Delapan Tahun Lalu

Hummingbird Cake

Tadi pagi, sewaktu suami turun dari ruang kerjanya, saya nyelutuk

Saya : Kamu masih ingat ga tanggal bersejarah apa hari ini?

Dia : ………….. *lama banget tengak tengok berpikir keras berusaha mengingat. Trus dengan muka menyerah dia melihat ke arah saya.

Saya : Delapan tahun lalu kita kan pertama kali kenalan, ngobrol

Dia : Ohh iyaaa. Kamu kan yang pertama kali ngajak ngobrol

Hahaha bagian siapa yang memulai, dia langsung ingat. Yap, saya yang mempunyai inisiatif duluan untuk membuka obrolan sampai akhirnya di sinilah kami delapan tahun kemudian. Kami tidak ada tanggal jadian, karena dia langsung melamar yang berujung ditolak sama Ibuk haha tapi ya tetep 6 bulan setelah dilamar dan ditolak, kami menikah, dihadiri ibuk juga. Lha wong nikahnya di rumah Ibuk.

Hummingbird Cake

Delapan tahun kemudian, kami bernostalgia mengingat hari itu, apa saja yang kami obrolkan. Delapan tahun kemudian, dia sudah lupa tanggal bersejarah tersebut, yang juga angka yang kami putuskan digunakan sebagai mahar mas kawin. Delapan tahun kemudian, saya masih saja gampang marah kalau rumah berantakan. Delapan tahun kemudian, kami tersenyum dan tertawa bersama mengingat hal – hal yang terjadi setelah tanggal ini, sambil saya menyiapkan pesanan cookies dan macarons dan dia bersiap pergi ke gym. Delapan tahun kemudian kami tetap bersama di sini, saling memahami kekurangan masing – masing dan tetap belajar untuk mengelola rasa cinta yang sama saat kami berjumpa. Bahkan mungkin rasa cinta yang semakin besar porsinya. Delapan tahun berlalu, saya dan dia tumbuh saling dukung satu sama lain, menjadi manusia yang lebih baik versi kami masing – masing. Semoga tahun – tahun akan datang kami masih saling ingat tanggal ini meskipun mungkin salah satunya lupa atau bahkan dua – duanya lupa. Semoga akan banyak tahun di depan untuk perjalanan hubungan kami.

Semoga kami panjang jodohnya.

-30 November 2021-

*penasaran, yang baca tulisan ini dan yang sudah (atau pernah) berpasangan, apakah masih ingat tanggal pertama kali berkomunikasi dengan pasangannya?

TETAP SEMANGAT NGEBLOG

Autumn

SELAMAT HARI BLOGGER NASIONAL!

Dunia blog sekarang sudah berbeda dengan jaman saya masih ngeblog di Multiply, Blogspot, Friendster, Tumblr. Apalagi MP, setiap masuk kerja, pertama yang dibuka ya multiply. Membaca ada postingan apa hari itu karena yang saya ikuti postingannya pasti bagus – bagus. Ya seputaran dunia percintaan, puisi, cerpen. Masa itu, saya memang lebih produktif menulis cerpen dan puisi dibandingkan cerita ringan sehari – hari. Total perjalanan saya ngeblog ya 15 tahun an dari awal sampai sekarang.

Mulai ngeblog di WP tahun 2014 karena awalnya memang saya dan suami yang akan menulis bersama di blog ini. Karena itu nama blog ini Deny and Ewald. Seiring berjalan waktu, saya yang lebih banyak menulis di sini sedang suami fokus pada blognya sendiri. Meskipun alamat blog ini masih nunut blog dia dan dia juga yang bayar iurannya. Blog ini juga sarana saya belajar menuliskan cerita yang santai, kehidupan sehari – hari, cerita liburan, beberapa informasi yang mudah – mudahan berguna bagi yang baca, sarana mendokumentasikan apapun bahkan juga tulisan rasan – rasan. Ya lumayan lengkap luas lah cakupan blog ini. Mau yang positif ada, yang negatif juga ada. Balance. Blog suka – sukalah isinya.

Autumn
Autumn

Tahun 2014, masih banyak yang rajin ngeblog. Yang saya ikuti, hampir ada saja tulisannya tiap minggu. Semakin bertambah tahun, makin berkurang yang aktif. Tiga tahun terakhir makin terasa sepinya. Syukurlah yang saya kenal lumayan baik dari tulisannya, mereka masih tetap menulis. Yang penting tetap menulis jadi saya tahu dan tetap bisa baca apa kabar terbaru dari mereka. Beberapa ada yang saya ikuti ceritanya di media sosial dan yang lainnya tidak. Jadi, ya andalan saya tetap blog.

Meskipun saya tidak selalu berkomentar di setiap tulisan, tapi saya usahakan untuk tetap baca. Selalu ada hal menarik di setiap tulisan. Beda dengan media sosial, blog itu “arwah” nya berbeda. Lebih terasa ke hati jika membaca tulisan yang lengkap, menceritakan hal yang baru, atau apapun itu.

Jaman memang sudah berubah. Banyak yang memindahkan tulisannya ke media sosial sehingga tidak aktif lagi di dunia blog. Banyak yang lebih nyaman berbagi di dunia video. Saya pun akhir – akhir ini ada saja alasan untuk malas menulis padahal banyak sekali bahan dan cerita sehari – hari yang bisa didokumentasikan di sini. Bahkan membalas komentar pun belum saya lakukan. Maaf ya yang sudah komen di tulisan – tulisan sebelumnya, pasti nanti akan saya balas. Saya sadar, interaksi yang kita bangun lewat tulisan bisa semakin intensif lewat kolom komentar. Jadi tahu sudut pandang yang membaca seperti apa. Selain waktu, menulis di blog memang butuh mood khusus. Saya sudah punya waktu lebih longgar. Hanya mood yang seringnya malas. Memang harus diberantas sikap malas menulis. Supaya tujuan awal punya blog di WP tetap terlaksanakan, yaitu sarana mendokumentasikan apapun.

Saya tetap semangat ngeblog meskipun dunia blog semakin sepi. Saya tetap semangat ngeblog meskipun yang membaca semakin sedikit. Saya tetap dan akan selalu ngeblog selama platform ini tidak gulung tikar. Saya pasti akan terus menulis sampai kondisi tidak memungkinkan lagi. Selama jiwa dan raga masih sehat, semangat saya untuk menulis di blog tak akan pernah surut. Buat saya, media blog tidak akan tergantikan dengan media yang lainnya. Seaktif aktifnya saya di media sosial, blog tetaplah media yang tepat buat saya untuk menulis.

Saya tetap semangat ngeblog!

-27 Oktober 2021-

Sambal dan Makanan Pedas

Aneka Macam Sambal Buatan Sendiri

Tumbuh besar di wilayah Jawa Timur bagian timur dan lingkungan tempat tinggal mayoritas adalah orang Madura, sejak kecil saya sudah terbiasa mengkonsumsi makanan pedas. Jika diingat kembali, hanya ada dua rasa makanan yang saya kenal sejak kecil yaitu asin dan pedas. Saya ingat sekali, mungkin sekitar umur TK, saya makan lodeh yang dibuatkan Mbah, sampai telinga berdenging. Saking pedasnya. Rasanya semua makanan bersantan dari desa Bapak, tidak ada yang tidak pedas. Masak sayur asem pun, ya pasti ada sandingan nya sambal. Malah, meskipun sayurnya sudah pedas, tetep saja sambal tidak absen untuk dihadirkan. Karena itulah kenapa pengetahuan saya akan rasa, tidak terlalu luas. Karena ya hanya mengenal asin dan pedas, lidah saya tidak terlalu terpapar rasa makanan lainnya. Itulah mengapa sampai sekarang, saya lebih menyukai rasa makanan yang asin dibanding yang manis. Ironis sebenarnya karena saya saat ini berjualan camilan manis, tapi saya sendiri tidak terlalu doyan rasa manis.

Makanan Jawa Timur wilayah timur itu didominasi dengan rasa asin, pedas, petis, dan terasi. Merantau ke Surabaya dan Jakarta pun, tidak terlalu banyak bedanya. Tetap saja buat saya makanan enak itu kalau ada rasa pedasnya dan asin. Meskipun sewaktu kerja di Jakarta, saya sering tugas ke seluruh pulau di Indonesia, tetap saja yang saya cari ya makanan pedasnya. Intinya, level pedas lidah saya sudah tidak terhingga. Kata teman – teman yang mengenal saya, lidah saya sudah mati rasa saking semua rasa pedas ga ngefek. Mungkin kalau dulu sudah ada vlogger yang mukbang makanan pedas, saya mengajukan diri untuk diadu. PD akan menang.

Sebelum pindah ke Belanda, dua kali saya jalan – jalan ke LN, tepatnya ke Malaysia dan Vietnam. Kalau ke Malaysia, ya secara melayu, makanan masih bisa lah diterima lidah. Tapi, untuk mengantisipasi kalau misalkan masakannya tidak pedas, saya sampai belain bawa cabe bubuk. Kalau tidak salah ingat, saat itu belum ada cabe bubuk dengan merek ternama yang punya level sampai 30. Jadi saya bawa merek entah apa, yang sebenarnya bubuk cabenya pun tidak terlalu pedas. Tapi lebih baik daripada tidak ada sama sekali ya kan. Liburan ke Vietnam pun barang yang tidak boleh ketinggalan ya kalau tidak bubuk cabe, saus cabe. Pokoknya permasalahan makanan tidak cocok di lidah saat itu, akan terselesaikan kalau dua barang ini ada di depan mata.

Aneka Macam Sambal Buatan Sendiri
Aneka Macam Sambal Buatan Sendiri

MERANTAU LEBIH JAUH

Sebelum pindah ke Belanda, saya kan beberapa bulan sebelumnya pernah datang sebagai turis. Jadi sudah tau nih kira – kira makanan Indonesia di Belanda tuh tipenya yang seperti apa. Sudah ada bayanganlah. Tidak perlu takut kekurangan bahan makanan dan masakan Indonesia. Banyak yang jual dan kalau bikin sendiri juga gampang. Apalagi waktu itu kami tinggal di Den Haag yang jadi surganya makanan Indonesia.

Saat packing barang – barang untuk pindahan, tentu saja saya tidak melupakan untuk bawa cobek. Karena cobek batu, tidak bisa ditemukan di Den Haag, kecuali pesan pada perorangan baru ada. Nyambel kan paling enak kalau dicobek batu, apalagi saya sudah terbiasa ngulek. Jadi, dunia persambalan aman. Awal di sini, saya masih belum terpisahkan dengan sambal dan makanan pedas. Inginnya segala jenis makanan dipedesin pake sambal atau saus sambal. Sudah pindah negara, beda benua, masih saja lidah tidak diberi kesempatan untuk mengenal rasa yang lainnya.

Sampai saat kami road trip ke Perancis Utara, selama perjalanan itulah saya dapat hidayah. Awalnya saya lupa kenapa, tapi sepertinya saya tidak ingat untuk membawa saus sambal. Lalu selama perjalanan 8 hari, tentu saja tidak ada yang namanya makanan saya taburi dengan bubuk cabe atau dicocol ke saus cabe. Selama itulah pertama kalinya saya merasakan masakan negara lain dengan rasa aslinya. Tanpa tambahan apapun yang membuat pedas. Ternyata hey! saya tidak ada masalah kalau makan tidak pedas. Saya tidak jadi ngamuk karena makanannya, misalkan level asinnya tidak sesuai lidah saya. Di sanalah saya belajar mengenal rasa lainnya yang takjubnya membuat saya suka. Saya sangat menikmati apapun jenis makanan yang kami pesan. Dan selama itu juga tidak makan nasi, saya baik – baik saja, tidak emosi karena tidak bertemu makanan Indonesia. Disitulah saya disadarkan kalau ya tidak semua makanan butuh rasa pedas.

