Deny arrived for her first visit in the Netherlands!
27 April 2015 lalu adalah libur nasional Belanda, Koningsdag, karena Raja Belanda yang bernama Willem Alexander berulangtahun. Baru kali ini saya merasakan hari ulangtahun orang penting disebuah negara menjadi hari libur nasional. Dan tentu saja ini menjadi pengalaman pertama saya mengikuti kemeriahan Koningsdag. Dosen saya disekolah mengatakan bahwa kemeriahan tidak hanya berlangsung saat Koningsdag, tapi berlangsung pada malam sehari sebelumnya. Setelah mendapat informasi tersebut, saya antusias mengajak suami untuk melihat Koningsnacht di Den Haag Centrum. Dan sehari setelahnya kami menghabiskan waktu untuk merasakan kemeriahan Koningsdag di Rotterdam Centrum.
Koningsnacht (26 April 2015, malam hari)
Setelah makan malam, saya dan suami bergegas menuju Den Haag Centrum. Ada festival musik Life I Live gratis di 9 tempat berbeda. Jadi ada 9 panggung bervariasi besar kecilnya, yang bergantian diisi dengan 40 lebih musisi dan grup band. Kami mendatangi semua panggung, karena memang saya senang sekali melihat live music seperti ini. Terakhir saya melihat live music gratisan setahun lalu di Surabaya sewaktu Naif tampil untuk meramaikan hari jadi Surabaya. Sedangkan konser musik berbayar yang saya datangi terakhir kali adalah Maroon 5 sewaktu di Jakarta. Jadi ketika di Den Haag ada Festival Musik semacam ini, terus terang saya sangat antusias.
Semakin malam, semakin ramai, dan musik yang ditampilkan oleh para musisi ini juga semakin menarik. Keuntungan memiliki badan mungil, bisa merangsak maju mendekati panggung. Meskipun hampir semuanya saya tidak mengerti mereka ini siapa, tapi ada satu grup band yang saya senang sekali dengan musiknya, yaitu The Cool Quest. Penyanyinya interaktif, dan musiknya menghentak asyik. Saya seperti merasa salah kostum, menggerakkan badan diantara muda mudi yang tangannya menggenggam bir dan bergerak mengikuti alunan musik. Namun musik bersifat universal, jadi siapapun boleh menikmatinya, tanpa memandang kostum apa yang dikenakan. Dan pada saat Koningsnacht memang saatnya berpesta, jadi semua bergembira dengan caranya masing-masing.
Kami meninggalkan Den Haag Centrum saat jam menunjukkan angka 11. Kota semakin ramai, tapi punggung saya sudah sakit karena terlalu lama berdiri, dan kami juga perlahan merasa mengantuk. Faktor umur sangat mempengaruhi rupanya. Disaat yang lain baru berdatangan untuk berpesta, kami malah pulang untuk istirahat.
Koningsdag (27 April 2015)
Saya dan suami melihat kemeriahan Koningsdag di Rotterdam. Awalnya karena kami berencana mengunjungi Markthal, tapi akhirnya sekaligus melihat suka cita masyarakat Belanda dihari ulang tahun Raja di Rotterdam. Oranje tentu saja menjadi warna yang hampir dikenakan oleh semua orang-orang, termasuk saya yang antusias menyiapkan baju dengan warna oranye sejak beberapa hari sebelumnya. Sampai suami geleng-geleng kepala. Sedangkan dia sama sekali tidak punya baju warna oranye. Akhirnya hanya saya sendiri yang totalitas menggunakan warna oranye.
Kata Dosen saya, Koningsdag identik dengan Vrijmarkt. Jadi ada orang-orang berjualan barang bekas layak jual disetiap sudut kota. Dan pada hari itu semua toko katanya juga tutup, yang pada kenyataannya kemarin saya mendapati beberapa toko dan supermarket masih buka. Senang sekali melihat barang-barang bekas yang dijual. Karena memang niat awalnya ke Rotterdam hanya jalan-jalan melihat keramaian disana, maka saya tidak membeli satupun barang-barang yang dijual. Tidak hanya kemeriahan dari berburu barang bekas, tapi juga ada pertunjukan musik, serta ada antrian mengular dari toko es krim terkenal disana.
Libur nasional pertama yang saya rasakan sejak pindah ke Belanda. Kemeriahan pertama yang saya ikut bersuka ria didalamnya. Koningsdag tahun 2015.
