Tentang Menikmati Hidup

Hampir setiap hari saya menerima email dari mereka yang membaca blog kami. Dari bertanya tentang hal-hal yang berhubungan dengan persyaratan tinggal di Belanda, ujian bahasa Belanda, pernikahan dengan WN Belanda, pasar di Belanda, bahkan sampai bertanya harga cabe di Belanda. Tentu saja pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak saya jawab langsung karena memang tidak terlalu tergesa dilihat dari tingkat kepentingannya. Saya menunggu sampai bisa duduk manis di depan komputer karena saya tidak membiasakan diri untuk terlalu banyak menghabiskan waktu dengan telefon genggam. Selain pertanyan, tentu juga saya menerima email yang isinya tentang komentar bahkan nasihat. Komentar yang disampaikan berkaitan dengan saya pribadi, saya dan suami, maupun komentar tentang blog ini. Sedangkan nasihat, beberapa kali saya menerima masukan yang berhubungan dengan agama. Kadang ya bikin gemas, kadang ya biasa saja. Dan yang terakhir, tentu saja blog kami ini tidak luput dari kritikan. Semuanya kami terima, khususnya untuk saya, sebagai bahan evaluasi dalam menulis dan berbagi cerita, merenung, maupun sekedar bahan bacaan. Terima kasih untuk yang sudah meluangkan menulis email.

Dari sekian email, ada beberapa yang bernada serupa menanyakan atau memberi komentar betapa saya terlihat sangat menikmati hidup dan kehidupan selama di Belanda, terlihat dari cerita-cerita yang saya bagikan di blog ini. Mereka menanyakan bagaimana caranya beradaptasi dengan semua hal yang baru di Belanda atau caranya supaya hubungan dengan suami selalu baik-baik saja (karena ada beberapa yang menuliskan sepertinya hubungan kami lancar dari awal kenalan sampai menikah. Padahal saya tidak pernah bercerita sekalipun di blog ini tentang kehidupan sebelum pernikahan, tentang bagaimana kami bertemu sampai menikah). Saya tentu saja senyum-senyum membaca hal tersebut.

Apa yang kami tuliskan di blog ini murni adalah apa yang kami alami, apa yang kami pikirkan, apa yang kami jalani tanpa harus dipoles sana sini. Tetapi, tidak semua hal dalam kehidupan kami perlu dituangkan di sini. Ada banyak hal yang sekiranya berguna, tentu saja kami bagikan, siapa tahu ada yang memerlukan informasinya, atau ada beberapa pemikiran yang tertuliskan setidaknya kami belajar menyampaikan pendapat melalui tulisan. Tetapi ada banyak hal juga yang harus kami simpan sendiri, biarlah kami saja yang tahu, tidak perlu sampai dunia luas ini mengetahui setiap peristiwa yang terjadi. Buat saya, lebih baik menuliskan hal-hal yang membuat hati gembira, meskipun tidak dipungkiri beberapa tulisan di blog ini terinspirasi dari kisah sedih saya (atau kami), keresahan yang saya rasakan, atau kerinduan akan tanah air dan keluarga. Tetapi untuk hal-hal yang bersifat pribadi dan sangat pribadi, biarlah itu menjadi bagian kehidupan nyata kami. Mungkin karena beberapa hal tersebut yang kami terapkan dalam menulis blog, jadi terbaca bahwa saya nampak sangat menikmati hidup, selalu gembira, dan tidak pernah ada masalah.

Selama masih hidup, masalah akan selalu ada. Namanya juga manusia ya, siapa juga yang tidak pernah tertimpa masalah dari hal-hal yang kecil sampai yang nampaknya mustahil untuk diselesaikan. Hal tersebut berlaku juga untuk saya. Bedanya, mungkin karena saya jarang sekali berkeluh kesah di dunia maya (blog atau twitter), jadi nampak semua baik-baik saja. Padahal kalau mau ditelisik lebih dalam, ada saja masalah yang menghampiri. Bukan ingin menampilkan pencitraan yang baik-baik saja, tetapi saya lebih memilih untuk tidak terlalu berkeluh kesah di media sosial, karena untuk saya, tidak ada gunanya. Saya rasa orang juga males membaca kalau misalkan saya ngomel-ngomel terus di media sosial. Saya memilih untuk menyelesaikan masalah yang datang, menghadapinya, mencari solusinya, dan berdiskusi dengan suami. Sejak menikah, tentu saja tempat saya untuk berdiskusi adalah suami. Dari suami juga saya belajar banyak hal tentang penyikapan terhadap suatu masalah. Saya yang dulunya berjiwa senggol bacok, sekarang jadi lebih tenang kalau menghadapi sesuatu meskipun tetap sih sesekali “api” nya muncul, tapi setidaknya lebih terkendali. Kalau kami yang sedang bermasalah, maka masalah itu harus berhenti di kami, tidak sampai keluar. Bahkan dengan sahabat-sahabat dekat, saya tidak pernah bercerita sedikitpun tentang rumah tangga kami. Intinya, apa yang terjadi di rumah, jangan sampai seisi dunia tahu. Dan bersyukur sampai sekarang (dan mudah-mudahan  seterusnya) hal tersebut tetap terjaga dengan baik.

Menikmati Rujak Cingur dengan es kelapa
Menikmati Rujak Cingur dengan es kelapa, salah satu cara menikmati hidup haha.

Pernah suatu ketika, mantan atasan di perusahaan tempat bekerja di Jakarta bertanya apakah saya tidak rindu dunia kerja seperti dulu. Maksudnya kerja kantoran yang penuh waktu dan mengejar karier. Pertanyaan inipun pernah ditanyakan oleh suami. Dia merasa agak bersalah karena saya ke Belanda artinya saya harus beradaptasi lagi dari awal termasuk tentang pekerjaan. Saya menjawab pertanyaan itu : ada kalanya saya rindu tetapi saya menikmati apa yang ada sekarang. Bukannya saya tidak ingin mengejar karier dan bekerja sesuai dengan pengalaman serta latar belakang pendidikan, tetapi saat ini saya memilih bekerja karena ada hal baru yang bisa saya pelajari meskipun tidak ada jenjang karier dan masalah gaji juga biasa saja. Tetapi saya menikmati pekerjaan paruh waktu ini. Nanti, kalau sudah keadaan dan waktu memungkinkan, saya akan kembali bekerja sesuai dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman saya atau bahkan mungkin bekerja di bidang yang baru yang penting masih sesuai dengan minat dan dengan pendapatan yang lebih baik. Awal pindah memang saya masih sangat berambisi tinggi untuk mendapatkan pekerjaan yang saya inginkan dengan alasan : kalau yang di Indonesia bertanya, biar tidak malu menjawabnya. Masa sudah sekolah tinggi dan punya pengalaman kerja di sana, begitu nyampe sini dapat kerjanya yang biasa-biasa saja. Tetapi seiring berjalannya waktu dan kondisi, saya bertanya pada diri sendiri apakah saya ingin bekerja karena ingin memenuhi standar orang lain biar tidak dipandang sebelah mata atau saya ingin bekerja karena sesuatu yang memang saya sukai. Akhirnya saya memilih yang kedua, bukan karena saya tidak punya ambisi tetapi saya pernah ada pada kondisi yang pertama dan pada akhirnya saya malah tidak menikmati apa yang saya kerjakan hanya karena ingin dipandang hebat oleh orang lain. Saya sekarang memilih untuk hidup berdasarkan standar saya, bukan ditentukan oleh pujian atau sanjungan orang lain. Penghargaan dari orang-orang terdekat yang mengenal saya, itu lebih baik lebih dari cukup dibandingkan pujian dan sanjungan dari mereka yang tidak mengenal saya secara dekat.

Beberapa hari lalu, saya berbincang dengan seorang teman baik yang juga teman jalan di Belanda. Dia bercerita kalau ada kenalannya yang sedang bosan menjalani rutinitas hidupnya yang monoton dari rumah-tempat kerja-rumah setiap hari. Dia ingin kembali ke fase kehidupan sebelum saat ini yang bisa pergi ke kafe, belanja sesuka hati dll. Teman baik saya ini lalu mencontohkan saya (saya juga tidak tahu kenapa mencontohkan saya haha), “Sebenarnya yang perlu diubah adalah cara berpikir kamu. Mau dimanapun kamu hidup, harusnya sama saja kamu masih bisa menikmatinya kalau kamu tidak memikirkan lagi masa lalu. Lihat saja Deny, dia sangat menikmati hidupnya di sini. Melakukan apapun yang dia suka, mengerjakan yang dia senangi.” Lalu saya hanya terkekeh. Ada benarnya yang dia ucapkan. Saya menikmati apapun fase hidup yang saya jalani, termasuk saat ini. Sewaktu bekerja di Indonesia, saya menikmati sebagai pekerja kantoran yang hampir setiap hari stress dan lembur pulang dini hari. Iya, Jakarta keras Bung! pulang dini hari bahkan subuh sudah jadi makanan sehari-hari. Saya menikmati ke-stress-an itu karena ada hal-hal lain yang bisa saya nikmati yaitu bisa berkeliling Indonesia dengan gratis lewat perjalanan kantor. Sewaktu fase kuliah, saya juga menikmati setiap hari baru bisa tidur dini hari karena mengerjakan tugas dan laporan. Wanita dini hari lah pokoknya saya dulu haha. Walaupun capek, tapi teman-teman kuliah sangatlah menyenangkan sehingga lelah mengerjakan tugas agak tidak terlalu terasa karena kebersamaan dan gelak tawa dengan mereka bisa membasuh penat yang ada *tsaahh bahasanya :))). Pindah ke negara baru dengan kondisi yang jauh berbeda dengan negara asal pun sangat saya nikmati sekali. Saya berpikirnya karena akan ada banyak hal baru yang bisa saya pelajari, meskipun tidak dipungkiri sampai saat ini permasalahan utama saya masih seputar makanan (isi cuitan saya di twitter ya selalu seputar makanan). Tetapi karena saya pindah ke Belanda dengan penuh rasa kesadaran dan keputusan sendiri tanpa paksaan, pada akhirnya saya sangat menikmati kehidupan  di sini. Dari awal saya sudah mencari kegiatan yang saya suka, karenanya saya ikut menjadi sukarelawan, belajar bahasa Belanda di sekolah sehingga mengenal orang-orang yang baru, mulai mencari pekerjaan paruh waktu, jalan-jalan karena saya memang sukanya pecicilan jalan-jalan baik sendiri, bareng teman atau suami. Karena sudah terbiasa kemana-mana sendiri sejak di Indonesia, dari awal pindah ke Belanda saya tidak terpikir untuk segera mencari kenalan. Justru yang saya lakukan adalah mencari tempat wisata mana yang bisa saya kunjungi dan mengenal lingkungan sekitar sampai nyasar kemana-mana. Waktu itu saya berpikir, nanti sambil waktu juga bakal ketemu sendiri kenalan atau bahkan teman yang sreg dihati, jadi tidak usah terburu-buru. Karena sibuknya saya dengan berbagai hal baru, maka tidak ada kesempatan untuk kangen dengan Indonesia, tidak ada waktu untuk mengeluh ini dan itu, walaupun tetap kangen dengan keluarga di sana. Kalau ada yang bertanya,”kerasan tinggal di Belanda?” Saya mantab menjawab, “kerasan.” Entahlah, sampai saat ini saya belum pernah merasa bosan dengan keadaan di sini, kecuali sesekali bosan sarapan buah atau roti, inginnya sarapan nasi pecel *lah balik lagi ke makanan haha.

