang keyakinan. Pulangnya saya tanya, apa mereka senang di gereja. Katanya senang sekali dan ingin ikut Misa lagi. Saya tanya, lebih senang ke mana, ke Masjid apa ke Gereja? “Aku suka ke Gereja karena nyanyi – nyanyi jadi senang. Kalau ke Masjid aku ga tau bahasanya jadi ga ngerti artinya. Kalau ke Gereja nyanyi kan bahasanya aku ngerti” Haha kami yang mendengar tertawa spontan. Jawaban anak – anak yang polos. Kata seorang sahabat yang saya ceritakan tentang hal ini ,“ajarono pujian – pujian arab sing nyanyi nggawe bahasa Jawa, lak seneng” haha kejawen maksudnya.
BERKIRIM KARTU NATAL DAN TAHUN BARU
Seperti biasa kegiatan dari tahun ke tahun, berkirim kartu Natal dan Tahun baru tetap kami lakukan. Meskipun tahun ini baru H-7 saya tulis dan kirimkan, padahal kartu dan perangkonya sudah saya beli sebulan sebelumnya. Jadilah saya dan suami melembur seharian kebut menulis sekitar 30 kartu yang kami kirimkan ke teman dan saudara yang ada di Belanda maupun di luar negeri. Itupun ada beberapa teman yang masih belum kami kirimi kartu. Saya sudah lemes duluan. Menyenangkan menuliskan kartu ucapan dengan kata – kata yang sangat personal ditujukan untuk si penerima.
Dan dalam kartu yang dikirimkan, kami kabarkan berita bahagia. Semoga yang membaca dan menerima kartu, juga bisa merasakan kebahagiaan dalam keluarga kami. Bersyukurnya sebagian besar kartu sudah diterima sebelum Natal dan berita bahagia dari kami mendapatkan sambutan hangat dari mereka. Alhamdulillah. Sebagian kecil kartu, belum ada kabarnya. Apakah belum sampai pada penerima, atau sudah sampai tapi penerima tidak mengabarkan pada kami kalau kartunya sudah sampai.
Kami juga menerima banyak sekali kiriman kartu Natal dan Tahun Baru dari teman – teman dan Saudara di Belanda maupun dari Luar Belanda. Senang rasanya membaca setiap doa dan ucapan yang dituliskan untuk keluarga kami. Setiap menerima kartu, saya selalu kabarkan kepada pengirim kalau kartunya sudah sampai. Bentuk rasa terima kasih kami. Dan si pengirim juga tidak tebak tebak apakah kartunya sampai atau tidak.
MAKAN MALAM NATAL
Tahun ini, tidak ada makan malam Natal bersama keluarga di rumah. Keluarga ini maksudnya biasanya kami mengundang mama mertua, atau kerabat lainnya. Tahun ini tidak, karena saya sedang tidak bisa memasak. Jadi kami putuskan kalau tahun ini tidak ada undangan makan malam di rumah dan makanan semuanya beli. Hari Sabtu kami ke pusat kota untuk membeli makanan dibawa pulang dari beberapa restoran. Lumayan buat stok beberapa hari ke depan. Jadi pas tanggal 25 nya, kami hangatkan makanan yang beli di restoran. Lalu tanggal 26, kami pergi ke restoran Sushi. Penuh sekali restorannya. Jadi lumayanlah kami tetap bisa merasakan suasana makan malam Natal. Het was gezellig. Setelahnya kami berjalan kaki malam hari di pusat kota.
KADO NATAL
Natal tahun inipun tidak ada acara saling tukar kado. Krucils sudah mendapatkan kado yang super banyak saat Sinterklaas. Saking banyaknya sampai harus dibagi dua batch untuk membuka kado – kadonya. Semuanya bukan dari kami saja. Ada yang dari guru di sekolah, dari kami, Oma, tetangga sebelah rumah, dan dari Om serta Tante mereka. Karena sudah terlalu banyak kado yang diterima, jadi diputuskan kalau Natal tidak akan ada kado lagi. Suami ditanya mau kado apa, dia tidak mau. Saya ditanya suami mau kado apa, saya bilang nanti saja kalau sudah mood, baru kadonya dibelikan. Jadi benar – benar tidak ada kado. Tetap tidak mengurangi rasa senang di hari Natal, bahkan jauh lebih membahagiakan karena ada kado lainnya yang tidak bisa dinilai harganya untuk keluarga kami. Kado yang jauh lebih berharga dari sebuah barang.
BERITA BAHAGIA
Alhamdulillah beberapa waktu terakhir kami sekeluarga dan saya pribadi diberikan beberapa kabar gembira dan rejeki. Diantara beberapa hal yang tidak menyenangkan, tetap saya bersyukur luar biasa bahwa lebih banyak berkah dan rejeki yang saya dan keluarga dapatkan. Tahun ini benar – benar dilewati dengan banyak bersyukur, lebih banyak berserah, dan melewati hari per hari dengan hati yang lebih ringan. Suasana Natal jadi lebih suka cita. Berkah yang tak henti datang untuk keluarga kami. Rejeki yang Alhamdulillah berlimpah.
Walapun ada beberapa hal yang tidak sama dengan Natal tahun – tahun sebelumnya, tetap rasa syukur tidak berhenti kami ucapkan. Kebahagiaan datang bertubi. Semakin kami bersyukur dan ikhlas, semakin hati kami jadi tenang. Bahagia dan tenang, nikmat manalagi yang tidak kami syukuri.
Semoga Natal tahun in juga membawa arti tersendiri buat kalian. Peluk dari saya untuk mereka yang sedang dalam masa berkabung. Semoga diberikan kekuatan dan penguatan.
Sudah lama ya tidak pernah lagi bercerita tentang akhir pekan. Saya akan mulai lagi menuliskan yang ringan – ringan saja di blog ini. Tidak harus tulisan panjang dan terlalu berat.
BERBURU JAMUR DI HUTAN
Musim gugur, hujan, dan lembab, aktifitas favorit kami ke hutan. Mencari jamur bukan untuk dikonsumsi tapi sekedar mencari tau jenis dan namanya. Saya melihat beberapa orang lainnya membawa kantong dan mengambil jamur – jamur yang ditemukan. Saya mengasumsikan, mereka paham mana jamur yang aman untuk dikonsumsi, mana yang beracun.
Seru dan selalu penuh antusias melihat beraneka macam jamur dan warnanya. Sayang kami tidak menjumpai jamur mario bros.
MASAK SOTO AYAM
Musim hujan dan berangin serta dingin, makanan akhir pekan yang cocok jika kami sedang tidak ada acara ke luar rumah dalam waktu yang lama, adalah yang berkuah. Minggu lalu saya masak cap cay kuah, minggu ini saya masak soto ayam. Pesanan khusus dari anak sulung yang memang salah satu makanan favoritnya soto ayam.
Saya membuat bumbu sendiri yang bahannya gampang sekali. Hanya bawang merah, bawang putih, jahe, kunyit, kemiri, ketumbar, pala, dan garam. Saya lengkapi dengan kentang goreng iris tipis, koya (kerupuk digerus dengan bawang putih goreng), tauge, kol, ayam, telur rebus, sambel dan jeruk nipis.
Jadilah makan siang dengan soto ayam komplit. Comfort food keluarga kami.
KE PETERNAKAN ANAK – ANAK
Agenda lain dari akhir pekan adalah ke peternakan khusus anak – anak di kota sebelah. Sudah lama sekali kami tidak ke sini. Biasanya sebulan sekali kami berkunjung ke peternakan di kota – kota sebelah. Terakhir kalau tidak salah ingat sebelum mudik ke Indonesia.
Ini juga salah satu kegiatan akhir pekan yang murah meriah karena gratis dan favorit kami semua. Meskipun kami tidak punya binatang peliharaan di rumah, bersyukurnya anak – anak penyayang hewan karena sejak bayi sudah kami biasakan berinteraksi dengan hewan di peternakan, kucing dan anjing di sekitar rumah, bahkan setahun sekali pasti kami ajak ke kebun binatang saat liburan musim panas. Mengajari mereka banyak hal tentang aneka jenis binatang juga supaya mereka lebih paham bahwa binatang juga seperti manusia, punya hak untuk hidup aman nyaman sesuai habitatnya dan disayang.
LOMBA LARI 750M dan 5KM
Di kampung kami, ada kegiatan rutin bulanan yaitu lomba lari. Jaraknya dari 750 meter dan 1500 meter untuk anak – anak. Jarak 3.2km, 5km, 10km, dan 15km untuk dewasa. Saya dan suami sebelum pandemi lumayan rutin ikut lomba ini. Seringnya saya ikut yang 5km dan suami 10km. Pernah sekali saya ikut 10km dan jadi peserta paling dinantikan kehadirannya karena paling lama sampai garis finish haha. Jadi begitu sampai langsung disambut meriah. Mungkin panitia sudah menunggu dengan bosan kenapa kok tidak sampai juga. Begitu saya muncul, langsung muka pada sumringah.
Sekarang, anak – anak juga kami ikutkan keseruan acara ini. Awalnya kami tanya apa mereka mau ikut lomba lari. Mereka yang memang suka sekali olahraga, langsung antusias ingin ikut.
Hari H, cuaca lumayan mendung. Berdoa semoga prakiraan cuaca yang menyebutkan tidak hujan, benar adanya. Pendaftaran untuk anak – anak €2. Akhir acara mereka mendapatkan minum dan semacam cake roti. Kalau dewasa €3 juga mendapatkan makan dan minum. Peserta anak – anak lumayan banyak. Dewasa apalagi.
Sesuai jadwal, lomba mulai tepat waktu. Untuk anak – anak, boleh didampingi. Karena anak-anak kami masih balita, tentu saja didampingi. Yang pada kenyataannya, setelah teriakan start diteriakkan, mereka yang awalnya kami gandeng, melesat lari sendiri haha. Saya yang sudah lama tidak lari, sampai tidak bisa mengejar si bungsu yang awalnya saya gandeng. Dia larinya kencang, saya sampai ditinggal.
