Cerita Adaptasi – Kenalan Baru – Belajar Hal Baru

Sudah dua minggu saya berada di Belanda. Tidak terasa, seperti baru beberapa hari lalu tiba. Malah kata suami saya, seperti sudah bertahun-tahun tinggal bersama. Selama dua minggu itu juga banyak hal-dari lebih banyak hal-yang saya pelajari. Beberapa kebiasaan baru, beberapa tempat baru yang saya kunjungi, maupun bertemu beberapa kenalan baru yang bukan hanya dari Indonesia. Sejauh ini menyenangkan, meskipun ada beberapa kejadian yang memang diluar dugaan, tetapi saya selalu mengambil sisi positifnya dan menjadikan pelajaran supaya kedepannya bisa menjadi lebih baik.

Suami adalah tipe yang mendorong saya untuk selalu mandiri. Selalu memberi kesempatan saya seluasnya untuk dapat keluar rumah, tidak hanya duduk diam didalam rumah. Maksudnya baik tentu saja, agar saya lebih mengenal sejauh mungkin lingkungan baru, mengenal beberapa orang baru, dan melihat sendiri tentang kebiasan-kebiasan yang ada disini sebagai bagian dari proses adaptasi.

Seperti halnya saat beberapa waktu lalu saya akan melakukan pendaftaraan pernikahan dan lapor diri tentang keberadaan saya di Den Haag supaya dicatat di Gemeente Den Haag, berangkat sendiri tanpa didampingi suami karena dia pada waktu yang bersamaan sedang ada jadwal kuliah. Awalnya saya cemas tentu saja, apakah saya bisa melakukan sendiri atau tidak. Banyak pertanyaan “bagaimana jika” ketakutan yang tentu saja manusiawi datang bertubi ketika pertama kali harus mengurus sendiri sesuatu yang penting dan berhubungan dengan pemerintah Belanda. Tapi Suami saya berkata kalau saya selalu didampingi kemanapun pergi, lalu saya tidak akan pernah bisa belajar sesuatu, akan selalu merasa bergantung pada orang. Saya pikir, benar juga. Tidak ada yang perlu saya takutkan karena meskipun saya jauh dari kata lancar dalam berbahasa Belanda, tapi saya masih bisa berkomunikasi dengan orang-orang yang saya temui menggunakan bahasa Inggris. Akhirnya saya berangkat dengan gagah berani, membawa semua dokumen yang sudah dipersiapkan sehari sebelumnya. Setelah turun dari kereta di Stasiun Den Haag Central, saya mulai ragu dan lupa arah. Apakah harus mengambil pintu keluar sebelah kiri atau kanan. Saya gambling, mencoba yang sebelah kanan, ternyata salah. Saya kembali dengan mengambil arah sebaliknya. Kali ini ternyata benar arahnya. Dalam perjalanan ke gedung Gemeente, tiba-tiba ada yang berseru “dari Indonesia?” saya menoleh mencari sumber suara. Ternyata yang menyapa seorang bapak yang awalnya saya pikir berusia masih sekitar akhir 50 tahun. Pada akhirnya beliau sendiri yang menyebutkan kalau usianya sudah 70 tahun. Awet muda rupanya. Kami saling berkenalan, berjabat tangan dan menyebut nama masing-masing. Bapak Arthur sangat ramah, menuntun sepedanya, menjajari langkah saya sampai ke gedung. Selama perjalanan yang sangat pelan beliau bercerita banyak hal, termasuk menerangkan bahwa sudah tinggal selama 60 tahun di Belanda karena beliau berdarah campuran Nias-Belanda. Karenanya, beliau tidak terlalu lancar bahasa Indonesia. Jadi saya berbicara menggunakan bahasa Indonesia, beliau menggunakan bahasa Belanda. Entah bagaimana ceritanya, tapi kami mengerti satu sama lain apa yang dimaksudkan. Beliau menyemangati saya untuk bisa beradaptasi dengan cepat dan tidak gampang menyerah. Diakhir perbincangan, kami saling bertukar alamat email. Beliau ingin mengundang saya dan suami ke rumahnya untuk sekedar ngobrol santai saat makan malam. Katanya akan dimasakkan rendang. Saya sempat bercanda “Opa, saya tidak makan daging, kalau ada gulai kepala ikan, boleh juga” yang langsung disambut tertawa keras renyahnya. Menurut beliau, saya menyenangkan dan termasuk mandiri karena baru beberapa hari di Belanda sudah kesana sini sendiri *langsung pengen terbang karena dipuji*. Setelahnya kami saling mengucapkan salam perpisahan. Hari itu menjadi sangat menyenangkan, mengenal seseorang baru, yang tiba-tiba menyapa saya dengan ramahnya, dan membuat saya berpikir bahwa semua (mudah-mudahan akan selalu) baik-baik saja.

Dilain waktu, saya mendapati sepeda yang baru beberapa hari dibeli mengeluarkan suara aneh. Saya laporkan pada suami, berharap akan diantarkan ke tempat reparasi sepeda. Suami bilang, saya bisa pergi sendiri kesana, karena gampang dan tidak perlu didampingi. Saya kembali was-was. Jaraknya memang tidak terlalu jauh dari rumah, dan saya masih hapal rute menuju kesananya. Kembali muncul pertanyaan “bagaimana jika”. Tapi kembali saya berpikir, kalau harus menunggu suami, saya tidak bisa pergi berbelanja ke Delft karena sepeda tidak nyaman dikendarai. Kalau harus menunggu suami menemani untuk sesuatu yang bisa saya lakukan sendiri, lalu semua ikut tertunda karena dia bisanya hanya akhir pekan saja ketika libur bekerja. Lebih baik saya berangkat dan melupakan semua ketakutan. Pada akhirnya saya berangkat ke toko reparasi sepeda dan begitu sampai disana, lelaki yang melayani kami membeli sepeda mengenali saya dengan menyapa ramah “Hai Madam, an Indonesian with nice red bicycle”. Saya tersenyum lebar, kemudian mengatakan keluhan tentang sepeda. Dia melakukan pengecekan dan langsung mengerjakan. Tidak berapa lama kemudian sepeda saya sudah kembali benar, tanpa ada suara-suara yang membuat tidak nyaman untuk dikendarai. Kembali saya belajar satu hal, bahwa seringkali saya merasa terlalu ketakutan yang berlebihan. Seringkali meragukan kemampuan bahwa saya bisa melakukan sesuatu yang pada awalnya saya ragukan. Mengalahkan ketakutan diri sendiri itu tidak mudah, tetapi bukan tidak mungkin untuk dilalui. Dan setelahnya, ketika melintasi toko sepeda tersebut beberapa kali, saya bertemu kembali dengan lelaki ramah tersebut, dia selalu berseru memanggil nama saya dengan ramah “Hai Deny, an Indonesian woman”, Dennis nama lelaki itu karena disuatu kesempatan kami berkenalan satu sama lain dan berbincang sebentar dengannya.

Dalam hal urusan belanja makanan, sayuran, buah, Suami sudah mempercayakan pada saya. Karenanya saya sudah diberitahu beberapa tempat biasanya dia berbelanja. Awalnya saya juga tidak percaya diri ketika pergi berbelanja sendiri. Tapi saya sudah tidak punya alasan lagi untuk menghindar. Saya sudah punya sepeda, artinya berbelanja bukan lagi sebuah halangan. Ketika di Den Haag, sepulang dari Gemeente, saya memutuskan untuk sekalian berbelanja di Ming Kee Supermarket karena disana lengkap bumbu-bumbu Indonesia juga beberapa sayuran. Ketika saatnya membayar, wanita muda yang menjadi kasirnya mengatakan sesuatu dalam bahasa Belanda. Karena terlalu cepat, saya tidak menangkap dia berbicara apa. Hanya ada satu kata yang saya tangkap “^$^$^%#@@ Gratis(**%&$$^” Ya, kata Gratis terdengar jelas buat saya. Saya pikir apanya ya yang gratis. Saya jawab saja “Ja, ok”. Ternyata saya disuruh mengambil satu lagi jamur enoki karena kalau beli satu gratis satu. Ah, begitu rupanya. Setelah itu dia mengucapkan kalimat dengan cepat lagi, dan kembali saya mencoba menebak, mungkin disuruh memasukkan kartu. Akhirnya saya memasukkan kartu dan menekan PIN. Dia tidak berbicara lagi. Berarti tebakan saya benar. Kemudian saya berlalu, setelah mengucapkan terima kasih. Masih ada beberapa sayuran lagi yang belum saya dapatkan karena di Ming Kee tidak ada persediaan. Saya berkeliling mencari Ekoplaza. Setelah berjalan beberapa blok, akhirnya saya menemukan gedungnya. Pada saat membayar, wanita yang menjadi kasirnya berbicara sesuatu “^%%#% Bon **(%$?”. Saya hanya menangkap kata Bon. Saya menaksir yang ditanyakan adalah “Apa bonnya mau dicetak?” lalu dari hasil kira-kira tersebut saya menjawab “Nee hoor”. Rupanya jawaban kira-kira saya tadi benar, karena wanita tersebut tidak berkata apa-apa lagi. Setelah mengucapkan terima kasih, lalu saya pergi dengan senyuman. Wah, lumayan juga saya sudah mengerti beberapa hal disini, meskipun bahasa Belanda masih merangkak tidak jelas dan susah menerka apa yang dibicarakan. Intinya modal nekad saja. Bisa karena terpaksa. Bisa saja saya bilang kalau belum bisa bahasa Belanda dan berbicara menggunakan bahasa Inggris, tapi hal tersebut tidak saya lakukan karena memang niat awalnya hari itu ingin belajar berinteraksi. Ketika saya ceritakan hal ini pada suami, kami berdua sama-sama tertawa. Tentang saya yang tebak-tebak kata. Semakin memotivasi untuk segera belajar serius bahasa Belanda.

