Kali ini saya mau menulis yang retjeh-retjeh saja. Bahasan tentang manusia tertentu yang seringkali merendah untuk meninggi. Saya selalu punya masalah tersendiri dengan tipe orang seperti ini. Saya yang bermasalah, bukan mereka. Rasanya ingin misuh-misuh kalau berjumpa di dunia nyata maupun di dunia maya. Pasti pernah ketemu kan dengan manusia tipe ini? Atau kalian yang membaca tulisan ini penah jadi salah satu pelakunya *belum apa-apa langsung menuduh.
Biasanya kalau lagi kesel baca keterangan atau omongan mereka, langsung saya samber saja dengan kalimat sepedas omongan tetangga. Kalau lagi males ya saya tinggal pergi. Lha males nanggepi kan. Misal :
Berat Badan
Pengen ngatain orang yang nulis di keterangan foto, misal : Berat Badan nambah 5kg nih padahal cuma makan pete sama sambel aja. Sebel badanku jadi kelihatan gendut di foto, lemak terasa bergelantungan.
Kenyataannya saudara sebangsa setanah air, nampak di foto badannya langsing dengan bentuk yang nyaris sempurna. Lha gendut e sebelah endi lak ngono, lemak bergelantungan iku maksude gelantungan nang pasar ta yok opo. Ini memang roaming ya yang tidak paham bahasa Jawa. Karena uneg-uneg akan lebih tersampaikan kalau saya pakai bahasa Jatim an. Pengen dipuja puji kok sedemikian hingga caranya.
Atau ada lagi kalau ketemu langsung, bilang seperti ini : Aku nih ketok gendut yo Den, naik 1kg lho. Sekarang BB ku jadi 46kg. Batinku : Awakmu apik koyok ngono kok rumongso gendut, waras ta yok opo mikirmu. Kalau saya males basa basi biasanya saya jawab : Iyo, ketok lemu.
Wes sak karepmu, males komen aku.
Foto Diri
Ada yang pasang foto diri dengan dandanan yang bagus dan memang mukanya cantik. Eleganlah pokoknya. Lalu keterangannya, misalkan : Dandananku kok elek ya, mukaku kayak orang capek. Ga seger.
Meminjam kata-kata Kak Timmy yang populer di jagad Twitter : Stevie Wonder juga bisa ngelihat kalau kamu cantik. Baca komen-komen yang meyakinkan kalau dia cantik dengan dandanan seperti itu, dia tetap menyanggah kalau dia merasa tidak cantik. Trus saya komen : Lek dirimu merasa ga cantik, yo mungkin ancene asline nggak.
Bwuahaha jahat ya. Jarno. Lha semua komen yang masuk bilang cantik dia masih menyanggah, trus opooo karepmu.
Hasil Masakan
Hasil masakan lengkap satu meja penuh, dengan tulisan : masakan sederhana, apa adanya.
Hasil masakannya : ayam goreng, sate ayam, cap cay, nasi goreng, rendang, gulai, tahu, tempe, sambel, lalapan, ikan goreng, dll. Lalu saya akan komen : Masakan Restoran Sederhana ya maksudnya, apa adanya di sana lalu dibeli semua, jadi semeja makan.
Mangkelno yo komenku. Lha makanan lengkap sak meja penuh, sederhananya dilihat dari sudut apa.
Saling Memuji Tanpa Henti
Pasti pernah tahu keadaan seperti ini. Dalam satu pembicaraan, ada beberapa orang yang saling memuji tiada henti. Karya mereka bagus – bagus semua :
A : Lukisanmu bagus sekali itu, punyaku catnya ga rata, jadinya njlembret semua.
B : Ga lah, punyamu lebih bagus dari punyaku. Lihat ini punyaku ga kelihatan objek lukisannya kayak apa
A : Duh, ga bisa dibandingkan lah. Punyamu lebih bagus
B : Nggak, punyamu yang lebih bagus
………………. begitu seterusnya sampai Ahok jadi presiden RI.
Kalau dipuji begitu, biasanya saya akan ucapkan terima kasih. Kalau memang saya merasa hasil yang saya kerjakan bagus, ya saya akan komen hal lainnya misalkan : ini nampak bagus karena perpaduan cat A, B, C. Saya memang ada bibit congkak sih, jadi kalau dipuji tidak pernah merendah hahaha *congkak kok bangga. Ya buat apa merendah kan kalau hasil kerja keras kita memang bagus adanya. Ucapkan saja terima kasih pada yang memuji. Lalu berikan apresiasi juga pada hasil karya orang lain.
Itu hanya beberapa contoh ya, aslinya saya masih banyak contoh lainnya. Cuma terlalu panjang kalau saya tuliskan. Dari hasil pengamatan saya selama ini, tipe manusia seperti ini disebabkan karena 3 hal :
Memang Haus Pujian
Mereka sudah tau kalau punya kemampuan dan kapasitas yang lebih, hasil karya yang bagus, tapi karena memang ingin disanjung-sanjung, jadi mengeluarkan jurus merendah untuk meninggi. Mereka sudah punya kecenderungan sifat seperti ini. Biasanya sudah saya tandai, sudah tercium gelagatnya. Aslinya pengen pamer, tapi disamarkan dengan nampak direndahkan.
Tidak Percaya Diri
Mereka memang tidak percaya diri karena tidak pernah mendapatkan pujian dalam kehidupan nyata, misalnya. Jadi untuk menaikkan rasa percaya dirinya, dengan mengunggah di dunia maya supaya mendapatkan pujian, jadi rasa percaya dirinya meningkat.
Tidak Sadar Kalau Sedang Merendah Untuk Meninggi
Mungkin saya pernah di posisi seperti ini. Mungkin ya, tapi rasanya tidak pernah. Mungkin memang aslinya tidak sedang pamer, tapi penangkapan orang beda. Ya mungkin itu juga yang terjadi pada saya yang bermasalah dengan orang merendah untuk tinggi. Mungkin mereka tidak seperti itu, cuma saya yang terlalu berprasangka.
Saya berkomentar pedas ke orang yang tercium gelagat merendah untuk meninggi itu bukan ke sembarang orang ya, hanya ke orang – orang yang sudah saya kenal sebelumnya. Saya mencoba tidak berkata pedas seperti itu ke orang – orang yang tidak saya kenal karena tidak tahu latar belakang mereka seperti apa. Saya judes pun masih mikir. Paling kalau membaca atau bertemu orang seperti itu, saya akan diam saja. Memakai jurus : Sak karepmu.
Sekian tulisan receh minim mutu. Sesekali blog ini ditulis dengan hal -hal yang ringan saja, jangan hal – hal yang selalu bermutu (nah kalau begini, keluar congkak saya). Nanti kalau diisi tulisan terlalu bermutu, dipikir yang punya blog hidupnya lurus dan positif terus. Padahal ya saya ini manusia penuh gemilang dosa, sering judes dan disengaja untuk khilaf.
Jadi wahai umat manusia, kurang-kurangi sifat merendah untuk meninggi. Tidak perlu sungkan kalau mau pamer. Pamer adalah hal yang wajar. Perkara nanti dikomentari pedas oleh netijen, itu perkara lain. Resiko.
Ada yang mau berbagi cerita di kolom komen tentang orang seperti ini?
Selamat memulai minggu dan bulan baru, sehat-sehat selalu.
Tidak menyangka, salah satu anggota keluarga (pada akhirnya) ada yang bersinggungan dengan SWAB test. Baiklah, akan saya ceritakan runut dari awal ya.
Hampir 2 minggu ini, Belanda menerapkan parsial lockdown. Ada beberapa yang mulai diperketat yaitu horeca ditutup (hanya boleh pesan bawa pulang), penerapan jam malam beraktifitas di luar (maksimal sampai jam 8 malam), menerima tamu maksimal 3 orang dalam satu hari (tidak termasuk anak-anak), pembelian terakhir minuman beralkohol jam 8 malam dan beberapa aturan lainnya. Untuk sekolah, tetap masuk seperti biasa. Meskipun penelitian yang dilakukan pemerintah sini bilang kalau tingkat penyebaran virus di sekolah itu lebih tinggi daripada horeca, tetap sekolah tidak ditutup sementara karena proses belajar mengajar di sekolah penting *lalu batinku : kalau anak-anak sekolah dari rumah (online), paling nggak mereka dan anggota keluarga kemungkinan tidak tertularnya lebih tinggi dibandingkan mereka tetap sekolah dan bawa virus ke rumah. Anak sekolah dari rumah, masih bisa hidup. Lha anak masuk sekolah trus mati, lak ga onok gantinya. Kasarnya saya mikir seperti itu
Ada satu aturan lagi yang sulit diterima, paling tidak buat kami pribadi. Jadi, kalau ada anak sekolah yang sakit lalu tes SWAB, sambil menunggu hasilnya mereka tetap boleh masuk sekolah. Hasil tes SWAB keluar dalam waktu 48 jam. Lha, kalau ternyata mereka positif, sudah berapa orang itu yang kemungkinan tertular di sekolah dan membawa virus ke rumah lalu menulari orang rumah? Sering saya tidak paham aturan pemerintah sini yang ngambang, berasa kurang tegas. Kayak yang antara iya dan tidak. Jadi orang disuruh mikir sendiri, padahal kan tidak semua orang bisa berpikir rasional. Wes mbuh lah sak karepmu.
Panjang lebar saya tuliskan tentang aturan sekolah selama pandemi, karena berhubungan dengan apa yang terjadi di rumah kami. Sebagai keluarga yang mempunyai anak usia sudah masuk sekolah, situasi saat ini benar-benar horor buat kami. Sekolah tidak lagi sama seperti sebelum Maret. Sekolah kan memang sumbernya penyakit. Satu anak sakit, bakal menulari yang lainnya, apalagi untuk anak balita yang masih membangun daya tahan tubuh mereka. Tergantung imun masing-masing anak juga tentunya. Setelah intelligent lockdown dicabut bulan Mei (jadi sekolah sempat online sejak Maret sampai Mei) sebenarnya ada aturan dari pemerintah yang menyebutkan jika anak sedang sakit (batuk, pilek, demam dsb) atau ada anggota keluarga yang sakit, mereka tidak boleh masuk sekolah. Wah senang donk dengan aturan ini. Paling tidak jadi tahu kalau mereka yang di sekolah adalah anak-anak yang sedang tidak sakit dan anggota keluarganya juga tidak sakit. Tapi sejak Juli, aturan tersebut dicabut. Jadi, kalau sakit atau anggota keluarga sakit, tetap boleh masuk sekolah (kecuali sakit Corona jelas tidak boleh ke sekolah).