-Den Haag, 1 Mei 2015-
Semua foto adalah dokumentasi pribadi
Seperti yang sudah pernah saya ceritakan sebelumnya kalau saya dan suami senang sekali berlari. Kami rutin lari bersama setiap minggu. Awalnya berangkat bersama dari rumah, tapi ditengah jalan saya yang pulang lebih dulu, tidak kuat mengikuti rutenya yang lumayan jauh. Kalau saya lari cukup sekali seminggu, sementara suami minimal 2 kali seminggu. Sejak pindah ke Den Haag, saya makin senang berlari karena udaranya bersih, segar (baca:tidak berpolusi), tidak harus berebutan jalan dengan pengendara mobil, angkot, ataupun sepeda motor karena ada tracknya sendiri.
Sebelumnya, kami pernah mengikuti Bromo Marathon 2014, rangkaian bulan madu ceritanya. Suami 21km, saya cukup 10km saja. Pada tanggal 8 Maret 2015, kami kembali mengikuti event lari, kali ini di Den Haag dan bernama CPC Loop Den Haag. Event ini diselenggarakan tiap tahun. Suami kembali mengikuti untuk 21km dan saya tetap tidak naik kelas di 10km. Saya tertarik mengikuti karena ketika saya masih di Surabaya, Suami bercerita kalau CPC Loop ini menyenangkan karena sepanjang jalan kita berlari akan ada orang-orang yang berdiri dan menyemangati kita sampai di garis finish. Bayangan saya waktu itu, mungkin seperti di Bromo Marathon.
Hari yang dinanti tiba, kami berangkat ke tempat acara menggunakan kereta. Ternyata didalam kereta menuju Den Haag Centraal, isinya penuh dengan peserta lari. Saya mulai grogi karena mereka tinggi-tinggi sekali, sementara badan saya irit dengan ukuran kaki yang tidak panjang. Sesampainya ditempat, grogi semakin menjadi. Sepanjang mata memandang nampaknya hanya saya saja yang berbadan mungil. Tapi saya akhirnya menjadi cuek, toh ikut lari ini untuk mencari pengalaman baru, bukan untuk bertanding secara murni mencari hadiah atau medali. Saya dan suami berbeda waktu keberangkatan. Jadi yang 10km berangkat terlebih dahulu jam 2 siang, lalu yang 21km berangkat jam 4 sore.
Ternyata Belanda ini bisa telat juga kalau mengadakan acara. Terbukti waktu keberangkatan yang 10km terlambat 10 menit dari jadwal yang sudah tertera. Setelah tanda start dibunyikan, saya berlari perlahan tapi pasti. Mencoba mencari ritme berlari yang sesuai. Seperti yang sudah diduga, tentu saja saya sering dibalap peserta lari lainnya. Saya sampai merasa jangan-jangan nanti sampai finish urutan paling akhir. Tapi saya tetap cuek, kembali berlari, dan menjaga waktu tetap konstan.
Pada hari itu cuaca sedang cerah. Matahari bersinar terik dengan 13 derajat celcius. Padahal hari-hari sebelumnya Den Haag selalu hujan diselimuti awan pekat yang tebal. Sepanjang jalan antusiasme masyarakat melihat kami yang berlari sangat tinggi. Mereka memberi semangat dengan meneriakkan :
“Kom op, Deny!”
“Goed zo, Deny!”
“Deny, Indonesie!”
bahkan ada beberapa rumah yang memutarkan musik penyemangat, contohnya We Are The Champions. Ada juga yang melambaikan bendera-bendera dan memasang kata-kata penyemangat. Meriah sekali sepanjang jalan dengan antusiasme mereka untuk memberi semangat. Saya yang pada satu titik tertentu merasa sangat capek karena panas yang terik, niat ingin berhenti sesaat, tetapi tidak sampai berhenti karena malu dilihat banyak orang yang sudah meneriakkan nama saya. Akhirnya saya terus berlari tanpa berhenti sampai terlihat garis yang dinantikan, yaitu garis finish. Ketika sampai disana, saya menjadi terharu karena ini event lari pertama yang saya ikuti diluar Indonesia.
Waktu untuk Suami 21km adalah 1:56:41 sedangkan saya 10km 1:21:35. Terlihat bagaimana saya berlari sangat santai (baca : lelet). Tapi bersyukur juga, ternyata saya bukan orang terakhir yang sampai garis finish. Setelah saya ternyata masih ada banyak, mungkin ratusan, yang masih dibelakang.
