Today marks the two year anniversary of our marriage: on August 9th 2014 we tied the knot on that beautiful day in Situbondo, East-Java. Last year it was Deny who wrote on this blog to commemorate this our first year anniversary, this year I will take the opportunity for some reflection.
First of all I feel blessed to have Deny because of her patience with me and her relentless dedication as my wife. I will never think lightly of all the steps Deny made by giving up so much from her life in Indonesia to follow me all the way to the Netherlands.
In our two year marriage, we, like any other couples, experienced so many positive things and sometimes negative things. The sum of these experiences made the bond between us stronger and we still have many things to look out for in life.
Sometimes Deny asks ‘Why don’t we meet each other earlier in life?’. And then I usually have some logical response, like ‘Be glad, we did meet each other…” Of course it would have been wonderful too meet earlier, but maybe in life we open our sensors for love and meeting when we are ultimately ready for the experience so the time we met is the perfect time.
As my late Dad once replied per mail to our congratulations for my parents marriage anniversary: ‘if it is up to us we hope you two will witness many more anniversaries to come’. Sadly for them it turned out to be their last marriage anniversary as my Dad passed away a few months later. Needless to say that Deny and I intend to celebrate many, many more anniversaries and in the meantime enjoy our time in life together…
Minggu lalu kami mengunjungi kembali Tong Tong Fair, setelah tahun kemarin pertama kalinya kami melihat secara langsung kemeriahan Tong Tong Fair. Cerita tentang kemeriahan tahun lalu dan sejarah Tong Tong Fair bisa dibaca pada tulisan suami di sini. Awalnya tahun ini kami, terutama saya tidak berencana datang, karena saya fikir pasti kurang lebih sama isinya. Pikiran itu berubah ketika suatu hari saya membaca pada akun resmi Tong Tong Fair di twitter yang mengatakan bahwa salah satu penulis Indonesia akan datang. Memang setiap tahunnya penulis Indonesia ada yang datang untuk mengisi acara. Kalau tahun kemari Leila S. Chudori. Tahun ini giliran Eka Kurniawan. Begitu tahu bahwa Eka Kurniawan akan mengisi acara di Tong Tong Fair, serta merta saya jadi tertarik untuk datang.
Ketertarikan untuk melihat langsung Eka Kurniawan karena sebulan sebelumnya saya meminta tolong Dita yang sedang berlibur ke Belanda untuk membawakan dua buah buku dia. Buku yang saya titip berjudul Lelaki Harimau dan Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas. Dan rasa penasaran itu semakin menjadi karena beberapa waktu lalu buku Lelaki Harimau mendapatkan penghargaan The Man Booker International Prize.
Saya memberitahu suami kalau akan datang ke Tong Tong Fair (TTF), eh ternyata dia ingin ikutan. Dia memang selalu senang datang kalau ada acara yang berhubungan dengan Indonesia, meskipun TTF ini tidak sepenuhnya Indonesia ya. Aslinya dia senang datang ke sini karena bisa incip-incip makanan gratis, saya juga sih *ngikik.
Karena memang ini bazar yang besar sekali, isinya bukan hanya tentang makanan saja tetapi juga mencakup pertunjukan, seni budaya, menjual segala macam barang, pelatihan, bahkan pertunjukan wayang saja ada di sini. Hal yang saya ingat sewaktu kesana, di salah satu tempat yang menyediakan emping dan spekkoek, saya makan empingnya berulang kali sementara suami berbincang dengan Ibu yang jaga sambil berungkali juga makan spekkoek, sampai Ibu tersebut menawari saya untuk membawa pulang emping ditaruh tas kertas. Saya jadi malu, akhirnya menolak, padahal aslinya mau :p
Saya yang memang niatnya hanya ingin melihat Eka Kurniawan, tidak berniat membeli apapun di dalam. Apalagi ketika tahu bahwa memang tenda tenda yang ada di dalam sama persis dengan tahun kemarin. Tapi niat hanyalah sebatas niat, begitu melewati tenda yang menjual segala jenis petis, terasi, ikan asin, ikan teri, iman goyah juga. Untung saja saya membawa uang sedikit, jadi akhirnya bisa terkontrol, itupun musti pinjam uang suami untuk membayar ikan asin sepat. Tapi senang sekali saya pulang ke rumah dengan membawa ikan asin, ikan teri, petis, dan terasi.
Ketika saatnya makan tiba, ini adalah hal yang sulit karena harus memilih dari segala macam pilihan yang banyak tersedia di depan mata. Saking banyaknya, seperti halnya tahun kemarin, kami sampai bolak balik membaca menunya apa saja di semua tempat makan tersebut. Akhirnya kami memilih satu tempat makan yang nampak ramai, berharapnya makanannya enak. Tapi ternyata setelah makanan datang, rasanya biasa saja. Pada saat saya membaca menu, suami sampai menunggu lama karena saya tidak juga memutuskan akan makan apa. Dia bertanya kenapa lama sekali. Saya bilang ingin makan sesuatu yang saya tidak bisa masak di rumah. Dia lalu menjawab “kalau mau makan ya makan saja, tidak usah sampai berpikir bisa masak sendiri apa tidak di rumah. Sesekali makan masakan orang lain.” Ya, kan saya inginnya memakan sesuatu yang saya sulit memasaknya *pembelaan.
Eka Kurniawan
Nama Eka Kurniawan sebenarnya tidak terlalu asing buat saya karena sepertinya dulu saya pernah membaca bukunya yang berjudul O, tapi sama-samar ingat. Dua buku yang dibawakan Dita sampai sekarang belum selesai semua saya baca, terus terang karena saya agak ngos-ngosan membacanya. Ceritanya bagus, pemilihan katanya juga indah, alurnya keren, cuma mungkin otak saya yang agak susah mencerna. Jadi butuh waktu agak lama untuk menyelesaikan dua buku tersebut, itupun saya selang seling membaca buku yang lain.
Sesi Eka Kurniawan diadakan di ruangan Theater Tong Tong Fair. Tidak disangka hampir satu ruangan terisi penuh, tetapi kebanyakan yang datang adalah mereka yang sekitar umur diatas 45 tahun, beberapa jurnalis juga, serta mahasiswa Leiden. Kenapa saya tahu? karena sewaktu antri masuk, saya menguping pembicaraan.
Eka Kurniawan ini lucu juga ternyata, sepanjang acara suasana gayeng dengan jawaban-jawaban santai tapi mengena yang ditanyakan oleh Wim Manuhutu, seorang historian. Cantik itu luka merupakan novel pertama Eka Kurniawan, pertama kali diterbitkan tahun 2002 oleh penerbit asal Jogjakarta. Waktu itu diterbitkan tidak dalam jumlah banyak karena Eka Kurniawan memang tidak mentargetkan bahwa novel pertamanya ini untuk pangsa pasar yang besar. Ternyata berbelas tahun kemudian novel ini malah diterjemahkan oleh penerbit dari Inggris dan sebelumnya diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Dan sekarang Cantik Itu Luka (Schoonheid is een Vloek) sedang dikerjakan penerbit dari Belanda untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda.
Beberapa fakta yang saya baru tahu tentang Eka Kurniawan, ternyata dia adalah penulis skenario sinetron Disini Ada Setan. Wah, saya tidak menyangka dia adalah orang di balik layar sinetron yang saya tidak suka sama sekali. Dia mengatakan saat itu menulis baginya adalah hobi, tetapi dia juga harus melihat kenyataan bahwa hidup bukan hanya sekedar hobi, hidup juga butuh uang, itu yang membuat dia terjun ke industri pertelevisian. Saat Eka Kurniawan memulai menulis novel, dia banyak belajar dari novel-novel Roman Picisan.
Pada saat acara selesai dilanjutkan dengan sesi tanda tangan buku, antrian tidak terlalu banyak. Tidak berapa lama saya sudah berhadapan langsung dengannya, berbincang sebentar karena dia tidak menyangka ada yang membawa buku selain Cantik Itu Luka. Komentar suami, “kok antriannya tidak sepanjang waktu kamu minta tanda tangan Dewi Lestari ya? DanEka Kurniawan ini kok orangnya malu-malu ya, jadi terkesan kamu yang agresif.” Wah, saya jadi terbahak-bahak mendengar kalimat terakhir, tidak sadar kalau terlihat agresif :P. Segmen pembaca Eka Kurniawan pastinya berbeda dengan Dee, jadinya ya tidak seramai Dee. Mas Ewald ini memang senang sekali mengikuti cerita tentang beberapa penulis Indonesia, karena dia ingin tahu buku seperti apa yang disukai oleh istrinya. Apalagi kalau sampai bisa bertemu dengan penulisnya, jadi dia tahu secara nyata penulisnya seperti apa.
Senang akhirnya bisa lebih mengenal sosok Eka Kurniawan dari perbincangan di acara ini selama kurang lebih satu jam. Sekarang tugasnya adalah menyelesaikan membaca bukunya.
Selamat berakhir pekan, apa rencana akhir pekan kalian?
Sesuai dengan judulnya, akhir pekan yang kami lalui memang ceria dalam arti sebenarnya. Tentu saja ceria disini berhubungan dengan cuaca. Nyaris seminggu kabut selalu turun pagi hari dan sore hari. Memang tidak terasa terlalu dingin karena kami kalau keluar rumah tidak menggunakan jaket, tapi tetap saja rasanya kelabu kalau melihat kabut yang turun. Bukan hanya kabut, hujan juga berhari-hari mengguyur. Tidak terus-terusan turun hujan di tempat kami tinggal, tetapi tetap saja perlu membawa peralatan perang kalau hujan.
Tetapi akhir pekan cuaca mulai membaik. Lumayan sabtu dan minggu sinar mataharinya terik dengan suhu sekitar 25 derajat celcius. Kesempatan ini tentu saja tidak kami sia-siakan dengan bersepeda menyusuri rute yang baru dan berjalan-jalan di hutan. Kalau cuaca cerah begini senang melihat oarang-orang giat beraktivitas di luar rumah. Ada yang berperahu, memancing, berenang di danau, anak-anak kecil bermain air di halaman rumah, berjemur di taman, membaca buku, jalan-jalan di hutan, duduk dipinggir danau, berolahraga, dan masih banyak aktivitas lainnya. Kalau cuaca sedang cerah, semua orang berbondong-bondong keluar rumah.
Dengan cuaca seperti ini, enak sekali bersepeda atau berjalan-jalan di hutan. Rasanya segar meskipun saya merasa agak gerah. Sampai diledek suami “gaya kamu berasa gerah, nanti bagaimana kalau liburan ke Indonesia, bisa-bisa uring-uringan :p” padahal tahun kemarin saat awal datang ke Belanda saya selalu uring-uringan karena udara dingin sekali. Hampir 1.5 tahun setelahnya keadaan menjadi berbalik.
Ada hal yang menggangu ketika jalan-jalan, yaitu serbuk sari (pollen) yang beterbangan. Untung kami tidak punya alergi terhadap serbuk sari atau bunga tertentu, jadi tidak bersin-bersin dan pilek. Tapi tetap saja risih masuk ke hidung. Jadi rasanya ketika jalan-jalan seperti ada salju beterbangan. Dimana-mana putih warnanya. Membuat kotor rambut juga, menempel. Kalau punya alergi terhadap rumput, serbuk sari dari bunga, tumbuhan namanya hooikoorts. Biasanya sering muncul kalau bunga-bunga mulai mekar
Kalau cuaca panas begini rasanya ingin minum yang dingin-dingin. Inginnya minum es degan sih atau dawet trus duduk-duduk di bawah pohon sambil makan rujak super pedes. Tapi adanya es krim 😀 awalnya kami akan ke Ikea membeli es krim karena es krimnya enak dan murah meriah. Tapi di tengah jalan menuju Ikea kami menjumpai ada yang jual es krim rumahan. Mas Ewald bilang untuk beli disini saja, “kita beli disini saja. Kan membantu orang yang punya usaha sendiri.” Aduh, tersentuh mas dengan ucapanmu :D. Es krimnya enak, rasanya pas.