Dengan aturan baru ini, apalagi di situasi saat ini, akhirnya seperti mengirimkan anak ke medan perang. Pergi sehat wal afiat, pulang-pulang bisa sakit dan menularkan ke anggota keluarga lainnya. Sebenarnya sebelum ada Corona, keadaan ini adalah hal yang biasa. Ya terbiasa dengan anak yang sakit karena bawa penyakit dari sekolah. Tapi sejak ada Corona, begitu si anak sakit lalu menularkan pada yang lain, pikiran jadi macam-macam, cemas dan was-was ini sebenarnya sakit pilek batuk panas biasa atau ada penyakit lainnya. Selama Corona pun, sudah 3 kali anggota keluarga (kecuali saya) sakit berjamaah ya karena anak bawa penyakit dari sekolah lalu nulari yang di rumah. Tapi tidak separah kali ini.
Nah, ternyata masing-masing sekolah punya aturan sendiri meskipun pemerintah menerapkan aturan umum untuk sekolah. Jadi ada sekolah yang menuliskan kalau anak sakit, tidak boleh masuk sekolah sampai sembuh. Ada yang boleh masuk sekolah tapi kalau makin parah diminta tes SWAB. Ada yang boleh masuk sekolah seperti biasa. Di sekolah anak kami pun ada aturan sendiri. Jadi mereka mengirimkan email seperti ada pohon screening, kapan anak boleh masuk kapan harus tinggal di rumah. Tapi kami tidak mengikuti aturan sekolah tersebut. Kami membuat aturan sendiri. Kalau anak sakit, dia harus tinggal di rumah sampai sembuh. Kami tidak mau mengirim anak kami ke sekolah karena menghindari menularkan sakit ke anak-anak lainnya (dan gurunya tentu saja) dan dia juga bisa tertular sakit anak lainnya (karena daya tahan tubuh menurun saat sakit).
Walhasil, setiap masuk satu minggu, dia jadi sakit dan akan tinggal di rumah minimal 2 minggu sampai benar-benar sembuh. Terakhir masuk sekolah (sekitar 3 minggu lalu), diinformasikan kalau salah satu guru di kelasnya sedang sakit dan sedang menunggu hasil tes SWAB. Wah, saya sudah mulai tidak enak hati dan kepikiran. Bagaimana kalau hasilnya positif. Pada hari yang sama, kami menerima email dari sekolah yang menyebutkan hasil dari tes guru tersebut, positif. Ditulis juga kalau si guru akan karantina mandiri selama 14 hari dan 2 guru lainnya (dalam satu kelas ada 3 guru) langsung tes juga. Dheg! bimbanglah kami. Ini bagaimana jadwal sekolah berikutnya masuk apa tidak karena ada pemberitahuan bahwa proses belajar di sekolah berjalan seperti biasanya hanya guru di kelas dia akan diganti sementara dengan mendatangkan guru dari cabang lainnya. Setelah mempertimbangkan A-Z, akhirnya kami memperbolehkan anak masuk.
Setelah hari terakhir masuk sekolah, 2 hari kemudian dia mulai pilek, batuk, badan menghangat. Muuuulaiiii, pikir kami. Lalu 2 hari kemudian, semua yang di rumah, sakit berjamaah, kecuali saya. Sampai saat ini, bersyukurnya, saya masih sehat tanpa ada gejala sakit sedikitpun. Mulailah minggu-minggu sibuk saya mengurusi semua yang sakit di rumah. Biasa saya dan suami mengerjakan berdua, eh ini suami ikut sakit jadi dia juga terbatas bisa bantu. Pontang panting semua hampir saya kerjakan sendiri. Segala urusan di rumah, urusan di luar rumah, merawat yang sakit, semuanya. Tapi saya bersyukur masih bisa istirahat tengah hari. Paling tidak jika badan saya sudah capek, saya tidak meneruskan pekerjaan *langsung kumerindu tukang pijet untuk meluruskan urat-urat yang mringkel dan mbak yang bersih-bersih rumah. Kadang saya berpikir jangan-jangan saya ini orang tanpa gejala yang ternyata menulari orang di rumah. Setiap mereka sakit, saya baik-baik saja. Bersyukur saya sehat karena tidak terbayang kalau ambruk semua.
Seminggu berlalu, yang lainnya mulai membaik, kecuali suami yang kondisinya kok makin parah. Suhu tubuh tidak stabil kadang meningkat panas, kadang normal. Batuknya mulai dalam sampai susah untuk dibuat ngomong, tersendat-sendat menahan batuk. Badannya terasa sangat lemas. Indera penciuman dan perasa dia tidak ada masalah, masih normal. Pernafasannya pun normal. Badannya sempat nyeri di otot tapi tak berapa lama hilang. Bahkan 3 hari dia sempat tidak kerja. Sejak Maret sampai sekarang dia kerja dari rumah, tidak pernah masuk kantor sama sekali. Dengan kondisinya yang tidak stabil seperti itu, saya menyarankan dia untuk daftar tes SWAB saja. Memastikan sakitnya dia ini karena ada hubungan dengan Corona atau sakit lainnya. Setidaknya jadi tahu langkah selanjutnya harus bagaimana. Akhirnya dia mendaftar tes di website Corona Test menggunakan akun DigiD. Dia langsung dapat jadwal keesokan harinya. Tesnya gratis.
Tempat tes dari rumah kami sangat dekat, jadi suami ke sana naik sepeda. Ruangan tes bagi mereka yang datang naik sepeda atau jalan kaki, dipisah dengan mereka yang datang naik mobil.
Setelah tes, diberikan kertas yang berisi keterangan hasil tes akan keluar dalam waktu 48 jam (notifikasi hasil sudah keluar melalui email tapi hasil positif atau negatif langsung di akun DigiD) dan juga apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama menunggu hasil tes. Misalnya tidak boleh ke luar rumah. Malam hari setelah suami tes, saya gundah gulana donk. Mikir bagaimana nanti kalau hasilnya positif. Selama 2 minggu saya benar-benar capek secara fisik dan mental merawat yang sakit, ketambahan suami tes SWAB, memendam kekhawatiran sendiri, meledaklah malam itu saya menangis. Terjadi percakapan berikut ini :
Saya : Besok bagaimana ya kalau hasilnya positif. Kamu jangan ninggalin kami lho. Pokoknya kamu jangan mati sekarang. Kamu musti tetap hidup sampai berpuluh-puluh tahun lagi *sambil menangis
Suami : Lho ya aku ga ada rencana buat mati sekarang *dengan muka datar.
Awalnya saya menangis, begitu mendengar jawabannya yang pendek dan datar, jadi tertawa terbahak-bahak. Kok ya kocak gitu lho jawabannya.
Keesokan harinya, pagi hari hasil sudah keluar. Tidak sampai 15 jam. Alhamdulillah hasilnya Negatif. Hati saya langsung mak nyless begitu diberi tahu hasilnya. Lega. Berkurang setengah kekhawatiran. Setengahnya lagi masih khawatir karena suhu badan suami masih naik turun, badan masih lemas, dan batuknya masih dalam. Besok dia ada rencana telpon dokter untuk minta diperiksa sebenarnya ada apa dengan badannya. Semoga bukan sakit yang serius. Semoga hanya sakit karena pergantian musim.
Minggu depan sudah mulai masuk sekolah. Seminggu lalu sekolah libur musim gugur. Kami sudah berdiskusi kalau seminggu pertama anak tidak kami hantarkan sekolah. Biar di rumah dulu sambil melihat situasi terkini di sekolah dan di Belanda. Angka tes positif di sini sampai saat ini makin meningkat dan selasa minggu depan akan ada konferensi pers lanjutan.
Mengurus seorang diri anggota keluarga yang sakit benar-benar lelah secara badan dan mental, ketambahan lagi saat pandemi seperti ini. Pikiran ke mana-mana ditambah masih tetap mengerjakan rutinitas yang lainnya. Bagi yang sekarang ada anggota keluarga yang sedang sakit, jangan lupa jaga kesehatan diri sendiri juga ya. Klise tapi saya ingatkan jangan telat makan, tetap sediakan waktu untuk istirahat, cari teman bicara untuk sekedar curhat. Lakukan hal yang sekiranya bisa mengalihkan sesaat fokus dari yang sakit, misalnya jalan-jalan sebentar ke lua rumah, sepedahan, olahraga, baca buku, nulis blog, atau mainan media sosial. Tetap waras secara sehat dan mental itu sangat perlu.
Semoga kita semua tetap sehat jasmani dan rohani. Jaga jarak, gunakan masker di tempat umum, sering-sering cuci tangan, hindari kerumunan, tidak usah pesta-pesta terlebih dahulu, tidak usah kumpul-kumpul terlebih dahulu, keluar rumah seperlunya saja, dan makan makanan yang bergizi. Tidak kalah pentingnya, jangan lupa bahagiakan diri. Kita tidak bisa bergantung sepenuhnya pada pemerintah. Lakukan apa yang bisa dilakukan untuk melindungi diri dan keluarga. Hal-hal yang susah diterima dari peraturan pemerintah, sudah diluar kuasa kita. Kita lakukan yang dalam kuasa kita saja, minimal seperti itu. Daripada ruwet sendiri.
….. untuk menyapa teman, kerabat, kenalan yang sudah lama tidak terdengar kabarnya. Luangkan waktu sejenak untuk menyenangkan, membuat bahagia, dan berterima kasih pada diri sendiri.
Belanda selalu diguyur hujan, nyaris 3 minggu ini. Matahari sudah sangat jarang terlihat cerah. Setiap hari jika menatap ke luar, yang tampak hanya langit berwarna abu, hujan, angin, dan pasti dingin. Kombinasi yang pas untuk membuat hati dan pikiran gampang tertekan, cemas, dan sedih. Apalagi saat pandemi. Memasuki musim penghujan saat ini, ingatan saya selalu terlempar 3 tahun lalu.
Sekitar musim gugur lalu berlanjut ke musim dingin, kondisi mental saya saat itu sedang tidak stabil. Bukan karena ada masalah di tempat kerja, bukan juga karena hubungan yang tidak harmonis dengan suami, juga bukan karena ada masalah keluarga di Indonesia. Faktor hormon ditambah kondisi cuaca yang seperti saya tuliskan sebelumnya. Ada satu faktor lagi sebenarnya, hanya tidak bisa saya ceritakan di sini. Beruntungnya, saya punya tempat untuk berbicara, menumpahkan semua yang saya rasakan supaya sedikit lega. Ada suami, sahabat- sahabat selama 22 tahun yang tergabung di grup aplikasi pesan, dan juga seorang professional.
Yang saya ingat saat itu, ada rasa kosong, hampa, tapi di sisi lain ada rasa bahagia. Waktu itu saya tidak tahu, sebenarnya apa yang terjadi. Banyak pertanyaan yang datang di kepala, silih berganti seperti tidak lelah selalu membuat pikiran terjaga. Hati terasa berat seperti ada beban yang susah dipindahkan. Kosong, hampa, sesak juga pengap tidak pernah alpa datang setiap saat. Keadaan seperti itu berlangsung berbulan lamanya, meskipun perlahan akhirnya membaik. Hanya sedikit orang yang tahu kondisi saya saat itu. Kondisi mental saya yang sebenarnya.