Minggu lalu, tiba-tiba saya ngiler ingin makan sambal terasi. Saya ingat kalau dulu Ibu pernah menitipkan trasi pada suami ketika dia kembali ke Belanda setelah kami menikah. Saya mulai mencari dan terus mencari ke seluruh dapur, tapi tidak kunjung ketemu. Wah, ditaruh dimana ya terasinya pikir saya. Dan saya tidak mungkin berkirim pesan ke dia yang sedang kerja hanya sekedar ingin menanyakan terasi. Padahal terasi itu enak sekali, diberi oleh teman ibu asli dari Lombok. Saya memutuskan untuk menggoreng saja karena ada terasi 1kg yang saya bawa ketika 2 minggu lalu berangkat ke Belanda. Tapi masih dalam keadaan mentah, belum digoreng atau dikukus. Tapi saya juga khawatir bagaimana cara menggoreng terasi yang aman disini tanpa harus mengganggu tetangga sekitar dengan baunya yang menggelegar. Saya ingat cerita teman yang tinggal di Jepang. Awal dia pindah, saat menggoreng terasi, tiba-tiba pintu rumahnya ada yang mengetuk. Nampak 2 polisi berdiri disana karena mendapat laporan dari tetangganya kalau ada bau bangkai keluar dari rumah teman saya itu. Tetangga tersebut khawatir ada sesuatu yang terjadi, sehingga lapor pada polisi. Pada saat teman saya bercerita, dia tertawa terbahak-bahak. Tidak mengira bahwa terasi akan berbuntut pada polisi. Lain lagi cerita seorang teman yang tinggal di Adelaide. Pada saat menggoreng terasi, pintu rumahnya digedor kencang, setelah dibuka ternyata tetangganya sangat tidak suka dengan bau yang datang dari rumah teman saya. Pada akhirnya teman saya meminta maaf dan mencoba mengirim hasil masakannya yang menggunakan terasi. Tetangga tersebut menyukai masakan teman saya, dan terasi yang menjadi biang keladinya, dan pada akhirnya mereka menjadi akrab. Teman saya bilang bahwa tidak seharusnya dia mengusik kenyamanana orang lain diatas kesenangannya akan terasi.

Berkaca dari pengalaman teman-teman tersebut, saya akhirnya menggoreng terasi dengan api kecil sekali, wajan ditutup, semua blower dinyalakan, semua jendela saya tutup. Setengah jam setelah menggoreng, tidak terjadi apa-apa, artinya aman. Baru saya tenang. Tapi ketika suami datang, dia mencium bau terasi di seantero rumah “Terasi, honey?” saya tertawa. Mungkin saya aman dari protes tetangga, tapi suami tak bisa diperdaya. Toleransi itu mudah sebenarnya, mencoba menempatkan posisi kita pada posisi orang lain. Kalau di Indonesia ketika menggoreng terasi seluruh kampung bisa mencium baunya, tapi disini saya tidak bisa berlaku yang sama. Tidak semua orang akan suka apa yang saya lakukan, jadi sebisa mungkin menjaga tingkah laku sebagai orang baru.

Begitulah cerita panjang saya tentang proses adaptasi disini. Tidak mudah dan akan berlangsung panjang. Tapi saya sangat senang malakukan itu semua. Mempelajari hal baru pasti akan menimbulkan rasa penasaran dan antuasias yang tinggi. Semoga semuanya tetap berjalan lancar sesuai harapan. Pelan tapi pasti.

Selamat hari Jumat, selamat berakhir pekan dengan Keluarga, Teman, dan Orang-orang tersayang. Semoga selalu ada cerita seru diakhir pekan teman-teman.

-Den Haag, 13 Februari 2015-

Trasi sebotol kecil yng menggorengnya dengan penuh perjuangan. Yang ada sekarang dieman-eman :D
Trasi sebotol kecil yang menggorengnya dengan penuh perjuangan. Yang ada sekarang disayang-sayang 😀

Kencan Dan Nyasar

Tadi malam ceritanya kencan buat merayakan 6 bulan pernikahan. Iya, 6 bulan dimana kami merasa seperti baru kemarin menikah. Ya iya pastinya. Setelah 5 bulan pisah dan baru berkumpul kembali 10 hari ini, jadi merasa baru 🙂 Bukan merayakan juga sih tepatnya, hanya ingin makan malam lanjut nonton film. Karena kami berdua pencinta Sushi, akhirnya diputuskan sejak minggu kemarin kalau makan malamnya all you can eat Sushi. Sejak minggu kemarin Mas Ewald sudah pesan tempat untuk hari senin 9 februari 2015. Dia juga sudah memberi tahu kalau tempatnya, Restaurant Yuniku ini dekat dengan kantor, tinggal jalan kaki. Saya bertanya apakah halal? dan menurutnya saat itu yang namanya restaurant Sushi pasti tidak menjual makanan yang diharamkan. Saya menegaskan, apakah ada tulisan halalnya? dia tidak bisa memastikan. Beberapa hari lalu saya mencoba mencari tahu dari websitenya. Tidak melihat ada tulisan Halal. Saya mulai was-was, kemudian bilang ke Suami kalau ternyata nanti tidak ada tulisan Halalnya, pindah restaurant saja. Jadi kami sudah mempunyai alternatif tempat makan. Ternyata ketika sampai disana, di daftar makanannya tercantum tulisan Halal. Jadi makan dengan lahap akhirnya.

Jadi ada semacam “drama” sebelum kami mulai berkencan. Seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya kalau beberapa kali saya sudah bisa dan biasa naik angkutan umum disini, tanpa nyasar. Sejak hari minggu, Mas Ewald juga sudah beberapa kali memberi petunjuk harus naik apa sampai ke Zoetermeer, tempat restaurant tersebut berada. Saya juga sudah hapal luar kepala. Bahkan senin paginya, saya dikirim lewat email hasil google map untuk menuju kesana. Jadi rutenya : Saya akan naik bis dari halte di Ypenburg jam 16:18 (nama haltenya Weidevogellan), lalu setelah 3 halte saya harus berhenti di Station Leidschenveen. Setelahnya saya harus lanjut dengan trem nomer 3 atau 4 menuju ke Stadhuis Zoetermeer. Nah, saya harus turun disitu karena Mas Ewald akan menjemput saya. Simpel kan. Jadi saya sudah siap-siap sejak jam 2 siang. Berdandan poles ini itu, maklum kalau dirumah tidak berdandan. Tampil cantik dengan berdandanan untuk suami kan salah satu ibadah :). Jam 4 sore saya sudah keluar rumah, berjalan sekitar 5 menit menuju halte. Menunggu sekitar 12 menit disana, duduk kedinginan. Saya berpikirnya lebih baik menunggu daripada terlalu mepet waktunya atau ketinggalan. Setelah bisnya datang, saya duduk dekat pintu, dekat mesin check in/out. Setelah menghitung sampai 3 halte, saya berpikir setelah ini saya turun. Tapi saya lihat dilayar, kok yang tertera bukan Station Leidschenveen melainkan Leidschenveen Centrum. Wah, berarti bukan ini, pikir saya waktu itu. Akhirnya saya tetap duduk, tidak keluar. Bis terus berjalan sampai melewati 3 halte. Perasaan saya sudah tidak enak, ada yang aneh ini, sepertinya saya nyasar. Kemudian saya menelepon Suami, setelah saya beritahu nama stasiun berikutnya, dia bilang memang saya seharusnya turun di Leidschenveen Centrum. Lha wong namanya beda dengan petunjuk, makanya saya tidak turun. Benar kata pepatah nih, malu bertanya sesat dijalan, nyasar :). Saya berusaha tidak panik, nada bicara saya atur senormal mungkin, supaya Suami juga tidak panik. Untungnya (masih untung, Indonesia sekali hehe) langsung ada bis kearah sebaliknya menuju Leidschenveen Centrum. Sesampainya disana saya menuju keatas untuk ganti naik trem. Ternyata trem nomer 3 datang ketika saya baru sampai diatas. Dan keretanya berhenti sekitar 50 meter didepan saya. Walhasil saya langsung berlari kencang. Beruntungnya ada mas mas yang baik hati untuk menahan pintu keretanya. Ketika saya sudah masuk ke trem, saya mengucapkan terima kasih ke mas mas tersebut, baik sekali. Oh iya, Mas Ewald selalu mengingatkan saya agar jangan sampai lupa check in/out ov-chipkaart apapun keadaannya, karena sering ada pemeriksaan mendadak didalam bis, trem atapun kereta. Bersyukurnya kemarin masih ingat untuk check in/out ov-chipkaart, karena kemarin di trem saya terkena pemeriksaan. Petugasnya menyapa saya dengan tersenyum sambil berbicara sedikit bahasa Indonesia “Terima Kasih”, “Selamat Jalan”, dan “Sama-Sama”. Kok ketahuan ya saya dari Indonesia (berharap banget ada yang mengira dari Yunani haha Yuk Deny sih ini bukan Yunani *kriikk krikkk).