Jadi, kenapa saya nampak menikmati hidup? karena saya selalu melakukan apapun yang saya suka, tidak terlalu muluk-muluk dalam hidup, menikmati apapun yang menjadi pilihan hidup saya saat ini, berjalan berdasarkan standar hidup yang saya inginkan bukan berharap sanjungan dari orang lain ataupun melakukan sesuatu dengan harapan ingin dipuji orang. Jika ada yang memuji, saya anggap bonus. Jika tidak, ya tidak masalah. Saya tidak berhenti belajar akan banyak hal baru, berkeluh kesah hanya pada tempat dan sarana yang tepat, hidup pada saat ini dan berencana untuk masa depan bukan  berhenti pada ingatan masa lalu, menjadi diri saya sendiri dimanapun berada, punya sahabat-sahabat yang hampir 20 tahun bersama sampai saat ini, punya teman yang menyenangkan, dan yang terpenting adalah selalu bersyukur. Masalah pasti akan selalu ada, tinggal disikapi seperti apa. Mau diselesaikan atau hanya dilihat lalu ditinggal atau hanya dikoar-koarkan saja. Kita sendiri yang tahu jawabannya bagaimana menyikapi dan menikmati hidup. Ya intinya, nikmati dan jalani saja hidup dengan segala pernak perniknya. Kalau kata Ibuk, “ga usah kakehan nersulo, urip mung sepisan. Ojok keseringen ndangak, kesandung malah catu kabeh awak e”

-Nootdorp, 27 Juli 2017-

Betah di Madurodam – Den Haag

Dalam waktu beberapa minggu kedepan (sudah berjalan seminggu ini juga sih) saya akan menjadi pemandu wisata pribadi adik yang sedang berlibur ke Belanda. Yap!! akhirnya saya bertemu juga dengan adik yang selama 2.5 tahun tidak pernah saling berjumpa muka. Walaupun diawali dengan drama pesawat dan imigrasi, akhirnya adik sampai dengan selamat di Belanda seminggu lalu dengan -tentu saja- membawa barang titipan saya yang jumlahnya tidak seberapa banyak. Barang titipan yang didominasi oleh buku-buku berbahasa Indonesia (lebih dari 20 buku). Sedangkan titipan makanan hanya beberapa saja, salah duanya yang tidak boleh lupa adalah petis madura dan keju Kraft. Jangan heran kalau saya minta Ibu untuk memasukkan keju Kraft ke koper adik karena sudah kangen makan keju itu sejak lama. Ibu saja sampai bingung kenapa saya yang tinggal di negara keju malah minta dibelikan keju Kraft. Yah, namanya selera lidah, saya tidak terlalu cocok dengan keju Belanda. Sudah mencoba beberapa jenis, yang cocok hanya keju asap. Untuk makanan yang lainnya, saya tidak terlalu kepingin. Oh iya, bandeng asap dan otak-otak bandeng juga tidak ketinggalan diangkut. Yummm, terpuaskan sudah keinginan makan bandeng asap dan otak-otak bandeng.

Nah, karena adik akan lumayan lama liburan di Belanda (dan nanti ke beberapa negara tetangga juga), maka saya sudah menyiapkan daftar tempat mana saja yang akan dikunjungi. Tentu saja saya ikut mengantar disesuaikan dengan jadwal kerja dan cuaca di Belanda. Beruntung juga kerja paruh waktu sehingga bisa menemani adik berkeliling ke beberapa tempat wisata. Tapi yang jadi agak hambatan adalah cuaca. Akhirnya kalau hujan sedangkan saya tidak jadwal kerja, kami hanya berdiam di rumah. Tapi berdiam di rumah akhirnya jadi ajang cerita seru, banyak bercerita yang terlewatkan selama 2.5 tahun tidak saling bertemu karena kalau cerita di telfon kan terbatas waktu.

Madurodam - Den Haag
Madurodam – Den Haag
Miniatur Schiphol lengkap dengan pesawat yang beroperasi
Miniatur Schiphol lengkap dengan pesawat yang beroperasi

Minggu lalu saya mengajak adik ke tempat kerja karena mumpung cuaca cerah jadi saya berencana ke tempat wisata yang selama ini saya ingin kunjungi tetapi malas kalau sendirian ke sana. Sedangkan suami tentu saja tidak mau ke sini karena menurut dia terlalu turistik. Suami bilang nanti saja kalau Adik dan Ibu ke Belanda, saya bisa pergi sama-sama ke sini. Jadi setelah selesai kerja, saya dan adik langsung ke tempat wisata yang nampaknya wajib dikunjungi kalau ke Belanda atau paling tidak kalau berkunjung ke Den Haag. Tempat ini tidak jauh dari rumah kami bahkan beberapa kali saya selalu melewati depan bangunannya kalau sedang bersepeda dengan suami ke arah pantai Scheveningen. Akhirnya ada kesempatan juga mengunjunginya.

Madurodam
Madurodam

Saya dan Adik mengunjungi Madurodam. Jadi tempat ini adalah lokasi yang memajang miniatur tempat-tempat dan bangunan-bangunan bersejarah dan terkenal di seluruh Belanda. Entah kenapa sejak pertama datang ke Belanda saya selalu penasaran dalamnya Madurodam itu seperti apa. Untuk mencapai Madurodam, dari Den Haag Centraal bisa ditempuh dengan menggunakan tram no.9 arah Scheveningen dan berhenti di halte Madurodam. Saran saya, untuk membeli tiket masuk Madurodam, lebih baik membeli secara online karena akan mendapat potongan harga sebesar €3 sekaligus tidak perlu lagi mengantri panjang apalagi kalau musim liburan sekolah atau sedang musim panas. Waktu kami ke sana, sedang musim liburan sekolah. Tak heran isinya anak-anak kecil di mana-mana. Tapi itu tidak mengurangi ke khusyukan saya mengelilingi area Madurodam meskipun tidak bisa semuanya karena cuaca yang sangat panas sekali. Tak kuat saya, lelah akhirnya menunggu adik yang berputar ke seluruh area sambil makan popcorn dan memperhatikan anak-anak kecil kegirangan melihat beberapa miniatur yang bisa bergerak jika ada koin yang dimasukkan.

Madurodam - Den Haag
Madurodam – Den Haag
Miniatur pabrik klompen yang bisa mengeluarkan mini klompen
Miniatur pabrik klompen yang bisa mengeluarkan mini klompen trus diangkut dengan mini truk. Gemes deh lihatnya.

Masuk ke Madurodam ini seperti membangkitkan kenangan masa kecil yang selalu kegirangan jika melihat mainan. Apalagi melihat miniatur bangunan yang saya bayangkan seperti mainan yang bisa digerakkan. Melihat miniatur bandara Schiphol dengan pesawat KLM yang bisa bergerak, pabrik klompen yang bisa mengeluarkan klompen sungguhan, pabrik coklat yang mengeluarkan coklat mini. Saya jadi tidak berhenti menyunggingkan senyum selama di sana. Entah kenapa, girangnya bukan main. Apalagi kalau melihat mini kereta api yang sedang melintas, senang bukan kepalang. Kalau tidak karena cuaca panas yang bikin saya gerah, mungkin selama 3 jam kami di sana, bisa berkeliling ke seluruh area. Adik saya yang mengelilingi seluruh area yang memang tidak terlalu luas, juga merasa senang dengan Madurodam. Fasilitas di dalam Madurodam juga sangat membuat pengunjungnya nyaman. Toilet bersih dan tidak bau (penting bagi saya) serta gratis, beberapa tempat makan, kursi-kursi yang nyaman untuk beristirahat, disediakan stroller gratis juga bagi yang punya anak kecil dan tidak membawa stroller. Jalan setapaknya juga ramah bagi penyandang disabilitas.

Jadi jika ada yang sedang berkunjung ke Den Haag dan tertarik melihat miniatur negara Belanda, bisa berkunjung ke Madurodam. Meskipun buat saya tiketnya terbilang tidak murah, tapi wajib saya kunjungi karena tinggal tidak jauh dari sini. Buat bahan cerita, gitu haha. Saya sampai mengirim foto di depan Madurodam ke teman jalan di Belanda dengan keterangan. “Sah jadi turis dan sah tinggal di Belanda karena sudah berkunjung ke Madurodam!!”

Yiaayyy!! Sudah sah jadi turis dan sah tinggal di Belanda 😅
Yiaayyy!! Sudah sah jadi turis dan sah tinggal di Belanda 😅 Muka mencureng karena silau kepanasan

-Nootdorp, 23 Juli 2017-

Banyak Syukur di Lebaran 2017

Lebaran sudah dua minggu berlalu, tapi belum telat rasanya untuk mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri semoga kita semua dipertemukan kembali dengan Ramadan dan Idul Fitri di tahun-tahun mendatang dengan keadaan yang lebih baik, bahagia, dan sehat selalu menyertai. Bagaimana lebarannya? Semoga menyenangkan ya dengan bertebaran makanan enak dan berkumpul dengan keluarga, teman, serta orang-orang yang disayangi. Semoga lebarannya tidak langsung ternodai oleh pertanyaan-pertanyaan yang melelahkan hati.

Saya bersyukur lebaran kali ini dilewati bersama teman-teman dan keluarga di Belanda. Dua kali kumpul-kumpul dalam rangka lebaran bersama teman-teman (dan juga pasangan masing-masing serta anak-anaknya) juga dalam rangka ulang tahun suami (yang dirayakan bersama keluarga) karena jaraknya berdekatan. Kalau tahun kemarin lebarannya sendu karena tidak bisa sholat di Masjid karena kami sedang liburan ke Italia (saya tidak cukup informasi di mana pelaksanaan sholat Ied di La Spenzia), maka lebaran kali ini samgatlah ceria.

LEBARAN

Awal Ramadan, ada dua grup berbeda yang mulai mengusulkan untuk mengadakan kumpul-kumpul lebaran. Saya tentu saja senang karena jadwalnya tidak berbarengan. Jauh dari keluarga dan sesama perantau kalau lebaran memang enaknya kumpul-kumpul karena bisa menghilangkan rasa sedih karena tidak bisa berlebaran dengan keluarga di Indonesia (ini alasan saya sih, ga tau yang lainnya 😅).

Jadi setelah disepakati, pas hari lebaran acaranya diadakan di rumah kami dengan sistem potluck. Saya sih yang minta karena males masak haha. Mereka dengan senang hati membawa menu-menu lainnya sesuai kesanggupan dan setelah melalui rembugan. Jadi enak kalau begini, bisa merasakan banyak menu tanpa harus repot masak sendiri begitu banyak masakan. Maklum ya, semua harus dikerjakan sendiri ga ada rewang yang membantu jadi tenaga harus dihemat. Saya kenal dengan mereka ini dari Instagram (jaman saya masih punya) melalui uploadkompakan yang anggotanya tinggal di Eropa. Yang tinggal di Belanda sudah beberapa kali bertemu, jadi kami lumayan dekat lah.

Paginya saya sholat Ied dulu di Masjid Al-Hikmah di Den Haag. Sholat dimulai jam 9 pagi. Cuacanya bikin makin perasaan makin semriwing kangen keluarga karena mendung menuju hujan. Saya datangnya ternyata agak telat, jadinya dapat tempat di halaman Masjid. Mendengar suara takbir, membuat hati krenyes-krenyes. Kangen menyeruak dengan suasana sholat Ied di desa. Rindu sholat Ied di desa tanpa harus melihat orang-orang yang sibuk berfoto ria, selfie sana sini. Bersyukur sampai sholat selesai, hujan tidak turun meskipun terasa rintiknya. Oh ya, sewaktu saya sedang mencari tempat untuk menggelar sajadah, tiba-tiba ada yang menyapa, “mbak Deny, wah ketemu di sini.” Tentu saja saya bengong karena tidak mengenali yang menyapa. Ternyata dia salah satu pembaca blog ini dan beberapa kali kami saling berkirim email waktu dia akan pindah ke Den Haag dan bertanya beberapa hal tentang Den Haag. Cuma karena jadwal yang tidak cocok, kami tidak punya kesempatan untuk ketemu sampai dipertemukan secara tidak sengaja di Masjid. Menyenangkan akhirnya bertemu dengan yang selama ini hanya berkomunikasi lewat email.