Akhir pekan saya tidak terlalu heboh masak. Sabtu menunya gudeg sudah ada persediaan, masak yang banyak untuk persediaan bulan puasa, persiapan kalau malas masak melanda. Sedangkan minggu masak stamppot yang merupakan makanan tradisional Belanda. Stamppot ini identik dengan makanan musim dingin, tapi bisa juga dimakan segala musim. Stamppot adalah kentang direbus yang ditumbuk halus bersama sayuran lainnya (biasanya wortel, kale, atau zuurkool-kubis asin-) ditambah keju, margarin, lauknya sausage. Selain dengan sayuran, bisa juga digunakan buah.
Yang saya masak adalah stamppot modifikasi, vegetarian. Kentang diganti ubi saya tumbuk bersama ujungnya venkel. Diatas kentang saya taburi dengan bawang yang dicampur dengan balsamic. Sayurnya venkel, asparagus, wortel, jagung kecil. Lauknya perkedel tahu yang dipanggang dan tempe yang dibentuk burger dan dipanggang juga. Ini mengenyangkan sekali tapi enak rasa ubi tumbuknya.
Menikah dengan warga negara Belanda itu susah susah gampang, setidaknya itu yang saya rasakan selama mendekati 2 tahun perkawinan kami. Jangan salah sangka dulu karena yang saya maksud disini adalah proses administrasinya. Susah susah gampangnya adalah dokumen yang dibutuhkan pada saat akan menikah lumayan menguras konsentrasi dan ketelitian untuk mempersiapkannya, itupun prosesnya bertingkat, printilannya banyak. Setelah kawin, masih ada dokumen-dokumen lainnya yang perlu dipersiapkan dan dikirim untuk mendapatkan visa tinggal di Belanda, jika memang kesepakatan dari awal pihak Indonesia akan pindah ke Belanda. Setelah sampai Belanda pun masih saja ada persyaratan yang harus dipenuhi, misalkan untuk memperpanjang ijin tinggal, mendaftarkan perkawinan, dan masih panjang jalan yang harus ditempuh (salah satunya adalah harus cek bebas TBC setiap 6 bulan sampai 5 kali, jadi total 2.5 tahun) untuk memenuhi peraturan pemerintah tentang imigran yang akan tinggal di Belanda. Bersyukurnya proses ini sejak awal sebelum menikah sampai sekarang (dan masih belum selesai, tapi hampir selesai) kami jalani dengan santai tapi pasti. Santai karena kami tidak terlalu ngoyo, pasti karena kami niat untuk melewatinya sampai selesai dengan hasil memuaskan. Sejauh ini jalan yang kami tempuh lancar-lancar saja, meskipun tetap ada kerikil sesekali tetapi tidak sampai mengganggu. Kami bawa dengan rasa riang dan gembira. Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam proses panjang ini adalah lulus ujian bahasa Belanda.
Diantara segala persyaratan yang harus dipenuhi, ujian bahasa Belanda ini yang paling menguji mental dan menguras emosi kami, terutama saya yang menjalani. Ujian bahasa Belanda yang saya lakukan tidak cukup hanya sekali. Salah satu persyaratan untuk mengajukan visa tinggal di Belanda lebih dari 3 bulan, yang disebut MVV, adalah dengan menyertakan bukti lulus ujian tingkat A1 (basis inburgeringsexamen – disebut juga mvv examen) yang dilakukan di kedutaan Belanda di Jakarta. Cerita lengkap tentang ujian A1 dan segala lika likunya sudah pernah saya tuliskan disini. Setelah mvv examen selesai dan dinyatakan lulus, saya bisa bernafas lega, namun hanya sementara.
Ketika pindah ke Belanda, tantangannya berbeda dan semakin nyata. Saya yang lulus ujian A1 lebih banyak dari hasil belajar sendiri lewat youtube dan karena disambi mengerjakan tesis, langsung praktik berbicara bahasa Belanda di negara asalnya itu rasanya semacam garuk-garuk kepala setiap hari, ora mudheng. Benar bahwa hampir semua orang Belanda itu bisa berbicara bahasa Inggris, tapi tetap saja kalau pada saat acara keluarga rasanya aneh kalau anggota keluarga yang lain harus berbicara menggunakan bahasa Inggris hanya karena saya tidak bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Belanda. Selain itu, untuk memperpanjang ijin tinggal, (saya mendapatkan kartu ijin tinggal yang namanya verblijfsvergunning selama 5 tahun, kartu ini juga berlaku sebagai kartu ijin bekerja), saya sebagai imigran wajib menjalani ujian integrasi yang diberikan waktu untuk lulus maksimal 3 tahun sejak kedatangan ke Belanda. Karena benar-benar ingin belajar bahasa Belanda secara baik dan benar, saya memutuskan untuk sekolah bahasa Belanda. Cerita super lengkapnya tentang pencarian sekolah sudah pernah saya tuliskan disini. Awalnya saya ingin mengikuti ujian tingkat B2 yaitu Staatsexamen NT2 Programma II, tetapi setelah saya pikir-pikir lagi sesuai dengan tujuan kedepannya, tingkat B1 saja sudah cukup untuk saya, untuk saat ini. Untuk ujian integrasi sendiri, minimal harus lulus tingkat A2, tetapi jika ingin mengambil tingkatan yang lebih tinggi diperbolehkan. Sekedar informasi, ujian bahasa Belanda itu tingkatannya dari paling bawah sampai paling atas : A1-A2-B1-B2-C1-C2. Jadi saya mengambil ujian satu tingkat diatas syarat minimal yang diwajibkan.
Setelah sembilan bulan penuh berjibaku dengan pelajaran di sekolah (sekolah yang saya ikuti ini hanya libur satu minggu pada 25 desember sampai 1 januari, selebihnya gas pol masuk terus), akhirnya awal Januari 2016 saya dinyatakan selesai sekolah bahasa Belanda. Selanjutnya babak yang paling menegangkan adalah ujian integrasi itu sendiri. Ujian integrasi untuk mereka yang datang ke Belanda per 1 Januari 2015 terdiri dari (sering-sering dicek website DUO karena sering terjadi perubahan dalam kurun waktu tertentu) :
Kennis Nederlandse Maatschappij (KNM) : Ujian pengetahuan dan kemasyarakatan Belanda
Oriëntatie Nederlandse Arbeidsmarkt (ONA) : Ujian wawancara kerja
Examen Schrijfvaardigheid (Schrijven) : Ujian menulis
Semua ujian diatas dilakukan di DUO. Karena uang sekolah saya termasuk dengan uang ujian, maka yang mendaftarkan ujian adalah pihak sekolah, saya tinggal menunggu jadwal sambil deg deg ser. Saya sudah melakukan ujian KNM, Schrijven, Spreken, Luisteren, dan Lezen. Untuk ONA akan saya lakukan menyusul (mungkin 3 bulan kedepan) karena ONA ini tidak diurus oleh sekolah dan harus saya sendiri yang mendaftar serta saya harus menyiapkan dokumen-dokumen penunjang (butuh menyetarakan ijazah ke IDW juga). Setelah melalui serangkaian ujian tersebut, akhirnya pengumuman itu tiba. Saya LULUS! Rasanya terbayarkan sudah segala kerja keras saya selama satu tahun terakhir berjibaku dengan susahnya belajar bahasa Belanda, walaupun tetap menikmati proses panjangnya. Ujian Staatsexamen NT2 (B1) itu adalah yang saya sebutkan diatas pada nomer 3 sampai 6, dan buat saya yang baru satu tahun tinggal di Belanda saat pelaksanaan ujian, B1 itu susah. Pada satu titik saya hampir menyerah dan ingin ujian A2 saja, tapi ada suara yang berbicara di dalam kepala yang membuat saya tetap maju untuk ujian B1. Suara itu adalah ego saya, dia mengatakan “kalau kamu tidak mencoba sampai batas maksimal kemampuanmu, bagaimana kamu tahu kalau kamu berhasil atau tidak.” Akhirnya saya maju ujian dan mencoba optimis, yang penting dicoba dulu, perkara gagal, itu urusan belakangan. Perjuangan untuk lulus akhirnya terbayarkan sudah.
Ada beberapa tips dan informasi yang bisa saya bagikan disini, mungkin bisa digunakan untuk mereka yang memutuskan, sedang proses belajar atau akan menghadapi Staatsexamen NT2 programma 1 (B1). Tips dan info ini berdasarkan pengalaman saya, beda orang beda cara juga :
Tak kenal maka tak sayang
Benar adanya peribahasa diatas. Kalau tidak mengenali sesuatu, bagaimana bisa menyukai atau menyayanginya. Karenanya, kenali bahasa Belanda dulu secara perlahan. Dari pengalaman saya, mengenal bahasa Belanda itu tidak bisa dipaksakan, harus kesadaran sendiri dan dari dalam hati. Awal masuk sekolah, saya masing setengah-setengah belajar bahasa Belanda. Tapi seiring berjalannya waktu, saya semakin menyukai bahasa Belanda karena sering menonton film, mendengarkan lagu berbahasa Belanda dan berkomunikasi dengan bahasa Belanda. Saya mendengar bahasa Belanda itu sexy kalau diucapkan. Semakin banyak saya melakukan kesalahan di pengucapan ataupun grammatica, semakin tertantang untuk belajar terus. Sekarang saya bukan hanya jatuh cinta dengan suami yang WN Belanda, tetapi juga bahasa Belanda itu sendiri.
Belajar mandiri secara rutin, konsisten, dan terjadwal
Yang saya lakukan adalah selain belajar di sekolah juga rutin dan konsisten belajar di luar sekolah. Karena belajar di sekolah saja tidak cukup waktunya jadi harus ditunjang dengan belajar mandiri di luar sekolah. Saya belajar di luar sekolah setiap hari maksimal 3 jam rutin dari senin sampai jumat, sabtu dan minggu libur. Untuk lama belajar setiap orang berbeda kebutuhannya. Untuk saya, 3 jam itu sudah maksimal, lebih dari itu pusing kepala. Lebih baik belajar dalam waktu yang pendek tetapi rutin daripada waktu yang lama tetapi hanya satu hari saja. Setiap orang mempunyai bakat dan kemampuan dibidang tertentu dan sejak dulu saya menyadari bahwa bahasa bukan bidang saya, karenanya saya harus belajar lebih tekun dibandingkan yang lainnya. Jika memutuskan tidak sekolah, belajar mandiri bisa dilakukan melalui website-website yang memberikan materi dan contoh ujian. Tenang saja, banyak sekali. Bisa juga ke perpustakaan (Bibliotheek) untuk meminjam buku atau mengikuti koffie met taal, ini program perpustakaan tanpa dipungut biaya untuk belajar bersama-sama dengan guru dan peserta yang lain.
