Pagi ini sedang sendu, hujan nampak dari jendela. Rintiknya yang tempias dikaca, mendung pekat yang menggelayut dan suhu 5 derajat celcius makin membuat ingin merapatkan baju hangat ke badan. Suami sedang bekerja dari rumah, saya sedang mati gaya karena sudah melakukan aktifitas harian dirumah. Akhirnya saya ikut duduk disebelah suami diruang kerjanya sambil melihat album foto dilaptop. Untuk mengobati kesenduan pagi ini, lebih baik saya berbagi cerita dan foto bunga-bunga di Keukenhof 2014 pada bulan Mei saat untuk pertama kali berkunjung ke Belanda dalam rangka berkenalan dengan keluarga (calon) suami.
Keukenhof ini adalah taman bunga yang terletak di Lisse, Belanda, dan merupakan taman bunga terbesar di dunia. Menurut website Keukenhof, terdapat tujuh juta kuntum bunga yang ditanam setahun sekali di taman tersebut. Taman ini dibuka biasanya pada akhir maret sampai akhir mei setiap tahunnya. Untuk tahun 2015 ini, Keukenhof akan berlangsung dari 20 Maret – 17 Mei. Tahun lalu ketika berkunjung kesini, saya sudah di akhir periode, sehingga tidak terlalu banyak sekali ragam bunga yang bisa dijumpai. Itupun saya sudah sangat bersyukur bisa melihat secara langsung bunga Tulip untuk pertama kali yang biasanya selama ini hanya bisa dilihat ditelevisi ataupun majalah-majalah, bahkan selebaran-selebaran ketika saya masih rajin berburu beasiswa ke Belanda.
Saya memotret bunga-bunga ini dengan menggunakan kamera HP. Jadi memang amatiran sekali hasilnya, karena asal jeprat jepret sana sini. Oh iya, kalau sore, di area Keukenhof ada parade bunga dengan bentuk-bentuk yang unik-unik. Karena waku itu saya berdiri jauh dari tempat berlangsungnya parade, jadi hasil fotonya juga tidak maksimal.
Selamat hari Jumat, selamat berakhir pekan dengan teman, keluarga, dan orang-orang tersayang. Semoga akhir pekan kita senantiasa berbunga-bunga cerah ceria. Jika ada yang sedang tertimpa masalah ataupun musibah, semoga diberikan kemudahan untuk menyelesaikan dan menghadapinya serta segera berlalu dan kembali ceria seperti sediakala
Hari minggu kemarin rencananya tidak pergi kemana-mana. Ingin baca-baca buku dirumah sambil menemani Suami yang sedang mengerjakan tesis. Tiba-tiba sabtu malam Suami mengutarakan niat untuk mengajak saya ke Leiden hari minggunya karena ada beberapa literatur yang harus dipinjam dari perpustakaan. Wah saya senang sekali karena bisa napak tilas jejak Lintang salah satu tokoh dibuku Negeri Van Oranje. Karena buku inilah obsesi saya untuk melanjutkan kuliah di Belanda semakin menjadi. Ternyata jalan cerita berubah, ke Belanda bukan karena kuliah, tetapi menikah ๐
Hari minggu 15 Februari 2015, cuaca cerah, 6 derajat celcius, matahari bersinar terang, tetapi angin masih membawa hawa dingin yang menggigit. Kami tiba di Leiden Centraal jam 1 siang. Rencananya makan dulu, karena belum ada makanan masuk perut pada saat siang. Apa daya restoran yang ingin dituju belum buka. Akhirnya kami memutuskan langsung menuju perpustakaan sambil jalan-jalan menyusuri beberapa tempat yang sering dikunjungi wisatawan. Kincir angin tempat Museum De Valk. Kami tidak masuk kedalamnya, hanya melewati sepintas. Museum De Valk juga merupakan salah satu icon Leiden. Kemudian kami juga berkunjung ke de Burcht, benteng yang menyerupai kastil dibangun pada tahun 1150 sebagai tempat pertahanan warga Leiden dari bahaya banjir pada saat itu (menurut informasi yang tertera dipapan pintu masuknya). Dari atas de Burcht kita juga bisa melihat keindahan sekeliling kota Leiden dan melihat dengan jelas objek-objek wisata penting koยญta itu mulai dari gedung Balai Kota, Gereja Pieterkerk, St Pancrasยญkerk, Museum Windmill, Morrspoort, Academy Building sampai Hortus Botanicus. Bahkan ada yang menyebutkan, jika singgah ke Leiden tetapi belum ke de Burcht, sama saja belum berkunjung ke Leiden.