Sampai saya mikir : nih anak – anak lemaknya masih sedikit makanya lari kayak ga ada beban berat di tubuh, sementara saya keberatan pantat haha. Sampai panitia yang mengarahkan, melihat saya ngos-ngosan bilang : kalau ga kuat, tunggu di sini aja Buk. Nanti rutenya balik ke sini lagi. Ngakak Bapaknya tau aja napas kembang kempis.
Peserta anak – anak yang lain sama juga larinya super cepat. Akhirnya setelah 2 putaran, duo balita sampai juga di garis finish dengan catatan waktu 6 menit untuk jarak 750meter. Senang sekali mereka benar – benar gembira dan antusias dengan kegiatan lomba lari ini. Saya yang bagian mendokumentasikan dan tertinggal di belakang larinya, sampai terharu. Tidak menyangka mereka sangat enjoy sampai garis akhir. Saya jadi bertekad untuk rajin lari lagi. Bukan untuk ikutan half marathon, tapi supaya tidak tertinggal di belakang kalau mendampingi anak – anak lari bulan depan haha.
Anak sulung padahal paginya jadwal les renang 90 menit. Dia ke tempat renang naik sepeda sendiri (tidak dibonceng papanya). Lalu istirahat di rumah 2 jam, lanjut lomba lari. Kami bilang, dia sudah triathlon karena sepedahan, renang dan lari dalam waktu yang tidak lama haha. Mereka berdua sangat bangga bisa sampai finish. Sampai berulang diceritakan kalau tidak sabar bulan depan mau ikut lomba lari lagi.
Saat suami ikut yang 5km, tiba – tiba gerimis. Dia selesai dalam waktu 28 menit. Setelah sampai rumah, makan, mandi, lalu kami semua tidur siang nyenyak sampai 2 jam lamanya. Benar – benar menikmati kahidupan hari minggu.
Akhir pekan yang menyenangkan. Meskipun cuaca mendung, gerimis, namun tidak terlalu dingin, kami dengan santai beraktifitas.
Suatu sore, pertengahan Januari tahun 2021, saat kami sekeluarga di dalam mobil sedang dalam perjalanan pulang ke rumah, suami yang menyetir tiba – tiba bertanya, “Minggu lalu sembilan tahun Bapak meninggal kan? Biasanya sebelum tanggal itu, kamu selalu sedih, gelisah dan tidak bisa tidur dengan nyenyak.”
Saya menjawab sambil tersenyum, “Aku sudah mengikhlaskan kepergian Bapak. Ikhlas yang memang datang dari dalam hati dan pikiranku. Mulai tahun ini, aku mengenang setiap tanggal meninggal Bapak, dengan cara yang tak lagi sama dengan tahun – tahun sebelumnya.”
SEMBILAN TAHUN PENUH PERTANYAAN
Saya sering menuliskan di blog ini, bahkan setiap tanggal meninggalnya Bapak, cara saya mengenang Beliau dihari itu. Saya bercerita tentang kenangan yang sangat saya ingat tentang Beliau, kesedihan mendalam setelah Bapak meninggal, dan segala hal yang berubah di keluarga sepeninggal Beliau. Semua tak lagi sama. Saya, Ibu, dan adik – adik, berjuang dengan cara masing – masing untuk tetap menatap ke depan, melangkah dan menjalani hari demi hari dengan perasaan dan beban yang berat.
Sangat berat. Hati yang penuh pergumulan, kepala yang tak pernah sepi dari pertanyaan, dan terkadang ada bagian dari diri saya yang selalu menggugat ke Allah, “Kenapa Bapak?” Terlalu banyak hal – hal baik dari Bapak. Bahkan saya tidak ingat, apa hal yang tercela dari Bapak. Jika diceritakan, sampai berhari – haripun tidak akan selesai kebaikan apa yang sudah Bapak perbuat, banyaknya cinta yang sudah Bapak berikan. Setiap mengenang Bapak, banyak orang selalu menceritakan kebaikan. Sampai saat ini, kemudahan hidup yang saya dapatkan, berkat kebaikan yang selalu Bapak sebarkan semasa hidup. Bahkan yang mengantarkan Bapak ke kuburan, kata Ibuk, saking banyaknya orang sampai jalan penuh sesak. Banyak yang mencintai Bapak. Kenapa Bapak yang harus pergi lebih dulu?
Saya yang awalnya merasa bahwa ini akan mudah terlewati, ternyata semakin bertambah tahun, tegar yang akhirnya saya sadari sebagai pura – pura supaya nampak baik – baik saja, tidak bisa saya tahan lagi. Saya menyerah untuk tegar. Saya mulai mempertanyakan banyak hal, menggugat hal – hal yang sebenarnya tidak perlu karena sebagai orang yang percaya konsep Tuhan dan Agama, semuanya adalah takdir yang memang tidak bisa kita lawan. Kelahiran, Jodoh, Kematian. Semua sudah tertuliskan dengan pasti.
Setiap saya sholat, berdoa, puasa, dalam hati kecil, saya tetap mempertanyakan banyak hal tentang kepergian Bapak yang mendadak, tanpa tanda, tanpa sakit, tanpa pesan, tanpa persiapan dari kami yang ditinggalkan, “Allah, kenapa?” Banyak pertanyaan yang semakin membuat saya terpuruk, langkah saya berat, hati saya lupa dengan rasa syukur, dan kepala saya terus menoleh ke belakang.
Sholat, puasa, dan segala amalan lainnya, saya rasakan hanya sebagai formalitas saja. Saya tetap menjalankan itu semua, tapi hati saya merasa jauh dari Allah. Semua pertanyaan dan kesedihan yang mendalam, menjauhkan saya dari Allah dalam ibadah yang semakin intensif. Saya sering merasa, sepi dalam keramaian. Saya tidak punya tujuan hidup lagi. Buat apa? Toh Bapak sudah meninggal. Untuk apa semua ini?
Selama 9 tahun sejak kepergian Bapak, meskipun banyak hal yang bisa saya capai, tapi semuanya hampa. Ada rasa : Lalu apa setelah ini? Sembilan tahun penuh perjuangan untuk mencoba berjalan tanpa terseok, menuruti setiap rasa yang ada, selalu menangis setiap teringat Bapak, tidak pernah tersenyum bahagia saat bercerita tentang Beliau. Yang keluar dari mulut dan kepala selalu rasa sedih karena ditinggalkan.
Padahal, ada banyak cara untuk mengingat Beliau semasa hidup. Cara yang lebih bahagia.
Sampai pada satu titik, saya disadarkan untuk tidak lagi berlarut dengan kondisi seperti ini. Cukup dan saya cukupkan sampai di sini.
BERHENTI BERTANYA DAN MENGIKHLASKAN
Sekitar bulan November tahun 2020, kondisi mental saya sedang parah – parahnya tidak dalam keadaan baik. Covid dan banyak berita kematian dari saudara, teman, dan keluarga sahabat.
Siang itu, saya menemani anak – anak yang sedang tidak bersekolah karena lockdown entah tahap ke berapa. Saya melihat mereka dan hati saya terkesiap. Selama ini, saya sudah berbuat tidak adil pada mereka, pada suami, bahkan pada diri sendiri. Saya terlalu larut dan berkepanjangan dengan kesedihan yang dampaknya ke mana – mana. Saya selalu merasa bahwa saya tidak punya lagi tujuan hidup. Untuk apa? Padahal, sekarang saya punya keluarga. Tujuan hidup untuk diri sendiri, untuk anak – anak, untuk suami, untuk Ibu dan adik – adik saya. Masih banyak yang bisa saya jadikan tujuan hidup. Kenapa selama sembilan tahun ini saya hanya terpaku pada kesedihan atas kepergian Bapak. Kenapa saya tidak punya energi lagi untuk memperhatikan diri sendiri dan keluarga saya. Mereka membutuhkan saya, sementara saya makin tenggelam dalam kesedihan. Saya tidak adil memperlakukan diri sendiri dan mereka.
Siang itu, saya menangis sejadinya sambil memeluk anak – anak. Saya minta maaf kepada mereka karena selama ini hati saya terbelah. Saya minta maaf karena terlalu sibuk memikirkan diri sendiri, bergumul dengan kesedihan yang membuat saya makin terpuruk. Saya memeluk mereka dan berjanji kepada diri sendiri bahwa hidup harus saya lanjutkan dengan cara yang berbeda.
Saya berhenti untuk bertanya tentang apapun yang berhubungan dengan berpulangnya Bapak. Malam hari saat sholat Maghrib, saya berdoa dan berucap, “Bapak, saya akan belajar ikhlas. Saya tidak mau lagi mempertanyakan apa yang sudah Allah tetapkan. Saya tidak mau lagi bersedih atas apa yang sudah ditakdirkan. Saya ikhlas Bapak sudah tenang di alam yang berbeda dengan kami. Saya ikhlas Pak.”
Butuh waktu 9 tahun sampai pada titik saya bisa mengatakan sebuah kata ikhlas. Titik di mana saya menyadari bahwa kesedihan ini memang waktunya untuk disudahi. Tidak perlu berlarut lagi. Memang harus diterima apa yang sudah digariskan. Saya hanya lakon yang tidak punya kuasa melawan ketetapan tentang kematian.
Saya punya keluarga yang selalu mengerti keadaan. Suami yang tak pernah lelah mendengarkan tiap tangisan saat saya bercerita tentang Bapak. Saatnya saya mengurusi diri sendiri, anak – anak, dan suami. Saatnya saya kembali lagi memperhatikan Ibu dan adik – adik saya. Langkah dan hati saya sudah sangat berat 9 tahun ini. Saatnya saya menikmati hidup dengan mereka yang saya sayangi. Teman – teman dan para sahabat. Saya tidak tau sampai kapan hidup dan saya juga tidak bisa menebak sampai usia berapa mereka ada dalam hidup saya.
