Mudik yang saya tunggu selama 7 tahun lebih sejak pindah ke Belanda akhirnya terlaksana juga. Kami 9 minggu tinggal di Indonesia. Saya sudah menuliskan cerita mudik kami bagian awal di sini. Tentu saja mudik yang penuh dengan suka cita karena bisa bertemu hampir seluruh keluarga besar. Walaupun mudik pertama ini saya hanya dengan 2 anak balita, tanpa suami, tidak menjadikan suasana mudik berkurang keceriaannya. Justru saya banyak bersyukur suami saya tidak ikut karena kami bisa puas dengan keluarga tanpa harus “terbebani” untuk liburan ke tempat tertentu. Kalau dengan suami suasananya pasti beda ya karena pasti dia maunya liburan juga. Sementara buat saya liburan ya artinya berkumpul dengan keluarga, mengunjungi keluarga di beberapa kota.
Mudik hanya dengan dua balita, tentu membawa banyak cerita. Dari cerita haru, bahagia, penuh kejutan, sampai cerita yang tidak menyenangkan. Kali ini saya akan berbagi cerita yang tidak menyenangkan dulu. Cerita yang bahagia menyusul kemudian akan saya tuliskan.
Sebagai anak berdarah Indonesia dan Belanda, dua balita kami tentu saja wajahnya akan sangat berbeda dengan anak – anak asli Indonesia. Bukan hanya wajah, kulit dan rambutnya juga beda. Singkatnya, penampilan mereka memang lebih kental ke bapaknya dibandingkan Ibunya. Meskipun ya kalau diperhatikan lebih jauh, pasti adalah bagian dari wajahnya yang mirip saya. Cuma ya itu, kalau dilihat sekilas ya mirip bapaknya semua. Ini dari pendapat keluarga, teman – teman dan tetangga di Belanda. Selain itu, anak – anak kami bisa dengan lancar berbahasa Indonesia meskipun dengan aksen Belanda. Jadi ini juga salah satu penarik perhatian orang yang mendengarkan selama di Indonesia. Mereka bisa berbicara dengan lancar bahasa Indonesia, Belanda, dan Inggris.
Nah karena saya sadar 100% bahwa penampilan mereka akan mencolok mata, jadi saya harus ekstra mengawasi selama di Indonesia. Konsen saya adalah penculikan dan juga kebiasaan orang Indonesia pada umumnya misalkan colek – colek anak kecil, cubit pipi sampai mencium tanpa ijin. Ada beberapa kejadian sesuai perkiraan saya yang sangat tidak menyenangkan, sebagian besar menyangkut ke anak – anak.
Tulisan ini panjang, jadi butuh waktu yang lumayan lama untuk membacanya.
MATA MENGAWASI DARI UJUNG MATA SAMPAI UJUNG KAKI
Pertama menginjakkan kaki kembali di Indonesia, Bandara Soetta lebih tepatnya, saya langsung mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan. Hanya selang beberapa menit setelah saya keluar dari pesawat dan menuntaskan segala administrasi yang berhubungan dengan Covid, langsung saya dihadapkan pada kenyataan bahwa di negara saya dilahirkan ini banyak hal yang tidak terlalu dipikirkan kepantasan saat dilakukan.
Saat di loket imigrasi yang saat itu sangat sepi (tidak ada antrian di belakang kami), setelah petugas mengecek paspor saya dan anak – anak, mereka (ada 2 orang) meminta saya untuk melepaskan masker untuk dicocokkan dengan foto yang ada di paspor. Lalu secara bergantian melihat antara saya dan anak – anak. Lalu saya disuruh mundur ke belakang, kembali mata mereka melihat saya, kali ini dari wajah sampai ujung kaki. Lalu melihat kembali ke anak – anak. Salah satu dari mereka berkata, “Anaknya ya Bu?” Saya langsung jawab dengan cepat, “Betul Pak, anak – anak saya semua. Kenapa Pak?” Dijawab lagi sama dia, “kok beda ya Bu. Ga ada yang mirip sama Ibu. Bapaknya Bule ya?”