Saat sadar bahwa saya sedang tidak baik-baik saja, langsung saya komunikasikan ke suami, sebagai orang yang paling dekat. Setiap bercerita tentang kebingungan apa yang sebenarnya sedang terjadi, airmata selalu mengucur deras. Saya juga bercerita ke sahabat-sahabat. Lalu perlahan saya paham, oh ini tho yang saya alami. Suami lalu menyarankankan untuk menghubungi professional, yang memang disediakan gratis untuk kondisi saya saat itu. Selanjutnya saya rutin ke sana sampai keadaan makin membaik. Saya tidak ceritakan lebih lengkap ya di sini karena sangat panjang ceritanya. Hanya secara garis besar dan gambarannya sebelum saya menuliskan lebih lanjut.
Ada satu hal yang membuat saya tersentuh saat itu. Astrid (blogger yang saat ini vakum menulis) tiba-tiba mengirimkan pesan di twitter. Dia menanyakan kabar. Saya tidak pernah berhubungan dengan Astrid secara pribadi, hanya lewat komen di blog saja. Jadi saat saya menerima pesan Astrid di twitter, berasa agak aneh. Dia tidak tahu kondisi saya saat itu. Hanya acak mengirimkan pesan dan bertanya bagaimana kabar saya. Astrid malah memberikan nomer teleponnya supaya saya bisa menghubunginya jika ingin bertukar kabar. Lama saya tidak langsung menghubunginya, sampai satu hari, saya mengirimkan pesan buat dia. Sejak saat itu, sampai detik ini, kami rutin saling bercerita semuanya. Dari yang sedih sampai yang bahagia. Selama di sini, kami bertemu bari 3 kali.
Astrid datang disaat yang tepat. Saat saya membutuhkan tempat untuk bercerita tanpa perlu diberikan penghakiman apa-apa. Astrid mendengarkan semua yang saya rasakan, hanya mendengarkan. Dia tidak pernah memberikan saran jika memang saya tidak minta. Dia tidak pernah menghubungkan keadaan yang saya alami dengan kurang ibadah, kurang sedekah, atau kurang dekat dengan Pencipta. Astrid tidak pernah membandingkan apa yang saya alami dengan apa yang sudah dia alami. Dia benar-benar ada di sana, saat itu, sebagai teman yang menyediakan telinga dan waktu untuk saya. Dan yang membuat tersentuh, secara konsisten dia selalu menanyakan kabar saya. Jadi saya merasa tidak sendiri.
Saya merasa tertolong dengan kehadiran Astrid. Entah bagaimana hari-hari saya kalau dia tidak ada. Tidak mengucilkan arti professional yang ada saat itu juga tidak mengabaikan para sahabat yang selalu ada setiap saat. Namun rasanya berbeda kalau berbicara dengan teman yang tepat. Sejak saat itu, saya berjanji dengan diri sendiri, kalau saya akan lebih memperhatikan teman, kerabat, atau kenalan. Dulu saya cuek sekali, sangat jarang bertanya kabar. Tapi sejak kejadian 3 tahun lalu, saya berubah. Saya mulai sering bertanya kabar kepada mereka yang sudah lama tidak tersentuh oleh saya. Saya perlahan menjalin komunikasi kembali. Saya merasakan jika ada yang bertanya tentang kabar, merasa ada yang memperhatikan. Berasa ada yang peduli.
Sejak Pandemi, intensitas saya bertanya kabar teman-teman, kenalan dan para kerabat semakin tinggi. Entah, saya merasa bahwa kondisi sekarang ini luar biasa dampaknya. Bukan hanya pada kesehatan fisik, juga terhadap kesehatan mental. Saya sendiri merasakan itu. Naik turun, jatuh bangun. Saya bersyukur mempunyai support system yang baik juga belajar dari pengalaman 3 tahun lalu. Sampai detik ini saya bisa melewati, meskipun terkadang terseok. Pandemi ini sungguhlah berat, efeknya bermacam-macam pada setiap orang.
Beberapa hal di bawah ini bisa kita lakukan untuk membantu siapapun yang kita kenal, bahkan diri sendiri :
Luangkan Waktu untuk bertanya kabar kepada teman, kenalan, atau kerabat yang sudah lama tidak kita hubungi secara personal. Meskipun nampaknya di media sosial mereka baik-baik saja, namun dalam kehidupan nyata belum tentu seperti itu. Lihat daftar kontak, kira-kira ada berapa orang di sana yang sudah lama sekali tidak saling berkirim pesan dengan kita. Tidak ada salahnya untuk mulai berkirim pesan. Say hello. Mereka pasti akan senang. Kita juga senang bisa tahu kabar mereka sekarang seperti apa. Rekan blog yang paling rajin menanyakan kabar saya adalah Nana. Paling senang jika membaca email dari Nana, meskipun seringnya telat. Saya juga beberapa kali bertanya kabar ke beberapa rekan blogger yang sekiranya kok jadi jarang menulis lagi. Ingin tahu kabar mereka seperti apa, apakah mereka baik dan dalam kondisi sehat. Saya sering juga bertukar kabar dengan Tyka lewat aplikasi kirim pesan.
Luangkan Waktu untuk bertanya kabar kepada teman, kenalan, atau kerabat yang sedang hamil, setelah melahirkan, mereka yang sedang berjuang dengan kesehatan mental berdasarkan diagnosa professional, baru diputus hubungan kerja, sedang menyelesaikan tugas akhir perkuliahan, sedang dalam proses mencari kerja, dan kondisi-kondisi khusus lainnya. Saya rajin menanyakan kabar mereka yang sedang hamil, sedang menyusui, yang mempunyai anak balita. Para wanita dengan kondisi tersebut, kondisi hormon sangat mempengaruhi emosi. Ketika ada yang bertanya kabar, rasanya senang sekali. Seperti ada yang peduli. Syukur-syukur kalau kita bisa mendengarkan apa yang ingin mereka ceritakan. Dengarkan saja, kecuali mereka minta saran, baru kita berikan. Sebenarnya yang mereka butuhkan adalah tempat untuk bercerita. Jika kita tidak bisa menolong secara benda, menjadi pendengar saja sudah sangat membantu. Kalau mereka butuh masukan, kita bisa memberikan motivasi dan semangat.
Jadilah Pendengar Yang Baik bagi mereka yang ingin bercerita. Tahan diri untuk tidak membandingkan dengan keadaan atau pengalaman yang pernah kita lalui. Tahan diri untuk tidak menasehati jika tidak diminta. Tahan diri untuk tidak berkompetisi terhadap penderitaan. Tahan diri untuk tidak mengeluarkan kalimat : kurang bersukur, kurang amalan, kurang berdoa, kurang dekat dengan sang Pencipta dll. Tahan diri terhadap omongan apapun yang sekiranya malah membuat situasi yang bercerita semakin berat. Jadilah pendengar saja. Jika mereka meminta pendapat atau saran, berikan suntikan semangat, berikan kata-kata yang memotivasi.
Luangkan Waktu untuk diri kita sendiri, untuk membuat diri senang dan bahagia, untuk berterima kasih sudah melangkah sejauh ini. Jangan lupa untuk membuat diri sendiri bahagia. Caranya, kita sendiri yang tahu. Ada masa-masa berat, pastinya. Lakukan yang sekiranya membuat kita merasa sedikit bisa bernapas. Jika saya sedang dalam keadaan susah, biasanya saya akan diam sejenak. Hening dan berbicara dengan diri sendiri. Lalu saya akan melakukan apapun yang sekiranya bisa membuat hati lebih nyaman, pikiran lebih longgar. Misalnya : off sejenak dari media sosial, memasak, membuat roti atau kue, keluar rumah sendirian, menulis blog, makan yang saya sukai, minum yang saya senangi, berkebun, dll. Apapun itu, yang penting membuat badan bergerak. Kalau nyamannya hanya sekedar rebahan, ya lakukan. Tidak usah yang muluk-muluk. Ini bukan ajang kompetisi. Bisa bertahan hidup sampai detik ini saja sebuah pencapaian. Selama bisa membuat suasana hati dan pikiran lebih nyaman, lakukan saja (selama tidak menyakiti diri sendiri ya). Jika ingin bercerita pada teman, pilih teman yang sekiranya bisa sebagai pendengar yang baik. Tidak ada salahnya meminta bantuan professional jika memang sudah sangat butuh. Kesehatan mental tidak kalah pentingnya dengan kesehatan fisik. Jangan lupa untuk berterima kasih pada diri sendiri karena sudah kuat dan tangguh sejauh ini.
Kita Tidak Sendiri melewati masa-masa sulit. Ada banyak yang bisa menolong kita. Ada banyak yang bisa kita mintai pertolongan. Kita tidak benar-benar sendiri. Keluar dan mintalah pertolongan jika memang keadaannya makin sulit. Jangan pernah berpikir kita hanya sendiri. Yakin bahwa kita bisa melewati ini semua. Tetap Semangat!
Yang saya tuliskan di atas berdasarkan pengalaman pribadi dan proses melalui hal-hal yang sulit sampai detik ini. Buat saya, meluangkan waktu 5 menit untuk bertukar kabar bukanlah hal yang berat. Mungkin 5 menit yang saya luangkan, akan sangat berarti bagi mereka yang membaca atau mendengar suara saya saat menanyakan kabar. Bisa jadi bisa membantu mereka atau bahkan saya sendiri keluar dari kesulitan. Bisa jadi yang saya pikir sepele selama ini, malah jadi hal yang sangat berarti bagi mereka yang membutuhkan. Dimulai dari menanyakan kabar.
Perkenalkan, anggota terbaru keluarga kami yang lahir tanggal 25 Juli 2020. Kami menamainya, Sophie, si ragi alami. Sourdough atau Levain nama keren dari ragi alami.
Setelah berkutat belajar membuat roti menggunakan ragi segar sejak bulan Maret 2020 (pernah saya tuliskan di sini ceritanya) dan lumayan sudah agak pandai (agak ya, jadi masih ada beberapa kali kejadian error juga haha maklum pemula), akhirnya awal Juli saya mulai niat untuk mempelajari bagaimana cara membuat ragi alami. Momennya pas, mumpung cuaca mulai panas, jadi akan lebih mudah prosesnya dibandingkan saat masuk musim dingin.
