Ramadan akan tiba dalam hitungan hari. Bulan yang saya nanti atau mungkin dinantikan oleh seluruh umat muslim di seluruh dunia. Kenapa saya katakan mungkin dinantikan? ya karena saya tidak tahu jumlah umat muslim yang menantikan Ramadan, apakah semuanya memang menantikan atau ada yang biasa-biasa saja. Jadi lebih baik saya tuliskan dengan kata “mungkin” saja. Namun mari berbaik sangka saja bahwa semua umat muslim di seluruh dunia memang selalu menantikan datangnya bulan Ramadan.
Tahun ini adalah Ramadan kedua (Insya Allah jika diberikan umur yang barakah) saya jauh dari keluarga di Indonesia, merasakan rindu berburu menu buka puasa bersama teman-teman, merasakan rindu suasana tarawih bersama di musholla atau masjid dekat rumah, memendam rindu berbuka puasa dan sahur bersama Ibu dan adik-adik. Banyak hal yang selalu saya rindukan ketika jauh seperti ini terutama menjelang Idul Fitri.
Selain menantikan datangnya bulan Ramadan dengan penuh suka cita, ada hal yang selalu meresahkan saya menjelang Ramadan tiba. Saya selalu membaca entah di twitter, di Facebook (dulu saat masih aktif) ataupun di portal berita tentang seruan untuk menghormati orang yang berpuasa. Seruan tersebut tidak saja datang dari perorangan tetapi juga diucapkan oleh para pemuka agama. Sungguh, hal ini benar-benar meresahkan saya sampai akhirnya saya memutuskan untuk menuliskan di blog kami saja, mengeluarkan uneg-uneg sebagai bentuk opini pribadi yang selama ini saya pendam, coba saya kaji sendiri dan mencari sambungan logikanya disebalah mana antara puasa Ramadan dan penghormatan.
Saya tidak tahu pasti entah sejak kapan fenomena seruan untuk menghormati orang yang sedang berpuasa itu muncul. Kenapa saya katakan fenomena? karena seingat saya (mudah-mudahan ingatan saya tidak terlalu buruk ya) saat masih kecil sampai masa kuliah tidak pernah mendengar “suara” lantang seruan ataupun himbauan untuk menghormati orang yang berpuasa. Bahkan seingat saya saat itu tidak pernah ada huru hara kegaduhan ataupun marah-marah, menuntut menutup dan mengobrak abrik warung dan tempat makan yang masih tetap beroperasi menjalankan usahanya saat bulan Ramadan, oleh mereka yang katanya mengaku beragama. Disini letak tidak paham saya dengan kelakuan orang yang mengatasnamakan umat beragama.
Sejak kapan seseorang yang berpuasa Ramadan butuh dihormati? Kenapa kalau menjalankan puasa Ramadan menuntut untuk dihormati? Puasa itu adalah ibadah yang hubungannya antara seseorang yang menjalankan dengan Allah, jadi fokusnya disana. Kenapa harus melibatkan orang lain yang terkesan memaksa dan diucapkan dengan kalimat “menghimbau”? Puasa maupun bentuk ibadah yang lainnya adalah sifatnya personal, perorangan. Puasa itu adalah rahasia antara yang berpuasa dengan Allah, maka Dia yang akan memberikan ganjarannya, bukan sesama manusia, bukan minta dihormati ataupun menuntut untuk dihormati.
Kita kembalikan lagi sebenarnya esensi puasa itu apa? menahan diri. Dalam hal ini bisa dijabarkan menahan diri dari makan, minum, tidak berhubungan suami istri dari terbit fajar sampai tenggelam matahari. Bisa juga dipanjangkan dengan menahan diri dari segala hawa nafsu dan hal-hal yang membatalkan puasa. Hawa nafsu disini termasuk tidak marah-marah, memaki, berprasangka buruk, bergunjing dan segala hawa nafsu lainnya. Jadi sudah jelas bahwa puasa itu adalah bentuk ibadah seseorang kepada Allah yang tujuannya adalah menahan diri. Nah, kalau sudah paham bahwa hakikat berpuasa adalah kita harus menahan diri, kenapa kita harus marah-marah kalau misalkan ada orang yang makan didepan kita? kenapa kita harus geram kalau ada yang minum es degan didepan kita? Yang harus kita tahan adalah hawa nafsu kita, bukan menyuruh orang lain untuk memahami kita yang berpuasa. Kalau memang sudah niat, yakin, nawaitu untuk beribadah puasa, apapun godaan diluar sana tidak akan menggoyahkan niat kita dalam beribadah. Itu adalah ujian keimanan kita. Masak iya, iman kita langsung goyah hanya karena ada yang makan rujak cingur atau lontong balap didepan kita. Kalau memang iya, harusnya kita menanyakan kepada diri sendiri niat berpuasanya apa, bukan malah menyalahkan mereka yang sedang makan atau minum atau hal-hal lainnya. Tidak usah mencari kambing hitam atau pembenaran dengan dalil ayat Al-Qur’an, lihat dulu kedalam diri sendiri sebelum menuding sana sini, bersihkan dulu niat kita dalam berpuasa, kuatkan niat kita. Kalau memang akhirnya goyah dan batal berpuasa, ya salahkan diri sendiri kenapa niatnya tidak kuat, kenapa iman kita selemah itu, kenapa tujuan kita berpuasa bisa kalah hanya karena melihat orang lain makan dan minum disekitar kita. Lihat kedalam diri sendiri sebelum menyalahkan siapapun.
Tidak perlulah sampai mengobrak abrik warung atau tempat makan yang tetap beroperasi selama Ramadan atau meminta mereka menutup warungnya. Mereka mencari nafkah, jangan sampai mematikan usaha orang lain dengan dalih penghormatan terhadap yang berpuasa, masak iya agama mengajarkan hal tersebut dan keimanan kita sedangkal itu. Agama tidak mengajarkan untuk berbuat kerusakan. Yang butuh makan kan bukan hanya umat Islam saja. Bahkan ada umat Islam yang tidak diwajibkan puasa (seperti orang yang sudah tua, Ibu hamil, Ibu yang sedang menyusui) juga tetap butuh makan dan minum. Kalau marah-marah sampai mengobrak abrik tempat makan dan menuntut mereka untuk menutup usaha selama Ramadan, kembali lagi, sudah benar belum niat puasa yang marah-marah itu. Puasa kok marah-marah bertamengkan ayat Al-Qur’an. Lihat lagi kedalam diri sendiri, kalau imannya kuat, niatnya benar, ujian seberapa beratpun Insya Allah ibadah puasa tetap lancar .
Islam itu sudah mayoritas di Indonesia, mbok ya ndak usah minta dihormati segala apalagi sampai gila hormat. Seseorang akan dihormati itu kan bukan atas dasar pemaksaan ataupun himbuan. Rasa hormat itu akan timbul dengan sendirinya jika seseorang memang layak dihormati, sesederhana itu. Rasa hormat itu bukan timbul karena himbauan “hai, aku puasa nih, kamu harus hormatin aku dong yang puasa. Jangan makan didepanku.” ya kan itu ga bener. Kalau memang niat kita puasa tapi merasa tidak kuat kalau melihat ada yang makan minum disekitar kita, ya kita yang menjauh, bukan koar-koar kalau sedang puasa dan marah-marah sama mereka. Kembali lagi, puasa itu adalah ibadah antara perorangan dengan Allah, tidak perlu juga semua orang tahu bahkan minta dihormati segala.
Saya tidak akan menceritakan panjang lebar pengalaman berpuasa selama di Belanda pada tulisan ini, karena sudah pernah saya tulisankan tahun lalu disini. Yang pasti saya senang menjadi minoritas disini, ibadah tetap khusyuk meskipun tetap ada penyesuaian di sana sini. Saya juga tidak akan menghimbau mereka yang menjadi mayoritas di Indonesia untuk merasakan menjadi minoritas di tempat lain, itu juga terlalu jauh langkahnya. Tidak usah jauh-jauh melihatnya. Kembali lagi saya tuliskan berkali-kali, lihat diri sendiri. Ini bukan masalah menjadi mayoritas atau minoritas, tetapi niat dalam beribadah. Menjadi Islam yang mayoritas ataupun minoritas disuatu tempat kalau berpuasa dengan niat yang benar dan kuat, segala hal yang ada disekeliling, baik itu hal yang menyenangkan ataupun tidak menyenangkan adalah sama-sama ujian keimanan. Hasil ibadah selama Ramadan selama satu bulan selayaknya tercermin selama 11 bulan setelahnya. Apakah kita menahan nafsu hanya selama Ramadan saja atau kita tetap menjalankan hakikat Ramadan dalam kehidupan sehari-hari pada sebelas bulan setelahnya, semua memang pilihan kita. Mudah-mudahan yang menjadi pilihan kita bisa membawa kebaikan untuk kita dan sekitar serta membawa berkah untuk hidup kita.
Mari luruskan niat untuk puasa Ramadan, niatkan beribadah untuk Allah, pergunakan sebaik mungkin bulan yang penuh barakah untuk beribadah dan berbuat baik kepada sesama, berdakwah dengan cara baik dan benar serta tidak merugikan. Dakwah yang dilakukan dari hati, sampainya juga akan ke hati. Mari hormati diri sendiri dengan berpuasa secara baik, benar, ikhlas serta sesuai ajaran agama, tidak usah mencari penghormatan dari orang lain. Orang lain akan hormat kalau memang kita layak dihormati, sesederhana itu. Wes ndak usah ribetlah itu intinya, puasa ya puasa saja. Kalau puasa sunnah biasa saja kenapa kalau Ramadan kok mendadak gila penghormatan. Semoga kita bisa memanfaatkan waktu sebaik mungkin selama bulan Ramadan, yang datang hanya satu tahun sekali.
Saya mengenal dia, panggil saja namanya begitu, berawal dari Facebook. Waktu itu kami masih sama-sama menjadi pejuang cinta, bedanya saya sudah mendapatkan visa, dia masih dalam tahap akan ujian. Saya yang memulai menyapanya karena kami ada beberapa persamaan latar belakang. Waktu bergulir, dia masih berjuang di sana, saya sudah tinggal di Belanda untuk memulai perjuangan yang lainnya. Kami masih saling berkomunikasi meskipun sama sekali belum pernah bertemu muka. Pertengahan tahun kemarin, untuk pertama kalinya kami bertemu karena akhirnya dia memulai lembaran baru dalam hidupnya di negara ini. Kami tinggal di kota yang terhitung jauh satu sama lain.
Setelahnya beberapa kali kami bertemu kembali di beberapa acara. Kami memang jarang berkirim kabar melalui aplikasi whatsapp, seperlunya saja. Sudah tiga kali kami pergi bersama untuk jalan-jalan keliling Belanda, memanfaatkan tiket murah kereta dan memberi ruang kepada suami di rumah juga kami sendiri untuk sejenak meninggalkan rutinitas, melakukan kegiatan yang kami suka. Me time, begitu bahasa kerennya. Kami pernah mengunjungi Maastricht dan Groningen. Suatu hari saya menerima pesan dari dia, ajakan untuk kembali berjalan menyusuri tempat yang lain. Saya mengusulkan Kinderdijk, dan dia langsung mengiyakan.
Sejak lama saya penasaran dengan Kinderdijk. Meskipun tempatnya tidak terlalu jauh dari tempat saya tinggal, tetapi ada saja halangan untuk datang ke tempat ini. Begitu ada kesempatan, tidak saya sia-siakan. Sejak tahun 1997, Kinderdijk termasuk dalam Unesco World Heritage. Di dalam kompleks Kinderdijk ini terdapat 19 kincir angin, satu kincir angin pertama dibuka untuk umum sebagai museum yaitu Museummill Nederwaard dan kincir angin setelahnya yaitu Blokweer juga bisa dikunjungi, tetapi tidak terlalu banyak turis datang ke kincir angin yang terakhir karena memang bentuknya lebih modern dan letaknya lebih jauh dari gerbang utama. Kinderdijk terletak sekitar 16 km disebelah barat Rotterdam.
Tiket masuk Kinderdijk bisa dibeli melalui websitenya (Ada potongan harga 10%, sudah termasuk mengunjungi dua museum) maupun langsung beli di tempat. Area Kinderdijk ini buka 24 jam, tapi kalau untuk masuk ke museum paling lambat jam 5 sore. Banyak cara untuk bisa menikmati Kinderdijk : dengan berjalan kaki, menggunakan sepeda, ataupun menyusuri sungai menggunakan waterbus. Jika menyewa sepeda tarifnya €3/jam. Kami memilih untuk berjalan kaki, tidak ada alasan khusus, hanya ingin menikmati suasana dengan lebih leluasa.