Setelah sholat selesai, Saya bertemu satu teman di situ. Karena dia tidak ada acara, saya ajak saja ke rumah. Lumayan kan daripada dia luntang lantung (haha bahasanya). Dan saya harus cepat pulang ke rumah karena suami sedang ikut Half Marathon, jadi nanti kalau ada yang datang tidak ada yang membukakan pintu. Jam 12 siang, mereka mulai datang, berbarengan dengan suami yang juga datang. Sudah tidak sabar untuk makan, karena saya lapar haha. Saya masak sambel goreng kentang hati dan membuat lontong serta menyiapkan beberapa minuman. Sedangkan mereka membawa opor, rendang, lodeh labu siem, kerupuk, es buah, gorengan (tahu isi dan bakwan), tidak lupa sambel. Ada yang membawa kue juga untuk dimakan bersama teh dan kopi setelah makan besar. Beginilah penampakan makanannya :

Yummm!!
Yummm!!
Ini yang di piring saya
Ini yang di piring saya

 

Kami berkumpul di taman belakang rumah. Karena cuaca agak sendu, jadi makan agak khawatir juga kalau tiba-tiba turun hujan haha. Tapi itu tidak mengurangi betapa lahapnya kami menyantap hidangan lebaran di tanah rantau. Sementara pasangan masing-masing juga ikut merasakan suasana lebaran yang tercipta. Kami bercengkrama sehingga lupa sedih kalau lebaran jauh dari keluarga. Tidak hanya itu saja, kami memanfaatkan momen itu dengan berfoto sebanyak-banyaknya dengan berbagai macam gaya baik rame-rame maupun bersama pasangan masing-masing. Maklum, salah satu dari mereka adalah fotografer dan membawa kamera yang canggih pula, jadinya kami tidak menyiakan kesempatan *mumpung.

Betapa nikmatnya bisa merayakan lebaran bersama teman-teman, makan menu khas lebaran dan juga bercerita dan mengenal pasangan masing-masing. Kami tertawa terus, bercerita ini dan itu sampai tak terasa 4 jam ngobrol tiada henti. Syukur yang tak terkira.

Ini deretan yang perempuan, sementara pasangan ada di bangku sebelah. Entah kenapa ini saya kok tertawa ke sebelah sana
Ini deretan yang perempuan, sementara pasangan ada di bangku sebelah. Entah kenapa ini saya kok tertawa ke sebelah sana

 

Minggu depannya, acara kumpul lebaran diadakan di rumah salah satu teman yang biasa mengundang kami kalau ada acara. Suaminya memang sukanya bikin acara kumpul-kumpul. Yang pasti, kalau ada acara di rumahnya, makanan pasti melimpah ruah dan bisa dipastikan setelahnya kami bisa membungkus bawa pulang (ini bagian terpenting haha). Untuk acara kumpul lebaran ini, dia menawarkan kalau misalkan ada yang mau membawa makanan juga tidak apa-apa. Tidak pun tidak masalah karena makanan yang akan disediakan sudah cukup. Saya bilang akan membawa sambel goreng hati kentang pete (andalan, karena gampang masaknya).

Rujak serut, combro, dan beberapa kue tidak terfoto
Rujak serut, combro, dan beberapa kue tidak terfoto
Masih ada beberapa yang belum datang. Para pasangan berkumpul di taman belakang
Masih ada beberapa yang belum datang. Para pasangan berkumpul di taman belakang

 

Tentu saja pulangnya kami bisa bungkus makanan. Saya sudah mengincar rujak serut, combro, mie goreng, dan ote ote nya. Banyak ya mbungkusnya, lumayan bisa buat beberapa hari *niat haha. Bersyukur tidak masak beberapa hari dan senang bisa bersilaturrahmi dengan mereka yang sudah lama tidak ketemu. Saya dan suami juga dapat lungsuran beberapa barang dari yang punya hajat. Barang yang memang kami butuhkan kedepannya. Rejeki memang tidak kemana ya, lumayan sekali kami bisa menghemat.

ULANG TAHUN SUAMI

Keesokan harinya adalah hari ulang tahun suami. Karena angkanya adalah spesial, sehingga ultah kali ini dirayakan bersama seluruh keluarga. Kalau tahun kemarin dirayakan di Italia. Untuk acara kali ini, saya tidak memasak sendiri tapi pesan di Kios Kana milik Rurie (bisa dilihat di akun Instagramnya). Menunya adalah sate ayam, urap Bali, sambel bawang, Carrot cake, gado-gado, acar, dan Lumpia Semarang. Saya membuat es cendol nangka (setelah gagal sebelumnya, kali ini berhasil 😅) dan membuat lontong. Enak juga ya ternyata kalau pesan, tidak usah repot uyek di dapur. Kenapa menunya semua Indonesia sementara yang diundang adalah keluarga suami dan tetangga dimana mereka adalah orang Belanda? Karena mereka suka sekali dengan menu Indonesia terutama sate ayam, gado-gado dan es cendol. Senang seluruh keluarga bisa datang dan mereka menikmati sekali makanan yang disajikan serta bercerita tentang banyak hal.

Makanan acara ulang tahun
Makanan acara ulang tahun
Yang berulang tahun
Yang berulang tahun

 

Malam hari setelah hari ulang tahun, kami pergi menonton konser musik. Ini adalah pertama kali (dan mungkin satu-satunya) konser musik yang saya datangi tapi tidak tahu satupun lagunya haha. Lah kok bisa? Jadi waktu suami beli tiketnya, saya pikir dia beli cuma satu. Eh ternyata dia dengan sengaja memaksa saya untuk menemaninya menonton konser ini, meskipun dia tahu saya tidak tahu penyanyinya. Jadi ini adalah konsernya Brian Wilson, mungkin yang baca ini banyak yang tahu ya. Tapi saya memang tidak tahu. Jadinya sepanjang  2 jam ya saya menikmati musiknya tanpa tahu liriknya. Beruntung jenis musiknya masih bisa saya nikmati, jadi tidak terlalu garinglah buat saya (kan garing ya jadinya kalau saya tidak tahu liriknya, sementara musiknya pun tidak bisa dinikmati). Sementara suami menyanyi di sebelah.

Konser Brian Wilson
Konser Brian Wilson

 

Syukur yang tiada henti karena banyak berkah di lebaran tahun ini. Semoga suami yang bertambah bilangan usia selalu diberi kesehatan yang baik, umur yang berkah sehingga bisa terus bersama keluarga kecil kami sampai waktu yang lama, dan rejeki serta kebahagiaan yang menyertai. Semoga kami bisa menjadi lebih baik setiap waktu.

Lebaran yang menyenangkan, berkumpul bersama teman dan keluarga, banyak makanan enak, dan banyak syukur untuk rejeki-rejeki yang dititipkam pada kami.

-Nootdorp, 9 Juli 2017-


Ramadan Ketiga di Belanda

Saat saya menulis ini, Ramadan sudah memasuki malam ke-27. Bersyukur masih diberikan umur yang berkah dan kesehatan yang baik untuk kembali bertemu dengan Ramadan tahun ini dan menuliskan kembali pengalaman Ramadan di tanah rantau. Ramadan yang jatuh pada musim semi tidak serta merta membuat cuaca lebih sejuk dibandingkan tahun kemarin yang jatuh pada musim panas. Sejak awal puasa, cuaca di Belanda sudah sangat panas. Meskipun beberapa kali hujan mengguyur, tetapi selebihnya kembali panas. Pada hari pertama Ramadan, saya ingat betul waktu itu saya sedang ke Roermond bersama beberapa teman dan suhu mencapai 33°C. Musim semi rasa musim panas. Selama dua minggu terakhir cuaca stabil panas bahkan seminggu ini sampai 32°C. Saya kalau sepedahan ke tempat kerja sampai harus berhenti “ngiyup” kata orang Jawa saking ga kuat kepala -pening- dan gobyos berkeringat. Durasi Ramadan tahun ini kurang lebih tidak terlalu berbeda jauh dengan tahun kemarin, rata-rata 19 jam setiap hari. Semoga yang menjalankan ibadah puasa Ramadan selalu diberikan kekuatan dan kelancaran selama sebulan ini. Hari ini adalah hari pertama resmi musim panas dan juga sebagai siang terpanjang.

Jadwal puasa Ramadan dari KBRI di Den Haag
Jadwal puasa Ramadan dari KBRI di Den Haag

Setiap bulan puasa selalu istimewa untuk saya, khususnya sejak tinggal di Belanda. Ada saja pengalaman spesial yang saya dapatkan, juga berkah dan rejeki. Tidak terkecuali Ramadan tahun ini yang juga spesial untuk kami. Kegiatan selama Ramadan sekarang masih seputar kegiatan rutin bekerja, jalan-jalan, bersih-bersih taman, bersih-bersih rumah, dan kembali produktif baca buku (mudah-mudahan nanti saya sempat membuat review beberapa buku yang sudah saya baca). Yang masih belum kembali produktif yaitu memasak. Namun karena tanggal 18 Juni kemarin adalah Father’s Day, saya bertanya ke suami dia mau hadiah apa. Trus suami menjawab, “Kalau kamu sudah mood masak, aku kangen makan soto ayam buatan kamu. Itu saja kado yang aku minta.” Duh Mas, kok yo melas men tho. Saya antara kasihan dan ingin tertawa sebenarnya mendengar jawabannya. Terakhir saya memasak soto ayam buat dia sekitar 3.5 bulan lalu kalau tidak salah. Biasanya paling tidak sebulan sekali saya masakkan karena memang soto ayam adalah makanan favoritnya (bahkan sebelum menikah dengan saya). Akhirnya saya melihat stok bumbu di freezer, lha kok ndilalah masih ada satu porsi bumbu yang tersisa. Lalu saya membuat printilan lainnya seperti sambal dan kentang goreng. Karena malas memasak nasi, saya perbanyak saja bihunnya. Setelah saya hidangkan, dia lama sekali melihat saya lalu makan perlahan soto ayam tersebut. Lha trus orang ini kok ga ada komentarnya, diam khusyuk makannya. Lalu saya tanya, gimana apa enak soalnya saya tidak mencicipi. Dia bilang terharu sekali rasanya akhirnya bisa makan soto ayam setelah berbulan-bulan libur. Jadinya dia makan penuh perasaan. Owalaahhh saya ngikik haha.

Oh ya, di awal saya sempat cerita tentang pergi ke Roermond. Jadi Roermond ini kota di selatan Belanda yang terkenal dengan outlet brand-brand terkenal gitu (katanya ya) dengan harga agak miring dan terkenal diantara orang-orang Indonesia yang tinggal di sini ataupun mereka yang datang ke Belanda dengan tujuan berlibur dan berbelanja. Nah, beberapa kali teman saya mengajak ke sana, tetapi karena saya tidak suka berbelanja barang-barang kalau sedang tidak butuh, maka ajakan mereka selalu saya tolak. Pertengahan Mei, saya ingat kalau punya tiket kereta yang saya beli saat ada penawaran khusus dan bisa dipakai keliling Belanda satu hari penuh selama akhir pekan. Dan tiket ini akan hangus akhir bulan Mei. Wah, sayang, pikir saya kalau tidak digunakan. Saya lalu menghubungi salah satu teman jalan dan bertanya apakah ada rencana jalan bulan Mei ini. Dia lalu mengusulkan ke Roermond (kembali). Saya pikir daripada tiket hangus tidak dipakai, mending dipakai. Akhirnya saya setuju yang penting ketemu teman-teman dan makan-makan di rumah salah satu teman saya setelah jalan-jalan. Jadi agenda makan-makan lebih penting untuk saya haha. Saya sudah membayangkan kalau di Roermond nanti pasti penuh sesak dan akan bertemu dengan banyak orang Indonesia. Ternyata setelah memutari keseluruhan lokasi Outlet Roermond, tidak terlalu ramai dan tidak banyak saya jumpai orang Indonesia. Di salah satu outlet, ketika saya sedang melihat-lihat (dan berencana membeli), tiba-tiba ada yang menyapa saya, “Mbak Deny ya?” Lho, saya kan jadi kaget kok mak bedundug ada yang menyapa. Dia lalu memperkenalkan diri dan memberi tahu kalau dia adalah pembaca blog kami. Jadi ketika dia melihat saya, dia menebak kalau itu adalah saya. Ada gunanya juga memajang foto di blog haha. Hai Sari, kalau kamu membaca tulisan ini, maaf waktu itu tidak sempat pamitan. Terima kasih sudah menyapa saya. Semoga lancar kuliah kamu. Selain jalan-jalan ke Roermond, pada tulisan sebelumnya saya bercerita tentang liburan kami ke beberapa kota. Selebihnya pada akhir pekan kami habiskan ngadem  di rumah dan jalan-jalan ke danau atau hutan didekat rumah. Rencana untuk ke pantai sejauh ini masih sebatas rencana karena saya masih tidak kuat kalau panas cetar begini harus ke pantai. Kalau cuaca bagus seperti ini, di danau dekat rumah pun penuh dengan orang yang sedang berjemur atau berenang atau BBQ an. Jadinya ya di mana-mana intinya ramai karena semua orang keluar rumah menikmati sinar matahari.

