Cerita Akhir Pekan

Sesekali bercerita tentang akhir pekan. Sebenarnya kali ini cerita dimulai sejak hari Jumat dimana kami mengunjungi Tong Tong Fair 2015 (TTF). Karena ini adalah pertama kali untuk kami berdua mengunjungi TTF, jadinya kalap melihat barang yang menggoda mata untuk dibeli. Belum lagi jajanan pasarnya yang dari penampakan sangat lezat untuk disantap. Tapi ketika membeli Tahu Isi yang pada awalnya saya pikir seperti yang biasa dijual di abang-abang jualan gorengan, ternyata tahu isinya tidak ada isi sama sekali. Dan rasanya pun tidak seperti yang saya bayangkan. Mungkin karena disesuaikan dengan lidah orang barat ya, atau mungkin karena produksinya banyak jadi rasa tidak terkontrol. Beruntungnya kekecewaan terobati dengan membeli cendol yang rasanya memang enak. Bagi yang akan mengunjungi TTF, masih ada waktu sampai 7 Juni 2015. 

 Kemudian hari Sabtu kami pergi ke Delft. Awalnya ingin belanja mingguan. Setelahnya malah nyasar lama ditoko buku bekas yang sebenarnya tanpa sengaja kami melintas didepannya. Toko buku yang bernama Antiquariaat Interessant ini mempunyai dua lantai. Kami hanya sempat menjelajahi lantai dasar. Dari pengamatan kami, bukunya masih sangat terawat, koleksinya juga bagus-bagus, serta harganya lumayan miring. Saya memang mencari buku cerita anak-anak untuk belajar membaca dalam bahasa Belanda, sedangkan suami menelusuri koleksi dibagian sejarah. Ruangannya bersih dengan lantai terbuat dari kayu sehingga kalau ada yang berjalan terdengar suara derik lantai. Tanpa sadar kami menghabiskan waktu 1.5 jam disini. Kalau sudah tenggelam dengan buku, kami memang selalu lupa waktu. Akhirnya saya hanya membeli 3 buah buku, yang tata bahasanya tidak terlalu sulit untuk dimengerti. Total 3 buku seharga 4 euro, padahal bukunya lumayan tebal. Kecuali cerita Donal Bebek (saya memang penggemar Donal Bebek). Setelahnya kami duduk-duduk didepan Nieuwe Kerk, mumpung hari itu matahari bersinar cerah. Lumayan menghangatkan badan sembari melihat turis yang banyak berdatangan sehingga Delft sangat ramai pada sore itu.  Setelah sampai rumah kami menerima kunjungan seorang teman SMA yang tinggal di Belgia. Saya selalu senang bertemu  dia dan keluarganya. Anak lelakinya membuat saya terkagum. Pintar dan cepat dekat dengan  orang baru. Rumah kami yang biasanya sunyi senyap karena hanya diisi dua orang, sore itu menjadi lebih ceria karena ada suara anak yang renyah dan meramaikan suasana.     

3 buku seharga 4 euro
3 buku seharga 4 euro
Hari Minggu sejak pagi sampai malam hujan deras dan angin sangat kencang, otomatis udara juga dingin sekali. Suami ada jadwal untuk mengikuti lomba lari yang bernama Royal Ten. Jarak yang dilombakan adalah kelas anak-anak, 5km dan 10km. Suami mengikuti yang 10km kelas Business Run karena memang dia didaftarkan oleh kantornya. Meskipun hujan deras, angin kencang, dan udara sangat dingin, para peserta tetap semangat dan luar biasanya seperti tidak merasa kedinginan dengan pakaian lari yang tipis dan pendek. Sedangkan saya yang memakai baju berlapis merasa dingin sekali. Total peserta untuk 10km adalah 2230 orang. Suami sampai finish dengan catatan waktu 49:19 diurutan 649. Catatan waktu paling bagus menurutnya selama mengikuti lomba lari 10km di 5 tahun terakhir. Sedangkan yang menempati urutan pertama catatan waktunya 28:53. Ketika saya melihat pemenang ini lari menuju finish, rasanya Wow sekali. Iku mlayu opo miber, batin saya saat itu. Larinya super kencang. Ada satu kejadian lucu yang terjadi pada saat saya menunggu suami. Setelah 10 menit berlalu saat peserta berangkat, tiba-tiba ada satu orang yang terlambat datang. Dia mengenakan kostum lari seperti baju Hawaii. Semua orang bertepuk tangan menyemangatinya. 
Royal Ten
Royal Ten
  
Finisher 10km
Finisher 10km
 
Peserta terakhir yang berangkat. Semoga malamnya Mas ini tidak minta kerokan :D
Peserta terakhir yang berangkat. Semoga malamnya Mas ini tidak minta kerokan 😀
   

Akhir pekan yang sangat menyenangkan, meskipun cuaca selalu berubah tiap harinya. Terima kasih bulan Mei untuk semua pengalaman serunya. Bulan Mei yang tidak akan terlupakan buat kami. Ada berita yang sangat menggembirakan yang hadir diawal bulan, serta cerita yang sangat menyedihkan ditengah bulan. Semuanya menjadi pelajaran berharga untuk kami. Pasti semua ada hikmahnya, karena setiap cerita mempunyai makna yang berharga.

Selamat datang bulan Juni. Kami siap menyambut pengalaman seru lainnya. Semoga selalu bisa mengingatkan diri sendiri untuk tidak lupa bersyukur atas segala yang terjadi.

-Den Haag, 31 Mei 2015-

Semua foto adalah dokumentasi pribadi

Mengapa Gampang Mengeluh?

Karena memang mengeluh itu gampang, sangat gampang. Kita tinggal menyalahkan keadaan dan mulai mencari perbandingan. Mengeluh lebih mudah dilakukan daripada harus mencari solusi dari permasalahan yang menyebabkan keluhan. Mengeluh terjadi karena keadaan yang kita alami tidak sesuai dengan kondisi ideal yang kita inginkan. Mengeluh itu menghabiskan banyak energi dan emosi. Semua tersita dan mendadak kita merasa seperti tidak ada daya, karena hanya berfokus pada satu hal yang sebenarnya gampang diselesaikan. Ya, keluhan dapat diselesaikan dengan mencari jalan keluar, bukan diam mematung sambil menatap nanar pada masalah yang ada dihadapan.

Awal mula saya datang ke Belanda, tiap hari selalu ada saja keluhan yang terlontar dari mulut saya. Mengeluh karena cuaca yang sangat dingin. Mengeluh susah belajar bahasa Belanda. Membandingkan segala macam barang yang harganya (nampak) lebih mahal daripada Indonesia. Mengeluh susah cari bahan-bahan untuk memasak makanan Indonesia. Mengeluh susah, mahal, dan rasanya tidak enak kalau makan direstoran Indonesia yang ada disini. Intinya selama (mungkin) 2 minggu pertama tiada hari tanpa keluhan. Mengeluh karena toiletnya tidak ada semprotan seperti di Indonesia. Ada saja bahan untuk saya keluhkan. Dari hal yang sederhana sampai hal yang besar (menurut saya). Beruntungnya suami punya stok kesabaran yang (mudah-mudahan) banyak, jadi setiap hari mau mendengarkan istrinya yang mengomel segala macam ini dan itu. Namun, perlahan saya kok merasa seperti orang yang tidak waras karena sering uring-uringan sendiri.

Ketika memutuskan menikah dan akan pindah ke Belanda, saya sudah tahu konsekuensinya apa saja yang akan terjadi. Adaptasi memang tidak mudah karena saya orang yang susah masuk pada lingkungan baru. Tapi saya tidak punya pilihan, ya harus beradaptasi dan mulai melebur segala kebiasaan yang dulu menjadi sekarang. Jangan membuat perbandingan karena memang semuanya tidak bisa dibandingkan.