Kenali kelemahan
Kelemahan saya adalah bagian berbicara (spreken) dan mendengarkan (luisteren), karenanya saya bekerja keras pada dua bagian ini. Bukan berarti saya melalaikan bagian menulis dan membaca karena pada dua bagian ini hasil latihan di sekolah selalu bagus, jadi saya optimis pada dua bagian ini selain karena saya memang suka menulis dan membaca. Tidak heran nilai ujian membaca saya lebih unggul dibandingkan yang lainnya. Dengan mengenali kelemahan, kita bisa tahu bagian mana yang harus ditingkatkan, lebih keras dan tekun belajarnya
Keluar dari zona aman dan nyaman
Yang saya maksudkan disini tentu saja keluar rumah untuk bergaul dengan lingkungan luar. Contohnya : kalau sudah yakin akan melamar kerja, ya bisa dimulai dengan melamar kerja. Bisa juga dengan mengikuti kegiatan sukarelawan seperti yang saya lakukan. Cerita tentang beberapa kegiatan sukarelawan yang saya ikuti sudah pernah saya tulis disini. Selain lebih memperluas pengetahuan kita tentang lingkungan di Belanda juga bisa memperlancar komunikasi dalam bahasa Belanda. Salah satu manfaat yang bisa saya dapat adalah : sewaktu mengikuti ujian KNM, saya tidak terlalu mengalami kesulitan meskipun baru sempat belajar 2 minggu menjelang ujian. Hal ini karena materi KNM nyaris sama dengan yang sehari-hari saya temui di luar rumah ataupun dengan membaca berita. Akhirnya saya mendapatkan nilai sempurna untuk KNM. Kalau hanya berdiam diri di rumah tanpa melakukan kegiatan apapun, bisa saja, toh itu berdasarkan kebutuhan masing-masing orang. Tapi, sangat sayang kalau misalkan banyak fasilitas di luar rumah yang bisa digunakan tetapi tidak dimanfaatkan dengan baik sebagai bagian proses integrasi. Setelah 2 bulan menjadi sukarelawan di verpleeghuis, waktu itu saya merasa ada peningkatan pada kemampuan berbicara dalam bahasa Belanda.
Penilaian KNM ini berbeda dengan penilaian Staatsexamen NT2 untuk B1 pada 4 bagian yang sudah saya sebutkan. Untuk B1 nilai minimal yang harus dicapai untuk lulus yaitu 500, nilai maksimalnya 900 berdasarkan keterangan di websiteIamexpat ini (website ini sangat informatif, silahkan dibaca jika memerlukan informasi mendalam, salah satunya tentang Staatsexamen NT2)
Belajar dari radio, tv, film, lagu-lagu, banyak membaca koran dalam bahasa Belanda ataupun novel.
Yang saya sebutkan diatas adalah cara untuk memperkaya kosakata dalam bahasa Belanda maupun mempelajari struktur kalimat selain melatih mata untuk membaca dan telinga untuk mendengarkan, bahkan tangan untuk menulis serta mulut untuk melatih pengucapan. Kalau melihat TV bisa juga dipasang subtitle dalam bahasa Belanda sehingga kita juga bisa belajar membaca selain mendengarkan.
Membatasi bergaul dengan sesama orang Indonesia
Terdengar sok dan belagu ya dengan saya menuliskan untuk membatasi bergaul dengan sesama orang Indonesia, tapi ini berhasil untuk saya. Logikanya : kalau setiap saat atau katakanlah setiap hari kita selalu bertemu atau beraktivitas dengan sesama orang Indonesia menggunakan bahasa Indonesia, lalu kapan kita akan bisa mempraktikkan komunikasi menggunakan bahasa Belanda. Kalau setiap saat kita berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia selama di Belanda, lalu apa bedanya dengan saat kita tinggal di Indonesia. Ingat, belajar bahasa itu bukan seperti legenda Bandung Bondowoso yang dapat membangun candi dalam waktu satu malam. Belajar bahasa itu tentang latihan yang teratur dan praktik yang konsisten. Perluas pergaulan bukan hanya dengan sesama orang Indonesia saja. Sudah saatnya mengubah cara berpikir, tidak harus selalu bersama-sama dengan yang sesama negara. Ada saatnya untuk berkumpul, tapi tidak harus selalu. Selain itu juga bisa menghindarkan diri dari gosip-gosip yang tidak perlu.
Dukungan dari pasangan dan keluarga
Sejak saya masuk sekolah, komunikasi dengan suami yang pada awalnya menggunakan bahasa Inggris berganti dengan bahasa Belanda. Dari yang prosentasenya hanya 5%, sekarang sudah sekitar 90% kami berkomunikasi menggunakan bahasa Belanda. Suami saya termasuk galak dan super tegas dalam hal ini. Setiap saya menggunakan bahasa Inggris, dia selalu menjawab dengan bahasa Belanda. Lama-lama akhirnya saya mengikuti. Begitu juga dengan keluarga disini, saya berkomunikasi dengan mereka full menggunakan bahasa Belanda. Tidak hanya itu saja, suami selalu mengoreksi ucapan saya yang salah ketika berbicara, membetulkan tulisan ketika saling berkirim pesan di whatsapp ataupun email. Salah disini termasuk cara pengucapannya maupun grammatica. Awalnya kesal ya setiap berbicara kok dikoreksi. Lama-lama jadi terbiasa dan merasakan manfaatnya. Selain itu, suami juga rajin mengoreksi hasil latihan menulis bahkan dua bulan menjelang ujian, sepulang dia bekerja, kami setiap malam berlatih bersama. Dia mengoreksi hasil latihan saya di contoh soal ujian maupun berlatih ujian berbicara. Dia mengatakan bahwa ujian integrasi ini adalah tanggungjawab bersama, jadi kerja team. Karena kalau saya tidak lulus, dia juga kan yang akan rugi. Karenanya dukungan suami sangatlah dibutuhkan. Adakalanya saya capek dan bosan belajar, dia tidak memaksa. Itu wajar katanya. Hanya satu ucapannya yang saya selalu ingat, “Saya mengikuti kamu. Kalau kamu memang mau lulus, mari belajar bersama-sama. Tapi kalau kamu tidak disiplin dalam belajar, kamu juga harus terima konsekuensinya apa, dan tidak boleh marah-marah ataupun sedih berkepanjangan. Apa yang kamu tanam, itu yang kamu dapatkan manfaatnya.”
Latihan, praktik dan praktik
Praktik ini tidak mengenal batasan waktu dan tempat. Terutama yang saya soroti disini adalah praktik berbicara. Pada awalnya saya takut kalau melakukan kesalahan ketika berbicara, tetapi lama kelamaan saya berpikir, saya kan bukan asli orang Belanda. Jadi kalau melakukan kesalahan ya wajar saja, namanya juga belajar. Kalau melakukan kesalahan berbicara tidak akan didenda juga. Jadi hajar saja, jangan takut. Yang menjadi lawan bicara juga pasti akan tahu kalau saya bukan asli Belanda. Kalau takut terus yang dipelihara, kapan bisa maju. Akhirnya saya nekat berbicara mengunakanan bahasa Belanda dimanapun berada, misalkan di pasar, di supermarket, menelefon rumah sakit, membuat janji dengan dokter, bahkan ketika berkonsultasi dengan dokter ketika di rumah sakit saya menggunakan bahasa Belanda, atau saat mengirim email ke koordinator di tempat kerja. Intinya dimanapun dan kapanpun. Kecuali kalau dalam keadaan sangat terpaksa : misalkan sesuatu yang berhubungan dengan medis, kalau sudah dijelaskan menggunakan bahasa Belanda berkali-kali dan ada hal yang saya belum paham, saya meminta dijelaskan menggunakan bahasa Inggris, daripada salah pemahaman.
Ukur kemampuan
Seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, untuk ujian integrasi kita diberikan waktu maksimal 3 tahun untuk lulus. Kita harus bisa mengukur kemampuan kita sendiri apakah sudah siap untuk ujian atau belum. Tingkat B1 lebih sulit ujiannya dibanding A2, itu pasti karena memang tingkatan B1 diatas A2. Tetapi yang saya ingin tekankan disini adalah karena B1 itu susah (menurut pendapat saya yang baru 1 tahun tinggal di Belanda), kita harus menetapkan batas terhadap diri sendiri kapan akan ujian. Kalau dirasa satu tahun cukup untuk belajar, lalu memutuskan ujian, silahkan. Kalau dirasa dua tahun itu waktu yang dibutuhkan untuk belajar lalu ujian, silahkan. Yang jangan dilupakan adalah batas maksimal 3 tahun. Jangan menetapkan standar berdasarkan kacamata orang lain, tetapi jadikan keberhasilan orang lain itu sebagai motivasi. Kalau memang ternyata setelah ujian dan hasilnya gagal, jangan terlalu kecewa. Segera bangkit dan telisik kembali gagalnya dibagian mana. lalu perbaiki. Banyak latihan, praktek dan jangan mudah menyerah. Salah satu yang menjadi motivasi saya adalah ketika melihat digrup NT2 ada yang mengumumkan lulus ujian setelah 9 bulan belajar. Wah, ternyata bukan hal yang mustahil ya. Setelahnya saya menjadi terpacu untuk belajar maksimal.
Beberapa website yang bisa digunakan untuk belajar (alamatnya bisa langsung diklik):
– EHBN (Eerste Hulp Bij Nederlands) : Ini untuk belajar dan latihan soal-soal KNM. Saya belajar KNM dari situs ini selain buku yang didapat dari sekolah.
– Inburgeren : Ini adalah website DUO sebenarnya, tetapi disini bisa dibaca lengkap tentang segala informasi tentang ujian integritas dan contoh soal sebagai bahan latihan.
– Hetcvte : Website ini khusus untuk Staatsexamen NT2 milik DUO, dari cara mendaftar ujian sampai contoh soal dan materinya.
Pada saat ujian
Sehari sebelum ujian, saya tidak memegang satu bukupun. Tujuannya supaya pikiran tenang. Pada hari ujian, usahakan datang 30 menit sebelum ujian dengan membawa lengkap syarat-syarat yang sudah tertulis dalam surat undangan. Jangan tegang dan panik, terutama bagian spreken. Fokus saja pada diri kita, percaya diri saja bahwa bisa mengerjakan. Berdoa supaya diberikan kemudahan, jika memang dibutuhkan. Saya menemukan sebuah cerita tentang pengalaman saat ujian. Bisa dibaca disini. Apa yang dituliskan nyaris sama dengan pengalaman saya. Dan ternyata, setelah saya melewati ujian-ujian tersebut, soalnya tidak sesusah yang saya bayangkan. Bahkan pada bagian luisteren, suaranya jelas tidak seperti contoh ujian yang saya buat latihan.
Setelah ujian
Setelah ujian waktunya untuk bersenang-senang. Lakukan apapun yang kita suka, piknik misalnya karena kita sudah terbebas dari ujian. Kalau saya bersama suami jalan-jalan ke Perancis dua minggu setelah ujian berakhir. Masalah hasil, tidak usah terlalu dipikirkan walaupun dalam kenyataannya tetap saja sih kepikiran tapi tidak terlalu berlebihan. Kalau kita sudah berusaha semaksimal mungkin, hasil akan mengikuti, tenang saja. Optimis. Dan satu lagi, berdoa semoga hasilnya adalah lulus. Hasil ujian bisa dilihat pada website DUO dalam waktu 5 minggu dan suratnya akan dikirim ke alamat kita dalam waktu 6 minggu terhitung sejak waktu ujian, kecuali KNM hasilnya bisa dilihat sekitar 3 hari setelah ujian.