Saya dalam posisi sudah sangat kecapaian dari sebelum berangkat karena drama hasil PCR positif yang sangat menguras emosi dan airmata, malam sebelumnya tidak bisa tidur dengan nyenyak, selama di pesawat juga saya tidak terlalu bisa tidur punggung sakit karena anak saya yang terakhir minta dipangku saat tidur biar kakaknya tidur selonjoran, begitu sampai di Indonesia mendapatkan pertanyaan dan tatapan seperti itu. Kalau saya turuti emosi, bisa saja saya menyemprot karena perkataan mereka tidak sopan. Tapi saya sudah tidak punya energi lebih. Saya menjawab, “Saya membawa lengkap fotocopy akta lahir keduanya dan surat keterangan ijin dari suami saya, apa perlu dibuktikan kalau saya ibunya?”
Mereka tidak komen apa – apa. Bahkan mengucapkan maaf juga tidak. Paspor kami dikembalikan. Sudah begitu saja. Sambutan pertama di imigrasi benar – benar “berkesan”. Kalau mengingat lagi sekarang, saya masih terbawa emosi. Memandang orang dari atas ke bawah itu sangat tidak sopan.
Sebagai informasi, aturan di Belanda kalau mau membawa anak ke luar Belanda hanya dengan salah satu orangtuanya, maka perlu surat persetujuan orangtua yang satunya. Jadi ada surat pernyataan dan ditandatangi yang menyatakan memberikan ijin kepada orangtua lainnya untuk membawa anak ke luar Belanda. Dokumen lainnya yang perlu dibawa adalah (fotokopi) akta lahir anak tersebut (karena di dalamnya tercantum nama kedua orangtua). Kalau anak sudah usia wajib sekolah, butuh surat pengantar dari sekolah jika bepergiannya di luar liburan resmi sekolah. Dokumen – dokumen ini ditunjukkan ke pihak imigrasi jika ditanyakan. Jadi tidak perlu sampai meneliti kemiripan fisik (muka) apalagi sampai memberikan komentar sangat tidak mirip. Cukup dari surat dan dokumen resmi.
COLEK PIPI DAN BADAN
Masih kejadian di Bandara saat kami pertama tiba. Jadi selepas imigrasi dan pemeriksaan barang, kami harus pindah terminal untuk melanjutkan penerbangan ke Surabaya. Nah di pintu keluar terminal datang ke terminal selanjutnya, ada petugas yang tiba – tiba mencolek pipi anak saya yang kecil saat melewati dia. Sebelum saya sempat menegur, anak saya sudah berteriak duluan dengan suara yang sangat nyaring : STOOOOPP!! Ga boleh pegang – pegang!! (dia ngomong dalam bahasa Indonesia). Dia memang paling tidak suka dipegang orang yang tidak dikenal. Lalu petugasnya malah komentar : Ga boleh teriak – teriak. Ga sopan.
Saya langsung menegur : Bapak yang tidak sopan, tidak bertanya dulu langsung main cowel – cowel anak saya. Dia ga mau dipegang Pak, makanya dia teriak. Lalu saya ajak anak – anak menjauh dari sana.
Kejadian ini tidak sekali dua kali. Sering sekali dari orang yang tidak dikenal. Kalau kami ke suatu tempat, meleng sedikit saja langsung ada yang nyolek pipi anak – anak bahkan sampai anak – anak pernah menangis karena dicubit pipinya. Langsung saya marahi orang itu dengan suara keras : Saya bisa laporkan kamu ke polisi ya karena sudah menyakiti anak – anak saya dengan mencubit begitu sampai mereka menangis. Ga sopan sama sekali!!
Tau tidak ditanggapi apa? : Halah, wong cuma dipegang gemes gitu kok. Berlebihan sekali sampai lapor polisi. Anak artis juga bukan. Masak mau pegang pipi aja musti ijin. Saya langsung muntab dikasih jawaban begitu. Saya langsung sumpah serapah dia dan menyingkir dari sana. Benar – benar sampai bingung musti komentar apa. Ga paham lagi dengan logika berpikir seperti itu.
