Sudah seringkali saya singgung di blog ini tentang rencana mudik yang ada saja tertunda setiap tahunnya. Sudah beli tiket pun ya tetap tertunda. Jadi sejak pindah ke Belanda, saya belum pernah mudik sama sekali. Tahun ini, adalah tahun ke tujuh saya jadi imigran. Kangen Indonesia? ya jelas donk! Bagaimanapun juga, seburuk – buruknya Indonesia, itulah tempat saya lahir dan besar. Keluarga besar di sana, sahabat dan teman – teman dekat juga di sana, tempat saya meniti karier juga di sana, jatuh bangun dalam percintaan (halah, kok yo disebut barang), menempuh pendidikan formal dari SD sampai S2 juga di sana. Jadi, tidak mungkin kalau saya tidak rindu Indonesia. Selain keluarga besar, teman – teman dan para sahabat, yang paling saya rindukan tentu saja makanannya.
Tahun 2019 akhir, setelah kami Haqul Yakin akan mudik tahun 2020, mulailah saya mencicil untuk membuat daftar makanan apa saja yang wajib saya makan selama mudik 3 bulan. Sebenarnya 3 bulan ini saja buat saya rasanya terlalu singkat. Mana bisa waktu sesingkat itu berkunjung ke semua saudara, apalagi untuk mencicipi segala makanan. Lha wong keluarga besar saya itu sukanya menjamu saudara yang datang. Belum lagi Ibuk, tidak mungkin tidak memasak untuk anak perempuannya ini. Saya pun sudah pesan segala makanan ke Ibu untuk dimasakkan saat kami mudik. Perut cuma sebesar ini, daftar makanannya sampai beberapa bab sendiri. Ya mana muat.
Sebenarnya untuk urusan makanan Indonesia, di Belanda ini gampang sekali mencari restoran Indonesia yang rasanya benar – benar Indonesia. Belum lagi katering rumahan. Apalagi di Den Haag ya, tinggal tunjuk dan punya duit banyak saja, tiap hari bisa makan masakan Indonesia, kalau niat. Banyak sekali restoran Indonesia dan katering rumahan di sekitaran Den Haag yang rasanya masih Indonesia. Tapi, banyak juga Restoran Indonesia yang rasa masakannya sudah menyesuaikan dengan lidah orang Belanda. Jadi sudah tidak autentik lagi (dari sudut pandang orang Indonesia). Tinggal di dekat Den Haag ini sebenarnya dimanjakan sih. Segala sesuatunya gampang kalau berhubungan dengan makanan. Untungnya, saya bisa tahan diri *soale duite ga cukup. Saya jarang njajan karena ya kalau masih bisa masak sendiri, ya saya masak. Sesekali saja palingan njajannya sambil ketemu teman.
Bahan untuk memasak makanan Indonesia pun, gampang sekali dicari di sini. Jastip juga sekarang bisa membawa segala macam yang dipesan dari Indonesia. Jadi kalau benar – benar rindu dengan masakan Indonesia yang bukan kebanyakan dijual di restoran atau katering rumahan, saya bisa memasak sendiri. Misalkan masakan khas daerah tempat saya besar. Jadi istilahnya, selama ada niat (dan uang) rindu masih bisa lah terobati dengan segala makanan Indonesia yang dijual di sini. Atau ya memasak sendiri kalau lebih ingin sesuai selera lidah saya.
LUPA RASA ASLINYA
Meskipun gampang sekali untuk tetap makan hidangan asli Indonesia, baik itu memasak sendiri, ataupun membeli, ada saja beberapa masakan yang saya mulai lupa rasa aslinya. Kalau untuk urusan Bahasa Ibu, mau berapa lamapun tinggal di luar Indonesia, mustahil bagi saya untuk lupa. Lha wong saya ngobrol dengan Ibu dan saudara di sana menggunakan bahasa Indonesia dan Jawa, ya ga mungkin lah mendadak lupa. Tapi, kalau rasa makanan, ternyata setelah lebih dari 6 tahun tidak mudik, bisa membuat lidah dan otak saya agak lupa ini rasa aslinya seperti apa.
Sering kali kalau bertanya resep ke Ibuk, saya pasti bertanya : ini rasa yang dominan apa ya Buk? saya kok agak lupa. Tahun lalu, pertama kali saya masak Pecel Pitik. Ini masakan khas desa tempat Mbah. Setiap lebaran, selalu ada masakan ini. Jadi, sejak saya bisa makan pedas, ya setiap tahun saya makan pecel pitik kalau lebaran. Nah, sejak di Belanda, lebaran jelaslah tidak ada pecel pitik. Selain tidak ada yang jualan, saya juga tidak terpikir untuk membuat sendiri. Karena tahun lalu kami gagal mudik, untuk mengobati kerinduan lebaran di desa, saya bertanya ke Ibuk apa resepnya dan bagaimana cara membuatnya. Kalau di desa, para Bude dan Mbah yang biasa memasak. Saya tinggal duduk manis menyantap karena biasanya Bapak dan Ibuk sampai di desa sehari sebelum lebaran. Jelas semua masakan untuk lebaran sudah matang semua. Kalaupun saya masih ada kesempatan membantu, paling banter ya cuma bagian mengulek cabe.