TOBAT

Sepulangnya dari Perancis Utara, saya seperti tobat dengan rasa pedas. Perlahan mulai mengurangi dan merubah cara berpikir ya ga perlu sampai nenteng sachet saus sambel ke mana – mana. Tidak perlu panik kalau makanannya tidak pedas. Saya beruntung bisa travelling ke beberapa negara selama di sini. Jadi makin tahu makanan lokal di negara tersebut bagaimana rasanya. Saya mulai memberi kesempatan pada lidah untuk mengenal rasa sebanyak – banyaknya. Makin banyak rasa yang saya kenal, makin gampang saya beradaptasi dengan rasa makanan yang baru. Asal makanannya masih masuk kriteria yang bisa saya makan, bablass akan saya santap tidak peduli lagi kalau rasanya tidak pedas. Justru salah satu manfaat jalan – jalan ke berbagai negara itu ya mengenal makanan lokalnya kan. Sayang kalau sampai makanan lokal dinodai dengan campuran saus sambal atau ditaburi dengan cabe bubuk, jika memang penyajiannya dan rasa aslinya tidak pedas. Sayang kalau menyiakan kesempatan untuk merasakan makanan lokal dengan citarasa aslinya. Ada sih beberapa kali pikiran : wah ini enak sih kalau dimakan sama sambel terasi, wah ini bakal lebih oke nih kalau disajikan pedas, dsb. Pikiran tersebut tentu ada. Tapi ya tentu saja hanya pikiran saja, tidak lalu diwujudkan. Toh saat makan, tetap saja nikmat, meskipun tidak pedas.

Beda lagi kalau memang saat liburan sengaja singgah ke restoran Indonesia ya. Itu kan bukan makanan lokal negara yang disinggahi. Saya saat di Berlin pun makan di dua restoran Indonesia. Tapi sebisa mungkin kalau sedang liburan ke LN, saya tidak makan di restoran Indonesia atau Asia. Konsekuensinya adalah saat pulang liburan dan kembali ke Belanda, jujugan pertama kami adalah restoran Indonesia atau Chinese Restaurant. Kami berdua pasti sudah kangen banget dengan makanan Asia. Berapapun lamanya liburan, entah di dalam Belanda atau luar Belanda, pasti sebelum sampai di rumah, kami belok dulu untuk beli makanan Asia atau Indonesia untuk dibawa pulang. Kembali ke zona nyaman. Di rumah pun, sekarang saya santai saja kalau misalkan tidak ada sambal. Kalau malas nyambel, ya sudah makan aja seadanya. Tidak dibuat repot.

Saya bersyukur sekarang lidah dan pengetahuan saya akan rasa semakin luas. Dulu saya mendefinisikan makanan enak itu kalau ada rasa pedasnya, asin, dan dimakan dengan sambal. Sekarang pandangan saya akan makanan enak sudah berbeda. Makanan enak buat saya, jika saya bisa merasakan dengan citarasa aslinya. Saya suka agak gimana gitu kalau melihat foto orang Indonesia yang sedang liburan di sebuah negara lalu makanan lokalnya ditaburi cabe bubuk atau dicocol saus sambel. Dulu kan saya pelaku seperti itu. Tapi karena sudah tobat, jadi saat melihat ada yang melakukan sama seperti yang saya lakukan dulu, ternyata ga elok ya. Balik ke selera sih ya.

Saya semakin paham dan yakin, bahwa tidak semua makanan perlu dimakan pakai sambal, punya rasa pedas, dan tidak semua makanan butuh saus sambal.

-27 September 2021-

Kembali Aktif Menggunakan Media Sosial

Suatu senja di danau

Setelah hibernasi sama sekali tidak menggunakan media sosial yang saya punya (twitter dan FB) selama nyaris 7 bulan, akhirnya pada bulan Juli saya memutuskan kembali ke pelukan twitter dan FB. Cerita kenapa saya memutuskan tidak bermedia sosial sejenak, pernah saya tuliskan panjang lebar di sini. Awalnya masih ragu dan menimbang banyak hal, apa memang sebutuh itu dengan media sosial, mau ngapain lagi sih wong ga bermedia sosial toh saya baik – baik saja. Banyak manfaatnya, bahkan saya buat tulisan khusus manfaat saya tidak menggunakan media sosial. Asal masih bisa nulis di blog, sudah cukup. Bahkan saat saya memutuskan untuk punya usaha dari rumah, sempat malas – malasan untuk punya akun IG walaupun hanya untuk kepentingan bisnis. Malas harus ngurus akun, tapi kan ya saya butuh promosi juga. Akhirnya selama masa hibernasi media sosial, saya malah nambah akun IG buat jualan. IG atas nama Sophie Bread and Sweets *promosi sekalian di sini. Jadi ini satu – satunya akun IG yang saya punya, isinya ya selain buat jualan, promosi, juga berisi aktiftas per-baking-an. Saya tidak follow akun pribadi kecuali beberapa gelintir orang saja. Kalaupun saya follow, karena tahu yang bersangkutan adalah pembeli potensial atau punya hobi baking juga. Selebihnya, saya hanya follow akun jualan dan akun pribadi yang berhubungan dengan roti, sourdough, atau baking yang manis lainnya. Mungkin dari yang baca blog saya lalu follow akunnya Sophie, terima kasih. Kalau saya tidak follow balik, sudah tahu ya alasannya. Akun IG khusus untuk jualan dan berbagi cerita di IGS tentang kegiatan per-baking-an saya. Jadi, saya tidak follow akun pribadi yang isinya cerita keseharian.

Nah, saat kembali ke twitter, saya sempat kagok. Mau menulis apa nih, lihat tampilan twitter kok nampak beda. Trus pas buka FB, kagok juga. Mau ngapain di FB. Lalu saya buat Page untuk jualan. Setelahnya saya buat status pamer cerita berat badan yang turun 25kg *teteup ya, pertama muncul langsung pamer. Ya gimana, saya kan mau promosi Sophie, nah kalau ujug – ujug muncul langsung ngomong Sophie kan kurang smooth. Jadi ya, basa basi dulu. Begitu juga di twitter, saya bikin cuitan receh dulu awalnya. Lalu saat sudah mood, baru saya promosi Sophie.

Sudah 2.5 bulan kembali berkutat dengan media sosial, bahkan nambah IG, ada beberapa hal yang saya amati perbedaan sebelum dan setelah hibernasi :

  • LEBIH TERKONTROL. Jadi, sekarang sayalah yang mengontrol media sosial, bukan sebaliknya. Tahun lalu kan parah sekali diri ini dalam bermedia sosial. Merasa saya yang dikontrol dan tidak bisa mengendalikan diri mainan twitter. Setelah kembali lagi, saya bisa merasakan bedanya dan sekarang lebih santai dengan twitter. Kalau lagi malas, ya bisa sampai beberapa hari tidak menengok twitter. Bahkan FB pun bisa sampai 1-2 minggu terlupakan tidak dibuka sama sekali. Kalau IG, sampai saat ini saya masih belum klik. Jadi masih on off gitu mood dengan IG. Makanya kalau saya sedang tidak ingin posting apapun di IG, bisa berhari – hari tidak menengok IG sama sekali. Kalau ada DM pesanan, baru saya buka. Kalaupun sudah posting foto atau story, setelahnya ya saya lupa mau nengok lagi. Ingatnya keesokan harinya : lho kemaren kayaknya bikin IGS, halusinasi apa gimana ya. Setelah saya tengok lagi, IGS nya sudah masuk arsip. Sampai lupa. Senang sih, sekarang sudah tidak punya keterikatan kuat dengan media sosial.
  • TIDAK TAHU BANYAK HAL, TAK MENGAPA. Karena sekarang sudah tidak terlalu ngotot lagi dengan media sosial, jadi kalau sedang berjauhan lalu kembali lagi, membaca TL rasanya kok ada yang ketinggalan ya tentang suatu berita. Saya santai saja. Tidak berusaha keras mencari tahu. Jadi tidak terlalu mikir kalau ternyata saya tidak tahu banyak hal di media sosial. Itu normal dan wajar.
  • TETAP FOKUS DAN PRODUKTIF DENGAN DUNIA NYATA. Sekarang media sosial aktif yang saya punya, ada 3. Tapi, dengan tiga akun tersebut, proporsi fokus malah tetap pada dunia nyata. Saya membuka media sosial sesempatnya saja. Kalau sedang sibuk seharian, ya tidak sempat buka sampai keesokan harinya. Pikiran pun tetap menapak di dunia nyata. Kalau sedang di luar rumah atau jalan – jalan, tidak ngotot menjepret sana sini dengan niat ingin diunggah di twitter atau FB. Dulu kan begitu. Sekarang, kalau sempat ya difoto, kalau tidak ya tidak apa. Itupun seringnya berakhir di file HP saja. Tidak diunggah. Makan, ya fokus pada makanan, bukan sambil memelototi HP. Liburan, ya fokus pada liburan Jadi intinya, otak saya sudah terbiasa untuk tidak berpikir tentang media sosial. Melihat apa yang ada di depan mata. Bukan mata memandangi layar HP. Merasa juga lebih produktif. Bisa menyelesaikan banyak hal dan melakukan yang saya suka tanpa terdistraksi media sosial. Lumayanlah, sudah bisa baca 27 buku dari target 50 buku tahun ini. Lumayan bisa mengurusi jualan, menerima pesanan.
  • MENGGUNAKAN WEBSITE, BUKAN APLIKASI. Saat bersih – bersih aplikasi di Hp waktu hibernasi, saya buanglah beberapa aplikasi tidak penting, salah duanya twitter dan FB. Nah, sampai sekarang, saya belum install lagi dua aplikasi tersebut. Sudah cukup puas membuka dari website saja. Hanya IG saya buka lewat aplikasi.
Suatu senja di danau
Suatu senja di danau

HAL – HAL YANG TETAP SAMA SEBELUM DAN SESUDAH HIBERNASI MEDIA SOSIAL

Ada beberapa hal yang tidak berubah sebelum dan sesudah saya vakum dari media sosial :

  • KELUARGA. Saya tetap meminimkan bercerita tentang keluarga di media sosial. Minim sekali. Mengunggah foto keluarga, sampai sekarang, tidak pernah. Seringnya ya cerita makanan, unggah foto makanan, jalan – jalan, unggah foto sendiri *narsis. Lebih nyamannya memang seperti itu. Seperlunya saja.
  • LIBURAN. Selama liburan, sejak mulai pindah Belanda sampai sekarang, saya usahakan dengan amat sangat untuk tidak unggah apapun yang menyiratkan saya sedang berlibur, walaupun saya masih mengunggah foto atau membuat status, tapi yang umum saja. Saya simpan dulu ceritanya sampai saya kembali lagi ke rumah baru unggah atau membuat status bahwa kami baru saja pulang liburan. Alasan kenapa saya melakukan itu ada dua : satu, takut rumah dimasuki maling. Jaman sekarang kan maling canggih – canggih. Mengintainya lewat status di media sosial. Alasan kedua : takut ada apa – apa di tempat liburan. Ya takut diikuti atau apa gitu. Saya memang kebanyakan menonton acara Investigation Discovery. Jadi saya lebih waspada saja. Lebih baik mencegah kan. Untuk alasan pertama, saya tahu sendiri kejadian nyatanya. Salah satu kenalan di sini, kalau sedang tidak ada di rumah (liburan atau sedang belanja misalnya) selalu update status dia sedang di sini sedang di sana. Nah, saat liburan ke negara lain, setiap waktu dia update status. Suatu hari (dia masih belum kembali) aplikasi alarm di Hp suaminya bunyi. Polisi langsung datang ke rumah dia. Ternyata, ada beberapa orang tak dikenal yang mendobrak pintu rumahnya. Diketahui dari CCTV. Setelah ditelaah, kemungkinan mereka tahu rumah tersebut tidak ada penghuninya. Salah satu faktornya, ya mungkin tahu dari status – status yang dia update di media sosial. Ngeri kan maling jaman sekarang. Kejadian seperti inipun banyak diangkat di Investigation Discovery. Kami kalau liburan, update langsung ke Mama mertua. Jadi Beliau tahu kami sedang ada di mana. Kalau saya, biasanya pamitan ke Ibu. Itu saja sudah cukup.
  • DOKUMENTASI. Saya memang suka mendokumentasikan kejadian sehari – hari, entah itu foto atau video. Untuk kepentingan pribadi bukan Vlog. Hal tersebut masih saya lakukan tapi saat ini lebih ke dokumentasi pribadi. Banyak foto dan cerita sehari – hari yang tidak saya unggah di media sosial. Kalau ingin mengunggah, mikir dulu penting apa tidak. Dokumentasi tetap jalan, hanya sekarang lebih irit dan makin selektif dalam berbagi di media sosial
  • NO HP. Tidak mengeluarkan atau memegang Hp saat bersama keluarga atau saat bertemu teman. Hp diletakkan di tas atau tempat yang jauh dari jangkauan. Jadi benar-benar menikmati waktu bersama, waktu ngobrol, berbicara melihat mata ke mata, tidak sibuk sendiri dengan Hp. Kalaupun harus mengeluarkan Hp untuk berkirim pesan atau menerima panggilan, atau untuk memfoto makanan, setelahnya diletakkan lagi jauh dari mata. Fokus yang ada di depan.
  • TETAP LAMA MEMBALAS PESAN. Ya ini sudah bawaan orok. Saya kalau membalas pesan memang lama. Dikarenakan Saya tidak selalu memegang Hp dan seringnya dalam kondisi silent. Juga perkara prioritas. Kalaupun ada yang langsung saya balas, berarti pas saya sedang pegang Hp. Memang saya terkenal kalau membalas pesan, luamaaa haha. Kecuali pesan dari suami, pasti langsung dibalas.