Saya mempunyai niat dan cita-cita besar bisa naik kelas ke 21km untuk event lari selanjutnya supaya bisa berlari bersama suami, ya meskipun saya tahu rasanya susah menyamai waktu berlarinya.
Mari tetap berolahraga sesuai dengan kondisi masing-masing sebagai salah satu cara untuk mensyukuri dan menjaga pemberian Tuhan yang sangat berharga, yaitu Kesehatan.
-Den Haag, 22 April 2015-
<
p style=”text-align: justify;”>Sebenarnya saya sudah dilarang dokter untuk melakukan olahraga yang berat karena sejak lebih 10 tahun lalu divonis menderita Skoliosis yang parah dengan derajat kemiringan lebih dari 50. Olahraga yang diijinkan hanya berenang untuk menjaga kemiringan tidak semakin bertambah parah. Tapi berlari sudah bagian dari saya sejak kecil, jadi saya ingin tetap melakukannya, meskipun sekarang sudah tidak bisa secepat dulu waktunya. Berenang juga masih rutin saya lakukan.
Ini tulisan yang tertunda untuk diposting. Menjelang hari ulang tahun akhir Maret 2015, Suami terus-terusan bertanya ulang tahun maunya apa, dirayakan dimana, dan mau hadiah apa. Saya sebenarnya ingin ini itu (ngelunjak), tapi waktu itu suasana masih berduka setelah Papa meninggal, akhirnya saya memutuskan seminggu sebelum ulang tahun ingin pergi jalan-jalan yang dekat saja, sekalian untuk menghibur suami juga, dan tidak enak rasanya kalau ingin makan-makan dengan keluarga besar karena masih dalam suasana berduka.
Ketika masih di Surabaya, saya pernah melihat beberapa kali postingan di Instagram tentang desa seperti di Venice-Italia (Saya melihat dimajalah dan TV) yang banyak jembatan dan perahunya, yang ada di Belanda. Saya bertanya ke Suami apakah tempatnya jauh, karena ingin pergi kesana. Kata suami tidak terlalu jauh, 2 jam naik mobil dari Den Haag. Akhirnya diputuskan Jumat malam 26 Maret 2015 berangkat dengan menyewa mobil, karena mobil Suami rusak dan berencana dijual juga 😀 *sekalian iklan. Suami sudah reservasi Bed&Breakfast. Setelah menempuh 2 jam perjalanan, ditambah berhenti sebentar untuk istirahat, akhirnya kami sampai ke Steenwijk, berputar mencari alamat rumahnya ternyata belum ketemu juga. Singkat cerita kami memutuskan untuk menginap dihotel saja karena Suami juga mendapatkan email dari pemilik rumah kalau kami terlalu malam sampainya sehingga tidak bisa lagi untuk check in.
Akhirnya kami menginap di Hotel De Harmonie. Harga semalamnya 97 euro sudah termasuk sarapan. Kamarnya bersih, rapi, dan pelayanan dihotel lumayan bagus. Keesokan harinya kami bangun pagi karena melihat matahari lumayan bersinar terang. Cepat-cepat kami berjalan kaki ke desanya, hanya sekitar 10 menit dari hotel. Jadi Giethoorn ini terletak di Steenwijk, Overijssel. Konon katanya kalau saya membaca dari beberapa artikel, Giethoorn yang dikenal dengan Venice-nya Belanda ini mempunyai 180 jembatan dan rumah-rumah yang unik. Tetapi hati-hati kalau terlalu asyik foto-foto dan tidak memperhatikan tanda, bisa kesasar ke halaman rumah orang karena beberapa rumah ada tanda didepan pintunya tidak ingin dikunjungi.