Setelahnya kami menyusuri jalan disebelah kanal melihat gedung pemerintahan, Gereja dan Universitas Leiden. Karena saya tidak mempunyai kartu anggota jadi tidak boleh masuk kedalam perpustakaan (bisa masuk setelah mengisi form, tapi kemarin saya belum melakukannya. Mungkin kunjungan berikutnya), maka saya jalan-jalan sekitaran kampus saja. Leiden juga terkenal sebagai kota kelahiran Rembrandt van Rijn, dan kemarin begitu ketemu dengan rumahnya malah lupa difoto. Ada museum yang terkenal lainnya juga di Leiden yaitu Rijksmuseum van Oudheden (kami tidak masuk, hanya lewat didepannya saja). Selain itu, di Leiden juga terkenal dengan dinding-dinding yang bertuliskan puisi sastrawan terkenal dunia. Saya juga menjumpai masjid di lingkungan Universitas Leiden.
Hortus Botanicus merupakan tempat yang kami kunjungi terakhir. Jadi, menurut keterangan yang ada di papan pintu masuknya, Hortus Botanicus ini adalah kebun raya tertua di Belanda dan salah satu yang tertua didunia. Hortus Botanicus mempunyai hubungan sejarah dengan Kebun Raya Bogor yang didirikan oleh C.G.L Reindwart pada tahun 1817 yang dikemudian hari manjadi salah satu pejabat di Hortus Botanicus. Karena masih musim dingin, tidak banyak bunga yang bisa kami temui. Satu yang berkesan yaitu rumah kaca yang beriklim tropis mengingatkan saya akan tegalan rumah mbah didesa. Masuk kedalam Hortus Botanicus ini membayar 7 euro atau gratis jika mempunyai kartu tanda mahasiswa di Universitas Leiden.
Dibawah ini beberapa foto hasil jalan-jalan di minggu siang ๐
KULINER :
SELERA ANDA
Setelah puas berjalan-jalan, juga karena sudah sangat lapar, maka selanjutnya adalah makan. Pilihan jatuh di Restoran Indonesia Selera Anda. Letaknya dekat sekali dengan Leiden Centraal, sekitar 5 menit jalan kaki. Restoran ini menyediakan makanan yang langsung bisa dipilih dari etalase, kemudian dipanaskan menggunakan microwave. Paketnya juga bermacam. Secara rasa, menurut kami standar, tidak ada yang istimewa, dan tidak ada rasa khasnya. Ruangannya bersih terdiri dari 5 meja. Dari pengamatan, yang datang ke Selera Anda kebanyakan membeli dibawa pulang. Pelayanannya ramah, sempat berbincang juga dengan bapak-bapak yang menunggu didepan restoran.
ES KRIM
Dan jalan-jalan 4 jam hari itu ditutup dengan es krim coklat yang lezat. Kami berdua memang penggemar es krim. Jadi bisa dipastikan kalau sedang jalan-jalan yang dicari es krim.
Semoga foto-foto yang tersajikan tidak membosankan meskipun ceritanya hanya sekilas saja.
Semua foto yang ada disini adalah dokumentasi pribadi
Andien nama panggilannya. Dia teman kelas saya ketika kami sama-sama dibangku SMA di Surabaya. Dua tahun kami duduk berdekatan, ketika kelas satu dan kelas tiga. Andien ini pintar, rajin, dan tulisannya juga rapi. Pemalu, cantik dengan rambutnya yang pendek, selalu rapi dengan seragam SMAnya, duduk selalu dideretan depan, dan selalu sholat dhuha di Masjid Sekolah-itu adalah yang saya ingat dari dia. Satu lagi, karena dia cantik, tentu saja banyak teman-teman kami yang naksir dia. Entah kenapa hanya sebatas naksir tidak pernah terdengar Andien pacaran selama di SMA. Kami bukan kawan dekat ketika satu kelas, meskipun begitu kami juga tidak pernah asing satu sama lain karena pernah dua tahun dikelas yang sama. Terakhir saya berhubungan dengan dia ketika kelas tiga. Setelah kelulusan SMA, saya tidak pernah tahu lagi bagaimana kabarnya, bahkan kuliah dimana pun saya tidak tahu dan juga tidak berusaha mencari tahu. Saya terlalu sibuk dan bahagia dengan dunia kuliah sampai tidak tahu lagi kabar teman-teman SMA lainnya, kecuali yang satu tempat kuliah.