FUNGSI FB, IG, DAN TWITTER YANG BERBEDA

Sejauh ini, saya cukup nyaman punya tiga akun tersebut karena memang fungsinya berbeda. Ketiganya tidak bergembok alias bisa diikuti oleh umum

  • Instagram. Seperti yang sudah saya tuliskan di awal, satu – satunya akun IG yang saya punya hanya untuk kepentingan jualan dan berbagi cerita kegiatan per-baking-an. Bahkan kegiatan memasak tidak saya cantumkan di sini. Jadi, saya tidak follow akun pribadi yang mengunggah kegiatan sehari – hari. 95% yang saya follow isinya kalau tidak roti, ya jualan seputaran roti dan kue, dan mereka yang punya hobi baking. Lumayan dapat banyak ilmu dan inspirasi.
  • FACEBOOK. Dari dulu ya masih sama fungsi FB buat saya. Melihat kabar terkini dari teman – teman lama, kenalan, maupun saudara yang ada di Indonesia maupun di Belanda. Jadi yang mutualan di FB, paling tidak sudah pernah ketemu dalam dunia nyata. Setelah vakum, sekarang jadi malas mau unggah apapun. Status dan foto pun ya jarang. Belum tentu seminggu sekali. Secukupnya saja. Kalau lagi mood pamer, baru mengunggah sesuatu. Sesekali di FB juga promosi jualan.
  • Twitter. Nah kalau twitter cakupannya lebih luas lagi. Pengikut dan yang saya ikuti kebanyakan ya orang yang tidak saya kenal dalam dunia nyata. Ya, stranger. Namun begitu, interaksinya biasa – biasa saja. Karena sayapun males cari ribut dan males terkenal, pun tidak mencari pengikut yang banyak, jadi sekarang saya santai saja di twitter. Apalagi sekarang ada topik yang seru yaitu orang – orang yang antusias dengan baking, bisa setor hasil karya dan resepnya, setiap waktu tanpa tema. Bebas. TL lebih indah dipandang karena isinya ya sliwar sliwer kalau tidak roti, taart dan segala hasil karya kece – kece lainnya dalam per-baking-an. Sampai saya sering tidak tahu keributan apa hari itu di twitter. Tertutup hawa positif mereka yang unggah karya baking-nya. Banyak belajar hal baru juga. Saya tetap tidak memakai fitur mute dan block. Pun, saya sekarang lebih berhati – hati dalam menulis apapun. Follower lebih banyak , jadi waspada harus lebih ditingkatkan. Jangan sampai mengunggah hal – hal yang terlalu privasi. Saya tidak tahu demografi diantara para follower seperti apa. Jadi, lebih baik waspada, bukan curiga. Cuitan sesekali diselipi prmosi Sophie.

Cara pandang saya terhadap media sosial setelah kembali dari vakum 7 bulan, sekarang berbeda. Lebih bijak, santai, dan berhati – hati. Lebih bisa mengontrol diri dan tidak ada keterikatan batin dengan dunia maya. Tidak tahu banyak hal, tidak jadi masalah untuk saya. Lebih baik tahu sedikit tapi sangat bermanfaat, daripada tahu banyak tapi lebih banyak mudarat (KBBI : rugi, sesuatu yang tidak menguntungkan). Saya sekarang lebih sadar dalam bermedia sosial. Menggunakan seperlunya, sesuai fungsinya.

Kalian pernah detox media sosial? Berapa lama?

-19 September 2021-

Ngobrol Dengan Tetangga

Danau besar di kampung kami

Saya bukan tipe yang gampang ngobrol ketika bertemu orang baru. Seringnya, saya akan menghindari percakapan atau mempercepat jalan ketika berpapasan dengan orang yang sering saya lihat di sekitar rumah. Tujuannya ya supaya tidak diajak ngobrol. Sejak di Indonesia saya sudah seperti itu. Dibanding adik – adik yang akrab dengan tetangga kanan kiri, saya lebih memilih leyeh – leyeh di rumah daripada ngobrol di rumah tetangga. Saya bergaul dengan tetangga di sana, sekedarnya saja. Bahkan boleh dibilang, kalau sedang butuh saja atau kalau tetangga sedang ada acara, saya baru muncul untuk membantu (memasak biasanya). Tapi para tetangga tidak pernah mempermasalahkan kenapa saya jarang ngobrol dengan mereka. Sudah terwakilkan dengan adik – adik, Ibu, dan Bapak. Mereka lebih bersosialisasi dibanding saya. Hubungan kami dengan para tetangga sangat baik, sudah seperti saudara sendiri. Mereka pun bukan tipe tetangga yang ikut campur urusan pribadi, termasuk saat saya belum menikah, mereka tidak pernah bertanya kenapa saya belum menikah. Intinya, tetangga saya di sana, bukan tipe yang suka mencampuri urusan orang.

Kesan orang ketika pertama kali melihat raut muka saya, sebagian besar mengatakan kalau saya ini nampak judes, congkak, angkuh. Kalau saya sedang berkaca, ya ternyata memang benar apa yang dikatakan mereka. Raut muka saya judes, jika sedang tidak tersenyum. Bertolak belakang dengan raut muka, saya ini gampang tersenyum kalau bertemu orang. Gampang memberikan salam. Hal ini yang akhirnya sedikit melunturkan kesan judes di muka. Ya lumayanlah, akhirnya ga judes – judes banget. Seingat saya, saat di Indonesia, kebiasaan orang saling menyapa itu diantara mereka yang saling kenal. Minimal menanyakan apa kabar. Kalau random orang bertemu di jalan dan tidak saling kenal, sepertinya mereka tidak akan saling sapa. Apalagi hanya saling sapa hallo, selamat pagi/siang/malam.

Berbeda dengan di Indonesia, di Belanda orang gampang sekali saling melontarkan sapaan. Saat bertemu di manapun, kalau berpapasan entah di jalan, taman bermain, danau, atau di manapun mereka paling tidak akan saling bertukar salam : hai, hallo, morgen, dag sambil tersenyum. Ini benar – benar random yang papasan tidak mengenal satu sama lain. Kebanyakan di kota kecil ya, kalau kota besar seperti Amsterdam sepertinya sudah tidak terlalu apalagi di pusat kotanya. Kalau di Den Haag (asal bukan di pusat kotanya), sepertinya masih meskipun tidak banyak (karena kami dulu tinggal di Den Haag pinggiran). Sekarang kami tinggal di kampung, ketemu siapa saja akan saling menyapa. Apalagi ini kampung kecil sekali yang kalau ketemu di pusat perbelanjaan atau danau atau taman sepertinya sudah hapal karena ya mukanya itu – itu saja.

Danau besar di kampung kami
Danau besar di kampung kami

Awalnya saya agak canggung dengan budaya menyapa ini. Belum terbiasa dan berasa agak aneh. Lama – lama akhirnya terbiasa juga lalu jadi spontan kalau berpapasan akan memberikan salam sambil tersenyum. Tidak semua orang Belanda akan gampang menyapa tentu saja. Ada juga kalau berpapasan ya jalan aja dia seperti tidak ada orang lain disekitarnya. Contohnya suami saya haha. Dia sangat jarang sekali menyapa orang kalau tidak disapa duluan. Itupun kalau disapa, dia ya jawabnya datar jarang ada senyumnya. Beda dengan saya yang selalu melemparkan senyum penuh suka cita dan sumringah sekali kalau memberikan salam pada orang. Itulah akhirnya di sini saya gampang tersenyum dan memberikan salam saat berpapasan, termasuk dengan tetangga. Jiwa gampang tersenyum saya jadi makin terasah. Pun ngobrol dengan tetangga saat berpapasan.

Lingkungan rumah kami kalau digamparkan semacam kompleks kecil. Penghuninya 90% orang Belanda, selebihnya imigran termasuk saya. Semacam kluster perumahan yang di dalamnya ada komplek rumah khusus untuk Oma Opa. Jadi tetangga kami kebanyakan ya para Oma dan Opa. Nah mereka ini punya kebiasaan kalau pagi pasti jalan kaki sekitaran rumah dengan anjing atau sendirian. Saya akhirnya mengenal beberapa diantara mereka karena sering berpapasan setelah aktifitas mengantar ke sekolah, lalu kami saling melemparkan salam. Karena sering bertemu, akhirnya kami mulai percakapan. Bukan percakapan yang serius, hanya saling bertanya kabar. Lama kelamaan, mulai melebarkan obrolan tentang makanan, anjing mereka, rencana akhir pekan apa, liburan mau ke mana, bahkan saya jadi tahu misalkan ada tetangga lain yang baru melahirkan, ada yang sedang masuk RS, atau punya cucu ya dari mereka ini. Lumayan ya jadi update informasi dari para Oma Opa. Obrolan yang kami lakukan ya sambil berdiri tentu saja karena memang sedang berpapasan. Bukan lantas mengundang duduk minum kopi di rumah lalu dilanjutkan dengan sesi rasan – rasan. Orang sini meskipun ramah, tapi mereka sangat menjaga jarak. Tidak akan gampang menjadikan seseorang itu temannya atau dengan gampang mengundang ke rumah. Tidak ada istilah nonggo atau nenangga atau duduk manis santai – santai nggosip di rumah tetangga. Saya beberapa kali memberi mereka camilan seperti lumpia, pukis, martabak. Hanya saya antarkan depan rumah mereka saja, tidak sampai masuk ke rumah. Bersyukurnya, para tetangga ini tidak ada yang berkelakuan aneh – aneh. Tidak pernah ada kejadian khusus di sekitar sini. Hanya memang karena lingkungan para orangtua dan depan kompleks adalah rumah jompo, jadi sering ada ambulans yang datang.

Pernah suatu malam, ada ambulans datang ke tetangga persis depan rumah kami. Lalu disusul dengan mobil pemadam kebakaran. Saya ingat sekali saat itu sekitar jam 9 malam karena kami sedang seru menonton film. Dua mobil ambulans datang, disusul 3 mobil pemadam kebakaran. Wah rasanya sangat serius. Lalu suami memutuskan ke luar rumah untuk mengecek apa yang sebenarnya terjadi. Eh ternyata para tetangga juga keluar rumah ingin tahu ada apa sebenarnya. Lalu saya mbatin : ternyata sama saja di sini pun orang – orang masih punya rasa penasaran. Bedanya, di sini tidak sampai ada kerumunan. Hanya melihat dari kejauhan saja, sangat jauh malah.