LONTARAN KATA – KATA YANG SANGAT TIDAK SOPAN
Ini lebih ke arah sedih ya saat saya mengingat kembali ada beberapa kata yang terlontarkan dan sangatlah tidak sopan. Sedih kenapa orang begitu gampang melontarkan pertanyaan tanpa konfirmasi sebelumnya. Langsung main asumsi sendiri. Ada beberapa cerita yang saya akan tuliskan satu persatu.
- CERITA PERTAMA
Di sebuah mall besar di kawasan Surabaya Timur, saat saya akan masuk ke dalam, ada pemeriksaan peduli lindungi. Karena waktu itu modem data saya belum datang, jadi saya malas menghidupkan data internasional. Saya mencari kertas bukti vaksin yang bisa dipakai verifikasi. Saat sedang mencari kertas di tas, salah satu petugasnya tiba – tiba bertanya, “Sudah lama mbak kerja dengan mereka?” sambil melihat ke anak – anak saya. “Bagaimana Pak, maksudnya, saya tidak paham” saya bertanya kembali. “Mbaknya sudah lama kerja sama orangtua mereka?” Sambil melihat bergantian antara muka saya yang tertutup masker dan ke anak – anak. “Saya Ibu kandung mereka” Saya menjawab dengan tegas sambil melihat langsung ke mata bapak yang bertanya tadi. “Oh silahkan masuk Mbak, ga usah dicari kertasnya. Masuk saja.”
Saya sampai ketenggengen ditanya seperti itu. Saking ketenggengan sampai mau marah saja tidak bisa.
- CERITA KEDUA
Masih di mall yang sama. Jadi saya ke mall ini ingin mencari camilan buat anak – anak. Ini hari pertama saya keluar dari hotel setelah malam sebelumnya tiba di Surabaya dari penerbangan panjang Belanda – Jakarta – Surabaya. Jadi saya masih belum mempelajari suasana sekitar hotel seperti apa. Saya sudah tau mall ini, karena dekat dengan tempat kuliah. Nah saat masuk ke supermarket yang menjual makanan – makanan impor, di pintu depannya ada petugas. Dia tidak menanyakan peduli lindungi, malah bertanya, “Wes suwe mbak dadi rewange arek – arek. Lucu – lucu yo rupane.” Terjemahannya : -Sudah lama Mbak jadi pembantunya anak – anak? wajahnya lucu – lucu ya-
Saya langsung jawab sambil menahan marah dan airmata saking kesalnya, “Saya Ibu kandung mereka. Belajar sopan santun ya Pak kalau bertanya.” Lalu saya masuk ke dalam dengan penuh kekesalan. Benar – benar membuyarkan mood saya hari itu.
- CERITA KETIGA
Saat naik taksi di Jakarta, arah dari hotel ke rumah bulek saya. Sudah duduk di dalam taksi, anak – anak mulailah ngobrol sendiri. Mereka ngobrol tentu saja bahasa campuran antara Indonesia, Belanda dan Inggris. Lalu sopir taksinya melihat dari kaca spion, “Lucu ya ngomongnya campur – campur. Pintar bahasa Indonesianya. Asalnya darimana mereka Mbak?” Saya jawab pendek, “Belanda Pak.” Lalu dia bertanya lagi, “Orangtuanya apa tinggal di Indonesia kok mereka bisa bahasa Indonesia?” Saya jawab pendek lagi, “Nggak, Pak” Dia melanjutkan, “Mbaknya sudah lama kerja sama orangtuanya ya, sampai mereka manggil Ibu ke Mbak.” Saya jawab lagi, “Saya memang Ibu kandung mereka Pak. Saya ga kerja sama mereka.” Ya Allah keseeell banget!!