Danau dekat rumah ketika sedang sepi
Danau dekat rumah ketika sedang sepi

Kalau sudah mendekati lebaran begini, ada perasaan sedih yang menyelinap. Tidak bisa dipungkiri kalau saya sangat rindu merasakan suasana lebaran terutama di desa kelahiran saya. Suasana malam takbir, suasana setelah sholat Ied, suasana saling silaturrahmi dan kumpul keluarga, dan yang paling ditunggu adalah momen makan-makan dengan masakan khas keluarga seperti jangan laos, pecel pitik, lodho, jangan lodeh tempe tahu yang super pedes, dan kue kue lebaran khas keluarga di desa. Rindu semuanya. Semoga diberikan umur yang berkah dan kesehatan yang baik untuk kami sekeluarga bisa berlebaran di Indonesia dan marasakan syahdunya berlebaran bersama seluruh keluarga di sana.

Untuk yang sedang bersiap mudik ataupun sudah dalam perjalanan, semoga diberikan kelancaran dan selamat berkumpul bersama seluruh keluarga di hari lebaran. Semoga kita semua dipertemukan kembali dengan Ramadan dan Lebaran tahun-tahun selanjutnya dalam keadaan yang lebih baik. Bagi yang tidak bisa kumpul keluarga saat lebaran nanti karena beberapa hal misalkan jauh dari tanah air seperti saya, tetap Semangat!!

-Nootdorp, 21 Juni 2017-

Melipir ke Zeeland, Antwerp, Brugge, Ghent, dan Lille

Brugge

Minggu pertama Ramadan, kami pergi berlibur beberapa hari ke beberapa kota yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat kami tinggal. Meskipun tidak terlalu jauh, tapi lumayan hitungannya ke luar negeri karena tujuannya ke Belgia dan menclok sebentar ke Perancis. Enaknya tinggal di sini, nyetir sebentar sudah kepleset ke negara tetangga *hahaha ini sok banget, tapi memang iya. Ini sebenarnya liburan agak dadakan. Dikatakan dadakan karena rencana liburan kami bukan di akhir bulan Mei. Tetapi karena cuaca sedang bagus, suami butuh rehat sejenak dari rutinitas kantornya, dan saya juga butuh melemaskan badan supaya tidak nglimpruk saja, akhirnya terpikir untuk jalan-jalan sebentar ke negara yang belum pernah saya kunjungi meskipun letaknya bersebelahan, yaitu Belgia. Diputuskan kami ke kota Antwerp, Brugge, dan Ghent sewaktu di Belgia lalu mampir ke Lille yang terletak di Perancis. Namun sebelumnya kami ke Zeeland dulu yang ada di Belanda. Cuaca saat itu sedang cerah cenderung panas untuk ukuran saya, selalu diatas 25ºC yang menyebabkan botol minuman 2L tidak sampai 8 jam sudah kosong kembali. Ngelak rasane pengen nggowo galon. Di setiap kota ini kami menginap satu malam lalu pindah ke kota selanjutnya keesokan hari. Karena kali ini adalah jalan-jalan yang super santai sekali, jadi kami tidak ada target tempat wisata mana saja yang akan didatangi. Tetapi tetap dong kami ingin mendatangi beberapa tempat yang terkenal dari setiap kota. Untuk memudahkan, kami ikut Free Walking Tour selama di Belgia. Ini tour jalan kaki gratis tetapi tentu saja tidak mungkin 100% gratis karena kami memberikan imbalan sepantasnya untuk pemandunya. Jadi hampir setiap hari selama liburan ini, seperti biasa kalau liburan, kami berjalan kaki sejak pagi sampai menjelang malam yang masih terang benderang (jam 10 malam saja masih terang). Kalau dilihat dari aplikasi, kami rata-rata 10km an jalan kaki setiap hari.

Zeeland

Pagi hari pada saat berangkat ke Zeeland, awan pekat bergelayut dan angin kencang sekali. Kami mikir, wah ga seru ini kalau hujan karena lokasi yang akan kami datangi terletak di pinggir laut. Bahkan kami berencana naik kapal laut. Lah kan ga lucu ya kalau naik kapal trus hujan deres. Ternyata sampai sore hujan tidak datang bahkan sorenya matahari nyentrong sekali. Rencana naik kapal laut dibatalkan karena kami sampainya terlalu pagi di Deltawerken. Akhirnya kami putuskan untuk mengunjungi beberapa kota yang ada di Zeeland. Kami mendatangi Middelburg (ini pusat kotanya Zeeland), Vlissingel, Veere lalu kami menginap di Zierikzee. Dari beberapa kota tersebut yang paling nyantol  di hati adalah Zierikzee karena meskipun kotanya lebih kecil dibanding 3 kota lainnya yang kami kunjungi, tetapi tata kotanya apik, pinggir pelabuhan, ada beberapa kastil, dan penginapan kami persis depan sungai yang ada museum bahari. Kamar yang kami tempati juga besar sekali dengan interor dalamnya seperti kastil, atapnya tinggi menjulang. Kotanya juga sepi jadi terkesan romantis *halah iki dipas-pasno. Selama di Zeeland, saya terpuaskan melihat kapal-kapal bersandar. Maklum, anak pesisir melihat kapal saja sudah senang apalagi bisa naik kapal.

Veere, Zeeland
Veere, Zeeland
Middelburg, Zeeland
Middelburg, Zeeland
Vlissingen, Zeeland
Vlissingen, Zeeland
Zierikzee, Zeeland
Zierikzee, Zeeland
Zierikzee, Zeeland
Zierikzee, Zeeland

Antwerp

Meskipun Antwerp jaraknya tidak jauh dari rumah, 1.5 jam berkendara, ini kali pertama saya berkunjung ke sini. Biasanya kalau tempat yang dekat tidak segera didatangi itu kan alasannya : ah, nanti saja ke sana, dekat ini. Sampai Antwerp, kesan pertama yang saya sampaikan ke suami : wah, seperti Den Haag ya lagi renovasi di mana-mana. Namun tentu saja Antwerp jauh lebih besar daripada Den Haag. Pusat perbelanjaannya saja panjang membentang dan ada beberapa kawasan. Akhirnya kesampaian juga ke Stasiun keretanya yang tercatat sebagai salah satu stasiun kereta tercantik di dunia. Dan memang, cantik sekali juga besaaarr. Hari pertama sampai kami langsung menuju Grote Markt untuk bergabung dengan Free Walking Tour yang berkumpulnya di sana. Pesertanya tidak terlalu banyak dan pemandunya juga menyenangkan. Dia ini pintar sekali bercerita, sampai saya merasa seperti sedang didongengi karena ternyata Antwerp ini banyak sekali cerita legendanya termasuk darimana kata Antwerp berasal. Hanya satu, jalannya cepat sekali. Saya terengah-engah mengikutinya dan sering ketinggalan. Mbak pemandu seringkali kasihan melihat saya ketinggalan dan akhirnya jalannya dipelankan. Suami saya juga ga srantan nunggu saya jalan dan agak kasihan juga nampaknya melihat saya jalan terengah-engah, akhirnya tas ransel saya yang imut, dia yang bawa. Mungkin maksudnya untuk mengurangi berat di badan :)))) Kebanyakan makan waffel sama es krim haha. Oh iya, sewaktu kami di Antwerp, bertepatan dengan hari rabu akhir bulan sehingga akses untuk masuk ke semua museum di Belgia gratis. Tentu saja kami tidak mau melewatkan kesempatan itu. Suami memilih untuk ke Rubenshuis, rumah dari pelukis terkenal di Antwerp yang sekarang dijadikan museum.

Stasiun Kereta Antwerp
Stasiun Kereta Antwerp
Kastil di Antwerp
Kastil di Antwerp
Waffel di Antwerp
Waffel di Antwerp
 
Risotto Funghi di Zeeland
Risotto Funghi di Zeeland

Enaknya ikut Free Walking Tour kalau tidak punya banyak waktu di satu kota adalah kami tidak perlu repot-repot mencari lewat peta tempat-tempat di kota yang bersangkutan. Kami akan dipandu dan tentu saja diceritakan kisah dari setiap bangunan atau tempat tersebut. Ditambah lagi, diberikan rekomendasi makanan apa yang patut dicoba serta jika masih ada waktu lebih diajak ke tempat yang tidak terlalu banyak dikunjungi turis. Tour berakhir setelah 2 jam berjalan kaki tidak berhenti dibawah matahari yang aduhai panasnya. Tapi saya beberapa kali colongan duduk sih haha. Sewaktu di Antwerp, saya mencoba Waffel, suami makan Frieten (kata pemandu tour, jangan sekali-kali menyebut French Fries di Belgia, tetapi Frieten), sedangkan saya makan malam dengan Risotto. Jangan heran kenapa jauh-jauh ke Belgia makannya kok Risotto, ya karena memang sedang ingin makan itu. Padahal malam sebelumnya saya sudah makan Risotto di Zeeland. Hidup Risotto!

Brugge

Keesokan harinya kami ke Brugge. Saya sudah niat sekali kalau di Brugge mau naik kapal yang menyusuri sungainya. Saya lihat di internet seperti itu. Padahal naik kapal menyusuri kanal-kanal di Amsterdam saja saya belum pernah haha. Kalau di Amsterdam kan bisa kapan-kapan. Jam setengah 2 siang, kami langsung gabung Free Walking Tour. Wuiiihh tempat berkumpulnya di Grote Markt rameee sekali dengan anak-anak sekolah. Saking semangatnya Pemandu di Brugge ini, dia membawa kami berkeliling Brugge sampai 3 jam, sampai dibawa blusukan segala. Rencana saya untuk naik kapal akhirnya saya batalkan. Ku tak sanggup panasnya dan saya mulai kliyengan lihat orang banyak. Maklum, memang sejak saya kecil tidak bisa berada di tengah keramaian, langsung pusing kepala. Saya yang biasanya petakilan naik ke menara untuk melihat sekeliling kota dari ketinggian, kali ini harus rela melepaskan suami sendirian naik menara. Kondisi sedang tidak mumpuni untuk pecicilan ke atas setelah jalan kaki 3 jam *halah, mumpuni :))) Legrek maksimal!

Di Brugge, kami pesta coklat, makan coklat setiap saat. Suami yang memang coklat mania sampai beli beberapa jenis coklat. Brugge meskipun ramai dengan turis, tetapi masih nyaman karena banyak tempat-tempat kecil yang unik.

Brugge
Brugge
Brugge
Brugge
Borong coklat di Brugge
Borong coklat di Brugge

Lille

Lille terletak di Perancis, dekat dengan perbatasan Belgia. Kami sampai di Lille sudah menjelang sore karena siangnya masih kelayapan di Brugge. Karena di Lille kami tidak ikut tour apapun, jadi acaranya memang sangat santai. Kami mengunjungi museum lukisan (disetiap liburan kami, mengunjungi museum adalah wajib untuk suami. Sementara istrinya kebanyakan duduk-duduk saja -seperti biasa- kalau sedang di museum). Sebenarnya saya tertarik dengan museum lukisan, tapi ya tidak seperti suami yang selama 3 jam khusyuk melihat satu persatu lukisan.  Kalau saya, ya seperlunya saja. Kami ke The Palais des Beaux-Arts yang merupakan museum terpenting kedua di Perancis setelah Louvre. Museumnya sedang dalam proses renovasi. Museum ini besar sekali, tidak hanya berisi lukisan tetapi juga maket dari beberapa kota di Perancis dan Belanda pada jaman dulu.

Setelah dari sana, kami melanjutkan menjelajah pusat kota Lille sampai menjelang malam dan tiba-tiba hujan deras mengguyur. Kami berteduh di emperan toko dan jadi bernostalgia sewaktu suami (waktu itu masih calon) ke Surabaya. Setelah kami dari House of Sampoerna, tiba-tiba hujan deras. Kami berteduh di tempat orang jualan rujak cingur haha.