Karena akhir Maret cuaca masih tidak menentu, maka kami juga tidak menaruh harapan tinggi cuaca akan terang sepanjang hari. Diatas jam 10 pagi, mendung mulai pekat dan tidak berapa lama hujan turun dengan suhu 5 derajat celcius, dingin sekali. Jadi kami berjalan kaki sepanjang desa dengan menggunakan payung. Kami juga tidak mencoba jasa perahu yang harganya 15 euro per 55 menit karena sudah bisa menyusuri sepanjang desa dengan berjalan kaki. Kalau cuaca cerah dan langitnya bagus, mungkin kami akan menyewa perahu agar bisa menyusuri danaunya juga. Kesan yang saya dapat setelah menyusuri Giethoorn : menyenangkan karena sepi (mungkin karena belum musim liburan sehingga tidak banyak turis. Saya membayangkan kalau musim panas pasti ramai sekali desa ini oleh turis), dan rumah-rumahnya juga unik dengan warna warni dan bentuknya yang bagus. Suami sempat berujar kalau rumah-rumah yang ada di Giethoorn mengingatkan pada cerita dongeng-dongeng. Dan satu lagi, sewaktu berjalan kaki sepanjang Giethoorn, saya merasa suasananya romantis, cocok untuk tempat bulan madu, atau pacaran dengan suami. Saya sempat bilang ke Suami pada saat berjalan “Saya kok merasa makin jatuh cinta ya sama kamu disini,” dan suamipun hidungnya kembang kempis :p.
Selamat berakhir pekan bersama keluarga, pasangan, dan teman-teman tersayang
-Den Haag, 17 April 2015-
Semua foto adalah dokumentasi pribadi
Toleransi menurut pandangan saya adalah saling menghormati terhadap perbedaan yang ada, tahu batasan, tidak memaksakan kehendak pribadi, serta bisa menempatkan diri terhadap situasi yang tidak ideal.
Jumat minggu lalu ada acara perayaan ulang tahun keponakan yang berusia 9 tahun. Dia gadis kecil yang manis, selalu tersenyum, dan beberapa minggu lalu memenangkan turnamen gymnastic pada urutan kedua di Amsterdam. Saya ingin memberikan sesuatu yang spesial. Berbekal kenekatan dan ilmu yang pas-pasan dalam dunia per-oven-an, akhirnya saya dan suami memutuskan untuk memberikan kue ulang tahun buatan saya sendiri sebagai hadiah. Ini kali pertama seumur hidup saya membuat kue ulang tahun dan mendekorasinya sendiri. Walhasil jadinya ya masih acakadut. Tetapi begitu saya serahkan kepada Chimene, nama keponakan, dia sangat senang. Orangtua Chimene yang adalah ipar, serta Mama mertua terkagum dengan kerajinan tangan saya, mengatakan kreasi yang saya buat bagus adanya. Tentu saja saya senang bukan kepalang, berharap rasanya juga cocok untuk mereka.
Tamu-tamu berdatangan, acara demi acarapun sudah terlewati, termasuk pemotongan kue. Kata mereka yang makan, kue buatan saya enak. Ah, kembali rasanya senang. Kemudian seorang lelaki, teman dari ipar saya mengedarkan makanan. Dari jauh saya melihat kalau itu adalah daging, roti, dan keju. Saya tentu saja tidak bisa mengambil bagian dagingnya. Pertama karena saya tidak makan segala jenis daging, yang kedua tentu saja karena saya tidak tahu itu jenis daging apa. Tetapi ketika lelaki itu sampai didepan saya, dia mengatakan kalau ada yang ikan “This is fish and i think it’s safe for you” entah mengapa ketika lelaki itu mengatakan hal tersebut, saya jadi terharu. Dia tidak tahu kalau saya tidak makan daging, karena kami belum pernah bertemu sebelumnya, yang dia tahu adalah saya tidak diperbolehkan memakan daging babi sebagai seorang muslim. Dia melihat saya berbeda dari yang lain.
Mengingat kebelakang, keluarga suami juga pada awalnya merasa tidak nyaman dengan kehadiran saya yang tentu saja berbeda dengan mereka. Wanita muslim berjilbab yang akan menjadi anggota keluarga besar. Namun saya tahu bahwa ini adalah bagian dari proses untuk bertoleransi. Saya sebagai pendatang baru dan berbeda dari yang lain harus bisa menempatkan diri. Apa yang tidak bisa saya makan atau lakukan, akan saya beritahukan diawal. Misalkan : saya tidak bisa makan ditempat yang dimenunya ada makanan yang mengandung Babi, atau saya tidak bisa melakukan cium pipi kepada lelaki yang bukan Muhrim, meskipun cium pipi tiga kali adalah ciri khas di Belanda. Pada akhirnya mereka bisa menerima saya secara perlahan dengan mulai melakukan penyesuaian disana sini. Contohnya : kalau ada acara makan di Restoran, mereka akan mencari yang tidak ada menu yang mengandung babi. Karenanya, pada saat Mama mertua ulang tahun, kami makan malam di Restoran Indonesia yang halal. Bagaimana bentuk toleransi saya kepada mereka? Misalkan : jikapun ternyata mereka menghidangkan menu yang mengandung babi kepada tamu jika ada acara disalah satu rumah anggota keluarga, saya tidak akan makan, dan tentu saja saya tidak akan protes. Itu bentuk penghormatan saya dan berusaha untuk bisa menempatkan diri pada posisi yang tidak ideal.