Diantara banyak tetangga, kami hanya akrab dengan dua tetangga, keluarga Belanda. Ya bukan akrab yang bagaimana, hanya memang sering mengobrol dan pasti diundang dan saling mengundang jika ada acara. Juga saling berkirim makanan. Hanya sebatas itu. Dengan mereka, kami juga saling membantu. Jika sedang pergi liburan, kami akan menitipkan rumah pada mereka untuk sesekali ditengok atau minta tolong untuk menaruh surat – surat yang datang ke atas meja. Jadi mereka pegang kunci rumah kami. Begitu juga sebaliknya mereka berlaku yang sama. Kami beruntung sekali punya tetangga seperti mereka, setidaknya masih berasa hidup bertetangga, tidak terlalu individualis. Obrolan diantara kami juga lumayan sering, jadi tahu tentang keluarga masing – masing. Mereka sangat perhatian, bahkan saat saya lulus ujian apapun (termasuk ujian praktek dan teori menyetir mobil), pasti dikirimi bunga dan ucapan selamat. Saya sungguh merasa terharu mereka seperhatian itu.

Ngobrol saat papasan dengan tetangga, ternyata sangat menyenangkan untuk saya. Memang tidak lama, hanya 5-10 menit tapi setelahnya bisa memberikan efek yang membuat bahagia. Entah kenapa seperti itu. Mungkin karena topik obrolannya tidak ada ucapan yang menghakimi atau pertanyaan basa basi atau pertanyaan sangat ingin tahu. Menanyakan kabar, kesehatan, saling berucap semoga harinya menyenangkan, bahkan ada satu Oma yang dengan ucapan tulus bilang kalau warna jilbab saya bagus, rok yang saya kenakan cantik motifnya dsb. Ucapan singkat yang bisa membuat hari saya ceria. Obrolan ringan seperti itu membuat saya merasa ternyata saya masih butuh hidup bertetangga. Saling ngobrol meskipun sebentar, saling melemparkan salam, saling mengundang, saling menanyakan kabar. Kehidupan bertetangga yang saling menjaga batasan dan privasi. Kehidupan bertetangga yang secukupnya tidak berlebihan. Menjaga hubungan baik dengan tetangga, buat saya sangat penting. Apalagi kami jauh dari saudara.

Jadi ingat ucapan Ibu sewaktu di Indonesia : berbuat baiklah dengan tetangga, jaga hubungan baik dengan mereka, karena jika kita butuh pertolongan, mereka yang pertama membantu.

-10 September 2021-

*Bagaimana hubungan kalian dengan tetangga? *Sayangnya kalau pas cabe atau beras habis, tidak bisa minta tetangga karena pasti mereka tidak punya cabe.

Tujuh Tahun Perkawinan

Sourdough Bread

Agustus jadi bulan bahagia buat kami karena merupakan bulan ulangtahun perkawinan. Tahun ini, sudah memasuki usia ke tujuh tahun perkawinan. Kadang kami berpikir, wow cepat sekali ya sudah tujuh tahun menikah dan hampir delapan tahun sejak awal perkenalan. Setiap tahun yang terlewati adalah kerja keras dan kerja sama kami berdua dalam rumah tangga ini. Kami menyadari, semakin bertambahnya umur perkawinan, semakin tidak penting dan tidak bermutu sumber pertengkaran yang lewat. Ada saja hal – hal yang sebenarnya tak penting untuk diperdebatkan, eh ini malah jadi bahan pertengkaran. Seringnya bersumber dari saya. Berasa butuh tantangan kalau sekian lama tidak ada huru hara, trus cari gara – gara trus kesel sendiri. Kapokmu kapan. Suami sih lempeng – lempeng saja. Sudah hapal tabiat istrinya.

Bahagianya, Alhamdulillah semakin bertambah. Bahagia yang datangnya dari dalam, bukan material. Kalau di atas saya tuliskan hal receh yang jadi sumber pertengkaran, maka hal receh yang jadi sumber becandaan pun lebih banyak lagi. Bahkan kadang kalau sedang duduk – duduk di taman, lalu kami melihat satu objek yang sama, trus kami saling pandang, setelahnya bisa tertawa ngakak bersama. Padahal ya ga paham apa sebenarnya sumber tertawaan kami. Cuma pengen tertawa aja. Memang seretjeh itu. Jadi bahan tertawa kami setiap hari juga tidak terlalu penting. Tapi dari hal – hal receh yang kami sebutkan di atas, makin menguatkan hubungan kami.

Sekarang kalau bertengkar, baikannya juga cepet. Sudah males berlama – lama, tak ada tenaga. Sudah tak ada drama kumbara lagi. Diselesaikan secepatnya, saling minta maaf, ngobrol kedepannya seperti apa. Sudah sama – sama berumur, jadi ga ada tenaga lebih untuk tak saling sapa. Mending tenaganya dialihkan ke hal – hal berguna lainnya. Pernikahan kan proses belajar seumur hidup. Setiap hari ada saja hal baru dari pasangan yang membuat kita terkejut dan jadi bahan pembelajaran. Tidak setiap hari hidup kami dihiasi hal – hal yang romantis. Tapi dari sanalah justru kami belajar untuk lebih mengenal satu sama lain.

Kartu ucapan dari suami

Ulangtahun perkawinan tahun ini, kami rayakan di restoran All you can eat dekat rumah. Sebulan sebelumnya suami sudah reservasi tempat dan saya tidak sabar hari H karena sudah lama kami tidak ke tempat ini. Sebelum pandemi, beberapa kali kami ke sini dan jadi tempat favorit karena menunya yang supeerr banyak dan enak. Saya berdandan maksimal sebelum berangkat dan suami pun berpakaian rapi. Kami sama – sama memakai cincin perkawinan yang selama 7 tahun ini cuma dipakai 3 kali, selebihnya tergeletak di kotak. Kami memang tidak suka memakai cincin. Tapi entah kenapa tahun ini ingin memakai. Berasa kencan, gitu.

Kalau orang lain merayakan hari bahagia dengan potong taart, kami melakukan dengan cara yang berbeda. Potong sourdough bread. Hari itu, jadwal saya membuat sourdough bread, jadinya ya kami potong roti saja.

Sourdough Bread

Dua minggu sebelumnya, saya bertanya ke suami, “tahun ini ada kado – kadoan gitu ga sih? aku lupa tahun kemaren apa saling ngasih kado apa nggak ya?” pasangan lanjut usia, lupa tahun lalu ngado apa nggak. Eh pas hari H, seperti biasa suami kasih kartu ucapan dalam tiga bahasa. Begitu membaca yang bahasa Indonesia, saya yakin dia pasti pakai google translate. Namanya usaha ya. Saya senang sekali diberi kartu ucapan, mama mertua memberikan bunga dan mentraktir kami makan malam 2 hari setelahnya. Ucapan dan doa juga kami dapatkan dari keluarga suami, Ibu dan adik – adik saya di Indonesia, para sahabat yang datang ke perkawinan kami 7 tahun lalu. Bahagia kami rasakan karena mereka ingat dan ikut mendoakan hal – hal baik pada perjalanan perkawinan kami.

Sama seperti tahun – tahun sebelumnya, tahun inipun kami bersedekah lewat makanan untuk merayakan ulangtahun pernikahan kami. Saya memilih satu akun jual makanan di twitter @berhijabmerah sebagai perantara sedekah kami. Jadi saya memesan makanan pada beliau dan meminta tolong untuk mendistribusikan pada orang – orang yang memang butuh. Saya mempercayakan semuanya pada beliau. Saya senang dengan cara komunikasinya. Cepat dan bisa diajak diskusi. Saya orangnya kan detail ya, jadi saat memesan, sayapun akan bertanya sangat detail. Makanya saya puas pesan di @berhijabmerah.

Isi paket ricebowl : nasi putih, chicken teriyaki, beef rolade, tumis buncis wortel, saus sambal, buah, brownies potong, sendok, garpu dan tissue. Paketnya saya tambahi dengan 2 masker dan 1 handsanitizer. Saya pesan 50 paket yang dibagikan ke petugas kebersihan, pekerja jalanan, petugas puskesmas dan dokter yang sedang melakukan pemberian vaksin di lingkungan beliau tinggal, petugas keamanan, penjual kerupuk, dan beberapa orang lainnya.

Setiap hari bahagia di keluarga kami, selalu tidak lupa kami siapkan untuk bersedekah. Kami berpikir, setiap rejeki yang kami dapatkan, ada hak orang yang membutuhkan di situ. Saat di sini kami bahagia merayakan, maka kami ingin berbagi kebahagiaan juga buat orang lain yang berhak dan membutuhkan. Semoga berkah buat semua.

Tumpeng nasi kuning

Akhir pekan saya membuat tumpeng nasi kuning dan pie susu. Pengennya membuat taart tapi karena tetangga sedang liburan dua minggu, jadi tidak ada yang membantu menghabiskan taart yang saya buat. Akhirnya saya buat pie susu yang hasil akhirnya berantakan. Wes ga masalah sing penting rasane josss! *dipuji dewe dan memang habis di hari yang sama.

Ricebowl

Banyak syukur selalu kami ucapkan karena berkah yang selalu datang di kehidupan perkawinan kami. Pasang surut, naik turun, sedih bahagia selalu kami hadapi bersama. Tidak pernah sekalipun diantara kami yang meninggalkan satu sama lain. Sampai detik ini, bahu kami satu sama lain bisa dijadikan sandaran dan tangan kami masih tetap saling bergandengan. Semoga seperti ini, seterusnya, sampai nanti ujung waktu. Sehat dan menua bersama dalam suka dan duka. Dalam tangis dan tawa. Tetap saling cinta dan mencintai. Saling menopang dan menegakkan. Saling memeluk dan menghangatkan. Saling tersenyum dan menggembirakan.

Ricebowl

-29 Agustus 2021-

Bangga (Akhirnya) Bisa Menyetir Mobil (di Belanda)

Pertama kali menyetir di Belanda setelah punya SIM

Menyetir mobil ini benar – benar salah satu pencapaian terbesar dalam hidup saya. Bayangkan, dari orang yang sangat takut berkendara sendiri, bahkan naik motor saja takut, sekarang sudah bisa menyetir mobil lintas provinsi di Belanda.

Jadi, kami baru pulang liburan 4 hari. Di dalam negeri saja. Selama liburan tersebut, kami tinggal di vakantie huis (rumah yang disewakan untuk berlibur) di salah satu kota di provinsi Gelderland. Seperti biasa kalau liburan menginap beberapa hari, suami pasti akan menyewa mobil karena pasti kami mengunjungi kota – kota di sekitar tempat yang kami tinggali. Lalu suami bilang kalau liburan kali ini, bagian saya yang menyetir mobil supaya latihan dan tidak kaku.

Sebenarnya saat kami liburan awal Juli, itupun sudah direncanakan kalau saya yang akan menyetir mobil selama liburan. Waktu itu kami ke provinsi Drenthe dan Friesland. Tapi, karena SIM saya jadinya telat seminggu setelah liburan, walhasil saya tidak jadi menyetir saat itu. Akhirnya kesempatan liburan kali ini saya yang menyetir mobil.

Terakhir menyetir mobil ya waktu saya ujian praktek dan dinyatakan lulus akhir bulan Mei. Setelahnya sama sekali belum menyetir mobil lagi. Pagi hari saat mau berangkat, sempat ada rasa deg – deg an, kira – kira masih bisa tidak ya, kira – kira masih ingat tidak ya aturannya seperti apa, dsb. Sempat ada rasa khawatir sejenak. Tapi setelah saya duduk di belakang setir, semua berjalan lancar.

Jadi liburan kali ini, saya menyetir mobil lintas 4 provinsi di Belanda. Sebenarnya letak antara satu provinsi dan lainnya tidak terlalu jauh karena ya Belanda ini sebesar apa sih, negara yang kecil. Jadi, kami berhenti – berhenti di 3 provinsi : Utrecht – Gelderland – Zeeland. Berhentinya bukan hanya di Pom Bensin saja tapi masuk ke kotanya karena kami mengunjungi beberapa tempat di sana. Nah karena rumah kami ada di provinsi yang berbeda yaitu Zuid Holland, jadinya ya saya menyetir lintas 4 provinsi : Zuid Holland – Utrecht – Gelderland – Zeeland – Zuid Holland.

Sekitar 90% selama liburan, saya yang pegang setir. Sementara suami menggantikan saya menyetir cuma 1 jam sisa perjalanan saat dari Gelderland ke Zeeland yang total waktu tempuhnya 2 jam 45 menit. Jadi saya menyetir 1 jam 45 menit, sisanya suami. Selebihnya, selama 4 hari ya saya yang menyetir.