Empat atau lima tahun yang lalu, tiba-tiba ada yang permintaan pertemanan di FB. Namanya Andien lengkap nama panjangnya. Foto profilnya hanya kaki dengan kutek merah. Saya kaget, tidak yakin apakah ini Andien teman SMA saya. Sebelum saya setujui, saya coba telusuri lewat foto-fotonya. Semacam tidak percaya, dia memang Andien teman SMA, tidak berubah hanya lebih cantik dengan rambut yang hitam panjang. Akhirnya kami saling bertukar kabar melalui FB. Pada saat itu saya mengetahui kalau dia sudah beberapa tahun tinggal di Belgia bersama Suami dan anak Lelakinya. Suami Andien warganegara Belgia. Mulai saat itulah kami saling menelusuri kebelakang kabar kemana saja kami selama ini. Mulai saat itu juga kami saling mengetahui kabar melalui dunia maya. Saya selalu bilang pada Andien kalau suatu saat saya akan mengunjungi dia karena ingin sekali bermain dengan anak lelakinya yang sangat ganteng dan lucu itu. Waktu itu hanya sekedar omongan biasa, saya juga tidak tahu bagaimana caranya ke Belgia ๐
Waktu berlalu, sampai akhirnya saya menikah. Andien tentu saja kaget begitu mengetahui kalau suami saya dari Belanda. Dia bilang kalau ucapan asal saya beberapa waktu sebelumnya untuk mengunjunginya Insya Allah akan terwujud karena Belanda-Belgia jaraknya sangat dekat. Bahkan Andien juga sering main ke Belanda. Saya tentu saja senang. Sampai saat sebulan lalu, Andien mengabari kalau 14 Februari akan ke Den Haag. Dan disaat yang sama, ada titipan sambel pecel dari teman SMA kami, Nuril, yang bermukim di Jakarta untuk disampaikan kepada Andien. Wah, rasanya tidak sabar saya menunggu saat itu tiba. 16 tahun kami tidak pernah berjumpa secara nyata. Rasanya semakin bercampur aduk menjelang hari H. Senang, grogi, apa dia sudah berubah, mau ngobrol apa nantinya, topik obrolan apa yang harus disampaikan dan sebagainya.
14 Februari 2015, jam 7 malam saya dan suami menunggu Andien sekeluarga di restoran Indonesia, Si Des di Den Haag. Akhirnya Andien datang juga. Kami berpelukan lama sekali. Saya terharu sampai berkaca-kaca, rasanya seperti masih tidak nyata bisa ketemu Andien dan keluarganya. Setelah kami berkenalan satu sama lain, Mas Ewald, suami Andien, dan anak lelakinya, pembicaraan pun mengalir apa adanya. Andien sudah jago berbahasa Belanda, jadinya ngobrol dengan Mas Ewald menggunakan bahasa Belanda. Saya dan Andien benar-benar bernostalgia, saling tertawa mengingat masa-masa SMA. Ini adalah semacam cangkrukan ala orang Surabaya, yang dilakukan di Belanda :). Dia masih sama seperti yang saya kenal dulu. Masih cantik, masih pemalu, masih rendah hati, dan masih baik hatinya. Kami saling menggunakan bahasa Jawa, bahasa Indonesia, bahasa Belanda, bahasa Inggris. Semua bahasa menjadi satu pada malam itu. Saya kagum dengan anak Andien, dia bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan lancar. Jadi saya berbicara dengan si Ganteng ini menggunakan bahasa Indonesia.
Karena seru saling berbicara satu sama lain, tidak terasa ternyata hanya kami pengunjung yang tersisa. Sudah jam setengah sepuluh malam rupanya. waktu 2.5 Jam berlalu tidak terasa. Kami saling bertukar tas. Saya memberikan tas titipan sambel pecel dan ada beberapa tambahan dari saya, Andien memberikan tas isinya 2 botol besar sambel bajak dan satu Al-Quran dari suami Andien untuk Mas Ewald. Sambel bajak ini benar-benar harta karun tidak ternilai harganya. Andien pintar masak, saya lihat postingan foto hasil masakannya selalu menggugah selera makan, pun itu juga diakui oleh Suaminya. Jadi saya sangat percaya kalau sambal bajaknya juga pasti luar biasa enak rasanya. Waktu berpisah pun tiba. Dengan berjalan kaki, saya dan suami mengantar mereka sampai depan hotel. Saya mengucapkan perpisahan dan memeluk si Ganteng, saya dan Andien saling berpelukan dan berjanji jika diberikan umur panjang akan segera mengunjungi Andien di rumah mereka di Antwerp.
16 tahun lalu, saat terakhir bertemu dengan Andien, siapa sangka jika 16 tahun kemudian kami bertemu di Belanda, negara nun jauh dari Surabaya. Itulah hidup, tidak akan ada yang menyangka apa yang akan terjadi nantinya. Insya Allah semoga silaturrahmi ini akan selalu terjaga.