Itulah pengalaman dan informasi yang bisa saya bagi mengenai ujian integrasi maupun Staatsexamen NT2 Programma I (B1). Saya saat ini masih mempersiapkan untuk ujian ONA, setelah melewati 5 ujian lainnya. Jika sudah ada hasil ONA, informasi disini akan saya update. Buat saya, yang terpenting adalah kemauan dari kita sendiri untuk belajar semaksimal mungkin. Sebagus dan semahal apapun sekolahnya, kalau tidak diimbangi dengan kemauan kita untuk belajar di luar sekolah, semuanya tidak akan berarti apa-apa. Saya memperhatikan banyak yang lulus ujian B1 tanpa harus bersekolah (karena memang sekolah tidak wajib setelah tahun 2014), mereka belajar sendiri. Sebaliknya pun begitu, ada yang tidak lulus ujian B1 walaupun sekolahnya ditempat yang bagus, karena mereka tidak mau praktik dan menambah frekuensi belajar di luar sekolah. Semuanya kembali pada kita sendiri, ada kemauan kuat untuk lulus atau tidak.
Apakah sekarang saya sudah lancar berkomunikasi menggunakan bahasa Belanda? Wah ya belum pastinya, jauh dari sempurna. Tinggal disini saja saya belum genap 1.5 tahun, ngomong masih sering belepotan grotal gratul kata orang Jawa, menulis masih sering ketinggalan lidwoordnya, dan masih sering tidak mudheng kalau ada yang berbicara dalam bahasa Belanda dengan kecepatan tinggi dan beraksen. Tapi setidaknya saya sudah berani mencoba dan selalu memperbaiki diri dari segala kesalahan yang ada. Jangan takut salah ketika mencoba dan selalu berpikir positif bahwa kita bisa. Proses belajar tidak serta merta berhenti ketika ujian selesai. Proses belajar akan berlangsung sampai kapanpun. Ada kalimat bagus yang saya kutip dari websiteIamexpat“A pass does not mean your Dutch is perfect, but it proves you have a good understanding of the language and you are familiar with the grammar and vocabulary.”
Heel veel succes voor iedereen die examen (Inburgeringsexamen of Staatsexamen NT2) gaat doen!
Baca juga pengalaman Zilko (disini) mengikuti ujian integrasi sebagai salah satu syarat untuk mengajukan permohonan izin tinggal permanen di Belanda.
-Den Haag, 18 Mei 2016-
Suami tidak bisa melihat saya ongkang-ongkang kaki, “Jadi selanjutnya kamu mau ujian menyetir atau ambil diploma renang?” owalahh Mas, tawarannya kok ujian lagi, ora uwis uwis 😀
This week, from April 30th until May 8th in the Netherlands there is an event called Romeinenweek. The English translation would be something like Week of the Romans. It is a nice gesture to commemorate the presence of the Romans in the Netherlands 2000 years ago. There is a special website that has a program of all the activities to this special week. This year is the third time this event will be organised and the theme for this year is water. So the activities will be focused on subjects like bridges, aquaducts and canals.
But why would a nation commemorate the presence of Romans, an event that already happened so very long ago? There are several reasons for that. From a personal level I remember as a young child there was something fascinating and magical about Romans and their Roman Empire. Most of all, their soldiers looked cool. They wore impressive outfits and the soldiers were very well trained and usually would easily beat their enemies.
I think this is still applicable to the children that grow up nowadays even in this time of TV and video game ‘superheroes’, the Romans still have this special attraction to children. If you want to know how life in the Netherlands was during the Roman presence you might consider making a trip to Archeon in Alphen aan den Rijn. They rebuild buildings from that time, like a Roman bathhouse and there are shows with Roman soldiers and gladiators.
As I grew older and studied ancient history I learned that there were many other reasons why the Romans could be considered ‘cool’. They managed to unite and unify large parts of the tribes and people that lived in Europe, something that no other military or political figure since then has managed. And they knew how to stay in control: the larger part of their empire would be united for nearly 1000 years. It seems almost unbelievable that with the modest technology they had at their disposal they managed to keep together an empire that stretched from England and Spain in the West, Germany in the North, North Africa in the South and stretched all the way to Egypt and Israel in the East. The Romans built a capital, Rome, that was unlike anything the world had ever seen until that point. Millions of people were living in that city and it would take until the 19th century before humanity would see new capitals with a comparable figure of inhabitants.
The Dutch people have always had a keen interest in their history. And the Romans have left us many things to remind us from the time they were present in the Netherlands. Not as obvious like temples or buildings, those have not survived. But by excavating or by pure accident many objects from the Roman time have been found. Not only phyiscal objects like (coins, household items and tombstones to name a few) but also infrastructures like the roads they built or the fundaments of cities and villages. Many of these found objects are on display in musea all around the Netherlands. I could recommend visiting the Rijksmuseum voor Oudheden in Leiden that has one of the largest collections on display in their beautiful museum.
For a full program of activities during Romeinweek you can have a look at the schedule.
Menjadi sukarelawan bukanlah hal yang baru buat saya karena pada dasarnya saya adalah tipe orang yang cepat bosan jika tidak melakukan kegiatan jika ada waktu senggang yang banyak. Maksudnya kegiatan disini adalah yang bertemu dengan beberapa atau banyak orang dan melakukan sesuatu yang baru sesuai minat. Dengan menjadi sukarelawan banyak hal baru yang bisa saya dapat dan membuat semakin bertambah ilmu juga pengalaman. Dari masing-masing kegiatan sukarelawan yang pernah saya ikuti, suka dukanya juga berbeda-beda, ilmu dan pengalaman yang didapat pastinya juga berbeda. Tetapi sejauh ini, saya selalu menikmati kegiatan sukarelawan yang sesuai dengan minat serta disesuaikan dengan waktu yang tersedia. Sewaktu kerja di Jakarta, jika sedang tidak ada tugas kantor keluar kota pada akhir pekan, saya selalu menyempatkan diri untuk mengikuti beberapa kegiatan sukarelawan yang memang tidak jauh-jauh dari kegiatan mengajar dan bercerita karena memang saya suka dua hal tersebut. Beberapa kegiatan sukarelawan di Jakarta yang pernah saya ikuti adalah Indonesia Bercerita, Shoebox project, dan mendongeng disebuah rumah baca. Sedangkan ketika kembali kuliah di Surabaya, saya mengikuti Kelas Inspirasi (ceritanya disini). Senang bertemu kenalan baru, berbagi pengalaman dengan mereka, melatih kesabaran ketika bertemu dengan anak-anak, bahkan sering menangis terharu melihat kepolosan serta mimpi-mimpi yang sering diutarakan oleh anak-anak ini saat saya berinteraksi langsung dengan mereka. Pengalaman hidup yang tidak akan terlupakan.
Ketika pindah ke Den Haag, beberapa kenalan memberikan saran untuk mengikuti kegiatan sukarelawan sebagai sarana melatih berbicara bahasa Belanda dan untuk bersosialisasi dengan lingkungan di Belanda. Mama mertua dan suami juga menyarankan hal serupa. Pada bulan kelima sejak datang, saya mulai memberanikan diri untuk membaca dibeberapa website tentang kegiatan sukarela yang ada. Tetapi kebanyakan membutuhkan kemampuan bahasa Belanda. Saya nekat untuk mencoba melamar beberapa dan seperti sudah diduga, lamaran saya ditolak semua karena memang yang mereka butuhkan yang bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Belanda (yang saya lamar memang organisasi yang membutuhkan kemampuan bahasa Belanda selain bahasa Inggris). Sampai pada akhirnya bulan Oktober 2015, ketika guru disekolah bahasa Belanda mengatakan bahwa kemampuan berbicara saya sudah lumayan bagus (dibandingkan ketika baru masuk yang bisanya cuma hitungan dan beberapa kalimat pendek dengan tata bahasa yang acak adut) dan beliau memberikan alamat website organisasi yang mengkoordinasi sukarelawan di Den Haag, barulah saya mempunyai kepercayaan diri untuk mulai mencoba melamar lagi. Setelah memilih dan memilah, akhirnya beberapa lamaran saya kirimkan. Dibawah ini adalah beberapa pengalaman saya menjadi sukarelawan di Den Haag :
Saya pernah menuliskan cerita sebagai guru tamu untuk kegiatan TWIYC ini pada tulisan sebelumnya disini. TWIYC adalah sebuah proyek atau kegiatan sukarela yang diprakarsai oleh pemerintah kota (Gemeente) Den Haag yang bekerjasama oleh ACCESS,PEP, TheBridgeHague, HollandTimes sertaAngloInfosebagaimedia partner. The Hague atau yang dikenal dengan Den Haag adalah kota Internasional yang banyak sekali pendatang dari segala penjuru dunia dengan tujuan menetap ataupun bekerja. Pemerintah kota Den Haag melihat sebuah peluang dari keberagaman pendatang tersebut yang bisa dijadikan sebagai sebuah kerja sukarela (vrijwilligerswerk) sebagai sukarelawan (volunteer atau dalam bahasa Belanda disebut vrijwilliger), maka didirikanlah TWIYC. Kegiatan dalam TWIYC ini bertujuan memberikan kesempatan kepada para pendatang untuk menjadi Guest Lecturer dalam waktu satu jam pada siswa berusia 12 sampai 16 tahun disekolah menengah (Middelbare School) diseluruh Den Haag.
Sampai pada saat ini saya sudah mendatangi 4 sekolah di Den Haag untuk mempresentasikan tentang Indonesia (dengan tema keragaman kuliner tradisional di Indonesia). Saya senang dengan kegiatan ini karena bisa berinteraksi langsung dengan murid-murid dan guru serta seringkali mendapatkan kejutan-kejutan menyenangkan dari pertanyaan-pertanyaan yang terlontarkan. Senang mendapati mereka sangat antusias untuk mengetahui Indonesia. Seringnya karena terlalu banyak yang bertanya tetapi waktu yang tersedia hanya maksimal satu jam, guru yang berada dikelas membatasi pertanyaan dan murid-murid tetap berebut bertanya. Pada dua sekolah terakhir saya mempresentasikan penuh dalam bahasa Belanda karena murid-muridnya kesulitan mengerti jika saya menyampaikan semua materi dalam bahasa Inggris. Ini menjadi tantangan tersendiri untuk saya karena terus terang bahasa Belanda saya juga masih pas-pasan. Beruntungnya saya dibantu oleh guru jika ada kesulitan dengan beberapa kata.
Sukarelawan di Yayasan untuk anak-anak Difabel (Middin)
Middin adalah yayasan yang bergerak fokus untuk anak-anak difabel (differently abled yaitu anak-anak yang mempunyai perbedaan level fungsi jasmani dan atau rohani). Middin ini ada dibeberapa tempat di Den Haag. Anak-anak yang ada di Middin tinggal disana selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Sewaktu saya melamar, mereka sedang membutuhkan orang untuk membantu didapur sebagai tukang masak, menyiapkan makan malam untuk anak-anak ini serta menemani mereka makan. Karena suka masak, maka saya memberanikan diri untuk melamar. Ternyata pertanyaan pertama dari mereka adalah apakah saya suka memasak dan bisa memasak. Setelah wawancara, saya disuruh datang minggu depannya langsung bekerja untuk masa percobaan.