Suatu ketika, Mama mertua pernah bertanya tentang jam berapa saya bangun tidur dipagi hari. Saya menjawab sekitar jam 5 sampai setengah enam. Mertua kaget, kenapa pagi sekali. Saya menjelaskan bahwa selain untuk menyiapkan bekal makan siang suami, saya juga harus melaksanakan sholat subuh. Setelahnya kami berbincang tentang berapa kali sembahyang yang saya laksanakan dalam sehari. Dilain waktu, ketika Papa mertua meninggal dan ada upacara kremasi, saya juga mengikuti setiap prosesnya sampai selesai. Saya berdoa sesuai agama saya, dan mereka tidak menolak kehadiran saya pada acara tersebut. Bahkan ada salah satu anggota keluarga yang menanyakan apakah diperbolehkan dalam Islam untuk menghadiri upacara tersebut. Saya menjawab, buat saya tidak masalah, karena tidak keluar dari Aqidah.
Memang semuanya butuh proses, tidak bisa instan. Saya yang sebagai orang baru dinegara ini harus belajar banyak untuk bisa menempatkan diri dan bersikap. Apa yang tidak perbolehkan oleh agama, akan saya hindari dengan cara yang santun. Hidup sebagai pendatang memang tidak mudah, tetapi juga jangan dibuat sulit. Hidup memang tidak selalu semanis kue ulang tahun. Tapi jika perbedaan dapat bersanding dengan manis seperti hiasan pada kue ulang tahun, maka semua akan terlihat indah, itupun tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Bertoleransi terhadap perbedaan bukan sesuatu yang susah, jika kita tahu batasannya. Intinya, jangan rewel kalau pada kenyataannya kita punya banyak keterbatasan. Terbatas bukan berarti kita tidak bisa bergerak dengan leluasa. Seringkali kita tidak bisa menyatukan perbedaan dan membuatnya menjadi sama, tetapi berdamai dengan perbedaan adalah jalan yang bisa kita lakukan.
-Den Haag, 12 April 2015-
Semua foto adalah dokumentasi pribadi
Lately I faced a dilemma because my trustworthy Chrysler PT Cruiser, the car I had been driving since 2006 is starting to show its age and I was faced with rather high costs for maintenance of the car. On the other hand in my current situation I only use a car very irregularly and mostly for short distances, anyway hardly enough to justify a big investment in a new car.
So I started to look for alternatives and became interested in Greenwheels. Greenwheels is a Dutch company that already is in business since 1995. Now and then I saw these cars drive with their remarkable color settings of red and green. I always suspected it had to do something with the Dutch railways (NS) because it carried their logo on the side of the car, but this was not really the case, although Greenwheels offer services combined with NS. From their website I understand they operate in Netherlands and Germany only, a subbranch in the United Kingdom was terminated recently.
The way Greenwheels operates is not similar to a car renting company. Greenwheels does not have the same infrastructure as a car renting company, where you pick up your car from a central spot, usually near a station or industrial site (at least that is the case here in the Netherlands). Greenwheels have special marked parking places in a great number of decentralised spots all over Netherlands. In my case that means that the closest location where I can pick up a car is a 800 meter distance (ca, 15-20 minutes walk from home). They have 3 pricing models for private renters and three pricing models (monthly subscriptions) for businesses, based on a light, medium and heavy use. I choose the regular business package, with a price of € 25 euros per month. Besides the fixed monthly costs I pay in my case (costs differ with the package you choose):
They offer on their website an Excel sheet through which you can calculate your monthly costs and choose the appropriate package.
Greenwheels developed a leaflet that instructs you on the most important things considering their customs when renting their cars.
Yesterday I made my first reservation and had a car (Peugeot 107) available for the afternoon. So here is my first hands on experience with this type of car renting.
To gain entrance to the car you need a card from the company or an OV chipcard, the most common card in Netherlands to use for public transport. That went well, the car opened without a hitch and the next step is to open the dashboard compartment and take out the board computer and a small book that contains notes about the damages to the car.