Sehari sebelumnya, saya mendengar ramalan cuaca di radio yang menginformasikan akan ada hujan es pada hari sabtu tengah hari. Saya mulai panik dan menginformasikan ke dia apakah rencana ke Kinderdijk tetap diteruskan. Kami nekat karena memang tidak ada waktu lainnya, tiket kereta saya habis masa berlakunya akhir pekan ini. Seringkali memang hidup butuh nekat, karena kita tidak tahu apa yang sudah menunggu kita didepan sama. Sabtu sebelum berangkat, saya kembali melihat ramalan cuaca, dan tetap terlihat bahwa tengah hari akan ada hujan deras disekitar Kinderdijk. Kabut juga terlihat pekat disekitar tempat tinggal saya. Ya sudahlah, saya pasrah dengan membawa perlengkapan pelindung dari gempuran hujan es. Sesampainya kami di sana, kabut terlihat menyelimuti area Kinderdijk, jadi terlihat misterius. Meskipun berkabut, tetapi udara tidak terlalu dingin, saya hanya menggunakan kaos tidak terlalu tebal dan rok, maklum saja suhu sekitar 25 derajat, terasa gerah. Saya menyimpan perlengkapan “perang” dalam tas ransel. Ternyata sampai kami meninggalkan Kinderdijk, hujan es tidak datang, bahkan cuaca semakin menghangat. Ramalan cuaca tidak selalu benar.
Sepanjang perjalanan menyusuri Kinderdijk kami bercerita banyak hal, selalu begitu saat ada kesempatan bertemu. Salah satu yang menjadi bahan perbincangan kami akhir-akhir ini apalagi kalau bukan tentang ujian bahasa Belanda, karena saya sudah lulus B1, meskipun masih ada sisa ujian yang belum terlaksana untuk keseluruhan ujian integrasi. Tetapi yang pasti, kami menghindari perbincangan menggosipkan orang. Hidup sudah terlalu sibuk bagi kami berdua, jadi memang tidak ada waktu untuk mengurusi hidup orang lain dengan membicarakan di belakang. Apalagi sejak saya memutuskan menghilang sejenak dari Facebook (juga Instagram) sejak tahun kemarin, rasanya memang lingkup pengetahuan saya akan “berita” orang Indonesia yang tinggal di Belanda jauh lebih berkurang, sangat minimal. Tidak mengapa, lebih baik juga untuk hidup saya.
Kami tidak hanya sibuk berbincang satu sama lain, kami juga menyempatkan diri berbincang dengan beberapa orang yang kami temui, salah satunya Bapak penjaga museum. Orang-orang yang kami temui di jalan juga dengan ramah saling menyapa, dari yang berjalan kaki, menggunakan sepeda, bahkan yang menggunakan kapal kecil, menyapa penuh gembira. Bahkan beberapa kali kami diminta tolong untuk memfotokan orang-orang yang kami temui, lalu berbincang sebentar sekedar bertanya mereka berasal dari mana atau sebaliknya mereka yang bertanya pada kami. Selalu senang jika bertemu dengan mereka yang sedang menikmati hari untuk berlibur, aura bahagianya menular, bahkan hanya dari sebuah senyuman. Apalagi menjelang siang, cuaca semakin cerah. Semakin banyak orang berdatangan ke Kinderdijk tidak hanya sekedar menyusuri area ini, tetapi juga melakukan aktifitas lainnya yaitu memancing, ataupun berpiknik di pinggir sungai.
Salah satunya yang berpiknik adalah kami. Saya yang mengusulkan untuk membawa bekal dengan membagi tugas siapa membawa apa. Walaupun belum tahu akan makan dimana, tapi saya yakin akan banyak bangku disepanjang jalan. Ternyata di museum Blokweer ada kebun yang memang disediakan untuk pengunjung berpiknik ataupun sekedar duduk-duduk santai. Disinilah kami piknik menikmati bekal yang kami bawa sembari melihat kincir angin yang berjejer, perahu kecil yang lewat di sungai depan, dan setelahnya kami duduk santai di dek dan berkeliling melihat tanaman yang ada di kebun tersebut.
Perjalanan terus berlanjut, kami menyusuri jalan setapak yang tidak banyak dilalui orang, tetapi mempunyai pemandangan yang lebih indah dibandingkan jalan sebelahnya. Seperti halnya hidup, terkadang kita harus menepi sesaat dari keramaian, mencari jalan alternatif yang lebih sunyi tetapi mendapatkan pembelajaran hidup yang berbeda, yang mungkin jauh lebih baik meskipun mengarah pada tujuan yang sama.
Keseruan lainnya yang kami lalui di Kinderdijk karena saya mempunyai “mainan” baru. Mainan itu bernama tongsis. Ya, betul sekali, pada akhirnya saya punya tongsis pertama kali karena mendapatkan hadiah dari tempat saya bekerja. Karena belum pernah memakai tongsis sebelumnya, dan saya baru mendapatkan dua minggu lalu, jadi kami heboh sendiri mengoperasikan alat ini. Maklum karena masih baru, ada saja kelucuan yang timbul karena gagap bertongsis. Hampir saja alat ini nyemplung ke sungai pada saat kami bertongsis ria diatas jembatan yang sepi orang. Hal-hal yang menimbulkan kelucuan seperti ini bisa membuat kami tertawa tiada henti.
Bukan itu saja yang membuat kami tertawa terpingkal. Saat duduk-duduk dibangku pinggir jalan dekat museum, kami membayangkan ada tukang bakso lewat atau rombong lontong balap lalu kami memesan satu mangkok atau piring dengan minum es degan atau es teh sambil mendengarkan musik dangdut dari rombong penjualnya, yang dilanjutkan makan gorengan plus lombok dan petis udang. Hanya membayangkan saja sudah membuat kami gembira, apalagi bisa jadi nyata ya.
Semakin sore, semakin banyak rombongan turis yang datang. Kami perlahan meninggalkan Kinderdijk dengan mampir sebentar ke bagian depan untuk membeli es krim. Cuaca sore hari sangat terik, kami butuh sesuatu yang menyegarkan. Seperti pengalaman hari itu yang menyegarkan raga kami dengan berbincang dan bercanda tanpa henti sepanjang hari. Dia, yang dulu adalah seorang kenalan, dengan berjalannya waktu berganti menjadi seorang teman.
Untuk seseorang yang “sulit” bergaul seperti saya, tidak terlalu banyak teman bukanlah suatu masalah besar. Bahkan sejak kecil saya selalu tidak merasa nyaman jika berada dalam situasi yang bergerombol, berteman dengan banyak orang. Satu teman tetapi berlaku sebenarnya teman jauh lebih cukup buat saya, dibandingkan beberapa orang yang mengaku teman tetapi menikam di belakang. Semoga pertemanan saya dan dia tetap baik-baik saja, semoga, meskipun ada saatnya waktu yang akan menguji semua.
Friendship is a natural bond between good people, reciprocal and without ulterior motives -Socrates-
Menikah dengan warga negara Belanda itu susah susah gampang, setidaknya itu yang saya rasakan selama mendekati 2 tahun perkawinan kami. Jangan salah sangka dulu karena yang saya maksud disini adalah proses administrasinya. Susah susah gampangnya adalah dokumen yang dibutuhkan pada saat akan menikah lumayan menguras konsentrasi dan ketelitian untuk mempersiapkannya, itupun prosesnya bertingkat, printilannya banyak. Setelah kawin, masih ada dokumen-dokumen lainnya yang perlu dipersiapkan dan dikirim untuk mendapatkan visa tinggal di Belanda, jika memang kesepakatan dari awal pihak Indonesia akan pindah ke Belanda. Setelah sampai Belanda pun masih saja ada persyaratan yang harus dipenuhi, misalkan untuk memperpanjang ijin tinggal, mendaftarkan perkawinan, dan masih panjang jalan yang harus ditempuh (salah satunya adalah harus cek bebas TBC setiap 6 bulan sampai 5 kali, jadi total 2.5 tahun) untuk memenuhi peraturan pemerintah tentang imigran yang akan tinggal di Belanda. Bersyukurnya proses ini sejak awal sebelum menikah sampai sekarang (dan masih belum selesai, tapi hampir selesai) kami jalani dengan santai tapi pasti. Santai karena kami tidak terlalu ngoyo, pasti karena kami niat untuk melewatinya sampai selesai dengan hasil memuaskan. Sejauh ini jalan yang kami tempuh lancar-lancar saja, meskipun tetap ada kerikil sesekali tetapi tidak sampai mengganggu. Kami bawa dengan rasa riang dan gembira. Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam proses panjang ini adalah lulus ujian bahasa Belanda.
Diantara segala persyaratan yang harus dipenuhi, ujian bahasa Belanda ini yang paling menguji mental dan menguras emosi kami, terutama saya yang menjalani. Ujian bahasa Belanda yang saya lakukan tidak cukup hanya sekali. Salah satu persyaratan untuk mengajukan visa tinggal di Belanda lebih dari 3 bulan, yang disebut MVV, adalah dengan menyertakan bukti lulus ujian tingkat A1 (basis inburgeringsexamen – disebut juga mvv examen) yang dilakukan di kedutaan Belanda di Jakarta. Cerita lengkap tentang ujian A1 dan segala lika likunya sudah pernah saya tuliskan disini. Setelah mvv examen selesai dan dinyatakan lulus, saya bisa bernafas lega, namun hanya sementara.
Ketika pindah ke Belanda, tantangannya berbeda dan semakin nyata. Saya yang lulus ujian A1 lebih banyak dari hasil belajar sendiri lewat youtube dan karena disambi mengerjakan tesis, langsung praktik berbicara bahasa Belanda di negara asalnya itu rasanya semacam garuk-garuk kepala setiap hari, ora mudheng. Benar bahwa hampir semua orang Belanda itu bisa berbicara bahasa Inggris, tapi tetap saja kalau pada saat acara keluarga rasanya aneh kalau anggota keluarga yang lain harus berbicara menggunakan bahasa Inggris hanya karena saya tidak bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Belanda. Selain itu, untuk memperpanjang ijin tinggal, (saya mendapatkan kartu ijin tinggal yang namanya verblijfsvergunning selama 5 tahun, kartu ini juga berlaku sebagai kartu ijin bekerja), saya sebagai imigran wajib menjalani ujian integrasi yang diberikan waktu untuk lulus maksimal 3 tahun sejak kedatangan ke Belanda. Karena benar-benar ingin belajar bahasa Belanda secara baik dan benar, saya memutuskan untuk sekolah bahasa Belanda. Cerita super lengkapnya tentang pencarian sekolah sudah pernah saya tuliskan disini. Awalnya saya ingin mengikuti ujian tingkat B2 yaitu Staatsexamen NT2 Programma II, tetapi setelah saya pikir-pikir lagi sesuai dengan tujuan kedepannya, tingkat B1 saja sudah cukup untuk saya, untuk saat ini. Untuk ujian integrasi sendiri, minimal harus lulus tingkat A2, tetapi jika ingin mengambil tingkatan yang lebih tinggi diperbolehkan. Sekedar informasi, ujian bahasa Belanda itu tingkatannya dari paling bawah sampai paling atas : A1-A2-B1-B2-C1-C2. Jadi saya mengambil ujian satu tingkat diatas syarat minimal yang diwajibkan.