Berada didapur dengan kolega yang kesemuanya menggunakan bahasa Belanda membuat saya sempat kaget karena tidak bisa mengikuti alurnya. Mereka berbicara cepat sekali, saya sampai terbengong tidak paham yang diterangkan. Tapi hal tersebut tidak berlangsung lama. Setelah beberapa saat, saya sudah menyatu dengan suasana dapur. Memasak untuk anak-anak difabel tidak bisa sembarangan karena mereka mempunyai diet makanan dan minuman. Jadi sudah ada posnya siapa menyiapkan untuk anak difabel yang mana. Dan masing-masing menu harus dibaca dengan sungguh-sungguh supaya tidak ada salah. Disini saya belajar bekerjasama dan dituntut belajar dengan cepat serta konsentrasi yang tinggi. Saat mendampingi anak-anak tersebut makan juga menimbulkan perasaan haru untuk saya. Karena jadwal dari Middin tidak cocok dengan jadwal saya, akhirnya saya hanya bisa datang dua kali dan setelahnya tidak bisa melanjutkan lagi.
WoonZorgcentra Haaglanden (selanjutnya saya singkat menjadi WZH) adalah yayasan yang menangani orang tua dirumah perawatan (disebut verpleeghuis) yang ada di Den Haag tersebar dibeberapa cabang. Jadi mereka yang tinggal di verpleeghuis karena ada masalah dengan kesehatan (kesehatan badan dan atau daya ingat) tetapi dalam kondisi yang tidak parah. Berdasarkan dari informasi supervisor saya, mereka tinggal disini bisa jadi dalam jangka waktu tertentu atau dalam jangka waktu yang tidak ditentukan. Contohnya : misalkan ada orang tua yang tidak bisa berjalan dengan baik sehingga menggunakan kursi roda tetapi daya ingatnya masih baik dan tidak mempunyai masalah kesehatan yang lainnya, maka beliau tinggal disini dalam jangka waktu tertentu yang nantinya akan ditinjau ulang berdasarkan keadaan yang ada.
Mereka ada yang masih mempunyai keluarga sehingga mendapatkan kunjungan misalkan setiap minggu sekali ataupun dua minggu sekali bahkan bisa sebulan sekali. Tetapi beberapa juga sudah tidak mempunyai keluarga lagi. Untuk tinggal disini, mereka harus membayar yang diambil dari uang tunjangan.
Saya menjadi sukarelawan di WZH dengan waktu kerja dua kali dalam seminggu sejak jam 8 pagi sampai jam 3 sore. Proses menjadi sukarelawan disini sama dengan di Middin yang melewati wawancara dan masa percobaan. Diawal ditanyakan motivasi menjadi sukarelawan apa, yang saya jawab untuk memperlancar bahasa Belanda dan untuk bersosialisasi dengan lingkungan di Belanda. Dua minggu kemudian ada kontrak kerja yang harus ditandatangani sebagai sukarelawan yang mencantumkan hak dan kewajiban saya serta diberikan tanda pengenal sebagai sukarelawan disana. Oh iya, sebelumnya saya harus mengajukan permohonan verklaring omtrent het gedrag certificate of conduct (ini semacam surat keterangan berkelakuan baik) ke Ministerie van Veiligheid en Justitie (Ministry of Security and Justice) yang biayanya ditanggung oleh WZH.
Apa yang saya kerjakan disini? Saya mempersiapkan makan pagi dan makan siang untuk 10 orang tua. Sebelumnya saya jelaskan dulu bahwa WZH ini ada digedung yang besar terdiri dari beberapa lantai dan tiap lantai ada beberapa bagian (afdeling). Saya ada disalah satu afdeling. Satu afdeling terdiri sekitar 20 pasien. Nah saya bertanggungjawab mempersiapkan sarapan dan makan siang hanya untuk 10 orang tua. Ada orang tua yang bisa makan diruang makan, ada yang tidak mau. Untuk yang tidak mau, saya mengantarkan makanan ke kamarnya dan mereka akan makan sendiri disana. Ada yang bisa makan diruang makan dan makan sendiri. Ada yang bisa makan diruang makan dan perlu bantuan untuk disuapi. Saya akan menyediakan makanan dulu untuk mereka yang bisa makan sendiri kemudian melanjutkan menyiapkan makanan dan menyuapi bagi yang tidak bisa makan sendiri. Ada pasien yang memang tidak bisa makan dan membutuhkan peralatan tertentu, ini yang melakukan adalah perawat.
Dalam menyiapkan makanan disini saya juga harus berhati-hati. Ada orang tua tertentu yang tidak ada daftar dietnya (jadi tidak ada masalah dengan makanan), tetapi yang lainnya ada daftar dietnya. Saya harus pelan-pelan membacanya supaya tidak salah. Diawal-awal saya harus beberapa kali membuka kamus bahkan bertanya pada kolega kalau ada kata-kata atau instruksi pada daftar diet yang saya tidak mengerti.
Selain menyiapkan makanan, tugas saya lainnya adalah bertanggungjawab terhadap kebersihan ruang makan, menemani para orang tua misalkan : ke fisioterapi, dokter gigi, ke salon, membacakan cerita jika mereka menginginkan, menemani berbicara sambil minum kopi atau teh (bagi mereka yang diperbolehkan mengkonsumsi teh dan kopi).
Kolega saya adalah dokter, perawat, murid-murid yang sedang magang, mereka yang bekerja paruh waktu, koki, mereka yang membantu membersihkan ruangan pasien. Yang menyenangkan adalah saya dikirim dua kali kursus tentang bagaimana cara merawat orang tua dan seluk beluk bekerja dibagian perawatan. Beberapa bulan kemudian saya mendapatkan tawaran untuk bekerja paruh waktu di WZH.
Keuntungan menjadi sukarelawan :
Tujuan saya bisa tercapai yaitu memperlancar bahasa Belanda dan terjun langsung ke lapangan bekerja dan bersosialisasi dengan lingkungan di Belanda. Hal ini saya rasakan sekali manfaatnya terutama saat saya ujian Kennis Nederlandse Maatschappij (ujian kemasyarakatan Belanda) ataupun ujian integrasi lainnya (ujian bahasa Belanda inti dan ONA). Kenapa kesannya saya selalu menuliskan untuk belajar langsung (praktik) untuk memperlancar bahasa Belanda? karena sadar kemampuan berbahasa saya yang tidak bisa cepat jika tidak diiringi dengan praktik langsung. Berbicara dengan suami dirumah menggunakan bahasa Belanda tidak cukup untuk saya. Karenanya saya membutuhkan media lain supaya saya bisa mendengarkan bermacam aksen dan telinga saya terbiasakan dengan obrolan bahasa Belanda.
Bisa menjadi referensi yang positif saat mencantumkan di CV ketika mengirimkan lamaran kerja.
Bisa mengisi waktu luang lebih bermanfaat terutama buat saya yang baru setahun lebih sedikit tinggal di Den Haag supaya mempunyai kegiatan diluar rumah.
Di Den Haag, para sukarelawan setiap sebulan sekali, paling lama dua bulan sekali mendapatkan undangan untuk menghadiri semacam acara kumpul bulanan. Jadi saya bisa bertemu dengan sukarelawan lain diseluruh Den Haag serta beberapa pihak dan organisasi yang terkait didalamnya. Hal ini bagus untuk melakukan networking. Selain itu, disetiap pertemuan juga selalu ada materi atau pembicara professional dan pakar dibidangnya yang dihadirkan : misalkan membahas bagaimana strategi untuk mencari kerja di Belanda. Selama ini saya sudah menghadiri dua pertemuan tersebut.
Meskipun namanya adalah kerja sukarela, tetapi untuk beberapa jenis pekerjaan, misalkan untuk saya pada Middin dan WZH, ongkos perjalanan diganti. Jadi akan dihitung jarak dari rumah ke tempat kerja kemudian mereka akan mengganti uang transportasinya yang dibayar setiap tiga bulan sekali. Selain itu saya diberikan kontrak kerja sehingga tahu hak dan kewajibannya apa. Satu lagi yang menyenangkan adalah dikursuskan berarti menambah ilmu baru.
Belajar banyak hal baru yang berbeda dengan pengalaman kerja maupun latar belakang pendidikan saya di Indonesia. Mendapatkan ilmu baru contohnya saya yang dikirim kursus seperti yang saya ceritakan diatas pada bagian menjadi sukarelawan di WZH. Selain saya mendapatkan manfaatnya, saya juga bisa membantu orang lain juga.
Banyak belajar pengalaman hidup, ini saya dapatkan ketika berbicara dengan para orang tua. Mereka akan bercerita tentang banyak hal tentang kehidupan. Membuat saya lebih banyak bersyukur dengan yang saya miliki saat ini. Tidak hanya itu saja, bahkan saya juga bisa belajar sejarah karena mereka sering bercerita tentang sejarah negara tertentu termasuk Belanda.
Saya merasakan ada perbedaannya menjadi sukarelawan di Indonesia dan di Den Haag. Kalau di Indonesia berdasarkan pengalaman saya, organisasi atau wadah atau tempat yang membutuhkan sukarelawan berdiri sendiri-sendiri jadi tidak ada payung besarnya untuk mengkoordinasi (mohon koreksinya jika saya salah). Sedangkan yang saya rasakan di Den Haag, untuk menjadi sukarelawan bisa mendaftar melalui “payung besarnya” atau bisa disebut ada yang mengkoordinasi. Jadi organisasi atau yayasan atau tempat-tempat yang menerima sukarelawan tidak berdiri sendiri, melalui satu jalur koordinasinya.
Bagaimana cara mendaftar untuk bisa menjadi sukarelawan di Den Haag? Kalau saya sejak awal mendaftar lewat DenHaagDoet.nl. Disana banyak sekali pilihan kerja sukarela yang sesuai dengan minat serta beberapa website vrijwilligerswerk yang lain. Untuk pendatang baru di Belanda seperti saya yang memang tujuan jangka panjangnya adalah tinggal disini, jika memang belum ada kegiatan, saya sarankan untuk mengikuti kerja sukarela. Keluar rumah dan melakukan kegiatan yang bermanfaat sangat berguna untuk mengusir rasa kangen kepada keluarga di Indonesia, supaya tidak ngelangut dalam bahasa Jawa. Selain itu, juga bagus untuk melatih kemampuan berkomunikasi menggunakan bahasa Belanda dan bersosialisasi dengan lingkungan di Belanda.
Sejak kamis malam entah kenapa saya tiba-tiba terbayang pecel tumpang Nganjuk. Kangen sekali rasanya ingin makan pecel Nganjuk yang super pedas diberi sambel tumpang, sambel goreng tahu tempe dan peyek teri yang ditata dipincuk daun. Biasanya saya membeli ditetangga Mbah Putri yang menjual nasi pecel. Setelah makan pecel tumpang dilanjutkan makan bubur sumsum. Menulis ini saja saya harus menahan air liur yang hampir menetes. Makanan sederhana tetapi menjadi istimewa jika jauh seperti ini. Karena persediaan sambel pecel saya habis dan masih belum ada mood untuk membuatnya, akhirnya saya hanya membawa khayalan makan nasi pecel tersebut ke dalam tidur, siapa tahu didalam mimpi kesampaian bisa makan pecel tumpang Nganjuk lengkap dengan bubur sumsum, yang nyatanya saya malah mimpi liburan.