Before you drive off you have to inspect the car and see if there are any new damages. I did find a new small damage and had to report to Greenwheels. Because they only seemed to have one telephone number for all their services it took a long time for me to connect to someone to report the damage. So I already almost had the car rented for half an hour, when I was ready to take off, that felt like a bit disappointing, the contact person from Greenwheels was nice to offer a half hour reduction on my renting period. From the board computer you take out the keys of the car and the board computer also contains an ATM style card to tank gasoline (Greenwheels expect you to go tanking when the gasoline is around 1/4 from a full tank).
The car itself was not really super clean, a bit dusty and the windows could need a wash. Because we had a busy schedule at the end of the renting period you feel a bit the same pressure when you are constantly watching the clock in order to catch a train or bus, in this case to return the car in time.
My costs for renting a car in the afternoon were ((€ 0,12 +€ 0,0998) * 50 km) + (€ 3,10 * 4,5 hrs) = ca. € 25, (excluded the monthly subscription fee that you should take into account and divide by the number of trips you make in a month). Not really that cheap was my first impression.
So all in all the first experience felt a bit cumbersome because there are many things to take in account when you hire the car (see the leaflet). I still feel a bit unsure about some aspects (for example what happens if you miss a damage, what happens then?). There is -in my case- still a certain distance to pick up the car (almost 40 minutes to walk to the car and to return home walking). The car itself did not feel very clean.
Maybe when you get more experience with this type of renting you become more acquainted with it, but for now I am not yet convinced this will be really something for me.
Minggu 22 Maret 2015, pagi hari suasananya sendu. Mendung bergelayut pekat disekitar tempat saya tinggal, Den Haag. Sempat bimbang juga, nanti kalau hujan bagaimana dengan acara yang sudah direncanakan sebulan sebelumnya. Ya, pada hari itu akan ada temu muka dengan para Blogger yang tinggal di Belanda. Buat saya, tentu saja ini pertama kalinya akan bertemu dengan mereka. Mbak Yoyen yang memprakarsai acara ini dengan mengirimkan email satu persatu kepada kami tentang ide jumpa Bloggers ini serta tentang kesediaan tanggal yang memungkinkan kami untuk bertemu. Saya tentu saja sangat senang karena pada saat itu baru sekitar sebulan pindah ke Den Haag. Ingin mendengar pengalaman dari mereka yang sudah menetap lama disini, sekaligus berbagi cerita tentang apa saja yang saya rasakan selama sebulan di Belanda. Dari beberapa suara yang masuk, yang menyatakan bisa ditanggal terbanyak dan terdekat adalah 5 orang, termasuk saya. Akhirnya disepakati 22 Maret 2015 adalah hari pertemuan itu, yang dikemudian hari juga ditentukan kami akan berkumpul di Utrecht Centraal Station jam 12 siang didepan Ticket & Service.
Ada yang mengesankan dari Mbak Yo, yang (lagi-lagi) mengawali untuk mengirim email kepada saya menanyakan preferensi tempat makan,berkaitan dengan halal. Awalnya saya sempat mbatin, ingin meminta tempat makan yang halal, sempat maju mundur akan mengirimkan email, tapi saya takut malah merepotkan dengan permintaan itu. Akhirnya justru Mbak Yo yang terlebih dulu menanyakan. Lega juga karena tidak ada ganjalan lagi. Setelah beberapa kali berbalas email dengan menyampaikan kriteria halal menurut saya, pada akhirnya sudah jelas tipe tempat makan yang akan dituju.
Hari H datang juga. Sejak pagi saya sudah ribut sendiri akan memakai pakaian seperti apa, bongkar lemari mengeluarkan beberapa pilihan baju, meminta pendapat Suami mana yang pantas. Saya memang seperti itu, selalu gelisah jika akan bertemu orang-orang baru. Bingung nanti apa yang akan dibicarakan, takut kikuk tidak nyambung dengan obrolan, dan beberapa ketakutan yang lain. Maklum saja, saya tipe orang yang agak susah berbaur dengan segala sesuatu yang baru. Tapi Suami menenangkan dengan kata-kata “tenang saja, saya percaya teman-teman blogger kamu bukan tipe yang menilai dari kulit luarnya”. Setelahnya, saya menjadi santai.