Ragi alami bukan hal yang baru buat saya karena jauh sebelum Pandemi, Bude Tari (saya sertakan tautan akun IG Bude Tari di tulisan tentang belajar membuat roti) sudah sering berbagi foto dan cerita hasil rotinya menggunakan ragi alami. Saat itu, jangankan berpikir membuat ragi alami, berangan-angan membuat roti saja tidak pernah terlintas di kepala. Bahkan rekan-rekan satu grup saat awal pandemi sudah banyak yang mengikuti jejak Bude Tari. Sedangkan saya, santai saja. Lalu, saat sudah lumayan tahu seluk beluk dengan ragi segar, saya mulai penasaran tentang ragi alami. Saat mood sudah datang, lalu saya niat belajar langkah perlangkahnya
Langkah – langkah membuat ragi alami, saya belajar dari channelnya Helena. Saya sertakan tautannya di sini. Sebelum bereksperimen, saya putar berulang tutorial dari Helena tersebut. Saya pelajari dengan seksama sembari bertanya yang tidak saya pahami ke Bude Tari. Lima hari pertama, akhirnya sukses lahirlah Sophie. Setelahnya, karena saya mulai tahu sifat Sophie ini seperti apa, jadi memberi makannya pun sudah tidak mengikuti langkah yang Helena cantumkan, melainkan berdasarkan insting. Misalkan untuk ratio, saya sudah tidak memakai rasio lagi. Jadi setiap memberi makan, saya tidak memakai hydration 100%. Seringnya hanya 60%, jadi Sophie berbentuk seperti adonan kue, padat.
Saat biangnya sudah jadi, saya mulai mempelajari karakter Sophie ini seperti apa. Dia lebih suka kalau diberi makan campuran All Purpose Flour dan Rye Flour. Kalau orang lain bisa koleksi barang-barang bermerek, sejak Pandemi, koleksi saya adalah berbagai jenis tepung haha. Dari Patent Bloem, Patent Bloem Americans Type, Rye Flour, Speltmeel, Volkoren, Tarwebloem, Zelfrijzend bakmeel, dan Semolina. Itu saya pakai semua. Jadi kalau membuat roti, saya campur dua sampai 4 jenis tepung. Kalau untuk rustic bread, saya campur patent bloem, volkoren, speltmeel dan Rye. Tinggal padu padankan saja prosentasenya.
Kembali ke cerita Sophie, bersyukur sejak awal lahir sampai sekarang, tidak pernah rewel. Setiap dipakai membuat roti, hasilnya nyaris selalu berhasil. Ada masa Sophie sepertinya agak ngambeg jadi rotinya tidak maksimal terbentuk. Tapi secara keseluruhan, Sophie ragi yang baik. Kemungkinan besar karena selalu saya perhatikan dan diberi makan tepat waktu. Sama lah kayak Ibunya, kalau diperhatikan dengan baik dan makan tidak telat, hati selalu bahagia *cocoklogi :)))
Motivasi lain selain penasaran, suami juga sudah terbiasa makan Sourdough Bread sejak dahulu kala. Jadi sejak Pandemi, dia berhenti datang ke toko roti, akhirnya saya membuat roti sendiri dengan menggunakan ragi segar. Lalu saya bilang akan belajar membuat ragi alami. Wah, saat saya berhasil membuat roti yang biasa dia makan, gembiranya bukan main. Dia bilang roti buatan saya, jauh lebih enak dari Sourdough Bread yang biasa dia beli. Ah si Mas bisa saja. Kan jadi kembang kempis hidung saya.
Saya mulai sering mengutak atik resep yang menggunakan ragi biasa, saya transformasikan ke roti menggunakan Sophie. Lumayan berhasil dan gampang juga. Jadi Sophie ini saya gunakan bukan hanya untuk roti-roti ala Eropa, juga saya gunakan untuk roti-roti empuk ala Indonesia. Dalam satu minggu, saya menggunakan Sophie bisa 2-3 kali. Saya membuat roti hampir setiap hari.
Yang terbiasa menggunakan ragi instan atau ragi segar, begitu menggunakan ragi alami, akan diuji kesabarannya dengan lamanya waktu proofing. Biasa 2-3 jam adonan sudah ngembang (tergantung suhu ruangan), pakai ragi alami bisa 8-12 jam (bisa suhu ruang atau ditaruh di kulkas). Untungnya, saat awal mempunyai Sophie, sedang musim panas. Jadi tidak perlu mencari tempat khusus yang hangat. Satu lagi yang mungkin akan bikin kaget karena tidak terbiasa dengan ragi alami, yaitu rasa yang asam. Kalau untuk rustic bread, rasa asam malah membuat roti menjadi enak. Sedangkan untuk roti empuk dan manis, munculnya rasa asam yang membuat jadi tidak terlalu cocok, menurut saya. Jadi sekarang saya tahu, untuk jenis roti yang mana Sophie bisa digunakan. Satu yang masih membuat saya penasaran karena sampai sekarang masih belum bisa sempurna menghasilkan crumb yang besar pada rustic bread. Jangan patah semangat, suatu hari pasti bisa!
Sejak belajar ilmu membuat roti menggunakan ragi alami, saya juga banyak tahu kosakata baru, misalkan : hydration, laminating, stretch and fold, oven spring, open crumb, dll. Jadi makin banyak yang dipelajari, makin tahu dan menarik sekali ilmu ragi alami.
Saya masih pemula sekali untuk urusan ragi alami ini. Saya juga banyak belajar dari teman-teman yang berkutat dengan ragi alami, belajar dari beberapa orang di twitter, tidak sungkan bertanya jika tidak tahu. Apapun itu, yang membuat rasa penasaran saya bisa tertuntaskan. Biasanya setiap bereksperimen dengan Sophie, hasilnya akan saya bagikan (baca : pamerkan) di akun twitter dan FB beserta keterangan, misalkan tepung apa saja yang dipakai, hydration berapa % dan yang lainnya. Saya juga sangat senang kalau bisa berdiskusi tentang ragi alami. Unik sih ragi alami ini, polanya bisa berbeda tergantung suhu, makanan, dan suasana hati pemiliknya haha.
Semoga suatu hari nanti ada kesempatan sekolah untuk memperdalam ilmu dibidang membuat roti dan kue. Semoga terbuka jalan ke sana. Sekian cerita saya mengisi waktu, supaya hidup selama pandemi tidak hanya goler – goler saja (walau pada kenyataannya, ya lebih sering goler-goler dibandingkan produktif haha). Semoga Sophie hidup sejahtera bersama kami.
Tadi malam, saya dan suami berunding tentang rencana mudik tahun depan apakah masih bisa dilaksanakan atau tidak, melihat kondisi Indonesia sampai saat ini yang semakin aduhai membuat pilu dan greget tak bisa berkata-kata. Saya sangat memikirkan Indonesia, mau tidak mau, karena keluarga ada di sana, terlebih kondisi di Jawa Timur. Saya lalu menghubungi Garuda untuk menanyakan apakah kami bisa refund saja setelah masa berlaku tiket pernah kami perpanjang sampai Juni 2021. Pihak Garuda mengatakan, bisa refund tapi dalam bentuk voucher, tidak dalam uang cash dan masa berlakunya sampai 31 Desember 2021. Mereka juga bilang kalau tiket kami, sudah otomatis diperpanjang lagi sampai Desember 2021.
Mendengar tentang tiket kami yang sudah diperpanjang sampai Desember tahun depan, ada rasa lega, sesaat. Yang masih mengganjal, apakah benar tahun depan keadaan sudah aman untuk bepergian, paling tidak untuk mudik. Sudahlah nanti saja dipikirkan lagi, satu persatu. Semoga saja tahun depan benar keadaan mulai membaik.
Kami lalu berbincang tentang saya yang sampai 5 tahun lebih tidak pernah mudik sama sekali, sejak pindah ke Belanda. Sebenarnya sejak tahun ketiga, kami sudah berencana untuk mudik. Rencana yang sungguh-sungguh. Tapi tahun-tahun berikutnya ada saja sebuah kondisi yang membuat urung untuk mudik. Membuat mudik bukan prioritas lagi. Sampai tahun 2019 pertengahan kami sudah mantab akan mudik. Awal 2020 kami sudah membeli tiket, membeli oleh-oleh, mengabarkan keluarga besar di Indonesia, bahkan sudah membuat daftar makanan untuk dijelajahi, daftar kota untuk didatangi, sudah mendaftar untuk vaksin, segala persiapan sudah matang, lalu datanglah Pandemi. Wassalam gagal lagi. Beginilah jadi perantau, jauh dari keluarga di tanah air, memendam rindu untuk bertemu, ada rasa was-was apakah semua baik-baik di sana, hubungan jarak jauh dengan kawan, saudara, sahabat. Tahun ini, jujur saya melewati hari demi hari dengan perasaan cemas. Mencoba mengalihkan dengan hal-hal lain, tapi resah dan cemas selalu ada. Pikiran bercabang ke mana-mana. Kondisi mental saya naik turun sejak awal tahun.
Berbicara tentang hubungan jarak jauh, kami lalu teringat tahun 2014 saat berhubungan beda benua. Enam bulan sebelum menikah dan 6 bulan setelah menikah. Mungkin karena saat itu saya sedang sibuk (dan stress pula) perkara tesis dan kerja, jadi hubungan jarak jauh diantara kami tidak membuat saya pusing tujuh keliling. Ditambah lagi banyak dokumen yang musti diurus, dari dokumen nikah sampai dokumen pindah. Wes pokok e 2014 adalah tahun tersibuk selama ini. Kami bisa melewatinya dengan baik minim gontok-gontok an dan tak ada cemburu. Kami fokus dengan kehidupan masing-masing dan mempersiapkan segala sesuatu untuk kepindahan saya ke Belanda. Kami jalani hari demi hari dengan komunikasi yang seefektif mungkin, tidak pernah melakukan video call, bertahan dengan rindu, menyelesaikan semua yang harus diselesaikan. Buat kami, yang paling berat saat itu adalah perbedaan waktu. Saat saya sudah tidur, suami baru pulang kerja, saya malas sekali untuk bangun dini hari kalau tidak ada ujian atau tugas kuliah yang harus dikumpulkan keesokan hari. Saat saya bangun tidur untuk memulai aktifitas, suami masih tidur karena di Belanda masih dini hari. Saat suami bangun tidur dan ada waktu sebelum berangkat kerja, saya sedang kerja atau sedang jam kuliah. Begitu saja muter ritmenya. Makanya kami siasati dengan berkomunikasi lewat email. Atau kalau akhir pekan, kami lebih sering berbincang lewat WhatsApp. Saat itu, suami menelepon 2 minggu sekali.
Seberat-beratnya hubungan jarak jauh kami saat itu, saya pikir lebih berat hubungan jarak jauh saat Pandemi seperti ini. Beda kota, beda provinsi juga musti berpikir ulang untuk bertemu. Beda benua apalagi karena banyak negara saat ini masih menutup perbatasan untuk kedatangan mereka dari negara tertentu dengan visa turis atau mengunjungi keluarga. Hanya yang mempunyai ijin tinggal saja yang bisa masuk ke negara tersebut. Misalkan, di Belanda, saat ini belum bisa menerima kedatangan WNI dengan visa turis atau visa mengunjungi keluarga, kecuali sangat penting misalkan mengunjungi keluarga dekat yang sakit keras atau menghadiri pemakaman keluarga dekat. Itupun harus didukung dengan dokumen yang kuat. Indonesia juga belum bisa kedatangan WNA jika tidak mempunyai ijin tinggal (yang terbaru ada visa yang bisa digunakan hanya mereka yang mempunyai pasangan di Indonesia. Dibuktikan dengan dokumen-dokumen, tentu saja).