Saya memutuskan untuk hidup saat ini, di sini, sekarang. Saya tidak mau lagi sering menoleh ke belakang. Bapak sudah meninggal, itu sebuah kenyataan. Apapun yang akan dan telah saya lakukan, tidak bisa mengubah keadaan. Bapak tetap meninggal. Yang ada di depan mata saya, yang perlu saya jalani. Bapak sudah selesai. Tidak perlu lagi saya ratapi. Selesai.
Setelah hari itu, saya mengenang Bapak dengan cara berbeda. Setiap bercerita tentang Beliau, saya hampir tidak pernah menangis lagi. Saya bercerita dengan senyuman. Saya mengenang segala kebaikan, segala hal – hal indah yang pernah kami lalui sekeluarga. Tentang kebanggaan saya punya Bapak seperti Beliau.
Saat persis tanggal ditahun kesembilan Bapak meninggal, saya melakukan hal yang biasa untuk mengenang Bapak, membuat nasi goreng hijau super pedas. Untuk yang terakhir kalinya. Masih menuliskan kata penuh rindu dengan perasaan yang lebih ringan. Beberapa hari setelahnya keihlasan itu mantab datang.
Saya meletakkan yang sudah selesai. Saya melangkah untuk hidup saat ini, bukan hidup yang sudah berlalu. Saya memandang ke depan bersama orang – orang yang saya sayangi yang masih hidup, dengan membawa Bapak dalam hati saya penuh dengan bahagia, bukan kesedihan yang mendalam. Yang sudah selesai, selesai.
TAHUN KESEPULUH
Tahun ini, tahun kesepuluh. Tak ada lagi ritual nasi goreng di tanggal itu, diawal tahun. Saya mengenang dengan hati yang lebih bahagia. Hati yang ringan.
Akhirnya saya bisa nyekar ke makam Bapak setelah terakhir ke sana sebelum pindah ke Belanda, Januari 2015. Kali ini, saya membawa hati yang lebih ringan. Saya berdoa untuk Bapak tidak lagi dengan perasaan yang kelabu. Saya bilang ke Bapak, kalau cucu – cucunya akhirnya bisa lihat makam Mbah Kakung mereka. Mbah Kakung yang selama ini hanya diketahui dari cerita Ibunya. Akhirnya, mereka bisa melihat sendiri makamnya. Saya memenuhi janji untuk membawa mereka ke sana.
Saya lega Pak, saat mengikhlaskan, tak ada lagi langkah dan hati yang berat.Saya fokus dengan hidup saya saat ini, pada tujuan yang ada di depan. Pada keluarga saya, diri sendiri. Untuk Ibu dan adik – adik. Untuk teman dan para sahabat. Bapak tetap dan selalu saya kenang dan doakan. Bapak selalu ada dalam hati kami semua. Saya sudah mengikhlaskan kepergian Bapak. Tak ada lagi pertanyaan yang memberatkan. Selesai semuanya. Saya tuntaskan sampai di sini. Saya bersyukur diberikan kesempatan oleh Allah jadi anak Bapak selama 32 tahun. Terima kasih Pak. Langkah dan hati saya lebih ringan sekarang.
Bukan waktu yang bisa menyembuhkan, tapi diri sendiri. Waktu hanyalah angka. Diri sendirilah yang berjuang untuk bangkit lagi, menyadari bahwa yang sudah berlalu, yang sudah ditakdirkan, tak bisa digugat apapun alasannya. Meletakkan ego dan berjalan kembali dengan kenangan yang ada. Kenangan yang menyembuhkan, bukan yang menimbulkan luka. Kenangan yang membahagiakan, bukan yang memberatkan hati. Ingatan yang melegakan, bukan yang memberatkan untuk melepaskan.
Mudik yang saya tunggu selama 7 tahun lebih sejak pindah ke Belanda akhirnya terlaksana juga. Kami 9 minggu tinggal di Indonesia. Saya sudah menuliskan cerita mudik kami bagian awal di sini. Tentu saja mudik yang penuh dengan suka cita karena bisa bertemu hampir seluruh keluarga besar. Walaupun mudik pertama ini saya hanya dengan 2 anak balita, tanpa suami, tidak menjadikan suasana mudik berkurang keceriaannya. Justru saya banyak bersyukur suami saya tidak ikut karena kami bisa puas dengan keluarga tanpa harus “terbebani” untuk liburan ke tempat tertentu. Kalau dengan suami suasananya pasti beda ya karena pasti dia maunya liburan juga. Sementara buat saya liburan ya artinya berkumpul dengan keluarga, mengunjungi keluarga di beberapa kota.
Mudik hanya dengan dua balita, tentu membawa banyak cerita. Dari cerita haru, bahagia, penuh kejutan, sampai cerita yang tidak menyenangkan. Kali ini saya akan berbagi cerita yang tidak menyenangkan dulu. Cerita yang bahagia menyusul kemudian akan saya tuliskan.
Sebagai anak berdarah Indonesia dan Belanda, dua balita kami tentu saja wajahnya akan sangat berbeda dengan anak – anak asli Indonesia. Bukan hanya wajah, kulit dan rambutnya juga beda. Singkatnya, penampilan mereka memang lebih kental ke bapaknya dibandingkan Ibunya. Meskipun ya kalau diperhatikan lebih jauh, pasti adalah bagian dari wajahnya yang mirip saya. Cuma ya itu, kalau dilihat sekilas ya mirip bapaknya semua. Ini dari pendapat keluarga, teman – teman dan tetangga di Belanda. Selain itu, anak – anak kami bisa dengan lancar berbahasa Indonesia meskipun dengan aksen Belanda. Jadi ini juga salah satu penarik perhatian orang yang mendengarkan selama di Indonesia. Mereka bisa berbicara dengan lancar bahasa Indonesia, Belanda, dan Inggris.
Nah karena saya sadar 100% bahwa penampilan mereka akan mencolok mata, jadi saya harus ekstra mengawasi selama di Indonesia. Konsen saya adalah penculikan dan juga kebiasaan orang Indonesia pada umumnya misalkan colek – colek anak kecil, cubit pipi sampai mencium tanpa ijin. Ada beberapa kejadian sesuai perkiraan saya yang sangat tidak menyenangkan, sebagian besar menyangkut ke anak – anak.
Tulisan ini panjang, jadi butuh waktu yang lumayan lama untuk membacanya.
MATA MENGAWASI DARI UJUNG MATA SAMPAI UJUNG KAKI
Pertama menginjakkan kaki kembali di Indonesia, Bandara Soetta lebih tepatnya, saya langsung mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan. Hanya selang beberapa menit setelah saya keluar dari pesawat dan menuntaskan segala administrasi yang berhubungan dengan Covid, langsung saya dihadapkan pada kenyataan bahwa di negara saya dilahirkan ini banyak hal yang tidak terlalu dipikirkan kepantasan saat dilakukan.
Saat di loket imigrasi yang saat itu sangat sepi (tidak ada antrian di belakang kami), setelah petugas mengecek paspor saya dan anak – anak, mereka (ada 2 orang) meminta saya untuk melepaskan masker untuk dicocokkan dengan foto yang ada di paspor. Lalu secara bergantian melihat antara saya dan anak – anak. Lalu saya disuruh mundur ke belakang, kembali mata mereka melihat saya, kali ini dari wajah sampai ujung kaki. Lalu melihat kembali ke anak – anak. Salah satu dari mereka berkata, “Anaknya ya Bu?” Saya langsung jawab dengan cepat, “Betul Pak, anak – anak saya semua. Kenapa Pak?” Dijawab lagi sama dia, “kok beda ya Bu. Ga ada yang mirip sama Ibu. Bapaknya Bule ya?”
Saya dalam posisi sudah sangat kecapaian dari sebelum berangkat karena drama hasil PCR positif yang sangat menguras emosi dan airmata, malam sebelumnya tidak bisa tidur dengan nyenyak, selama di pesawat juga saya tidak terlalu bisa tidur punggung sakit karena anak saya yang terakhir minta dipangku saat tidur biar kakaknya tidur selonjoran, begitu sampai di Indonesia mendapatkan pertanyaan dan tatapan seperti itu. Kalau saya turuti emosi, bisa saja saya menyemprot karena perkataan mereka tidak sopan. Tapi saya sudah tidak punya energi lebih. Saya menjawab, “Saya membawa lengkap fotocopy akta lahir keduanya dan surat keterangan ijin dari suami saya, apa perlu dibuktikan kalau saya ibunya?”
Mereka tidak komen apa – apa. Bahkan mengucapkan maaf juga tidak. Paspor kami dikembalikan. Sudah begitu saja. Sambutan pertama di imigrasi benar – benar “berkesan”. Kalau mengingat lagi sekarang, saya masih terbawa emosi. Memandang orang dari atas ke bawah itu sangat tidak sopan.
Sebagai informasi, aturan di Belanda kalau mau membawa anak ke luar Belanda hanya dengan salah satu orangtuanya, maka perlu surat persetujuan orangtua yang satunya. Jadi ada surat pernyataan dan ditandatangi yang menyatakan memberikan ijin kepada orangtua lainnya untuk membawa anak ke luar Belanda. Dokumen lainnya yang perlu dibawa adalah (fotokopi) akta lahir anak tersebut (karena di dalamnya tercantum nama kedua orangtua). Kalau anak sudah usia wajib sekolah, butuh surat pengantar dari sekolah jika bepergiannya di luar liburan resmi sekolah. Dokumen – dokumen ini ditunjukkan ke pihak imigrasi jika ditanyakan. Jadi tidak perlu sampai meneliti kemiripan fisik (muka) apalagi sampai memberikan komentar sangat tidak mirip. Cukup dari surat dan dokumen resmi.
COLEK PIPI DAN BADAN
Masih kejadian di Bandara saat kami pertama tiba. Jadi selepas imigrasi dan pemeriksaan barang, kami harus pindah terminal untuk melanjutkan penerbangan ke Surabaya. Nah di pintu keluar terminal datang ke terminal selanjutnya, ada petugas yang tiba – tiba mencolek pipi anak saya yang kecil saat melewati dia. Sebelum saya sempat menegur, anak saya sudah berteriak duluan dengan suara yang sangat nyaring : STOOOOPP!! Ga boleh pegang – pegang!!(dia ngomong dalam bahasa Indonesia). Dia memang paling tidak suka dipegang orang yang tidak dikenal. Lalu petugasnya malah komentar : Ga boleh teriak – teriak. Ga sopan.