Sesampainya di Utrecht Centraal, saya langsung menuju ke tempat pertemuan. Senang sekali karena sejak awal obrolan mengalir. Yayang, Crystal, Mbak Yoyen ramah sekali. Saya yang awalnya takut tidak bisa masuk kedalam obrolan, akhirnya ketakutan yang tidak beralasan itu lenyap. Tidak berapa lama kemudian formasi menjadi lengkap dengan datangnya Indah. Rasanya bagaimana setelah bertemu mereka? Girang bukan main. Karena selama ini hanya membaca tulisan-tulisan saja, sekarang bisa bertemu dan bercakap langsung dengan penulisnya. Yayang yang sama dengan saya, datang ke Belanda karena menikah, tinggal di Rotterdam. Mbak Yo tinggal di Arnhem, selama ini saya kagumi karena tulisan-tulisannya yang informatif, kritis, tajam ternyata aslinya ramah, tidak pelit ilmu, nuturi dan banyak berbagi pengalaman serta cerita-cerita yang bermanfaat, serta tips untuk menulis diblog dengan baik. Indah, tinggal di Rotterdam, selama ini selalu saya kagumi dengan foto-foto bawah lautnya yang super keren, sampai saya kadang bertanya-tanya dalam hati, bagaimana ya caranya mengambil gambar hewan-hewan laut yang kecil sampai dapat gambar yang menakjubkan. Indah juga berbagi banyak sekali cerita-cerita selama dia tinggal di Belanda. Sedangkan Crystal, saya baru mengenalnya hari itu juga. Terus terang belum sempat baca-baca blognya sebelum bertemu. Crystal mendapatkan beasiswa LPDP, tinggal di Leiden, sedang menempuh Master program di Leiden University jurusan Sejarah, sama dengan suami saya.
Waktu 6 jam bergulir dengan cepat. Obrolan seru mewarnai pertemuan kami. Makan siang di Sumo Sushi belum cukup menampung topik pembicaraan yang kian menghangat. Akhirnya pembicaraan berlanjut dengan duduk santai di Starbucks (tanpa Indah sebab dia harus pulang terlebih dahulu karena sedang tidak enak badan). Saya tentu saja berceloteh tentang cerita adaptasi selama satu bulan, pengalaman berbelanja ke pasar, kenekatan saya berbicara bahasa Belanda ketika berbelanja, dan culture schock dengan beberapa wanita Indonesia yang tinggal di Belanda. Yayang pada akhirnya nyaman bercerita pada kami tentang beberapa pengalaman pada saat proses melahirkan, yang ternyata ada tragedi dibaliknya. Crystal berbagi cerita tentang kehidupan mahasiswa dan pengalaman jalan-jalan ke beberapa negara tetangga. Ternyata Crystal dan saya datang ke Belanda berdekatan jaraknya. Dia Januari awal, saya Januari akhir. Jadi kami ini sama-sama pendatang baru. Mbak Yo dan Indah dengan sabar mendengarkan cerita kami diselingi dengan celutukan-celutukan lucu. Saya merasa siang itu menjadi gayeng dan menyenangkan dengan tawa, haru, serius yang mewarnai segala macam kisah yang terlontarkan.
Terima kasih buat semuanya. Pengalaman baru, bertemu orang-orang baru, saling berbagi cerita dan pengalaman yang seru. Semoga suatu saat ada kesempatan lagi bertemu dengan mereka dan beberapa Blogger lainnya yang berhalangan hadir pada saat itu.
Ternyata bertemu dengan orang-orang baru tidak selalu diawali dengan suasana kaku. Jika kita nyaman dan menempatkan diri berdasarkan porsinya, maka semua akan lancar dan terasa menyenangkan. Semoga April ini akan banyak pengalaman baru dan mengesankan yang akan dihadapi tanpa halangan.
-Den Haag, 1 April 2015-
Dokumentasi dipinjam dari kamera Indah
Those special memories of you will always bring a smile. If only i could have you back for just a little while then we could sit and talk again, just like we used to do. You always meant so very much and always will do too. The fact that you are no longer here will always cause me pain, but i hold you tightly within my heart and there you will remain. You are forever in my heart.
I can’t thank you enough for all that you’ve done for the love of my life, is the one who’s your son. As a father you loved him and taught him to find the best in himself. Thank you for raising a wonderful son.
Today is the day we will let you go. Thank you for letting me be part of your family. Thank you for being such an inspiration.