Lalu saya mulai merubah cara berpikir. Kalau saya terlalu banyak mengeluh, maka energi akan habis tanpa ada jalan keluarnya. Mengeluh dan hanya diam ditempat tanpa mencari jalan keluar sama saja seperti orang tidak waras, karena hal itulah yang saya rasakan. Bayangkan kalau kita mengeluh ini itu tapi badan dan pikiran tidak mau bergerak untuk mencari solusinya, bukankah hal itu sama saja membuang energi dengan percuma. Kalau mulai dingin, saya memakai baju rangkap lebih banyak. Memang ruwet diawal, tapi setelahnya menjadi terbiasa. Kalau saya merasa semua harga disini mahal, ya itu kesalahan terbesar karena membandingkannya dengan Indonesia. Perbandingan yang tidak pada tempatnya. Setelah tahu Haagse Markt dan setiap minggu mulai berbelanja disana, perlahan saya mulai memasak makanan Indonesia karena dipasar Haagse semua bumbu-bumbu Indonesia mudah ditemukan. Jadi saya tidak mengeluh lagi tentang makanan direstauran Indonesia disini yang tidak terlalu enak rasanya karena saya sudah bisa masak sendiri sesuai selera. Manfaatnya adalah saya mulai bisa belajar masak apapun yang dulu tidak pernah saya bayangkan akan bisa dilakukan. Dan beruntungnya suami memang selalu makan apapun yang saya sajikan, termasuk aneka sambel, ikan asin, bahkan pete juga doyan. Bahkan kalau saya (sering) malas memasak, dia dengan senang hati bergantian tempat untuk memasak. Susah belajar bahasa Belanda? ya tetap harus dilakukan meskipun sulitnya bukan main. Saya memutuskan tinggal disini, maka saya juga ingin bisa dengan lancar berbicara dan menulis menggunakan bahasa Belanda. Salah satu cara yang saya lakukan adalah belajar bahasa Belanda disekolah dan langsung praktek ketika bertemu dengan orang Belanda, meskipun dengan kalimat yang masih terbata. Bahkan sekarang saya sudah mulai belajar membuat surat lamaran menggunakan bahasa Belanda meskipun masih sederhana.

Sambat = Mengeluh dalam bahasa Jawa
Sambat = Mengeluh dalam bahasa Jawa

Ketika berusaha mencari jalan keluar dari segala macam keluhan yang terlontarkan, saya menjadi sibuk memperbaiki diri, dan tidak ada waktu lagi untuk mengeluh. Apakah saya sekarang tidak pernah mengeluh lagi? Saya manusia biasa dan mengeluh itu manusiawi sekali. Jadi ada saatnya saya tetap mengeluh, hanya saja porsinya semakin mengecil dan tidak berlama-lama tertimbun diantara keluhan.

Hidup itu memang tidak gampang, namun bukannya tidak mungkin juga untuk dijalani. Masalah memang selalu ada, tapi bukan hal yang mustahil untuk diselesaikan. Klasik memang, tetapi dengan mengeluh saja tidak akan pernah membuat hidup menjadi lebih baik. Selesaikan dan cari jalan keluarnya. Semakin kita sibuk memperbaiki diri, semakin kita sedikit waktu untuk mengeluh. Bersyukur dan berusaha dengan cerdas untuk menjadi lebih baik akan membuat kita sadar bahwa keluhan membuat hidup semakin ruwet. Membandingkan keadaan kita dengan orang lain itu wajar dengan catatan bahwa hal tersebut menjadikan wadah introspeksi kepada diri sendiri. Rumput tetangga seringkali memang lebih hijau. Tetapi jika kita merawat, menyirami, dan memberi pupuk pada rumput dipekarangan sendiri, niscaya hal tersebut tidak akan membuat kita sibuk untuk selalu melihat rumput tetangga.

Mengeluh memang manusiawi. Tetapi sibuk mengeluh di sosial media tidak akan menjadikan apa yang kita keluhkan menjadi terselesaikan. Tidak perlu dunia tahu apa yang terjadi dengan “dapur” kita. Simpan “pakaian kotor” kita pada tempat yang sesuai, itu jauh lebih bijaksana.

Selamat berakhir pekan dengan ceria dan tanpa keluhan.

-Den Haag, 28 Mei 2015-

Gambar dipinjam dari sini dan sini.

Brandgrens Run 2015 – Rotterdam

14 Mei 2015 adalah libur nasional di Belanda, hari kenaikan Yesus Kristus. Pada tanggal 14 Mei tersebut juga bertepatan dengan peringatan 75 tahun lalu kota Rotterdam dibom oleh Jerman (Bombardement op Rotterdam), tepatnya pada tahun 1940, pada masa perang dunia kedua. Pada 14 Mei 1940 jam 13:27 dalam waktu kurang dari 15 menit Rotterdam dibom oleh Jerman. Diperkirakan 900 orang meninggal dan 80.000 orang kehilangan tempat tinggal. Setiap tahun Rotterdam memperingati peristiwa ini.

Salah satu acara yang diselenggarakan pada peringatan tersebut adalah lari bersama pada jam 9 malam yang dikenal dengan nama Brandgrens Run. Acara ini diselenggarakan disekitar Gereja Laurens (Laurenskerk), salah satu Landmark, sebagai jantung kota Rotterdam. Mas Ewald ikut serta pada Brandgrens Run tahun ini karena didaftarkan oleh kantornya. Bersama 9 teman kantornya, dan sekitar 1000 partisipan lainnya, mereka berlari sepanjang 12 km.

Selain itu, ada suguhan musikal (Bevrijdingsconcert) dari KRPH (Koninklijke Rotterdamse Post Harmonie). Lagu yang dimainkan mungkin semacam lagu perjuangan karena adakalanya musiknya dinamis, adakalanya musiknya sedih mendayu. Ada beberapa tenda yang menjual makanan dan minuman. Tidak kalah serunya juga anak-anak yang bermain ketangkasan keseimbangan dan dance bersama. Sesaat sebelum tanda start dimulai, ada pertunjukan udara yaitu 3 orang melakukan terjung payung. Seru sekali buat saya yang baru 2 kali ini melihat terjun payung secara langsung. Dan setelahnya acara mengheningkan cipta bersama dengan diiringi alunan saxofone. Merinding terharu rasanya saat itu mendengar alunan suara yang keluar dari saxofone karena dilayar yang besar juga diputar rekaman film pada saat pengeboman. Tepat saat lonceng Gereja Laurens berdentang 9 kali maka peserta laripun diberangkatkan, serentak beberapa orang yang berdiri dipinggir memegang obor yang menyala, membuat suasana semakin dramatis.

-Den Haag, 21 Mei 2015-

Semua foto dan video adalah dokumentasi pribadi

Obor yang dinyalakan tepat jam 9 malam
Obor yang dinyalakan tepat jam 9 malam
KRPH
KRPH
Jam 8 malam di Gereja Laurens. Cuaca sedang mendung
Jam 8 malam di Gereja Laurens. Cuaca sedang mendung

 

Laurenskerk pada saat cuaca cerah
Laurenskerk pada saat cuaca cerah

 

Tenda penjual makanan dan minuman.
Tenda penjual makanan dan minuman.

 

Mereka sedang bersiap nge-dance
Mereka sedang bersiap nge-dance

 

KRPH
KRPH

 

Partisipan lari
Partisipan lari

 

Partisipan lari
Partisipan lari

 

Terjun payung
Terjun payung

 

Terjun payung
Terjun payung

 

Pelari yang paling ganteng... menurut istrinya :D
Pelari yang paling ganteng… menurut istrinya 😀

Sekolah Bahasa Belanda – Tingkat Inburgeringsexamen (A2) atau Staatsexamen NT2?

Sudah sebulan ini saya kembali bersekolah, lebih tepatnya belajar bahasa Belanda. Pada beberapa tulisan sebelumnya, saya pernah menyinggung bahwa saya tidak pernah mengikuti kursus bahasa Belanda ketika di Indonesia. Untuk keperluan MVV, diharuskan lulus A1 dikedutaan Belanda, dan semuanya lebih banyak saya pelajari secara otodidak. Jadi ketika sudah pindah ke Belanda, saya niatkan sejak awal ingin bersekolah, belajar secara benar tentang tata bahasa Belanda, tidak lagi menggunakan ilmu nekat. Awalnya saya tidak ingin cepat bersekolah, dengan pertimbangan pada saat itu saya baru selesai sidang tesis. Mendinginkan otak dulu, begitu pemikiran saya. Tetapi setelah satu bulan tidak ada kegiatan ternyata bosan juga. Akhirnya saya bilang suami kalau ingin segera sekolah saja supaya otak tidak terlalu lama menganggurnya.

Sebenarnya bersekolah ataupun kursus privat itu bukanlah sebuah keharusan karena sejak tahun 2014 semua harus kita sendiri yang membayar, dimana tahun sebelumnya semua pendatang diharuskan bersekolah dan semua biayanya ditanggung (disubsidi) oleh Gemeente kota setempat. Pada tahun tersebut, untuk mereka yang tidak bersekolah malah dikenakan denda. Kenapa harus sekolah? karena bagi para pendatang diharuskan untuk lulus ujian integrasi minimal level A2 atau yang disebut sebagai Inburgeringsexamen, dan batas waktu untuk lulus ujian adalah 3 tahun terhitung sejak hari pertama kedatangan di Belanda. Kelulusan ujian tersebut berhubungan dengan perpanjangan ijin tinggal di Belanda. Jika tidak lulus dalam waktu 3 tahun, berdasarkan pengalaman beberapa kenalan, akan dikenakan denda 200 euro tiap 3 bulan sampai beberapa bulan yang ditentukan. Jika tidak lulus juga sampai batas kelonggaran yang telah diberikan IND (Immigratie en Naturalisatiedienst), maka ijin tinggalnya akan dicabut, dan kembali ke negara asal, konon ceritanya seperti itu. Untuk informasi mengenai ini, lebih baik rajin memperbaharui informasi di website IND karena peraturannya seringkali berubah. Batas waktu 3 tahun untuk saya lulus berdasarkan surat yang dikirim IND adalah akhir Februari 2018 dengan ijin tinggal awal adalah selama 5 tahun.