Saat saya ceritakan ke suami, sampai saya menangis. Suamipun marah kenapa orang Indonesia (tentu saja yang saya ceritakan di atas) dengan gampangnya bisa melontarkan perkataan kasar dan tidak sopan seperti itu. Saya bilang ke dia kalau saya capek ke mana – mana hampir selalu disangka sebagai pengasuh mereka. Saya sampai bilang : untung kamu ga ikut pulang. Bayangkan kalau aku jalan – jalan sama kalian, bisa selalu disangka kerja sama kalian, bukan dilihat sebagai istrimu dan ibu dari anak – anak. Dan kejadian ini selalu saya dapatkan di kota besar. Bukan di kota kecil. Padahal saat bertanya seperti itu, muka saya tertutup masker, sehingga mereka tidak melihat seutuhnya wajah saya. Sampai ada masanya saya jadi mengamati sendiri apa sebeda itukah wajah saya dengan anak – anak. Apa tidak ada miripnya. Padahal ya selama ini mereka yang sudah ketemu langsung dengan anak – anak, bilang kalau garis wajah mereka campuran dari saya dan bapaknya. Kenapa begitu di Indonesia, adaa saja komentar yang membuat hati saya down sampai ke arah tidak percaya diri. Ini hanya saya alami selama mudik 9 minggu di Indonesia. Di Belanda tidak pernah saya mendengar komentar seperti itu.
Malah saya sampai mikir apa penampilan saya ini tidak mencerminkan Ibu dari anak – anak berdarah campur atau gimana, apa terlalu lusuh atau kurang mewah. Apa saya harus berpenampilan penuh dengan merek – merek mahal jadi tidak diragukan sebagai Ibu mereka. Apa tampilan saya kurang mentereng jadi tidak pantas dilihat jadi istrinya orang Belanda. Kenapa saya selalu dicurigai bukan Ibu mereka selama di kota – kota besar di Indonesia. Sedih lho ini menuliskan seperti ini. Saya yang mengandung mereka dan melahirkan. Sampai airmata saya keluar lagi mengingat kejadian waktu mudik. Nelongso. Saya tidak pernah mendapatkan perlakuan seperti ini selama di Belanda.
NYOSOR CIUM PIPI
Sejak anak – anak masih di bawah tiga tahun, bahkan sejak masih bayi, kami sudah mengajarkan pendidikan sex dimulai dari penyebutan secara benar anggota tubuh dan alat kelamin. Penis untuk pria dan vagina untuk wanita. Sebelum masuk usia sekolah, kami mulai mengkomunikasikan siapa saja yang boleh dan tidak boleh menyentuh alat kelamin mereka. Bahkan untuk mencium pipi pun, kami bertanya lebih dulu boleh tidak, untuk mengajarkan privasi , respect dan batasan pada anggota tubuh mereka. Kalau mereka tidak membolehkan, kami tidak akan memaksa. Hal ini sering terjadi. Saat mereka tidak mood, saya ingin mencium pipi mereka karena gemas misalkan, ya mereka tidak mau. Saya tidak memaksa.
Begitu juga untuk urusan mengambil foto mereka. Kami selalu meminta ijin boleh tidak untuk difoto. Mau tidak difoto. Kalau mereka tidak mau, ya kami tidak memaksa. Jadi mereka sudah punya batasan dan tau kapan batasan tersebut digunakan. Terhadap badan dan privasi. Sekalinya kami merusak batasan yang mereka sudah bangun, takutnya mereka tidak merasa nyaman lagi dengan kami. Padahal yang ingin kami bangun adalah mereka merasa nyaman dan aman di dalam keluarga. Bahwa rumah dan keluarga adalah tempat yang aman dan nyaman selamanya meskipun mereka sudah tidak bersama kami lagi. Bahwa mereka percaya dengan kami dari contoh yang kami berikan.