Hubungan jarak jauh kami saat itu, sesuatu yang memang kami tahu sejak awal akan terjadi dan kami rencanakan juga tahu kapan berakhirnya. Jadi serindu-rindu nya kami, jika memang ingin mengunjungi, masih bisa. Sedangkan mereka yang sedang berjauhan dengan yang tersayang saat ini, seperti meraba-raba kapan semua ini akan selesai dan kapan bisa bertemu kembali. Ini berlaku tidak hanya hubungan jarak jauh terkait percintaan, juga untuk mereka karena ikatan keluarga, misalkan hidup terpisah dari orangtua.
Saya ada seorang teman yang tidak bisa datang ke pemakaman Bapaknya di Indonesia. Dia masih punya anak bayi di sini, keadaan tidak memungkinkan pulang saat Bapak sedang dalam keadaan kritis. Dia mengikuti proses pemakaman lewat panggilan video. Semoga dia dikuatkan dan diberi ikhlas yang luas.
Buat yang sedang menjalani hubungan jarak jauh, kehidupan pernikahan yang terpisah karena pandemi, tertunda bertemu orangtua dan saudara karena keadaan belum memungkinkan saat ini, semoga kita semua dikuatkan ya. Saya hanya bisa menyertakan doa semoga tidak patah semangat, tidak putus berharap. Meskipun memang jalan di depan masih remang-remang, kapan ini sebenarnya berakhir, sedikit demi sedikit kita tetap bisa memupuk harapan. Jika situasi sudah memungkinkan, kita semua pasti bisa bertemu dan berkumpul dengan mereka yang kita sayangi. Tetap Semangat!
Beberapa hari lalu, Ibu berkata pada saya, “Sejak Pandemi, Ibu mematuhi semua apa yang sekiranya bisa memperpanjang umur Ibu, meminimalkan kemungkinan terkena virus. Apapun itu, semua Ibu lakukan. Keinginan Ibu saat ini cuma satu : bisa bertemu kamu, keluargamu, dalam keadaan sehat dan selamat melewati pandemi ini.”
Ibu saya sampai saat ini dalam keadaan sehat, masih kuat beraktifitas meskipun umurnya sudah sepuh. Saya trenyuh mendengar Ibu berbicara seperti itu. Betapa rindunya Beliau pada kami. Ibu terakhir bertemu kami, awal tahun 2018 saat Beliau berkunjung ke Belanda. Keinginan saya saat ini juga tidak muluk-muluk : tetap sehat selamat sekeluarga melewati pandemi ini supaya bisa bertemu Ibu, adik-adik, keluarga di Indonesia, dan sahabat-sahabat. Itu saja.
Sehat selalu buat kita semua. Jaga diri, jaga keluarga, supaya kita bisa berkumpul dan bertemu dengan yang kita sayangi. Semangat!
Beberapa waktu lalu di twitter, ada topik yang membuat saya bernostalgia. Jadi mengingat hal-hal kocak tentang pengalaman naik pesawat pertama kali. Saya besar dikeluarga yang suka bepergian, terutama Ibu. Tapi, belum pernah sekalipun kami naik pesawat. Biasa naik bis, kapal laut, atau numpang mobil saudara. Paling mewah adalah naik kereta kelas ekonomi. Mewah karena kalau ke Jakarta naik kereta ekonomi, Ibu selalu masak banyak trus dibuat nasi bungkus. Jadi kami makan di kereta berbekal nasi bungkus buatan Ibu. Wahh, itu rasanya mewah sekali. Entah kenapa, berkali lipat enaknya. Padahal ya, kereta ekonomi pada jaman itu, sudahlah panas, tidurpun di lantai kereta beralaskan koran. Tidur di bangku kereta, sempit. Jadi lebih nyaman tidur di lantai kereta, beralaskan koran, lalu dilangkahi orang-orang yang lalu lalang dan para pedagang. Haha masa-masa itu. Indah untuk dikenang, tapi kalau disuruh mengulangi, saya tidak mau. Lagipula, katanya sekarang kereta ekonomi sudah jauh lebih nyaman.
Jadi tahun 2005, sebelum diwisuda, saya sudah diterima kerja di salah satu perusahaan Multinasional (sekarang PMA) yang ada di Surabaya. Sewaktu tandatangan kontrak kerja, saya diberitahu kalau sudah didaftarkan training di AC Nielsen – Jakarta, hari kedua kerja. Dikasih tau juga akomodasi dan lain-lainnya. Waahh, saya berasa keren sekali waktu itu dan juga rasa tak percaya baru masuk kerja sudah dikirim training. Saya naik Garuda Indonesia, makanya norak dan berasa keren. Tidak pernah naik pesawat sebelumnya, pertama langsung Garuda Indonesia dan dibiayai kantor pula.
Hari H tiba, saya naik taksi dari tempat kos. Naik taksi saja saya sudah merasa sangat keren karena dibayari kantor. Norak-norak bergembiralah intinya waktu itu haha. Berasa keren sejak awal. Hari itu, pertama kalinya saya tau yang namanya Bandara Juanda. Kalau lewat sih pernah beberapa kali sebelumnya. Tapi belum pernah sampai masuk ke dalamnya. Turun dari taksi, saya melongo, wah besar dan megah sekali. Lalu saya tersadar dan jadi deg-degan, semoga tidak nyasar. Oh ya, saya tidak pergi sendirian ke Jakarta, melainkan dengan rekan satu team dan manager. Pagi harinya kami sudah janjian akan bertemu di mana untuk sama-sama Check In. Sambil tetap deg-degan dan norak karena melihat Juanda pertama kali, akhirnya saya bisa menemukan mereka.
Saat Check In, meskipun judulnya tetap sama-sama, tapi kenyataannya sendiri-sendiri majunya. Saya pikir dikolektifkan. Saya urutan paling belakang, jadi deg-degan sendiri. Sampai depan, saking sudah tidak konsen, ditanya tiket pesawat, saya berikan briefing training hahaha padahal sudah saya siapkan lho. Cuma karena satu map, jadi salah kasih.
Selama di Bandara, saya diam saja beribu bahasa. Kalau tidak ditanya, ya saya tidak bersuara. Anak baru pun ya saya ini, tidak paham juga yang dibicarakan rekan kerja dengan manager itu apa. Saya juga bukan tipe orang yang suka basa basi atau sok-sok bisa masuk dalam pembicaraan. Sudahlah diam saja, daripada ketahuan ga pahamnya. Intinya selama menunggu masuk pesawat, saya ngintil mereka terus.
Tibalah saat masuk pesawat, ya itu pertama kali juga saya tahu dalamnya pesawat secara nyata. Sebelumnya cuma tahu dari film. Saat mulai pasang sabuk pengaman, sebelum Pramugari mempraktekkan, saya kembali resah. Duh gimana caranyaaa ini pasang sabuk pengamannya. Manager duduk sebelahan dengan rekan kerja. Sementara saya duduk terpisah namun masih satu deret. Saya yang awalnya pasang muka sok tahu, lalu bingung nengok kanan kiri, akhirnya menyerah bilang, “Bu, saya tidak tahu caranya pasang sabuk pengaman ini.” Manager saya biasa saja mukanya, lalu membantu memasangkan dan memberi tahu bagaimana cara melepaskannya.
Lalu pesawat tinggal landas, nah itu terharu sekali saya. Rasa : benar-benar naik pesawat nih, nyata! Tak berapa lama, pramugari mulai memberikan roti dan minuman sebagai camilan. Saat itu, saya tidak paham kalau itu diberikan sebagai salah satu fasilitas. Saya pikir seperti di bis, diberikan trus disuruh bayar kalau diambil. Jadi, setelah diberikan roti dan minuman, saya tidak langsung makan. Takut disuruh bayar hahaha. Ya maklum karyawan baru masuk dua hari, mana punya uang banyak ya kan. Di kepala saya, kalau berhubungan dengan Garuda Indonesia, pasti mahal semua. Wong tahun segitu tiket Surabaya – Jakarta pulang pergi, mahalnya tidak karuan. Jadi roti dan minuman tersebut tidak saya sentuh sama sekali. Sewaktu pramugari datang lagi untuk mengambil sampah plastik, saya mikir kok roti saya tidak diambil ya. Padahal kalau tidak makan, kan diambil saja, jadi saya tidak harus bayar. Ah, ya sudahlah pikir saya. Nanti kalau semua penumpang turun, pasti diambil juga dan saya tidak disuruh bayar.
Sewaktu bersiap-siap turun, manager saya bilang roti yang tidak dimakan bawa saja, taruh di tas. Nanti bisa dimakan di taksi. Saya bilang dengan polosnya : Memang sengaja tidak saya makan Bu, biar tidak usah bayar. Manager saya yang pada awalnya mukanya datar-datar saja, langsung tertawa ngakak “Den, itu dikasih rotinya. Kamu makan saja, ga akan disuruh bayar. Kan sudah dibayar kantor tiketnya.” Duh!! Muka saya berasa panas, entah berubah jadi merah apa tidak. Saya tersenyum kikuk, malu hahaha. Kocak bener kalau diingat.
Pengalaman naik pesawat pertama kali yang tidak akan pernah saya lupakan. Kocak, norak, berasa keren, tapi banyak bersyukur juga karena bisa naik pesawat pertama kali tanpa harus bayar sendiri.
Tahun depannya, saya pindah kerja di Jakarta. Di perusahaan baru ini, 70% pekerjaan saya di luar kantor. Jadi dalam 1 bulan, 20 hari selalu bepergian untuk perjalanan kantor seluruh Indonesia, 10 hari di kantor. Seseorang yang jarang sekali naik pesawat, menjadi orang yang sehari-hari akrab dengan bandara, pesawat, pramugari dan transit. Di kantor ini, fasilitas pesawatnya adalah Garuda. Dari GFF Blue sampai kelas Platinum saking seringnya bepergian. Lumayan, beberapa kali poinnya bisa saya tukarkan tiket untuk liburan. Kerja sering naik pesawat kadang sampai bingung sendiri, hari ini ada di kota mana, bangun tidur langsung kaget takut ketinggalan pesawat. Selama bepergian dengan pesawat, belum sekalipun ketinggalan pesawat. Tiga kali nyaris telat, malah dipindah ke kelas bisnis Garuda Indonesia. Wow, rejeki nomplok. Lumayan pas rute panjang : Jakarta – Makassar, Jakarta Manado, Jakarta – Medan. Lumayan bisa merasakan kelas bisnis haha. Karena kerja di kantor ini pula, saya jadi tahu banyak kota di Indonesia yang selama ini hanya tahu dari TV. Jadi punya kesempatan menyaksikan keindahan alamnya dan keragaman kulinernya.