Selamat hari Senin. Mari untuk selalu bersyukur dengan apa yang sudah kita punya ๐
-Den Haag, 16 Februari 2015-
Cerita tambahan, Sekilat info, tidak ada hubungannya dengan cerita Andien. Intinya cerita dibuang sayang. Pada hari yang sama saya bertemu Andien, siangnya pada saat saya sedang menyiapkan makan siang, entah kenapa tiba-tiba sepulang ngeGym, Mas Ewald membawa kembang trus bilang “Thank you for always preparing delicious and healthy food for us” — Saya cuma melongo dan rasanya langsung ingin masak satu panci besar ๐
Saya tahu dia bukan tipe lelaki yang suka memberi bunga pada pasangan. Jadi kalau sampai dia memberi bunga, itu adalah sesuatu yang sangat besar buat dia. Mengucapkan terima kasih pada saya karena sudah menyiapkan makan untuk kami mungkin akan terdengar bukan hal yang luar biasa, tapi buat saya sungguh berarti. Segala sesuatunya dimulai dari hal-hal sederhana, tapi sangat besar maknanya ๐
Sudah dua minggu saya berada di Belanda. Tidak terasa, seperti baru beberapa hari lalu tiba. Malah kata suami saya, seperti sudah bertahun-tahun tinggal bersama. Selama dua minggu itu juga banyak hal-dari lebih banyak hal-yang saya pelajari. Beberapa kebiasaan baru, beberapa tempat baru yang saya kunjungi, maupun bertemu beberapa kenalan baru yang bukan hanya dari Indonesia. Sejauh ini menyenangkan, meskipun ada beberapa kejadian yang memang diluar dugaan, tetapi saya selalu mengambil sisi positifnya dan menjadikan pelajaran supaya kedepannya bisa menjadi lebih baik.
Suami adalah tipe yang mendorong saya untuk selalu mandiri. Selalu memberi kesempatan saya seluasnya untuk dapat keluar rumah, tidak hanya duduk diam didalam rumah. Maksudnya baik tentu saja, agar saya lebih mengenal sejauh mungkin lingkungan baru, mengenal beberapa orang baru, dan melihat sendiri tentang kebiasan-kebiasan yang ada disini sebagai bagian dari proses adaptasi.
Seperti halnya saat beberapa waktu lalu saya akan melakukan pendaftaraan pernikahan dan lapor diri tentang keberadaan saya di Den Haag supaya dicatat di Gemeente Den Haag, berangkat sendiri tanpa didampingi suami karena dia pada waktu yang bersamaan sedang ada jadwal kuliah. Awalnya saya cemas tentu saja, apakah saya bisa melakukan sendiri atau tidak. Banyak pertanyaan “bagaimana jika” ketakutan yang tentu saja manusiawi datang bertubi ketika pertama kali harus mengurus sendiri sesuatu yang penting dan berhubungan dengan pemerintah Belanda. Tapi Suami saya berkata kalau saya selalu didampingi kemanapun pergi, lalu saya tidak akan pernah bisa belajar sesuatu, akan selalu merasa bergantung pada orang. Saya pikir, benar juga. Tidak ada yang perlu saya takutkan karena meskipun saya jauh dari kata lancar dalam berbahasa Belanda, tapi saya masih bisa berkomunikasi dengan orang-orang yang saya temui menggunakan bahasa Inggris. Akhirnya saya berangkat dengan gagah berani, membawa semua dokumen yang sudah dipersiapkan sehari sebelumnya. Setelah turun dari kereta di Stasiun Den Haag Central, saya mulai ragu dan lupa arah. Apakah harus mengambil pintu keluar sebelah kiri atau kanan. Saya gambling, mencoba yang sebelah kanan, ternyata salah. Saya kembali dengan mengambil arah sebaliknya. Kali ini ternyata benar arahnya. Dalam perjalanan ke gedung Gemeente, tiba-tiba ada yang berseru “dari Indonesia?” saya menoleh mencari sumber suara. Ternyata yang menyapa seorang bapak yang awalnya saya pikir berusia masih sekitar akhir 50 tahun. Pada akhirnya beliau sendiri yang menyebutkan kalau usianya sudah 70 tahun. Awet muda rupanya. Kami saling berkenalan, berjabat tangan dan menyebut nama masing-masing. Bapak Arthur sangat ramah, menuntun sepedanya, menjajari langkah saya sampai ke gedung. Selama perjalanan yang sangat pelan beliau bercerita banyak hal, termasuk menerangkan bahwa sudah tinggal selama 60 tahun di Belanda karena beliau berdarah campuran Nias-Belanda. Karenanya, beliau tidak terlalu lancar bahasa Indonesia. Jadi saya berbicara menggunakan bahasa Indonesia, beliau menggunakan bahasa Belanda. Entah bagaimana ceritanya, tapi kami mengerti satu sama lain apa yang dimaksudkan. Beliau menyemangati saya untuk bisa beradaptasi dengan cepat dan tidak gampang menyerah. Diakhir perbincangan, kami saling bertukar alamat email. Beliau ingin mengundang saya dan suami ke rumahnya untuk sekedar ngobrol santai saat makan malam. Katanya akan dimasakkan rendang. Saya sempat bercanda “Opa, saya tidak makan daging, kalau ada gulai kepala ikan, boleh juga” yang langsung disambut tertawa keras renyahnya. Menurut beliau, saya menyenangkan dan termasuk mandiri karena baru beberapa hari di Belanda sudah kesana sini sendiri *langsung pengen terbang karena dipuji*. Setelahnya kami saling mengucapkan salam perpisahan. Hari itu menjadi sangat menyenangkan, mengenal seseorang baru, yang tiba-tiba menyapa saya dengan ramahnya, dan membuat saya berpikir bahwa semua (mudah-mudahan akan selalu) baik-baik saja.