Setelah sembilan bulan penuh berjibaku dengan pelajaran di sekolah (sekolah yang saya ikuti ini hanya libur satu minggu pada 25 desember sampai 1 januari, selebihnya gas pol masuk terus), akhirnya awal Januari 2016 saya dinyatakan selesai sekolah bahasa Belanda. Selanjutnya babak yang paling menegangkan adalah ujian integrasi itu sendiri. Ujian integrasi untuk mereka yang datang ke Belanda per 1 Januari 2015 terdiri dari (sering-sering dicek website DUO karena sering terjadi perubahan dalam kurun waktu tertentu) :
Kennis Nederlandse Maatschappij (KNM) : Ujian pengetahuan dan kemasyarakatan Belanda
Oriëntatie Nederlandse Arbeidsmarkt (ONA) : Ujian wawancara kerja
Examen Schrijfvaardigheid (Schrijven) : Ujian menulis
Semua ujian diatas dilakukan di DUO. Karena uang sekolah saya termasuk dengan uang ujian, maka yang mendaftarkan ujian adalah pihak sekolah, saya tinggal menunggu jadwal sambil deg deg ser. Saya sudah melakukan ujian KNM, Schrijven, Spreken, Luisteren, dan Lezen. Untuk ONA akan saya lakukan menyusul (mungkin 3 bulan kedepan) karena ONA ini tidak diurus oleh sekolah dan harus saya sendiri yang mendaftar serta saya harus menyiapkan dokumen-dokumen penunjang (butuh menyetarakan ijazah ke IDW juga). Setelah melalui serangkaian ujian tersebut, akhirnya pengumuman itu tiba. Saya LULUS! Rasanya terbayarkan sudah segala kerja keras saya selama satu tahun terakhir berjibaku dengan susahnya belajar bahasa Belanda, walaupun tetap menikmati proses panjangnya. Ujian Staatsexamen NT2 (B1) itu adalah yang saya sebutkan diatas pada nomer 3 sampai 6, dan buat saya yang baru satu tahun tinggal di Belanda saat pelaksanaan ujian, B1 itu susah. Pada satu titik saya hampir menyerah dan ingin ujian A2 saja, tapi ada suara yang berbicara di dalam kepala yang membuat saya tetap maju untuk ujian B1. Suara itu adalah ego saya, dia mengatakan “kalau kamu tidak mencoba sampai batas maksimal kemampuanmu, bagaimana kamu tahu kalau kamu berhasil atau tidak.” Akhirnya saya maju ujian dan mencoba optimis, yang penting dicoba dulu, perkara gagal, itu urusan belakangan. Perjuangan untuk lulus akhirnya terbayarkan sudah.
Ada beberapa tips dan informasi yang bisa saya bagikan disini, mungkin bisa digunakan untuk mereka yang memutuskan, sedang proses belajar atau akan menghadapi Staatsexamen NT2 programma 1 (B1). Tips dan info ini berdasarkan pengalaman saya, beda orang beda cara juga :
Tak kenal maka tak sayang
Benar adanya peribahasa diatas. Kalau tidak mengenali sesuatu, bagaimana bisa menyukai atau menyayanginya. Karenanya, kenali bahasa Belanda dulu secara perlahan. Dari pengalaman saya, mengenal bahasa Belanda itu tidak bisa dipaksakan, harus kesadaran sendiri dan dari dalam hati. Awal masuk sekolah, saya masing setengah-setengah belajar bahasa Belanda. Tapi seiring berjalannya waktu, saya semakin menyukai bahasa Belanda karena sering menonton film, mendengarkan lagu berbahasa Belanda dan berkomunikasi dengan bahasa Belanda. Saya mendengar bahasa Belanda itu sexy kalau diucapkan. Semakin banyak saya melakukan kesalahan di pengucapan ataupun grammatica, semakin tertantang untuk belajar terus. Sekarang saya bukan hanya jatuh cinta dengan suami yang WN Belanda, tetapi juga bahasa Belanda itu sendiri.
Belajar mandiri secara rutin, konsisten, dan terjadwal
Yang saya lakukan adalah selain belajar di sekolah juga rutin dan konsisten belajar di luar sekolah. Karena belajar di sekolah saja tidak cukup waktunya jadi harus ditunjang dengan belajar mandiri di luar sekolah. Saya belajar di luar sekolah setiap hari maksimal 3 jam rutin dari senin sampai jumat, sabtu dan minggu libur. Untuk lama belajar setiap orang berbeda kebutuhannya. Untuk saya, 3 jam itu sudah maksimal, lebih dari itu pusing kepala. Lebih baik belajar dalam waktu yang pendek tetapi rutin daripada waktu yang lama tetapi hanya satu hari saja. Setiap orang mempunyai bakat dan kemampuan dibidang tertentu dan sejak dulu saya menyadari bahwa bahasa bukan bidang saya, karenanya saya harus belajar lebih tekun dibandingkan yang lainnya. Jika memutuskan tidak sekolah, belajar mandiri bisa dilakukan melalui website-website yang memberikan materi dan contoh ujian. Tenang saja, banyak sekali. Bisa juga ke perpustakaan (Bibliotheek) untuk meminjam buku atau mengikuti koffie met taal, ini program perpustakaan tanpa dipungut biaya untuk belajar bersama-sama dengan guru dan peserta yang lain.
Kenali kelemahan
Kelemahan saya adalah bagian berbicara (spreken) dan mendengarkan (luisteren), karenanya saya bekerja keras pada dua bagian ini. Bukan berarti saya melalaikan bagian menulis dan membaca karena pada dua bagian ini hasil latihan di sekolah selalu bagus, jadi saya optimis pada dua bagian ini selain karena saya memang suka menulis dan membaca. Tidak heran nilai ujian membaca saya lebih unggul dibandingkan yang lainnya. Dengan mengenali kelemahan, kita bisa tahu bagian mana yang harus ditingkatkan, lebih keras dan tekun belajarnya
Keluar dari zona aman dan nyaman
Yang saya maksudkan disini tentu saja keluar rumah untuk bergaul dengan lingkungan luar. Contohnya : kalau sudah yakin akan melamar kerja, ya bisa dimulai dengan melamar kerja. Bisa juga dengan mengikuti kegiatan sukarelawan seperti yang saya lakukan. Cerita tentang beberapa kegiatan sukarelawan yang saya ikuti sudah pernah saya tulis disini. Selain lebih memperluas pengetahuan kita tentang lingkungan di Belanda juga bisa memperlancar komunikasi dalam bahasa Belanda. Salah satu manfaat yang bisa saya dapat adalah : sewaktu mengikuti ujian KNM, saya tidak terlalu mengalami kesulitan meskipun baru sempat belajar 2 minggu menjelang ujian. Hal ini karena materi KNM nyaris sama dengan yang sehari-hari saya temui di luar rumah ataupun dengan membaca berita. Akhirnya saya mendapatkan nilai sempurna untuk KNM. Kalau hanya berdiam diri di rumah tanpa melakukan kegiatan apapun, bisa saja, toh itu berdasarkan kebutuhan masing-masing orang. Tapi, sangat sayang kalau misalkan banyak fasilitas di luar rumah yang bisa digunakan tetapi tidak dimanfaatkan dengan baik sebagai bagian proses integrasi. Setelah 2 bulan menjadi sukarelawan di verpleeghuis, waktu itu saya merasa ada peningkatan pada kemampuan berbicara dalam bahasa Belanda.
Penilaian KNM ini berbeda dengan penilaian Staatsexamen NT2 untuk B1 pada 4 bagian yang sudah saya sebutkan. Untuk B1 nilai minimal yang harus dicapai untuk lulus yaitu 500, nilai maksimalnya 900 berdasarkan keterangan di websiteIamexpat ini (website ini sangat informatif, silahkan dibaca jika memerlukan informasi mendalam, salah satunya tentang Staatsexamen NT2)
Belajar dari radio, tv, film, lagu-lagu, banyak membaca koran dalam bahasa Belanda ataupun novel.
Yang saya sebutkan diatas adalah cara untuk memperkaya kosakata dalam bahasa Belanda maupun mempelajari struktur kalimat selain melatih mata untuk membaca dan telinga untuk mendengarkan, bahkan tangan untuk menulis serta mulut untuk melatih pengucapan. Kalau melihat TV bisa juga dipasang subtitle dalam bahasa Belanda sehingga kita juga bisa belajar membaca selain mendengarkan.
Membatasi bergaul dengan sesama orang Indonesia
Terdengar sok dan belagu ya dengan saya menuliskan untuk membatasi bergaul dengan sesama orang Indonesia, tapi ini berhasil untuk saya. Logikanya : kalau setiap saat atau katakanlah setiap hari kita selalu bertemu atau beraktivitas dengan sesama orang Indonesia menggunakan bahasa Indonesia, lalu kapan kita akan bisa mempraktikkan komunikasi menggunakan bahasa Belanda. Kalau setiap saat kita berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia selama di Belanda, lalu apa bedanya dengan saat kita tinggal di Indonesia. Ingat, belajar bahasa itu bukan seperti legenda Bandung Bondowoso yang dapat membangun candi dalam waktu satu malam. Belajar bahasa itu tentang latihan yang teratur dan praktik yang konsisten. Perluas pergaulan bukan hanya dengan sesama orang Indonesia saja. Sudah saatnya mengubah cara berpikir, tidak harus selalu bersama-sama dengan yang sesama negara. Ada saatnya untuk berkumpul, tapi tidak harus selalu. Selain itu juga bisa menghindarkan diri dari gosip-gosip yang tidak perlu.
Dukungan dari pasangan dan keluarga
Sejak saya masuk sekolah, komunikasi dengan suami yang pada awalnya menggunakan bahasa Inggris berganti dengan bahasa Belanda. Dari yang prosentasenya hanya 5%, sekarang sudah sekitar 90% kami berkomunikasi menggunakan bahasa Belanda. Suami saya termasuk galak dan super tegas dalam hal ini. Setiap saya menggunakan bahasa Inggris, dia selalu menjawab dengan bahasa Belanda. Lama-lama akhirnya saya mengikuti. Begitu juga dengan keluarga disini, saya berkomunikasi dengan mereka full menggunakan bahasa Belanda. Tidak hanya itu saja, suami selalu mengoreksi ucapan saya yang salah ketika berbicara, membetulkan tulisan ketika saling berkirim pesan di whatsapp ataupun email. Salah disini termasuk cara pengucapannya maupun grammatica. Awalnya kesal ya setiap berbicara kok dikoreksi. Lama-lama jadi terbiasa dan merasakan manfaatnya. Selain itu, suami juga rajin mengoreksi hasil latihan menulis bahkan dua bulan menjelang ujian, sepulang dia bekerja, kami setiap malam berlatih bersama. Dia mengoreksi hasil latihan saya di contoh soal ujian maupun berlatih ujian berbicara. Dia mengatakan bahwa ujian integrasi ini adalah tanggungjawab bersama, jadi kerja team. Karena kalau saya tidak lulus, dia juga kan yang akan rugi. Karenanya dukungan suami sangatlah dibutuhkan. Adakalanya saya capek dan bosan belajar, dia tidak memaksa. Itu wajar katanya. Hanya satu ucapannya yang saya selalu ingat, “Saya mengikuti kamu. Kalau kamu memang mau lulus, mari belajar bersama-sama. Tapi kalau kamu tidak disiplin dalam belajar, kamu juga harus terima konsekuensinya apa, dan tidak boleh marah-marah ataupun sedih berkepanjangan. Apa yang kamu tanam, itu yang kamu dapatkan manfaatnya.”
Latihan, praktik dan praktik
Praktik ini tidak mengenal batasan waktu dan tempat. Terutama yang saya soroti disini adalah praktik berbicara. Pada awalnya saya takut kalau melakukan kesalahan ketika berbicara, tetapi lama kelamaan saya berpikir, saya kan bukan asli orang Belanda. Jadi kalau melakukan kesalahan ya wajar saja, namanya juga belajar. Kalau melakukan kesalahan berbicara tidak akan didenda juga. Jadi hajar saja, jangan takut. Yang menjadi lawan bicara juga pasti akan tahu kalau saya bukan asli Belanda. Kalau takut terus yang dipelihara, kapan bisa maju. Akhirnya saya nekat berbicara mengunakanan bahasa Belanda dimanapun berada, misalkan di pasar, di supermarket, menelefon rumah sakit, membuat janji dengan dokter, bahkan ketika berkonsultasi dengan dokter ketika di rumah sakit saya menggunakan bahasa Belanda, atau saat mengirim email ke koordinator di tempat kerja. Intinya dimanapun dan kapanpun. Kecuali kalau dalam keadaan sangat terpaksa : misalkan sesuatu yang berhubungan dengan medis, kalau sudah dijelaskan menggunakan bahasa Belanda berkali-kali dan ada hal yang saya belum paham, saya meminta dijelaskan menggunakan bahasa Inggris, daripada salah pemahaman.