Perjalanan selanjutnya lancar sampai Mas Ewald menjemput saya di Stadhuis Zoetermeer. Dia terkejut melihat saya berdandan. Cantik katanya. Ya iyaa, istri sendiri dipuji. Tidak sia-sia juga poles sana sini meskipun ya hasilnya tidak jauh berbeda dengan sehari-hari :D. Selalu ada pengalaman pertama, termasuk nyasar, supaya belajar jangan lagi mengulang kesalahan yang sama. Entah dikemudian hari nyasar ditempat yang berbeda haha. Ya mudah-mudahan lain kali lebih pintar. Entah karena efek nyasar atau memang sudah waktunya makan, sesampainya di Yuniku, saya lapar sekali. Kami sampai jam 5 sore, masih sepi, baru ada 2 meja yag terisi. Pertama lihat langsung suka dengan dekorasinya dan tata letak mejanya. Kemarin tidak sempat foto-foto ruangannya, tapi bisa langsung dilihat di website pada link diatas. Pelayanannya ramah dan cepat. Saking ramahnya, kami meminta tolong foto beberapa kali dilayani dengan penuh senyuman. Jadi all you can eat ini sistemnya ada 5 kali pemesanan. Masing-masing pesan 5 jenis makanan per orang. Awalnya seperti biasa masih makan dengan kalap. Sampai pemesanan ke 5 saya sudah menyerah. Tidak sanggup lagi, hanya memesan buah dan udang. Mas Ewald bertahan sampai terakhir. ada sebanyak 130 menu kalau tidak salah. Secara menyeluruh puas makan disini, Suasana tidak terlalu ramai, tempat nyaman, penyajian cepat, rasa enak sekali, dan pelayanan ramah dan cepat. Sangat merekomendasikan Yukiniku ini. Hanya satu saya merasa sup rasanya terlalu asin.

Setelah hampir 2 jam makan, perut kekenyangan, kami langsung bergegas menuju bioskop Utopolis untuk menonton film The Theory Of Everything, yang diadaptasi dari memoir Jane Hawking, mantan istri Stephen Hawking, yang berjudul Travelling to Infinity : My Life with Stephen. Hawking adalah seorang Professor dibidang Fisika yang terkenal dengan penemuannya yang bernama Hawking Radiation, menderita amytrophic lateral sclerosis (ALS) yang divonis dokter hanya mempunyai kesempatan hidup 2 tahun pada saat umur 21 tahun, dimana kenyataannya disebutkan difilmnya pada saat diputar tahun 2014 sudah berumur 72 tahun dan tetap produktif dengan beberapa penemuan yang lainnya. ALS adalah penyakit yang mempengaruhi sel-sel saraf di otak dan sumsum tulang belakang yang menyebabkan kelemahan otot dan atrofi. Penyakit ini menyebabkan kematian neuron motorik, yang berarti otak kehilangan kemampuan untuk mengendalikan gerakan otot. Ketika otot dalam diafragma dan dinding dada gagal, penderita akan kehilangan kemampuan untuk bernapas tanpa bantuan ventilasi. Kebanyakan orang dengan ALS hanya bertahan 2 sampai 5 tahun setelah diagnosis. Lebih jauh tentang film ini dapat dibaca disini. Secara garis besar, The Theory Of Everything merupakan bentuk penghargaan tertinggi yang dapat diberikan industri perfilman untuk Stephen dan Jane Hawking. Melalui gaya narasi yang membuat penonton hanyut secara emosional, wajar saja jika film ini akan menjadi salah satu contender kuat di ajang penghargaan 87th Academy Awards pada tanggal 22 Februari 2015 mendatang. Saya dan Suami puas selesai menontonnya karena akting dari Eddie Redmayne sebagai Stephen Hawking dan Felicity Jones sebagai Jane Hawking sangat total. Saya juga suka karena film ini berlatar belakang Inggris, jadi kental dengan aksen British. Saya suka dengan aksen British, terdengar seksi :). Oh iya, kemarin disela film diputar, tiba-tiba ada jeda dan ada tulisan Pauze dilayar. Saya tanya ke Mas Ewald apakah biasa seperti ini, dia bilang belum pernah nonton film ada pauzenya. Karena satu ruangan hanya ada 8 orang, maka mereka memanfaatkan untuk keluar membeli makanan atau ke kamar mandi. Jedanya lumayan lama, 10 menitan.

Begitulah sekelumit cerita saya tadi malam berkencan dengan suami yang diwarnai dengan acara nyasar. Pulang dari bioskop suasana menuju stasiun sudah sangat sepi, kami berjalan bersenda gurau mentertawakan kejadian nyasar saya. Terkadang, yang membuat kita sedih, kecewa, ataupun terluka disuatu masa, suatu saat ketika mengingatnya kembali, kita sudah mampu mentertawakannya. Begitulah hidup, seperti roda berputar yang tidak pernah diam dan selalu bergerak. Karenanya, sangat perlu untuk memanfaatkan sebaik mungkin untuk hal-hal berguna waktu yang tidak akan pernah bisa diputar ulang, kecuali pintu doraemon muncul menjadi nyata 🙂

-Den Haag, 10 Februari 2015-

semua foto disini adalah dokumentasi pribadi

http://restaurantyuniku.nl/
http://restaurantyuniku.nl/
Logo Halal
Tulisan Halal

IMG_0179

IMG_0181

IMG_0182

Muka bahagia karena perut kenyang hatipun senang riang gembira haha
Muka bahagia karena perut kenyang hatipun senang riang gembira haha

Pecel dan Cerita Akhir Pekan

Sunset yang muncul disaat masih ada es dimana-mana. Lovely

Mengapa judulnya Pecel? Ceritanya setelah lari pagi bareng suami, saya tiba-tiba kangen makan pecel dengan segala sayur-sayuran yang direbus plus ikan asin dan tahu goreng serta lodeh tewel. Saya kangen makan sambel pecel buatan Ibu yang pedasnya super dan rasanya tidak ada duanya enaknya (ya bagi siapapun, masakan ibu kita pasti tidak ada yang bisa mengalahkan kenikmatan rasanya). Hari minggu saya lari jam 8 pagi dengan Mas Ewald, udaranya dingin sekali dan berangin. Target lari saya kali ini 5km. Ditengah-tengah sedang berlari, tiba-tiba saya lapar dan entah kenapa terpikir ingin makan pecel dengan laut pauk komplitnya. Kemudian saya ingat, sebelum berangkat ke Belanda, ada teman SMA yang tinggal di Jakarta mengirimkan sambel pecel kepada saya. Buat tombo kangen kalau sudah di Belanda, katanya. Yiaayyy terima kasih Nuril untuk sambel pecelnya!! Berarti saya bisa makan pecel untuk makan siang. Saya selesaikan lari dengan sangat bersemangat 🙂

Untung saja Jumat malam kami sudah berbelanja aneka macam sayuran. Saya dan Mas Ewald memang wajib makan sayur disetiap makan siang dan malam. Kalau pagi saya sarapan buah, sementara Mas Ewald makan roti dan keju, seperti umumnya orang Belanda. Dalam rentang seminggu kemarin juga menjadi ajang pengenalan saya ke beberapa tempat belanja yang biasa didatangi Mas Ewald. Karena saya sekarang sudah punya sepeda, maka sudah tidak ada alasan untuk tidak pergi berbelanja ke tempat yang agak jauh. Selama ini saya berbelanja di Toko Indonesia dekat rumah, di Nootdorp, karena bisa saya jangkau dengan berjalan kaki. Selain alasan dekat, saya sudah kenal dengan Ibu yang ada di Toko tersebut, sering berbincang pengalaman beliau sukses lulus ujian NT2 serta memberi semangat serta selalu meyakinkan saya bahwa saya bisa melalui ujian dengan baik, dan ujung-ujungnya Ibu tersebut sering memberi saya bonus-bonus dan diskon harga. Yang saya sebutkan terakhir tersebut adalah alasan tambahannya, yang terpenting adalah saya sudah punya kenalan dan tempat untuk berbelanja.

Saya ceritanya loncat-loncat tidak masalah ya. Karena saya terbangun jam 1 dini hari,  tidak bisa tidur lagi, dan mati gaya, akhirnya memutuskan untuk bercerita seputaran akhir pekan saja. Iya, jam tidur saya masih kacau. Hanya bisa tidur sekitar 3-4 jam saja. Mungkin masih beradaptasi.

Sabtu sore saya dan Mas Ewald pergi ke Zoetermeer, 10 menit berkendara dari tempat kami tinggal, untuk melihat Dance Competition. Senang sekali rasanya berbaur dengan masyarakat sekitar, dari segala jenis umur, segala kalangan. Malah saya sempat berbincang dengan beberapa orang, menggunakan bahasa Belanda yang belum lancar dicampur dengan bahasa Inggris tentunya. Bersyukurnya mereka mengerti bahwa saya baru pindah dan sedang berusaha keras untuk belajar bahasa Belanda dan sedang bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Hal tersebut yang juga menjadi tujuan Mas Ewald menyuruh saya untuk mandiri, pergi kesana sini sendiri. Karena saya orangnya tidak bisa diam, maka saya sering sekedar jalan-jalan untuk mengerti lingkungan sekitar bagaimana. Sudah beberapa kali pergi sendiri naik kereta, trem ataupun bus. Pergi sendiri paling jauh ke Utrech, mengunjungi seorang teman. Saya juga sudah familiar dengan aplikasi Reisplanner dan Google Map yang mempermudah saya untuk mengetahui dan mendapatkan info tentang kendaraan umum apa yang harus digunakan untuk pergi kesuatu tempat serta jadwalnya. Mertua saya selalu mencemaskan, takut kalau saya kesasar. Tapi saya selalu mengatakan kepada beliau bahwa saya bisa survive dengan segala angkutan umum di Jakarta dan di Surabaya yang jauh lebih tidak teratur dibandingkan dengan Belanda, mestinya saya juga bisa survive di Belanda 🙂