Kalau bepergian sendiri tidak dibiayai kantor, saya naiknya pesawat yang terjangkau kantong harganya. Pernah naik Adam Air, Lion Air, Merpati, Air Asia, Tiger Air, Citilink, Sriwijaya, Mandala.
Pertama kali buat paspor, saya naik pesawat ke negara tetangga : Malaysia. Setelahnya, beberapa kali ke luar negeri (sampai akhirnya takdir mengirimkan saya tinggal di Belanda) dengan pesawat yang berbeda seperti Luthfansa, Etihad, Singapore Airlines, Ryan Air, KLM, Kroatia Air, beberapa saya lupa yang pesawat sekitaran Eropa.
Harusnya tahun ini naik pesawat ke Indonesia. Tidak jadi karena Pandemi. Naik pesawat terakhir kali ke Kroasia tahun kemaren. Tahun ini kami pergi liburan cuma dalam negeri saja.
Panjang juga ya cerita pengalaman pertama saya naik pesawat. Banyak kocaknya sih.
Cerita kalian sendiri bagaimana, pertama kali naik pesawat kemana perginya, pesawat apa, apakah ada cerita unik lucu dan menarik?
Minggu lalu, perkawinan kami genap berusia 6 tahun. Sebenarnya kami kenal satu sama lain 6.5 tahun. Tinggal satu atap 5.5 tahun. Enam tahun menikah, pasti ada saja ya naik turunnya. Menikah kan bukan hanya sebatas yang indah-indah saja, yang pahit-pahit juga harus dihadapi dan diselesaikan bersama.
Saya memang orangnya realistis, tidak mau hidup dalam dunia dongeng. Kalau ada yang bertanya pada saya, bagaimana kehidupan setelah menikah. Saya selalu bilang kalau kehidupan pernikahan itu bukan menyelesaikan sebuah permasalahan tapi membuat permasalahan baru dilipatgandakan. Ya karena setelah menikah semuanya dihadapi berdua. Ada masalah ya seringnya datang dari kedua belah pihak, maka dari itu masalahnya jadi ganda. Bedanya, setelah nikah ada yang diajak diskusi. Jadi menyelesaikan masalah juga berdua. Karena itu, buat mereka-mereka yang kebelet menikah diusia muda, lebih baik pikirkan berulang kali. Nikmati masa muda sepuasnya dulu, kejar yang perlu dikejar, raih setingginya yang perlu diraih. Nanti setelah menikah, orientasinya berbeda. Tentu saja masih bisa mengejar dan meraih, dengan diskusi berdua.
Biasanya saat ulangtahun pernikahan, kami lewati dengan jalan-jalan. Kali ini situasinya berbeda, Pandemi. Kami melewati hari di acara ulangtahun Anis. Tanggal ulangtahun dia dan ulangtahun pernikahan kami, persis sama. Jadi ketika kami memutuskan tidak jadi ke negara tetangga, kami mengiyakan undangan ulangtahun Anis. Seperti biasa, saya membuat tumpeng lalu membagikan nasi kuning ke para tetangga dan saudara. Spesialnya, saya membuat sendiri kue ulangtahun pernikahan kami. Tidak yang ruwet, sederhana tapi kekinian haha penting. Saya membuat Jelita Cake. Gampang sih bikin ini *huahaha sumboongg padahal sebelum bikin, deg-degan takut bantat, nanya terus sama Mita di twitter. Saya membuat dua, satu untuk kami makan sendiri dan bagi-bagi. Satu untuk dibawa ke ulangtahun Anis. Rasanya enak dan tidak bantat.
Alhamdulillah, ulangtahun pernikahan yang sangat bermakna. Kami lewati bersama para teman dan keluarganya. Pandemi ini sungguhlah luar biasa efeknya. Melewati hari jadi pernikahan bersama mereka, membuat hati menghangat. Untuk Anis, selalu bahagia, berkah melimpah, sehat dipertambahan umur periode yang baru.
Sehari sebelum hari ulang tahun pernikahan, saya bertanya pada suami : Bagaimana rasanya 6 tahun menikah denganku, apakah terlalu berat? *sadar diri, kerasnya melebihi batu. Tapi sekarang kadar kerasnya sudah jauh berkurang.
Dijawab suami : Pasti naik turun ya, tapi aku merasakan banyak bahagianya dibandingkanyang pahit-pahitnya. Sampai kadang lupa bagian pahitnya, saking bahagianya *lalu hidungku mekrok2 karena dipuji.
Hidup dengan orang yang tepat, waktu berlalu sangat cepat. Mendadak kok sudah 6 tahun saja. Merasa kok sudah 5.5 tahun di Belanda. Ngapain saja aku selama ini *amnesia. Segala hal selalu kami perjuangkan bersama. Segala bahagia dan tertawa selalu kami rasakan berdua. Kata orang, 5 tahun pernikahan di awal sangatlah berat. Ujian akan datang pada rentang waktu tersebut. 5 tahun pertama kami lewati dengan mulus. Justru ujian datang beberapa bulan setelah 5 tahun. Saat saya keguguran mendekati akhir tahun lalu. Bersyukur, kami bisa melewatinya dengan baik. Peristiwa tersebut semakin menguatkan hubungan kami.
Enam tahun penuh dengan cerita, suka duka tawa bahagia. Saling menopang dan menguatkan, saling bahagia dan membahagiakan. Saling cinta dan mencintai. Enam tahun dengan dua malaikat yang sudah berpulang mendahului, namun selalu ada dalam hati, ingatan, dan doa kami. Enam tahun bersama buah hati yang terkadang membuat awut-awutan hari namun lebih banyak memberikan keceriaan dengan segala tingkah laku mereka. Kami terberkati dengan kebahagiaan ini, syukur yang tak pernah putus mengalir setiap hari. Semoga kami berjodoh panjang, sehat, berkah, dan bahagia.
Duh kok agak horor ya malam Jumat begini nulis tentang kematian. Tenang, ini bukan tulisan tentang setan dan kaumnya. Saya ingin bercerita tentang perbincangan beberapa hari lalu dengan suami.
Dua tahun lalu, saya pernah menuliskan topik tentang kematian di blog ini. Lebih lengkapnya, bisa dibaca di sini. Dulu, saat belum menikah, membicarakan kematian adalah hal yang saya hindari. Kayak ga ada topik pembicaraan yang lebih menarik lainnya kan. Ngeri takut kejadian kalau ngobrol tentang kematian. Setelah menikah, budaya di Belanda ternyata berbeda. Membicarakan kematian jadi hal yang biasa, setidaknya di lingkungan keluarga kami dan beberapa rekan yang kami kenal.
Pada akhirnya, saya jadi biasa membicarakan tentang kematian. Jadi semacam, ya biasa saja. Jadi lebih realistis, ya memang meninggal itu butuh dipersiapkan. Lebih realistis ya semua orang memang ujung-ujungnya akan meninggal. Dulu, saya sudah wanti-wanti suami kalau saya meninggal terlebih dahulu, ingin dikuburkan dekat Bapak. Jadi jenazah saya, minta dipulangkan ke Indonesia. Karena keinginan yang seperti itu, kami lalu mencari informsi tentang asuransi, supaya nanti tidak kelabakan. Asuransi pemakanan, super mahal.
Lalu beberapa hari lalu, saat saya sedang mencuci peralatan masak, tiba-tiba terlintas : kenapa harus dikuburkan di Indonesia ya kalau saya meninggal. Dulu ingin dimakamkan dekat Bapak dengan alasan supaya keluarga di sini tetap bisa untuk sesekali ke Indonesia menengok kuburan saya dan Bapak juga bisa bertemu dengan keluarga di sana. Jadi tidak putus hubungan dengan keluarga di Indonesia.
Lalu saya pikir-pikir lagi, kok ya repot sangat. Sudah jadi jenazah, kok ya jadi merepotkan yang masih hidup dengan harus mengirim ke Indonesia, mendampingi dan harus menempuh perjalanan sebegitu panjangnya. Padahal keinginan saya (dan suami), kalau kami meninggal tidak mau terlalu merepotkan yang sudah hidup.
Atas dasar pikiran yang tiba-tiba terlintas tersebut, saya utarakan ke suami kalau saya membatalkan rencana untuk dikuburkan di Indonesia. Saya ingin dikuburkan di Belanda saja. Saya tidak mau merepotkan yang masih hidup. Saya ingin yang simpel dan gampang saja, yang penting khidmat dan dikenang baik oleh keluarga. Yang datang di acara pemakaman juga hanya keluarga inti dan teman sangat dekat. Keluarga di Indonesia tidak perlu datang supaya tidak repot. Bahkan saya juga bilang, kalau misalkan tidak ada lahan untuk mengubur, dikremasi pun tidak masalah. Intinya, jangan dibuat susah dan tidak merepotkan. Sudah seikhlas itu.
Tanggapan suami : Ok, nanti mau diputarkan lagu apa waktu jenazah kamu disemayamkan. Bonjovi atau Coldplay?
Hahaha sungguh saya langsung tergelak. Belum terpikirkan tentang hal itu. Tapi saya sudah lega menyampaikan keinginan tersebut. Meninggal tanpa merepotkan yang masih hidup. Sederhana tapi manis dikenang. Obrolan macam ini memang sering kami lakukan.
Saya menulis begini jangan langsung dijadikan sebuah pertanda atau firasat atau apapun ya. Yang namanya umur tidak ada yang tahu. Inginnya diberikan kesehatan yang baik dan umur yang berkah. Ingin hidup yang lebih lama, berjodoh lama dengan suami, dan bersama dengan keluarga lebih lama. Utang puasa masih banyak dan belum lunas nih, jadi berdoa usia dipanjangkan.
Kalian pernah memikirkan tentang hal ini, atau sering ngobrol dengan pasangan tentang kematian?
Orang Indonesia memanglah kreatifitasnya tak perlu diragukan. Saya sampai takjub. Ini spesifik ngomentarin kreatifitas dalam hal makanan. Ada saja idenya. Ya walaupun saat ini hanya dalam angan saya semata perkara rasa makanan-makanan yang banyak bermunculan, setidaknya bisa memberi hiburan buat saya yang suka nonton vlog kulineran.
Beberapa waktu lalu suami ulangtahun. Sejak jauh hari saya sudah berniat mau membuat taart sendiri. Ya sebenarnya antara niat tak niat karena faktor takut gagal. Terakhir membuat taart ulangtahun saat keponakan di sini merayakan ulangtahun ke 5. Sukses saat itu, semua suka. Setelahnya saya malas berhubungan dengan kue ulangtahun. Mending pesan atau beli jadi sajalah, tidak ruwet. Tahun ini kok makbedundug ingin membuat taart untuk ulangtahun suami. Efek mendekam di rumah.