Jumat sepulang kerja, dalam keadaan basah karena kehujanan, sambel pecel tiba-tiba datang lagi sekelebat didalam pikiran. Daripada terus dihantui perpecelan ini akhirnya saya mampir ke toko Indonesia dekat rumah untuk membeli kacang sambel. Sebelumnya saya mampir ke supermarket untuk membeli beberapa sayuran. Ketika melewati rak ikan, mata saya tiba-tiba tertuju pada ikan pangasius yang sedang diskon 50% seberat 250gr. Wah, lumayan pikir saya. Saya berpikir sebentar, bisa dibuat apa ya ikan pangasius ini. Lalu saya teringat kalau ikan pangasius ini bisa menggantikan ikan tengiri untuk membuat pempek. Tanpa berpikir panjang saya langsung membeli ikan tersebut, niatnya ingin bereksperimen membuat pempek menggunakan ikan untuk pertama kali. Entah kenapa saya menjadi lupa tujuan awal ingin mampir ke toko Indonesia, setelah sampai rumah baru teringat niat awalnya ingin membuat sambel pecel lha kok malah belok ingin membuat pempek *duassaarr. Saat suami sampai rumah, saya sampaikan rencana besar dihari sabtu untuk membuat pempek. Dia hanya senyum-senyum melihat saya bersemangat, mungkin dalam hatinya bilang “mudah-mudahan tidak gagal ya” karena ini pertama kali membuat pempek.
Sabtu jam 9 pagi saya mulai menyiapkan peralatan memasak, kemudian mencari resep pempek di youtube. Iya saya baru mencari resepnya pagi itu. Akhirnya saya mengkombinasikan resep yang saya dapat dari masak.TV dan resep pempek dos. Setelahnya saya baru mempersiapkan bahan-bahannya, yang untungnya masih punya persediaan tepung tapioka dan tepung terigu. Saya tidak mengikuti takaran resep yang sudah ada, hanya memakai ilmu perkiraan saja, yang penting takaran untuk tepung terigu setengahnya tepung tepioka. Itupun saya hanya memakai takaran sendok bukan ditimbang. Setelah menggiling ikan, memasukkan telor dan air, kemudian diaduk lagi, tepung mulai dimasukkan. Setelahnya drama dimulai. Rupanya saya terlalu banyak memasukkan air. Akhirnya setelah tepung tapioka didalam wadahnya habis, adonan masih terasa lembek. Saya terdiam sejenak, memikirkan apa yang musti dilakukan. Disaat seperti itu saya merindukan warung atau toko pracangan di Indonesia. Kalau ada yang kurang ditengah memasak, bisa langsung melipir ke warung. Yang sedihnya disini tidak ada, dan masak iya saya harus menunggu toko Indonesia dekat rumah buka dulu jam 12 siang, keburu adonannya ngambek :D.
Saya masuk ke gudang, membongkar segala persediaan disana, berharap terselip tepung tapioka. Kenyataannya saya malah menemukan tepung beras ketan sisa membuat wingko babat. Akhirnya saya nekat memasukkan tepung beras ketan kedalam adonan sebagai gantinya tepung tapioka, logikanya kan sama-sama memadatkan fungsi kedua tepung tersebut. Saya sebenarnya tidak yakin pada logika saya tersebut, sampai pada proses terakhir direbus dan setelah didinginkan, saya coba mencicipi dengan mengiris sedikit. Wah, ternyata rasanya enak *huahaha dipuji sendiri, tapi memang benar rasanya enak, strukturnya tidak keras, lumayanlah untuk ukuran pertama kali membuat pempek yang diselingi drama kehabisan tepung. Beralih ke proses membuat cuko yang juga agak drama. Dari resepnya salah satunya dibutuhkan ebi. Karena tidak punya ebi, tetapi menurut masak.tv juga diperlukan tongcay, saya punyanya hanya tongcay. Jadilah saya hanya menggunakan tongcay, asam jawa dan cukapun hanya tinggal sedikit yang tersisa dari persediaan. Ya dari sisa-sisa tersebut saya mengolah cuko sedemikian rupa, hasilnya enaak sekali sesuai yang saya harapkan.
Hasil akhirnya saya bisa membuat 6 porsi pempek. Lumayan mengiritlah dibanding harus beli, jadinya sekarang punya persediaan, kalau kepengen tinggal menggoreng dari yang tersimpan di freezer. Karena terharu berhasil membuat pempek pertama kali, saya langsung kirimkan fotonya ke Puji, maklum dia yang selalu bersemangat “ngomporin” saya sejak dulu untuk membuat pempek sendiri dan mengatakan kalau membuat pempek itu mudah. Ternyata memang mudah, kalau tidak diselingi drama haha. Tarrraa, Inilah pempek pertama buatan saya yang dinikmati bersama suami 🙂 Karena euforia, siang dan malam saya makan pempek :p
Hari minggu seperti biasa hari memasak. Karena memang sedang malas, akhirnya saya masak yang gampang-gampang saja untuk lauk beberapa hari kedepan. Saya membuat perkedel panggang. Resepnya sama seperti perkedel biasa, tapi karena malas menggoreng dan malas membentuk bulat-bulat, akhirnya saya panggang saja. Lebih praktis dan mengurangi penggunaan minyak. Suami juga lebih senang perkedel panggang karena lebih sehat tanpa minyak.
Hari minggu ini suami mengikuti lari half marathon (21km) yang diadakan di Den Haag bernama CPC Loop. Tahun lalu kami ikut acara ini bersama, ceritanya pernah saya tulis disini. Tahun ini saya sudah mempersiapkan diri untuk ikut yang 21km juga. Saya sudah mendaftar, sudah latihan selama beberapa bulan, tetapi karena suatu kondisi akhirnya saya harus merelakan tidak bisa mengikuti half marathon. Sedih rasanya, padahal impian saya bisa ikut berlari bersama suami dan karena sudah latihan juga. Tetapi memang tidak bisa dipaksakan karena skala prioritas. Akhirnya suami pergi sendiri. Seperti biasa sebelum lomba lari, dia akan makan spaghetti. Saya memasak spaghetti, dengan sausnya ditambahi jamur dan wortel kemudian ditaburi keju, disajikan bersama daun basil. tomat dan paprika. Menurut dia enak sekali, sampai nambah *enak opo luwe mas :D.
Sedangkan makan siang saya dengan lodeh pedes. Angan-angannya sih membuat lodeh mangut, tapi kan disini tidak ada. Akhirnya mangutnya diganti makarel asap. Rasanya nyaris sama lho, ada sangitnya. Menu begini saja bisa nambah nasi berkali-kali :D.
Setelah suami berangkat lari, saya melanjutkan belajar bahasa Belanda. Menjelang sore, saya mulai penat belajar, akhirnya melanjutkan membaca buku A Simple Life. Saya suka sekali isi buku ini karena yang ditulis oleh Desi Anwar tidak jauh-jauh dari kehidupan kita sehari-hari. Meskipun menggunakan bahasa Inggris, tetapi kalimatnya mudah dipahami. Seringnya saya manggut-manggut kalau menemukan bagian-bagian yang “menohok” ataupun senyum-senyum kalau membaca bagian yang “lho ini kan aku banget.” Buku yang sangat saya rekomendasikan untuk dibaca. Buku Desi Anwar ini adalah buku ke 10 yang saya baca ditahun 2016 ini. Sedang deg-degan nih menunggu IEP datang *padahal kalau sudah datang juga belum tahu kapan dibacanya 😀.
Begitulah cerita akhir pekan saya dan suami. Oh iya, suami bisa menyelesaikan 21km dengan catatan waktu 1 jam 50 menit. Kata dia lebih cepat 4 menit dibandingkan tahun lalu. Mudah-mudahan tahun depan saya bisa ikut 21km bersama dia dan tidak ada kendala.
Bagaimana cerita akhir pekan kalian? Mudah-mudahan berkesan juga ya. Sedang membaca buku apa saat ini?
Semoga minggu ini dilancarkan segala urusan dan dimudahkan segala yang diharapkan. Selamat hari Senin.
Ketika menulis ini, pada waktu yang sama setahun lalu saya sedang berada dipesawat yang akan menuju negara tempat orang yang saya cintai berada. Dengan membawa 55kg dibagasi dan 10kg kabin (kelebihan bagasi 25 kg, tertolong dengan kartu GFF 15kg, 10kg sisanya lolos karena kebaikan hati petugas Garuda. Jasamu sungguh tak terkira Pak ^^), total jarak tempuh 20 jam dari Surabaya menuju Belanda (hanya transit satu kali di Soetta) menjadi sangat lama karena rasa ingin cepat jumpa dengan suami tercinta. Saya tidak mengindahkan nasehat dari salah satu Professor untuk menunggu sampai wisuda tiba, baru berangkat ke Belanda. Jangankan menunggu sampai satu bulan, rasanya selesai sidang tesis dan dinyatakan lulus, saya ingin kabur ke bandara kemudian terbang ke Belanda, kalau tidak ingat revisi yang harus diselesaikan supaya dinyatakan lulus dari ITS. Karenanya, tiga minggu setelah sidang tesis, setelah memenuhi semua kewajiban, kaki melangkah riang menuju pesawat yang akan terbang ke negara tempat saya akan memulai segala petualangan bersama orang tersayang.
Selama dipesawat, saya yang biasanya langsung tertidur ketika pesawat lepas landas, menjadi tidak bisa mengatupkan kelopak mata dengan mudah. Beberapa film sampai khatam saya tonton untuk membunuh waktu. Tidak terhitung berapa kali saya menyembunyikan senyum yang tanpa sadar mengembang karena membayangkan bagaimana rasanya bertemu suami kembali setelah hampir 6 bulan terpisah. Apakah jambangnya tidak lupa dicukur ketika menjemput saya, baju seperti apa yang dia kenakan, apa yang harus saya lakukan ketika bertemu dia. Rasanya seperti saat pertama kali kami berjumpa di Bandara Juanda, saat saya menjemput dia, deg-degan perut mulas dan terasa kupu-kupu beterbangan diperut. Bahagia namun juga cemas karena pertemuan pertama, campur aduk tidak terhingga.
Saat meninggalkan Bandara Juanda dengan diantar beberapa teman kuliah (mereka iba dengan saya yang pergi sendirian tanpa ada yang menemani, padahal saya sudah terbiasa kesana sini sendiri), tidak ada rasa ragu sedikitpun terbersit dihati tentang bagaimana masa depan saya di Belanda. Satu kebimbangan yang muncul hanyalah saat memikirkan tentang Ibu. Apakah ibu baik-baik saja saat saya tinggalkan, bagaimana kalau Ibu sakit, bagaimana kalau Ibu ada masalah. Segala keraguan itu menyesakkan dada apalagi teringat saat ibu memeluk saya dengan berderai air mata sewaktu saya pamit meninggalkan Situbondo, seminggu sebelum saya berangkat ke Belanda. Doa saya waktu itu semoga kami diberikan umur panjang untuk bisa saling berjumpa kembali.
Tiba di Schiphol 30 Januari 2015 sekitar jam 10 pagi, karena terlalu deg-degan akan bertemu suami, saya sampai lupa wajahnya seperti apa. Saya menolehkan kepala kekanan dan kekiri beberapa kali untuk mencari sosoknya, padahal dia sudah berdiri tepat dihadapan dengan tersenyum hangat dan membawa satu buket bunga dengan cover berwarna merah, warna favorit saya. Musim dingin dengan hamparan es dibeberapa sudut luar Schiphol tidak terlalu saya rasakan terlalu dingin yang menggigit, ketika suami menggenggam tangan saya seraya mendorong 65kg barang-barang menuju stasiun kereta. Hangat yang menyeruak didalam hati karena hari itu, saat kaki melangkah keluar dari Schiphol, saya berkata dalam hati “selamat datang Deny, selamat memulai petualangan bersama kekasih hati, selamat mewujudkan segala mimpi dinegara ini yang telah kau susun dengan rapi.”