Hari minggu sore, setelah sibuk beres-beres rumah, kami memutuskan untuk bersepeda ke Delft, menunjukkan rute tempat berbelanja yang lainnya. Sebelum ke Delft, kami mampir ke rumah mertua, ingin menunjukkan ke Pappa dan Mamma kalau saya sudah punya sepeda dan akan sering-sering mengunjungi mereka meskipun tidak dengan Mas Ewald karena saya sudah tahu rute bersepedanya. Pappa dan Mamma sangat senang melihat saya dengan sepeda baru, juga senang mendapatkan kunjungan dari anak dan menantunya. Pappa dan Mamma juga sangat disiplin mengajari saya berbahasa Belanda. Meskipun mereka bisa berbahasa Inggris, bahkan Mamma bisa berbahasa Indonesia, karena pernah tinggal lama di Jakarta, tapi mereka selalu mengajak saya untuk berkomunikasi menggunakan bahasa Belanda. Mamma bahkan sangat telaten selalu membimbing saya untuk memperlancar kemampuan berbicara. Jadinya, mau tidak mau setiap hari saya harus memperbanyak kosakata dan pelan-pelan mempraktekkan dengan Suami meskipun porsinya masih sering menggunakan bahasa Inggris. Setelah dari rumah Mertua, kami melanjutkan bersepeda menuju Delft. Sore yang dingin dan berangin. Membutuhkan waktu 20 menit untuk sampai ditempat kami berbelanja. Sepanjang jalan, Mas Ewald menerangkan berbagai macam rambu bersepeda. Pemandangan yang sangat mengagumkan sepanjang bersepeda, membuat saya sering menghentikan kayuhan sejenak untuk mengabadikannya. Setelah selesai berbelanja sayuran dan roti, saya juga menyempatkan untuk jalan-jalan disekitar Stadhuis. Entah kenapa, saya selalu suka dengan suasana Delft.

Kambali ke Pecel, ternyata ini kali pertama Mas Ewald merasakan makan dengan menggunakan sayuran yang diguyur Sambal Pecel. Awalnya sempat berkerut dan sayurnya hanya dimakan sedikit. Tapi lama kelamaan dihabiskan, malah nambah bumbu pecelnya. Sayur yang saya gunakan juga seadanya dikulkas. Dan semuanya mentah (kacang panjang, wortel, timun, rucula kecuali bimi yang saya celup sebentar di air mendidih). Saya sendiri puas dengan makan lalapan sambal trasi. Meskipun tidak memenuhi pakem pecel sesuai aslinya, saya senang Mas Ewald menikmati pengalaman pertamanya makan pecel. Walaupun tidak ada ikan asin ataupun sayur lodeh tewel yang saya inginkan, tapi sudah cukup puas makan dengan tahu goreng.

Dari cerita gado-gado tentang akhir pekan saya, senang rasanya kembali mempelajari hal-hal yang baru. Senang juga orang-orang disekitar saya mendukung proses adaptasi, dari Mas Ewald yang selalu mengajarkan saya untuk mandiri, mengenalkan saya kepada kegiatan-kegiatan baru dan rute-rute perjalanan yang baru, Mertua yang selalu berusaha untuk memperlancar komunikasi bahasa Belanda saya, sampai saya sendiri yang memang bertekad kuat untuk mengalahkan segala kekhawatiran yang ada. Selalu ada sesuatu yang baru, dan setiap hari akan ada hal-hal baru yang bisa kita pelajari sebagai bagian dari perjalanan hidup. Mungkin akan banyak hal yang tidak sesuai yang kita harapkan, tapi itulah hakikat beradaptasi, menyesuaikan diri dengan keadaan yang ada.

Hari ini tepat 6 bulan usia pernikahan kami. Memang masih seumur jagung dan kami menyadari bahwa proses pengenalan menjadi pembelajaran yang tidak akan pernah berakhir, selalu terjadi setiap saat, menemukan hal-hal baru dari pasangan, sampai kapanpun juga. Seperti halnya pecel yang terdiri dari beberapa sayuran, dan tidak lengkap jika hanya satu sayuran saja, maka kami selalu berdoa, apapun perbedaan yang ada diantara kami, mampu saling melengkapi satu sama lain, saat ini dan nantinya.

Selamat Hari Senin, dan semoga cerita akhir pekan kalian juga menyenangkan ^^

-Den Haag, 9 Februari 2015-

Beruntung dikirim sambel pecel oleh teman SMA yang di Jakarta. Mengobati kangen makan pecel pas makan siang di Surabaya
Beruntung dikirim sambel pecel oleh teman SMA yang di Jakarta sebelum saya berangkat ke Belanda. Mengobati kangen makan pecel ketika makan siang di Surabaya
Menuju Delft naik sepeda bareng suami, meskipun dingin banget dan berangin, tapi tetap senang karena pemandangannya menyenangkan
Menuju Delft naik sepeda bareng suami, meskipun dingin banget dan berangin, tapi tetap senang karena pemandangannya menyenangkan
Setelah belanja sayuran selesai, jalan-jalan sebentar diseputaran Stadhuis Delft
Setelah belanja sayuran selesai, jalan-jalan sebentar diseputaran Stadhuis Delft
Bangunan ini apa ya namanya. Dua kali datang kesini lupa terus mau cari tahu tentang namanya. Nanya Suami katanya Gereja
Bangunan ini apa ya namanya. Dua kali datang kesini lupa terus mau cari tahu tentang namanya. Nanya Suami katanya Gereja

Pict1

Pict2

Februari 2015 – Kehidupan Baru

Tidak terasa sudah satu minggu saya berjibaku dengan hawa dingin di Belanda, melihat hamparan es yang selama ini hanya saya ketahui melalui film-film hollywood, merasakan cuaca yang berubah secara tiba-tiba (satu saat matahari bersinar cerah, sesaat kemudian awan mendung dan hujan turun dengan derasnya), serta angin dingin yang membuat pipi dan tangan saya seperti mati rasa. Pergi belanja berjalan kaki dengan memakai pakaian berlapis, lengkap dari ujung kepala sampai ujung kaki, untuk mengusir dingin yang menggigit. Maklum saja, saya berasal dari kota yang terletak dipesisir pantai, kemudian tinggal lama dikota yang panasnya luar biasa, tidak pernah mengalami hawa dingin yang menurut saya ekstrim ini. Belum lagi tingkah saya yang norak karena tiba-tiba ada hujan es, menengadahkan telapak tangan seperti tidak percaya bahwa yang turun dari langit bukan air biasa melainkan air yang berubah menjadi serpihan es.

Seminggu yang lalu, saya masih sibuk menata barang, memampatkan ini itu supaya semua bisa muat ke koper dan beberapa tas yang akan dibawa, sibuk berpamitan kesana kemari. Sorenya dengan menggunakan Taksi, saya menuju Bandara Juanda dengan perasaan senang. Gembira karena 18 jam kedepan bisa bertemu dengan suami yang hampir 5 bulan terpisah karena urusan kuliah dan administrasi kepindahan. Dilain hal juga sedih karena harus meninggalkan keluarga, teman-teman, dan segala kenyamanan yang sudah ada. Saya sadar harus beradaptasi lagi dari awal ditempat yang baru dengan kebiasaan yang baru. Seperti yang pernah saya bilang, bahwa pindah membuat saya belajar banyak hal. Pindah membuat saya terus bergerak agar selalu ingat bahwa ada banyak mimpi yang perlu saya wujudkan, termasuk menjemput impian yang tertunda. Saya akan memulai hidup baru disini, bersenang-senang dan berjuang bersama Suami yang selalu tahu bahwa saya punya sejuta cita-cita, sejuta rasa ingin tahu, dan tak terhitung berapa banyak kemauan untuk selalu ingin maju. Disinilah rumah saya sekarang, tempat dimana hati saya berada.

Saya tahu bahwa semua tidak mudah. Tapi saya juga sangat percaya bahwa tidak ada yang tidak mungkin didunia ini selama kita yakin bahwa kita mampu dengan usaha keras dan doa. Jadi, saya sudah siap dengan petualangan dan rangkaian cerita-cerita baru. Dan hey, saya selalu antusias menyambut hal-hal yang luar biasa dengan segala suka dukanya.

Setahun lalu, saya pertama kali bertemu muka dengan Suami. Setahun setelahnya, kami sudah tinggal satu rumah dengan perjuangan panjang dibaliknya. Siapa yang tahu akan menjadi apa hidup kita kedepannya, kalau tidak kita sendiri yang memperjuangkannya.

Apa yang sudah kamu perjuangkan untuk hidupmu?