Setelah bertapa beberapa lama, saya memutuskan membuat kue yang (pernah atau masih) fenomenal di Indonesia. Klepon Cake. Saya tahu fenomenal ya dari YouTube. Saya pikir wah ok juga nih kalau dijadikan kue ulangtahun. Bisa dibagi ke tetangga – tetangga dan para saudara. Pasti unik rasanya buat mereka. Lalu bersemangatlah saya mencari resep-resepnya. Langsung mules begitu tahu resepnya menggunakan emulsifier untuk telor yang tidak banyak. Masalahnya, saya tidak punya emulsifier. Bisa saja tanpa emulsifier tapi kuning telor yang digunakan alamak banyaknya, sampai 18 kuning telor. Langsung meriang membayangkan semisal gagal. Bisa nangis meraung-raung di pojokan rumah. Saya sampai konsultasi dengan Mita di twitter. Ingin cari jalan supaya tidak terlalu rumit perkara telur ini. Lalu detik-detik menjelang hari ulang tahun suami, terpecahkanlah permasalahan telur. Saya konsultasi dengan salah satu teman yang tinggal di Belanda juga dan dia jago membuat kue. Saya konsultasi lewat FB. Konsultasi lintas platform media sosial.
Klepon cake ini printilannya banyak jadi langkah pengerjaannya pun panjang. Membuat dasar kue, membuat unti, membuat frosting, lalu membuat klepon. Kuenya saya menggunakan resep dari channel Emma’s Goddies. Hanya ada sedikit modifikasi, yoghurt saya ganti santan dan adonan ditambahi pasta pandan. Sedangkan frostingnya saya menggunakan resep Farah Quinn dengan takara gula saya kurangi 50% dari resep asli. Unti resep dari Ibu : kelapa, susu, gula merah, vanilla, dan sedikit garam.
Untuk pemula, ya lumayanlah jadi juga membuat kue yang fenomenal di Indonesia. Lucu juga ya, klepon cake. Masih terkagum dengan kreatifitas orang Indonesia. Meskipun belum sempurna karena bagian atasnya masih menggelembung. Setelah konsultasi dengan Mita dan Kak Timmy di Twitter, disinyalir karena adonan terlalu banyak saat memanggang. Mustinya dibagi dua. Atau suhu oven yang terlalu panas. Bisa diturunkan 10 derajat celcius dari resep asli.
Saat dibagikan ke para tetangga dan para saudara, testimoni dari mereka positif. Katanya rasa kuenya unik karena ada kelapa manis dan kelapa kering. Mereka juga suka frostingnya, beraroma pandan. Lalu mereka kaget saat makan kleponnya, tidak menyangka ada gula merahnya. Saya memang sengaja tidak memberitahu perihal gula merah. Kejutan buat mereka. Ah senangnya, pertama kali membuat Klepon Cake langsung suka semua. Suami apalagi, dia sampai nambah-nambah makan cake ini. Ada satu kerabat yang datang ke rumah dan mencicipi klepon cake, setelahnya dia memesan dibuatkan untuk ulangtahunnya bulan depan. Lah, langsung kesengsem si klepon haha.
TUMPENGAN
Seperti biasa kalau ada yang perlu dirayakan, tumpengan tidak pernah absen. Dan seperti biasa juga, karena tidak punya cetakan khusus, jadi bentuk tumpengnya ya sesuai cetakan yang ada saja.
Tahun-tahun sebelumnya, setiap suami berulangtahun, kami pasti mengadakan acara di rumah dengan mengundang tetangga dan seluruh saudara. Tapi tahun ini keadaan berbeda, kami masih belum berani dalam satu ruangan dengan banyak orang, terutama karena ruangan di rumah yang ukurannya tidak terlalu besar. Jadi tidak banyak ruang buat jaga jarak. Mau membuat acara di halaman belakang, terlalu riskan juga dengan cuaca Belanda yang susah ditebak. Lha ndilalah pas hari H ternyata hujan deras. Akhirnya diputuskan tahun ini absen dulu membuat acara yang mengundang banyak orang di dalam rumah. Demi keselamatan bersama ya, saling jaga. Jadilah masakan dan kue kami hantarkan ke rumah masing-masing. Untungnya semua dekat, bisa ditempuh dengan sepeda.
Semoga suami selalu sehat, berkah hidup dan langkahnya, diberikan umur panjang dengan bahagia dan selalu menikmati suka duka yang ada. Semoga langgeng terus sekeluarga.
Ini akan menjadi tulisan yang panjang. Bisa disimak buat para orangtua atau mereka yang merasa selama ini memandang sebuah proses haruslah berakhir menjadi berhasil. Mereka yang selama ini takut akan kegagalan. Tentang sebuah apresiasi terhadap proses.
KILAS BALIK
Saya tumbuh besar dididik oleh seorang Ibu yang sangat mendewakan sebuah keberhasilan. Bapak, justru kebalikan. Beliau selalu bilang, apapun hasil akhirnya tidak jadi masalah selama saya menjalani proses dengan sungguh-sungguh dan menikmatinya. Buat Bapak, tidak ada yang namanya gagal. Menurut Beliau, belum berhasil artinya diberikan kesempatan lagi untuk belajar lebih baik. Pesan Beliau : jadilah yang terbaik versimu.
Sayangnya, doktrin Ibu bahwa gagal adalah gagal itu selalu tertancap di otak saya sampai dewasa. Yang namanya gagal, ya gagal. Artinya tidak lalu menjadi keberhasilan yang tertunda. Sejak kecil, saya selalu berkompetisi dengan diri sendiri untuk membuktikan kepada Ibu bahwa saya bisa menjadi yang terbaik, versi Beliau. Berhasil? iya. Saya memang bisa membuktikan bahwa saya selalu menjadi yang terbaik, menjadi yang juara, menjadi Ter- Ter- versi Beliau. Apakah saya menikmatinya? Dulu saya pikir setiap keberhasilan yang saya raih membuat saya bahagia, membuat saya bangga. Dikemudian hari, saya menyadari bahwa selama ini saya tidak menikmati kebahagiaan sesungguhnya karena sudah menjadi seseorang yang berhasil meraih pencapaian tinggi. Bahagia, iya. Tapi rasa kebahagiaan yang saya rasakan seperti semu. Hanya sesaat saja.
Dikemudian hari saya juga menyadari bahwa untuk mencapai berhasil, saya tidak menikmati prosesnya. Tidak langkah per langkah saya pikirkan, tapi fokus saya selalu hasil akhir harus berhasil. Tidak boleh gagal. Kalau sampai gagal, kiamat dunia. Dulu, gagal buat saya adalah sebuah aib. Sebisa mungkin tidak saya suarakan, tidak saya beritahukan kepada orang lain. Saya akan simpan sendiri dan membuat jadi tertekan. Karenanya, saya akan berusaha lebih dari maksimal agar berhasil, menghindari tertekan karena gagal. Tanpa saya sadari, bahwa jalan menuju berhasil, prosesnya, itu yang membuat saya tertekan.
Ibu, juga mendidik saya dengan jarang sekali memberikan apresiasi. Walaupun berhasil, jarang terlontar pujian atau ucapan bahwa Beliau bangga pada saya. Keberhasilan semacam sebuah keharusan. Jika tercapai, ya memang selayaknya seperti itu. Tidak ada yang istimewa. Beliau tidak melihat jatuh bangun saya sampai dititik berhasil. Yang Beliau tanamkan, bahwa berhasil itu tidak perlu dirayakan, karena memang seyogyanya sebuah terget harus berhasil dititik akhirnya. Terbayang kan jika saya mengalamai kegagalan? Karenanya saya selalu berjuang lebih dari kata keras untuk berhasil.
Misal : sewaktu SMP saya pernah menjadi juara 1 di kelas. Waktu itu saya masuk kelas unggulan di mana isinya anak-anak pintar semua. Saya belajar mati-matian waktu itu. Tapi saya tidak mendengar ucapan selamat dari Ibu. Justru saya dengar bahwa Ibu bangga pada saya dari seorang teman Ibu. Saya ingat sekali sedihnya seperti apa. Lain waktu, saat SMA, saya pernah masuk dalam 10 besar pararel di sekolah. Pararel artinya juara antar kelas. Itu juga belajar mati-matian. Sekolah saya termasuk favorit di Surabaya, dan masuk 10 besar pararel artinya lumayan berprestasi. Saya bangga mengabarkan hal tersebut pada Ibu. Sambutan Ibu : kalau belajar lebih giat, mustinya bisa masuk 3 besar.
Walhasil, dibalik perjuangan keras saya untuk berhasil, ada satu harapan untuk mendapatkan sebuah apresiasi dari Ibu. Setiap langkah saya, setiap kerja keras, selalu yang terpikirkan adalah bagaimana caranya supaya Ibu memberikan pujian kepada saya secara langsung. Yang saya tahu, Beliau memberikan pujian, justru dilontarkan pada orang lain. Beliau bangga pada saya, tapi tidak saya dengar langsung. Saya justru tahu dari orang-orang yang mendengar lontaran bahwa Beliau bangga karena anak tertuanya sudah berhasil A, B, C dll. Hal tersebut malah membuat saya berpikir, kenapa ya kok Ibu tidak pernah memuji saya secara langsung? Tidak mengapresiasi apa yang saya lakukan secara langsung? Kenapa harus dilontarkan pada orang lain tanpa saya tahu.
Dengan keadaan seperti itu, menjadikan saya melakukan segala hal supaya selalu berhasil agar mendapatkan apresiasi dari Ibu secara langsung. Saya haus apresiasi. Sampai pada satu titik, akhirnya saya kelelahan dan mulai berhenti untuk menjadi yang terbaik versi Beliau. Saya lelah mengejar hal yang mungkin tidak akan pernah Beliau lakukan sampai kapanpun. Saya berhasil dalam banyak hal, tentu membahagiakan. Dilain sisi, ternyata saya tidak sebahagia yang saya pikirkan. Bahagia tapi kosong. Bahagia tapi lelah. Bangga karena bisa menyelesaikan sampai berhasil semua target yang saya pasang, tapi saya tertekan. Orang melihat saya selalu berhasil, nyaris tidak pernah gagal. Benar, tapi ternyata saya tidak pernah menikmati prosesnya. Saya kelelahan. Saking lelahnya, saya beberapa kali membutuhkan bantuan professional untuk mengatasi kondisi psikologis yang seperti ini.
Beberapa tahun belakang, saya memberanikan diri bertanya ke Ibu kenapa saya tidak pernah dipuji secara langsung ketika melakukan sesuatu hal yang sekiranya membanggakan Beliau. Ibu bilang karena tidak terbiasa jadi tidak tahu cara mengekspresikan langsung pada saya. Saya mencoba menerima apa yang Ibu utarakan tersebut. Mencoba berdamai dengan luka yang terlanjur ada.