Rasanya bagaimana akhirnya bisa menyetir mobil? Bangganya luar biasa pada diri sendiri. Menengok lagi ke belakang, tidak mudah meyakinkan saya sendiri kalau menyetir mobil adalah keterampilan yang benar – benar ingin saya kuasai. Dulu waktu di Indonesia, sama sekali tidak ada keinginan dan terpikir untuk bisa menyetir mobil. Tapi saat di sini, pikiran saya jadi berubah. Saya merasa, saya harus bisa menyetir mobil supaya lebih mandiri dan pasti terpakai untuk kebutuhan lainnya. Lalu saya berkeras kepala untuk lulus ujian teori meskipun buat saya itu bahasanya sudah tingkat dewa saking susahnya (tricky dan bahasa Belanda yang dipakai formal sekali). Alhamdulillah sekali tes langsung lulus. Kemudian saya pun kembali berkeras kepala untuk lulus ujian praktek meskipun gagal dua kali dan 3 kali ujian tidak jadi karena terkena lockdown. Ujian ketiga baru saya dinyatakan lulus.

Sekarang saya bisa merasakan apa yang saya perjuangkan selama 1.5 tahun. Bisa menyetir dengan aman sesuai peraturan yang berlaku, menyetir dengan tenang dan bisa berpikir cepat apa yang harus dilakukan kalau ada kondisi yang tidak ideal.

Selama liburan kemaren, rasanya hampir semua situasi sudah saya lewati. Menyetir saat hujan deras sekali, menyetir di jalanan berkelok curam ke atas saat ke kastil, menyetir di kecepatan 120km/jam, 100km/jam saat jam sibuk, menyetir dalam kota, menyetir di sekitar pusat perbelanjaan, bermanuver di jalan tol menyalip truk – truk yang berukuran super besar, menyetir di jalanan super sempit, menyetir saat macet di dalam kota dan di jalan tol, menyetir malam hari. Alhamdulillah semua terlewati dengan baik. Dulu berpapasan dengan truk saja sudah membuat gemetaran. Sekarang setelah di belakang setir, semuanya jadi biasa. Dulu membayangkan melewati jalan berkelok curam saja ngeri, sekarang setelah dijalani sendiri, ya berani.

Kenapa saya berani? karena aturan menyetir di sini semuanya jelas dan peraturan lalu lintasnya pun jelas. Jadi orang tidak akan seenak udelnya serobot sana sini di jalanan. Selain itu, karena sudah punya SIM yang mendapatkannya penuh perjuangan, banyak uang yang sudah dikeluarkan, ya tidak ada alasan untuk tidak berani menyetir.

Suami bilang : Wah, rute selanjutnya roadtrip lintas negara nih. Selama ini, kalau kami roadtrip ya pasti dia saja yang menyetir. Karena sekarang saya sudah bisa, jadi saya juga tertantang menyetir mobil roadtrip lintas negara.

Ibu saja sampai heran, darimana keberanian yang saya dapatkan kok bisa – bisanya sekarang ga ada takutnya menyetir. Padahal dulu sudah ditawari beberapa kali untuk les nyetir mobil di Indonesia selalu saya tolak dan bilang kalau seumur hidup tidak akan pernah menyetir mobil sendiri. Sekarang saya telan omongan sendiri.

Kalau tidak merantau sejauh ini, saya tidak akan punya keberanian sebesar sekarang. Jika saya tidak berkeras kepala untuk meneruskan les menyetir sampai lulus dan mendapatkan SIM, rasanya saya tidak akan sebangga ini. Jika tidak mencoba sendiri menyetir mobil, rasanya saya tidak akan tahu bahwa saya pun bisa mengalahkan ketakutan selama ini.

Rute selanjutnya, lintas negara? Kita lihat saja nanti. Kalau menyetir mobil di Belanda saya bisa tanpa ada rasa takut, nanti di Indonesia saya serahkan saja pada ahlinya. Membayangkan lalu lintasnya saja sudah bikin saya dadah – dadah ke kamera .

-24 Agustus 2021-

Vaksin Covid – Bagian Kedua – Selesai

Sourdouh Multigrain Bread

Cerita singkat saja ya kali ini. Beberapa hari lalu, saya selesai mendapatkan vaksin kedua covid. Yang bagian pertama, bisa dibaca ceritanya di sini ya.

Berbeda dengan vaksin pertama yang masih ada sedikit efek sampingnya, vaksin kedua ini benar – benar tidak berasa ada efek setelahnya. Lengan sakit pun tidak berasa. Padahal saya sudah mempersiapkan mental kalau efek vaksin kedua ini akan berat karena mendengar cerita – cerita mereka yang sudah mendapatkan vaksin kedua.

Sama halnya dengan yang pertama, sebelum vaksin kedua ini pun saya tidak ada persiapan khusus. Makan minum seperti biasa, istirahat dan tidur pun seperti biasa, tidak mengkonsumsi vitamin apapun. Intinya, biasa saja. Ada satu yang nyaris sama dengan vaksin yang pertama : Saya nyaris lupa kalau hari itu harus vaksin. Padahal dua hari sebelumnya saya sudah mengingat – ingat kalau akan vaksin 2 hari lagi. Pas tengah malam saya baru teringat kalau besok pagi jadwal vaksin. Walah, nyaris terlewat. Padahal jadwal saya hari itu padat sekali. Harus mengerjakan Sourdough bread 4 macam yang adonannya sudah diinapkan di kulkas, masak makan siang, dan masak lodeh buat akhir pekan. Ngerinya kalau setelah vaksin efeknya berat, buyaarr semua jadwal itu. Adonan roti bisa – bisa berubah jadi adonan tape.

Selesai vaksin, sesampainya di rumah, saya masih leyeh – leyeh 30 menit. Kok tidak ada tanda – tanda sakit ya. Lalu saya mulai mengerjakan roti satu persatu. Sampai roti kedua, masih ga ada rasa sakit. Saya tidak mau jumawa. Takutnya kena tulah besokannya sakit parah. Tiga jam berlalu, 6 jam berlalu, 10 jam berlalu, tetap biasa saja. Bahkan semua rencana hari itu, bisa saya selesaikan semua. Membuat 4 macam roti, masak makan siang, masak lodeh untuk akhir pekan, jalan – jalan ke hutan, sampai beberes pun selesai semua. Hari itu, terlewati dengan mulus.

Keesokan paginya, bangun dengan tanpa badan sakit. Oh ya lupa dituliskan. Seminggu sebelum vaksin, hidung saya mulai mampet. Pilek. Sampai hari vaksin pun, hidung saya tetap mampet, pilek. Nah keesokan harinya, bangun tidur tetep mampet. Jadi kondisi setelah vaksin, tidak ngefek pada kemampetan hidung. Berharapnya agak membaik ya, tapi tetap saja. Sehari setelah vaksin, juga sama, mulus dilalui tanpa rasa sakit (bahkan sampai tulisan ini diunggah). Akhirnya saya bisa menyimpulkan bahwa untuk vaksin kedua, tidak ada efek samping apapun di badan saya. Mulus tetap berkegiatan seperti biasa.

Senang akhirnya sudah mendapatkan vaksin yang kedua. Yang membuat saya makin lega lagi, Ibu dan adik – adik saya di Indonesia, akhirnya sudah mendapatkan vaksin yang pertama. Setelah lika liku stok vaksin di daerah yang cepat habis, akhirnya mereka sudah bisa vaksin yang pertama. Rasanya benar – benar ingin sujud syukur saking senangnya mereka sudah divaksin.

Suami masih bulan depan vaksin keduanya. Apa rencana kami setelah mendapatkan vaksin lengkap? Tidak ada rencana apapun. Ya begini saja tetap tinggal di rumah karena tidak ada undangan kumpul – kumpul juga. Kehidupan berjalan seperti biasa. Tetap liburan gentayangan di Belanda. Kemaren saya menanyakan lagi ke suami, apa dia ada rencana liburan ke LN secara dia ini kalau bikin rencana liburan selalu dadakan. Dia lalu mengingatkan saya bahwa negara ini kodenya sedang merah. Jadi kami tidak mau ruwet perkara liburan di LN dengan embel – embel datang dari negara berkode merah. Dan lagi, peraturan di situasi seperti ini cepet berubah. Intinya, kami males ruwet sih. Jadinya, tetap seperti rencana semula sejak awal tahun kalau tahun ini tema liburan kami adalah explore Belanda. Lumayan, jadi lebih tau kota – kota kecil di Belanda, menjelajah museum, dan lebih mengenal hotel – hotel di sini haha.

Stay Happy and healthy ya! Doa saya tetap dan selalu sama. Semoga keadaan ini cepat membaik, kehidupan berjalan normal lagi, kita semua diberikan kekuatan lebih untuk melangkah. Turut berduka cita untuk mereka yang ditinggalkan keluarga, teman, sahabat, yang tercinta karena pandemi ini. Semoga diberikan kekuatan dan penguatan.

-25 Juli 2021-

*Cerita tambahan. Sebenarnya sangat tidak penting. Tapi tetap ingin saya tuliskan. Sewaktu diarahkan ke salah satu loket pemeriksaan kartu identitas, petugasnya ganteng sekali. Matanya bagus, giginya rapi dan bentuknya bagus sekali. Pas dia tersenyum, duh tiba-tiba jantung saya kayak yang jadi cepat gitu detaknya. Matanya bagus banget asli. Wah gawat, jangan sampai ga bisa vaksin gara – gara disenyumin lalu tensi saya melonjak. Setelah meninggalkan loket, jantung saya masih deg-degan gitu lho. Ya Allah, norak! Lemah memang saya kalau lihat mata bagus. Makanya saya lemah lihat matanya NicSap *nyebut Mbak!

Sampai rumah saya cerita suami kan. Dia cuma senyum datar aja. Komen dia : ya untung saya ga ditelpon sama GGD suruh jemput kamu yang pingsan gara – gara disenyumin anak muda dengan mata yang menurutmu bagus.

Haha!

Seputar Vaksin Covid (Efek Samping) – Bagian Pertama

Awalnya tidak terlalu ingin menuliskan pengalaman mendapatkan vaksin covid di Belanda, mengingat Ibu saya di Indonesia masih belum vaksin karena kemaren – kemaren masih suram keberadaan vaksin di daerah yang antara ada dan tiada. Saya merasa sedih karena di sini lumayan cepat distribusi vaksinnya, sedangkan keluarga saya di sana yang tinggal bukan di kota besar, akses mendapatkan vaksin semacam mengenaskan. Tapi ini mulai ada titik terang karena adik saya dua hari lalu akhirnya bisa vaksin juga. Mudah – mudahan setelah ini Ibu saya juga sudah bisa vaksin karena Ibu masih sakit jadi menunggu membaik baru akan vaksin. Kepikiran lho ini saya perkara keberadaan vaksin di kota kecil di Indonesia yang hilalnya pada saat itu belum nampak. Jadinya sedih dan nelongso mengingat keluarga saya di sana yang ingin vaksin tapi belum juga bisa menjangkau, pada saat itu -sekitar 3 minggu lalu-.

Karena mood saya sudah lebih baik (memikirkan vaksin di Indonesia yang belum merata sampai daerah saja bikin mumet dan mood berantakan tiap hari), jadi saya akan menceritakan pengalaman mendapatkan vaksin Covid di Belanda.

SEBELUM HARI H VAKSIN

Jadi, sekitar dua minggu lalu, saya sudah divaksin. Seminggu sebelum tahun lahir saya diumumkan untuk bisa mendaftar, beberapa teman dan kenalan sudah memberitahu saya kalau kemungkinan minggu depannya tahun kelahiran saya sudah bisa mendaftar untuk bisa vaksin. Sebulan sebelumnya, Suami sudah mendapatkan surat undangan untuk vaksin, tapi dia masih mikir – mikir dengan beberapa alasan yang diantaranya ya masuk akal juga, meskipun penyampaiannya agak mbulet. Ok, saya hargai keputusannya, selama dia bukan antivaksin. Sampai tulisan ini diunggah, dia akhirnya sudah mendaftar vaksin. Sujud syukur akhirnya dia dapat hidayah juga, setelah proses panjang mendapatkan wejangan dengan tatapan cemberut dari istrinya. The power of mrengut.