The Palais des Beaux-Arts, Lille
The Palais des Beaux-Arts, Lille
Lille, Perancis
Lille, Perancis

Ghent

Keinginan untuk naik perahu menyusuri sungai akhirnya keturutan di Ghent. Entah karena akhir pekan atau memang sedang musim liburan, Ghent penuh berjejal orang. Kami ikut Free Walking Tour jam 2 siang. Selama dua jam, kami berkeliling ke beberapa tempat penting di Ghent. Hotel yang kami tempati tepat didepannya pelabuhan Ghent pada jaman dulu, yang juga sebagai tempat nongkrong karena banyak sekali orang duduk di pinggir sungai sambil makan waffel atau es krim atau hanya sekedar berbincang.

Kastil di Ghent
Kastil di Ghent
Ghent
Ghent
Ghent
Ghent
Waffel di Ghent
Waffel di Ghent

Selama liburan, saya kenyang makan Risotto, Waffel, es krim. Sementara suami sangat menikmati Frieten. Selamat berakhir pekan!

Di Ghent
Di Ghent
-Nootdorp, 15 Juni 2017-

Semua Ada Saatnya

Disuatu waktu -mungkin setahun lalu- seorang kenalan yang sudah lama tidak saling berkirim kabar dengan saya mengirimkan pesan dan bertanya tentang beberapa hal lalu terjadilah pembicaraan diantara kami melalui aplikasi kirim pesan. Kemudian saya pikir pembicaraan kami sudah berakhir. Ternyata saya salah. Dia melanjutkan dengan pertanyaan, “Bagaimana, apakah ada rencana program anak?” Mengingat hubungan kami yang hanya sebatas kenalan dan lama tidak saling bertukar sapa, saya tentu saja kaget dengan pertanyaan seperti itu. Saya lalu bertanya kembali, “kenapa?” Saya lupa dengan jawaban dia. Karena saya sedang “bolong atine” -kata orang Jawa- maka saya jawablah pertanyaan dia, “Saya dan suami santai untuk masalah anak, karena punya anak sama halnya dengan pernikahan : adalah pilihan bukan kewajiban. Semua ada saatnya, kami tidak pernah memaksakan apa yang sudah jadi ketetapanNya.” Dia lalu tidak membahas lagi dan harapan saya dia cukup teredukasi dengan jawaban saya seperti itu. Beberapa bulan kemudian -sialnya- saya bertemu dia lagi dalam sebuah kesempatan. Setelah berbasa basi yang tidak penting, dia melontarkan pertanyaan yang sama mengenai anak dan apakah kami mengikuti program untuk memiliki anak. Saya agak lama lumayan mengernyitkan dahi sebelum merespon pertanyaan dia. Kalau mengingat kembali bagaimana dia dulu sangat sensitif kalau ada yang bertanya anak dan setelah punya anak kenapa dia jadi ringan mulut bertanya perihal anak kepada orang-orang yang belum atau memilih tidak punya anak, apakah dia tidak ingat bagaimana dia dulu sampai menarik diri dari media sosial hanya karena tidak sanggup melihat teman-temannya yang selalu memposting foto-foto anak mereka. Karena saya tidak cukup cepat memberikan respon, dengan tidak sopannya dia bertanya kepada suami yang memang sedang ada di sebelah saya. Jawaban suami saya cukup menampar -untuk ukuran orang waras ya- “Kami sangat menikmati waktu bersama, ada atau tidak ada anak. Saya yakin semua sudah ada saatnya kapan waktu yang tepat kami memiliki anak jika memang kami ingin punya anak. Keberadaan anak bukan jadi tolok ukur kebahagiaan kami. Belum ada anak, hidup harus terus berjalan kan dan tidak perlu pusing memikirkannya apalagi sampai stress sendiri. Apapun yang jadi keputusan kami, orang lain yang tidak punya hubungan dekat dengan kami tidak perlu tahu. Hidup dan rencana kami cukup keluarga dan mereka yang sangat dekat dengan kami yang layak tahu. Diluar itu, tidak ada kewajiban bagi kami untuk memberitahu.” Kenalan saya lalu terdiam, kicep tak bersuara. Saya senyum-senyum mendengar suami saya ngomong panjang lebar sambil dalam hati ngomong “kapokmu kapan!”

Yang akan saya garis bawahi dari sekilas cerita di atas adalah bukan perkara kelancangan kenalan bertanya tentang hal-hal pribadi yang memang tidak patut ditanyakan ataupun perkara tentang anak. Semua ada saatnya, itulah yang ingin saya kemukakan pada tulisan kali ini. Dulu saat darah muda masih bergejolak, kalau sedang terjatuh dan gagal lalu ada yang memberi nasehat, “sabar, mungkin memang belum saatnya,” pasti deh saya langsung bersungut-sungut. Rasanya kesal sekali dengan setiap orang yang memberi nasehat seperti itu. Saat putus dengan pacar yang nampaknya sudah didepan mata akan jadi jodoh seumur hidup tenyata njekethek cuma numpang lewat kisah asmara aja lalu saya menangis dan ngelangut selama seminggu (saya kalau putus cinta selalu memberi batasan pada diri sendiri sedih maksimal seminggu. Lewat dari seminggu, hidup harus berjalan lagi tanpa harus menengok kisah kasih yang tak sampai). Saat lagi sedih-sedihnya pasti akan ada yang kasih nasehat, “tidak usah terlalu dipikirkan, mungkin memang belum jodohnya, belum saatnya,” dan saya selalu kesal dengan nasehat seperti itu. Masih banyak contoh-contoh lainnya waktu saya masih dalam pencarian jati diri dulu.

Seiring bertambahnya umur dan bertambahnya pengalaman hidup yang asem manis pahit pedes maupun seger, saya yang sampai saat ini percaya dengan campur tangan dan keberadaan Tuhan dalam setiap sendi kehidupan saya, semakin mengerti  konsep Semua ada saatnyaDulu saya belum tahu dan tidak terlalu paham tentang hal tersebut. Maklum, dulu hanya mengedepankan logika tanpa pemahaman. Saya belum tahu bahwa tidak semua harus sesuai keinginan dan kehendak saya. Ada hal yang sudah saya perjuangkan sedemikian hingga tapi ternyata hasilnya diluar kuasa, gagal, mungkin memang belum saatnya untuk berhasil atau akan diganti dengan yang lebih baik. Pada waktu itu konsep berserah masih belum saya genggam dengan kuat dan sampai kapanpun akan menjadi pembelajaran yang tanpa henti selama nafas masih ada. Berserah dan ikhlas. Semua memang ada saatnya.

Ada saatnya melepaskan jika memang sudah bukan waktunya jadi milik kita lagi. Hal ini saya rasakan saat Bapak meninggal. Meskipun butuh waktu untuk ikhlas, tapi kalau sudah kembali berpikir bahwa memang sudah saatnya Bapak berpulang ke penciptaNya, saya bisa apa.

Ada saatnya terjatuh lalu butuh perjuangan untuk bangkit, ya memang mungkin caranya seperti itu. Yang saya selalu ingat adalah selama saya sudah mengerahkan kemampuan untuk berjuang lalu berdoa dan berserah tentang hasil (berserah ya bukan pasrah), hasil akan mengikuti usaha yang telah saya perjuangkan. Bisa jadi sesuai yang diinginkan, diberikan yang lain yang lebih baik atau justru tidak diberikan apapun dengan kemungkinan bahwa memang itu yang terbaik untuk saya.

Ada saatnya perkara-perkara dalam hidup memang harus diperjuangkan sekuat tenaga, pikiran, hati dan iman. Tetapi diluar itu, yang selalu saya imani adalah ada kekuatan yang memang tidak bisa saya lawan karena hal-hal seperti rejeki, maut, dan jodoh memang sudah ditentukan.

Ada saatnya sedih, ada saatnya gembira. Ada saatnya senyum, ada saatnya marah. Ada saatnya bekerja, ada saatnya berlibur.

Semua ada saatnya.

Jika memang saat itu belum tiba, nikmati saja waktu yang ada. Lakukan hal-hal membuat hati senang karena waktu tidak bisa diputar kembali. Untuk apa menghabiskan detik tanpa hal yang berarti sibuk merutuki diri sendiri ataupun keadaan. Lebih baik melakukan banyak hal yang bermanfaat dan sibuk memantaskan diri.

Dan jika suatu hari saat itu tiba, apapun itu, berarti saya dirasa sudah mampu untuk menjaga hal tersebut dan masuk dalam ketetapanNya. Saya selalu yakin bahwa semua akan datang pada saat yang tepat, tidak datang terlalu cepat maupun datang terlambat. Pas pada waktu yang telah ditentukanNya.

Saya selalu menempatkan diri saya seperti ini : Jika ada sesuatu yang tidak saya ketahui dari orang lain lalu dikemudian hari saya tahu tapi sudah lewat masanya, ya berarti saya tidak cukup layak untuk mendapatkan berita tersebut langsung dari si empunya pada saatnya. Begitupun sebaliknya karena tidak semua hal akan saya bagikan kepada semua orang seperti yang pernah saya tulis pada postingan ini.

Ada saatnya kita tidak harus tahu semua hal yang terjadi dari semua orang. Ada saatnya kita tidak selalu menjadi garda terdepan yang harus selalu tahu.

Bagi yang sedang memperjuangkan apapun itu, tetap semangat untuk berjuang dan berdoa serta jangan lupa untuk bahagia. Karena hidup di dunia hanya sekali, yuk pergunakan waktu sebaiknya dengan hal-hal bermanfaat. Tidak perlu terlalu resah memikirkan apa yang diluar kuasa kita.  Tidak perlu pusing dengan pertanyaan yang tak penting. Kita hidup sesuai dengan apa yang kita inginkan, apa yang membuat kita bahagia dari dalam diri, bukan untuk memenuhi standar hidup orang lain ataupun untuk menjawab pertanyaan orang lain. 

Bagi yang sudah mendapatkan apa yang sudah diperjuangkan, selamat dan jangan lupa bersyukur serta tidak menjadikan hal tersebut kita tinggi hati dan lupa diri. Tetaplah berjuang untuk hal-hal selanjutnya. Karena konon, hidup selalu penuh perjuangan.

Semua selalu ada saatnya, apapun itu.

-Nootdorp, 11 juni 2017-

Where is the Love?

Saya tidak pernah sepemikir ini mikir tentang apa yang terjadi di dunia, akhir-akhir ini khususnya. Entah kenapa nyesek sekali sampai-sampai sulit membendung air mata. Biasanya juga saya mikir, tapi tidak sampai se-mikir sekarang. Apa yang terjadi beruntun membuat pertanyaan sederhana muncul di benak saya, “Di mana cinta saat ini berada?” Kebencian seperti merajalela, mengalahkan cinta yang sejatinya ada dalam setiap manusia. Politik, agama, kekuasaan seakan menjadi kendaraan untuk menebar jala-jala amarah yang semakin membara. Tentu saja selalu ada korban yang jatuh, mereka yang tidak mengerti apa-apa, nyawa melayang, ketakutan, kelaparan, kemiskinan, kebingungan harus pergi ke mana mencari tempat untuk berlindung.

Saya rindu pertemanan yang penuh cinta, tanpa harus menuding ini atau itu kafir ataupun beraliran A atau B hanya karena cara pandang yang berbeda, seolah-olah yang paling benar dan yang berbeda dianggap salah dan layak untuk disalahkan. Hey, jika Tuhan mau, bisa saja Dia menciptakan hanya satu agama ataupun tidak beragama semua. Tetapi tidak seperti itu, karenanya Dia menciptakan perbedaan. Saya rindu pertemanan yang jauh dari prasangka dan kemudian hari tidak porak poranda karena pilihan politik ataupun pendapat yang berbeda. Kenapa tidak berpikir sederhana bahwa berbeda itu indah.

Saya rindu suasana menjelang Ramadan di mana anak-anak kecil berarak keliling desa membawa oncor dan kentongan sepulang Taraweh malam pertama. Mereka menyerukan kegembiraan dan tidak sabar menunaikan puasa Ramadan. Kecintaan mereka akan hadirnya bulan Ramadan. Bukan anak-anak kecil yang dikekang cara berpikirnya dengan ajaran kebencian penuh doktrin, berarak bukan untuk menebarkan kegembiraan tetapi meneriakkan kalimat-kalimat penuh amarah yang saya yakin mereka sendiri tidak paham apa arti sebenarnya saat mereka bersuara “bunuh bunuh!.” Betapa sedihnya saya membayangkan bagaimana hidup anak-anak itu nanti kedepannya jika saat ini saja lingkungan mereka mengajarkan kedengkian.