Di Indonesia, beberapa ibu – ibu terutama yang tidak saya kenal sama sekali, langsung nyosor mencium anak – anak. Bayangkan, langsung mencium pipi mereka. Karena mereka sudah kami ajari hal – hal yang kami sebutkan di atas, reaksi saat dicium, mereka kaget dan langsung membentak : STOOPP!! GA BOLEH CIUM – CIUM PIPI!! dilanjutkan dengan sikap badan membersihkan pipi yang dicium tersebut dengan pergelangan tangan. Saya pun langsung menegur dengan geram dan keras : Ibu, yang sopan ya. Jangan kurang ajar asal main cium anak orang sembarangan!! Jaga sopan santunnya. Saya ngomong kencang sambil nunjuk – nunjuk muka si Ibu itu. Marah, kesal dan sedih campur jadi satu. Membayangkan pipi anak – anak sudah ketempelan kuman virus apa, kan saya tidak tau sehat apa tidak orang – orang itu.
Hal tersebut kejadian beberapa kali. Tukang sosor ada di mana – mana. Dan ini bukan dari pihak orang yang saya kenal. Dan selalu di kota besar yang saya datangi. Bayangkan, mengerikan sekali ini. Sangat kurang ajar.
MENYODORKAN TANGAN UNTUK SALIM
Sebenarnya ini pertanyaan saya sejak dulu kala. Ada obsesi apa dengan orang Indonesia yang nampaknya selalu menyodorkan tangan kepada anak kecil atau yang lebih muda dalam posisi untuk dicium. Salim dalam kata pendeknya. Saya sendiri melakukan salim hanya kepada keluarga dekat yang jauh lebih tua. Misalkan : Ibuk, Bapak, Mbah Putri, Bude. Selebihnya saya tidak salim. Hanya salaman sambil agak menundukkan badan. Bagaimanapun juga, saya masih produk didikan generasi lama dimana gesture badan itu wujud dari kesopanan.
Saya paham karena diajarkan kalau salim adalah bentuk kesopanan. Hanya, saya tidak mengajarkan cara ini kepada anak – anak. Ada dua alasan :
- Higienis. Ini alasan utama karena tidak tau kondisi tangan seseorang seperti apa. Tidak yakin bahwa tangannya bersih dalam artian sudah dicuci sebelumnya. Bisa saja setelah memegang sesuatu atau setelah mengerjakan sesuatu. Jadi daripada ragu, mending tidak usah sekalian. Apalagi dalam situasi Covid kan, kalau perlu tidak usah berjabat tangan.
- Tinggal di Belanda tidak ada salim. Saya tidak pernah mengajarkan salim ke anak – anak karena mereka tinggal di Belanda dan salim tidak ada dalam budaya sini. Saya tidak mau membuat mereka bingung, pun orang lain bingung kalau mereka melakukannya. Saya hanya komunikasikan bahwa di Indonesia, anak – anak biasa salim kepada orangtuanya. Atau yang lebih muda kepada yang dituakan atau lebih tua. Tentu saja mereka bertanya kenapa ada salim. Saya jelaskan bahwa di Indonesia, salim adalah bentuk kesopanan. Kamipun bilang kalau mereka tidak perlu salim kepada kami.
Sebelum mudik, jauh hari sudah saya komunikasikan ke mereka bahwa saat nanti di Indonesia, hanya boleh salim ke Mbahnya (Ibu saya) saja. Selebihnya tidak boleh, jabat tangan saja sudah cukup. Karena alasan higienis dan covid. Jadi kalau ada yang menyodorkan tangannya untuk salim, jawab saja tidak mau. Mereka sudah paham dan mengerti alasan tidak boleh salim ke sembarang orang.
Pada saatnya, memang banyak yang menyodorkan tangan dalam posisi salim. Bahkan tidak segan – segan menyorongkan punggung tangan ke hidung anak – anak. Mereka langsung dengan tegas bilang : Tidak boleh salim takut tangannya kotor. Kalau yang paling kecil akan bilang secara singkat : Aku ga mau salim.
Oh tentu saja saya mendapatkan banyak sekali teguran kenapa kok mengajarkan hal yang “tidak sopan” ke anak – anak. Kenapa kok sok banget jadi anak bule. Dan banyak komentar pedas lainnya (bukan dari keluarga dekat). Saya jawab saja dengan santai : Mereka tau sendiri mana yang boleh dan tidak. Saya mengajarkan yang menurut saya dan suami benar.