Ukur kemampuan
Seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, untuk ujian integrasi kita diberikan waktu maksimal 3 tahun untuk lulus. Kita harus bisa mengukur kemampuan kita sendiri apakah sudah siap untuk ujian atau belum. Tingkat B1 lebih sulit ujiannya dibanding A2, itu pasti karena memang tingkatan B1 diatas A2. Tetapi yang saya ingin tekankan disini adalah karena B1 itu susah (menurut pendapat saya yang baru 1 tahun tinggal di Belanda), kita harus menetapkan batas terhadap diri sendiri kapan akan ujian. Kalau dirasa satu tahun cukup untuk belajar, lalu memutuskan ujian, silahkan. Kalau dirasa dua tahun itu waktu yang dibutuhkan untuk belajar lalu ujian, silahkan. Yang jangan dilupakan adalah batas maksimal 3 tahun. Jangan menetapkan standar berdasarkan kacamata orang lain, tetapi jadikan keberhasilan orang lain itu sebagai motivasi. Kalau memang ternyata setelah ujian dan hasilnya gagal, jangan terlalu kecewa. Segera bangkit dan telisik kembali gagalnya dibagian mana. lalu perbaiki. Banyak latihan, praktek dan jangan mudah menyerah. Salah satu yang menjadi motivasi saya adalah ketika melihat digrup NT2 ada yang mengumumkan lulus ujian setelah 9 bulan belajar. Wah, ternyata bukan hal yang mustahil ya. Setelahnya saya menjadi terpacu untuk belajar maksimal.
Beberapa website yang bisa digunakan untuk belajar (alamatnya bisa langsung diklik):
– EHBN (Eerste Hulp Bij Nederlands) : Ini untuk belajar dan latihan soal-soal KNM. Saya belajar KNM dari situs ini selain buku yang didapat dari sekolah.
– Inburgeren : Ini adalah website DUO sebenarnya, tetapi disini bisa dibaca lengkap tentang segala informasi tentang ujian integritas dan contoh soal sebagai bahan latihan.
– Hetcvte : Website ini khusus untuk Staatsexamen NT2 milik DUO, dari cara mendaftar ujian sampai contoh soal dan materinya.
Pada saat ujian
Sehari sebelum ujian, saya tidak memegang satu bukupun. Tujuannya supaya pikiran tenang. Pada hari ujian, usahakan datang 30 menit sebelum ujian dengan membawa lengkap syarat-syarat yang sudah tertulis dalam surat undangan. Jangan tegang dan panik, terutama bagian spreken. Fokus saja pada diri kita, percaya diri saja bahwa bisa mengerjakan. Berdoa supaya diberikan kemudahan, jika memang dibutuhkan. Saya menemukan sebuah cerita tentang pengalaman saat ujian. Bisa dibaca disini. Apa yang dituliskan nyaris sama dengan pengalaman saya. Dan ternyata, setelah saya melewati ujian-ujian tersebut, soalnya tidak sesusah yang saya bayangkan. Bahkan pada bagian luisteren, suaranya jelas tidak seperti contoh ujian yang saya buat latihan.
Setelah ujian
Setelah ujian waktunya untuk bersenang-senang. Lakukan apapun yang kita suka, piknik misalnya karena kita sudah terbebas dari ujian. Kalau saya bersama suami jalan-jalan ke Perancis dua minggu setelah ujian berakhir. Masalah hasil, tidak usah terlalu dipikirkan walaupun dalam kenyataannya tetap saja sih kepikiran tapi tidak terlalu berlebihan. Kalau kita sudah berusaha semaksimal mungkin, hasil akan mengikuti, tenang saja. Optimis. Dan satu lagi, berdoa semoga hasilnya adalah lulus. Hasil ujian bisa dilihat pada website DUO dalam waktu 5 minggu dan suratnya akan dikirim ke alamat kita dalam waktu 6 minggu terhitung sejak waktu ujian, kecuali KNM hasilnya bisa dilihat sekitar 3 hari setelah ujian.
Itulah pengalaman dan informasi yang bisa saya bagi mengenai ujian integrasi maupun Staatsexamen NT2 Programma I (B1). Saya saat ini masih mempersiapkan untuk ujian ONA, setelah melewati 5 ujian lainnya. Jika sudah ada hasil ONA, informasi disini akan saya update. Buat saya, yang terpenting adalah kemauan dari kita sendiri untuk belajar semaksimal mungkin. Sebagus dan semahal apapun sekolahnya, kalau tidak diimbangi dengan kemauan kita untuk belajar di luar sekolah, semuanya tidak akan berarti apa-apa. Saya memperhatikan banyak yang lulus ujian B1 tanpa harus bersekolah (karena memang sekolah tidak wajib setelah tahun 2014), mereka belajar sendiri. Sebaliknya pun begitu, ada yang tidak lulus ujian B1 walaupun sekolahnya ditempat yang bagus, karena mereka tidak mau praktik dan menambah frekuensi belajar di luar sekolah. Semuanya kembali pada kita sendiri, ada kemauan kuat untuk lulus atau tidak.
Apakah sekarang saya sudah lancar berkomunikasi menggunakan bahasa Belanda? Wah ya belum pastinya, jauh dari sempurna. Tinggal disini saja saya belum genap 1.5 tahun, ngomong masih sering belepotan grotal gratul kata orang Jawa, menulis masih sering ketinggalan lidwoordnya, dan masih sering tidak mudheng kalau ada yang berbicara dalam bahasa Belanda dengan kecepatan tinggi dan beraksen. Tapi setidaknya saya sudah berani mencoba dan selalu memperbaiki diri dari segala kesalahan yang ada. Jangan takut salah ketika mencoba dan selalu berpikir positif bahwa kita bisa. Proses belajar tidak serta merta berhenti ketika ujian selesai. Proses belajar akan berlangsung sampai kapanpun. Ada kalimat bagus yang saya kutip dari websiteIamexpat“A pass does not mean your Dutch is perfect, but it proves you have a good understanding of the language and you are familiar with the grammar and vocabulary.”
Heel veel succes voor iedereen die examen (Inburgeringsexamen of Staatsexamen NT2) gaat doen!
Baca juga pengalaman Zilko (disini) mengikuti ujian integrasi sebagai salah satu syarat untuk mengajukan permohonan izin tinggal permanen di Belanda.
-Den Haag, 18 Mei 2016-
Suami tidak bisa melihat saya ongkang-ongkang kaki, “Jadi selanjutnya kamu mau ujian menyetir atau ambil diploma renang?” owalahh Mas, tawarannya kok ujian lagi, ora uwis uwis 😀
Akhir pekan kami dipenuhi oleh cerita makan-makan dan dan kumpul-kumpul bersama keluarga serta kedatangan tamu istimewa. Dimulai dari Jumat malam, saya dan suami kedatangan tamu, seorang blogger bersama suaminya yang sedang liburan beberapa hari di Belanda. Saya sudah mengenal dia sejak awal mempunyai blog ini. Saya selalu suka dengan ceritanya diblog, dengan cara bertutur yang segar juga foto-foto yang bagus, terutama kalau sedang mengulas makanan. Karenanya, begitu dia mengabari dua bulan sebelumnya kalau akan menginap di Den Haag, saya menawari untuk mampir ke rumah dan makan malam bersama.
Setelah pulang kerja, saya mulai memasak. Karena tidak punya banyak waktu, akhirnya saya membuat yang gampang-gampang saja. Ikan bakar, nasi liwet, tumis kangkung, tahu tempe goreng, sambel dabu dabu, oseng pedes teri asin pete, ayam panggang dan tidak lupa krupuk. Penampakan masakannya tidak ada, males mendokumentasikan karena sudah lapar. Atau saya ketularan males, karena blogger yang saya undang ke rumah kali ini tidak suka mandi, alias males mandi. Iya, yang mengunjungi saya adalah Dita, pemilik blog Males Mandi. Dita seru orangnya meskipun awalnya masih malu-malu 😀 dan ternyata suaminya satu satu kampus dengan saya, jadilah kami reuni kecil-kecilan mengenang kampus dan sekitarnya, terutama warung-warung yang jual makanan murah *tetep lho omongannya ga jauh dari makanan 😀.
Sebenarnya bukan kali pertama saya kopdaran dengan blogger yang sedang berlibur di Belanda dan mengundang mereka ke rumah. Sebelumnya rumah kami pernah kedatangan Chocky, Safitri, Arievrahman dan istrinya. Tidak semua yang saya kenal diundang ke rumah dan makan malam bersama, tergantung kedekatan saja. Kalau dengan Safitri saya memang sudah kenal lama, sejak masih kerja di Jakarta. Kenal Chocky karena saya memaksa dia untuk membawa titipan buku. Eh, tapi Dita dan Safitri juga sama sih, saya modus menitip buku ke mereka *terima kasih yaa sudah mau direpoti untuk membawa titipan buku.
Sabtu dan minggu adalah acara kumpul keluarga. Sabtu ada acara ulang tahun ipar, jadinya kami makan-makan disana. Jangan membayangkan kalau orang Belanda ulang tahun makanannya berlimpah. Makanannya porsinya imut imut dan terbatas (secukupnya). Tapi karena keluarga suami ini suka makan, saya melihat perkecualian. Kalau ada anggota keluarga yang ulang tahun, makanannya berlimpah. Banyak sekali sampai kami sering dibekali untuk dibawa pulang.
Hari minggu adalah Hari Ibu di Belanda. Karenanya, saya dan suami mengunjungi Mama. Ternyata disana sudah ada anggota keluarga yang lain. Setelah memberikan kado kepada Mama, acara makan dimulai. Senang kalau acara kumpul keluarga seperti ini, salah satu wadah saya memperlancar bahasa Belanda juga karena bisa ngobrol dengan mereka menggunakan bahasa Belanda.
Keesokan harinya tepatnya Senin, karena sedang libur kerja saya menemani Dita dan suaminya keliling Den Haag, salah satunya ke Japanese Garden. Entah kenapa saya selalu suka ke tempat ini, mungkin karena bisa merasakan tenang dan damai, dengan melihat bunga-bunga dan mendengar merdu suara burung, melihat angsa berenang didanau taman Clingendael. Suami Dita sampai berkali-kali memuji tempat ini (dan tentu saja membandingkan dengan Jakarta :D). Japanse Garden buka dua kali dalam satu tahun yaitu pada saat musim semi dan musim gugur. Saya pernah menuliskan cerita tentang Japanese Garden sebelumnya disini.
Setelah berkeliling ke beberapa tempat dan Dita mencoba makan pertama kali khas Belanda, kami akhirnya makan di restaurant Indonesia. Maklum, dia sudah lebih dari seminggu tidak makan sesuatu yang beraroma Indonesia, karenanya saya bawa kesini. Tentu saja dia kalap, ingin makan ini dan itu. Lumayan bisa menjadi tombo kangen makanan Indonesia karena acara liburannya masih panjang di beberapa negara. Kami memesan rujak cingur, es cendol, mie ayam, es teh manis, kerupuk, dan es jus sirsak.
Senin kemarin merupakan ulang bulan perkawinan kami dan setiap bulan juga pasti kami merayakannya. Kadangkala kami merayakan dirumah atau kalau memang ada waktu, kami merayakan diluar rumah. Terkadang kami merayakan dengan makan, atau sekedar menonton film di Bioskop atau merayakan dengan belanja buku bersama. Untuk bulan ini kami merayakan ulang bulan perkawinan sekaligus ada kabar bahagia dengan makan di restoran Lebanon. Setelah berpisah dengan Dita, saya menunggu suami sampai jam kantor selesai di perpustakaan pusat kota Den Haag. Saya sering menghabiskan waktu disini kalau sedang janjian dengan suami pada saat jadwal kencan kami. Lumayan bisa membaca buku sekalian ngadem. Kapan-kapan akan saya bahas tentang tempat favorit kami berkencan, yaitu segala macam toko buku dan perpustakaan. Kami bisa menghabiskan waktu berjam jam kalau sudah nongkrong di toko buku dan perpustakaan.
Banyak hal yang bisa mengingatkan kita pada kenangan masa kecil. Permainan tradisional, orang-orang tersayang, makanan rumahan, bahkan mungkin cinta pertama (bisa saja cinta pertamanya saat masih kecil, seperti kisah di film-film). Kalau saya tentu saja makanan yang membuat jatuh cinta pada saat makan pertama kali. Salah satu makanan yang sangat melekat dengan kenangan masa kecil adalah Pecel Tumpang. Mungkin ada beberapa yang belum pernah mendengar nama pecel tumpang. Bagi saya jenis pecel ini rasanya tidak ada yang bisa mengalahkan jenis pecel yang lainnya, bahkan pecel pincuk yang dijual di depan Pasar Beringharjo yang selalu membuat saya selalu rindu untuk kembali ke Jogjakarta. Tapi kembali lagi, ini adalah masalah selera dan kenangan didalamnya.