Saya sedih melihat Negara saya menjadi seperti ini. Jangan bilang bahwa saya hanya mengikuti apa yang terjadi di Indonesia hanya lewat TV, media sosial ataupun radio. Saya masih punya banyak keluarga dan teman-teman baik di Indonesia, baik yang tinggal di kota besar maupun di desa. Saya mendapat cerita dari mereka, dari cerita paling baik sampai yang paling buruk. Sungguh, saya sedih sampai tidak tahu harus menulis apa pada bagian ini. Kemarahan, hujatan seakan menjadi hal yang lumrah saat ini. Apakah bangsa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang ramah sekarang hanyalah mitos belaka? Apa yang sebenarnya ingin diperjuangkan atau dibela? Tuhan? Yakin bahwa ingin membela Tuhan, bukan hanya ingin memperjuangkan kepentingan golongan atau ego semata lalu agama yang dibawa-bawa? Tuhan itu Maha apapun dari segala ciptaanNya.

Saya rindu Masjid, Surau, Musholla menjadi tempat beribadah dan menimba ilmu, bukan sebagai tempat dakwah dengan materi yang disampaikan penuh rasa amarah. Berteriak dan bersuara kencang menjelekkan mereka yang berbeda keyakinan. Tidakkah mereka lelah menebarkan kebencian? Jika ingin menyebarkan ajaran kebaikan, lakukanlah dengan cara yang santun dan baik pula dan penuh cinta. Jika ada yang ingin mengatakan bahwa ini hanya propaganda media saja, saya dengan sangat yakin mengatakan bahwa saya mengalami ini saat masih mengais rejeki di Ibukota dan ternyata masih berlangsung sampai saat ini, tidak hanya di Ibukota saja

Saya rindu dunia yang damai, yang penuh rasa cinta terhadap sesama meskipun banyak perbedaan yang ada.

Namun saya selalu optimis bahwa masih banyak orang baik di dunia ini, yang tidak pernah mempermasalahkan dan mempertanyakan agama kamu apa, suku kamu apa, asal kamu dari mana, atau apapun itu. Masih banyak orang yang punya rasa cinta dalam hati mereka yang akan selalu menebarkan kebaikan tanpa pandang bulu dan tanpa pamrih. Masih banyak orang jujur meskipun jalan mereka terjal berliku untuk menegakkan kejujuran. Masih banyak keluarga yang merangkul anak-anak mereka penuh cinta dan mengajarkan bahwa perbedaan itu sangatlah indah. Masih banyak hal-hal optimis yang saya simpan dalam hati dan pikiran tentang kebaikan di dunia ini. Jika harapan saya akan dunia ataupun Indonesia terlihat dan terdengar sangat muluk, maka saya akan melakukan apa yang saya bisa saat ini. Mulai dari keluarga kecil saya, kami membangun dari banyak sekali perbedaan. Tapi karena semua berawal dari cinta dan kasih sayang, semoga kedepannya kami selalu bisa menularkan cinta dan sayang yang kami punya pada lingkungan terdekat, pada orang-orang yang kami sayangi. Semoga cinta dan sayang itu akan menular. Saya selalu meyakini dan tetap meyakini bahwa kebencian akan selalu kalah dengan rasa cinta dan kasih sayang.

Jadi, di manakah rasa cinta itu? Saya yakin, akan selalu ada dalam setiap manusia.

Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadan bagi yang menjalankan.

Saya senang mendengarkan lagunya Kyai Kanjeng yang judulnya Rampak Osing. Kalau ada yang tahu bahasa Jawa, lagu ini artinya sangatlah dalam.

Arep golek opo arep golek opo kok uber uberan. Bondo kuwoso ra digowo mati

Menikah Muda

Hari ini saya mendapatkan kabar kalau salah satu dari teman SD dikaruniai cucu pertama. Ini bukan kali pertama saya mengetahui teman SD saya yang sudah punya cucu. Bukan hanya cucu pertama tetapi cucu ke sekian. Kali pertama saya tahu ada satu teman SD yang punya cucu itu saat saya sekitar umur 30. Waktu itu secara tidak sengaja saya bertemu dengan dia saat saya liburan ke rumah orangtua dan kami sama-sama membeli rujak. Dia menggendong bayi, yang awalnya saya pikir anaknya. Ini pertemuan pertama setelah lulus SD, tapi kami masih sama-sama mengingat wajah satu sama lain karena memang tidak terlalu banyak berubah. Setelah kami saling bertegur sapa, saya bertanya usia berapa bulan anaknya. Dia lalu memberikan jawaban yang mengejutkan saya kalau bayi dalam gendongannya itu adalah cucunya.

Dia lalu bertanya balik ke saya, berapa umur anak saya. Dia bahkan tidak bertanya apakah saya sudah menikah pada saat itu. Saya jawab kalau saya belum menikah. Ternyata jawaban saya membuat dia terkejut. Jadi kami akhirnya sama-sama terkejut dengan jawaban yang diterima haha. Dia kaget kok usia 30 tahun belum menikah. Kalau orang lain yang bertanya, mungkin saya akan gusar dengan pertanyaan itu. Namun karena dia yang bertanya dan saya tahu persis bagaimana lingkungan dia tinggal dan lingkungan saya dibesarkan, saya menjawab dengan santai. Saya bilang kalau saya masih menikmati pekerjaan saya dan masih belum ada calon pada saat itu. Saya kemudian mengajak dia untuk mampir ke rumah lalu melanjutkan perbincangan sambil makan rujak yang kami beli.

Saat menulis ini, saya jadi mengingat kembali hidup berbelas tahun lalu. Rasanya saya memang dari dulu tidak punya keinginan untuk menikah muda. Ukuran menikah muda buat ukuran saya adalah dibawah 25 tahun (jadi subjektif sekali). Saya dulu punya keinginan dan tujuan yang saya tuliskan di diary yang ada kuncinya. Diary itu masih ada sampai sekarang dan kalau saya pulang ke rumah orang tua pasti saya baca-baca lagi. Saya lumayan rajin menulis diary, bahkan sampai saat ini. Ada satu Diary saat saya SMA yang bertuliskan keinginan saya 10 tahun kedepan. Saya ingat diantaranya saya menuliskan ingin kuliah di ITS, bekerja di perusahaan asing di Jakarta, kuliah S2, tinggal di LN, jalan-jalan keliling Indonesia dan LN. Tidak ada satu poin yang menyebutkan bahwa dalam 10 tahun kedepan akan menikah. Kalau ditanya orang, saya selalu mantab menjawab saya akan menikah minimal usia 30 tahun. Ucapan adalah doa ya, akhirnya terkabul nikah di usia 33, dimana untuk ukuran orang Indonesia, terutama lingkungan saya dibesarkan, adalah usia telat kawin. Diluar jodoh adalah urusan Tuhan, menikah pada usia tersebut karena memang pilihan saya.

Sebelum bertemu dan dipertemukan dengan jodoh apakah saya pernah merasa cemas, “kok rasa-rasanya susah sekali ya yang namanya ketemu jodoh.” Tidak dipungkiri, iya. Perasaan tersebut menyelinap saat saya membangun hubungan dan ternyata kandas. Saya berpikir, gila ini yang namanya jodoh misteri sekali ya. Yang nampaknya semua baik-baik saja dan tinggal satu langkah, eh malah buyar tengah jalan. Yang sudah sangat serius dan berpikir matang tentang masa depan, eh ga bisa lanjut karena beda agama. Ada di satu masa saya pernah berpikir, enak ya yang menikah karena dijodohkan. Tidak usah merasakan kegagalan seperti saya. Eitss tunggu dulu. Ada dasarnya saya berpikir seperti ini. Nanti akan saya tuliskan. Namun gagal dalam hubungan percintaan tidak membuat saya ngelangut dan menyalahkan  keadaan. Saya malah mempergunakan waktu kesendirian dengan semaksimal mungkin. Bekerja sesuai target yang saya tetapkan, jalan-jalan sepuas mungkin, sekolah lagi, menggapai apa yang ingin saya gapai. Intinya mempergunakan waktu sebaik mungkin dengan melakukan kegiatan yang bermanfaat.

Kembali lagi ke cerita teman SD saya. Di lingkungan saya dibesarkan, menikah usia dini saat itu (pada era saya SMP sampai SMA) sangatlah lumrah dilakukan. Kenapa saya tuliskan saat itu, karena saat saya kuliah sudah tidak terlalu mengikuti perkembangan lagi. Beberapa teman SD saya begitu lulus SD langsung dinikahkan oleh orangtuanya. Pernikahan ini terjadi karena adanya perjodohan. Bahkan seringnya mereka dijodohkan saat masih dalam kandungan. Tradisi perjodohan ini terjadi bukan hanya antara orangtua yang berteman dekat, atau antara tetangga, tetapi juga antara saudara jauh. Saya tidak tahu sebenarnya ini tradisi atau budaya atau apa yang tepat penyebutannya. Tetapi perjodohan ini dilakukan dalam satu suku. Mereka tidak ada pilihan untuk menolak karena apa yang sudah ditetapkan oleh orangtua ya harus dijalankan. Tidak ada dalam kamus mereka saat itu menikah dini karena menghindari zina atau apalah itu. Tidak ada dalam pikiran mereka menikah dini karena ingin menggapai surga. Yang ada ya karena jalan hidup mereka sudah diatur oleh orangtuanya.  Saat saya pusing memikirkan harus juara kelas saat SMP, mereka sudah melahirkan anak pertama.

Saya pernah bertanya ke tetangga saya yang menikah saat lulus SD juga, apakah dia paham saat menikah apa sebenarnya arti menikah itu sendiri. Oh ya, kebanyakan yang menikah saat usia SD ini adalah pihak perempuannya dan lelakinya terpaut usia tidak terlalu jauh. Usia lulus SMP atau usia SMA. Mungkin ada yang bertanya, mau makan apa mereka di usia itu sudah menikah atau bekerja apa suaminya. Di masyarakat tersebut, menikah cepat lebih membanggakan dibandingkan punya pekerjaan yang bagus. Pendidikan tinggi tidak perlu buat mereka asal keluarga bisa kumpul. Jadi tidak ada ceritanya bagi mereka sampai mengirimkan anaknya sekolah ke luar kota. Mereka lebih memilih untuk selalu berkumpul utuh bersama seluruh keluarga daripada harus mengirimkan anaknya sekolah sampai tinggi. Para orangtua lebih memilih menanggung biaya hidup anak-anak mereka yang menikah karena hasil perjodohan dan tidak melanjutkan sekolah daripada anak-anak mereka menikah telat tapi punya pekerjaan yang bagus. Mereka dalam tulisan ini merujuk pada sebagian besar masyarakat di kota saya dibesarkan. Tentunya tidak semua seperti itu, tapi yang saya tahu sebagian besar pada saat itu berlaku hal yang seperti sudah saya sebutkan di atas.

Buat teman-teman saya itu, mereka sudah tidak berpikir lagi tentang bahagia atau tidak bahagia dalam pernikahan usia dini. Mereka tidak ada pilihan untuk menolak. Mereka tidak ada pilihan untuk menentukan masa depan mereka. Mereka tidak ada pilihan untuk menikmati kehidupan seperti teman-teman lainnya yang masih sibuk belajar dan bermain. Tetapi diantara mereka bilang pada saya bahwa mereka menikmati hidup seperti itu. Maksudnya hidup dengan suami pilihan orangtua dan hidup bahagia berkecukupan versi mereka, yaitu selalu bahagia bisa berkumpul dengan keluarga.

Kalau ditilik lagi, dulu kadang-kadang saya berpikir pilihan hidup yang saya inginkan dan tuliskan di Diary nampak sangat tinggi dan rumit. Ingin ini dan itu yang butuh usaha agak ruwet dalam mewujudkannya. Dan kalau ingat teman-teman SD, sepertinya tujuan hidup mereka sederhana. Tapi saya lupa, bahwa hidup itu selalu sawang sinawang. Apa yang saya pikirkan sederhana tentang hidup mereka, belum tentu juga pada kenyataannya sederhana. Seperti saat saya berpikir lebih enak dijodohkan, saat saya mengalami kegagalan dalam urusan percintaan, pada kenyataannya memang perjodohan yang dilalui mereka tidak sederhana. Saya tidak tahu isi hati mereka. Belum tentu juga saat saya dijodohkan trus saya menerima dengan lapang dada. Bisa jadi malah saya memberontak. Dan mungkin juga mereka pernah berpikir sesuatu tentang hidup saya yang nampaknya baik-baik saja, tetapi sesungguhnya banyak hal berliku yang terjadi.