Saya langsung menegur : Bapak yang tidak sopan, tidak bertanya dulu langsung main cowel – cowel anak saya. Dia ga mau dipegang Pak, makanya dia teriak. Lalu saya ajak anak – anak menjauh dari sana.
Kejadian ini tidak sekali dua kali. Sering sekali dari orang yang tidak dikenal. Kalau kami ke suatu tempat, meleng sedikit saja langsung ada yang nyolek pipi anak – anak bahkan sampai anak – anak pernah menangis karena dicubit pipinya. Langsung saya marahi orang itu dengan suara keras : Saya bisa laporkan kamu ke polisi ya karena sudah menyakiti anak – anak saya dengan mencubit begitu sampai mereka menangis. Ga sopan sama sekali!!
Tau tidak ditanggapi apa? : Halah, wong cuma dipegang gemes gitu kok. Berlebihan sekali sampai lapor polisi. Anak artis juga bukan. Masak mau pegang pipi aja musti ijin. Saya langsung muntab dikasih jawaban begitu. Saya langsung sumpah serapah dia dan menyingkir dari sana. Benar – benar sampai bingung musti komentar apa. Ga paham lagi dengan logika berpikir seperti itu.
LONTARAN KATA – KATA YANG SANGAT TIDAK SOPAN
Ini lebih ke arah sedih ya saat saya mengingat kembali ada beberapa kata yang terlontarkan dan sangatlah tidak sopan. Sedih kenapa orang begitu gampang melontarkan pertanyaan tanpa konfirmasi sebelumnya. Langsung main asumsi sendiri. Ada beberapa cerita yang saya akan tuliskan satu persatu.
CERITA PERTAMA
Di sebuah mall besar di kawasan Surabaya Timur, saat saya akan masuk ke dalam, ada pemeriksaan peduli lindungi. Karena waktu itu modem data saya belum datang, jadi saya malas menghidupkan data internasional. Saya mencari kertas bukti vaksin yang bisa dipakai verifikasi. Saat sedang mencari kertas di tas, salah satu petugasnya tiba – tiba bertanya, “Sudah lama mbak kerja dengan mereka?” sambil melihat ke anak – anak saya. “Bagaimana Pak, maksudnya, saya tidak paham” saya bertanya kembali. “Mbaknya sudah lama kerja sama orangtua mereka?” Sambil melihat bergantian antara muka saya yang tertutup masker dan ke anak – anak. “Saya Ibu kandung mereka” Saya menjawab dengan tegas sambil melihat langsung ke mata bapak yang bertanya tadi. “Oh silahkan masuk Mbak, ga usah dicari kertasnya. Masuk saja.”
Saya sampai ketenggengen ditanya seperti itu. Saking ketenggengan sampai mau marah saja tidak bisa.
CERITA KEDUA
Masih di mall yang sama. Jadi saya ke mall ini ingin mencari camilan buat anak – anak. Ini hari pertama saya keluar dari hotel setelah malam sebelumnya tiba di Surabaya dari penerbangan panjang Belanda – Jakarta – Surabaya. Jadi saya masih belum mempelajari suasana sekitar hotel seperti apa. Saya sudah tau mall ini, karena dekat dengan tempat kuliah. Nah saat masuk ke supermarket yang menjual makanan – makanan impor, di pintu depannya ada petugas. Dia tidak menanyakan peduli lindungi, malah bertanya, “Wes suwe mbak dadi rewange arek – arek. Lucu – lucu yo rupane.” Terjemahannya : -Sudah lama Mbak jadi pembantunya anak – anak? wajahnya lucu – lucu ya-
Saya langsung jawab sambil menahan marah dan airmata saking kesalnya, “Saya Ibu kandung mereka. Belajar sopan santun ya Pak kalau bertanya.” Lalu saya masuk ke dalam dengan penuh kekesalan. Benar – benar membuyarkan mood saya hari itu.
CERITA KETIGA
Saat naik taksi di Jakarta, arah dari hotel ke rumah bulek saya. Sudah duduk di dalam taksi, anak – anak mulailah ngobrol sendiri. Mereka ngobrol tentu saja bahasa campuran antara Indonesia, Belanda dan Inggris. Lalu sopir taksinya melihat dari kaca spion, “Lucu ya ngomongnya campur – campur. Pintar bahasa Indonesianya. Asalnya darimana mereka Mbak?” Saya jawab pendek, “Belanda Pak.” Lalu dia bertanya lagi, “Orangtuanya apa tinggal di Indonesia kok mereka bisa bahasa Indonesia?” Saya jawab pendek lagi, “Nggak, Pak” Dia melanjutkan, “Mbaknya sudah lama kerja sama orangtuanya ya, sampai mereka manggil Ibu ke Mbak.” Saya jawab lagi, “Saya memang Ibu kandung mereka Pak. Saya ga kerja sama mereka.” Ya Allah keseeell banget!!
Saat saya ceritakan ke suami, sampai saya menangis. Suamipun marah kenapa orang Indonesia (tentu saja yang saya ceritakan di atas) dengan gampangnya bisa melontarkan perkataan kasar dan tidak sopan seperti itu. Saya bilang ke dia kalau saya capek ke mana – mana hampir selalu disangka sebagai pengasuh mereka. Saya sampai bilang : untung kamu ga ikut pulang. Bayangkan kalau aku jalan – jalan sama kalian, bisa selalu disangka kerja sama kalian, bukan dilihat sebagai istrimu dan ibu dari anak – anak. Dan kejadian ini selalu saya dapatkan di kota besar. Bukan di kota kecil. Padahal saat bertanya seperti itu, muka saya tertutup masker, sehingga mereka tidak melihat seutuhnya wajah saya. Sampai ada masanya saya jadi mengamati sendiri apa sebeda itukah wajah saya dengan anak – anak. Apa tidak ada miripnya. Padahal ya selama ini mereka yang sudah ketemu langsung dengan anak – anak, bilang kalau garis wajah mereka campuran dari saya dan bapaknya. Kenapa begitu di Indonesia, adaa saja komentar yang membuat hati saya down sampai ke arah tidak percaya diri. Ini hanya saya alami selama mudik 9 minggu di Indonesia. Di Belanda tidak pernah saya mendengar komentar seperti itu.
Malah saya sampai mikir apa penampilan saya ini tidak mencerminkan Ibu dari anak – anak berdarah campur atau gimana, apa terlalu lusuh atau kurang mewah. Apa saya harus berpenampilan penuh dengan merek – merek mahal jadi tidak diragukan sebagai Ibu mereka. Apa tampilan saya kurang mentereng jadi tidak pantas dilihat jadi istrinya orang Belanda. Kenapa saya selalu dicurigai bukan Ibu mereka selama di kota – kota besar di Indonesia. Sedih lho ini menuliskan seperti ini. Saya yang mengandung mereka dan melahirkan. Sampai airmata saya keluar lagi mengingat kejadian waktu mudik. Nelongso. Saya tidak pernah mendapatkan perlakuan seperti ini selama di Belanda.
NYOSOR CIUM PIPI
Sejak anak – anak masih di bawah tiga tahun, bahkan sejak masih bayi, kami sudah mengajarkan pendidikan sex dimulai dari penyebutan secara benar anggota tubuh dan alat kelamin. Penis untuk pria dan vagina untuk wanita. Sebelum masuk usia sekolah, kami mulai mengkomunikasikan siapa saja yang boleh dan tidak boleh menyentuh alat kelamin mereka. Bahkan untuk mencium pipi pun, kami bertanya lebih dulu boleh tidak, untuk mengajarkan privasi , respect dan batasan pada anggota tubuh mereka. Kalau mereka tidak membolehkan, kami tidak akan memaksa. Hal ini sering terjadi. Saat mereka tidak mood, saya ingin mencium pipi mereka karena gemas misalkan, ya mereka tidak mau. Saya tidak memaksa.
Begitu juga untuk urusan mengambil foto mereka. Kami selalu meminta ijin boleh tidak untuk difoto. Mau tidak difoto. Kalau mereka tidak mau, ya kami tidak memaksa. Jadi mereka sudah punya batasan dan tau kapan batasan tersebut digunakan. Terhadap badan dan privasi. Sekalinya kami merusak batasan yang mereka sudah bangun, takutnya mereka tidak merasa nyaman lagi dengan kami. Padahal yang ingin kami bangun adalah mereka merasa nyaman dan aman di dalam keluarga. Bahwa rumah dan keluarga adalah tempat yang aman dan nyaman selamanya meskipun mereka sudah tidak bersama kami lagi. Bahwa mereka percaya dengan kami dari contoh yang kami berikan.
Di Indonesia, beberapa ibu – ibu terutama yang tidak saya kenal sama sekali, langsung nyosor mencium anak – anak. Bayangkan, langsung mencium pipi mereka. Karena mereka sudah kami ajari hal – hal yang kami sebutkan di atas, reaksi saat dicium, mereka kaget dan langsung membentak : STOOPP!! GA BOLEH CIUM – CIUM PIPI!! dilanjutkan dengan sikap badan membersihkan pipi yang dicium tersebut dengan pergelangan tangan. Saya pun langsung menegur dengan geram dan keras : Ibu, yang sopan ya. Jangan kurang ajar asal main cium anak orang sembarangan!! Jaga sopan santunnya. Saya ngomong kencang sambil nunjuk – nunjuk muka si Ibu itu. Marah, kesal dan sedih campur jadi satu. Membayangkan pipi anak – anak sudah ketempelan kuman virus apa, kan saya tidak tau sehat apa tidak orang – orang itu.