Entah kapan tepatnya saya mulai menyukai pecel tumpang. Tapi yang pasti saya hanya bisa makan pecel tumpang ketika pergi ke rumah Mbah di Nganjuk, yang sayangnya hanya setahun sekali, dan dikemudian hari malah hanya dua atau tiga tahun sekali. Ibu memang sering memasak pecel tumpang di rumah, tapi tetap rasanya berbeda jika langsung makan di tempat asalnya. Ada seorang tetangga, Yu Rah namanya, menjual pecel tumpang tepat disebelah rumah Mbah. Setiap selesai adzan subuh berkumandang, saya selalu mendengar Yu Rah dibantu suami dan anak-anaknya menyiapkan segala perlengkapan untuk berjualan. Sayur mayur yang ditaruh di baskom besar, satu plastik berisi sambel pecel yang nanti akan diseduh dimangkok bersama air panas, satu mangkok sambel tumpang, satu mangkok sambel goreng tempe tahu, dua toples besar (kami menyebutnya “blek”) masing-masing berisi kerupuk pasir (krupuk yang digoreng dipasir, ini krupuk khas Nganjuk. Bahasa Jawanya : Krupuk Wedi ) dan peyek teri kacang, bubur sumsum (kami menyebut jenang sumsum), satu ceret besar berisi air, satu ceret kecil berisi teh hangat, dan satu baskom ketan putih yang nantinya dihidangkan bersama bubuk kedelai.
Pecel Yu Rah ini sangat terkenal di desa tempat tinggal Mbah. Pukul setengah 6 pagi, saat orang-orang bergegas ke sawah, mereka akan mampir dulu merasakan nasi hangat yang ditaruh dipincuk daun pisang kemudian diberi sayur kecambah, kangkung, lamtoro gung disiram sambel pecel dan sambel tumpang, tidak lupa sambel goreng tahu tempe dan ditutup oleh kerupuk pasir dan peyek teri kacang. Setelah selesai makan pecel, biasanya mereka akan memesan bubur sumsum atau ketan sebagai makanan penutupnya sembari sesekali menyeruput segelas teh hangat. Ah, menuliskan hal ini saja sudah membuat saya sangat rindu akan suasana desa. Rindu kursi panjang dari bambu tempat mereka bercengkrama sembari sarapan, rindu sapaan hangat dengan senyuman yang selalu tersungging dibibir, rindu melihat mereka memanggul cangkul menembus kabut pagi.
Biasanya saya sudah mengantri sejak jam 6 pagi, karena jika telat sedikit saja, antrian sudah mengular dan sekitar jam setengah 8 pagi dagangan Yu Rah sudah habis tak bersisa. Saya akan makan sepincuk pecel tumpang sembari mendengarkan penduduk desa berbincang tentang sawah mereka, hasil panen, ataupun topik politik yang mereka lihat di televisi. Setelah sepincuk pecel tumpang tandas, saya akan melanjutkan memakan semangkok kecil bubur sumsum.
Jika jauh begini, sungguh tersiksa kalau sedang kangen makanan tertentu. Jalan keluarnya ya akhirnya memasak sendiri. Beberapa waktu lalu, sebuah sejarah terjadi. Saya yang seumur hidup tidak pernah membuat sambel pecel, akhirnya dengan terpaksa nekat membuat pecel tumpang lengkap dengan pasukannya. Sambel tumpang dibuat dari tempe yang sudah semanggit (tempe nyaris busuk) dicampur dengan bawang merah dan bawang putih serta kencur dan daun jeruk lalu dimasak dengan sedikit santan. Perpaduan rasa tempe yang semanggit dan kencur inilah yang membuat sambel tumpang sangat istimewa. Ini yang membuat pecel tumpang berbeda. Dan pecel tumpang ini adalah makanan khas Kediri dan Nganjuk. Tumpang artinya diletakkan diatas sesuatu. Karenanya, pecel tumpang ini sambel tumpangnya disiramkan langsung diatas nasi atau sayuran.
Setelah pulang liburan dari Perancis, keinginan untuk makan pecel tumpang semakin menggebu. Karena saya punya persediaan tempe semanggit, akhirnya tanpa berpikir panjang langsung semangat ’45 memasak. Dan disaat yang sama, saya juga ingin makan gudeg. Entah sedang kerasukan apa, gudeg pun saya buat juga padahal sebelumnya belum pernah dan tidak terpikir sama sekali dalam hidup akan memasak gudeg sendiri. Setelah berkutat sejak jam 7 pagi di dapur mempersiapkan semuanya dengan berbekal resep hasil dari berselancar di internet serta padu padan bumbu dan bahan serta seperti biasa ilmu kira-kira dalam hal takaran, akhirnya pada saat makan siang saya dan suami bisa menikmati sepiring pecel tumpang yang dikombinasikan dengan gudeg, bacem tahu, bacem telur puyuh, mendol. Pengalaman luar biasa buat saya karena pertama kali memasak sambel pecel, sambel tumpang, dan gudeg.
Suami yang belum pernah makan sambel tumpang ternyata cocok dengan rasanya, padahal saya beri tahu kalau itu dari tempe yang nyaris busuk. Buat dia tidak masalah, selama rasanya enak dan tidak mengandung racun. Bahkan dia meminta sisa sambel tumpang dan gudeg diikutsertakan untuk bekal makan siangnya di kantor keesokan hari. Senang rasanya bisa menghadirkan kenangan masa kecil pada sepiring pecel tumpang buatan sendiri. .
Cerita tambahan
Hari ini ada libur nasional di Belanda, jadi kami leyeh-leyeh seharian di rumah. Pagi hari jam 8 kami lari di bukit dekat rumah (sepedahan dulu ke sana, kira-kira 30 menit). Lumayan juga lari naik turun bukit selama 1.5 jam dengan total 15km. Mumpung matahari nyentrong jadinya kami manfaatkan sebaik mungkin mengumpulkan vitamin D dengan duduk sebentar dipinggir danau setelah lari.
Tahun kemarin kami berkunjung ke Malieveld untuk menyaksikan Bevrijdingsfestival yang salah satu pengisi acaranya ada penampilan dari Molukse en Nederlandse popmusici yang menyanyikan lagu Bengawan Solo. Ceritanya pernah saya tuliskan disini tentang Bevrijdingsfestival tahun lalu. Tahun ini kami menikmati cuaca cerah dengan bersih-bersih rumah, ehm lebih tepatnya suami yang bersih-bersih rumah, saya membaca buku. Tapi kok tiba-tiba saya ingat abang-abang yang jual otak otak ikan di bawah jembatan penyeberangan depan Cempaka Mas Jakarta, karena saya hampir setiap hari beli otak otak disana kalau pulang kerja sewaktu masih tinggal di rumah bulek.
Karena punya persediaan ikan pangasius, akhirnya untuk mengobati rasa kangen dan rasa ingin makan otak otak ikan, berbekal Bismillah karena belum pernah membuat sebelumnya dan berbekal persediaan bahan yang ada, saya berselancar di internet mencari resepnya. Karena daun pisang disini mahal harganya, jadi meskipun mempunyai persediaan di kulkas, saya tidak menggunakan daun pisang. Caranya tanpa menggunakan daun pisang : adonan otak-otak yang sudah jadi lalu dibentuk, kemudian direbus, ditiriskan, setelahnya baru dipanggang. Rasanya sama persis dengan yang biasa saya makan sewaktu di Jakarta, beda aroma daun pisang saja. Wah, berhasil membuat otak otak ikan untuk pertama kali disajikan dengan sambel pecel.
Memasuki musim semi artinya bunga-bunga mulai menunjukkan keindahan warnanya. Tidak hanya bunga, pepohonan pun mulai berwarna warni dengan indahnya. Sejak pindah ke Belanda, saya menjadi seseorang yang menyukai bunga. Dulu saya tidak terlalu memperhatikan aneka rupa bunga, tetapi sejak tahun lalu, salah satu kesenangan saya adalah berlama-lama di pusat penjualan bunga dan pernak perniknya karena memang lokasinya dekat dengan rumah. Kalau tidak mengingat dirumah tidak terlalu banyak tempat untuk menaruh bunga, pasti pulang dari sana saya selalu menenteng pot bunga. Salah satu bunga yang sukai saat musim semi adalah tulip.
Tulip merupakan salah satu ikon negara Belanda. Tempat yang terkenal dengan beraneka macam tulip dan segala jenis bunga lainnya adalah Keukenhof, yang mampu menyedot turis dari segala penjuru dunia sejak pertengahan maret sampai pertengahan mei setiap tahunnya. Pesona Keukenhof pula yang membuat saya ingin mengunjungi Belanda, melihat tulip dalam wujud nyata, tidak hanya dari majalah Colours setiap saya naik Garuda ketika sedang ada urusan kerja. Dulu saya membayangkan bagaimana rasanya berada diantara jutaan tulip dan bunga-bunga lainnya. Bersyukur pada tahun 2014 akhirnya semesta mewujudkan hal yang selama ini menjadi impian, langkah kaki sampai juga ke Keukenhof. Saya pernah menuliskan pengalaman mengunjungi Keukenhof disini. Ada yang membuat saya penasaran ketika sedang didalam Keukenhof, mata saya tidak lepas memandang ladang tulip diluar area Keukenhof. Warna warni tulip berjejer rapi membentuk bentangan indah selayak karpet alami. Saat itu saya hanya berkata dalam hati, suatu saat ingin mengunjungi ladang tulip tersebut.
Dua tahun berselang, tepatnya satu bulan lalu, saya kembali teringat apa yang saya batin. Saya kemudian mengutarakan ide ke suami tentang mengunjungi ladang tulip. Suami sangat setuju. Akhirnya diputuskan pada akhir pekan pertengahan April kami berpetualang menyusuri ladang tulip dengan bersepeda. Ya, kami berangkat dari rumah di Den Haag menuju area ladang tulip disekitar Lisse, Sassenheim, Noordwijk, dan Noordwijkerhout. Yang saya sebutkan tadi adalah nama kota-kota yang masuk area Duin en Bollenstreek, yang merupakan wilayah pesisir antara Wassenaar dan Haarlem yang memiliki bukit pasir dan budidaya umbi bunga. Kombinasi pantai, bukit, ladang bunga, sejarah peternakan, danau, istana dan perkebunan membuat daerah ini sangat menarik untuk dikunjungi.
Jam 11 siang kami memulai petualangan satu hari bersepeda. Saya sebenarnya agak tidak terlalu yakin apakah sanggup bersepeda dengan radius lebih dari 50km, tapi rasa penasaran akan keindahan ladang tulip mengalahkan rasa tidak yakin tersebut. Senangnya kalau bersepeda adalah kami bisa berhenti ditempat-tempat yang diinginkan sewaktu-waktu. Jadi kalau merasa capek, ya berhenti dulu sambil foto sana sini. Kalau haus, tinggal cari kran air dan langsung minum air langsung dari sana. Kalau melihat tempat wisata seperti danau atau kebun yang penuh burung, langsung masuk tanpa dipungut biaya. Dan suguhan pemandangan selama perjalanan sangat menyenangkan, selain alamnya juga bisa melihat domba, sapi, kuda dimana-mana.
Dari Den Haag, kami menuju Leiden terlebih dahulu. Karena suami sudah hafal luar kepala jalur bersepeda menuju Leiden, kami tidak menggunakan peta atau aplikasi Fietsknoop. Sebenarnya tanpa menggunakan aplikasi ataupun peta juga bisa karena disetiap titik jalur bersepeda selalu tersedia peta dan bisa dilihat kita sedang dititik nomer berapa kemudian melihat pada peta kita ingin ke titik nomer berapa. Petunjuknya sangat jelas, dan mudah-mudahan meminimalisir tingkat tersasar khususnya untuk orang seperti saya yang memang gampang sekali kesasar. Ditengah perjalanan, tanpa sengaja kami melewati kantor VVV di Teylingen. Jadi VVV ini adalah kantor pusat informasi tentang tempat wisata, rute bersepeda (fietsen), rute berjalan kaki (wandelen), museum, taman, dan tempat wisata lainnya yang ingin dikunjungi. Ada banyak brosur yang tersedia disini, kebanyakan gratis tapi ada beberapa yang harus beli, contohnya peta rute bersepeda ini kami beli seharga €1,20. Kalau rute jalan kaki disediakan gratis. Disini kita bisa bertanya apapun yang ingin kita ketahui tentang yang berhubungan dengan tempat wisata. VVV ini ada disetiap provinsi di Belanda. Bagi turis yang ingin bersepeda, bisa menyewa sepeda OV (OV Bicycle) di stasiun. Keterangan lebih lengkapnya bisa dilihat di website resmi mereka atau menyewa di area Keukenhof, hanya saya kurang jelas harga sewa sepedanya berapa.