Selain untuk kepentingan lulus ujian, dengan belajar bahasa Belanda, diharapkan para imigran melebur dan berbaur dengan masyarakat setempat. Meskipun hampir semua orang Belanda bisa berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Inggris, tetapi merekapun akan lebih senang kalau kita sebagai pendatang ini bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Belanda. Kita akan lebih nyaman juga untuk berkomunikasi kalau misalkan ke pasar atau supermarket atau mengurus sesuatu ke kantor pemerintahan atau bekerja jika menggunakan bahasa Belanda. Bayangkan saja jika kita tinggal di Indonesia kemudian ada pendatang dari negara lain bisa berkomunikasi dengan kita menggunakan bahasa Indonesia, lebih menyenangkan bukan. Seperti kata pepatah Di Mana Bumi Dipijak, Di Situ Langit Dijunjung. Jadi kita harus tahu diri, numpang hidup dinegara orang, jangan bersungut-sungut ketika harus belajar bahasa Belanda. Jangan hanya ingin dianggap sebagai turis dengan mengandalkan komunikasi menggunakan bahasa Inggris, padahal akan tinggal lama disini, lha wong kita ini imigran lho, begitu diwajibkan lulus ujian, menjadi bersungut-sungut. Selain itu, dengan belajar bahasa Belanda, kesempatan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik juga akan semakin luas, buat mereka yang bertujuan mencari kerja.

Kalau kita tidak ingin sekolah dan merasa mampu untuk belajar sendiri, itu juga sah-sah saja. Saya juga mendengar ada banyak orang yang lulus ujian A2 bahkan NT2 programma I dari belajar sendiri. Bagaimana caranya? Mencari bahan ajar yang banyak tersebar di internet ataupun membeli buku-buku yang diperlukan, mendatangi beberapa komunitas belajar mandiri dimasing-masing kota (langsung cari digoogle misalkan dengan kata kunci conversatieles + kota tinggal), belajar dengan partner, join grup Inburgeringsexamen (A2) di Facebook, atau Staatsexamen NT2 (Nederlands als Tweede Taal), atau mencari informasi tentang guru privat yang bisa datang kerumah tanpa membayar alias gratis (vrijwilliger). Ada beberapa kenalan yang menggunakan cara yang terakhir. Intinya, jangan pernah malas untuk mencari informasi sebanyak mungkin.

Kalau ingin sekolah, maka harus mencari informasi tentang sekolah berdasarkan dengan kebutuhan dan tujuan kita serta jika memungkinkan dekat dengan rumah. Hal pertama yang perlu ditetapkan diawal sebelum memutuskan akan belajar disekolah atau belajar sendiri sebenarnya adalah ujian tingkat apa yang akan kita inginkan. Hal ini berkaitan dengan tujuan apa yang akan kita raih kedepannya. Jika tujuannya untuk memenuhi syarat minimal yang diajukan DUO, maka Inburgeringsexamen (A2) sudah cukup. Jika tujuannya lebih dari itu, misalkan ingin melanjutkan sekolah atau ingin mendapatkan pekerjaan yang lebih bagus, atau pindah kewarganegaraan, maka perlu ujian yang tingkatannya lebih tinggi yaitu Staatsexamen NT2 Programma I atau II (B1 atau B2). Apa perbedaan tentang A2 dan NT2? Silahkan langsung ke website DUO karena disana informasinya sudah sangat terperinci. Tentu saja ujian A2 dan NT2 berbeda, karena level NT2 lebih tinggi dari A2 maka ujiannya juga lebih susah. Setelah tujuan jelas, maka selanjutnya kita akan putuskan apakah akan belajar di sekolah atau belajar sendiri. Jika belajar disekolah, maka setelah mencari beberapa alternatif sekolah, kita juga harus melihat program yang ditawarkan apakah sesuai dengan tujuan yang akan kita capai. Karena ada sekolah yang programnya memang langsung untuk ujian integrasi, ada juga beberapa sekolah yang programnya untuk belajar bahasa Belanda secara reguler. Informasi tentang sekolah ini bisa kita dapatkan dengan bertanya dari beberapa kenalan yang sudah tinggal lebih dulu di Belanda, bertanya langsung pada Gemeente setempat, atau dari google.

Setelah melihat cocok tidaknya program sekolah tersebut dengan tujuan kita, selanjutnya masalah penting lainnya yang perlu dipertimbangkan adalah biaya. Apakah biaya yang kita anggarkan sesuai dengan biaya pada sekolah tersebut. Jika memang keuangan kita tidak mencukupi, DUO menyediakan program pinjaman untuk kita belajar disekolah. Untuk lebih lengkapnya, bisa langsung dipelajari pada website DUO karena ada beberapa syarat dan ketentuan yang berlaku. Secara garis besar, itulah gambaran tentang Staatsexamen NT2 dan Inburgeringsexamen (A2) serta beberapa cara untuk belajar bahasa Belanda, disekolah atau belajar sendiri.

Kembali kepada pengalaman saya, setelah melalui beberapa pertimbangan tentang tujuan belajar bahasa Belanda yang ingin saya lakukan yaitu : mampu berkomunikasi secara lancar lisan maupun tulisan dalam bahasa Belanda, lulus ujian integrasi, dan mencari pekerjaan serta jika memungkinkan ingin melanjutkan kuliah lagi. Karena tujuan tersebut maka saya memutuskan untuk mengikuti ujian Staatsexamen NT2. Jadi tujuan ini ditetapkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing orang. Jangan cepat menghakimi bahwa ketika seseorang ingin mengikuti ujian NT2 dianggap “sok-sok an” atau ketika ada yang ingin mengikuti ujian A2 terus kita anggap levelnya biasa-biasa saja. Setiap orang mempunyai kebutuhan dan kemampuan yang berbeda.

Selanjutnya yang saya lakukan adalah mencari beberapa informasi sekolah yang lokasinya tidak jauh dari tempat tinggal (penentuan lokasi juga penting berhubungan dengan efisiensi waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk pulang dan pergi ke sekolah). Pada awalnya ada tiga tempat yang masuk kriteria yaitu Universitas A, Universitas B, dan sekolah bahasa Belanda C. Setelahnya saya membuat janji untuk mengikuti placement test supaya ketika masuk nanti sesuai niveau (tingkat) berdasarkan hasil placement test tersebut. Pada akhirnya saya hanya mengikuti placement test di 2 tempat yaitu di Universitas A dan Sekolah bahasa Belanda C. Hasil tes dikedua tempat tersebut sama yaitu saya ada di niveau A2.  Jadi saya masuk kelas A2 sebagai permulaan levelnya untuk menuju level B2 sebelum ujian NT2 programma II. Setelah melakukan beberapa pertimbangan : program yang ditawarkan, untuk tempat yang terakhir memang tempat untuk belajar yang tujuannya langsung pada ujian integrasi, sedangkan di Universitas A lebih pada program bahasa Belanda sistemnya reguler. Waktu dan tempat : di Universitas A waktu yang tersisa jam 7-10 malam, 3 kali seminggu, lama belajarnya membutuhkan waktu 1.5 tahun sampai level B2 (jika lancar), biaya sekolahnya total sekitar 3000 euro diluar buku dan biaya ujian, serta biaya yang dibutuhkan untuk akomodasi setiap kali datang 10 euro naik kereta PP. Sedangkan di Sekolah bahasa Belanda C, bisa ditempuh naik sepeda sekitar 20 menit dari rumah, atau satu kali naik tram dengan biaya 3 euro PP, waktu belajarnya jam 9-12 pagi seminggu 2 kali, lama belajarnya 9 bulan sampai pada level B2 untuk bisa mengikuti ujian NT2 Programma II, biaya sekolahnya sekitar 2000 euro (bisa dicicil 2 kali pembayaran) sudah termasuk segala macam buku dan biaya ujian di DUO.