Awalnya, pemerintah Belanda memang mengirimkan surat undangan. Jadi, warga ya dengan sabar menunggu surat. Setelahnya, sistem diubah menjadi kita bisa mendaftar lebih dulu lewat akun DigiD jika tahun kelahiran sudah diumumkan. Surat undangan tetap dikirimkan. Jadi kitanya yang proaktif, tidak usah menunggu surat datang. Ini diluar mereka yang mendapatkan prioritas ya. Jadi berdasarkan tahun kelahiran dan tanpa resiko kesehatan.

Nah pada saat tahun kelahiran saya sudah diumumkan, saya diberitahu oleh Anis. Karena saya saat itu sibuk ngurusi pesanan cookies dan brownies juga paket untuk Father’s day di Belanda, jadinya saya terlupa untuk mendaftar. Baru ingatnya, dua hari kemudian. Itupun gara – gara ngobrol sama Anis lalu teringat belum mendaftar. Lalu mendaftarlah saya lewat akun DigiD. Gampang dan cepat prosesnya. Musti menjawab beberapa pertanyaan dulu sebelum sampai pada tanggal dan tempat di mana dan kapan bisa vaksin. Setelahnya, saya sudah mendapatkan tanggal kapan vaksin pertama dan kedua. Tempatpun sangat dekat dengan rumah, cuma 10 menit sepedahan. Tempat vaksin di stadion bola.

Perkara mendaftar, sudah beres. Beberapa hari kemudian, surat undangan untuk vaksin datang. Jadi dalam amplopnya ada formulir isinya pertanyaan – pertanyaan yang nanti harus kita bawa saat vaksin, juga ada surat yang isinya jadwal vaksin pertama dan kedua dan syarat – syarat yang harus dibawa saat vaksin. Juga ada keterangan, vaksin apa yang akan kita dapat. Disurat saya, kalau tidak salah ingat, tercantum saya akan mendapatkan Pfizer atau Moderna. Ini kalau tidak salah, kita tidak bisa memilih sendiri ya. Yang pasti nanti di tempat ya dapatnya antara 2 itu.

HARI H VAKSIN

Dalam rentang seminggu hari H vaksin itu, saya super ruwet bikin cookies dan brownies pesanan. Belum lagi packing dan memastikan tiap pesanan berada di kardus yang benar. Juga memastikan kartu – kartu tidak salah penempatan. Jadi H-1, saya benar – benar ruwet, baru tidur jam 12 malam. Baru selesai packing karena pagi akan mengirimkan ke service logistic yang dekat rumah. Itupun saya hanya tidur 4 jam karena bangun lebih awal, bikin brownies lagi. Jadi saya merasa ngantuk kurang tidur. Dua minggu lalu, seingat saya, jadwal vaksin baru keesokan harinya di sore hari. Trus saat packing terakhir jam 7 pagi, tiba – tiba saya teringat apa benar jadwal vaksin saya keesokan hari atau hari itu. Saya lalu membuka sms, membaca lagi pesan yang dikirimkan oleh GGD 2 hari sebelumnya. Pesan pengingat jadwal vaksin.

Loalaahh ternyata jadwal vaksin saya hari itu, bukan keesokan harinya. Duhhh, nyaris saja terlewat. Memang tidak saya catat di jadwal sih, mengandalkan sms pengingat dari GGD. Ternyata ya luput juga, riweh sama pesanan. Jadi saya benar – benar tidak ada persiapan khusus sebelum hari H vaksin. Tidur dan istirahat saja kurang, tidak minum suplemen khusus juga. Jadi benar – benar berkegiatan seperti biasa. Setelah beres mengirimkan paket – paket, saya beristirahat sejenak leyeh – leyeh sebelum melanjutkan masak untuk makan siang. Itu saya sudah mengantuukk sekali. Satu jam sebelum vaksin, saya berbaring di kamar. Pengennya tidur, tapi takut kebablasan.

20 menit sebelum vaksin, saya sudah siap – siap. Meskipun tempatnya dekat sekali dengan rumah, saya memutuskan berangkat lebih awal. Naik sepeda 10 menit sudah sampai. Saya sering ke tempat ini jadinya ya sudah tau jalannya ke sana. Sampai di tempat, parkir sepeda, lalu menuju gedung tempat vaksin. Sebelum masuk ke dalam, disemprot dulu di telapak tangan di depan bangunan. Setelahnya, ada petugas menanyakan apa ya kok saya lupa. Kayaknya menanyakan jam berapa jadwal saya. Setelahnya saya ditunjukkan untuk menuju loket berapa.

Sewaktu berjalan menuju loket yang dimaksud, saya merasa terharu sampai agak berkaca mata ini. Pikiran saya lalu loncat ke Maret tahun lalu saat situasi mulai genting di Belanda. Melewati tahun lalu dengan kondisi yang amburadul dan situasi yang mencekam. Segala lockdown dari jilid 1 sampai entah jilid berapa dilalui. Segala adaptasi pun dilakukan dengan kondisi saat itu, sampai kita semua menyebutnya sebagai New Normal. Alhamdulillah keluarga kami utuh sampai saat ini, sehat melewati ini semua. Itu yang benar – benar saya sangat syukuri. Jadi saat berjalan menuju loket, perasaan saya campur aduk, antara haru dan sedih. Terharu karena kok saya melihat diri sendiri seperti disebuah scene film yang saya selalu lihat yang temanya tentang virus. Melihat diri ini yang selamat dari dari virus lalu mendapatkan kesempatan vaksin. Mengingat juga keluarga saya di Indonesia yang belum tersentuh vaksin, perasaan jadi sedih. Intinya campur aduk.

Saat di loket, diperiksa kartu identitas lalu ditanya formulir yang harus dibawa. Setelah dicek ok, saya lalu diberikan surat untuk nanti dibawa saat vaksin kedua. Beres, lalu saya menuju lajur yang ditunjukkan. Tak ada antrian. Saya lalu menuju bilik. Ditanya oleh petugasnya mau lengan sebelah mana. Saya memilih sebelah kanan. Lalu saya bertanya, saya mendapatkan vaksin apa. Dijawab, Pfizer. Setelah disuntik, diusap bekas suntikan dengan kapas, lalu diberi plester. Selesai. Sempat terpikir, orang – orang yang vaksin trus bisa foto, gimana ya caranya. Ini rasanya kok tidak ada yang memfoto dan tidak ditanya juga sama petugasnya mau foto atau tidak. Ah sudahlah, bisa vaksin saja sudah sujud syukur, kok malah mikir foto segala.

Setelahnya, menuju ruang sebelah. Menunggu 15 menit duduk di sana. Kalau selama 15 menit tersebut keadaan ok, bisa meninggalkan gedung. Selama 15 menit tersebut, saya gunakan untuk memperhatikan orang – orang yang sedang menunggu juga. Saya tidak sempat mainan Hp, karena lebih tertarik memperhatikan sekitaran. Setelah 15 menit berlalu, saya pulang sepedahan lagi. Kalau yang punya buku kuning vaksin, bisa minta stempel vaksin di gerbang keluar. Karena saya tidak punya, jadi ya langsung pulang.

Sesampainya di rumah, karena memang sebelum vaksin sudah sangat mengantuk, jadi saya langsung menuju sofa. Saya langsung tidur di sofa. Benar – benar yang langsung tertidur nyenyak sampai beberapa waktu kemudian dibangunkan oleh suami. Dia membangunkan saya karena tidak mendengar saat saya sudah sampai rumah. Jadi begitu melihat saya dalam posisi tertidur di sofa, dia khawatir kalau saya pingsan setelah vaksin hahaha. Makanya dia cepat – cepat membangunkan saya. Ternyata saya tertidur kecapekan.

KONDISI DAN SITUASI H+1 JUGA EFEK VAKSIN

Menjelang malam, lengan saya mulai terasa kemeng dan njarem kalau bahasa Jawanya. Apa ya ini bahasa Indonesianya. Yang pasti bukan sakit tapi lebih ke arah pegal dan linu. Pagi sewaktu bangun tidur, njarem dan kemengnya tambah parah. Tapi ternyata cuma 2 jam saja setelah bangun. Setelahnya perlahan menghilang sampai saya sudah tidak merasakan lagi H+1. Tapi, hari itu saya mendapatkan menstruasi. Harusnya kalau menurut jadwal, menstruasi saya masih seminggu lagi. Ini maju seminggu. Oh, mungkin ini efek dari vaksin. Mendadak mens. Selebihnya H+1 tidak ada keluhan apapun. Tidak lemas, tidak sakit, tidak sakit kepala, tidak mengantuk berkepanjangan. Hanya mens saja. Ngantuk yang setelah vaksin itu, saya pikir bukan termasuk efeknya, karena sebelum vaksin pun saya sudah mengantuk parah. H+1 itu saya masih berkegiatan seperti biasa plus menyiapkan pesanan untuk keesokan hari akan diambil olah pembeli. Jadi, efek vaksin buat saya, hanya menstruasi yang datang lebih awal seminggu. Selebihnya sampai saat ini, tidak ada keluhan sakit apapun. Saya juga tidak mengkonsmsi vitamin atau suplemen apapun sebelum dan sesudah vaksin. Semua berjalan biasa saja.

Efek vaksin ini memang berbeda – beda tiap orang meskipun mendapatkan jenis yang sama. Saya mendapatkan cerita, ipar – ipar saya sampai sakit berhari – hari setelah vaksin Pfizer. Mereka usianya lebih tua dari saya. Mama mertua, yang sudah divaksin Pfizer sejak Maret, setelah vaksin sama seperti saya, tidak mendapatkan keluhan apapun, lancar mulus. Jadi, mungkin tergantung kondisi badan ya karena umur beda dengan vaksin yang sama juga tidak bisa dijadikan patokan. Ada yang bercerita umur lebih muda dari saya, efek vaksinnya baru hilang beberapa hari kemudian : badan lemas, meriang, sakit kepala, dan lapar terus.

JADI…..

Kalau kalian punya kesempatan untuk divaksin dan akses mendapatkannya mudah, segeralah vaksin jangan ditunda lagi. Kalau saya pribadi, inilah ikhtiar saya ditengah situasi yang masih tak menentu, tidak tahu kapan akan berakhir ini. Inilah ikhtiar saya melindungi diri sendiri dan keluarga. Kalau sudah vaksin bukan berarti lalu kebar virus ya. Masih bisa kok tertular virus, tapi paling tidak kondisinya tidak separah kalau belum vaksin. Jangan juga takut dengan efek setelah vaksin. Lengan pegal itu pasti. Efek selebihnya tergantung masing – masing orang karena bisa berbeda seperti yang sudah saya tuliskan sebelumnya. Kalau ada kesempatan vaksin, ga usah pilah pilih mau jenis yang mana. Semua sama baiknya selama uji klinisnya ok. Kalau sudah mendapatkan vaksin lengkap, pikir berulang kali mau vaksin lagi walaupun kesempatannya ada (misalnya dapat kesempatan vaksin lagi di LN). Vaksin di Indonesia belum merata, jadi ga usah serakah. Ingat – ingat saja itu, di negara sendiri akses vaksin masih susah. Kalau sudah vaksin, please tidak usah memandang vaksin tertentu derajatnya lebih tinggi dibanding yang lain. Wes, ga perlu itu. Pun tidak usah menunda untuk vaksin hanya karena ingin mendapatkan jenis vaksin yang dianggap derajatnya lebih tinggi. Kalau ada kesempatan vaksin sekarang, gas poll langsung vaksin.