Dilain waktu, saya mendapati sepeda yang baru beberapa hari dibeli mengeluarkan suara aneh. Saya laporkan pada suami, berharap akan diantarkan ke tempat reparasi sepeda. Suami bilang, saya bisa pergi sendiri kesana, karena gampang dan tidak perlu didampingi. Saya kembali was-was. Jaraknya memang tidak terlalu jauh dari rumah, dan saya masih hapal rute menuju kesananya. Kembali muncul pertanyaan “bagaimana jika”. Tapi kembali saya berpikir, kalau harus menunggu suami, saya tidak bisa pergi berbelanja ke Delft karena sepeda tidak nyaman dikendarai. Kalau harus menunggu suami menemani untuk sesuatu yang bisa saya lakukan sendiri, lalu semua ikut tertunda karena dia bisanya hanya akhir pekan saja ketika libur bekerja. Lebih baik saya berangkat dan melupakan semua ketakutan. Pada akhirnya saya berangkat ke toko reparasi sepeda dan begitu sampai disana, lelaki yang melayani kami membeli sepeda mengenali saya dengan menyapa ramah “Hai Madam, an Indonesian with nice red bicycle”. Saya tersenyum lebar, kemudian mengatakan keluhan tentang sepeda. Dia melakukan pengecekan dan langsung mengerjakan. Tidak berapa lama kemudian sepeda saya sudah kembali benar, tanpa ada suara-suara yang membuat tidak nyaman untuk dikendarai. Kembali saya belajar satu hal, bahwa seringkali saya merasa terlalu ketakutan yang berlebihan. Seringkali meragukan kemampuan bahwa saya bisa melakukan sesuatu yang pada awalnya saya ragukan. Mengalahkan ketakutan diri sendiri itu tidak mudah, tetapi bukan tidak mungkin untuk dilalui. Dan setelahnya, ketika melintasi toko sepeda tersebut beberapa kali, saya bertemu kembali dengan lelaki ramah tersebut, dia selalu berseru memanggil nama saya dengan ramah “Hai Deny, an Indonesian woman”, Dennis nama lelaki itu karena disuatu kesempatan kami berkenalan satu sama lain dan berbincang sebentar dengannya.
Dalam hal urusan belanja makanan, sayuran, buah, Suami sudah mempercayakan pada saya. Karenanya saya sudah diberitahu beberapa tempat biasanya dia berbelanja. Awalnya saya juga tidak percaya diri ketika pergi berbelanja sendiri. Tapi saya sudah tidak punya alasan lagi untuk menghindar. Saya sudah punya sepeda, artinya berbelanja bukan lagi sebuah halangan. Ketika di Den Haag, sepulang dari Gemeente, saya memutuskan untuk sekalian berbelanja di Ming Kee Supermarket karena disana lengkap bumbu-bumbu Indonesia juga beberapa sayuran. Ketika saatnya membayar, wanita muda yang menjadi kasirnya mengatakan sesuatu dalam bahasa Belanda. Karena terlalu cepat, saya tidak menangkap dia berbicara apa. Hanya ada satu kata yang saya tangkap “^$^$^%#@@ Gratis(**%&$$^” Ya, kata Gratis terdengar jelas buat saya. Saya pikir apanya ya yang gratis. Saya jawab saja “Ja, ok”. Ternyata saya disuruh mengambil satu lagi jamur enoki karena kalau beli satu gratis satu. Ah, begitu rupanya. Setelah itu dia mengucapkan kalimat dengan cepat lagi, dan kembali saya mencoba menebak, mungkin disuruh memasukkan kartu. Akhirnya saya memasukkan kartu dan menekan PIN. Dia tidak berbicara lagi. Berarti tebakan saya benar. Kemudian saya berlalu, setelah mengucapkan terima kasih. Masih ada beberapa sayuran lagi yang belum saya dapatkan karena di Ming Kee tidak ada persediaan. Saya berkeliling mencari Ekoplaza. Setelah berjalan beberapa blok, akhirnya saya menemukan gedungnya. Pada saat membayar, wanita yang menjadi kasirnya berbicara sesuatu “^%%#% Bon **(%$?”. Saya hanya menangkap kata Bon. Saya menaksir yang ditanyakan adalah “Apa bonnya mau dicetak?” lalu dari hasil kira-kira tersebut saya menjawab “Nee hoor”. Rupanya jawaban kira-kira saya tadi benar, karena wanita tersebut tidak berkata apa-apa lagi. Setelah mengucapkan terima kasih, lalu saya pergi dengan senyuman. Wah, lumayan juga saya sudah mengerti beberapa hal disini, meskipun bahasa Belanda masih merangkak tidak jelas dan susah menerka apa yang dibicarakan. Intinya modal nekad saja. Bisa karena terpaksa. Bisa saja saya bilang kalau belum bisa bahasa Belanda dan berbicara menggunakan bahasa Inggris, tapi hal tersebut tidak saya lakukan karena memang niat awalnya hari itu ingin belajar berinteraksi. Ketika saya ceritakan hal ini pada suami, kami berdua sama-sama tertawa. Tentang saya yang tebak-tebak kata. Semakin memotivasi untuk segera belajar serius bahasa Belanda.