Dengan pertimbangan yang sudah disebutkan, maka saya dan suami memutuskan untuk memilih Sagenn karena sesuai dengan tujuan dan keadaan saya. Awalnya saya ingin mengajukan pinjaman ke DUO, tetapi ternyata syaratnya tidak memenuhi karena gaji suami melebihi syarat minimal yang ditentukan oleh DUO. Dengan sistem pembayaran 2 kali sudah lumayan meringankan karena tidak harus membayar sekali waktu dalam jumlah yang lumayan besar. Pertimbangan lainnya kenapa saya lebih memilih belajar di sekolah adalah supaya bisa berinteraksi langsung dengan berbagai macam tipe orang dari berbagai macam negara. Menambah wawasan dan pengetahuan. Saya senang berinteraksi dengan lingkungan baru, meskipun saya akui tidak bisa cepat beradaptasi. Tetapi dengan memilih belajar disekolah, saya jadi mengetahui banyak hal dibandingkan jika saya belajar sendiri atau memilih belajar privat. Keuntungan lainnya bisa langsung praktek berbicara, berdiskusi, maupun belajar kelompok dengan teman-teman sekelas.

Begitulah pengalaman saya dalam memilih dan mempertimbangkan sistem belajar mana yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan, serta ujian tingkat apa yang akan saya lakukan nantinya. Kembali lagi, semuanya disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan masing-masing. Pertimbangkan baik-baik sebelum memutuskan karena Belanda adalah negara yang mahal, setiap euronya sangat berarti jadi jangan sampai membuang uang untuk sesuatu yang kita putuskan secara tergesa ataupun ikut-ikutan saja.

Semoga berguna apa yang telah saya tuliskan dan selanjutnya akan saya bagikan pengalaman selama sebulan saya bersekolah, tentang sistem belajarnya juga interaksi saya dengan teman baru dan guru-guru disana dari beberapa negara.

Jika ada informasi tambahan dan yang terbaru, monggo dengan senang hati saya menerimanya.

-Den Haag, 19 Mei 2015-

Belajar Bahasa Asing

Saya suka mempelajari hal baru, termasuk belajar Bahasa. Tapi ternyata suka saja tidak cukup, karena perlu niat kuat dan ekstra ketekunan untuk memahaminya. Bahasa Indonesia tetap saya pelajari sampai sekarang, meskipun ini adalah bahasa Ibu, bukan bahasa asing. Tidak pernah ada habisnya untuk belajar berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, dari cara penulisan maupun pengucapan. Belajar menulis dan menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar menurut saya adalah sebagai bentuk penghormatan terhadap bahasa Nasional dan bentuk kecintaan pada bahasa Ibu serta ucapan terima kasih pada pendahulu kita yang telah berjuang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa Persatuan. Bahasa Indonesia itu indah. Apakah bahasa Indonesia saya sudah sempurna? tentu saja masih jauh dari kata sempurna. Ketika menulis blog, saya selalu membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online untuk mencari padu padan kata. Dengan begini, saya mencoba untuk belajar lebih jauh lagi bagaimana berbahasa Indonesia secara baik dan benar.

Bahasa asing yang saya pelajari pertama kali adalah Bahasa Arab. Pada usia 6 tahun, orangtua sudah memasukkan saya ke Madrasah Ibtidaiyah (MI), waktu sekolahnya sore hari. Jadi pagi hari saya masuk ke SD Negeri, sorenya saya belajar ke MI di Situbondo. Selama 6 tahun saya intensif belajar menggunakan bahasa Arab, selain pelajaran yang lain tentunya di MI. Belajar bahasa Arab meliputi semua hal, dari menulis, berbicara, membuat kaligrafi, sampai ikut perlombaan pidato menggunakan bahasa Arab. Saya ingat betul di STTB, nilai bahasa Arab saya yang paling bagus. Setelah lulus MI, karena jarang digunakan, kemampuan berbahasa Arab saya perlahan tapi pasti menjadi luntur. Dari yang level aktif, akhirnya berubah menjadi pasif. Sampai sekarang mungkin sudah berubah menjadi sangat pasif. Masih bisa menulis dan membaca huruf gundul. Tapi kalau disuruh berbicara sudah tersendat, tapi kalau ada orang berbicara menggunakan bahasa Arab masih sedikit paham.

Bahasa asing kedua yang saya pelajari adalah bahasa Inggris sewaktu dibangku SMP. Masa itu adalah awal mula saya berkenalan dengan bahasa Inggris. Sangat antusias sekali pada saat itu sehingga nilai bahasa Inggris saya sangat bagus. Pada dasarnya saya ini memang suka heboh diawal kalau belajar bahasa baru. Dan biasanya beberapa waktu kemudian menjadi bosan. Sifat jelek yang tetap melekat sampai sekarang. Saya tidak pernah mendaftar kursus bahasa Inggris, ya mengandalkan guru yang mengajar disekolah. Saya ingat betul pada masa SMP itu Ibu sangat bersemangat mendukung saya untuk lancar berbahasa Inggris, salah satunya adalah praktek langsung berbicara dengan bule. Rumah kami dekat dengan terminal, dan Situbondo adalah kota yang dilewati ketika menuju Bali menggunakan angkutan umum dari arah Surabaya. Jadi tidak mengherankan kalau di Situbondo banyak dijumpai bule yang sengaja beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan ke Bali. Ibu kalau melihat ada bule jalan, langsung diajak berbicara dengan bahasa pengantar seadanya dan ujung-ujungnya diundang kerumah supaya saya bisa langsung praktek berbicara. Sambil saya belajar, ibu menyajikan makanan ke bule-bule itu. Pada saat itu saya belum mengetahui kalau tidak semua bule bisa berbahasa Inggris. Jadi entah benar atau salah pada saat itu yang penting berani berbicara. Sampai sekarangpun saya terus belajar bagaimana menulis dan berbicara menggunakan bahasa Inggris yang benar dan baik. Komunikasi saya dengan suami menggunakan bahasa Inggris, meskipun untuk saat ini sudah diselingi dengan menggunakan bahasa Belanda dan sesekali suami juga belajar bahasa Indonesia.

Sewaktu SMA, saya mengikuti ekstrakurikuler Bahasa Jepang. Tujuan awalnya karena pada saat itu sedang gandrung mengikuti serial Tokyo Love Story disalah satu TV Swasta di Indonesia. Jadi akhirnya tertarik untuk mempelajari bahasa Jepang. Selama 3 tahun belajar dari tingkatan yang tidak mengerti sama sekali sampai bisa menulis menggunakan huruf Hiragana dan Katakana serta berbicara menggunakan bahasa Jepang. Saya mengikuti beberapa kali ujian sampai level advanced. Sampai pernah satu waktu saya bergabung dengan klub bahasa Jepang disekolah dan dapat pekerjaan untuk menterjemahkan dokumen dari bahasa Jepang ke bahasa Indonesia dari salah satu perusahaan Jepang di Surabaya. Selain mendapatkan pengalaman juga uang yang jumlahnya lumayan besar pada saat itu. Setelah lulus SMA, perlahan tapi pasti kemampuan Bahasa Jepang saya menurun, karena tidak pernah dipraktekkan. Dari yang aktif menggunakan Bahasa Jepang, akhirnya menjadi pasif.

Kemudian pada tingkat akhir perkuliahan, ada program belajar bahasa Mandarin gratis ditempat kuliah. Saya mendaftar dan selama setahun belajar secara rutin bahasa Mandarin. Tujuan awalnya memang iseng, mumpung gratis kan sayang kalau tidak ikut, pikir saya waktu itu. Setelah setahun berjalan, saya mulai bosan. Akhirnya belajar bahasa Mandarin tidak diteruskan dan putus tengah jalan, saya hanya mengikuti dua kali ujian saja. Setelah pindah ke Jakarta, saya mempunyai keinginan untuk kembali mempelajari bahasa asing lainnya. Waktu itu sempat terpikir bahasa Belanda dan bahasa Jerman. Ingin mempelajari bahasa Belanda karena memang sedang berburu beasiswa ke Belanda, sedangkan ingin belajar bahasa Jerman karena iseng, nampak terlihat keren bahasanya sepintas lalu. Tapi keinginan untuk mempelajari dua bahasa tersebut hanya angan-angan karena tidak pernah menjadi kenyataan pada saat itu.