SEMUA BERUBAH
Saat mulai tinggal di Belanda, saya makin menyadari bahwa yang saya lakukan saat tinggal di Indonesia benar-benar tidak sehat. Hidup penuh ambisi, penuh pembuktian kepada orang lain, ingin selalu jadi juara. Asal muasalnya satu : menjadi yang terbaik versi Ibu supaya Beliau selalu bangga pada setiap pencapaian yang saya lakukan. Saya tidak pernah menyisakan ruang untuk gagal. Saya tidak pernah merasakan langkah per langkah proses untuk menuju berhasil. Gagal adalah sebuah momok, aib. Gagal membuat saya jauh tertekan. Walhasil, saya hidup dengan gemuruh yang selalu ada di kepala. Positifnya, saya memang selalu dapat apa yang ditargetkan. Buruknya, kondisi psikologis saya yang tidak sehat.
Hidup di sini, melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana orang-orang yang saya temui, suami, mereka yang tinggal di lingkungan sekitar, dan lingkungan keluarga, mereka sangat menghargai yang namanya proses. Saat mendengar ada seseorang atau anggota keluarga yang merasa gagal melakukan sesuatu, tanggapan mereka selalu membesarkan hati, semacam : Nanti dicoba lagi, berarti waktu kamu buat belajar lebih panjang. Kamu sudah berhasil sejauh ini, sudah belajar keras. Kalau hasilnya belum maksimal, semoga setelah ini lebih baik ya sesuai yang kamu inginkan.
Maureen pernah membahas di tulisannya yang ini, tentang bagaimana menanggapi sebuah hal. Lebih spesifik tentang feedback. Seringnya, yang dilakukan oleh orangtua di Indonesia (pada masa saya, tapi tidak semua orangtua) adalah melihat kesalahan terlebih dahulu dibandingkan memberikan apresiasi. Mengkritik tapi lupa memberikan pujian. Padahal yang namanya usaha adalah proses panjang menuju titik yang ingin dicapai. Apapun hasilnya nanti, sebuah usaha layak mendapatkan apresiasi. Tidak usah muluk-muluk, ucapan selamat atau terima kasih sudah berjuang sejauh ini, itu sudah cukup.
Selama 5 tahun di sini, saya belajar akan hal itu. Memberikan apresiasi dan menerimanya. Sekecil apapun, setiap usaha layak mendapatkan apresiasi. Saya yang dulunya berjiwa ambisius namun cepat sekali merasa tersengal -lelah- sekarang lebih bisa merasakan setiap proses yang lakukan. Jika gagal, tentu saja kecewa, namun tidak berlebihan. Mulai bisa menerima konsep bahwa gagal juga bisa menjadi hal baik kedepannya. Ada waktu lebih untuk belajar. Menerima konsep bahwa gagal bukanlah sebuah aib. Menerima konsep bahwa gagal juga bagian dari proses pembelajaran dan bukanlah sebuah akhir.
Sejak di sini, saya berani untuk menjadi yang terbaik versi saya, bukan versi Ibu atau versi orang lain. Dan saya jauh lebih bahagia dengan hal tersebut.
BELAJAR MENYETIR MOBIL
Menyetir mobil bukanlah sesuatu yang saya rencanakan untuk dilakukan. Rumah kami dekat dengan transportasi umum : bis, tram, dan kereta. Mau ke mana-mana juga dekat karena lokasi rumah diantara 3 kota besar di Belanda. Kami juga ke mana-mana bisa naik sepeda. Lalu buat apa repot-repot belajar menyetir mobil, apalagi saya takut sekali yang namanya mengendarai kendaraan bermotor. Selain itu, kami juga tidak punya mobil.
Sampai sekitar September tahun lalu, saya mulai terpikir bahwa menyetir mobil itu termasuk salah satu skill yang harusnya saya punya. Saya tidak mau selalu bergantung ke suami jika suatu saat butuh untuk berkendara dengan mobil. Ditambah lagi, saya ingin menantang diri sendiri untuk melawan ketakutan mengendarai kendaraan bermotor. Singkat cerita, saya mendaftar les menyetir akhir tahun lalu.
Selama les, banyak kendala yang saya hadapi. Yang terbesar adalah : rasa takut. Itu benar-benar sebuah momok. Mengalahkan rasa takut dan tidak percaya diri itu susah. Tapi kembali lagi, saya sudah berniat untuk bisa menyetir walaupun prosesnya harus diselingi dengan tangisan. Terkadang saya lupa, bahwa saya memulai dari nol dan semua butuh waktu. Instruktur menyetir saya yang mengingatkan bahwa tidak bisa saya langsung menguasai semua hal yang berhubungan dengan menyetir mobil dalam sekali jalan. Layaknya anak kecil yang belajar melangkah, prosesnya harus dijalani. Tidak bisa langsung loncat tahapannya. Saya pernah ditegur oleh dia saat ditanya hal apa yang saya pelajari hari itu. Saya menjawab : banyak sekali salah yang saya lakukan hari ini. Dia lalu bilang : kenapa kamu selalu fokus dengan kesalahan yang kamu lakukan. Kenapa kamu tidak fokus dengan keberhasilan yang kamu lakukan hari ini dan berterimakasih ke diri sendiri kamu sudah melangkah sejauh ini. Setiap orang yang belajar pasti ada salahnya, tapi bukan berarti tidak melakukan yang benar kan. Salah buat bahan koreksi supaya kedepannya lebih baik. Tapi jangan lupa untuk berterima kasih ke diri kamu sendiri untuk setiap keberhasilan meskipun kecil bentuknya.
Saya terdiam. Sejak saat itu, saya selalu berusaha melihat hal positif setiap les menyetir. Kesalahan menyetir masih banyak yang saya lakukan. Tapi, bukan berarti tidak ada hal baik yang sudah saya lakukan sejauh ini. Saya berterima kasih dengan keras kepala saya untuk selalu belajar lebih baik lagi.
Kemarin, merupakan hal bersejarah buat hidup saya. Akhirnya ujian menyetir pun tiba setelah tertunda 3.5 bulan karena Corona. Saya sudah berjalan sejauh ini, saatnya menunjukkan apa yang saya pelajari ke pihak penguji. Ditahap ini, saya bilang pada diri sendiri, saya akan berusaha semaksimal mungkin selama ujian. Berhasil atau mengulang lagi, saya tetap melihat sebagai sebuah keberhasilan karena sudah berani menaklukkan ketakutan menyetir mobil.
Setelah ujian selesai, seperti yang sudah saya duga karena ada beberapa kesalahan yang saya lakukan saat di jalan, saya harus mengulang ujian. Kecewa tentu saja. Tapi saya langsung bilang ke diri sendiri : Hebat, kamu sudah melalui tahap ini. Terima kasih kamu sudah berani untuk menyetir mobil. Mari belajar lebih semangat danmenyetir dengan lebih aman setelah ini. Jangan menyerah ya, yuk sama-sama berusaha. Saya bangga dengan kamu.
Instruktur saya pun bilang : Kamu hebat sudah mengalahkan rasa takutmu. Sudah melangkah sejauh ini. Setelah ini, kita perbaiki lagi apa yang jadi bahan masukan dari penguji. Tetap semangat ya, jangan menyerah.Saya yakin kamu bisa.
Sesampainya di rumah, saat membuka pintu, saya mengabarkan kalau musti mengulang lagi. Suami memberikan bunga dan mereka memberikan ucapan selamat pada saya. Suami bilang bahwa saya layak mendapatkan bunga dan ucapan selamat atas proses panjang dari nol yang telah saya lakukan. Dia bilang : Lulus atau mengulang lagi, sama-sama dirayakan karena kamu sudah melangkah sejauh ini.
Terharu rasanya mendapatkan dukungan seperti ini. Keluarga adalah pendukung utama saya. Siangnya saya bercerita pada beberapa teman, termasuk Yayang. Dia mengatakan satu hal : Kamu sudah menjadi seorang pemenang karena sudah mengalahkan rasa takutmu. Meskipun kamu harus mengulang ujian, kamu sudah menjadi seorang pemenang karena sudah berusaha paling maksimal.
Ah ya, saya sudah menjadi seorang pemenang. Terima kasih, Yang.
Sorenya kami merayakan apa yang terjadi hari itu. Merayakan sebuah proses. Kami memesan antar makanan dari restoran yang dekat dari rumah. Saat makan, suami bilang : Lulus atau mengulang, kamu tetap juara buat kami. Dari yang tidak bisa mengemudi mobil, sekarang sudah bisa mengemudi ke mana-mana selama les. Selanjutnya, tinggal meningkatkan jadi lebih baik supaya lulus ujian.
Terima kasih, kalian selalu mendukungku. Terima kasih juga buat Ibu yang mendoakan saya saat ujian kemarin.
BERIKAN APRESIASI PADA ANAKMU
Seorang anak, berapapun usianya, mempunyai perasaan. Bahkan seorang balita sekalipun. Hargailah perasaan anakmu. Belajar dari apa yang sudah Ibu lakukan pada saya. Sejauh ini, saya tidak menyalahkan sepenuhnya apa yang Ibu perbuat pada saya. Saya percaya, setiap keberhasilan yang saya lakukan, ada doa Ibu yang menyertai di dalamnya. Ada sujud panjang Ibu di Tahajjud, sholat-sholat wajib dan sunnah lainnya. Yang Ibu lupa adalah mengapresiasi setiap hasil yang saya lakukan. Berhasil ataupun gagal, ada proses panjang di dalamnya. Ibu lupa bahwa seorang anak juga ingin mendengar langsung bahwa Beliau bangga atas apa yang saya lakukan selama ini. Ibu lupa menanyakan apakah saya bahagia dengan segala pencapaian selama ini. Ibu lupa bertanya apakah semua ini benar-benar yang ingin saya jalankan dan inginkan.
Ada luka dalam batin menyertai proses tumbuh saya. Saat ini, saya perlahan menyembuhkan luka tersebut. Belum terlambat untuk berbenah. Semua harus berhenti di saya. Perlahan tapi pasti. Tidak ingin meneruskan pada keturunan saya, setiap proses harus diapresiasi. Setiap proses ada bahan pembelajaran. Gagal juga bagian dari hidup yang harus dihadapi. Tidak semua hal sesuai kehendak kita. Gagal bukanlah aib.
Semoga apa yang saya tuliskan kali ini bisa membuka wacana tentang hal yang mungkin dianggap sepele tapi berdampak sangat besar di kemudian hari. Mengapresiasi setiap proses yang sudah dilakukan.
Buat para orangtua, jangan segan-segan untuk memberikan apresiasi untuk anak-anakmu sekecil apapun itu.
Buat kamu sebagai pribadi, jangan lupa ucapkan terima kasih pada diri sendiri atas segala perjalanan yang sudah ditempuh sejauh ini. Terima kasih karena sama-sama belajar untuk berproses menjadi lebih baik. Jangan segan untuk merayakan meskipun gagal. Mari merayakan sebuah proses.