Buat saya, menikah itu adalah pilihan bukan kewajiban bukan pula untuk memenuhi tuntutan lingkungan. Menikah buat saya adalah saat saya sudah merasa siap dan mengisi waktu sebelum bertemu jodoh dengan semaksimal mungkin untuk meraih segala cita dan impian. Tetapi untuk masyarakat tertentu, menikah itu adalah kewajiban jadi harus ditunaikan dengan cara tidak memandang usia. Dari hasil perbincangan dengan teman saya pada saat itu, saya bersyukur dilahirkan tidak satu suku dengan dia meskipun tinggal dan besar dilingkungan mereka jadi saya tidak perlu merasakan yang namanya perjodohan dan harus menikah usia muda bahkan usia dini. Sedangkan teman saya beranggapan bahwa dia bersyukur dijodohkan karena dia hidup berbahagia dengan pilihan orangtuanya dan bisa berkumpul terus dengan keluarganya tanpa harus hidup saling berjauhan satu sama lain dengan anggota keluarga yang lain.

Versi bahagia setiap orang memang berbeda dan mudah-mudahan apapun yang telah diputuskan saat akan melangkah lebih jauh tidak mengurangi rasa syukur tanpa harus selalu melihat ke atas dan membuat silau sesaat.

-Nootdorp, 17 Mei 2017-

Cerita Kumpul Teman

Enak juga ya 1.5 bulan tidak menulis blog, BW juga sesempatnya, rasanya luar biasa 😁 Sebenarnya banyak yang ingin ditulis, mudah-mudahan lain waktu bisa menuliskan cerita yang selama ini tertunda. Sekarang saya mau bercerita keseruan yang baru saja terjadi. Lumayan ditulis di sini jadi kapan-kapan kalau baca lagi bisa senyum-senyum sendiri.

Sebulan lalu, kami mengirimkan undangan ke beberapa teman saya untuk datang ke rumah karena saya dan suami akan menyelenggarakan sebuah acara. Kalau di sini memang untuk mengundang harus jauh-jauh hari dan konfirmasi bisa atau tidaknya maksimal 7 hari sebelum acara. Enak sih kalau begini, jadi bisa tahu berapa orang yang datang sehingga bisa mempersiapkan khususnya berapa banyak makanan yg harus disediakan si pengundang. Saya bersyukur dari sekian yang kami undang, hanya satu yang tidak bisa datang. Ini memang undangan khusus untuk teman-teman saya dan hampir semuanya bersuamikan orang Belanda. Jadi yang akan datang separuh dari Indonesia dan separuh Belanda. Ada juga yang membawa anak-anak. Jadi saya harus memikirkan menu yang cocok untuk lidah orang Indonesia (sebagian besar teman-teman saya yang datang asalnya dari Jawa Timur), lidah orang Belanda juga bisa dinikmati untuk anak-anak. Saya menyusun menu, berdiskusi dengan suami, lalu menyiapkan menu plan B. Kenapa harus dipersiapkan menu plan B? Ya jaga-jaga kalau ditengah jalan saya tiba-tiba males masak haha saya ini memang masaknya berdasarkan mood. Makanya harus ada rencana cadangan.

Seminggu sebelum acara, badan saya terasa tidak nyaman. Saya sudah pesimis apakah bisa memasak sendiri nantinya. Lalu suami bilang, “gampang kalau kamu ga kuat masak, kita pesan saja katering.” Saya lumayan tenang sih begitu suami ada jalan keluar seperti itu. Tapi idealisme saya keluar, harusnya saya bisa masak sendiri karena saya sudah niat akan menjamu teman-teman yang datang. Saya berharap badan saya lebih enakan menjelang hari H sehingga bisa masak. Hari Rabu saya pergi ke pasar. Ini pergi ke pasar pertama kali sejak 2 bulan lalu. Beberapa langganan menanyakan kemana saja saya kok lama ga terlihat ke pasar. Wah, terharu jadinya sampai diingat sama mereka. Saya sampai dikasih bonus belimbing wuluh waktu beli cabe rawit. Trus pas beli ikan, biasanya kalau saya belinya sedikit oleh penjualnya tidak ditawari untuk sekalian dibersihkan. Tapi kemarin itu tanpa bilang, ikannya langsung dibersihkan padahal saya beli tidak banyak. Berkah lama tidak ke pasar 😁

Singkat cerita, saya masaknya mencicil tiap hari, sekuat badan saya saja. Karena sudah ada plan B, jadi saya tidak ngoyo. Kalau capek ya tiduran, selonjoran atau jalan kaki ke danau dekat rumah. Kalau sudah kuat ya masak lagi. Karena masaknya dicicil, akhirnya tidak terasa pas hari Sabtu sewaktu acara berlangsung masakan sudah siap. Tinggal yang belum siap saja yang harus dimasak. Meskipun kompor 4 nyala semua dan harus konsentrasi tinggi jangan sampai ada yang gosong, sebelum jam 12 siang masakan sudah siap semua. Acara mulai jam 14.30. Jadi Sabtu pagi hari saya mulai dengan menusuk daging ayam yang sudah saya potong seukuran sate dan saya rendam dengan bumbu malam sebelumnya lalu taruh di kulkas. Paginya tinggal tusuk lalu saya sambi dengan membakar. Setelah sekitar 70 tusuk sate selesai, saya lanjutkan dengan mengisi lumpia disambi dengan bolak balik mengecek bakaran sate. Setelah mengisi lumpia selesai, saya menyalakan kompor sebelah panggangan sate untuk menggoreng lumpia, tahu tempe dan hati rempelo. Lalu kompor depannya menyala juga untuk membuat kuah bakso dan kompor sebelahnya menyala juga untuk merebus mie dan bihun untuk bakso juga merebus sayuran untuk urap-urap. Jadi 4 kompor nyala semua, makanya butuh konsentrasi tinggi biar salah satunya ga ada yang gosong. 

Malam sebelumnya saya membuat cendol, tapi ternyata gagal. Akhirnya membuat cendol nangka harus dicoret dari menu. Niat membuat brownies juga terpaksa diurungkan karena badan saya sudah tidak sanggup. Suami tugasnya membersihkan seisi rumah dari menyapu sampai mengepel, menata kursi, menyiapkan meja, membersihkan taman depan belakang, menyiapkan kursi-kursi dan meja di taman belakang karena cuaca cerah (tapi dingin semriwing) jadi nanti yang datang bisa makan dan bercengkerama di taman belakang. 

Jadi ini menu yang saya masak untuk acara Sabtu kemarin : Bakso isinya bakso daging, bakso ikan, bakso tahu goreng dan tahu putih dan balungan. Baksonya saya buat sendiri kecuali yang bakso ikan. Saya tempatkan baksonya di panci seperti abang bakso di Indonesia. Saya beli di orang Indonesia yang jualan di sini. Sebenarnya ada sarangannya di atasnya, ya seperti dandang bakso di gerobak itu. Tapi saya malas menata isi baksonya di sarangan, akhirnya sarangannya saya lepas haha. Beberapa teman saya kaget saya punya dandang bakso, dipikir saya mau buka katering bakso. Ya siapa tahu 😁 Menu bakso ini saya lengkapi dengan pendampingnya seperti bihun, mie, lontong, sawi, jeruk nipis, kecap, saus, dan saus sambel. Maunya saya bikin pangsit juga tapi ku tak sanggup buatnya.

Menu Bakso
Menu Bakso

Menu selanjutnya lumpia isi wortel, rebung dan tahu. Saya buat ala lumpia Semarang. Tidak sempat saya foto lumpianya. Lalu saya buat pepes ikan lengkap dengan belimbing wuluh dan kemangi plus daun pisang. Ini juga lupa saya foto. Saya buat sepuluh bungkus, satu bungkusnya isi dua ikan. Sengaja masak banyak supaya bisa dibawa pulang teman-teman. Lalu saya buat sate ayam, bebek goreng ala Surabaya, urap urap, gorengan tahu tempe hati dan rempelo, sambel teri, nasi, lontong, acar, buat bawang goreng, sambel bakso dan sambel bebek.

Sate dan beberapa pendamping bakso
Sate dan beberapa pendamping bakso
Gorengan tahu tempe hati rempelo, beberapa sambel, bumbu sate, bebek dan urap, tak lupa kerupuk
Gorengan tahu tempe hati rempelo, beberapa sambel, bumbu sate, bebek dan urap, tak lupa kerupuk
 

Lalu suami menyiapkan minuman semacam infused water ditaruh Jar. Ini lupa saya foto juga. Jarnya seperti foto di bawah diisi air lalu potongan Strawberry, lemon dan daun mint lalu diisi es batu. Enak juga rasanya dan segar. Selain itu juga ada minuman lainnya, tidak ketinggalan teh kotak (ini primadonanya).


Begitu teman-teman saya beserta suaminya datang (ada beberapa yang suaminya tidak bisa datang karena bekerja), wah suasana langsung riuh. Maklum saja ya kalau orang Jawa Timur ngumpul (teman-teman saya ini kebanyakan dari Surabaya), biasanya langsung rame, yang ada tertawa tanpa berhenti saling berebut ngobrol satu sama lain. Sementara para suami ngumpul sendiri tapi lama lama juga antara kami bisa saling ngumpul satu sama lain. Badan nyaris rontok karena beberapa hari mencicil memasak, rasanya hilang begitu mereka makan dan berkali-kali nambah bahkan teman-teman saya makan tanpa sendok langsung muluk. Karena cuaca cerah, mereka makan di taman belakang di meja dan kursi-kursi yang sudah ditata. Orang-orang Belanda juga suka dengan masakan yang saya sajikan, bahkan saya terkejut mereka juga doyan bebek dan jeroan karena setahu saya orang Belanda tidak suka jeroaan. Apalagi yang bakso, bersyukur semua cocok dengan rasanya sampai semua nambah berkali-kali dan bilang “Heerlijk, Deny. Heerlijk!” Artinya enak sekali. Wah saya senang sekali, capek langsung hilang. Niatnya masak dengan porsi lebih supaya masih ada lebih makanan sehingga teman-teman bisa bungkus bawa pulang. Ternyata makanan yang lebih juga tidak terlalu banyak bahkan bebeknya tinggal sedikit. Saya bilang ke mereka untuk membungkus apapun yang ingin dibungkus karena saya tidak mau menyimpan di kulkas. Bersyukur mereka bungkus semua sampai baksonya tinggal sedikit kuahnya. Saya senang karena tidak harus menyimpan di kulkas, mereka juga senang karena bisa bawa makanan pulang. Oh iya, ada teman yang bawa ote ote, dia ini spesialis pembuat ote ote, rasanya juara! Ada juga teman yang membawa carrot cake, wuiihh ini juga rasanya enaakk.

Acara kemarin adalah acara pertama yang saya buat untuk teman-teman Indonesia yang saya kenal baik selama di Belanda, yang datang 15 orang dewasa dan sukses. Setiap orang bisa ngobrol sepuasnya satu sama lain, makan sepuasnya, tertawa sepuasnya, tidak ada grup grupan benar-benar bisa berbaur dan tidak ada yang canggung padahal banyak yang baru pertama kali kenal, rasanya seperti teman lama. Rasa senangnya masih terbawa sampai saat saya menulis ini. Yang penting setiap orang benar-benar menikmati dan membawa kesan baik di acara kemarin. Pulang ke rumah dengan hati riang. Itu yang kami harapkan. Hari minggunya saya menulis pesan ke masing-masing orang ucapan terima kasih atas kesenangan di acara kemaren. Mereka juga senang dan ditutup dengan “masakanmu enak banget lho, suamiku nambah sampai begah perutnya nambah terus. Kamu pintar masak, sana buka restoran saja.” Haha Amiiinn.

Het was een erg gezellige dag! Tot volgende keer!

-Nootdorp, 7 Mei 2017-

Maret Berlalu Sangat Cepat

Kok sudah akan April ya, lah Maret saya ke mana saja kok tidak berasa *mikir. Beberapa hal yang terjadi di bulan Maret ini.