Minggu lalu, tiba-tiba saya ngiler ingin makan sambal terasi. Saya ingat kalau dulu Ibu pernah menitipkan trasi pada suami ketika dia kembali ke Belanda setelah kami menikah. Saya mulai mencari dan terus mencari ke seluruh dapur, tapi tidak kunjung ketemu. Wah, ditaruh dimana ya terasinya pikir saya. Dan saya tidak mungkin berkirim pesan ke dia yang sedang kerja hanya sekedar ingin menanyakan terasi. Padahal terasi itu enak sekali, diberi oleh teman ibu asli dari Lombok. Saya memutuskan untuk menggoreng saja karena ada terasi 1kg yang saya bawa ketika 2 minggu lalu berangkat ke Belanda. Tapi masih dalam keadaan mentah, belum digoreng atau dikukus. Tapi saya juga khawatir bagaimana cara menggoreng terasi yang aman disini tanpa harus mengganggu tetangga sekitar dengan baunya yang menggelegar. Saya ingat cerita teman yang tinggal di Jepang. Awal dia pindah, saat menggoreng terasi, tiba-tiba pintu rumahnya ada yang mengetuk. Nampak 2 polisi berdiri disana karena mendapat laporan dari tetangganya kalau ada bau bangkai keluar dari rumah teman saya itu. Tetangga tersebut khawatir ada sesuatu yang terjadi, sehingga lapor pada polisi. Pada saat teman saya bercerita, dia tertawa terbahak-bahak. Tidak mengira bahwa terasi akan berbuntut pada polisi. Lain lagi cerita seorang teman yang tinggal di Adelaide. Pada saat menggoreng terasi, pintu rumahnya digedor kencang, setelah dibuka ternyata tetangganya sangat tidak suka dengan bau yang datang dari rumah teman saya. Pada akhirnya teman saya meminta maaf dan mencoba mengirim hasil masakannya yang menggunakan terasi. Tetangga tersebut menyukai masakan teman saya, dan terasi yang menjadi biang keladinya, dan pada akhirnya mereka menjadi akrab. Teman saya bilang bahwa tidak seharusnya dia mengusik kenyamanana orang lain diatas kesenangannya akan terasi.
Berkaca dari pengalaman teman-teman tersebut, saya akhirnya menggoreng terasi dengan api kecil sekali, wajan ditutup, semua blower dinyalakan, semua jendela saya tutup. Setengah jam setelah menggoreng, tidak terjadi apa-apa, artinya aman. Baru saya tenang. Tapi ketika suami datang, dia mencium bau terasi di seantero rumah “Terasi, honey?” saya tertawa. Mungkin saya aman dari protes tetangga, tapi suami tak bisa diperdaya. Toleransi itu mudah sebenarnya, mencoba menempatkan posisi kita pada posisi orang lain. Kalau di Indonesia ketika menggoreng terasi seluruh kampung bisa mencium baunya, tapi disini saya tidak bisa berlaku yang sama. Tidak semua orang akan suka apa yang saya lakukan, jadi sebisa mungkin menjaga tingkah laku sebagai orang baru.
Begitulah cerita panjang saya tentang proses adaptasi disini. Tidak mudah dan akan berlangsung panjang. Tapi saya sangat senang malakukan itu semua. Mempelajari hal baru pasti akan menimbulkan rasa penasaran dan antuasias yang tinggi. Semoga semuanya tetap berjalan lancar sesuai harapan. Pelan tapi pasti.
Selamat hari Jumat, selamat berakhir pekan dengan Keluarga, Teman, dan Orang-orang tersayang. Semoga selalu ada cerita seru diakhir pekan teman-teman.