Hal tersebut kejadian beberapa kali. Tukang sosor ada di mana – mana. Dan ini bukan dari pihak orang yang saya kenal. Dan selalu di kota besar yang saya datangi. Bayangkan, mengerikan sekali ini. Sangat kurang ajar.
MENYODORKAN TANGAN UNTUK SALIM
Sebenarnya ini pertanyaan saya sejak dulu kala. Ada obsesi apa dengan orang Indonesia yang nampaknya selalu menyodorkan tangan kepada anak kecil atau yang lebih muda dalam posisi untuk dicium. Salim dalam kata pendeknya. Saya sendiri melakukan salim hanya kepada keluarga dekat yang jauh lebih tua. Misalkan : Ibuk, Bapak, Mbah Putri, Bude. Selebihnya saya tidak salim. Hanya salaman sambil agak menundukkan badan. Bagaimanapun juga, saya masih produk didikan generasi lama dimana gesture badan itu wujud dari kesopanan.
Saya paham karena diajarkan kalau salim adalah bentuk kesopanan. Hanya, saya tidak mengajarkan cara ini kepada anak – anak. Ada dua alasan :
Higienis. Ini alasan utama karena tidak tau kondisi tangan seseorang seperti apa. Tidak yakin bahwa tangannya bersih dalam artian sudah dicuci sebelumnya. Bisa saja setelah memegang sesuatu atau setelah mengerjakan sesuatu. Jadi daripada ragu, mending tidak usah sekalian. Apalagi dalam situasi Covid kan, kalau perlu tidak usah berjabat tangan.
Tinggal di Belanda tidak ada salim. Saya tidak pernah mengajarkan salim ke anak – anak karena mereka tinggal di Belanda dan salim tidak ada dalam budaya sini. Saya tidak mau membuat mereka bingung, pun orang lain bingung kalau mereka melakukannya. Saya hanya komunikasikan bahwa di Indonesia, anak – anak biasa salim kepada orangtuanya. Atau yang lebih muda kepada yang dituakan atau lebih tua. Tentu saja mereka bertanya kenapa ada salim. Saya jelaskan bahwa di Indonesia, salim adalah bentuk kesopanan. Kamipun bilang kalau mereka tidak perlu salim kepada kami.
Sebelum mudik, jauh hari sudah saya komunikasikan ke mereka bahwa saat nanti di Indonesia, hanya boleh salim ke Mbahnya (Ibu saya) saja. Selebihnya tidak boleh, jabat tangan saja sudah cukup. Karena alasan higienis dan covid. Jadi kalau ada yang menyodorkan tangannya untuk salim, jawab saja tidak mau. Mereka sudah paham dan mengerti alasan tidak boleh salim ke sembarang orang.
Pada saatnya, memang banyak yang menyodorkan tangan dalam posisi salim. Bahkan tidak segan – segan menyorongkan punggung tangan ke hidung anak – anak. Mereka langsung dengan tegas bilang : Tidak boleh salim takut tangannya kotor.Kalau yang paling kecil akan bilang secara singkat : Aku ga mau salim.
Oh tentu saja saya mendapatkan banyak sekali teguran kenapa kok mengajarkan hal yang “tidak sopan” ke anak – anak. Kenapa kok sok banget jadi anak bule. Dan banyak komentar pedas lainnya (bukan dari keluarga dekat). Saya jawab saja dengan santai : Mereka tau sendiri mana yang boleh dan tidak. Saya mengajarkan yang menurut saya dan suami benar.
Saya tidak mau ambil pusing. My kids my rules. Selama Ibuk saya selaku mbah mereka tidak protes, disenyumi saja kalau ada yang berkomentar tidak nyaman.
MEMVIDEOKAN TANPA IJIN
Poin ini tidak kalah membuat darah mendidih kalau diingat lagi pada saat kejadian. Di Belanda, yang namanya privacy itu sangat kuat dijaga. Kami sudah terbiasa dengan ini. Di sekolah anak – anak, sejak awal masuk sudah ada formulir persetujuan apakah foto anak bisa diunggah ke website sekolah atau media sosial milik sekolah. Dan kami, sejak awal mereka mulai mengenal bangku sekolah, selalu memilih tidak ingin pihak sekolah membagikan foto mereka di website atau media sosial. Hanya mengijinkan untuk dibagikan di grup orangtua per kelas. Sampai saat ini pun saya dan suami masih dengan kesepakatan bersama untuk tidak mengunggah foto anak – anak di media sosial manapun selama mereka masih belum bisa berpendapat secara sadar apakah fotonya boleh diunggah ke medsos orangtuanya. Bahkan kalau ada kegiatan, orangtua murid selalu anteng tidak mengambil foto atau memvideokan karena tau pihak sekolah sudah ada dokumentasinya. Atau jika diijinkan, kami masing – masing tau diri untuk disimpan sebagai dokumentasi pribadi.
Di Indonesia, kesadaran tentang privasi (terutama pada anak) rupanya agak kurang ya. Paling tidak ini yang saya amati selama di sana. Ada beberapa kejadian tidak mengenakkan yang saya alami :
Cerita 1 di dua lokasi indoor playground di Surabaya
Selama di kota besar, saya selalu ke Indoor Playground yang berada di dalam mall. Kalau harus ke outdoor playground, saya terus terang tidak kuat hawa panasnya. Kibar bendera putih. Anak – anak setiap hari pasti bermain di luar kalau di Belanda. Jadi selama di Indonesia, merekapun ingin seperti itu. Untuk mencari nyamannya, ya saya datang ke indoor playground. Di tempat yang pertama, setelah kami masuk ke dalam dan anak – anak mulai bermain, tanpa ada pemberitahuan apa – apa, si Mbak penjaganya tiba – tiba menyorongkan kamera persis di depan muka anak – anak saya yang sedang bermain. Saya yang menunggu dari kejauhan (masih di dalam area) awalnya bingung. Lalu otak saya cepat sadar, ohpasti itu akan diunggah di media sosial mereka. Saya langsung mendatangi dia dan bertanya baik – baik apakah dia sedang merekam dan untuk apa merekam anak – anak saya. Dia bilang untuk bahan promosi di media sosial mereka. Saya katakan kalau saya keberatan dan minta dia untuk menghapus video yang sudah dibuat. Saya juga bilang untuk meminta ijin dulu sebelum merekam. Dia meminta maaf dan menghapus video tersebut di depan saya.
Lalu tidak berapa lama kemudian, saya melihat dia merekam anak – anak yang lain secara dekat. Jadi bukan dari jarak jauh memperlihatkan keseluruhan ruangan. Orang tua si anak – anak ini senang – senang saja anaknya direkam. Ya saya sadari beda orangtua beda aturan ya. Kalaupun yang sedang bertugas merekam secara keseluruhan ruangan, saya tidak akan keberatan karena jatuhnya sudah masuk ruang publik ya. Toh muka anak – anak tidak akan tersorot secara jelas. Saya tidak masalah dengan hal tersebut. Tapi kalau langsung mereka jarak dekat satu persatu saat sedang main, saya keberatan.
Di playground kedua di lokasi berbeda, saya mengalami hal yang nyaris sama. Tiba – tiba ada petugas yang mengikuti anak – anak saat bermain dan merekamnya. Langsung saya tegur juga dan minta videonya untuk dihapus. Mereka memang menghapusnya karena saya menunggu langsung sampai videonya benar – benar terhapus.
Mungkin di Indonesia menjadi hal yang biasa memvideokan anak orang lain tanpa ijin. Saya tidak terbiasa dengan hal tersebut jadinya saya tegur dan minta video tersebut dihapuskan.
Cerita 2 di indoor playground di Jember
Ditengah permainan, anak bungsu saya tiba – tiba cranky. Saya melihat dulu dari jauh. Tapi dia masih menangis dan tambah nyaring. Saya lihat dengan jelas, seorang Ibu yang duduk dekat dia, arah membelakangi saya, merekam anak saya yang menangis. Saya bisa melihat saat saya berjalan menuju anak saya. Saya lalu tegur Ibunya, “Bu, sedang merekam anak saya?” Dia menoleh, “Oh anaknya ya Bu. Lucu sekali ya, gemas saya makanya saya rekam. Mukanya bule sekali ya Bu, bapaknya bule ya?” Saya jawab “Bisa dihapus Bu rekamannya? Saya tidak memberi ijin Ibu buat merekam dan Ibu tidak ada ijin apa – apa merekam anak saya yang sedang menangis. Itu namanya pelaggaran Bu” Dia langsung minta maaf dan menghapus rekaman video itu.
Gila yaaaa, ada anak nangis sempat – sempatnya ambil video dan itu anak orang lain pula. Dia ini seorang Ibu lho yang anaknya main di situ juga. Lihatlah, ga ada yang namanya menghormati privasi orang lain. Anak orang divideokan sembarangan yang entah nanti itu buat apa. Lancang sekali. Buat konten media sosial dia atau buat apa, saya ga paham. Yok opo cak, kok gampang men mideo – mideo anak e uwong liyo.
Perkara privasi ini memanglah PR besar di Indonesia.
Cerita 3 anak tetangga
Saat kami mengunjungi tetangga di rumah orangtua saya yang satunya, anaknya yang memang dekat dengan saya sejak kecil merekam anak – anak saya bermain. Saya biarkan saja dengan asumsi bahwa dia kan sudah besar dan baru lulus kuliah. Saya berpikirnya dia merekam untuk dokumentasi pribadi. Sampai besok paginya saat saya ke sana lagi untuk menitipkan anak – anak karena saya mau laser kutil – kutil di wajah, tetangga saya ini bilang kalau banyak yang berkomentar lucu di video yang dibuat anaknya. Wah, saya langsung kaget dan bertanya ke anaknya itu diunggah ke mana video yang dia buat. Dia bilang di whatsapp status. Saya bilang ke dia : kamu boleh merekam anak – anak karena saya kenal kamu, tapi buat dokumentasi pribadi saja ya siapa tau nanti kangen sama mereka. Jangan diunggah ke whatsapp story atau di media sosial manapun. Buat diri sendiri saja.