Jadi, kalaupun sudah divaksin, please jangan petentang petenteng dulu seperti sudah kebal dengan segala penyakit. Jangan seperti memakai baju Robocop lalu gagah merasa tidak bisa dihancurkan. Wong Robocop saja bisa hancur. Kalau sudah divaksin, tolong sikap waspada masih dijalankan. Kalau sudah vaksin, tolong jangan otomatis langsung berpesta pora umplek – umplek an seolah kita sudah sangat bebas melakukan apa saja. Dunia masih belum sepenuhnya aman sekarang. Waspada, lakukan yang terbaik dan paling maksimal untuk melindungi diri dan orang – orang tersayang. Kalau sudah vaksin, biasa saja dan sewajarnya saja ya. Beritahukan pada mereka yang memang belum tergerak hatinya untuk vaksin. Saya tahu, vaksin atau tidak ini semacam kepercayaan. Memang tidak bisa dipaksakan. Tapi minimal, jika kita berusaha memberitahukan, siapa tahu yang belum tergerak, akan mendapatkan hidayah kemudian hari. Kalaupun sudah vaksin dan ingin liburan ke luar negeri, tetap waspada ya. Ini Portugal statusnya kembali kode merah (Lisbon kalau tidak salah). Intinya, meskipun sudah vaksin, waspada tetap ditegakkan.

Tadi malam saya melihat berita nasional di TV, berita tentang Indonesia sudah masuk sini. Tentang kasus positif yang melonjak tinggi dan Rumah Sakit kewalahan. Di berita tersebut, diperlihatkan pasien yang tidak mendapatkan kamar, menunggu giliran bisa masuk dengan berbaring di kasur di gang antar kamar. Sedih dan terus terang saya tegang sih mengikuti berita di Indonesia. Seperti tahun lalu saja rasanya. Mencekam. Semoga keadaan di Indonesia berangsur membaik.

Di Belanda sendiri, peraturan mulai longgar sejak lockdown ketat dicabut bulan lalu karena kasus positif harian sudah sangat berkurang banyak. Tamu di rumah sudah tidak dibatasi, masker sudah tidak diwajibkan kecuali di kendaraan umum, jam malam ditiadakan, toko – toko sudah bisa buka, perpustakaan dan museum buka kembali, restaurant dan kafe tidak ada jam malam maksimal buka, guru – guru dan murid di sekolah sudah tidak perlu memakai masker, dan peraturan lainnya. Perlahan tapi pasti di sini hidup kembali normal dengan definisi baru yaitu new normal. Itu hasil ikhtiar ketat yang negara ini lakukan selama 1.5 tahun ini. Segala lokdan lokdon setahun ini. Setiap akan ada konferensi pers dari Perdana Menteri, warga rasanya bertanya – tanya kira – kira peraturan apa lagi yang minggu depan akan diketatkan. Jadi, jangan iri ya kalau kami di sini sudah mulai longgar. Negara dan warganya sama – sama menjalani ini dengan harapan semua segera selesai, meskipun tidak bisa dipungkiri golongan tak percaya Corona pun ada, pun golongan anti vaksin.

Kami sendiri, ya karena sudah terbiasa sejak tahun kalau tidak penting – penting banget tidak ke luar rumah, saat peraturan longgar begini ya tetap sama saja. Tetap lebih banyak di rumah. Jauh haripun kami sudah memutuskan tahun ini tema liburan adalah eksplore Belanda. Belum siap ke LN dengan perjalanan menggunakan pesawat atau perjalanan panjang menggunakan kereta. Kalaupun ke LN mungkin ke Jerman atau Belgia saja, tetangga sebelah. Itupun belum direncanakan. Karena sudah terbiasa dengan ritme 1.5 tahun ini, dengan adanya pelonggaran aturan, kami ya seperti biasa saja kesehariannya. Kecuali perkara masker, kami sudah tidak memakai lagi saat ke supermarket atau tempat umum lainnya, meskipun masker tetap kami bawa ke mana – mana kalau ke luar rumah (ini karena faktor sudah terbiasa). Badan sekarang seperti sudah ada alarmnya, kalau melihat supermarket atau toko sedang ramai, ya kami tidak masuk ke dalam. Konsekuensi kami tidak memakai masker, ya berarti kami harus menghindari keramaian. Itu adalah waspada buat kami. Satu yang membahagiakan dari pelonggaran peraturan ini adalah kami bisa kembali berkunjung ke Museum dan Perpustakaan (ini sudah sejak sebulan terakhir). Rasanya legaa sekali dan senang bisa kembali ke museum dan perpustakaan.

Bagian kedua dari tulisan ini akan saya lanjutkan kalau sudah mendapatkan vaksin yang kedua, akhir Juli. Sehat – sehat selalu kita semua.

-30 Juni 2021-

Perasaan Iri Pada Hasil

Ladang Tulip di Lisse

Pagi ini, saya berbincang dengan seorang sahabat. Salah satu topik yang kami obrolkan, jadi insipirasi untuk saya tuliskan di sini. Sebenarnya hal ini juga mengusik pikiran saya akhir – akhir ini. Tentang perasaan iri pada hasil, bukan pada proses.

PEKERJAAN

Saya teringat saat masih bekerja di Indonesia. Setiap tahun, selama sekitar 13 tahun bekerja penuh waktu (pada beberapa perusahaan berbeda), saya pasti mendapatkan promosi. Terutama saat bekerja di kantor yang terakhir. Posisi dari bawah saat masuk, sampai mempunyai posisi yang lumayan saat saya memutuskan berhenti dari kantor tersebut. Sering mendengar desas desus tentang saya dari departemen yang lain, baik itu yang diucapkan langsung pada saya maupun dengar dari orang lain semacam begini : Den, enak banget ya jadi loe, tiap tahun dapat promosi. Kita – kita yang sudah lebih lama kerja, jangankan promosi, naik gaji aja seret. Iri tahu sama loe anak baru tapi karir melejit. Atau Den, kerjaan loe enak bener ya, cuma jalan – jalan tugas ke luar kota, tapi akhir tahun selalu naik jabatan. Atau yang bikin panas telinga denger dari orang lain : Deny sih ga heranlah kalau tiap tahun bisa promosi mulu, nah dia deketnya ama bos – bos gede. Gampang aja buat dia naik level, padahal kerjaannya jalan – jalan mulu. Balik kantor ngurusin claim, meeting, jalan – jalan lagi.

Mereka cuma melihat hasilnya saya tiap tahun dapat promosi, naik level, naik gaji. Yang mereka tutup mata padahal tahu dengan pasti kalau kerjaan saya tidak hanya sekedar “jalan – jalan” melainkan ya memang kerja tapi tidak di kantor. Mereka tahu pasti kalau nyaris tiap malam saya lembur dan pulang dini hari. Mereka tahu pasti kalau sedang di luar kota, saya jelas bukan jalan – jalan tapi ngurusin kerjaan di lapangan trus sampai hotel masih harus mengerjakan laporan ini itu. Mereka tahu pasti kalau saya dekat dengan bos – bos besar karena ya memang laporan saya ke mereka dan saya itu bawahan langsung mereka. Jadi, orang – orang yang menuding dan bilang iri tersebut tutup mata dengan segala proses berdarah – darah yang saya lewati, tapi yang mau dilihat bahwa saya ini enak kerjaannya sim salabim langsung naik jabatan, naik gaji padahal anak baru. Mereka padahal tau kerjaan saya tidak mudah dan apa yang saya dapatkan tiap tahun itu ya hasil dari kerja keras saya, bukan hanya leyeh – leyeh semata. Heran, gitu kok ya sempat – sempatnya iri wong saya berhak atas segala pencapaian tersebut.

Ya kalau mau hasilnya saja tapi tidak mau melewati prosesnya, akeh koncone Cak! Ini padahal yang dilihat mata tiap hari, masih saja tudingan ini itu disampaikan. Kalau mau enaknya saja tanpa mau melewati prosesnya, ya jadilah anak sultan yang tanpa bekerja keras sudah bergelimang harta macam Paman Gober.

PANDEMI

Saat ini, negara – negara di Eropa (Saya tidak terlalu mengikuti perkembangan saat ini sebenarnya untuk seluruh negara di Eropa, hanya tahu beberapa gelintir saja beritanya), sudah mulai ada pelonggaran aturan terkait pandemi. Di Belanda sendiri, sabtu besok sudah ada banyak sekali pelonggaran aturan misalkan tidak adanya lagi kewajiban memakai masker di semua tempat kecuali tempat – tempat yang susah menjaga jarak misalkan di kendaraan umum, sudah bisa menerima tamu tanpa ada batasan maksimal, sudah bisa berkumpul dengan banyak orang di luar ruangan tanpa batas maksimal dan sebagainya. Kehidupan perlahan tapi pasti sudah menuju normal. Vaksin pun di sini cepat sekali sudah menjangkau umur yang muda. Jadwal konser pun sudah mulai padat.

Lalu saya membaca sliwar sliwer status dari mereka yang di Indonesia, menuliskan semacam begini : Iriiii banget dengan Eropa yang sudah mulai berjalan normal lagi kehidupannya. Kita – kita yang di sini jalan di tempat malah nambah banyak kasus baru. Kapan deh Indonesia ini kayak Eropa, sudah enak banget sekarang bisa nonton konser, nonton bola rame – rame tanpa masker.

Kalian – kalian yang menulis itu, yang sehari – harinya tetap runtang runtung ha ha hi hi dempet – dempet an, masih doyan nongkrong bareng, senam rame – rame satu ruangan tanpa ada jarak yang cukup luas, datang ke kondangan rame – rame penuh sesak, liburan tetap jalan lintas provinsi kota negara, lalu dengan sadar menulis status tersebut iri pada keadaan Eropa saat ini. Pernah tidak timbul iri pada kami di sini yang 1.5 tahun ini berjuang mengikuti segala anjuran pemerintah. Pernah tidak terbersit iri pada kami di sini yang mau ketemu orangtua saja harus kami tahan – tahan sekian bulan lamanya padahal jarak antar rumah tidak terlalu jauh. Pernah tidak kalian iri pada kami yang tidak bisa keluar sampai malam karena ada jam malam yang kalau dilanggar denda besar menanti. Pernah tidak kalian iri pada banyak usaha di sini yang bangkrut karena pandemi berlangsung, banyak yang terkena pemutusan hubungan kerja, pada anak – anak yang tidak punya kehidupan normal bisa bermain dengan yang seusia dan harus puas main di rumah saja. Pernah tidak ada rasa iri saat kami benar – benar di rumah saja tidak bisa bertemu teman – teman, mau ke sana sini segalanya terbatas karena lokdan lokdon sampai berseri – seri. Pernah tidak kalian iri saat kami penuh rasa cemas mengirim anak ke sekolah padahal situasi masih belum aman benar, deg – degan kalau ada apa – apa nantinya dengan anak bagaimana. Pernah tidak kalian iri dengan rasa takut yang kami rasakan dengan adanya pandemi ini sehingga kami dengan sadar diri benar – benar menjaga diri di sini supaya semua cepat selesai, sadar menghindari kerumunan supaya virus tidak makin merajalela.

Yang kalian lihat saat ini adalah hasilnya dari proses yang berdarah – darah dari semua lapisan di sini selama 1.5 tahun. Kalian – kalian yang menulis status seperti itu, bisa lho seperti kami saat ini, jika kalian ambil bagian berpartisipasi tertib sadar diri untuk tidak makin memperkeruh keadaan dan suasana di Indonesia. Bisa lho ambil bagian yang paling gampang saja untuk tidak berkumpul tidak jelas kepentingannya supaya kasus positif di sana semakin menurun. Bisa lho menahan sejenak hasrat untuk tidak liburan kalau kondisi saat ini belum memungkinkan, kalau tidak ada kepentingan yang sangat mendesak. Jadi, kalian yang menulis iri pada kondisi di Eropa saat ini, sudah seberapa jauh partisipasi kalian membuat kasus positif di sana makin menurun. Sudah seberapa besar kesadaran kalian menjaga diri sendiri dan orang lain. Sebelum menuliskan kata iri pada hasil saat ini, pernahkan kalian iri pada proses yang kami jalani 1.5 tahun ini? *Iya, ini saya menuliskan dengan rasa gemas. Gregetan nemen rasane. Kalau kata sahabat saya tadi : Ikhtiarnya beda, hasilnya juga beda.

Jadi, jangan iri kalau ikhtiar kalian sebatas ongkang – ongkang kaki nangkring kanan kiri rame – rame setiap hari di tempat keramaian, trus nulis iri dengan kondisi di Eropa saat ini.