-Ypenburg, 5 Februari 2015-

Mungkin saking kasihannya mereka sama saya yang pergi sendirian, akhirnya teman-teman kuliah ini menyususl ke Bandara :) Thanks Girls
Mungkin saking kasihannya mereka sama saya yang pergi sendirian, akhirnya teman-teman kuliah ini menyusul ke Bandara Juanda 🙂 Thanks Girls
Bawa rendang 2kg dari Surabaya, dan yang punya usaha teman SMA, minta tolong buat diambilkan gambar di tempat yang berbau Belanda untuk promosi. Akhirnya si Rendang berpose diatas Es. Kata Suami Rendangnya enak banget
Bawa rendang 2kg dari Surabaya, dan yang punya usaha teman SMA, minta tolong buat diambilkan gambar di tempat yang berbau Belanda untuk promosi. Akhirnya si Rendang berpose diatas Es. Kata Suami Rendangnya enak banget
Mukanya lusuh, dapat kembang senyumnya maksa gitu haha. Ini Bunga pertama selama mengenal suami. Nampaknya setelah ini ga kan ada bunga-bunga lagi. Dia ga suka kasih bunga
Mukanya lusuh, dapat kembang senyumnya maksa gitu haha. Ini Bunga pertama selama mengenal suami. Nampaknya setelah ini tidak akan ada bunga-bunga lagi. Dia tidak suka kasih bunga
Barang bawaan segambreng, pantas saja over 10kg hahaha *ketawa pait
Barang bawaan segambreng, pantas saja over 10kg hahaha *ketawa pait. Bersyukur tidak kena denda, karena bantuan petugas Garuda Indonesia
Hari pertama sudah lapor ke Imigrasi (IND dan langsung dapat Kartu Identitas yang berlaku 5 tahun. Yiaayy!!
Hari pertama sudah lapor ke Imigrasi (IND) dan langsung dapat Kartu Identitas yang berlaku 5 tahun. Yiaayy!!
Lari pagi pertama setelah pindah. Jam setengah 8, masih gelap gulita, suhu 5 derajat, licin karena sisa es masih dimana-mana
Lari pagi pertama setelah pindah. Jam setengah 8, masih gelap gulita, suhu 5 derajat, rintik hujan, licin karena sisa es masih dimana-mana
Jam setengah 9 pagi, jalan sendiri menuju perpustakaan kota, mendaftar jadi anggota
Jam setengah 9 pagi, jalan sendiri menuju perpustakaan kota, mendaftar jadi anggota
Masih suka takjub dengan es yang menutupi semuanya
Masih suka takjub dengan es yang menutupi semuanya
Dulu lihat pemandangan seperti ini difilm-film. Sekarang bisa lihat sendiri didepan mata hamparan es dimana-mana
Dulu lihat pemandangan seperti ini difilm-film. Sekarang bisa lihat sendiri didepan mata hamparan es dimana-mana

Perihal Pindah (Lagi)

Hidup berpindah bukan hal baru lagi buat saya. Sejak umur 15 tahun saya sudah merantau. Lulus SMP di Situbondo saya memutuskan ingin melanjutkan sekolah di Surabaya. Orangtua menyetujui. Walhasil sejak umur 15 tahun saya sudah menjadi anak rantau, tinggal di rumah kos, hidup mandiri demi cita-cita melanjutkan pendidikan di SMA favorit di Surabaya. Selama 10 tahun setelahnya saya habiskan waktu di kota yang sama. Melanjutkan kuliah dan bekerja di salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia. Selama kurun waktu tersebut, tercatat saya pindah 4 kali tempat kos. Pada tahun ke 10, saya merasa saatnya untuk pindah kota. Menetap di satu tempat yang sama dalam jangka waktu yang lama membuat saya terlalu merasa nyaman, malas bergerak, dan menjadi tidak peka untuk berbuat lebih dari yang sudah ada. Awalnya saya diliputi rasa cemas harus memulai segala sesuatunya dari awal. Mengenal kota yang baru, teman baru, lingkungan baru. Segala sesuatunya baru. Tetapi jika tidak memutuskan pindah, saya merasa hidup tidak ada tantangan. Bukankah manusia pada dasarnya melakukan perpindahan untuk kelangsungan hidupnya. Saya juga ingin hidup tetap berlangsung, tapi dengan keadaan yang berbeda, tidak melulu itu itu saja.

Akhirnya saya diterima kerja di Jakarta. Tidak tanggung-tanggung kantor tempat saya bekerja adalah perusahaan asing. Gegar budaya tentu saja saya alami. Bermodalkan nekad, saya seperti ingin menantang diri sendiri untuk bekerja di perusahaan tersebut. Bagaimana tidak, Bahasa Inggris saja minim sekali, pas-pasan, bahkan nyaris tidak bisa berkomunikasi. Pasti Tuhan sedang bercanda, pada saat itu pikir saya. Satu tim dengan orang-orang asing, bosnya pun orang asing, dan sehari-hari komunikasi dipaksa untuk menggunakan Bahasa Inggris. Laporan serta presentasi pun dalam Bahasa Inggris. Saya yang awalnya hampir menyerah karena nyaris tidak bisa mengikuti ritme kerja mereka, serta terkendala bahasa, pada akhirnya mampu mengimbangi. Saya berpikir lagi tujuan pindah ke Jakarta apa. Saya memotivasi diri sendiri sambil terus berusaha keras belajar untuk bisa membuktikan bahwa saya mampu dan bisa lebih dari yang mereka kira. Bersyukur, pelan-pelan tapi pasti hampir tiap tahun mendapatkan promosi jabatan. Dari awalnya posisi paling bawah, pelan-pelan bisa naik sampai pada posisi yang saya targetkan. Dari anak kampung yang awalnya belepotan berbicara dan menulis dalam Bahasa Inggris, dengan kerja keras dan semangat ingin maju, saya bisa selangkah lebih pada yang dituju. Pada akhirnya saya berterima kasih pada diri sendiri bahwa dulu memutuskan pindah. Berpindah memberikan saya waktu untuk bergerak maju, tidak membiasakan diri untuk diam karena bisa belajar banyak hal baru. Pindah itu seperti mencari ilmu.

Enam tahun di Jakarta, berkarir pada satu tempat yang sama kembali membuat saya gelisah. Sudah saatnya harus kembali pindah. Saya merasa ditempat itu tidak terlalu memberikan tantangan lagi. Saya kembali mencari alasan untuk keluar dari zona nyaman. Kuliah, ya itu sepertinya jawaban yang tepat. Momennya juga tepat. Akhirnya saya kembali mengemas barang, pindah ke kota yang lama pernah saya singgahi, Surabaya. Kenapa harus Surabaya? Karena saya sudah jatuh cinta dengan kota ini, terutama makanan dan orang-orangnya. Lain waktu saya akan bercerita tentang Surabaya. Saya sangat antusias ketika menyadari bahwa pindah kali ini adalah untuk menuntut ilmu. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Surabaya kembali, saya ingat betul pernah berujar dalam hati “Pindah kali inipun bersifat sementara. Setelah kuliah ini selesai, saya ingin tinggal diluar Indonesia. Entah dimana, tapi saya harus bertualang jauh dari negeri ini. Saya ingin seperti busur panah yang kali ini dalam tahap ditarik pemanahnya, disuatu saat nanti akan dilepas, meluncur jauh dari titik semula

“Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman.
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan.
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang”

-Imam Syafi’i-

Dan apa yang saya ucapkan pada waktu itu, 2.5 tahun lalu, saat ini terjadi. Saya akan pindah lagi, jauh dari Negeri sendiri, merantau mengadu nasib di Negara orang. Saya akan mencoba peruntungan, mencari penghidupan dan kembali berburu ilmu disamping menjalankan peran sebagai seorang istri. Beradaptasi bukan perkara yang kecil. Tapi dengan pengalaman yang sudah saya lewati sebagai perantau, saya yakin bahwa semua akan teratasi, perlahan tapi pasti.

Karena pindah kali ini jaraknya sangat jauh, lintas benua, maka pengalaman mengemas barang juga berbeda. Banyak barang yang harus saya relakan untuk dihibahkan. Contohnya buku-buku yang sedikit demi sedikit saya kumpulkan, karena dulu niatnya ingin mempunyai taman baca, akhirnya dengan berat hati saya hibahkan untuk taman baca milik teman. Baru menyadari ternyata buku yang saya kumpulkan selama ini mencapai 300an buku. Semoga mereka menemukan pemilik yang akan selalu menyayangi dan merawat penuh kasih. Proses Packing ini pun memakan waktu lama. Saya harus memilih satu persatu barang yang harus dibawa, barang yang harus dibuang, ataupun barang yang harus diberikan pada orang supaya tetap bermanfaat. Seperti sebuah kenangan, ada yang harus disimpan, ada yang harus dibuang. Begitu juga barang. Pindah juga mengajarkan keikhlasan. Merelakan barang kesayangan berpindah tangan.

Pindah juga artinya berpisah dengan orang-orang tersayang. Keluarga, teman, dan handai taulan. Proses berpamitan pun dilakukan, untuk mengabarkan bahwa saya tidak akan bisa mereka temui lagi dalam kurun waktu tertentu. Meskipun tidak bisa bertemu secara fisik, namun dengan kemajuan teknologi, tentu saja berkirim pesan bukan hal yang jauh dari jangkauan . Semua tetap menjadi mungkin untuk saling menjaga silaturahmi.

Dalam hitungan jam, sekarang saya siap untuk terbang. Pergi ke tempat baru, lingkungan baru, bersiap mendapatkan kenalan baru, pengalaman baru, dan keluarga baru.

Pindah selalu menimbulkan sensasi yang luar biasa meskipun melewatinya tidak selalu mudah. Pindah kali ini berbeda karena menuju Suami tercinta.

Punya cerita seputar pindah?