Setelahnya, dia sama sekali tidak mau merekam atau memfoto anak – anak. Jadi, daripada main asumsi, harusnya saya sampaikan saja di awal perihal video atau foto. Karena memang tidak semua orang sensitif perihal membagikan foto atau video yang harus seijin dulu.
Cerita 4 random lainnya.
Saat itu kami selesai main di indoor playground di kota yang sama dengan cerita nomer 3, kami duduk – duduk di depan pusat pertokoannya karena menunggu dijemput adik saya. Anak – anak bermain sendiri. Tidak jauh di depan saya duduk, ada dua perempuan berjilbab panjang yang sedang memegang telefon. Awalnya saya pikir mereka sedang posisi video call an. Lama – lama saya curiga karena mata mereka bergantian antara lihat telefon dan melihat anak – anak. Sesekali mereka bisik – bisik ngomong : duh lucunyaa, bule banget. Belum sempat saya berdiri untuk bertanya apa mereka sedang memvideokan anak – anak atau ambil foto, salah satu dari mereka tiba – tiba menghampiri si sulung trus memberikan instruksi : hai hai, coba bilang halooo, say haaiii. Dia benar – benar menyorongkan Hp nya dalam posisi vertikal persis depan muka si sulung. Saya langsung berdiri dan menegur, “Mbak, sedang apa ya?” Dia jawab, “oh ini live di IG karena anak ini lucu sekali, bule banget. Ini banyak yang komen pada suka.” Saya langsung dengan suara keras, “Matikan sekarang HPnya. Dia anak saya dan saya tidak memberikan ijin apapun sebelumnya untuk merekam anak – anak saya, mengambil fotonya bahkan menaruhnya di live IG kamu. Sangat tidak sopan ya itu. Lancang! Sudah sedewasa ini perihal sopan santun sesederhana ini saja tidak bisa. Bisa saya lihat galery fotonya, kalau ada foto atau video anak – anak, saya minta dihapus sekarang juga.” Lalu dia menunjukkan galery foto yang ternyata ada beberapa foto dan rekaman video anak – anak. Dia langsung menghapus, minta maaf, dan pergi dari situ bersama temannya.
Ya Allah Live IG Cak!! Kene sing ibuk e ae ga tau live2an kok iki dadi nggawe konten anak e uwong liyo.
Ngeri sekali kan kalau ada orang yang tidak dikenal tiba – tiba mengambil video, foto tanpa sepengetahuan kita. Apalagi ini video atau foto anak – anak. Saya tidak tau nanti akan berakhir di mana foto mereka. Jaman sekarang banyak hal bisa terjadi. Susah payah kami menjaga mereka, eh orang lain berlaku sembarangan. Jadi saya melakukan sebisa mungkin pencegahan yang masih bisa saya jangkau dan bisa saya kendalikan. Ini memvideokan yang ketahuan mata ya, entah apa ada yang memvideokan atau memfoto yang tidak ketahuan lalu diunggah di medsos dengan narasi sendiri seperti yang akhir – akhir ini banyak terjadi. Entahlah.
Begitulah beberapa cerita tidak menyenangkan yang saya alami kebanyakan menyangkut anak – anak dan kejadiannya di kota besar. Di desa, kampung dan kota kecil malah ga ada yang peduli. Kami dianggap manusia normal. Apalagi keluarga besar saya, tidak memperlakukan kami istimewa dan tidak sibuk foto – foto atau memvideokan anak – anak. Biasa saja. Kalau diingat lagi memang menyakitkan dan membuat marah. Bagaimanapun, ini bagian dari cerita mudik kami yang ada bagian menyebalkannya, harus saya tuliskan di blog sebagai bahan pengingat diri sendiri dan yang membaca bahwa kejadian – kejadian ini nyata kami alami dan supaya jadi pembelajaran bagi siapapun yang baca (juga kami) tentunya untuk berhati – hati. Memang yang namanya kejadian tak terduga pasti akan selalu ada. Hanya saja, bisa jadi gambaran untuk mereka yang akan membawa anak – anak mudik ke Indonesia, terutama yang penampilannya mencolok mata karena berdarah campuran, untuk lebih berhati – hati. Saya yang sudah mempersiapkan diri sangat berhati – hati saja, masih menemui hal – hal yang seperti ini.
Kembali lagi, ini cara kami menjaga anak – anak. Pasti akan beda aturan dengan keluarga yang lain. Jadi yang saya ceritakan pada tulisan kali ini, berbeda dengan value keluarga kami dan masuk area yang tidak menyenangkan.
Semoga tulisan saya ini dibaca oleh mereka – mereka yang sering diam – diam memvideokan anak – anak atau mengambil foto tanpa ijin maupun kejadian random lainnya, yang suka mencolek maupun mencium anak – anak sembarangan, yang suka menghakimi penampilan Ibu yang tidak mirip anaknya, dan yang gampang melontarkan perkataan tidak sopan. Bertobatlah bertobatlah!! Perbuatan Anda Anda sekalian sangatlah tidak terpuji dan di luar batas kesopanan. Lancang dan kurang ajar!
Pada suatu era, saya gampang sekali berkomentar. Dari komentar yang membangun sampai paling menyebalkan. Dari komentar yang memang perlu sampai yang tidak penting. Pokoknya, saya harus berkomentar.
Ada hal – hal yang memang membutuhkan komentar, masukan, ide atau saran. Misalnya, yang berhubungan dengan pekerjaan, teman yang membutuhkan saran, suami yang bertanya ide atau masukan untuk pekerjaaannya, bahkan saudara yang minta tolong dikasih urun pendapat tentang permasalahan yang sedang dihadapinya.
Tapi ada banyak hal juga yag sebenarnya tidak perlu – perlu banget untuk dikomentari. Nah saya, pernah ada di periode menyebalkan karena menjadi polisi komentar. Semua hal perlu saya komentari, kasih masukan, bahkan hal yang sebenarnya receh remeh saya kasih komentar dalam rangka ingin mengkoreksi apa yang diucapkan atau dituliskan.
Kenapa saya tuliskan kalau hal yang pernah saya lakukan tersebut menyebalkan? Karena kalau dipikirkan ke belakang lagi, saya sudah merusak kebahagiaan atau kesenangan banyak orang. Hanya dari sebuah komentar yang saya lontarkan yang saya pikir hanya sebuah tulisan atau ucapan tak ada makna, ternyata bisa merusakkan suasana hati. Saya seperti ingin meluruskan banyak hal, padahal tanpa perlu saya luruskan pun, tidak akan merusak tatanan dunia.
Contoh 1 : Kalau ada yang menuliskan yang berhubungan tentang sample data atau populasi, saya langsung berlagak paling pintar statistiknya. Misal : Ada yang menuliskan “Orang Belanda terbukti paling pelit sedunia”. Sebagai lulusan Statistik memang paling tidak bisa melihat tulisan atau status tanpa data yang jelas. Dulu akan saya komentari seperti “Ada datanya tidak yang mendukung opini kamu? Kalau tidak ada angka yang pasti, lebih baik dituliskan : berdasarkan pengalaman pribadi saya. Jadi tidak akan menggiring opini yang mengaminkan hal tersebut“
Contoh 2 : Kalau ada orang yang menuliskan hal yang baru diketahui padahal saya sudah tau lama, biasanya saya suka menyelutuk. Misal : Eh aku baru tau lho kalau minuman B ini rasanya enak banget. beli ini lagi ah kapan – kapan. Dulu saya akan memberikan komentar : Lah ke mana aja kamu selama ini. Itu sudah lama tau ada di supermarket. Aku sampai bosen minumnya. Sekarang malah ga doyan.
Contoh 3 : Kalau ada yang menunjukkan suatu benda yang dia sukai dan saya tidak suka, akan saya kasih komentar berdasarkan preferensi saya pribadi. Misal : Aku tuh suka banget lho sama sepatu ini. Warnanya keren kan ya, cakep pula bentuknya. Aku mau beli ah. Dulu akan saya beri komentar : Wah, warnanya aku ga suka. Bentuknya apalagi, kayak yang murahan gitu.
Banyak sekali contoh lainnya. Ada saja komentar saya yang bisa merusak suasana hati maupun suasana nyata pada saat itu. Seperti ingin menganggu atau tidak senang melihat orang lain sedang menikmati apa yang ada di depannya. Atau ingin terlihat paling jago di bidang tersebut atau ingin terlihat paling beda. Sangat menyebalkan.
Untunglah dengan bertambahnya umur dan makin bertambah pengalaman hidup, saya jadi lebih banyak belajar untuk mengendalikan komentar. Apalagi diera media sosial yang semakin jadi sahabat sehari – hari karena lekat di hati, rasanya setiap orang punya banyak waktu untuk berkomentar, dari yang super pedas sampai yang biasa saja.
Saya sekarang lebih seringnya menjadi pengamat saja. Tidak terlalu vokal memberikan komentar terutama di media sosial. Kalaupun mau rasan – rasan, ya saya lakukan di lingkaran yang memang saya percaya. Patokan saya adalah tidak semua hal perlu dikomentari atau perlu mendapatkan komentar. Pilih dan pilah.
Kalau ada yang menuliskan seperti contoh 1 yang saya tuliskan di atas, jika tidak akan menjadikan kebohongan publik, ya akan saya lewati saja. Tidak perlu saya tanyakan dari mana asal datanya. Meskipun di kepala saya sudah melekat ajaran dari perkuliahan : speak based on data, tapi ya pusing juga kalau tiap hal perlu saya koreksi samplingnya, populasinya, CI atau alfa errornya. Lha ini saya dosen kesasar atau gimana. Kalaupun saya melihat ada yang menuliskan hal yang saya ketahui pasti itu tidak benar, kalau tidak terlalu signifikan salahnya, ya saya lewati saja. Tidak perlu semua hal saya betulkan.