Hal seru yang kami rasakan saat bersepeda adalah ketika bertemu sesama rombongan bersepeda lainnya dan kami saling bertegur sapa, saling melemparkan kata “Halo” atau “Hai” atau “Hoi.” Ada saatnya kami menolong keluarga yang nampak kebingungan harus menuju arah mana, ada saatnya kami berbincang dengan mahasiswa-mahasiswa dari Universitas Leiden yang sedang beristirahat. Hal lain yang tidak kalah menyenangkan yaitu kami membawa bekal makan siang dan beberapa makanan ringan lainnya, jadi semacam piknik. Saya yang tidak mau repot memasak, hanya membuat sushi. Kalau menuruti rasa ingin, harapannya bisa membawa nasi bakar, lalapan, ikan asin, tahu dan tempe goreng. Tapi karena rasa malas memasak sedang datang, sushi saja sudah cukup. Sebenarnya kami membawa tikar juga, tetapi karena menemukan bangku yang nyaman untuk tempat makan, maka rencana makan lesehan beralaskan tikar kami simpan dahulu. Makan siang dengan pemandangan serba hijau dan didekat kincir angin ditemani angin yang super kencang menjadi pengalaman tidak terlupakan.
Setelah beberapa jam bersepeda melintasi desa, akhirnya satu persatu ladang tulip bisa kami jumpai. Girang bukan kepalang saya rasakan. Ingin loncat-loncat saja rasanya melihat secara dekat hamparan warna warni tulip dan bunga lainnya yang dahulu saya lihat dari dalam Keukenhof. Sekarang saya bisa masuk kedalam ladang tulip secara langsung. Ladang-ladang tulip yang kami lalui ini sebagin besar berada pada jalur rute bersepeda maupun rute berjalan kaki. Jadi terkadang tersembunyi dari jalan besar yang dilalui mobil.
Secara tidak terduga, ditengah perjalanan kami menjumpai parade bunga. Kami lalu menghentikan laju sepeda dan memarkirnya untuk sesaat larut dalam kemeriahan iring-iringan parade bunga. Kalau dua tahun lalu saya harus berdesakan untuk melihat parade bunga ini di Keukonhof, namun kali ini saya berada dibarisan pertama tanpa harus berdesakan dengan penonton lainnya. Bahkan suami menonton parade bunga sembari duduk di rerumputan. Hanya sekitar 30 menit kami melihat parade ini dan kembali mengayuh sepeda untuk melanjutkan perjalanan. Informasi parade bunga atau dalam bahasa Belanda adalah Bloemencorso bisa dilihat pada website resmi mereka di Bloemencorso Bollenstreek.
Kalau melihat ladang bunga seperti ini, serta merta ingatan saya langsung tertuju pada berita rusaknya kebun bunga Amaryllis di Jogjakarta. Karena hasrat eksistensi diri atau hasrat ingin mengunggah foto di media sosial, harus dibayar dengan merusak keindahan bunga dikebun tersebut. Selama mengunjungi beberapa ladang tulip, saya melihat pengunjung lainnya bersikap santun, tidak merusak, tidak menginjak-nginjak ataupun tidur gegoleran hanya untuk mengikuti nafsu mengunggah foto diri di media sosial. Kalaupun ingin mengambil foto diantara tulip-tulip, maka mereka berjalan sangat hati-hati, memastikan bahwa kaki mereka tidak menginjak satupun bunga. Mudah-mudahan sikap seperti ini juga bisa ditiru di Indonesia. Menikmati keindahan dengan cara yang wajar dan santun, tidak hanya memuaskan hasrat eksistensi tetapi tidak mengindahkan etika dan tata krama.
Saya sudah bercerita beberapa kali melalui tulisan-tulisan terdahulu bahwa cuaca di Belanda itu sangat cepat berganti dalam satu hari, karenanya melihat prakiraan cuaca sangatlah dibutuhkan disini karena tingkat keakuratan yang tinggi. Sampai ada yang menyebut bahwa dalam satu hari bisa terjadi 4 musim. Hal ini kami buktikan selama bersepeda sabtu kemarin. Dalam satu hari melintasi kota dan desa kami harus berjuang dengan segala cuaca. Di satu kota cuaca hangat dengan matahari bersinar cerah, kemudian di kota sebelahnya mendung gelap, hujan dan angin sangat kencang sampai saya nyaris jatuh dari sepeda beberapa kali karena tidak sanggup menahan laju angin. Setelahnya panas kembali, lalu tiba-tiba hujan es. Iya, dimusim semi seperti ini masih saja hujan es. Malah saya mendengar siaran berita dibeberapa kota dibagian utara turun salju. Pada hari minggu saat saya menulis postingan ini, hujan es tidak berhenti turun ke bumi. Tetapi dengan melalui beberapa cuaca dalam satu hari kemudian melihat pelangi muncul di ladang tulip paling akhir yang kami kunjungi, rasanya lengkap sudah petualangan satu hari bersepeda menyusuri keindahan ladang tulip. Kami berhitung sampai 3 kali melihat pelangi selama perjalanan pulang, sampai suami berseloroh ada kabar gembira apa yang sudah menunggu dengan pertanda 3 pelangi tersebut.
Belum semua tempat bisa kami kunjungi, mungkin tahun depan kami akan kembali lagi kesini, tidak melalui rute sepeda, mungkin melalui rute jalan kaki. Kami sudah rindu rasanya menghirup aroma wangi bunga yang menguar selama perjalanan, berjumpa gadis kecil yang menunggu tulip untuk dijual, ataupun membeli bunga tulip di kios tanpa penjaga dan cukup menaruh uang sesuai harga yang tertera pada kotak yang sudah tersedia. Kunjungan selanjutnya kami ingin menyusuri pantai, menyaksikan matahari terbenam dan tetap melintasi ladang tulip melewati rute lainnya. Jam 10 malam kami tiba dirumah setelah menempuh 90 km bersepeda sejak jam 11 pagi. Rasa capek terbayarkan dengan melihat kembali foto-foto selama bersepeda yang beberapa kami bagikan melalui cerita di blog ini.
Jika ada yang tertarik untuk melihat keindahan tulip, kami sarankan untuk datang pertengahan april sampai akhir april karena itu adalah waktu terbaik saat tulip sedang mekar-mekarnya. Sampai bertemu di cerita tulip selanjutnya, dan kami menunggu cerita tulip versi kalian 🙂
Aachen -like so many other cities in Germany- clearly show the scars of World War II. The Allied Forces mercilessly bombed German cities of any importance in order to weaken the Nazi regime and Aachen was no exception. If that was not enough, Aachen also became in the frontline of an intense battle between the American and German army in October 1944, destroying large parts of the city. Luckily for us today some of the most important buildings were spared and still there to visit, among them the Aachener Dom. In 1978 it was one of the first 12 sites to make the entry into the UNESCO list of World Heritage Sites. It was the first German site and one of the first three European sites to be admitted. Two decades of restoration work on the dome was completed in 2006.
Aachen is nowadays a city with some 250.000 inhabitants and is situated close to the Belgium and Dutch border. Besides the Aachener Dom the city center contains interesting buildings like the Rathaus and the Elisenbrunnen, an 18th century center for the rich Europeans that came to Aachen for its curing Mineral Wasser Brunnen (mineral water sources). Such buildings remind us of Aachen’s rich and important place in European history. Of those buildings the Aachen’s Cathedral –Dom as the German people name it- is the most visible and important.
The history of the Dom goes back 1200 years when Charlemagne reigned in large parts of Europe and tried to restore the grandeur and importance of the Roman empire. Charlemagne made Aachen into one of his residences within his empire. In Aachen he would settle a few months throughout the year with his royal court. In later times, during the medieval age the Dom was used to crown the German emperors.
From the outside the Dom does not immediately impressed me like for example the Cologne Dom. It clearly consists of different parts that were built over very different periods and the ongoing constructions  make it difficult to get a good overall impression of the outside  the Dom. The entrance of the Dom might appear a bit underwhelming.
We are entering here through one of the earliest stages of the church established by Charlemagne. In the entrance hall you pass by two very ancient Roman sculptures: a bronze pine cone and a wolf. Then you enter the main hall of the Dom. This is a very impressive experience: the decorations on the walls and ceilings are truly splendid.
Keep remembering though that what you see are treasures from very different periods. Some of the golden relics date from between 1000 to 1400. The main foundation of the church with its beautiful columns from marble and granite dates from the time of Charlemagne. The stained-glass windows are from relatively recent dates (post World War II).
After your visit to the Dom I advise you to go to a close location: the Dom Information Center. Here you can reserve your place for a guided tour that allows you to visit places that are not accessible for the common visitor. The tour takes around 45 minutes and takes place every hour. The admission fee is around 5 euro. In the same office you can buy tickets for the Domschatzkammer, the treasury of the Dom. Tickets for the treasury a little more expensive than the tour tickets, buit it is totally worth visiting the treasury for there are so many beautiful paintings, sculptures, textiles and other objects to see.
I do not pretend to have a very extensive knowledge of European cathedrals but from the ones I have visited I can say that the Aachener Dom is among the most beautiful places to visit. The DomSchatzkammer contributes to the experience of visiting a place that clearly shows the rich and glorious past of Aachen.
Setelah minggu sebelumnya kami berlibur melintasi desa dan kota-kota kecil di Alsace Region dan Burgundy Region, Perancis, maka akhir pekan kali ini kami jalan-jalan sebentar ke Jerman. Rencana awalnya akan ke Frankfurt karena suami sudah membeli tiket ke Frankfurt Musikmesse, yaitu pameran bertaraf International yang berhubungan dengan alat-alat musik dan Industri musik. Kalau Frankfurt Book Fair yang pernah kami kunjungi sebelumnya adalah pameran Internasional yang berkaitan dengan Industri buku dan buku itu sendiri. Karena suami memang hobi bermusik dan minatnya besar pada musik, maka setiap tahun pasti menghadiri Frankfurt Musikmesse.
Tahun lalu, para kolega kantor Mas Ewald memberi kado wellness weekend. Lha kok ternyata akhir pekan ini masa berlakunya akan berakhir. Akhirnya kami memutuskan untuk menginap semalam di Pullman Hotel Aachen, memanfaatkan kado. Saya sudah membayangkan bisa massage disini, eh ternyata harus mendaftar dulu jauh-jauh hari. Akhirnya saya hanya bisa memanfaatkan fasilitas fitness centre, berenang, sementara suami lanjut sauna. Malamnya tidur nyenyak sekali karena badan segar setelah berolahraga.
Aachen
Kami menyempatkan diri untuk mengelilingi pusat kota Aachen yang memang tidak terlalu besar. Hal itu terbukti dalam waktu beberapa jam saja kami sudah mengunjungi semua tempat wisata maupun sudut-sudut kota Aachen bahkan sampai lorong-lorongnya (karena mencari restaurant untuk makan siang, akhirnya tertarik untuk mencoba makanan Lebanon). Aachen adalah kota paling barat di Jerman yang berbatasan langsung dengan Belanda dan Belgia. Penduduk Aachen sekitar 250.000 orang. Salah satu bangunan yang terkenal di Aachen adalah Cathedral. Bahkan Aachen Cathedral masuk pada Unesco Heritage list. Begitu masuk kedalam, kami terpana dengan desain bangunannya. Berbeda dengan beberapa katedral yang sudah kami datangi sebelum-sebelumnya. Aachen Cathedral dengan kubah berbentuk segi delapan ini nampak megah dengan hiasan dilangit-langitnya yang mewah dan menawan, juga seperti ada cerita yang ingin ditorehkan pada langit-langit tersebut. Cerita tentang Aachen Cathedral ini akan dituliskan secara lengkap oleh suami pada postingan selanjutnya.