Saya tidak mau ambil pusing. My kids my rules. Selama Ibuk saya selaku mbah mereka tidak protes, disenyumi saja kalau ada yang berkomentar tidak nyaman.
MEMVIDEOKAN TANPA IJIN
Poin ini tidak kalah membuat darah mendidih kalau diingat lagi pada saat kejadian. Di Belanda, yang namanya privacy itu sangat kuat dijaga. Kami sudah terbiasa dengan ini. Di sekolah anak – anak, sejak awal masuk sudah ada formulir persetujuan apakah foto anak bisa diunggah ke website sekolah atau media sosial milik sekolah. Dan kami, sejak awal mereka mulai mengenal bangku sekolah, selalu memilih tidak ingin pihak sekolah membagikan foto mereka di website atau media sosial. Hanya mengijinkan untuk dibagikan di grup orangtua per kelas. Sampai saat ini pun saya dan suami masih dengan kesepakatan bersama untuk tidak mengunggah foto anak – anak di media sosial manapun selama mereka masih belum bisa berpendapat secara sadar apakah fotonya boleh diunggah ke medsos orangtuanya. Bahkan kalau ada kegiatan, orangtua murid selalu anteng tidak mengambil foto atau memvideokan karena tau pihak sekolah sudah ada dokumentasinya. Atau jika diijinkan, kami masing – masing tau diri untuk disimpan sebagai dokumentasi pribadi.
Di Indonesia, kesadaran tentang privasi (terutama pada anak) rupanya agak kurang ya. Paling tidak ini yang saya amati selama di sana. Ada beberapa kejadian tidak mengenakkan yang saya alami :
- Cerita 1 di dua lokasi indoor playground di Surabaya
Selama di kota besar, saya selalu ke Indoor Playground yang berada di dalam mall. Kalau harus ke outdoor playground, saya terus terang tidak kuat hawa panasnya. Kibar bendera putih. Anak – anak setiap hari pasti bermain di luar kalau di Belanda. Jadi selama di Indonesia, merekapun ingin seperti itu. Untuk mencari nyamannya, ya saya datang ke indoor playground. Di tempat yang pertama, setelah kami masuk ke dalam dan anak – anak mulai bermain, tanpa ada pemberitahuan apa – apa, si Mbak penjaganya tiba – tiba menyorongkan kamera persis di depan muka anak – anak saya yang sedang bermain. Saya yang menunggu dari kejauhan (masih di dalam area) awalnya bingung. Lalu otak saya cepat sadar, oh pasti itu akan diunggah di media sosial mereka. Saya langsung mendatangi dia dan bertanya baik – baik apakah dia sedang merekam dan untuk apa merekam anak – anak saya. Dia bilang untuk bahan promosi di media sosial mereka. Saya katakan kalau saya keberatan dan minta dia untuk menghapus video yang sudah dibuat. Saya juga bilang untuk meminta ijin dulu sebelum merekam. Dia meminta maaf dan menghapus video tersebut di depan saya.
Lalu tidak berapa lama kemudian, saya melihat dia merekam anak – anak yang lain secara dekat. Jadi bukan dari jarak jauh memperlihatkan keseluruhan ruangan. Orang tua si anak – anak ini senang – senang saja anaknya direkam. Ya saya sadari beda orangtua beda aturan ya. Kalaupun yang sedang bertugas merekam secara keseluruhan ruangan, saya tidak akan keberatan karena jatuhnya sudah masuk ruang publik ya. Toh muka anak – anak tidak akan tersorot secara jelas. Saya tidak masalah dengan hal tersebut. Tapi kalau langsung mereka jarak dekat satu persatu saat sedang main, saya keberatan.
Di playground kedua di lokasi berbeda, saya mengalami hal yang nyaris sama. Tiba – tiba ada petugas yang mengikuti anak – anak saat bermain dan merekamnya. Langsung saya tegur juga dan minta videonya untuk dihapus. Mereka memang menghapusnya karena saya menunggu langsung sampai videonya benar – benar terhapus.