Setelah menikah, mau tidak mau saya harus belajar bahasa Belanda karena persyaratan untuk pindah ke Belanda harus lulus ujian bahasa Belanda level A1 yang dilakukan di Kedutaan Belanda. Belajar bahasa Belanda pada saat itu saya lakukan otodidak. Saya hanya punya waktu 2 bulan untuk belajar dari nol sampai waktu ujian yang ditetapkan. Saya tidak sempat untuk mengikuti les dalam jangka waktu yang normal. Saya pernah menceritakan tentang ini ditulisan tentang MVV Basis Inburgeringsexamen. Tetapi pada saat saya belajar selama 2 bulan itu, mempunyai tujuan yang jelas, bahwa saya harus lulus ujian A1 supaya bisa pindah ke Belanda. Jadi selama proses persiapan ujian yang cukup singkat, saya selalu memotivasi diri sendiri untuk lulus. Akhirnya saya lulus dengan nilai yang lumayan memuaskan, menurut saya, yang benar-benar pemula. Bahkan nilai TGN atau kemampuan berbicara dalam bahasa Belanda saya nilainya setara dengan level B1 (menurut isi surat kelulusan yang saya terima).

Entah mengapa, saya senang sekali belajar bahasa. Awalnya saya berpikir untuk menyeimbangkan kerja otak. Sehari-hari otak saya bekerja dengan angka-angka karena memang kecintaan saya pada hitungan. Dengan belajar bahasa, saya merasa otak jadi seimbang. Belajar bahasa itu sexy, karena bisa tahu juga aksen berbicara dari negara asalnya. Seperti bahasa Inggris, saya suka aksen British, awalnya karena mendengar Jude Law berbicara dibeberapa filmnya, terdengar sexy. Benar sekali, saya memang orang yang gampang terpengaruh oleh film. Jadi kalau ada film yang saya senangi, biasanya akan mencari informasi yang terkait sampai kulit-kulitnya. Tapi aksen itu bukan utama, yang penting adalah mengerti dan memahami bahasa yang sedang kita pelajari dan konsisten mempraktekkannya supaya tidak menjadi lupa. Satu lagi, belajar bahasa asing itu benar-benar menyenangkan.

Tulisan Mbak Yoyen tentang Learn Your Languages ini akhirnya menjadi jawaban kenapa selama ini saya suka belajar bahasa asing. Salah satunya ya yang seperti saya sebutkan sebelumnya yaitu menyeimbangkan otak dan bagus untuk kerja otak. Manfaat yang lainnya masih banyak lagi tentunya. Belajar itu butuh kesungguhan dan kerja keras jadi hasilnya bisa maksimal. Tidak seperti saya yang sudah susah-susah belajar beberapa bahasa Asing ujung-ujungnya tidak dipergunakan secara maksimal akhirnya perlahan menjadi lupa dan berujung hanya mengumpulkan sertifikat lulus ujiannya saja. Dari beberapa bahasa asing yang pernah saya pelajari, yang masih dipergunakan secara aktif adalah bahasa Inggris. Sisanya berbekas samar-samar. Saat ini saya sedang memulai lagi belajar bahasa asing, yaitu bahasa Belanda. Tujuan belajar bahasa Belanda ini jelas, supaya saya bisa berkomunikasi disini, meskipun penduduk Belanda ini banyak yang bisa berbahasa Inggris, tetapi tetap saja saya ingin lancar berbahasa Belanda lisan maupun tulisan. Tujuan kedua setelah menguasai bahasa Belanda adalah lulus ujian untuk memperpanjang ijin tinggal saya disini selama 5 tahun. Dan tujuan ketiga adalah untuk mencari pekerjaan. Kalau sudah menetapkan tujuan diawal, belajar akan lebih menyenangkan dan terarah.

Bahasa asing apa yang sedang kamu pelajari sekarang, atau bahasa asing apa yang kamu kuasai sampai saat ini?

-Den Haag, 8 Mei 2015-

Gambar dipinjam dari sini dan sini.

Bevrijdingsdag – Bevrijdingsfestival Den Haag 2015

5 Mei adalah hari libur nasional di Belanda dan disebut sebagai Bevrijdingsdag untuk memperingati Belanda yang dibebaskan oleh sekutu dari pendudukan Jerman pada masa perang dunia kedua. Pada tanggal 4 Mei jam 8 malam selama 2 menit mengheningkan cipta untuk mengenang yang gugur, disebut sebagai Dodenherdenking. Pada waktu Dodenherdenking, suami mencari-cari saya karena akan diajak mengheningkan cipta bersama famili yang sedang main kerumah. Kemudian dia menemukan saya dikamar sedang Sholat. Dan dia merasa terharu karena dipikirnya saya sedang mengheningkan cipta melalui Sholat. Setelah saya jelaskan kalau saya tidak sedang mengheningkan cipta, tapi memang waktunya Sholat Maghrib, dia lalu meralat rasa harunya 😀

Jauh hari sebelum Bevrijdingsdag, Yayang mengajak saya untuk melihat festival musik di Rotterdam yang katanya selalu ada setiap tanggal 5 Mei, tapi ini bukan hanya di Rotterdam saja melainkan juga ada dibeberapa kota lainnya yaitu Den Haag, Amsterdam, Vlissingen, Haarlem, Almere, Utrecht, Den Bosch, Roermond, Wageningen, Zwolle, Assen, Leeuwarden, dan Groningen, namanya Bevrijdingsfestival. Tahun lalu sewaktu pertama kali saya mengunjungi Belanda, pernah melihat festival musik ini sekilas di Den Haag. Karenanya ketika Yayang mengajak, saya menjadi antusias dan akan memberi kabar sehari sebelumnya, tergantung banyak tidaknya PR dari sekolah yang harus saya kerjakan. Singkat cerita, tanggal 5 Mei kami saling update berita sejak pagi. Yayang menginformasikan kalau hari itu akan ada hujan deras jadi kami harus siap-siap jas hujan atau payung. Wah, mendengar kata hujan saya jadi males. Tapi sayang juga kalau tidak jadi karena saya ingin bertemu dengan Cinta Cahaya. Ternyata benar tengah hari hujan deras sekali, langit pekat, angin super kencang, dan ada kilat serta geluduk. Sepertinya ini geluduk dan kilat pertama yang saya rasakan sejak pindah ke Belanda. Akhirnya saya dan Yayang memutuskan batal demi keselamatan bersama. Saya kecewa tentu saja karena sudah siap-siap akan berangkat. Yayang juga menceritakan Cinta dan Cahaya juga kecewa karena mereka sudah rapi dan cantik siap akan berangkat dan bermain di Euromast. Akhirnya saya tertidur karena punggung pada hari itu sedang sakit sejak semalam sebelumnya.

Bangun tidur sekitar jam 3 sore matahari sudah cerah ceria kembali. Wah, negara ini memang cuaca cepat sekali berganti. Suami bertanya apakah saya mau jalan-jalan ke Den Haag Centrum melihat Bevrijdingsfestival. Tentu saja saya menyambut ajakannya dengan antusias. Padahal awalnya dia sama sekali tidak ada rencana keluar rumah karena sedang kejar tayang menyelesaikan Tesis. Meskipun angin bertiup sangat kencang, saya beberapa kali terseret angin dan harus digandeng suami ketika berjalan menuju Malieveld, tempat berlangsungnya acara, tapi kami tetap antusias. Suami mengatakan akan ada penampilan musisi dari Indonesia. Tidak berapa lama setelah sampai dan hampir didepan panggung, tiba-tiba saya mendengar lagu Bengawan Solo. Wow! Saya terkesima dan entah kenapa menjadi terharu. Mendengarkan lagu Bengawan Solo dinegara orang hati menjadi sangat tersentuh. Ternyata tidak hanya Bengawan Solo saja, tetapi dilanjutkan dengan lagu Sayang E. Kalau dari website Bevrijdingsfestival mereka ini adalah “Molukse en Nederlandse popmusici” jadi kolaborasi Musisi Maluku dan Belanda dan salah satu penyanyi wanitanya bernama Sandra Reemer. Kata suami, Beliau ini penyanyi dan artis senior di Belanda.

Ini adalah video yang saya rekam ketika mereka sedang perform Bengawan Solo dan Sayang E. Senangnya melihat antusias penonton ketika Bengawan Solo dinyanyikan. Ada yang berdansa, ikutan bernyanyi, bahkan anak-anak mudanya menggerakkan badan menciptakan tarian yang energik.

Setelahnya mereka menyanyikan lagu berbahasa Belanda dan bahasa Inggris yang kemudian diakhiri dengan perkenalan masing-masing anggotanya. Hati saya gembira setelah melihat penampilan mereka. Setelahnya ada penampilan dari Brainpower dan 3js Final Act. Saya hanya bertahan 1.5 jam berdiri didepan panggung karena tiba-tiba lapar dan punggung mulai nyeri. Kerumunan penonton semakin memadati depan panggung, kami meninggalkan tempat acara dengan senyum lebar karena bisa melihat Festival Musik gratisan. Menurut Yayang, artis-artis yang tampil dibeberapa kota berpindah lokasi menggunakan helikopter. Seru sekali.