KOPDAR DENGAN PUJI

Setelah beberapa kali saling mengirim email tentang rencana Puji dan Suaminya akan liburan ke Eropa dan Belanda salah satu tujuan liburan mereka, kami lalu membuat janji untuk saling ketemu. Mendekati hari H, keadaan antara pasti dan tidak pasti dari pihak saya karena ada satu hal. Setelah berunding di WhatsApp,  bersyukur mereka menyanggupi ke Den Haag (karena satu keadaan saya tidak bisa mendatangi mereka) dari Amsterdam, tempat merek menginap, demi supaya saya dan Puji bisa saling ketemu. Saya kenal Puji dari blog sejak sekitar 2014, jadi tidak terlalu lama juga. Saya suka Puji apalagi kalau sudah bercerita tentang makanan. Rasanya saya seakan berada disekitarnya menikmati hasil memasaknya saat akhir pekan. Beberapa kali saya mengirim kartupos ke Puji dan saling kirim-kirim email juga. Jadi rasanya seperti sudah kenal lama.

Saya telat 10 menit saat ketemu Puji karena ada perbaikan rel kereta (berangkat lebih awal tetep aja telat) dan sudah memberitahu sebelumnya ke Puji. Saat ketemu Puji dan Suaminya, saya tidak merasa canggung sama sekali. Biasanya saya kalau ketemu orang baru pertama kali, pasti suasananya jadi canggung, karena saya tidak bisa langsung ngobrol atau cerita ini itu. Saya harus memetakan situasi dulu. Tapi dengan Puji dan suaminya beda. Seperti sudah kenal lama, padahal tahu cerita tentang mereka ya hanya mengandalkan dari blog.

Singkat cerita, sebelum ke tempat makan, saya membawa mereka berkeliling sebentar ke sekitar Den Haag kota. Karena sudah jam 8 malam, jadi tidak banyak yang bisa dilihat. Cuma yang saya ingat dari Puji beberapa kali ngomong “Lho ini Den Haag kok sepi ya, kok jam 8 malam sudah banyak toko tutup ya padahal ini kan sabtu malam. Lho ini mallnya kok seuplik gini, aku kira dulu Mbak deny becanda lho kalau di Den Haag ga ada mall gede.” hahaha Puji terkaget mungkin tidak menyangka Den Haag ga ada apa-apanya dibandingkan Jakarta.

Kami lalu menuju restoran Indonesia karena saya sudah reservasi sebelumnya lewat telefon. Waktu kami tidak terlalu banyak di sana karena restorannya akan tutup jam 9 malam. Setelah memesan dan mengobrol sambil makan, tidak menyangka saya diberi buah tangan oleh Puji, dua botol sambel Bu Rudy. Plus makanan saya dibayarin oleh mereka. Jadi (ga) enak hati nih, tuan rumah macam apa saya sampai makan dibayarin (padahal ya seneng sih, kan rejeki ya jangan ditolak :D). Kesampaian juga ketemu dengan Puji dan Mas Eri yang super ramah jadi berasa sudah berteman lama. Sekitar jam setengah 10, saya dijemput suami sekalian saya kenalkan dengan mereka. Lalu kami berpisah karena mereka menuju Den Haag Centraal untuk kembali ke Amsterdam dan saya pulang ke rumah. Semoga kita bisa ketemu lagi nanti ya Puji dan semoga lancar liburan keliling Eropanya.

MASUK KORAN BELANDA

Ini sebenarnya tidak disengaja. Jadi sewaktu acara ulang tahun Piet Mondriaan ke 145 dan juga De Stijl ke 100, Pemerintah kota Den Haag mengadakan acara bagi-bagi Taart gratis ke 5000 orang di balai kota. Jadi ini Taart raksasa. Nah saya hari itu ada urusan ke kota, akhirnya mampir untuk lihat sebesar apa taartnya. Ternyata memang besar sekali dengan motif Mondriaan. Saat sedang asyik makan Taartnya (yang enak sekali rasanya), ada seseorang menawari saya untuk berfoto di depan taart bersama dua orang lainnya. Beliau adalah wartawan koran Belanda AD (Algemeen Dagblad). Lalu berposelah kami bertiga. Kata wartawannya, berita bisa di baca online sorenya. Saya bilang suami ternyata memang sorenya sudah ada beritanya di website mereka dengan foto kami bertiga (yang dua lagi saya tidak kenal) di depan taart. Keesokan paginya, Mama mertua heboh kasih tahu kalau foto saya ada di koran lalu Beliau bersemangat menggunting bagian yang ada foto saya itu. Lumayanlah pernah masuk koran Belanda, makan taart haha.

KANGEN DENGAN MAKANAN RUMAH, MAKANAN WARUNG, DAN JAJANAN MALAM

Entah kenapa sepanjang maret ini saya benar-benar kangen dengan makanan rumah, makanan warung, dan jajanan malam di Indonesia (khususnya di Surabaya dan Situbondo). Makanan rumah ini maksudnya adalah makanan yang biasa dimasak Ibu atau tetangga atau Bude saya. Kalau makanan warung yang saya kangen adalah warung-warung di dekat kampus saya dulu. Kalau jajanan malam yang saya kangen semacam terang bulan, martabak, gorengan ote-ote dimakan dengan sambel petis dan cabe (duh nulis ini saja saya ileran sendiri), singkong goreng yang ngeprul, tahu tek, nasi goreng dan mie goreng gerobak (ini bukan jajanan ya, tergolong makan besar haha). Dulu kan kalau lapar pas malam saya keluar kos lalu keluyuran jalan kaki cari tukang gerobak trus beli. Di sini kan tidak ada mas yang jualan dorong gerobak. Saking nelongsonya saya, beberapa minggu lalu sampai nangis trus ditanya suami kenapa, saya jawab pengen makan nasi goreng merah gerobakan. Dia cuma menghela nafas, dipikir ada masalah serius, ternyata ingin makan nasi goreng merah. Tapi kan buat saya segala sesuatu yang berhubungan dengan makanan itu menjadi serius haha!.

Daripada nelongso berkepanjangan, akhirnya saya singsingkan lengan baju, masak sendiri (lah emang biasanya masak sendiri :D). Saya masak lodeh tewel kacang pete. Kali ini lodeh tewelnya istimewa karena saya campuri dengan tempe busuk (tempe bosok). Saya memang punya persediaan tempe semanggit untuk dibuat sambel tumpang. Saya ambil sedikit tempe bosok ini untuk campuran lodeh (karena Ibu kalau masak lodeh pasti dicampuri tempe bosok). Waaahh aromanya luar biasa bisa mengobati kangen lodeh buatan Ibu. Lodeh ini dimakan pakai ikan asin dan sambel trasi. Ikan asinnya saya buat sendiri. Saya beli ikan kebanyakan di pasar lalu saya jemur buat ikan asin. Suami saya sampai nambah makan lodehnya. Dia tanya “ini kok beda ya lodehnya?” Saya jawab “iya, aku kasih tempe bosok.” Dia manggut-manggut saja haha.

Lodeh tewel kacang panjang pete
Lodeh tewel kacang panjang pete

Lalu saya masak jangan klentang. Di pasar Den Haag sini kan ada kios langganan yang jual klentang, makanya saya bisa sering masak sayur asem klentang. Ihhh seger sekali pakai belimbing wuluh. Ibu saya sampai heran kok di sini ada klentang dan belimbing wuluh.

Sayur asem klentang
Sayur asem klentang

Lalu saya masak rawon labu siem dan kacang panjang. Makan pakai telur asin dan sambel trasi pakai kecambah pendek dari kacang hijau yang direndam. Wuahhh saya dan suami nambah makan rawon ini.

Rawon labu siem kacang panjang
Rawon labu siem kacang panjang

Saya juga buat nasi bakar, botok tempe teri, dan bumbu urap banyak karena ada yang pesan. Lumayan bisa buat stok saya juga kalau sewaktu-waktu malas masak. Nasi bakar isi osengan sayur plus pete dimakan pakai botok, lalapan dan sambel bawang. Suami bawa bekal nasi bakar tiga hari berturut ke kantor. Mudah-mudahan setelah makan dia gosok gigi ya, kan ada petenya :)))

Nasi bakar komplit
Nasi bakar komplit

Kangen mie goreng gerobak, akhirnya buat sendiri mie goreng pakai kol, sawi, telur, tuna dan saya taburi ebi. Masih kalah sih rasanya dengan yang dijual gerobakan itu. tapi lumayanlah tombo kangen.

Saya sudahi saja cerita makanannya, sebenarnya masih ada beberapa tapi saya jadi lapar ketika nulis ini. Intinya saya bersyukur meskipun kangen sekali dengan masakan rumah tapi masih dikasih kekuatan untuk masak sendiri. Bersyukur masih bisa makan.

MASTER EVENT TU DELFT 2017

Awal Maret saya datang ke TU Delft untuk melihat Master Event TU Delft 2017. Padahal ingat sekali hari itu badan saya lemas seperti tidak ada tenaga. Rasanya ingin tidur seharian. Tapi sayang juga acara ini kalau dilewatkan dan cuaca di luar cerah sekali, langitnya biru. Akhirnya saya seret pantat ke Master Event TU Delft karena juga sudah terlanjur daftar sehari sebelumnya. Jadi acara ini adalah pemberian informasi untuk semua program S2 yang ada di TU Delft. Jadi saya benar-benar memanfaatkan kesempatan ini untuk bertanya sejelas mungkin tentang informasi yang ingin saya tahu ke beberapa jurusan yang saya incar. Selain itu, ada sesi pemberian informasi, tanya jawab untuk mereka yang lulusan S1 (dan juga S2) nya berasal dari luar Belanda. Saya bertanya di forum ini tentang biaya kuliahnya jika saya punya ijin tinggal karena menikah dengan orang Belanda. Ternyata membayarnya 1/8 nya dibanding dengan siswa Internasional yang normal. Lumayan menghemat. Ini ceritanya kan saya sedang berencana untuk kuliah lagi. Untuk kapannya masih belum tahu, yang penting niat dulu dan sudah mulai cari-cari informasi  dan memantapkan jurusan mana yang ingin saya ambil. Mudah-mudahan ya bisa merealisasikan niat ini.

KE LIMBURG

Rencana liburan ke Limburg ini diputuskan beberapa hari sebelum ulang tahun saya. Jadi awalnya sekitar dua bulan lalu kami berencana merencanakan ulang tahun jalan-jalan ke beberapa negara ke LN. Rencana sempat ganti beberapa kali sampai akhirnya kami memutuskan tidak jadi liburan ke LN karena satu hal. Daripada tidak kemana-mana, akhirnya saya bilang bagaimana kalau jalan-jalan sehari saja ke kota yang dekat. Jadi masih bisa jalan-jalan di hari ulang tahun saya. Akhirnya suami mengajukan cuti, saya memilih ke Limburg. Jadi kami ke dua kota yaitu ke Thorn dan Valkenburg. Jaraknya 2.5 jam berkendara dari rumah kami. Setelah dari Thorn, sempat istirahat dulu di pemberhentian untuk tidur karena saya dan suami ngantuk sekali. Setelah tidur selama satu jam, kami melanjutkan perjalanan ke Valkenburg. Eh ternyata setelah sampai Valkenburg tempat yang ingin kami datangi sudah tutup. Sempat kesal sih tapi ya mau bagaimana lagi. Kami terlalu lama tidurnya haha. Akhirnya kami hanya jalan-jalan di kota saja lalu makan. Saya senang sekali dengan alam di Limburg karena seperti alam di Jerman. Beda dengan struktur alam di tempat tinggal kami. Rasanya saya akan kerasan kalau tinggal di Limburg (tapi jauh ya kalau mau ke kota besar *lalu bingung). Senang menghabiskan hari ulang tahun dengan berjalan-jalan dan seharian bersama suami. Senang mendapatkan ucapan dari teman-teman dekat dan keluarga. Bersyukur masih diberikan kesempatan untuk tinggal di dunia, bilangan umur nambah, dan sehat bersama seluruh keluarga. Kami menghabiskan sisa hari di Limburg dengan makan malam di sebuah restoran.

Maret memang berlalu sangat cepat, mungkin pertanda saya sangat menikmati setiap detiknya. Bagaimana dengan Maret kalian?

-Nootdorp, 31 Maret 2017-