Mungkin di Indonesia menjadi hal yang biasa memvideokan anak orang lain tanpa ijin. Saya tidak terbiasa dengan hal tersebut jadinya saya tegur dan minta video tersebut dihapuskan.
- Cerita 2 di indoor playground di Jember
Ditengah permainan, anak bungsu saya tiba – tiba cranky. Saya melihat dulu dari jauh. Tapi dia masih menangis dan tambah nyaring. Saya lihat dengan jelas, seorang Ibu yang duduk dekat dia, arah membelakangi saya, merekam anak saya yang menangis. Saya bisa melihat saat saya berjalan menuju anak saya. Saya lalu tegur Ibunya, “Bu, sedang merekam anak saya?” Dia menoleh, “Oh anaknya ya Bu. Lucu sekali ya, gemas saya makanya saya rekam. Mukanya bule sekali ya Bu, bapaknya bule ya?” Saya jawab “Bisa dihapus Bu rekamannya? Saya tidak memberi ijin Ibu buat merekam dan Ibu tidak ada ijin apa – apa merekam anak saya yang sedang menangis. Itu namanya pelaggaran Bu” Dia langsung minta maaf dan menghapus rekaman video itu.
Gila yaaaa, ada anak nangis sempat – sempatnya ambil video dan itu anak orang lain pula. Dia ini seorang Ibu lho yang anaknya main di situ juga. Lihatlah, ga ada yang namanya menghormati privasi orang lain. Anak orang divideokan sembarangan yang entah nanti itu buat apa. Lancang sekali. Buat konten media sosial dia atau buat apa, saya ga paham. Yok opo cak, kok gampang men mideo – mideo anak e uwong liyo.
Perkara privasi ini memanglah PR besar di Indonesia.
- Cerita 3 anak tetangga
Saat kami mengunjungi tetangga di rumah orangtua saya yang satunya, anaknya yang memang dekat dengan saya sejak kecil merekam anak – anak saya bermain. Saya biarkan saja dengan asumsi bahwa dia kan sudah besar dan baru lulus kuliah. Saya berpikirnya dia merekam untuk dokumentasi pribadi. Sampai besok paginya saat saya ke sana lagi untuk menitipkan anak – anak karena saya mau laser kutil – kutil di wajah, tetangga saya ini bilang kalau banyak yang berkomentar lucu di video yang dibuat anaknya. Wah, saya langsung kaget dan bertanya ke anaknya itu diunggah ke mana video yang dia buat. Dia bilang di whatsapp status. Saya bilang ke dia : kamu boleh merekam anak – anak karena saya kenal kamu, tapi buat dokumentasi pribadi saja ya siapa tau nanti kangen sama mereka. Jangan diunggah ke whatsapp story atau di media sosial manapun. Buat diri sendiri saja.
Setelahnya, dia sama sekali tidak mau merekam atau memfoto anak – anak. Jadi, daripada main asumsi, harusnya saya sampaikan saja di awal perihal video atau foto. Karena memang tidak semua orang sensitif perihal membagikan foto atau video yang harus seijin dulu.
- Cerita 4 random lainnya.