Tadi malam ceritanya kencan buat merayakan 6 bulan pernikahan. Iya, 6 bulan dimana kami merasa seperti baru kemarin menikah. Ya iya pastinya. Setelah 5 bulan pisah dan baru berkumpul kembali 10 hari ini, jadi merasa baru ๐ Bukan merayakan juga sih tepatnya, hanya ingin makan malam lanjut nonton film. Karena kami berdua pencinta Sushi, akhirnya diputuskan sejak minggu kemarin kalau makan malamnya all you can eat Sushi. Sejak minggu kemarin Mas Ewald sudah pesan tempat untuk hari senin 9 februari 2015. Dia juga sudah memberi tahu kalau tempatnya, Restaurant Yuniku ini dekat dengan kantor, tinggal jalan kaki. Saya bertanya apakah halal? dan menurutnya saat itu yang namanya restaurant Sushi pasti tidak menjual makanan yang diharamkan. Saya menegaskan, apakah ada tulisan halalnya? dia tidak bisa memastikan. Beberapa hari lalu saya mencoba mencari tahu dari websitenya. Tidak melihat ada tulisan Halal. Saya mulai was-was, kemudian bilang ke Suami kalau ternyata nanti tidak ada tulisan Halalnya, pindah restaurant saja. Jadi kami sudah mempunyai alternatif tempat makan. Ternyata ketika sampai disana, di daftar makanannya tercantum tulisan Halal. Jadi makan dengan lahap akhirnya.
Jadi ada semacam “drama” sebelum kami mulai berkencan. Seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya kalau beberapa kali saya sudah bisa dan biasa naik angkutan umum disini, tanpa nyasar. Sejak hari minggu, Mas Ewald juga sudah beberapa kali memberi petunjuk harus naik apa sampai ke Zoetermeer, tempat restaurant tersebut berada. Saya juga sudah hapal luar kepala. Bahkan senin paginya, saya dikirim lewat email hasil google map untuk menuju kesana. Jadi rutenya : Saya akan naik bis dari halte di Ypenburg jam 16:18 (nama haltenya Weidevogellan), lalu setelah 3 halte saya harus berhenti di Station Leidschenveen. Setelahnya saya harus lanjut dengan trem nomer 3 atau 4 menuju ke Stadhuis Zoetermeer. Nah, saya harus turun disitu karena Mas Ewald akan menjemput saya. Simpel kan. Jadi saya sudah siap-siap sejak jam 2 siang. Berdandan poles ini itu, maklum kalau dirumah tidak berdandan. Tampil cantik dengan berdandanan untuk suami kan salah satu ibadah :). Jam 4 sore saya sudah keluar rumah, berjalan sekitar 5 menit menuju halte. Menunggu sekitar 12 menit disana, duduk kedinginan. Saya berpikirnya lebih baik menunggu daripada terlalu mepet waktunya atau ketinggalan. Setelah bisnya datang, saya duduk dekat pintu, dekat mesin check in/out. Setelah menghitung sampai 3 halte, saya berpikir setelah ini saya turun. Tapi saya lihat dilayar, kok yang tertera bukan Station Leidschenveen melainkan Leidschenveen Centrum. Wah, berarti bukan ini, pikir saya waktu itu. Akhirnya saya tetap duduk, tidak keluar. Bis terus berjalan sampai melewati 3 halte. Perasaan saya sudah tidak enak, ada yang aneh ini, sepertinya saya nyasar. Kemudian saya menelepon Suami, setelah saya beritahu nama stasiun berikutnya, dia bilang memang saya seharusnya turun di Leidschenveen Centrum. Lha wong namanya beda dengan petunjuk, makanya saya tidak turun. Benar kata pepatah nih, malu bertanya sesat dijalan, nyasar :). Saya berusaha tidak panik, nada bicara saya atur senormal mungkin, supaya Suami juga tidak panik. Untungnya (masih untung, Indonesia sekali hehe) langsung ada bis kearah sebaliknya menuju Leidschenveen Centrum. Sesampainya disana saya menuju keatas untuk ganti naik trem. Ternyata trem nomer 3 datang ketika saya baru sampai diatas. Dan keretanya berhenti sekitar 50 meter didepan saya. Walhasil saya langsung berlari kencang. Beruntungnya ada mas mas yang baik hati untuk menahan pintu keretanya. Ketika saya sudah masuk ke trem, saya mengucapkan terima kasih ke mas mas tersebut, baik sekali. Oh iya, Mas Ewald selalu mengingatkan saya agar jangan sampai lupa check in/out ov-chipkaart apapun keadaannya, karena sering ada pemeriksaan mendadak didalam bis, trem atapun kereta. Bersyukurnya kemarin masih ingat untuk check in/out ov-chipkaart,ย karena kemarin di trem saya terkena pemeriksaan. Petugasnya menyapa saya dengan tersenyum sambil berbicara sedikit bahasa Indonesia “Terima Kasih”, “Selamat Jalan”, dan “Sama-Sama”. Kok ketahuan ya saya dari Indonesia (berharap banget ada yang mengira dari Yunani haha Yuk Deny sih ini bukan Yunani *kriikk krikkk).