KEHIDUPAN DI LUAR NEGERI

Membaca komen dari Eva, jadi terpikir menambah tulisan ini satu poin. Saat masih tinggal di Indonesia, setiap melihat kenalan atau teman yang tinggal di luar negeri, suka terbersit rasa iri. Merasa kalau tinggal di LN seperti di Eropa atau Australia itu kok rasanya enak sekali. Berasa nyaman melihatnya, berasa kehidupan mereka kok enak sekali. Nampaknya saat itu saya termakan tampilan di film romantis yang pengambilan gambarnya tentu saja diambil bagian yang indah – indahnya saja.

Sekarang, saat sudah tinggal di Eropa, jadi tahu aslinya seperti apa. Yang ditampilkan mereka yang saya lihat dulu memang tidak salah. Sekali lagi, mereka menampilkan hanya yang ingin ditampilkan saja. Ya cerita dibaliknya biasanya disimpan dalam tumpukan baju yang belum sempat diseterika. Setelah saya mengalami sendiri saat ini tinggal di Belanda, woohhh ternyata yo ga semulus yang dibayangkan dahulu kala. Penuh perjuangan. Dari adaptasi bahasa, adaptasi cuaca, lingkungan, masyarakat sekitar dsb. Belum lagi susah minta ampun cari kerja yang sesuai minat, latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja sebelumnya. Belum lagi drama – drama pertemanan, kangen dengan makanan asli Indonesia, kangen dengan saudara – saudara, tidak punya saudara sedarah di tanah rantau, birokrasi setempat, semua dikerjakan berdua tanpa ada mbak yang membantu, mau makan tempe aja penuh perjuangan, dan segunung permasalahan yang ada.

Tinggal di sini memang enak, nyaman, dan menyenangkan. Tapiii itu semua tentu saja tidak afdol kalau tidak disertai lika liku kerikil dan sandungan. Jadi, jangan melihat enak – enaknya saja ya kalau melihat kami yang di sini. Kami setiap hari berjuang dengan segala adaptasi yang ada. Jangan melihat yang tinggal di LN itu otomatis bergelimang harta ya. Kami di sini tidak kalah kencangnya untuk menabung dan berhemat. Maklum, bukan keturunan sultan yang bisa mandi uang setiap hari. Jangan melihat mereka yang pekerjaannya sudah ok itu mendapatkannya dengan mudah ya. Ada perjuangan panjang dibaliknya, berdarah – darah sampai posisi bagus saat ini. Jangan melihat kalau menikah dengan WNA itu pasti jaminan mutu nyaman ya. WNA bukan mesin ATM yang kapanpun bisa mengeluarkan uang. Ada cerita yang sering tak ditampilkan bagi pasangan yang mengikuti tinggal di LN. Ada harga yang harus dibayar saat meninggalkan tanah air.

Jadi, tidak perlu iri dengan kami yang tinggal di LN. Kita sama, berjuang setiap hari dengan permasalahan masing – masing. Saat musim dingin, perjuangan tinggal di sini jadi semakin berlipat. Semua tempat pasti ada enak dan tidaknya. Sudah satu paket. Kita sama, bahagia tiap saat dengan berkah masing – masing. Tidak usah iri pada mereka yang menikah dengan WNA. Percayalah, yang kalian lihat nampak mulus – mulus saja, tidak selalu seperti itu. Kembali lagi, apa yang kalian lihat di media sosial, itu adalah yang memang ingin ditampilkan. Bagian gosrek WC kan ya males untuk ditampilkan di media sosial. Bagian berantem dengan pasangan masak iya musti dipamer di medsos. Banyak bagian – bagian kami simpan sendiri. Tak perlu semua orang tahu.

Hidup memang sawang sinawang. Melihat yang lain nampak lebih baik hidupnya. Padahal kalau melihat hidup sendiri, tak terhitung berkat yang bisa disyukuri. Jadi, sering – sering menengok diri sendiri ya, jangan terlalu lama melihat yang jauh dari mata. Nanti mata jadi sakit dan hati jadi jauh dari rasa syukur.

MEDIA SOSIAL

Dengan adanya media sosial yang berlomba – lomba ingin menampilkan apa yang terbaik dari penggunanya, tak hayal hal tersebut gampang memantik rasa iri dari yang melihat. Ada satu yang terlupa, bahwa yang ditampilkan mayoritas adalah hasilnya, bukan prosesnya.

Ada yang menampilkan badan jadi langsing dan berbentuk, lalu jadi iri. Membandingkan dengan diri sendiri yang badannya masih ginuk – ginuk. Sudah tanya belum pada yang bersangkutan prosesnya bagaimana badan jadi bagus begitu. Kalau sudah dikasih tau prosesnya dengan mengatur pola makan lebih sehat dan rutin olahraga, mau mengikuti tidak? Jangan – jangan tidak mau bersusah payah berusaha, hanya berhenti pada rasa iri saja lalu jadi penyakit hati.

Kalau melihat ada rumah kece dengan desain yang bagus, lalu timbul rasa iri dan merutuki diri sendiri kenapa tidak bisa punya rumah semacam itu. Sudah pernah berusaha semaksimal mungkin belum supaya punya rumah impian semacam itu? Pernah menjadikan postingan rumah bagus tersebut sebagai motivasi untuk semakin rajin menabung, rajin berinvestigasi, mencari pekerjaan yang lebih baik supaya dapat gaji yang lebih besar? Jika semua sudah dilakukan tapi rumah yang diimpikan tersebut belum terjangkau, ya sudah syukuri yang ada sekarang. Jangan merutuki diri sendiri dan melihat rumah yang ada saat ini terlihat jelek. Bagaimanapun juga, tempat berteduh yang sekarang pun hasil dari keringat sendiri, tidak mengutang, dan jadi hunian yang sangat layak. Mungkin nanti ada rejeki lebih dan berjodoh dengan rumah yang diinginkan, itu urusan nanti saja. Kalau terlalu jauh melihat, terkadang suka lupa mensyukuri yang ada di depan mata.

Kalau melihat postingan anak yang sudah pintar ini itu lalu timbul rasa iri kenapa anak sendiri tidak bisa, sudah pernah tanya prosesnya bagaimana anak tersebut sudah bisa? Sudah pernah tahu konsep bahwa tiap anak unik dengan kemampuan yang berbeda? Sudah pernah tahu proses dari orangtuanya bagaimana mengajari mereka? Apakah pernah bertanya kepada anak tersebut dia bahagia dengan apa yang dia bisa sekarang? Pernah melihat sendiri apakah mereka menikmati prosesnya? Jangan – jangan yang melihat hanya silau pada hasil karena tidak pernah ditampilkan prosesnya seperti apa. Silau pada senyuman orangtua dan si anak. Lupa bersyukur bahwa anak sendiri pun kemampuannya banyak yang bisa dibanggakan.

Hanya karena beda dengan anak orang lain di media sosial, mata jadi seperti terbutakan dengan apa yang ada di depan. Ini saya mendapatkan banyak cerita beberapa tahun lalu kalau ibuk – ibuk suka membandingkan anaknya dengan anak artis A, pesohor B atau anak siapapun yang kok dirasa pintar sekali sudah bisa salto, sudah bisa koprol, bisa menyelam sambil dansa -misalnya- sedangkan anak sendiri kok ga bisa. Lalu mengeluh dan memarahi anaknya kenapa kok ga bisa begini begitu. Lah kan ya sedih kalau begitu. Jangan begini ya para orangtua. Jangan silau dengan apa yang nampak di media sosial. Kita tidak tahu dibalik apa yang ditampilkan di sana.

Banyak hal – hal di media sosial yang bisa dijadikan contoh bagaimana hal – hal yang nampak sederhana saja gampang menimbulkan rasa iri. Kita lupa, bahwa yang tertampilkan adalah hanya apa yang ingin mereka tampilkan/ Seringnya, mereka atau kita semua menampilkan hasil akhirnya saja. Tentu saja ingin menampilkan yang indah – indah saja. Yang sepet, kita simpan sediri. Prosesnya sering tidak ditampilkan, lalu membandingkan proses dan keadaan saat ini dengan hasil yang sudah mereka capai. Ya, tidak apple to apple.

MENGELOLA RASA IRI JADI MOTIVASI

Bedakan rasa iri dan kagum ya. Kagum itu benar – benar memuji, takjub, tercengang dengan hasil yang orang lain lakukan, atau proses yang mereka sedang kerjakan. Sedangkan iri, ada rasa semacam kurang senang dengan apa yang dilihat pada orang lain, pada apa yang sedang mereka kerjakan, pada apa yang terjadi pada lingkungan sekitar lalu membandingkan dengan diri sendiri. Iri ini asosiasinya dengan rasa negatif.

Bisa lho sebenarnya menjadikan rasa iri sebagai motivasi. Ini bukan toxic positivity ya, hanya berbagi pengalaman dari saya yang dulu saat masih muda sering terbersit iri pada orang yang bisa ini itu. Seiring bertambahnya umur, pikiran jadi lebih jernih. Bisa diajak untuk berpikir lebih positif. Saya lalu mengelola rasa iri yang saya miliki menjadi rasa kagum lalu menjadikan motivasi supaya saya bisa seperti itu. Misalkan saat ini, saya punya akun IG khusus untuk jualan usaha rumahan yang saya miliki. Mayoritas, saya mengikuti akun – akun yang juga jualan kue dan roti atau mereka yang berkreasi di bidang tersebuh. Saya suka sekali dengan yang mereka lakukan. Hasil kreasinya sungguh mencengangkan sangat bagus. Alih – alih ada rasa iri, saya malah suka sekali melihat mereka berkreasi, kagum dengan proses dan hasilnya. Lalu saya memotivasi diri sendiri pasti suatu saat bisa sebagus mereka kalau banyak latihan. Jadinya sekarang saya sering latihan dengan melihat tutorial dari mereka. Saya bersemangat sekali berlatih.

Saya sering mendengar kalau IG itu toxic sekali. Dulu waktu saya masih punya akun IG (tahun 2015) rasanya ya saya santai aja tuh ga ada rasa iri dengki sama postingan orang. Sekarang punya akun jualanpun ya biasa saja. Malah sekarang senang karena dapat banyak ilmu gratis.

Medianya tidak salah. Mungkin yang salah adalah cara pandang, pikiran, hati dan salah follow orang. Kalau sudah engap di hati dan irinya semakin menumpuk jadi dengki lalu tidak bersyukur dengan apa yang dimiliki, mungkin itu saat yang tepat untuk keluar sebentar dari hingar bingar media sosial. Kembali ke kehidupan nyata dan melihat segala yang nyata di depan mata. Menapak kembali ke bumi supaya lebih sadar bahwa bagaimanapun hidup kita ini dalam dunia nyata, bukan hanya memandangi layar media sosial saja.

INTINYA

Rasa iri itu wajar, namanya juga manusia. Kalau tidak punya rasa iri malah dipertanyakan sisi kemanuasiaannya. Yang tidak wajar kalau rasa iri tersebut malah menghambat aktifitas sehari – hari dan lupa bersyukur dengan apa yang sudah dimiliki saat ini. Yang jadi tidak wajar itu kalau rasa iri lalu menjadi dengki dan jatuhnya jadi fitnah sana sini, sibuk menjatuhkan pihak yang dilihat lebih cemerlang.

Iri sewajarnya, secukupnya, lalu bangkit dan lakukan yang terbaik versi kita. Irilah pada sebuah proses, bukan hanya hasil semata. Supaya bisa menjadikan rasa iri itu menjadi penyemangat. Kelola rasa iri jadi sebuah motivasi. Jadikan motivasi supaya kita makin hari semakin baik.

Selamat berakhir pekan!

*Aslinya pembicaraan tadi pagi dengan sahabat saya itu seputar pandemi. Jadinya saya malah membahas sana sini di tulisan kali ini. Saking gemese karo wong – wong sing nulis iri karo Eropa dan mbandingno karo Indonesia tapi senengane kemruyuk gerombolan ga jelas tujuane opo.

-25 Juni 2021-