Kalau ada yang menuliskan contoh 2, meskipun saya sudah tau lama, sekarang biasanya akan saya komentar : Oh iya, aku pernah mencoba juga. Memang enak. Sudah cukup begini saja. Kalau contoh nomer 3, sekarang saya akan berkomentar : Kalau kamu suka, beli saja. Apalagi warna dan bentuknya kamu banget kan. Tidak perlu menambahkan pendapat pribadi saya. Wong ya tidak ada yang bertanya pendapat saya. Intinya saya tidak mau lagi merusak suasana hati mereka yang sedang bergembira atau menikmati hal yang baru. Turut bergembira saja. Ga perlu sok iyes.
Jika ada yang sedang curhat, saya selalu jadi pendengar yang baik. Kalau tidak ditanya pendapat, ya saya dengarkan. Paling tidal, ikut bersimpati atau berusaha menenangkan. Kalau ditanya pendapat, baru saya akan berpendapat secara keseluruhan. Bukan atas pengalaman pribadi. Nanti jadinya kompetisi penderitaan seperti yang pernah saya tuliskan di sini.
Biarkan orang lain merasakan dengan cara masing – masing kesenangan yang ingin mereka lakukan. Jika hal tersebut tidak menganggu hidup saya, ya sudah tidak perlu dijadikan sebuah perkara. Simpan energi untuk hal – hal yang lebih positif. Komentar saja untuk hal – hal yang menyenangkan. Tidak perlu semua hal perlu dibenahi lewat komentar.
Seringkali menjadi seorang pengamat itu lebih menyenangkan. Apalagi membaca komentar – komentar di twitter kalau ada cuitan saya mendadak jadi viral. Ada saja yang bertengkar karena pro dan kontra. Ya sudah saya simak saja. Lumayan menghibur.
Tidak semua hal perlu dikomentari. Tidak semua perkara perlu dibetulkan atau dikoreksi. Tidak semua hal butuh komentar. Diam saja membaca, kalau masih mengganjal ya sampaikan dengan kalimat yang baik. Kalau masih mengganjal, ya salurkan lewat rasan – rasan dengan lingkaran yang terpercaya. Itulah gunanya punya circle terdekat. Buat tempat analisa keadaan, bahasa halus dari rasan rasan haha.
Jaman sekarang bukan saja pepatah mulutmu harimaumu yang relevan. Tapi jarimu harimaumu. Jaga mulut dan jari.
Tidak perlu ngotot di dunia maya dengan mereka yang kita tidak tau siapa dia. Rugi jiwa raga.
Buat saya, hidup seperti itu lebih simpel.
-20 September-
*Kalau mau komentar di postingan saya yang mana saja, tentu boleh lho ya. Tidak perlu sungkan. Monggo kalau mau komen. Tidak dilarang.
Saya sudah menyadari sejak dulu kala kalau bahasa cinta yang saya berikan ke orang terdekat dan orang lain itu adalah sentuhan dan pujian. Saya sangat suka memeluk suami dan anak – anak tentu saja, keluarga dan beberapa teman dekat. Saya gampang sekali bilang I love You ke anak – anak dan suami. Sebaliknya, anak – anak pun jadi terbiasa mengucapkan I love you atau Ik hou van jou kepada kami. Hanya saja, suami memang bukan tipe orang yang gampang mengucapkan tersebut. Jadi kalau sampai dia mengucapkan kalimat tersebut, sebuah keajaiban sedang terjadi haha. Buat saya akhirnya tidak menjadi masalah karena ungkapan cinta dia lewat perbuatan.
Saya pun gampang memberikan pujian buat siapapun. Misalkan di tram ada Oma yang bajunya bagus, ya saya lontarkan saja omongan : Dress Anda warnanya bagus. Kalau anak – anak mulai bisa naik sepeda, saya puji : goed gedaan! Keren sudah bisa naik sepeda. Pun ke suami misalkan dia projectnya lolos, saya kasih apresiasi : selamat, aku bangga sama kamu. Ke siapapun memang saya gampang memuji.
Saya pun sebaliknya, senang sekali dipeluk atau dicium. Pun selalu tersenyum bahagia kalau mendapatkan apresiasi. Misalnya setelah masak, kalau rasanya cocok, anak – anak akan bilang : Ibu, masakannya enak. Terima kasih ya sudah memasak. Akhirnya anak – anak pun terbiasa untuk mengapresiasi hal – hal kecil di sekitar mereka. Bukan hanya untuk lingkungan keluarga, tapi untuk siapapun.
Rasanya saya sudah melambung di udara :)). Perhatian – perhatian kecil seperti itu membuat hati saya gembira. Oh satu lagi, mungkin bahasa cinta untuk orang lain yang saya lakukan selama ini adalah saya selalu senang merawat dan memberikan perhatian. Sangat totalitas.
Saya pikir hal – hal di atas yang selama ini menjadi bahasa cinta dan biasa diberikan. Sampai beberapa waktu lalu, ada seorang teman menyelutuk : bahasa cintamu ini selalu berbagi makanan dan hasil masakanmu ya. Setiap kali ketemu, ga pernah kamu ga ngasih makanan hasil masakanmu.
Lalu saya tertegun dan mencoba mikir ke belakang. Ternyata iya lho. Saya tidak pernah berpikir bahwa berbagi makanan, masak untuk orang lain, mengundang orang – orang ke rumah untuk makan bersama itu adalah sebuah bahasa cinta. Saya mikirnya ya hal yang biasa dan wajar. Setelah saya pikirkan berhari – hari, bener juga ya, ini merupakan bahasa cinta saya. Berbagi makanan, berkirim ahsil baking, memasakkan makanan untuk orang lain, dan mengundang makan ke rumah.
Awalnya sepertinya karena saya terbiasa melihat Ibuk berbagi makanan kepada siapa saja. Dari mereka yang tidak mampu, teman, saudara, tetangga, mengirim makanan ke semua orang, memasak makanan dalam jumlah banyak karena selain disimpan sendiri juga supaya bisa dibagikan ke beberapa orang. Dengan melihat yang dilakukan Ibuk, rasanya tanpa disadari saya menjadi pengikut Beliau dan melakukan hal yang serupa.
Sejak SD kalau saya mengingat lagi ke belakang, saya selalu membawa makanan yang saya masak sendiri untuk dimakan bersama teman – teman di sekolah. Setiap ada kegiatan di sekolah, saya selalu membawa bekal lebih supaya bisa makan bersama. Hal tersebut selalu saya lakukan sampai dunia perkuliahan. Meskipun posisi saya ngekos, tapi karena ada dapur yang bisa dipakai bersama, saya sering masak juga.
Sewaktu kerja, saya juga sering masak lalu membawa makanan ke kantor dan dimakan bersama seruangan. Seru rasanya. Seringnya saya membawa puding coklat dan vla vanilla. Wah itu laku sekali, katanya enak. Jadi di kantor saya terkenal dengan segala gorengan yang saya buat, sambel, dan puding coklat.
Saat kuliah S2 (10 tahun lalu), setelah saya ingat lagi, saya terkenal sebagai tukang masak diantara teman – teman haha. Setiap hari ada saja masakan yang saya bawa ke kampus. Paling terkenal ya nasi goreng pedes dengan potongan wortel. Saya juga sering mengundang teman – teman untuk makan di rumah. Tanpa ada acara tertentu. Ya makan bersama saja. Saya sering masak dalam jumlah banyak, beragam, dan makan bareng dengan mereka. Intinya saya senang mengundang teman – teman.
Setelah pindah ke Belanda, rupanya kebiasaan tersebut tetap saya lakukan sampai sekarang. Saya senang sekali memasak dalam jumlah banyak lalu dibagikan ke para tetangga. Pun mengirim makanan untuk teman – teman jauh maupun saudara. Sampai Mama mertua protes : Deny, jangan sering kirim kue, nanti Mama gendut *ngakak. Sejak saya mulai rajin baking, untuk acara khusus di sekolah misalkan Sinterklaas, libur musim panas, Natal. saya selalu berbagi hasil baking kepada para guru anak – anak. Natal tahun lalu saya membagikan bingkisan berisi macarons, cookies, dan brownies.
Sewaktu pandemi, saya juga sering berkirim hasil baking lewat pos untuk beberapa teman. Berpikir bahwa waktu itu keadaan sangat sulit, jadi semoga kiriman yang manis – manis dari saya bisa memberikan suasana jadi sedikit lebih menyenangkan. Beberapa orang yang saya kirimi paket cookies, merasa terkejut dan terharu. Saya senang mengetahui kalau hal tersebut membuat mereka jadi bahagia.
Saya juga berkirim makanan saat ada teman atau tetangga dalam keadaan sakit atau sedang ada kesusahan. Semampunya saya saja karena mikir kalau ada makanan, sedikit bisa mengobati sedih dan bisa mengurangi beban karena ada makanan hangat yang bisa dimakan.
Bukan hanya itu saja, saya juga sangat senang mengundang siapapun ke rumah. Tidak harus teman dekat. Ini benar – benar siapapun asal sudah kenal sebelumnya. Misalkan : Oh, nanti pengen masak sayur asem pake ikan asin ah. Eh ngundang Putri enak nih makan bareng. Jadi saya berkirim pesan ke Putri apa hari ini dia kerja apa tidak. Kalau tidak, saya ajak makan siang di rumah. Ini karena rumah Putri dekat dengan rumah saya haha. Segampang itu mengudang untuk makan di rumah. Entah kenapa, saya senang saja kalau bisa makan rame – rame. Suami saya pun tidak keberatan, malah dia sudah terbiasa dengan saya mengundang mereka yang tidak terlalu saya kenal dengan dekat. Ada juga sih peserta tetap yang biasanya akan saya ajak makan di rumah. Atau kalau saya sedang masak banyak tapi tidak sempat untuk ngundang, biasanya saya akan bagikan makanan tersebut dan minta dijemput karena tidak bisa mengantar ke rumah mereka. Ya mereka senang menjemputnya. Ada satu tetangga Indonesia sampai hapal, kalau saya sudah kirim pesan, pasti ada limpahan makanan untuk mereka :)))
Meskipun saya tinggal jauh dengan saudara dan teman – teman baik di Indonesia, saya pun tetap sering berkirim makanan buat mereka. Saya pesan ke restoran atau katering rumahan atau beberapa kenalan yang punya usaha bakery, beli untuk dikirimkan kepada mereka. Bahasa cinta lewat makanan tetap tersampaikan 🙂
Satu lagi yang jadi kebiasaan saya berhubungan dengan makanan, setiap main ke rumah teman atau kenalan, pasti saya akan membawa makanan. Pasti itu. Kalau acara ulang tahun pun biasanya saya akan bawa makanan juga, tapi tidak banyak. Misalnya, cupcake atau roti atau makanan lainnya. Untuk disimpan tuan rumahnya. Dan kalau kami mengadakan acara di rumah, saya selalu membuat porsi yang lebih. Tujuannya supaya tamu undangan ada yang dibawa pulang a.k.a bungkus bawa pulang. Tamu kenyang karena makanan di acara dan juga pulang ke rumah membawa makanan.