Perjalanan selanjutnya lancar sampai Mas Ewald menjemput saya di Stadhuis Zoetermeer. Dia terkejut melihat saya berdandan. Cantik katanya. Ya iyaa, istri sendiri dipuji. Tidak sia-sia juga poles sana sini meskipun ya hasilnya tidak jauh berbeda dengan sehari-hari :D. Selalu ada pengalaman pertama, termasuk nyasar, supaya belajar jangan lagi mengulang kesalahan yang sama. Entah dikemudian hari nyasar ditempat yang berbeda haha. Ya mudah-mudahan lain kali lebih pintar. Entah karena efek nyasar atau memang sudah waktunya makan, sesampainya di Yuniku, saya lapar sekali. Kami sampai jam 5 sore, masih sepi, baru ada 2 meja yag terisi. Pertama lihat langsung suka dengan dekorasinya dan tata letak mejanya. Kemarin tidak sempat foto-foto ruangannya, tapi bisa langsung dilihat di website pada link diatas. Pelayanannya ramah dan cepat. Saking ramahnya, kami meminta tolong foto beberapa kali dilayani dengan penuh senyuman. Jadi all you can eat ini sistemnya ada 5 kali pemesanan. Masing-masing pesan 5 jenis makanan per orang. Awalnya seperti biasa masih makan dengan kalap. Sampai pemesanan ke 5 saya sudah menyerah. Tidak sanggup lagi, hanya memesan buah dan udang. Mas Ewald bertahan sampai terakhir. ada sebanyak 130 menu kalau tidak salah. Secara menyeluruh puas makan disini, Suasana tidak terlalu ramai, tempat nyaman, penyajian cepat, rasa enak sekali, dan pelayanan ramah dan cepat. Sangat merekomendasikan Yukiniku ini. Hanya satu saya merasa sup rasanya terlalu asin.
Setelah hampir 2 jam makan, perut kekenyangan, kami langsung bergegas menuju bioskop Utopolis untuk menonton film The Theory Of Everything, yang diadaptasi dari memoir Jane Hawking, mantan istri Stephen Hawking, yang berjudul Travelling to Infinity : My Life with Stephen. Hawking adalah seorang Professor dibidang Fisika yang terkenal dengan penemuannya yang bernama Hawking Radiation,ย menderita amytrophic lateral sclerosis (ALS) yang divonis dokter hanya mempunyai kesempatan hidup 2 tahun pada saat umur 21 tahun, dimana kenyataannya disebutkan difilmnya pada saat diputar tahun 2014 sudah berumur 72 tahun dan tetap produktif dengan beberapa penemuan yang lainnya. ALS adalah penyakit yang mempengaruhi sel-sel saraf di otak dan sumsum tulang belakang yang menyebabkan kelemahan otot dan atrofi. Penyakit ini menyebabkan kematian neuron motorik, yang berarti otak kehilangan kemampuan untuk mengendalikan gerakan otot. Ketika otot dalam diafragma dan dinding dada gagal, penderita akan kehilangan kemampuan untuk bernapas tanpa bantuan ventilasi. Kebanyakan orang dengan ALS hanya bertahan 2 sampai 5 tahun setelah diagnosis. Lebih jauh tentang film ini dapat dibaca disini.ย Secara garis besar,ย The Theory Of Everything merupakan bentuk penghargaan tertinggi yang dapat diberikan industri perfilman untuk Stephen dan Jane Hawking. Melalui gaya narasi yang membuat penonton hanyut secara emosional, wajar saja jika film ini akan menjadi salah satuย contender kuat di ajang penghargaan 87th Academy Awards pada tanggal 22 Februari 2015 mendatang. Saya dan Suami puas selesai menontonnya karena akting dari Eddie Redmayne sebagai Stephen Hawking dan Felicity Jones sebagai Jane Hawking sangat total. Saya juga suka karena film ini berlatar belakang Inggris, jadi kental dengan aksen British. Saya suka dengan aksen British, terdengar seksi :). Oh iya, kemarin disela film diputar, tiba-tiba ada jeda dan ada tulisan Pauze dilayar. Saya tanya ke Mas Ewald apakah biasa seperti ini, dia bilang belum pernah nonton film ada pauze–nya. Karena satu ruangan hanya ada 8 orang, maka mereka memanfaatkan untuk keluar membeli makanan atau ke kamar mandi. Jedanya lumayan lama, 10 menitan.
Begitulah sekelumit cerita saya tadi malam berkencan dengan suami yang diwarnai dengan acara nyasar. Pulang dari bioskop suasana menuju stasiun sudah sangat sepi, kami berjalan bersenda gurau mentertawakan kejadian nyasar saya. Terkadang, yang membuat kita sedih, kecewa, ataupun terluka disuatu masa, suatu saat ketika mengingatnya kembali, kita sudah mampu mentertawakannya. Begitulah hidup, seperti roda berputar yang tidak pernah diam dan selalu bergerak. Karenanya, sangat perlu untuk memanfaatkan sebaik mungkin untuk hal-hal berguna waktu yang tidak akan pernah bisa diputar ulang, kecuali pintu doraemon muncul menjadi nyata ๐