Selain Aachen Cathedral, ada beberapa bangunan lain yang terkenal dan bernilai sejarah, misalkan balai kota, sumber mata air alami terpanas di Eropa, beberapa museum (Couven-Museum, Museum Suermondt-Ludwig, Museum koran Internasional), Grashaus di Fischmarkt (awalnya adalah balai kota yang dikemudian hari berubah menjadi perpustakaan), teater Aachen, aktifitas di alun-alun, maupun pusat perbelanjaan. Ada hal yang menarik perhatian kami selama berkeliling pusat kota Aachen yaitu keberadaan patung-patung yang artistik dan mencuri perhatian. Aachen tidak hanya lekat dengan sejarah, museum maupun Cathedral, tetapi juga terkenal dengan 4 universitasnya serta pada EXPO 2000 di Hanover, Aachen diperkenalkan sebagai daerah model Eropa, sebagai contoh yang baik dari perubahan struktural yang sukses dari daerah pertambangan dan industri konvensional menjadi salah satu lokasi teknologi tinggi besar Eropa. Aachen sangat layak dikunjungi karena kota ini mampu menyajikan sejarah dari waktu ke waktu secara fisik dan visual.
Monschau
Keesokan harinya, saat pagi hari, tiba-tiba suami mengatakan perutnya sakit dan membatalkan untuk pergi ke Frankfurt. Setelah ditunggu beberapa saat, perutnya perlahan membaik. Saat sarapan, dia mengusulkan untuk pergi ke sebuah kota yang letaknya dekat dengan Aachen karena saat itu cuaca sedang bagus, matahari bersinar cerah. Kami berkendara kesana dari Aachen sekitar 50 menit. Nama kota tersebut adalah Monschau.
Monschau adalah kota kecil yang dikelilingi perbukitan dan pegunungan didaerah Eifel, Jerman. Kota kecil ini adalah kota turistik namun penataannya sangat apik, unik, bahkan saya menyebutnya ini adalah kota vintage karena lorong-lorongnya dan bangunannya menimbulkan kesan seperti itu. Monschau mengingatkan saya akan Strasbourg karena tipe rumah maupun penataan kotanya mirip. Berkeliling kota Monschau tidak akan membosankan karena selain warna warni rumah disana yang memanjakan mata, juga pemandangan alamnya yang memukau, suara air yang mengalir melewati bebatuan pada sungai, naik ke atas bukit untuk melihat keseluruhan kota. Jika sudah bosan dengan kebisingan kota besar, maka mengunjungi kota kecil nan memukau seperti Monschau ini bisa dijadikan alternatif liburan.
Vaals
Setelah dari Monschau, kami bergegas pulang. Tetapi ada satu tempat lagi yang kami kunjungi saat melewati jalan menuju Den Haag. Tempat itu adalah Drielandenpunt yang terletak di Vaals, Belanda. Drielandenpunt ini adalah tugu batu setinggi kurang lebih setengah meter yang terletak ditengah lingkaran yang terbagi menjadi 3 bagian yang merupakan representasi dari wilayah Belanda, Belgia, dan Jerman. Jadi singkatnya Drielandenpunt ini adalah titik perbatasan tiga negara. Sayang karena kami tidak bisa berlama-lama disana karena harus sampai Den Haag sebelum jam 7 malam, tugu ini tidak bisa kami temukan. Kami naik ke menara dengan membayar 3 euro untuk bisa menyaksikan wilayah 3 negara. Rasanya luar biasa juga ya melihat dari ketinggian ketiga wilayah negara. Saya tidak berani berdiri sampai ujungnya. Membayangkan menggantung begitu jadi ngeri sendiri. Sedangkan suami malah betah berlama-lama diujung sana.
Lama perjalanan dari Vaals ke Den Haag yaitu 2.5 jam. Sebenarnya kami harus sampai di Den Haag sebelum jam 7 malam karena saya ingin makan mie di restaurant mie yang terkenal enak di Den Haag, namanya Seleraku. Kami kesini sebelumnya sampai 3 kali selalu tidak beruntung. Kalau tidak sedang tutup ya menjelang tutup. Karenanya kami bertekad kali ini harus bisa makan disini. Sesampainya disana ternyata tempatnya ramai sekali, dan lagi-lagi kami nyaris tidak bisa makan disini karena meja dan kursi penuh terisi. Beruntung ada dua orang yang selesai makan berbaik hati untuk segera pergi. Akhirnya makan mie juga. Saya pesan mie jamur tahu, sementara suami pesan nasi campur pedas dan es krim durian. Wah, rasa mie disini memang oke punya. Sampai ketika menulis ini saya masih ingat rasanya *lalu mendadak pengen makan mie tengah malam.
Akhir pekan kami ditutup oleh cuaca di Den Haag yang sangat cerah sehingga kami memutuskan untuk bersepeda ke hutan dilanjutkan jalan kaki mengelilingi hutan dan danau. Kalau seperti ini, rasanya memang musim semi. Kalau hujan turun, mendadak rasanya hati ikutan murung. Meskipun mataharinya terang seperti ini, hawanya tetap dingin karena dibawah 10 derajat.
Bagaimana dengan akhir pekan kalian? ada cerita seru apa? Selamat beraktivitas, selamat hari senin dan semoga satu minggu kedepan keberkahan dan kebahagiaan selalu menyertai.
Pagi itu dengan mata yang terasa lengket tidak mau diajak kompromi untuk terbuka dan menahan kantuk yang luar biasa karena baru tidur 4 jam, saya membantu suami memasukkan barang-barang ke mobil. Bahkan saya menolak diajak sarapan jam 5 pagi dan lebih memilih melanjutkan tidur sebentar sebelum waktu subuh datang. Suami sangat antusias dengan perjalanan kami kali ini, melebihi saya, dan dia mempercayakan pada saya untuk membuat daftar tempat-tempat yang akan dikunjungi. Maklum saja, perjalanan kali ini adalah yang terlama setelah saya pindah ke Belanda. Perjalanan terlama sebelumnya adalah saat kami berbulan madu selama 1 bulan keliling dari Bali sampai Bandung melalui perjalanan darat. Road trip ke Perancis selama 8 hari ini adalah hadiah ulang tahun dari suami.
Pertengahan Januari, suami sudah bertanya apa yang saya inginkan untuk ulang tahun. Sejak pindah ke Belanda, suasana pada saat pertambahan angka usia tidak lagi sama. Kalau dulu saya terbiasa merayakan dengan keluarga dan teman-teman dekat, tapi tidak sejak memutuskan hidup disini. Teman-teman yang cocok dihati belum terlalu banyak saya dapati, meskipun ada tetapi tinggalnya dikota yang harus ditempuh beberapa jam berkereta. Akhirnya saya lebih memilih untuk pergi berlibur bersama suami menuju usia yang tidak lagi serupa. Tahun kemarin liburan ulang tahun disekitar Belanda saja, antara lain ke Giethoorn dan Zaanse Schans. Tahun ini saya ingin merayakan di negeri tetangga.
Awalnya pilihan jatuh ke Belgia. Tetapi beberapa kali saya mengubah negara tujuan. Menjelang pertengahan Februari baru menetapkan pilihan untuk ke Perancis saja. Tetapi karena Perancis luas, saya memilih yang dekat-dekat dulu. Lama liburan disesuaikan dengan cuti suami dan ijin saya kerja. Setelah berdiskusi, saya menetapkan ingin mengunjungi Strasbourg dan Colmar (region Alsace) serta Dijon (region Burgundy) yang dikemudian hari mengalami beberapa perubahan ditengah perjalanan. Memilih AirB&B yang letaknya tidak dipusat kota tetapi melipir dari kota utama menjadi pengalaman tersendiri buat kami karena keindahan yang disuguhkan alam disekitar rumah tempat menginap membuat kami betah mendengarkan suara burung berkicau sambil melihat hamparan warna hijau bukit yang mengelilingi, maupun sekedar berjalan kaki membeli roti dan mencium aroma manis roti yang baru keluar dari oven ditoko dekat dengan kami tinggal. Saya 8 hari betah tidak makan nasi ataupun mencari sambal karena senang dengan segala aneka roti di Perancis, bahkan kejunya. Kami menginap di Dingsheim, Andolsheim, dan Saisy.
 Hal yang menyenangkan kalau road trip adalah bisa mampir-mampir ataupun mengganti tujuan perjalanan dengan lebih fleksibel, misalkan kami bisa mampir di Luxembourg untuk melihat The Old Quarter yang ada didaftar Unesco Heritage Site dan beberapa tempat lain disekitarnya, bahkan pada akhirnya kami memutuskan untuk tidak pergi ke Dijon, mengganti ke Baune dan Autun. Sewaktu berangkat, saya hanya memberikan daftar tempat yang akan dikunjungi berdasarkan penelusuran di google yang tentu saja merupakan tempat-tempat turistik. Memang itu yang saya cari karena bisa datang ke tempat yang fotonya selama ini hanya bisa saya lihat dari majalah ataupun internet. Ternyata setelah membeli peta di Strasbourg dan Beaune, suami ingin wisata alam juga. Jadilah penambahan beberapa tempat ditengah perjalanan, bahkan mengunjungi beberapa kastil karena memang letaknya berdekatan dan sejalan menuju kota selanjutnya. Entah karena berbarengan dengan liburan Paskah, beberapa tempat turistik yang kami kunjungi tidak terlalu ramai. Atau mungkin pada saat kami kesana masih pagi jadi belum terlalu banyak turis yang datang.
Liburan yang mengalir seperti ini juga penuh kejutan. Kejutan manis maupun agak asem. Kejutan asemnya ketika mobil terperosok kedalam tumpukan es saat kami ingin berhenti sejenak dipuncak gunung menuju Gerardmer. Beruntungnya ada dua mobil yang berhenti ikut membantu yang pada akhirnya memang harus mendatangkan truk derek. Terharu sekali dipinggir jalan, yang sepi dilalui kendaraan tiba-tiba ada yang berhenti untuk menolong. Awalnya kami tegang dengan kejadian yang diluar kuasa seperti ini, tapi saat menunggu truk derek datang kami jadi tertawa bahkan suami bilang “ini tadi kenapa ga berhenti 10 meter didepan, jadinya malah terperosok ke selokan.” *parit mas bukan selokan. Kejutan manisnya beberapa menit dari tempat kejadian terperosok, kami melintasi tempat main ski. Saya girang bukan kepalang melihat gunung berwarna putih seperti itu. Setelah mendapat musibah datang kejutan indah, mungkin seperti itu analoginya. Informasi tentang Gerardmer saya intip dari tulisan Fe di Cerita4musim tapi saya ga ngeh kalau disitu ada foto orang-orang main ski. Saya yang memang dari dulu ingin sekali merasakan hujan salju, akhirnya kesampaian juga saat diatas gunung tiba-tiba hujan salju deras sekali. Dulu inginnya hanya merasakan hujan salju (meskipun di Den Haag sempat ada tapi tipis dan sebentar), sekarang malah dikasih kesempatan naik gunung tempat main ski juga. Karena libur Paskah, tempatnya sepi, hanya beberapa orang saja yang datang kesini. Saya main perosotan pakai kaki yang hanya beralaskan sepatu lari dan menggunakan jaket musim semi. Noraksih waktu disana sampai jejingkrakan karena bisa pegang salju. Namanya juga pengalaman pertama dan tidak terduga.
Mendatangi tempat yang selama ini hanya dilihat lewat majalah ataupun internet rasanya membuat bibir tidak berhenti menyunggingkan senyuman maupun bersorak dalam hati, girang. Rasanya seperti, wah akhirnya kesampaian juga ya kesini. Melihat rumah warna warni yang bentuknya unik di Strasbourg, Eguisheim maupun Colmar seperti masuk ke dunia dongeng. Menyusuri jalan setapak ditengah cuaca yang dingin dan mendung sembari mengamati satu persatu keunikan bangunan – bangunan tersebut dan terdengar sayup musisi jalan memainkan Accordion, menimbulkan perasaan romantis. Ditambah lagi bahwa ini adalah Perancis, apa yang tidak romantis di Perancis. Melihat meja dengan 2 bangku berwarna kuning dan bunga berwarna kuning di sudut jalan saja rasanya ingin menggandeng tangan suami mengajak duduk disana *lalu beli makan dan minuman sekalian, lapar :p
Tepat seminggu lalu saya bertambah angka usia dengan iringan doa dari Ibu dan suami serta ucapan dari teman-teman dekat. Tidak banyak yang saya haturkan pada yang Kuasa ditanggal kelahiran, semoga selalu bisa bersyukur disegala keadaan, sehat dan bahagia bersama seluruh keluarga. Hari itu saya mendapat kejutan dari pemilik rumah di Saisy. Pada saat sarapan mereka menghidangkan kue kecil khas Inggris sebagai pengganti kue ulang tahun. Mereka adalah keluarga dari Inggris tetapi bermukim sudah lama di Saisy, menikmati masa-masa pensiun disebuah rumah didesa kecil diatas bukit. Saya dan suami sarapan didapur sekaligus ruang makan yang hangat, menghirup aroma Croissant dan Baguette buatan pemilik rumah yang baru keluar dari panggangan, sambil melihat hamparan bukit hijau, hening terhipnotis dengan suasana damai.