-Den Haag, 6 Mei 2015-

Semua dokumentasi disini adalah milik pribadi

Malieveld - Den Haag
Malieveld – Den Haag
Penonton Bevrijdingsfestival Den Haag
Penonton Bevrijdingsfestival Den Haag

 

Penampilan 3js Final Act
Penampilan 3js Final Act

    


      

Koningsnacht dan Koningsdag 2015

27 April 2015 lalu adalah libur nasional Belanda, Koningsdag, karena Raja Belanda yang bernama Willem Alexander berulangtahun. Baru kali ini saya merasakan hari ulangtahun orang penting disebuah negara menjadi hari libur nasional. Dan tentu saja ini menjadi pengalaman pertama saya mengikuti kemeriahan Koningsdag. Dosen saya disekolah mengatakan bahwa kemeriahan tidak hanya berlangsung saat Koningsdag, tapi berlangsung pada malam sehari sebelumnya. Setelah mendapat informasi tersebut, saya antusias mengajak suami untuk melihat Koningsnacht di Den Haag Centrum. Dan sehari setelahnya kami menghabiskan waktu untuk merasakan kemeriahan Koningsdag di Rotterdam Centrum.

Koningsnacht (26 April 2015, malam hari)

Setelah makan malam, saya dan suami bergegas menuju Den Haag Centrum. Ada festival musik Life I Live gratis di 9 tempat berbeda. Jadi ada 9 panggung bervariasi besar kecilnya, yang bergantian diisi dengan 40 lebih musisi dan grup band. Kami mendatangi semua panggung, karena memang saya senang sekali melihat live music seperti ini. Terakhir saya melihat live music gratisan setahun lalu di Surabaya sewaktu Naif tampil untuk meramaikan hari jadi Surabaya. Sedangkan konser musik berbayar yang saya datangi terakhir kali adalah Maroon 5 sewaktu di Jakarta. Jadi ketika di Den Haag ada Festival Musik semacam ini, terus terang saya sangat antusias.

Semakin malam, semakin ramai, dan musik yang ditampilkan oleh para musisi ini juga semakin menarik.  Keuntungan memiliki badan mungil, bisa merangsak maju mendekati panggung. Meskipun hampir semuanya saya tidak mengerti mereka ini siapa, tapi ada satu grup band yang saya senang sekali dengan musiknya, yaitu The Cool Quest. Penyanyinya interaktif, dan musiknya menghentak asyik.  Saya seperti merasa salah kostum, menggerakkan badan diantara muda mudi yang tangannya menggenggam bir dan bergerak mengikuti alunan musik. Namun musik bersifat universal, jadi siapapun boleh menikmatinya, tanpa memandang kostum apa yang dikenakan. Dan pada saat Koningsnacht memang saatnya berpesta, jadi semua bergembira dengan caranya masing-masing.

Kami meninggalkan Den Haag Centrum saat jam menunjukkan angka 11. Kota semakin ramai, tapi punggung saya sudah sakit karena terlalu lama berdiri, dan kami juga perlahan merasa mengantuk. Faktor umur sangat mempengaruhi rupanya. Disaat yang lain baru berdatangan untuk berpesta, kami malah pulang untuk istirahat.

Life I Live yang padat dengan penonton
Koningsnacht di Den Haag. Life I Live yang padat dengan penonton

 

Koningsdag (27 April 2015)

Saya dan suami melihat kemeriahan Koningsdag di Rotterdam. Awalnya karena kami berencana mengunjungi Markthal, tapi akhirnya sekaligus melihat suka cita masyarakat Belanda dihari ulang tahun Raja di Rotterdam. Oranje tentu saja menjadi warna yang hampir dikenakan oleh semua orang-orang, termasuk saya yang antusias menyiapkan baju dengan warna oranye sejak beberapa hari sebelumnya. Sampai suami geleng-geleng kepala. Sedangkan dia sama sekali tidak punya baju warna oranye. Akhirnya hanya saya sendiri yang totalitas menggunakan warna oranye.

Totalitas  Oranye
Totalitas Oranye

Kata Dosen saya, Koningsdag identik dengan Vrijmarkt. Jadi ada orang-orang berjualan barang bekas layak jual disetiap sudut kota. Dan pada hari itu semua toko katanya juga tutup, yang pada kenyataannya kemarin saya mendapati beberapa toko dan supermarket masih buka. Senang sekali melihat barang-barang bekas yang dijual. Karena memang niat awalnya ke Rotterdam hanya jalan-jalan melihat keramaian disana, maka saya tidak membeli satupun barang-barang yang dijual. Tidak hanya kemeriahan dari berburu barang bekas, tapi juga ada pertunjukan musik, serta ada antrian mengular dari toko es krim terkenal disana.

Vrijmarkt di Rotterdam
Vrijmarkt di Rotterdam
Antrian es krim yang mengular sampai keluar. rasa Eskrimnya memang Yummyy!!
Antrian es krim yang mengular sampai keluar. rasa Eskrimnya memang Yummyy!!
Pertunjukan musik dijalan
Pertunjukan musik dijalan
Semua riang gembira pada Koningsdag dan menikmati hangatnya Matahari didepan Markthal
Semua riang gembira pada Koningsdag dan menikmati hangatnya Matahari didepan Markthal

Libur nasional pertama yang saya rasakan sejak pindah ke Belanda. Kemeriahan pertama yang saya ikut bersuka ria didalamnya. Koningsdag tahun 2015.

-Den Haag, 1 Mei 2015-

Semua foto adalah dokumentasi pribadi

Pengalaman Berlari – NN CPC Loop Den Haag 2015

Seperti yang sudah pernah saya ceritakan sebelumnya kalau saya dan suami senang sekali berlari. Kami rutin lari bersama setiap minggu. Awalnya berangkat bersama dari rumah, tapi ditengah jalan saya yang pulang lebih dulu, tidak kuat mengikuti rutenya yang lumayan jauh. Kalau saya lari cukup sekali seminggu, sementara suami minimal 2 kali seminggu. Sejak pindah ke Den Haag, saya makin senang berlari karena udaranya bersih, segar (baca:tidak berpolusi), tidak harus berebutan jalan dengan pengendara mobil, angkot, ataupun sepeda motor karena ada tracknya sendiri.

Sebelumnya, kami pernah mengikuti Bromo Marathon 2014, rangkaian bulan madu ceritanya. Suami 21km, saya cukup 10km saja. Pada tanggal 8 Maret 2015, kami kembali mengikuti event lari, kali ini di Den Haag dan bernama CPC Loop Den Haag. Event ini diselenggarakan tiap tahun. Suami kembali mengikuti untuk 21km dan saya tetap tidak naik kelas di 10km. Saya tertarik mengikuti karena ketika saya masih di Surabaya, Suami bercerita kalau CPC Loop ini menyenangkan karena sepanjang jalan kita berlari akan ada orang-orang yang berdiri dan menyemangati kita sampai di garis finish. Bayangan saya waktu itu, mungkin seperti di Bromo Marathon.

Hari yang dinanti tiba, kami berangkat ke tempat acara menggunakan kereta. Ternyata didalam kereta menuju Den Haag Centraal, isinya penuh dengan peserta lari. Saya mulai grogi karena mereka tinggi-tinggi sekali, sementara badan saya irit dengan ukuran kaki yang tidak panjang. Sesampainya ditempat, grogi semakin menjadi. Sepanjang mata memandang nampaknya hanya saya saja yang berbadan mungil. Tapi saya akhirnya menjadi cuek, toh ikut lari ini untuk mencari pengalaman baru, bukan untuk bertanding secara murni mencari hadiah atau medali. Saya dan suami berbeda waktu keberangkatan. Jadi yang 10km berangkat terlebih dahulu jam 2 siang, lalu yang 21km berangkat jam 4 sore.

Ternyata Belanda ini bisa telat juga kalau mengadakan acara. Terbukti waktu keberangkatan yang 10km terlambat 10 menit dari jadwal yang sudah tertera. Setelah tanda start dibunyikan, saya berlari perlahan tapi pasti. Mencoba mencari ritme berlari yang sesuai. Seperti yang sudah diduga, tentu saja saya sering dibalap peserta lari lainnya. Saya sampai merasa jangan-jangan nanti sampai finish urutan paling akhir. Tapi saya tetap cuek, kembali berlari, dan menjaga waktu tetap konstan.

Pada hari itu cuaca sedang cerah. Matahari bersinar terik dengan 13 derajat celcius. Padahal hari-hari sebelumnya Den Haag selalu hujan diselimuti awan pekat yang tebal. Sepanjang jalan antusiasme masyarakat melihat kami yang berlari sangat tinggi. Mereka memberi semangat dengan meneriakkan :

“Kom op, Deny!”

“Goed zo, Deny!”