 -Surabaya, 29 Januari 2015-

Gambar Cover dari sini

Makan siang sampai malam bersama teman-teman kerja sewaktu di Jakarta. 8 tahun pertemanan, dari awal berkarir sampai sekarang mereka sudah dijabatan Top Manajemen semua. Proud of you girls
Makan siang sampai malam bersama teman-teman kerja sewaktu di Jakarta. 8 tahun pertemanan, dari awal berkarir sampai sekarang mereka sudah dijabatan Top Manajemen semua. Proud of you girls
Makan malam bersama teman-teman kuliah yang tinggal di Jakarta. 16 tahun tahun pertemanan. Selalu saling silaturahmi ya Teman :)
Makan malam bersama teman-teman kuliah Statistika yang tinggal di Jakarta. 16 tahun tahun pertemanan. Selalu saling silaturahmi ya Teman 🙂
Makan siang bareng teman-teman kuliah yang di Surabaya sambil belajar membuat Bento. Pertemanan 16 tahun. Awet dengan segala hiruk pikuknya :)
Makan siang bareng teman-teman kuliah Statistika yang di Surabaya sambil belajar membuat Bento. Pertemanan 16 tahun. Awet dengan segala hiruk pikuknya 🙂
Makan malam bersama teman-teman kuliah Teknik Industri dan Statistika. Kalian pasti akan selalu kurindukan :)
Makan malam bersama teman-teman kuliah Teknik Industri dan Statistika. Kalian pasti akan selalu kurindukan 🙂

 

Meskipun saat itu Surabaya sedang hujan sangat deras dan banjir dimana-mana, mereka tetap menyempatkan datang. Terharu ^^
Meskipun saat itu Surabaya sedang hujan sangat deras dan banjir dimana-mana, mereka tetap menyempatkan datang. Terharu ^^
Pilah Pilih berkas berkas
Pilah Pilih berkas berkas
Buku-Buku yang harus rela dihibahkan. Sedih sebenarnya
Buku-Buku yang harus rela dihibahkan. Sedih sebenarnya
Bertahun-tahun mengumpulkan sedikit demi sedikit. Mudah-mudahan berguna buat Rumah Baca Srikandi
Bertahun-tahun mengumpulkan sedikit demi sedikit. Mudah-mudahan berguna buat Rumah Baca Srikandi
Packing baju yang digulung membuat banyak tempat kosong dan muat banyak
Packing baju yang digulung membuat banyak tempat kosong dan muat banyak
Taraaa!! 2 tas siap diangkut
Taraaa!! 2 tas siap diangkut
Akhir dari perjuangan selama ini, dan awal dari perjuangan lainnya. Semoga kamu "laku" ya Nak di Negara orang :)
Akhir dari perjuangan selama ini, dan awal dari perjuangan lainnya. Semoga kamu “laku” ya Nak di Negara orang 🙂
Narsis sesaat. Selama kuliah belum pernah foto disini :)
Narsis sesaat. Selama kuliah belum pernah foto disini 🙂
Siap menuju Belanda. Yiaayy!!
Siap menuju Belanda. Yiaayy!!

Berpamitan

Beberapa hari ini saya rajin sekali berkunjung, lebih tepatnya mengunjungi saudara-saudara dan para tetangga untuk berpamitan. Ya, akhirnya saat yang dinanti tiba juga. Berpamitan karena saya akan pergi dalam waktu yang lama, tinggal jauh dari mereka. Rasanya sedih karena pindah kali ini berbeda dengan pindah yang sebelum-sebelumnya. Pindah kali ini jaraknya sangat jauh, yang tidak memungkinkan untuk saya sering bertemu. Entah kapan saya bisa kembali mengunjungi mereka, karena saya berniat untuk tidak sering-sering pulang, kecuali ada kejadian khusus. Pindah kali ini terasa berat, tapi inilah pilihan hidup yang harus saya jalani.

Dan diantara acara berpamitan tersebut, yang paling berat tentu saja harus meninggalkan Ibu. Baru 3 tahun lalu kami kehilangan Bapak. Setahun setelahnya Adik saya keluar rumah karena menikah dan memilih tinggal terpisah dengan Ibu. Setahun kemudian giliran saya yang harus pergi jauh dari Ibu. Saya bisa merasakan bagaimana sedihnya Ibu, meskipun tidak pernah ditunjukkan. Saya sangat bisa memahami bagaimana Ibu akan merasa sangat kesepian karena 2 anak perempuannya tinggal berjauhan. Saya hanya bisa selalu berdoa bahwa apa yang telah saya pilih untuk dijalani sekarang ini selalu mendapat iringan restu dan doa dari Ibu. Bahwa apa yang akan saya jalani nantinya juga salah satu bentuk ketaatan kepada Ibu.

Diantara wejangan yang terlontar saat berpamitan, ada satu yang sangat melekat saya ingat

Bagaimanapun kondisinya disana, apapun yang terjadi dengan kalian berdua, seberapa hebatpun ujian yang akan kalian hadapi bersama, selalu ingat bahwa kalian menikah berucap janji setia dengan mengucap nama Allah. Jalan yang kalian lalui untuk menjadi satu itu tidaklah mudah. Banyak halangan dan rintangan yang berhasil kalian taklukkan. Ingatlah selalu perjuangan itu ketika masa sulit ada dihadapan. Semua menjadi mungkin ketika diperjuangkan bersama. Jadi, berjuanglah bersama untuk kebahagiaan dalam rumah tangga kalian. Ketika semuanya menjadi sangat sulit, serahkan pada Allah. Selalu sertakan Dia dalam segala urusan, dan kemudian Dia akan menyertakan kalian dalam kemudahan.

Benar adanya, bahwa apa yang kita dapatkan dengan penuh perjuangan, mudah-mudahan akan selalu kita pertahankan, tidak dengan mudah kita lepaskan. Semoga kami bisa meneladani Bapak dan Ibu, bersama mengarungi suka duka sampai maut memisahkan.

Dan berpamitan kali ini tetap tidak mudah, menyisakan sedih dan berat hati ketika kaki harus melangkah pergi

There’s always a goodbye in every hello, and i will find another hello

-Situbondo, 26 Januari 2015-

Akhirnya Lulus!

Cita-cita dari dulu foto disini begitu selesai sidang

9 Januari 2015. 5 bulan pernikahan, daaan… Akhirnya lulus juga. Yiaayy!! Rasanya senaangg sekali. Bahagia tiada tara. Seminggu ini dipenuhi perasaan berkecamuk setelah jadwal sidang diumumkan dan mendapati salah satu penguji adalah Professor yang memang ahlinya berkaitan dengan topik Tesis saya. Antara pengen mundur tidak mau melanjutkan karena takut diuji beliau (terbayang pertanyaan-pertanyaan kritis yang akan terlontarkan), tapi sayang juga kalau mundur karena tinggal selangkah lagi. Seminggu penuh drama air mata, nangis sana sini tidak jelas juga nangis karena apa. Belum lagi selama proses mengerjakan Tesis juga dipenuhi drama-drama lainnya yang tidak kalah luar biasanya. Nggondok sama Dosen Pembimbing, menyerah dengan topik yang terlalu sulit, LDM sama suami semakin membuat rasa malas makin menjadi untuk segera mengakhiri kuliah ini

Hari yang dinanti akhirnya datang juga. Ternyata sidang Tesis tidak seseram seperti yang diduga (sekarang aja bisa ngomong gini, tadi malam blingsatan ga bisa tidur ga doyan makan). 45 menit tidak terasa karena suasana seperti diskusi. Tidak ada pertanyaan menjatuhkan. Bahkan Bapak Professor memberikan arahan untuk perbaikan Tesis saya. Wah! Bapak ternyata tidak seseram yang saya kira 😀

Sesaat setelah sidang dan keputusan lulus diumumkan
Sesaat setelah sidang dan keputusan lulus diumumkan
Dari dulu punya cita-cita mulia foto didepan raung keramat ini
Dari dulu punya cita-cita mulia foto didepan ruang keramat ini
Seluruh peserta sidang hari ini. Senyumnya dong sumringah semua meskipun capek tiada tara
Seluruh peserta sidang hari ini. Senyumnya dong sumringah semua meskipun capek tiada tara
Dan seorang teman yang selalu mendampingi serta memberikan motivasi. Setahun yang lalu dia berfoto disini dengan status saya saat ini. Terima Kasih ya Pu selalu ada untuk aku
Dan seorang teman yang selalu mendampingi serta memberikan motivasi. Setahun yang lalu dia berfoto disini dengan status saya saat ini. Terima Kasih ya Pu selalu ada untuk aku

Terima kasih untuk Ibu yang selalu menenangkan, membesarkan hati walaupun berkali-kali saya telepon hanya untuk sekedar menangis, yang selalu ada kapanpun saja. Terima Kasih untuk Mas Ewald yang hari ini tidurnya tidak nyenyak karena saya paksa untuk bangun jam 3 pagi waktu Belanda dan harus tetap bangun sampai saya selesai sidang, juga orang pertama yang menelepon saya ketika tadi siang dinyatakan lulus. Mas Ewald juga yang selalu menguatkan saya untuk jangan menyerah, fokus pada apa yang ingin saya raih. Dan yang tidak kalah pentingnya, terima kasih kepada Almarhum Bapak. Kalau tidak karena janji yang terlontar sebelum Bapak meninggal, saya tidak akan mungkin sampai pada tahap ini. Dan hari ini saya membuktikan dan menepati janji saya untuk Almarhum Bapak bahwa pada akhirnya saya lulus kuliah. Terima kasih Bapak.

Dan terima kasih untuk mereka yang selalu saya repotkan dengan cerita-cerita putus asa saya, terima kasih untuk saudara, teman-teman, dan adik-adik yang telah mendoakan saya. Terima kasih.

Kelulusan ini juga semacam kado 5 bulan pernikahan. Sekarang saatnya tidur nyenyak, dan makan-makanan enak, kemudian memikirkan revisi.

Benar adanya, bahwa ujian itu harus dihadapi, diselesaikan, bukan dihindari.

Selamat berakhir pekan kawan!

-Surabaya, 9 Januari 2015-

6 Januari 2012 – Jika Waktu Bisa Diputar Kembali

Jika waktu bisa diputar kembali,

Saya ingin lebih awal mewujudkan keinginan Bapak dan berharap Bapak ada dimomen yang selama ini selalu dinantikan.