Setahun berjalan cepat tanpa terasa. Jatuh bangun tentu saja mewarnai perjalanan ini. Peristiwa manis dan pahit datang silih berganti, tetapi tentu saja lebih banyak cerita bahagia dibanding duka karena saya selalu menikmati setiap prosesnya. Saya betah tinggal di Belanda, betah sekali. Banyak pelajaran berharga yang saya dapatkan selama setahun ini. Saat sedang menulis postingan ini, saya sembari menyaksikan final The Voice of Holland ditemani seloyang Pizza Tuna sementara suami sedang bekerja diruangannya. Secara perlahan saya menyusun kepingan ingatan tentang pengalaman selama setahun kebelakang.
Awal datang ke Belanda, saya sama sekali tidak bisa berbicara menggunakan bahasa Belanda, meskipun sudah lulus ujian A1 di Kedutaan Belanda di Jakarta. Saya hanya mengerti beberapa kata saja, tidak paham bagaimana menyusun kalimat. Bahkan saat dua bulan pertama disekolah, saya merasa frustasi, sering menangis karena tertinggal jauh dari murid-murid yang lain. Setiap pulang sekolah, kepala saya selalu pusing. Tetapi sejak dulu saya selalu menerapkan pantang menyerah dalam setiap langkah. Kalau yang lain bisa kenapa saya tidak, begitu yang selalu saya ucapkan. Mengejar ketertinggalan dengan belajar berkali lipat lebih keras, langsung praktek berbicara menggunakan bahasa Belanda dengan suami, keluarga dan semua orang yang saya temui, memberanikan diri melamar pekerjaan, dan mengikuti beberapa kerja volunteer sangat membantu perkembangan bahasa Belanda saya. Dari yang awal datang masih takut dan gagap kalau ingin berbicara, sekarang saya sudah berani, lebih percaya diri untuk berbicara menggunakan bahasa Belanda, meskipun masih jauh dari sempurna. Sekolah selama 9 bulan akhirnya selesai juga dua minggu yang lalu.
Selama melamar pekerjaan, sudah dua kali diterima kerja dalam waktu yang berbeda. Tetapi dua kali juga saya mengundurkan diri padahal dua pekerjaan tersebut adalah dua bidang yang berbeda yang memang saya suka. Saya mengundurkan diri dari pekerjaan pertama karena sebuah alasan idealisme. Saya mengundurkan diri dari pekerjaan kedua karena jadwalnya tidak cocok dengan jadwal saya sekolah. Karena pengalaman tersebut, akhirnya saya memutuskan untuk tidak melamar kerja dahulu sampai saya lulus ujian Bahasa Belanda. Hal tersebut juga didukung oleh suami. Kata dia “kamu kenapa terburu-buru cari kerja, ikut beberapa kegiatan saja dulu untuk memperlancar bahasa Belandamu. Satu persatu diselesaikan, jangan terlalu ambisi. Semua ada waktu yang tepat.” Sebagai gantinya, saya mendaftar untuk menjadi volunteer dibeberapa tempat, tepatnya tiga tempat. Ya, saat ini saya sedang asyik menikmati kegiatan volunteer dari pemerintah kota Den Haag yang bernama The World in Your Classroom yang pernah saya lakukan dibulan Nopember lalu. Minggu lalu saya melakukan presentasi di SG Dalton Voorburg, dan minggu kedua Februari saya juga akan datang disalah satu sekolah di Den Haag. Kegiatan volunteer lainnya adalah dirumah yang dikhususkan untuk orangtua (verpleeghuis). Tugas saya disana menemani beberapa oma dan opa dua kali dalam seminggu. Dan kegiatan volunteer yang terakhir adalah menjadi tukang masak dan menemani anak-anak difabel dirumah khusus untuk gehandicapten. Kalau sedang senggang saya akan ceritakan tentang masing-masing dua kegiatan volunteer yang saya sebutkan terakhir. Letaknya tidak terlalu jauh dari rumah, sekitar 30 menit naik sepeda. Kegiatan volunteer ini benar-benar sangat membantu saya untuk praktek bahasa Belanda, menambah pengalaman bersosialisasi dan beradaptasi, selain juga bisa membantu mereka yang membutuhkan.
Untuk masalah cuaca, sejauh ini saya sudah bisa berkompromi. Tidak terlalu sering mengeluh kalau muka terasa beku kena timpa angin dan cuaca yang dingin. Tetapi masih tetap ngomel-ngomel kalau sedang naik sepeda trus tiba-tiba angin kencang datang dan saya terjatuh dari sepeda (sudah beberapa kali saya terjatuh dari sepeda karena angin yang sangat kencang). Kesal rasanya kalau naik sepeda tiba-tiba hujan dan angin kencang. Tapi ya harus diterima dengan lapang dada, hidup kan tidak selamanya harus nyaman sentausa. Berangkat sekolah dipagi hari saat masih gelap meskipun jam sudah menunjukkan pukul 8 diiringi rintik hujan, suhu 5 derajat bahkan beberapa waktu lalu sempat turun disuhu -4, maupun tetap berangkat ke tempat volunteer untuk melaksanakan tugas. Tidak ada alasan untuk tidak berkegiatan meskipun dicuaca dingin. Kemudian frekuensi saya nyasar sudah jauh berkurang karena sekarang sudah bisa mengikuti arahan google maps dengan baik.
Selain beberapa kegiatan yang saya sebutkan diatas, saat ini juga sedang fokus dengan beberapa project pribadi maupun project komersil. Saya tipe orang yang tidak terlalu betah tinggal dirumah tanpa berkegiatan. Karenanya saya selalu mengikuti kegiatan yang membuat saya bisa mengembangkan kemampuan yang saya miliki atau untuk menambah pengetahuan dan memperluas pergaulan. Kalaupun memang saya sedang tidak ada kegiatan diluar rumah (misalkan ikut kelompok diskusi diperpustakaan kota), saya berusaha untuk melakukan sesuatu yang membuat otak saya terus bekerja, kalaupun bisa mendatangkan penghasilan, itu lebih baik lagi :D. Saya paling tidak betah dirumah seharian tanpa melakukan sesuatu. Ya minimal membaca buku atau belajar atau menulis atau mengerjakan riset seperti yang saat ini saya lakukan sebagai salah satu project yang bersifat komersil atau apapun itu yang penting tidak diam dan badan tetap bergerak.
Pengalaman setahun di Belanda yang sangat berkesan. Semoga tahun-tahun mendatang akan semakin banyak pengalaman berharga, kesempatan dan peluang baik yang bisa saya tangkap. Semoga rencana untuk mewujudkan mimpi-mimpi bisa terlaksana dengan baik. Saya tetap rindu rumah di Situbondo, rindu saudara-saudara di Ambulu, kangen dengan Ibu dan adik-adik juga keponakan, dan kangen dengan kamar saya. Semoga suatu saat saya ada kesempatan pulang, entah kapan. Terima kasih untuk beberapa yang menanyakan keberadaan saya melalui twitter, whatsapp, dan email karena tidak pernah muncul lagi dibeberapa sosial media maupun vakum sementara diblog. Prioritas saya berbeda sekarang. Saya sedang khusyuk dan fokus berkarya didunia nyata, begitu saya menyebutnya, jadi saya vakum dulu dibeberapa sosial media maupun digrup whatsapp (saya hanya punya 3 grup). Tapi saya masih sesekali akan ngeblog dan wira wiri di twitter 🙂
Selamat berakhir pekan. Sabtu ini kami akan kencan merayakan 1 tahun saya di Belanda dengan nonton The Revenant. Dan nampaknya blog kami ini juga sedang mengalami gangguan sejak 2 minggu lalu. Suami sedang sibuk luar biasa dikantornya, sedangkan saya tidak tahu caranya membetulkan gangguan ini. Jadi saya pasrah menunggu dia senggang untuk menangani kerusakan blog ini.
Update : Blognya sudah direparasi oleh bagian IT (baca:suami), jadi kolom komennya sudah ada lagi setelah sempat menghilang 😀
Tidak terasa hampir satu tahun saya tinggal dinegara yang cuacanya silih berganti antara hujan dan angin, walaupun sesekali matahari muncul juga. Banyak hal-hal baru yang saya temui ketika menjadi seorang imigran. Bukan hanya adaptasi lingkungan, cuaca, bahasa, kenalan baru, orang-orang baru, kegiatan baru, bahkan adaptasi makanan. Saya suka tinggal di Belanda dengan udaranya yang segar dan terasa nyaman dipernafasan (saya punya sinusitis akut, sudah operasi dua kali tetapi semenjak tinggal di Den Haag tidak pernah kambuh), transportasinya, fasilitas kesehatan, cepat kalau berurusan dengan instansi pemerintahan, banyak fasilitas yang gratis dan menunjang adaptasi saya sebagai imigran, toko dan pasar yang menjual segala jenis bumbu dan bahan masakan Indonesia, restoran halal yang gampang dijumpai, dan restoran Indonesia yang bertebaran disana sini. Intinya, di Den Haag semuanya ada. Meskipun nampaknya disini semua lengkap, adakalanya saya tetap rindu dengan beberapa hal yang ada di Indonesia. Rindu menggunakan pakaian yang tidak bertumpuk-tumpuk (disini dingin, jadi kalau keluar rumah harus menggunakan pakaian yang berlapis dengan segala perlengkapannya), mbok tukang pijat di Situbondo (bahkan suami sampai pijat 3 kali selama 1 bulan disana), dan terutama saya kangen dengan makanannya.
Sebelum pindah, saya tidak cukup mencari informasi tentang tempat untuk mendapatkan bumbu-bumbu untuk memasak makanan Indonesia. Karena itulah saya membeli bumbu instant di Indonesia sebanyak-banyaknya yang kemudian dikirim ke Belanda. Selang satu bulan setelah saya datang, barulah seorang kenalan mengajak ke Haagse Markt, pasar tradisional yang super lengkap di Den Haag. Tidak hanya lengkap, harga barang-barang yang dijual disana sangat murah. Selain itu, suami juga menunjukkan toko oriental yang menjual semua bumbu untuk masakan Indonesia (kapan-kapan saya akan membahas tentang toko ini secara terpisah). Pada akhirnya, bumbu instant yang dikirim tersebut tidak tersentuh dan saya bagikan ke beberapa kenalan. Awal saya tinggal di Den Haag, setiap akhir minggu kami selalu menjelajah restoran Indonesia, hanya ingin sekedar tahu rasa makanannya seperti apa. Beberapa saat kemudian, setelah saya cukup tahu dengan beberapa restoran Indonesia yang ada di Den Haag, perburuan makanan diakhir pekan frekuensinya berkurang secara bertahap. Ada yang makanannya cocok dengan lidah saya, ada yang tidak. Karenanya saya mulai bertekad untuk belajar memasak sendiri makanan-makanan yang saya inginkan.