Deny, Indonesie!”

bahkan ada beberapa rumah yang memutarkan musik penyemangat, contohnya We Are The Champions. Ada juga yang melambaikan bendera-bendera dan memasang kata-kata penyemangat. Meriah sekali sepanjang jalan dengan antusiasme mereka untuk memberi semangat. Saya yang pada satu titik tertentu merasa sangat capek karena panas yang terik, niat ingin berhenti sesaat, tetapi tidak sampai berhenti karena malu dilihat banyak orang yang sudah meneriakkan nama saya. Akhirnya saya terus berlari tanpa berhenti sampai terlihat garis yang dinantikan, yaitu garis finish. Ketika sampai disana, saya menjadi terharu karena ini event lari pertama yang saya ikuti diluar Indonesia.

Waktu untuk Suami 21km adalah 1:56:41  sedangkan saya 10km 1:21:35. Terlihat bagaimana saya berlari sangat santai (baca : lelet). Tapi bersyukur juga, ternyata saya bukan orang terakhir yang sampai garis finish. Setelah saya ternyata masih ada banyak, mungkin ratusan, yang masih dibelakang.

Saya mempunyai niat dan cita-cita besar bisa naik kelas ke 21km untuk event lari selanjutnya supaya bisa berlari bersama suami, ya meskipun saya tahu rasanya susah menyamai waktu berlarinya.

Mari tetap berolahraga sesuai dengan kondisi masing-masing sebagai salah satu cara untuk mensyukuri dan menjaga pemberian Tuhan yang sangat berharga, yaitu Kesehatan.

-Den Haag, 22 April 2015-

<

p style=”text-align: justify;”>Sebenarnya saya sudah dilarang dokter untuk melakukan olahraga yang berat karena sejak lebih 10 tahun lalu divonis menderita Skoliosis yang parah dengan derajat kemiringan lebih dari 50. Olahraga yang diijinkan hanya berenang untuk menjaga kemiringan tidak semakin bertambah parah. Tapi berlari sudah bagian dari saya sejak kecil, jadi saya ingin tetap melakukannya, meskipun sekarang sudah tidak bisa secepat dulu waktunya. Berenang juga masih rutin saya lakukan.

Karena waktu berlarinya berbeda, fotonya pun menjadi terpisah :)
Karena waktu berlarinya berbeda, fotonya pun menjadi terpisah 🙂

Suami 21km, Istri 10km
Suami 21km, Istri 10km

Sepanjang mata memandang dikereta menuju Den Haag Centraal, isinya orang-orang yang akan berlari. Saya sempat grogi melihat kaki-kaki panjang mereka.
Sepanjang mata memandang dikereta menuju Den Haag Centraal, isinya orang-orang yang akan berlari. Saya sempat grogi melihat kaki-kaki panjang mereka.

Grogi bertambah menjelang start karena dikiri kanan depan belakang tinggi-tinggi semua. Hanya saya yang kecil menyempil
Grogi bertambah menjelang Start karena dikiri kanan depan belakang tinggi-tinggi semua. Hanya saya yang kecil menyempil

Ya kira-kira saya nyempil diantara ribuan orang inilah (Foto dari www.nncpcloopdenhaag.nl)
Ya kira-kira saya dan suami nyempil diantara ribuan orang inilah (Foto dari www.nncpcloopdenhaag.nl)

Antusias masyarakat yang melihat dan memberi semangat digaris finish
Antusias masyarakat yang melihat dan memberi semangat digaris finish
IMG_0649

IMG_0648

Menyusuri Giethoorn – Desa Unik di Belanda

Ini tulisan yang tertunda untuk diposting. Menjelang hari ulang tahun akhir Maret 2015, Suami terus-terusan bertanya ulang tahun maunya apa, dirayakan dimana, dan mau hadiah apa. Saya sebenarnya ingin ini itu (ngelunjak), tapi waktu itu suasana masih berduka setelah Papa meninggal, akhirnya saya memutuskan seminggu sebelum ulang tahun ingin pergi jalan-jalan yang dekat saja, sekalian untuk menghibur suami juga, dan tidak enak rasanya kalau ingin makan-makan dengan keluarga besar karena masih dalam suasana berduka.

Ketika masih di Surabaya, saya pernah melihat beberapa kali postingan di Instagram tentang desa seperti di Venice-Italia (Saya melihat dimajalah dan TV) yang banyak jembatan dan perahunya, yang ada di Belanda. Saya bertanya ke Suami apakah tempatnya jauh, karena ingin pergi kesana. Kata suami tidak terlalu jauh, 2 jam naik mobil dari Den Haag. Akhirnya diputuskan Jumat malam 26 Maret 2015 berangkat dengan menyewa mobil, karena mobil Suami rusak dan berencana dijual juga 😀 *sekalian iklan. Suami sudah reservasi Bed&Breakfast. Setelah menempuh 2 jam perjalanan, ditambah berhenti sebentar untuk istirahat, akhirnya kami sampai ke Steenwijk, berputar mencari alamat rumahnya ternyata belum ketemu juga. Singkat cerita kami memutuskan untuk menginap dihotel saja karena Suami juga mendapatkan email dari pemilik rumah kalau kami terlalu malam sampainya sehingga tidak bisa lagi untuk check in.

Akhirnya kami menginap di Hotel De Harmonie. Harga semalamnya 97 euro sudah termasuk sarapan. Kamarnya bersih, rapi, dan pelayanan dihotel lumayan bagus. Keesokan harinya kami bangun pagi karena melihat matahari lumayan bersinar terang. Cepat-cepat kami berjalan kaki ke desanya, hanya sekitar 10 menit dari hotel. Jadi Giethoorn ini terletak di Steenwijk, Overijssel. Konon katanya kalau saya membaca dari beberapa artikel, Giethoorn yang dikenal dengan Venice-nya Belanda ini mempunyai 180 jembatan dan rumah-rumah yang unik. Tetapi hati-hati kalau terlalu asyik foto-foto dan tidak memperhatikan tanda, bisa kesasar ke halaman rumah orang karena beberapa rumah ada tanda didepan pintunya tidak ingin dikunjungi.

Karena akhir Maret cuaca masih tidak menentu, maka kami juga tidak menaruh harapan tinggi cuaca akan terang sepanjang hari. Diatas jam 10 pagi, mendung mulai pekat dan tidak berapa lama hujan turun dengan suhu 5 derajat celcius, dingin sekali. Jadi kami berjalan kaki sepanjang desa dengan menggunakan payung. Kami juga tidak mencoba jasa perahu yang harganya 15 euro per 55 menit karena sudah bisa menyusuri sepanjang desa dengan berjalan kaki. Kalau cuaca cerah dan langitnya bagus, mungkin kami akan menyewa perahu agar bisa menyusuri danaunya juga. Kesan yang saya dapat setelah menyusuri Giethoorn : menyenangkan karena sepi (mungkin karena belum musim liburan sehingga tidak banyak turis. Saya membayangkan kalau musim panas pasti ramai sekali desa ini oleh turis), dan rumah-rumahnya juga unik dengan warna warni dan bentuknya yang bagus. Suami sempat berujar kalau rumah-rumah yang ada di Giethoorn mengingatkan pada cerita dongeng-dongeng. Dan satu lagi, sewaktu berjalan kaki sepanjang Giethoorn, saya merasa suasananya romantis, cocok untuk tempat bulan madu, atau pacaran dengan suami. Saya sempat bilang ke Suami pada saat berjalan “Saya kok merasa makin jatuh cinta ya sama kamu disini,” dan suamipun hidungnya kembang kempis :p.

Selamat berakhir pekan bersama keluarga, pasangan, dan teman-teman tersayang

-Den Haag, 17 April 2015-

Semua foto adalah dokumentasi pribadi

Giethoorn

        

 

Bentuk rumah yang unik

       

   

        

Turis yang naik perahu dan kehujanan menggunakan payung. Padahal hujan deras dan dingin sekali.

Lupa Bahasa Ibu, Apakah Mungkin?

Tulisan semacam ini sudah ada beberapa blogger yang membahas. Karena saya mempunyai pengalaman sendiri, maka saya juga (ikut) membahas disini.

Beberapa hari lalu, seseorang menyapa saya ketika sedang berbelanja disalah satu Supermarket dekat rumah. Lalu kami berbincang sebentar setelah memperkenalkan diri satu sama lain. Saya tinggal di Den Haag sehingga bertemu dengan orang Indonesia bukan sesuatu yang luar biasa disini karena banyak Imigran dari Indonesia. Jadi tidak mengherankan kalau tiba-tiba saya sering disapa sesama imigran dari Indonesia juga. Kalau saya memang jarang menyapa terlebih dahulu orang yang tidak saya kenal :). Singkat cerita ditengah pembicaraan, Mbak Z, sebut saja begitu namanya, melontarkan ucapan “Mbak, dari Jawa Timur ya? Medhok Surabayanya kelihatan.” Saya spontan tertawa sambil menjawab “Darah yang mengalir ditubuh saya ini darah Jawa Timur, jadi sampai kapanpun lidah tidak akan mungkin bisa hilang logat asal.”