Saya ingin lebih awal melanjutkan kuliah, sesuai yang Bapak selalu ucapkan berulang bahwa saya harus melanjutkan kuliah. Tapi saya selalu punya 1000 alasan untuk menunda. Tak pernah tahu bahwa itu permintaan terakhir sampai saat itu benar-benar tiba

Bapak ingin melihat saya menikah, menggunakan kebaya putih dan menikahkan saya secara langsung. 2 tahun berselang, saya baru bisa mewujudkan keinginan itu, tanpa ada Bapak disana melihat saya berkebaya.

Jika waktu bisa diputar kembali,

Saya akan lebih banyak menghabiskan waktu dengan Bapak, bukan bepergian melancong kesana kemari mengejar segala mimpi dan cita-cita, yang kata Bapak tak pernah ada habisnya

Saya akan menyediakan waktu untuk mengenal Ibu lebih baik, tidak selalu bertengkar dan bersitegang meskipun Bapak mempunyai stok sabar yang tidak terbatas untuk menjadi penengah antara kami berdua.

Saya akan lebih dekat dengan adik-adik, tidak menjadi kakak yang cuek dan tidak peduli dihari sejak saya meninggalkan rumah dan tidak lagi hidup satu atap dengan mereka

Harusnya saya lakukan itu semua lebih awal, sebelum saat itu benar-benar datang

Namun waktu tidak pernah bisa diputar kembali,

Saya sudah mewujudkan keinginan Bapak, disaat semua mungkin sudah terlambat

Saya sudah berdamai dengan Ibu, menjaga dan selalu membuat Ibu gembira, meskipun tidak ada Bapak disana

Saya mencoba menjadi kakak yang perhatian, meskipun itu belum cukup adanya

Bapak akan selalu ada dalam langkah dan hati saya. Bapak ada dalam setiap doa yang terpanjatkan dan sujud panjang yang saya lakukan. Saya percaya bahwa Bapak selalu ada disekitar dan tidak pernah benar-benar pergi.

Saya, Kami semua hanya butuh waktu untuk menghilangkan trauma akan kehilangan yang tiba-tiba. Kami hanya membutuhkan waktu untuk berdamai dengan takdirNya.

Ya, kami masih berduka. Kami masih harus melewati masa-masa sulit itu bersama. Sejak saat itu hidup kami tidak pernah lagi sama. Namun kami harus tetap melangkah dan doa tidak pernah putus kami panjatkan agar Bapak selalu mendapatkan tempat terbaik disisi Allah. Kami yakin, Bapak sudah bahagia disana, dan sedang tersenyum bahagia melihat kami disini baik-baik saja.

Bapak, kami sangat rindu Bapak

-Surabaya, 6 Januari 2015-

2014 – Tahun Penuh Kejutan

2014 memang tahun penuh kejutan untuk saya. Banyak kejadian tidak terduga, tidak hanya yang menyenangkan, yang tidak menyenangkan juga singgah dalam roda waktu ditahun ini. Sama seperti tahun lalu, tidak banyak perjalanan yang sempat saya lakukan karena sebagai mahasiswa masih mengirit uang buat jalan-jalan sementara kebutuhan penelitian juga lumayan banyak. Bersyukurnya diberikan kesehatan yang baik sepanjang tahun. Semakin berkomitmen untuk menjalankan Raw Food dan Food Combining (sejak lama saya tidak makan daging dan unggas). Semakin rajin lari pagi dan berenang. Dan 2014 menjadi tahun yang mengesankan karena diberikan kesempatan bertemu belahan jiwa dan berbagi hidup serta cinta dengannya.

Januari 2014

Januari selalu menjadi bulan penuh kenangan. Pada tahun ini, genap dua tahun Bapak sudah tenang bersama Allah. Setiap tahun saya, ibu, dan adik-adik harus berjuang keras mengatasi trauma ditinggalkan Bapak secara mendadak. Dan saya selalu percaya bahwa waktu yang akan menyembuhkan trauma itu.

Februari 2014

Bulan yang tidak akan pernah dilupa. Di bulan ini saya pertama kali bertemu muka dengan Mas Ewald (kali ini pakai nama lengkap, karena sedang tidak malas mengetik :D) pada tanggal 2 Februari, yang kemudian dilanjutkan dengan melamar langsung ke Ibu. Kami sekeluarga tidak pernah menduga kalau dia akan seserius itu. Lamaran tidak langsung dijawab. Ibu masih keberatan karena saya masih kuliah dan belum siap kalau harus tinggal berjauhan. Tapi saya tentu saja senang dilamar. Yiaayy!! 🙂 Di bulan ini pertama kali Mas Ewald menginjakkan kaki di Indonesia, bahkan sampai ke Situbondo, kota saya dibesarkan. Akhirnya saya dan adik mengajak jalan-jalan dia ke Bromo, Kawah Ijen, Pantai Merah, dan Air Terjun Madakaripura. Cerita Kawah Ijen ada disini

Maret 2014

Anggota keluarga bertambah satu karena adik saya melahirkan bayi laki-laki yang lucu. Di bulan Maret ini juga usia saya berkurang secara arti namun bertambah secara angka. Harus lebih baik lagi dalam menjalani hari karena saya tidak tahu sampai dimana dan kapan usia saya harus terhenti. Lebih banyak bersyukur dan melakukan kegiatan yang berarti

April 2014

Visa ke Belanda akhirnya disetujui. Saya ke Belanda dalam rangka berkenalan dengan keluarga Mas Ewald dan mencari kemantapan hati bahwa Mas Ewald adalah “orangnya”. Jadi, lamaran Mas Ewald belum bisa dijawab sebelum saya berkenalan dengan keluarganya dan melihat kehidupan disana.

Mei 2014

Untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Eropa, tepatnya di Belanda. Tidak pernah terpikirkan akan sampai di Negara yang selama ini saya selalu berjuang untuk mendapatkan beasiswa disalah satu universitasnya. Jungkir balik saya mengikuti tes untuk mendapatkan beasiswa di TU Delft, tapi tidak pernah lolos. Ternyata saya malah ke Belanda dalam rangka bertemu calon mertua. Dan salah satu impian terbesar saya dapat terwujud yaitu mengunjungi Keukenhof dan Red Light District. Pasti tidak menyangka bahwa saya sangat ingin pergi ke RLD 🙂 Entah kenapa, banyak hal di hidup saya selalu bermula dari mimpi. Pertemuan dengan keluarga di Belanda berjalan lancar. Dan dibulan ini juga hati saya sudah mantap untuk berbagi hidup dalam suka dan duka dengan Mas Ewald. Setelah 2 minggu di Belanda, saya dan keluarga memulai persiapan pernikahan yang dilaksanakan bulan Agustus 2014.

Keukenhof 2014
Keukenhof 2014

Juni 2014

Akhirnya saya maju proposal Tesis juga. Setelah sekian lama ditunda dan berganti topik beberapa kali, pada saatnya lulus juga proposal Tesis. Senangnya bukan main. Tinggal selangkah lagi menuju lulus. Dan dibulan Juni ini juga untuk pertama kalinya saya belajar Bahasa Belanda. Jadi bulan Juni ini adalah bulan sibuk. Belajar Bahasa Belanda, sibuk mengerjakan Tesis, dan mempersiapkan pernikahan. Tapi saya jalani semua dengan santai. Saya selalu yakin bahwa pada saatnya nanti, semua akan terlewati. Jadi tidak perlu bingung atau tertekan.

Juli 2014

Ada berita tidak nyaman di bulan ini. Saya tidak bisa maju sidang Tesis yang artinya tidak bisa wisuda bulan September dan harus molor satu semester. Rasanya campur aduk. Sedih, kesal, jengkel, dan kecewa. Tapi saya mencoba berdamai dengan diri sendiri. Mungkin memang ini yang terbaik karena beberapa bulan kedepan saya akan sibuk dengan banyak urusan .

Berita baiknya, proses aplikasi Beasiswa S3 satu tahun lalu mendapatkan jawaban baik. Iya, saya mendapatkan beasiswa S3. Tapi sayangnya pada saat ini saya tidak bisa mengambil beasiswa itu. Rencana hidup setahun lalu dan saat ini sudah berubah. Sedih karena dulu saya ingin sekali melanjutkan sekolah disana. Namun, hidup adalah tentang memilih. Mudah-mudahan ini pilihan terbaik untuk masa depan saya dan suami.

Agustus 2014

Bulan yang tidak akan dilupa. 9 Agustus 2014 saya resmi menjadi Istri Mas Ewald. Setelah 8 bulan lalu sejak pertama berkenalan akhirnya ini adalah awal baru dalam kehidupan saya. Kini, saya menemukan tangan yang bisa selalu digenggam dalam setiap gerak menuju masa depan yang belum pasti, tapi akan bersama kami lalui. Dengan persiapan hanya 3 bulan, dengan segala macam birokrasi di Indonesia dan Kedutaan Belanda, bersyukur semua berjalan lancar. Mas Ewald sangat menikmati proses pernikahan di Indonesia. Dia juga senang mendapatkan keluarga baru, keluarga besar. Dibulan ini juga saya memulai memperkenalkan tentang Indonesia dengan perjalanan yang tidak akan terlupa selama 3 minggu : Bali-Surabaya-Jember-Jogjakarta-Semarang-Karimunjawa-Solo-Jakarta-Bandung. Mas Ewald belajar dan mengenal banyak hal baru. Dari makanan, budaya, dan adat istiadat. Bahkan Mas Ewald akhirnya menemukan kembali jejak rumah keluarganya di Jl. Surabaya No.40 Jakarta. Ceritanya pernah saya tulis disini.