Bertanya bumbu pecel pitik ke Ibuk juga sebenarnya salah alamat. Lha wong Ibuk tidak pernah memasak hidangan ini seumur hidup Beliau. Sama seperti saya, Ibuk hanya bagian penyantap saja. Ibuk lalu bilang akan menanyakan ke Bude bumbu dan cara memasaknya seperti apa. Setelah dituliskan lengkap dan saya bertanya lebih detail, lalu pertanyaan pamungkas saya : Buk, ini rasa yang dominan apa ya selain pedas? Saya kok ingatnya hanya rasa pedas yang menyengat. Rasa dominan yang lainnya apa ya? Saya agak lupa.
Lain waktu, saat saya membeli Rujak Cingur di warung the one and only rasa rujak cingurnya paling wenaakk se Belanda, Warung Barokah di Amsterdam. Eh ternyata mereka juga menjual Tahu Campur Lamongan. Tanpa pikir panjang, saya langsung membungkus 2 porsi. Saya pikir karena rasa rujaknya tidak mengecewakan, pasti tahu campurnya pun tidak. Yang masak sekaligus pemilik warungnya asli orang Jawa Timur. Jadi pasti terpercayalah untuk rasa, begitu pikir saya. Sesampainya di rumah, tidak sabar saya mencicipi tahu campurnya. Pas merasakan, saya sampai berpikir lama. Kok seperti ini ya rasa tahu campurnya. Seingat saya, tidak seperti yang saya rasakan saat itu. Tapi saya sendiri juga agak lupa rasa aslinya nya seperti apa.
Saya lalu berkirim pesan ke grup yang isinya orang Jatim semua. Kami cuma berempat saja, hampir bersamaan pindah ke Belanda. Saya ingin mengkonfirmasi rasa dominan tahu campur itu seperti apa. Mereka lalu tertawa. Pasalnya, di grup ini juga beberapa kali sebelumya, dari anggota lainnya yang bertanya rasa atau bentuk asli dari masakan A, B, C dsb, seperti apa. Waktu kami ngobrol tentang isi pastel, satu teman malah nanya kok pastel isinya banyak banget. Dia lupa, pastel di Indonesia kan isinya aneka rupa dari bihun, wortel, kentang, ayam atau potongan telur rebus. Ya begini kalau sama – sama tidak pernah mudik setelah di Belanda. Lalu ketika saya bertanya, kok ya akhirnya giliran lupa rasa asli masakan sampai juga pada saya. Jadi bukan tahu campurnya yang tidak enak, lidah saya saja yang lupa rasa aslinya seperti apa.
Sebenarnya lupa rasa asli beberapa makanan Indonesia, tidak hanya dua dari yang saya sebutkan di atas. Masih ada beberapa masakan atau jajanan yang saya mulai samar ingat ini rasa aslinya seperti apa. Mungkin lidah saya mulai bingung. Kalau sedang malas masak tapi ingin makan masakan Indonesia, saya sesekali membeli di toko dekat rumah. Yang masak orang Indonesia asli, tapi mayoritas rasa makanan Indonesia yang dijual sudah disesuaikan dengan lidah orang lokal. Jadi bumbunya tidak terlalu medok. Kata suami : bahkan rendang yang dijual, kalah enak rasanya dengan rendang buatanmu. Ya beginilah kalau punya suami yang lidahnya sudah terhipnotis masakan istrinya. Semua rasa makanan Indonesia di luar sana pasti dibandingkan dengan masakan istrinya. Sering saya ingatkan : sesekali ga usah komen mbanding – mbandingin dengan masakanku. Sudah dinikmati saja, meskipun menurutmu ga enak. Senang sih dipuji sama suami. Tapi kan saya juga ingin menikmati makan tanpa masak sendiri.
Jadi, lidah saya mungkin bingung. Sudah tercampur dengan rasa masakan Indonesia yang masih otentik maupun yang sudah disesuaikan dengan lidah orang lokal. Belum lagi kalau saya masak sendiri, rasanya ya tentu saja sudah saya sesuaikan dengan lidah keluarga saya. Mbuh akhire bingung sing asli rasa Indonesia iku sing endhi.
Lucu juga ya, makan masakan Indonesia sejak lahir, tapi begitu jadi imigran dan lama tidak pulang, jadi ada yang terlupa beberapa makanan rasa aslinya seperti apa. Apalagi untuk makanan yang tidak biasa dijual bahkan tidak dijumpai di restoran manapun bahkan katering rumahan. Entah lupa rasa asli ini terjadi pada semua imigran yang lama tidak mudik, atau hanya pada imigran yang lidahnya agak belagu, seperti saya. Sok – sok lupa rasa masakan asli, padahal tiap hari ya makan pakai sambel terasi *jaka sembung.
-25 Maret 2021-