Pembicaraan tersebut melemparkan kembali ingatan pada memori satu tahun lalu. Bulan Mei 2014 pertama kali saya menginjakkan kaki di Belanda untuk berkunjung selama dua minggu. Disuatu sore saya berbelanja sendiri di Supermarket yang sama. Tiba-tiba ada yang menepuk pundak dan bertanya apakah saya berasal dari Indonesia, tapi bertanya dengan menggunakan Bahasa Inggris. Pada saat itu saya berpikir dia berasal dari Malaysia atau Vietnam atau Thailand atau negara Asia lainnya. Saya kembali bertanya dengan menggunakan Bahasa Inggris juga darimana asalnya. Ternyata dia dari Indonesia juga. Pada saat itu saya senang sekali karena (awalnya berpikir) bisa berbincang menggunakan Bahasa Indonesia dengan dia. Tapi saya cegek (apa ya Bahasa Indonesianya cegek ini, ungkapan Jawa Timuran) ketika dia mengatakan sudah tidak lancar lagi dan agak lupa berbicara menggunakan Bahasa Indonesia. Kembali saya bertanya sudah berapa lama tinggal di Belanda, saya berpikir pasti sudah puluhan tahun, meskipun dari segi penampakan usianya sepertinya tidak jauh berbeda dengan saya. Dia menjawab sejak 2 tahun menikah dengan Nederlander. Hah?? Saya ternganga tidak percaya. Apa benar 2 tahun tinggal di Belanda menjadi lupa Bahasa Indonesia. Tingkat keingintahuan bertambah, saya bertanya lagi asalnya darimana. Ternyata sama-sama Jawa Timur. Oh iya, sejak tahu dia dari Indonesia, saya langsung menggunakan Bahasa Indonesia, dan dia tetep kekeuh menggunakan Bahasa Inggris (yang menurut saya samalah tingkatannya dengan saya, Bahasa Inggris standar). Satu yang saya tidak suka ketika dia berujar (ini sudah saya terjemahkan) “Kita ngobrol pakai Bahasa Inggris saja ya, saya sudah tidak lancar lagi dan agak lupa ngomong Bahasa Indonesia karena dirumah berbicara dengan suami seringnya pakai Bahasa Belanda dan sesekali Bahasa Inggris. Kamu kan pasti belum bisa Bahasa Belanda, jadi kita ngobrol inggrisan aja.” Duh rasanya saya kesal sekali. Saya memang pada saat itu belum bisa sama sekali Bahasa Belanda (dan pada saat ini juga masih dalam taraf belajar lebih lanjut), tetapi tidak elok juga asal menuduh seperti itu. Kebetulan saja tuduhannya benar, kalau ternyata saya sudah lancar Bahasa Belanda, kan bisa senjata makan tuan untuk dia.

Pada saat itu saya masih mempunyai pikiran positif. Mungkin saja dia sudah lama tidak tinggal di Indonesia sehingga beberapa kata dalam Bahasa Indonesia lupa. Saya bertanya kembali sebelum tinggal di Belanda dia tinggalnya dimana. Jawabannya sungguh mencengangkan, ternyata dia tidak pernah kemana-mana sebelumnya. Tinggal hanya seputaran Jawa Timur saja, kemudian pindah ke Belanda. Saya akhirnya mengajak berbicara memakai Bahasa Jawa, ya mungkin saja memang dia tidak lancar menggunakan Bahasa Indonesia sejak di Indonesia. Dia bilang kalau Bahasa Jawa juga sudah lupa. Ok, saya langsung angkat tangan. Saya merasa tidak nyaman bertemu orang Indonesia, sama-sama Jawa Timur dan harus berbicara sepanjang waktu menggunakan Bahasa Inggris.

Saya juga pernah bertemu seseorang dari Indonesia dalam sebuah acara. Kami berbicara santai, tapi dia bicaranya campur-campur dengan menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Belanda. Jadi terlihat sekali kesulitan dalam memilah memilih kata. Kemudian saya dengan kalem berujar “Mbak, pakai Bahasa Indonesia saja yuk ngobrolnya, biar enakan. Kalau campur-campur saya jadi bingung, mbak juga jadi ga lancar ngobrolnya,” dimana beberapa menit kemudian saya tahu kalau dia baru beberapa bulan tinggal di Belanda, tetapi sudah sangat susah berbicara Bahasa Indonesia, asalnya dari Jakarta.

Satu lagi selingan cerita (bisa juga dibuat sebagai pembanding). Mama mertua yang memang berdarah Belanda (kedua orangtua Beliau asli Belanda), lahir di Jakarta dan tinggal sampai umur 15 tahun, kemudian baru pindah ke Belanda. Ceritanya pernah saya tulis disini. Sampai sekarang Beliau masih ingat kata-kata dan masih bisa berbicara lancar menggunakan Bahasa Indonesia ketika sesekali berbincang dengan saya. Padahal itu sudah berpuluh tahun lalu aktif menggunakan Bahasa Indonesia. Mama masih mengingat Bahasa Indonesia karena pada saat itu diasuh oleh Ibu sambung yang memang asli Indonesia, dan sehari-hari berkomunikasi menggunakan Bahasa Indonesia sejak kecil sampai umur 15 tahun.

Saya kelahiran Jember, dari Bapak yang berasal dari Jember dan Ibu dari Nganjuk. Tetapi sejak kecil saya tinggal di Situbondo, 6 tahun tinggal di Jakarta, dan 13 tahun tinggal di Surabaya. Ibu dan Bapak sehari-hari menggunakan Bahasa Jawa kepada anak-anaknya. Lingkungan Situbondo mayoritas suku Madura, sehingga saya menjadi lancar juga berbicara Bahasa Madura karena selalu menggunakannya diluar rumah untuk berbicara dengan teman-teman maupun tetangga. Bahasa Indonesia saya pelajari disekolah. Jadi, buat saya sampai kapanpun tidak pernah akan lupa Bahasa Jawa, Bahasa Madura, dan Bahasa Indonesia karena sampai detik ini dan sampai nanti saya akan selalu menggunakannya ketika berbicara dengan saudara-saudara, Ibu, dan adik-adik yang ada di Indonesia. Bagaimana mungkin akan lupa, kalau setiap berbicara ditelepon dengan Ibu, adik-adik, dan tetangga saya masih menggunakan Bahasa Jawa dan Bahasa Madura. Dan yang pasti, logat saya masih medhok Jawa, bahkan ada seorang kawan menyebutkan seperti logat Bungurasih, saking mendhoknya (Bungurasih ini nama terminal di Surabaya).

Tulisan ini juga akan menjadi pengingat saya ketika mungkin nanti (berencana sok-sok akan) lupa menggunakan tiga bahasa yang saya sebutkan sebelumnya.

Saya tidak mau menuduh, hanya heran sekaligus bertanya saja apakah mungkin seseorang akan lupa dengan Bahasa Ibu?

CaMbah (Catatan tambahan, iya ini mengarang singkatan) = Sebenarnya pertanyaan diatas sudah terpatahkan oleh pengalaman saya ketika Kopdar dengan Mbak Yoyen yang tinggal 20 tahun di Belanda dan Indah yang tinggal sekitar 10 tahunan di Belanda (mohon koreksinya kalau salah). Mbak Yoyen, seorang yang Multilingual (Bahasa Inggris, Belanda, Perancis, Spanyol juga ya Mbak, apalagi ya?) dan Indah yang juga pasti sangat fasih berbahasa Belanda, Inggris, tetapi mereka masih sangat lancar menggunakan Bahasa Indonesia ketika berbicara dengan kami yang hadir dikopdar waktu itu. Bahkan Mbak Yo beberapa kali menimpali  obrolan dengan menggunakan Bahasa Jawa. Saya tidak terlalu punya banyak kenalan yang tinggal diluar negeri dalam waktu yang lama. Tapi mengenal Mbak Yoyen dan Indah, sudah sangat cukup untuk menjawab pertanyan retorika yang saya tuliskan sendiri diatas.

Ada tulisan Mbak Yoyen yang sangat bagus untuk disimak, direnungi, dan diresapi : Berbahasa Satu dan Bahasa Ibu

Bahasa Ibu
Bahasa Ibu

-Den Haag, 15 April 2015-

Gambar dipinjam dari sini