Itu kenapa sewaktu mudik, yang paling banyak saya bawa sebagai oleh – oleh, ya makanan. Pikir saya, kalau oleh – oleh makanan itu nyata adanya. Bisa langsung dimakan meskipun sisi kenangannya kurang. Karena langsung habis kan. Dan juga saat kembali ke Belanda, saya berkirim oleh – oleh makanan ke beberapa orang, keluarga di sini juga gurunya anak – anak. Semua saya beri oleh – oleh makanan khas beberapa kota yang saya singgahi selama di Indonesia.
Memang menyenangkan buat saya berbagi makanan. Ada yang menanyakan di twitter apakah saya melakukan itu semua hanya untuk mereka yang klik di hati? Tidak juga, saya melakukan itu untuk semua orang. Bahkan mungkin orang yang sedang tidak berhubungan baik, tetap saja saya berbagi makanan ke mereka. Pas kuliah beberapa kali adik kelas yang saya tidak kenal baik juga pengen ikutan makan di rumah, ya saya terima saja haha lumayan meramaikan suasana. Saya tidak bia sa pelit untuk urusan makanan. Entah kenapa, saya berpikir tidak akan pernah merasa dan menjadi rugi untuk berbagi makanan.
Tentu saja saya masak kalau sedang mood ya. Kalau tidak mood ya tidak saya paksakan, nanti bukannya merasa gembira malah tekanan batin :)))
Bahasa cinta lewat makanan, berbagi hasil masakan sendiri atau hasil baking, mengirimkan, dan mengundang orang – orang makan di rumah, ternyata memang menggembirakan buat saya. Ada rasa bahagia yang luar biasa dan kepuasan tersendiri melakukan hal tersebut.
Sekarang saya paham, bahwa yang selama ini saya lakukan dan tidak menyadari kalau itu juga merupakan bahasa cinta adalah Berbagi makanan.
Beberapa hari lalu, saya bertemu dengan seorang teman setelah kelas baking. Kami hanya berbincang sebentar karena memang waktu yang kami punya tidak banyak. Disela pembicaraan yang topiknya ke sana dan ke sini, dia lalu bertanya : Apakah ini yang ingin kamu jalani sekarang? Apa ini membuatmu bahagia?
Saya butuh waktu beberapa detik untuk bereaksi, mencoba untuk mencerna pertanyaannya. Nampak biasa tapi sebenernya pertanyaan yang sulit.
Hidup saya selama hampir 8 tahun di Belanda sangat jauh berbeda dengan kehidupan saya di Indonesia. Di negara yang pada akhirnya saya panggil sebagai rumah kedua, tempat di mana saya menciptakan sebuah keluarga, hidup saya jauh lebih baik. Secara batin, secara spiritual, secara kematangan berpikir, dan bahagia yang saya rasakan dari dalam.
Umur dan waktu jelas berpengaruh dengan diri saya saat ini. Sewaktu di Indonesia, saya jauh lebih muda dengan segala ambisi dan keinginan yang menggebu. Saya rasa, itu wajar. Ada banyak hal yang ingin saya kejar. Ada banyak penasaran yang ingin saya tuntaskan. Ada banyak puncak yang ingin saya taklukkan. Dan ya, saya sudah mendapatkan itu semua. Saya hanya menghidupi diri sendiri, tidak punya kewajiban menghidupi orangtua dan anggota keluarga yang lainnya. Saya hidup lebih dari cukup secara materi dan keduniawian.
Yang saya rasakan tidak wajar adalah, saya melakukan semua hal tersebut karena ingin membuktikan bahwa saya hebat, saya cemerlang, dan saya layak untuk mendapatkan pujian. Akhirnya saya merasa kelelahan karena selalu mengejar pengakuan khalayak ramai. Saya mendapatkan semua yang saya targetkan. Saya mendapatkan apresiasi yang besar. Saya sukses secara karier dan harta atas kerja keras penuh lelah. Namun saya lupa menanyakan apa diri saya bahagia. Saya lupa untuk melihat ke dalam apakah benar ini yang saya ingin lakukan. Saya selalu berlari seperti orang kehausan mencari sumber air tapi tak juga menemukan. Saya tak pernah puas ketika sudah sampai pada satu titik tujuan. Saya tersengal – sengal. Saya capek. Semua saya dapatkan. Namun jauh di dalam hati, saya kesepian, saya merasa sendiri di tengah segala apa yang saya capai. Ternyata, saya tidak sebahagia yang dipikirkan. Saya merasa kosong. Hati saya seperti pasar, ramai. Hati saya susah mendapatkan ketenangan. Kemrusung.
Ketika umur bertambah, lingkaran pertemanan makin mengecil, punya lingkungan baru untuk tempat hidup, jauh dari keluarga, sontak cara pandang saya pun berubah. Tidak dalam waktu yang singkat, saya akhirnya lebih bisa berdamai dengan pikiran dan keinginan. Saya belajar menerima diri sendiri. Saya punya kesempatan untuk jauh dari keramaian dan tidak lagi memenuhi ekpektasi banyak orang.
Saya belajar untuk meredam hasrat supaya dunia melihat saya. Saya belajar untuk membahagiakan diri sendiri, bukan apa yang orang lain ingin lihat dari saya. Saya belajar untuk sadar secara keseluruhan. Sadar pikiran, sadar hati, sadar jiwa, dan sadar perbuatan. Saya belajar untuk bersyukur dari hal sekecil apapun. Belajar menerima bahwa marah adalah hal yang wajar. Belajar memahami bahwa manusiapun punya waktu untuk rapuh, sedih. Saya belajar menerima semua perasaan tersebut. Menerima bahwa saya berhak untuk lelah. Menerima bahwa saya tidak harus bisa semua. Menerima bahwa saya ternyata bukan seorang pribadi yang mampu segalanya. Saya menerima bahwa saya punya keterbatasan. Dan itu, tidak apa – apa. Saya menerima diri saya sendiri, seutuhnya. Diri yang bertahun lamanya, tercampakkan oleh keinginan untuk diakui. Pengakuan yang tak pernah berujung untuk dituju.
Saya belajar untuk bahagia dengan cara yang saya inginkan. Saya, pada akhirnya tau alur hati untuk lebih tenang. Saya, yang seiring berjalan waktu lebih banyak berucap syukur secara sadar. Saya bisa merasakan bahagia yang asalnya dari hati, bukan dari pengakuan orang lain. Hati saya jauh lebih tenang. Otak yang selalu ramai dengan pikiran yang ke sana dan kesini, perlahan mulai reda. Resah dengan kekhawatiran yang berlebih akan apa yang terjadi esok dan lusa, perlahan mulai menurun kadarnya.
Saya belajar untuk menerima.
Butuh latihan panjang untuk sampai pada titik menerima diri sendiri apa adanya. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk bisa mencintai diri sepenuhnya. Butuh banyak dialog dengan pikiran maupun orang – orang yang bisa saya jadikan tempat untuk diskusi, bahwa saya ternyata tidak sehebat yang orang lain lihat selama ini. Saya akhirnya menerima konsep bahwa dunia ini hanya tempat singgah yang sejatinya butuh untuk dijalani sewajarnya saja. Segala hal yang diluar jangkauan, berusaha untuk tidak saya risaukan lagi.
Semua yang saya putuskan saat ini, yang saya jalani sekarang, yang saya rasakan hari ini, adalah hasil saya menengok ke dalam. Hasil dari saya banyak berdialog dengan diri sendiri. Tidak lagi saya sibuk berpikir apakah orang akan melihat saya hebat, apakah orang akan melihat saya sempurna, atau apakah mereka akan senang dengan pencapaian yang saya raih. Saya selesai dengan itu semua.
Saya menjalani hidup saat ini, hari per hari. Bersyukur untuk hari ini, besok jalani syukur yang lainnya. Jangan dibuat resah. Lelah cukup untuk hari ini, besok pasti akan ada lelah yang lainnya. Kesukaran untuk hari ini, cukupkan sampai di sini. Besok akan ada cerita yang lainnya. Semakin banyak syukur yang saya sematkan di hati, dengan segala naik dan turun hari per hari, semakin saya lebih bahagia dengan diri sendiri. Bahagia yang membuat tenang.
Apa yang saya lakukan saat ini, segala keputusan yang saya jalani sekarang, segala dinamika hidup yang saya hadapi langkah per langkah, sudah cukup untuk membuat saya bahagia tanpa resah dengan penilaian orang. Saya mencukupkan batin dan pikiran. Saya mencukupkan keinginan. Saya mencukupkan kebutuhan. Saya merasa cukup.
Batin saya lebih bahagia dan ingin menjalani apa yang sudah menjadi keputusan hidup saat ini, sekarang. Apa yang akan terjadi esok hari, nanti, ataupun bertahun di depan, lepaskan saja. Tak perlu saya risaukan. Hidup sudah ada takaran dan aturannya. Hidup sudah ada jatahnya.
Langkah per langkah, hari per hari. Cukup dan bersyukur. Bahagia untuk hari kemaren, saat ini, dan sekarang.