Pagi menuju siang kami mengunjungi Beaune dan Autun. Salah satu tempat di Beaune yang kami datangi adalah Hôtel-Dieu, sebuah rumah sakit yang dibangun untuk masyarakat yang tidak mampu pada pertengahan abad 15. Sekarang tempat ini menjadi museum. Menjelajah setiap ruangan di museum ini seperti diingatkan untuk selalu menjaga kesehatan dan merawat betul badan dengan pikiran positif, asupan yang bergizi maupun olahraga. Sehat itu menjadi mahal kalau sudah terlanjur sakit. Umur memang hanya Tuhan yang tahu berhenti diangka berapa, tetapi merawat yang dititipkan adalah salah satu bentuk tanggungjawab dan rasa syukur. Dalam perjalanan ke Perancis kali ini selain menjelajah kota, alam, dan kastil, kami juga banyak sekali mendatangi Katedral maupun Gereja. Senang melihat struktur bangunannya maupun sejarah masing-masing Katedral dan Gereja tersebut. Seringnya saya duduk dibangku belakang dan memperhatikan beberapa orang yang sedang khusyuk beribadah. Rasanya tenang dan damai.
Berjalan kaki mengelilingi Lac de Settons dan Gerardmer atau menyusuri hutan disekitar kastil Wangenbourg, hiking menuju kastil, mendengarkan suara gemericik aliran sungai kecil ditengah hutan menuju air terjun Nideck (Cascade du Nideck), mencium aroma daun dan kayu yang basah karena tetesan gerimis dan suara burung yang saling bersahutan, adalah kemewahan yang tiada tara. Berbincang dengan suami sembari bersenda gurau dari topik yang ringan sampai yang serius akhir-akhir ini terjadi di dunia, atau membicarakan rencana-rencana kami kedepan. Sore itu dihari ulang tahun, kami menghabiskan sore mengelilingi Lac de Settons. Meskipun langit mendung dan sempat gerimis, tetapi tidak menyurutkan langkah beberapa orang yang kami lihat berjalan mengelilingi danau juga. Hari ulang tahun memang akan segera berganti hari yang lain, tandanya hidup memang terus berjalan. Yang penting setiap hari dibawa gembira dan berpikir positif. Tidak terlalu memusingkan perkataan tidak menyenangkan orang selama apa yang saya lakukan tidak menyimpang dari aturan dan tidak merugikan.
Mungkin kami akan kembali lagi menyusuri desa-desa lainnya di Perancis saat vineyards sudah tidak gundul lagi karena suami ingin sekali ikut tour merasakan wine didesa-desa tersebut. Kemarin dia Wine Tour juga sih, tapi di restaurant :D. Saya senang sekali dengan liburan kali ini, kembali ke alam, menyusuri desa dan kota kecil, suasana tenangnya mengingatkan desa di Ambulu. Melintasi desa dengan bangunan unik berwarna warni ataupun berhenti untuk menggerakkan badan dan makan roti dipinggir hutan sembari mendengarkan lonceng yang berbunyi dari gereja. Tidak sabar dengan rencana jalan-jalan berikutnya.
Ini video amatir dari perjalanan kami. Kenapa amatir karena sebenarnya saya tidak niat membuat videonya, hanya iseng mengisi waktu sambil duduk disamping suami yang menyetir. Tapi kata suami lebih baik digabung-gabung saja, sebagai kenang-kenangan. So, please enjoy this video!
Texel, nama tempat yang asing ditelinga saya saat pertama kali mendengarnya. Tetapi karena membaca pengalaman beberapa blogger yang tinggal di Belanda dan sudah pernah ke Texel, akhirnya penasaran juga untuk menelusuri seperti apa sebenarnya Texel ini. Berbekal dari informasi yang didapat melalui google, saya jadi tertarik untuk datang kesini. Saat itu bertepatan kami akan merayakan satu tahun perkawinan (jadi ini ceritanya pada Agustus 2015).
Kami berangkat dari Den Haag hari Jumat, menunggu suami pulang kerja. Beruntungnya pada bulan Agustus matahari sedang nyentrong padahal beberapa hari sebelumnya, seperti biasa cuaca di Belanda sedang tidak menentu, kalau tidak hujan ya mendung (padahal sedang musim panas). Sesampainya di Den Helder, antrian kendaraan yang akan menyeberang sudah panjang mengular. Kami harus menunggu kapal selanjutnya datang, sehingga kami memanfaatkan waktu dengan menikmati pelabuhan sembari berjemur dibawah sinar matahari, hitung-hitung mengumpulkan vitamin D :D. Kalau ke Texel tidak membawa kendaraan sendiri, bisa juga ditempuh dengan transportasi umum. Dengan kereta menuju Den Helder setelahnya bisa ditempuh dengan Ferry dan bus Texelhopper dengan total harga tiket €5.5. Menyeberang ke Texel tidak membutuhkan waktu lama, sekitar 20 menit saja.
Lho, terletak dimana sih Texel ini kok pakai acara menyeberang segala? Texel adalah pulau terbesar milik Belanda, letaknya disebelah utara Belanda dan masuk provinsi Noord-Holland. Ada beberapa desa yang berada di Texel. Desa terbesar di Texel bernama Den Burg. Sedangkan 6 desa besar lainnya yaitu Den Hoorn, Oudeschild, De Waal, Oosterend, De Cocksdorp, dan De Koog. Selebihnya desa kecil-kecil saja.
Kami sampai di Texel sudah sore menjelang malam tetapi matahari masih bersinar terang, maklum saja musim panas dimana matahari baru tenggelam antara jam 9 atau 9.30 malam. Kami langsung menuju Bed and Breakfast (B&B), tempat kami menginap dua malam selama di Texel, tepatnya didesa Spangerweg yang terletak antara Den Burg dan Oosterend. Rumahnya menyenangkan, letaknya tepat didepan padang rumput yang pada saat kami datang penuh dengan domba yang sedang merumput. Sayang saya lupa mengabadikan. Selain B&B, pilihan hotel untuk tempat menginap di Texel juga banyak jumlahnya. Jika tidak ingin menginap di Hotel maupun B&B, pilihan menginap ditenda juga memungkinkan karena ada beberapa tempat yang menyediakan persewaan tenda atau mungkin mau bawa sendiri juga bisa. Saya juga melihat banyak camper van dibeberapa area.
Keesokan harinya setelah sarapan, kami menuju tempat penyewaan sepeda yang berjarak sekitar 20 menit berjalan kaki (adanya didesa sebelah). Untuk menjelajah seluruh pulau Texel menurut kami memang yang paling ideal adalah dengan menggunakan sepeda karena lebih leluasa untuk berhenti dimanapun bahkan sampai masuk desa-desa kecilnya. Jika tidak membawa sepeda sendiri, jangan khawatir di Texel banyak sekali tempat yang menyewakan sepeda. Kami menyewa sepeda jenis tandem seharga €15 untuk 24 jam. Lumayan murah kan, tinggal modal betis dan kaki kuat buat ngontel biar ga sengklek seharian berkeliling Texel.
Sepeda sudah didapat, saatnya petualanganpun dimulai tepat jam 8 pagi. Cuaca sangat mendukung karena sangat cerah. Matahari bersinar terik sehingga hangatnya sangat terasa dikulit. Banyak pemberhentian yang bisa dikunjungi di Texel. Jangan takut kesasar karena dibeberapa tempat strategis ada peta yang ditempel pada semacam papan pengumuman dan juga ada seperti patokan sekarang kita ada dititik nomer berapa. Beruntungnya kami diberi pinjaman peta oleh pemilik B&B.
Sembari mengayuh sepeda, kami membicarakan banyak hal. Salah satunya topik yang tidak pernah bosan menjadi bahan obrolan, yaitu bagaimana kami bertemu sampai menikah. Jodoh, maut, rejeki memang sudah ada yang mengatur dan tidak akan pernah tertukar. Meskipun proses menujunya kadang ada yang mulus, kadang ada berliku dan berkelok, tetapi kalau sudah jalannya, ya akan kejadian juga. Saya ingat sekali sewaktu kaki saya mulai sakit saat mengayuh, suami menyuruh saya untuk mengistirahatkan kaki dan dia yang mengayuh sepeda sendiri. Kemudian dia berkata kepada saya, “mengayuh sepeda tandem begini ibaratnya seperti rumah tangga kita. Ada saatnya semua dikerjakan bersama, ada saatnya hanya satu orang saja yang mengerjakan yang lainnya istirahat. Tetapi sebuah rumah tangga tanggungjawabnya milik bersama, bukan hanya dibebankan pada satu orang saja. Apapun yang diputuskan, semua sudah melalui kesepakatan hasil pembicaraan, bukan karena keterpaksaan. Semua bisa berjalan kalau segala sesuatunya dibicarakan bersama. Kalau ada masalah ya diselesaikan bersama. “ Ketika pada satu tempat dia kecapaian, saya menggantikan posisinya didepan, mengayuh sepeda untuk kami berdua. Kalau kami berdua sama-sama capek, kami berhenti sejenak, menghela nafas dan menikmati pemandangan yang ada.
Kebetulan yang sangat menyenangkan adalah pada saat kami ke Texel, rupanya sedang ada festival laut yang diadakan di Oudeschild, pelabuhan satu-satunya yang bisa digunakan pada sisi timur pulau Texel. Ketika kami sampai disana, pas dengan waktu makan siang. Walhasil kami berkeliling dari satu stan ke stan lainnya yang banyak menyediakan makanan laut gratis. Cerita tentang festival laut ini sudah pernah saya tulis disini.
Texel terkenal dengan domba, sapi, dan bir. Tidak mengherankan kalau sepanjang mata memandang sapi dan domba ada dimana-mana. Jika ingin mencicipi bir Texels secara langsung, bisa langsung datang ke pabriknya karena dibelakang pabrik ada cafe dengan interior klasik.
Menyusuri desa-desa yang ada di Texel juga tidak kalah seru. Banyak hal tidak terduga yang menyenangkan bisa dijumpai. Seperti dibeberapa rumah menjual selai buatan sendiri, atau gereja yang sudah ada sejak tahun 1700an dan dihalaman belakangnya ada kuburan yang bagus-bagus dan masih terawat rapi atau tiba-tiba melihat jemuran melintas diatas jalan dan masih banyak kejutan unik yang bisa ditemukan di desa-desa ini.
Jangan lupa kalau sudah di Texel untuk mengunjungi mercusuarnya. Kita bisa naik dan melihat sekeliling pantai Texel dari atas mercusuar. Untuk bisa naik ke mercusuar, diwajibkan untuk membeli tiket dulu (lupa berapa harganya). Selain mercusuar, taman nasional juga menjadi daya tarik sendiri untuk dikunjungi karena didalam taman nasional ada hutan, bukit pasir dan pantai dalam satu kawasan. Unik dan menarik.
Akhir dari bersepeda selama 13 jam dan sepanjang 90 km (mampir kesana sini dan beberapa kali berhenti), kami memutuskan untuk menunggu matahari terbenam dipantai sembari bermain dengan beberapa burung yang mendekat. Ketika bangun tidur hari berikutnya, lutut saya nyeri sekali, rasanya ngilu buat berjalan. Tidak terbiasa bersepeda sepanjang 90 km. Sedangkan suami malah mengajak latihan lari.
Tuntas sudah berkeliling Texel dalam satu hari dan kami bisa mendatangi semua tempat yang ada dipeta ditambah bonus mengunjungi festival laut. Keesokan harinya kami pulang kembali ke Den Haag tepat pada ulang tahun perkawinan kami yang pertama. Pada saat sedang dikapal untuk menyeberang, secara tidak sengaja saya memotret dua buah burung yang terbang saling berjajar. Hadiah ulang tahun dari alam, begitu kami menyebutnya.