Kaleidoskop Agustus
Kaleidoskop Agustus

September 2014

Untuk pertama kalinya saya dan Mas Ewald mengikuti lomba lari bersama. Kami mengikuti Bromo Marathon pada tanggal 7 September 2014. Saya pada 10K sedang Mas Ewald pada Half Marathon. Ya, kami memang mencintai lari. Karenanya kami berkomitmen untuk tetap mengikuti perlombaan lari bersama setelah saya pindah ke Belanda. Buat kami, berlari bukan hanya tentang mengalahkan diri sendiri, tetapi berlari adalah tentang meditasi dan kontemplasi. Pada bulan ini Mas Ewald harus kembali ke Belanda dan babak baru Long Distance Marriage (LDM) pun dimulai.

Bromo Marathon 2014
Bromo Marathon 2014

Oktober 2014

Setelah sekian lama tidak pernah melakukan kegiatan mendongeng, akhirnya pada tanggal 18 Oktober 2014 saya bersama teman-teman yang tergabung dalam Bookstart Indonesia melakukan kegiatan berbagi buku kepada anak-anak Kelud. Salah satu kegiatannya adalah pelatihan story telling kepada para Ibu. Senang rasanya kembali bergelut dengan hobi saya, yaitu bercerita.

Pada tanggal 28 Oktober 2014, setelah kurang lebih 5 bulan belajar Bahasa Belanda, akhirnya saya lulus tes Bahasa Belanda di Kedutaan Belanda Jakarta sebagai syarat untuk mendapatkan ijin tinggal. Senang sekali perjuangan belajar bahasa baru membuahkan hasil yang sangat memuaskan. Ceritanya pernah saya tulis disini. Dan proses pengajuan ijin tingal (MVV) pun dimulai. Semakin percaya bahwa segala sesuatu yang dikerjakan secara maksimal dan penuh cinta, pasti akan membuahkan hasil yang sepadan.

Dibulan Oktober ini juga, Ibu harus menjalani operasi ketiga setelah mengalami kecelakaan pada 2012 lalu. Operasi tempurung kepala. Bersyukur semuanya berjalan lancar.

Workshop Story Telling Bookstart Indonesia
Workshop Story Telling Bookstart Indonesia

November 2014

Saya mulai kembali mengerjakan Tesis yang terbengkalai karena hanya punya waktu 2 bulan sampai pada deadline untuk mengumpulkannya. Diantara rasa malas, kangen suami, dan ingin memenuhi janji pada Almarhum Bapak bahwa saya harus menyelesaikan kuliah, mengerjakan Tesis pun diisi dengan rasa yang campur aduk. Tapi saya tetap bertekad bahwa kuliah ini harus segera diakhiri, karena suami memberi ultimatum bahwa saya tidak boleh pindah ke Belanda sebelum dinyatakan lulus.

Desember 2014

Awal bulan mendapatkan berita yang menggembirakan. 1 Desember 2014 MVV saya sudah keluar. Bahagia rasanya bahwa dalam waktu yang tidak lama lagi saya bisa berkumpul dengan suami. LDM dalam waktu hampir 4 bulan sangat tidak nyaman rasanya.

24 Desember 2014 akhirnya saya mengumpulkan draft Tesis. Belum ada jadwal sidangnya, tapi rasanya senang karena pada akhirnya bisa juga menyelesaikan mengerjakan Tesis. Semoga Januari 2015 saya mendapatkan kabar gembira, lulus kuliah. Amin.

27 Desember 2014 tulisan yang saya kirim terpilih menang. Ceritanya saya tulis disini. Hadiahnya memang tidak seberapa, tapi penghargaan atas karya itu lebih dari segalanya.

Dan, berita gembira di penghujung tahun benar-benar tiba. 31 Desember 2014, Yap hari ini, Visa tinggal saya (MVV) sudah keluar. Bersyukur berkali-kali bahwa saya dan Mas Ewald sebentar lagi akan segera bersama kembali setelah hampir 4 bulan terpisah. Kejutan akhir tahun yang menyenangkan.

Saya meyakini bahwa Tuhan selalu mempunyai rencana yang indah dibalik setiap kejadian yang mengisi kehidupan kita. Tawa bahagia, kisah sedih merupakan bagian roda waktu yang tidak dapat dipisahkan. Benar adanya bahwa ketika rencana yang sudah disiapkan tidak berjalan dengan baik, Tuhan menyiapkan yang lebih baik. Saya sudah mencapai garis finish dengan baik dan selamat. 2014 adalah tahun yang luar biasa. Bertemu teman-teman baru, keluarga baru, pengalaman baru, dan banyak pembelajaran baru. Terima kasih 2014.

Selamat datang 2015. Biarkan saya menyambut tahunmu dengan rasa penasaran tentang kejutan apakah yang sudah kau persiapkan. 2015 akan menjadi tahun yang penuh tantangan. Semoga rasa syukur tidak pernah terhenti terucap disetiap desah nafas yang terhembuskan. Semoga keberkahan, kebahagiaan, dan kesehatan yang baik selalu menyertai langkah kami dan keluarga, juga teman-teman semua di tahun 2015.

Hidup itu seperti berlari marathon, tak ada tempat pemberhentian dan selalu butuh perjuangan sampai pada satu titik bernama impian

-Ninit Yunita-

Postingan ini diikutsertakan dalam #liamartagiveaway ‘Share Your Moment’

-Bekasi, 31 Desember 2014-

Kelayapan seharian di Jakarta menyebabkan tulisan ini telat posting ^^

Tulisan yang Terpilih untuk Menang – Kejutan Akhir Tahun yang Menyenangkan

Ini tentang cerita sebuah kejutan manis menjelang akhir tahun. Tadi malam sekitar jam 10, seperti biasa menjelang tidur saya menjelajah Twitter, karena social media ini seringkali membuat saya jadi gampang mengantuk, pengganti buku walaupun fungsinya tidak sepenuhnya bisa menggantikan buku. Mata terpaku pada salah satu akun yang saya follow . Jia Effendie, salah seorang penulis buku, pencerita, penulis puisi, pembaca puisi, dan editor yang memang saya kagumi tulisannya sejak dia mempunyai blog di Multiply. Bahkan saya juga pembeli setia buku-bukunya. Mungkin saya pernah menceritakan sebelumnya kalau saya itu penggila puisi dan cerita pendek. Saya penikmat puisi dan sangat menikmati waktu, ketika bermain dengan kata-kata. Iya, saya adalah pencinta aksara yang terjalin menjadi sebuah cerita. Karenanya saya sangat jatuh cinta dengan Bahasa Indonesia. Ah, mari kembali lagi ke bahasan utama, melantur terlalu panjang. Jadi, tadi malam Jia mengumumkan semacam sayembara : membuat tulisan tentang Menemukan Teman Hidup diblognya. Saya membaca persyaratannya, ternyata tidak sulit. Tulisan ditunggu sampai jam 12 malam. Mata menahan kantuk, tapi saya penasaran ingin ikut. Saya buka laptop, lalu perlahan mengotak-atik tulisan lama yang pernah diposting juga diblog ini tentang “301113 – Masa Dimana Semuanya Bermula. Setelah otak-atik sebentar, saya kirim, lalu tidur. Tidak berharap banyak akan menang, karena saya tahu selera Jia akan sebuah tulisan sangatlah tinggi. Jadi niatnya iseng, lumayan kalau bisa nambah teman.

Sekitar jam 2 dini hari saya terbangun, seperti biasa waktunya ngobrol sama suami. Resiko LDR beda benua salah satunya harus semacam jadi Hansip di Pos Ronda, terjaga sampai dini hari. Saya melihat ada email yang masuk. Begitu saya buka, tarraaa!! Ternyata tulisan saya yang menang. Waahh, senangnyaa! Padahal saya membaca tulisan-tulisan lainnya juga tidak kalah bagus. Alhamdulillah 🙂

Saya akan mendapatkan hadiah sebuah buku dari Winna Efendi berjudul Happily Ever After. Seperti biasa, hadiah buat saya adalah bonus. Melihat nama terpampang itulah rasa yang sangat luar biasa. Seperti pengakuan akan sebuah karya.

Dan ini bukan kali pertama saya menang semacam kuis yang berawal dari Twitter, dan semuanya memang selalu berhubungan dengan tulisan. Awal saya mulai aktif di Twitter, sekitar 2009, menang kuis pertama kali dari Detik, membuat tulisan tentang liburan. Saya menang payung, mug, kaos, buku, dan pulpen. Setelahnya ikut kuis-kuis yang berhubungan dengan menulis puisi dan cerpen, sampai beberapa tulisan saya termuat dalam beberapa buku tentang antologi cerpen dan puisi. Saya pernah menuliskan ceritanya disini. Dan sekarang, tulisan saya menang lagi. Senangnya bukan main 🙂 Selain Twitter, saya juga pernah menang kartu pos lewat Instagram. Jadi, social media tidak selalu menyebalkan. Hubungan saya dengan Twitter dan Instagram serta Blog sejauh ini yang paling menyenangkan. Lumayan bisa mengumpulkan pernak-pernik hadiah, bahkan sampai bisa membuat buku juga berawal dari social media.

Namun impian besar saya tetaplah sama. Mempunyai buku berisi hasil karya sendiri, bukan antologi. Buku tentang Puisi atau Cerita Imajinasi.

Tahun masih belum berakhir, dan saya sedang menunggu kejutan yang lain. Bagaimana denganmu?

Ini tulisan saya yang menang tadi malam

-Bekasi, 27 Desember 2014-