Sejak kecil, saya memang suka sekali memasak. Ibu memiliki usaha katering di Situbondo sebagai pekerjaan kedua selain profesi Beliau sebagai guru. Karenanya, membantu ibu sejak usia 7 tahun, mengenali bumbu-bumbu dan segala jenis masakan Indonesia bukanlah hal yang baru buat saya. Saya cinta memasak. Namun ketika usia 15 tahun meninggalkan rumah untuk tinggal dikota Surabaya, saya nyaris jarang memasak lagi karena fasilitas kos saat itu termasuk dengan makan. Hal tersebut berlangsung sampai saya sebelum pindah ke Belanda. Apalagi sebagai anak kos, akan cukup simpel kalau membeli makanan jadi. Ditunjang lagi sejak mengikuti Food Combining, saya lebih sering mengkonsumsi sayuran mentah. Kesempatan saya memasak kalau pulang ke Situbondo. Karenanya, ketika pada akhirnya saya memiliki dapur sendiri, rasanya gembira luar biasa, seperti menemukan ruang kerja, seperti menemukan hobi lama kembali lagi. Kalau untuk makanan Indonesia, saya tidak mempunyai banyak kesulitan ketika memasak. Takaran bumbu biasanya saya memakai perkiraan atau feeling.
Saya baru menemui kesulitan ketika mulai ada niatan untuk membuat kue. Kebetulan pada saat itu saya ingin sekali makan kue coklat. Akhirnya saya menemukan resep mud cake diblog Ria. Karena belum pernah membuat kue sebelumnya, jadi saya buta pengetahuan tentang tepung. Saya sampai bertanya beberapa kali ke Ria tentang jenis-jenis tepung. Nah, ketika kopdar dengan Mbak Yoyen, akhirnya ada kesempatan untuk bertanya jenis-jenis tepung di Belanda. Waktu itu saya cerita ke Mbak Yoyen kalau ingin sekali membuat kue, tapi takut tidak jadi. Mbak Yoyen memberi semangat kalau saya harus mencoba. Akhirnya pulang kopdar saya bersemangat untuk segera membuat mud cake. Tantangan selanjutnya adalah mempelajari cara kerja oven. Bersama suami, saya membaca secara seksama petunjuk penggunaan oven. Agak canggung juga awalnya, takut bantet tidak bisa dimakan, atau takut gosong. Tapi begitu hasilnya keluar, terharu rasanya karena berhasil bisa dimakan. Saya sampai loncat-loncat kegirangan. Seminggu kemudian, salah satu keponakan berulangtahun. Saya mengusulkan ke Mas Ewald untuk memberi kado kue ulang tahun. Asli ini semacam uji nyali. Saya tidak ada bayangan sama sekali membuat kue ulang tahun itu bagaimana. Akhirnya nekad dengan bahan dasar mud cake kemudian saya hias dengan coklat dan beberapa hiasan lainnya. Saya sebenarnya tidak tahu rasanya seperti apa, pada waktu itu hanya berdoa semoga para undangan, adalah keluarga dan teman-teman yang berulang tahun, ketika memakan tidak tiba-tiba sakit perut. Ternyata mereka suka sekali dengan kuenya. Habis ludes, padahal ada 2 kue ulang tahun lainnya. Saya dipuji Mama mertua dan saudara-saudara. Pulang dari acara, senyum tidak putus tersungging dibibir.
Setelah pengalaman tersebut, ketika menghadiri beberapa acara ulang tahun teman suami, dia meminta saya untuk membuat kue ulang tahun sebagai kado. Saya dengan senang hati membuat aneka kue ulang tahun variasi lainnya. Dan sejauh ini masih diterima dengan baik, dibilangnya sih sesuai dengan selera mereka. Malah ketika dua keponakan berulang tahun awal tahun ini, ibunya memesan kue ulang tahun pada saya. Awalnya aneh, kok keluarga memesan kue, yang artinya membayar. Tapi kata suami tidak apa-apa karena keinginan yang berulang tahun. Akhirnya saya buatkan, lumayan uangnya untuk membeli buku. Lain cerita kue, lain cerita masakan Indonesia yang dimakan oleh keluarga dan teman-teman suami.
Beberapa kali suami mengundang keluarga dan teman-temannya untuk makan dirumah. Saya bertanya mau masak apa *nantangin, padahal cuma bisa masakan Indonesia. Untungnya suami bilang kalau teman-teman dan keluarga tidak ada masalah jika disajikan makanan Indonesia. Saya dengan senang hati memasak makanan Indonesia, sekalian untuk memperkenalkan ke mereka betapa Indonesia kaya akan kulinernya, *sekalian promosi juga siapa tahu mereka mau pesan ke saya :D. Sejauh ini, komentarnya positif, makanan yang saya sajikan selalu ludes tidak bersisa karena mereka selalu nambah dan nambah lagi. Bahkan ada teman suami dengan terus terang meminta ijin nasi kuning dan sayur urap serta perkedel tahu untuk dibawa pulang. Saya malah senang karena tidak harus menyimpan makanan dikulkas.
Suatu waktu, suami bilang akan ada meeting untuk divisinya. Saya diminta tolong memasak untuk seluruh anggota meeting kalau tidak salah berjumlah 10 orang, menunya terserah saya. Akhirnya saya putuskan untuk membuat menu terdiri dari nasi kuning, perkedel kentang, urap sayur, ayam bumbu kuning dan dessert puding. Saya tempatkan semua perbox. Pulang kerja suami girang karena teman-temannya menyukai dan tandas tidak bersisa. Beberapa waktu lalu, saya menerima pesanan dari kantor suami tetapi berbeda divisi, untuk meeting, masakan Indonesia juga. Lumayan, buat tambahan beli cabe dipasar. Ketika ulang tahun suami sebenarnya saya ingin memasak sendiri untuk 25 undangan (keluarga dan teman), tetapi karena paginya harus menemani dia ujian thesis dan dia tidak mau saya terlalu capek didapur, akhirnya menu utama pesan yaitu nasi tumpeng lengkap dan es cendol. Saya tinggal menyiapkan camilan saja.
Mas Ewald suka sekali masakan Indonesia, bahkan sejak sebelum bertemu saya. Karenanya, saya tidak menemui kesulitan dalam hal menyiapkan makanan. Dia akan makan apapun yang saya masak, kecuali udang karena dia tidak suka. Ikan asinpun masih mau mencicipi sedikit, apalagi sambel trasi dan pete yang merupakan favoritnya. Sambel wajib ada disetiap makanan Indonesia, ataupun disetiap saya masak kalau tidak terasa pedas, dia akan protes. Syukurlah saya juga doyan pedas. Saya tidak makan daging dan unggas, suami masih makan meskipun porsinya tidak banyak. Sesekali saya masih memasak rendang, ayam panggang, baso daging, maupun soto ayam favoritnya. Untuk masalah rasa, ketika memasak makanan yang saya tidak makan, saya memakai feeling dan dengan bantuan suami. Saya memasak besar setiap sabtu atau minggu, untuk persediaan lima hari kedepan. Seringkali Mama mertua saya bagi juga. Beliau adalah ahli rasa yang saya percaya karena selalu jujur. Pernah suatu ketika saya memasak semur tempe, dirasakan, ternyata tidak suka rasanya. Saya disuruh bawa pulang lagi. Saya malah senang yang seperti itu, daripada dibuang. Masakan yang selama ini saya masakkan untuk Mama : rendang, gado-gado, soto ayam, rawon, kaasstengels (Beliau sampai tidak percaya saya membuat sendiri kaasstengels ala Indonesia karena katanya seperti rasa ditoko kue, enak :D), beberapa kue, nasi kuning urap sayur, perkedel tahu, dadar jagung, dan beberapa masakan lainnya. Beliau juga suka pedas dan doyan makan pete.
Tinggal dinegara yang serba mahal dan tidak semua bahan bisa didapat, butuh kreatifitas tersendiri. Saya suka makan telur asin, tapi kalau beli disini mahal. Akhirnya saya belajar cara membuat telur asin dari telur ayam. Meskipun harus menunggu selama 3 minggu hanya untuk sekedar makan telur asin, saya masih bersyukur, lumayan tombo kangen. Begitu juga kalau makan rawon sayuran, saya ingin pendampingnya sambel trasi kecambah pendek. Tetapi kecambah pendek saya belum pernah jumpai disini. Akhirnya saya membuat sendiri dari kacang hijau yang dilembabkan. Hanya untuk makan kecambah pendek harus menunggu satu malam, tidak mengapa daripada ngiler. Hal-hal tersebut yang membuat saya merasa masih baik-baik saja di Belanda, karena beberapa masakan Indonesia masih bisa saya buat sendiri. Seperti akhir pekan lalu tiba-tiba ingin makan nasi bakar ikan asin, akhirnya setelah berkutat didapur, saya dan suami bisa makan siang dengan nasi bakar. Nah, nasi bakar ini menjadi menu makan siang suami dikantor selama 2 hari. Walhasil teman-temannya penasaran suami ini sebenarnya makan apa, setelah dijelaskan, mereka jadi tertarik pesan untuk minggu depan. The power of nasi bakar.
Tidak semua masakan memang bisa saya buat sendiri. Misalkan pempek atau baso ikan saya masih belum bisa membuatnya. Akhirnya ya pesan. Intinya ketika mampu membuat masakan atau kue dengan hasil yang memuaskan, saya lalu mencari-cari lagi resep lainnya untuk dipraktekkan. Terharu adalah ketika bisa membuat sendiri martabak manis dan pizza. Memasak sendiri itu lebih menyenangkan, jika kita memang punya waktu. Selain bahannya kita tahu dengan pasti, lebih murah, dan tentu rasanya bisa kita atur sesuai selera.
Sumber Resep
Apakah masakan saya hasil dari mengolah resep sendiri? Sebagian kecil sekali iya, tapi sebagian besar tidak. Saya belum pada tahap untuk membuat resep sendiri, masih pemula, jadinya masih mencontek. Ada beberapa sumber ide memasak dan resep :
Ibu dan Bude
Saya selalu rindu masakan Ibu dan Bude. Saya ingin memasak dengan rasa yang selama ini saya ingat. Merekalah sumber inspirasi saya dalam memasak maupun bertanya tentang segala macam resep.
Sewaktu masih aktif IG, saya suka mencari ide masakan dari akun-akun berikut ini : @anitajoyo, @icha.savitry, @tiyarahmatiya, @bundnina_, @omah_ijo, @s_fauziah (Beberapa masakan Puji membuat saya ngiler, akhirnya latah ikutan bikin), dan @isnasutanto. Pada akun mereka tersebut langsung disertakan resepnya. Gampang tinggal mencontek saja atau dimodifikasi sedikit.
Youtube
Youtube tentu saja menjadi rujukan dalam mencari resep. Berikut adalah akun favorit saya : Masaktv.com, Kokiku tv, Bake like a pro, Rasamasa, Gemma Stafford, atau simpel tinggal ketikkan resep apa yang diinginkan, sebagian besar saya temukan di youtube.
Grup Whatsapp dan Google
Saya hanya mempunyai 3 grup whatsapp. Dua grup berisi teman-teman di Indonesia, satu grup berisi ibu-ibu yang tinggal di Eropa, grup ini namanya MbakYurop. Saya banyak mendapatkan ide makanan maupun resep dari grup MbakYurop.
Begitulah cerita panjang saya tentang perjalanan karier memasak selama hampir satu tahun. Kalau misalkan nanti saya sudah bekerja diluar rumah, entah masih bisa lagi atau tidak untuk tetap konsisten memasak. Mudah-mudahan tetap ada waktu, karena saya cinta memasak.
Selamat berakhir pekan, selamat memasak untuk keluarga dan teman-teman tercinta. Saya mau mencoba membuat onde-onde dan dawet nangka akhir pekan ini. Kalian berencana memasak apa? Ada akun atau blog favorit tidak untuk mencari resep masakan, boleh dong dibagi disini 🙂