Saat itu kami selesai main di indoor playground di kota yang sama dengan cerita nomer 3, kami duduk – duduk di depan pusat pertokoannya karena menunggu dijemput adik saya. Anak – anak bermain sendiri. Tidak jauh di depan saya duduk, ada dua perempuan berjilbab panjang yang sedang memegang telefon. Awalnya saya pikir mereka sedang posisi video call an. Lama – lama saya curiga karena mata mereka bergantian antara lihat telefon dan melihat anak – anak. Sesekali mereka bisik – bisik ngomong : duh lucunyaa, bule banget. Belum sempat saya berdiri untuk bertanya apa mereka sedang memvideokan anak – anak atau ambil foto, salah satu dari mereka tiba – tiba menghampiri si sulung trus memberikan instruksi : hai hai, coba bilang halooo, say haaiii. Dia benar – benar menyorongkan Hp nya dalam posisi vertikal persis depan muka si sulung. Saya langsung berdiri dan menegur, “Mbak, sedang apa ya?” Dia jawab, “oh ini live di IG karena anak ini lucu sekali, bule banget. Ini banyak yang komen pada suka.” Saya langsung dengan suara keras, “Matikan sekarang HPnya. Dia anak saya dan saya tidak memberikan ijin apapun sebelumnya untuk merekam anak – anak saya, mengambil fotonya bahkan menaruhnya di live IG kamu. Sangat tidak sopan ya itu. Lancang! Sudah sedewasa ini perihal sopan santun sesederhana ini saja tidak bisa. Bisa saya lihat galery fotonya, kalau ada foto atau video anak – anak, saya minta dihapus sekarang juga.” Lalu dia menunjukkan galery foto yang ternyata ada beberapa foto dan rekaman video anak – anak. Dia langsung menghapus, minta maaf, dan pergi dari situ bersama temannya.
Ya Allah Live IG Cak!! Kene sing ibuk e ae ga tau live2an kok iki dadi nggawe konten anak e uwong liyo.
Ngeri sekali kan kalau ada orang yang tidak dikenal tiba – tiba mengambil video, foto tanpa sepengetahuan kita. Apalagi ini video atau foto anak – anak. Saya tidak tau nanti akan berakhir di mana foto mereka. Jaman sekarang banyak hal bisa terjadi. Susah payah kami menjaga mereka, eh orang lain berlaku sembarangan. Jadi saya melakukan sebisa mungkin pencegahan yang masih bisa saya jangkau dan bisa saya kendalikan. Ini memvideokan yang ketahuan mata ya, entah apa ada yang memvideokan atau memfoto yang tidak ketahuan lalu diunggah di medsos dengan narasi sendiri seperti yang akhir – akhir ini banyak terjadi. Entahlah.
Begitulah beberapa cerita tidak menyenangkan yang saya alami kebanyakan menyangkut anak – anak dan kejadiannya di kota besar. Di desa, kampung dan kota kecil malah ga ada yang peduli. Kami dianggap manusia normal. Apalagi keluarga besar saya, tidak memperlakukan kami istimewa dan tidak sibuk foto – foto atau memvideokan anak – anak. Biasa saja. Kalau diingat lagi memang menyakitkan dan membuat marah. Bagaimanapun, ini bagian dari cerita mudik kami yang ada bagian menyebalkannya, harus saya tuliskan di blog sebagai bahan pengingat diri sendiri dan yang membaca bahwa kejadian – kejadian ini nyata kami alami dan supaya jadi pembelajaran bagi siapapun yang baca (juga kami) tentunya untuk berhati – hati. Memang yang namanya kejadian tak terduga pasti akan selalu ada. Hanya saja, bisa jadi gambaran untuk mereka yang akan membawa anak – anak mudik ke Indonesia, terutama yang penampilannya mencolok mata karena berdarah campuran, untuk lebih berhati – hati. Saya yang sudah mempersiapkan diri sangat berhati – hati saja, masih menemui hal – hal yang seperti ini.
Kembali lagi, ini cara kami menjaga anak – anak. Pasti akan beda aturan dengan keluarga yang lain. Jadi yang saya ceritakan pada tulisan kali ini, berbeda dengan value keluarga kami dan masuk area yang tidak menyenangkan.
Semoga tulisan saya ini dibaca oleh mereka – mereka yang sering diam – diam memvideokan anak – anak atau mengambil foto tanpa ijin maupun kejadian random lainnya, yang suka mencolek maupun mencium anak – anak sembarangan, yang suka menghakimi penampilan Ibu yang tidak mirip anaknya, dan yang gampang melontarkan perkataan tidak sopan. Bertobatlah bertobatlah!! Perbuatan Anda Anda sekalian sangatlah tidak terpuji dan di luar batas kesopanan. Lancang dan kurang ajar!
- 4 Oktober 2022-