Until we meet again, Papa
April 18, 1935 – March 12, 2015
-Den Haag, March 18 2015-
Tulisan ini dalam rangka dibuang sayang. Cerita tahun lalu saat saya dan suami mengikuti Bromo Marathon tanggal 7 September 2014, penutupan rangkaian bulan madu kami. Iya, bulan madu salah satunya ikut lomba lari :D. Dan tulisan ini juga sebagai penyemangat karena dalam beberapa hari lagi saya dan suami akan ikut lomba lari di Den Haag. Buat saya, lomba lari kali ini sangat spesial, karena akan menjadi lomba lari pertama di Belanda.
Saya memang suka lari sejak kecil. Olahraga yang saya tekuni sejak kecil adalah lari dan karate. Berenang baru 10 tahun kebelakang sejak didiagnosa dokter bahwa saya ada kelainan tulang punggung, yaitu Skoliosis yang sudah sangat parah, dan operasi adalah jalan keluar penyembuhannya. Tetapi saya tidak mau, akhirnya dokter menyarankan saya untuk berenang sebagai terapi. Akhirnya 3 olahraga yang saya tekuni yaitu lari, karate, dan berenang. Meskipun suka berlari, tetapi saya sangat jarang ikut lomba-lomba lari. Bromo Marathon ini sepertinya race pertama yang saya ikuti lagi setelah entah berapa tahun terakhir tidak pernah aktif berlomba lari. Rutinnya, saya selalu lari 2 kali seminggu. Tapi jika sedang malas ya sekali seminggu. Paling tidak, seminggu sekali saya pasti lari. Meskipun suhu sering dibawah 5 derajat dalam sebulan ini, berangin, hujan tiba-tiba, tetapi saya memaksakan diri untuk tetap berlari. Sekalinya malas, maka malas seterusnya. Kalaupun saya malas, pasti digeret sama suami. Dia ini raja tega kalau masalah olahraga. Tidak ada kata malas untuk berolahraga dikamusnya.
Kembali ke Bromo Marathon, awalnya saya yang mendaftar. Waktu itu posisinya kami belum menikah, bahkan tanggalnyapun belum ditetapkan. Setelah tanggal pernikahan ditetapkan dan ijin cuti dari kantor suami keluar, dia akhirnya ikut mendaftar. Saya yang 10km, dia yang half Marathon 21km. Kalau suami memang rajin ikut race yang 21km sejak lama. Medalinya saja sampai bertumpuk dirumah. Sehari sebelum hari H, kami berangkat dari Surabaya rame-rame tujuh orang bersama kakak kelas saya dikampus. Menginap dirumah penduduk yang tempatnya sangat bersih dan nyaman dengan makanan berlimpah
Pagi harinya saat hari H, kami menggunakan mobil bak terbuka menuju ke tempat pemberangkatan (start). Full marathon (42km) berangkat terlebih dahulu, disusul yang half marathon (21km), kemudian yang terakhir adalah 10km. Rute yang ditempuh awalnya sama untuk ketiga tetapi dititik tertentu menjadi terpisah. Pada saat Bromo Marathon ini kondisi saya sedang sangat tidak fit. Sinusitis saya kambuh sejak beberapa hari sebelumnya. Ketika awal-awal berlari, udara dingin, semakin membuat hidung saya sakit, napas tersengal. Ditambah lagi medan lari yang aduhai sangaaattt melelahkan. Tanjakan lebih dari 50 derajat kemiringannya, berdebu, semakin membuat saya tersiksa. Ditengan jalan, hampir saja saya menyerah karena hidung sudah mengeluarkan darah. Tapi pada saat itu sudah lebih dari 5km, sayang juga kalau tidak diteruskan. Meskipun lari saya tidak kencang, tapi saya selalu usahakan ritmenya selalu sama, tidak pernah berhenti. Sekalinya berhenti, biasanya saya malas untuk berlari kembali. Mengambil beberapa foto juga saya lakukan sambil berlari. Yang menjadi menyenangkan adalah pemandangan yang dilalui sepanjang jalan sangat menghibur, serta sorak semangat yang diberikan oleh penduduk setempat dan sapaan hangat sesama peserta. Senangnya lagi, saya tanpa sengaja bisa bertemu dengan beberapa teman dari Jakarta yang saya kenal dari organisasi maupun beberapa kegiatan sosial, bahkan teman sesama penyuka olahraga lari.
Akhirnya dengan segenap perjuangan sampailah saya di finish dengan waktu 1:58:41 dan suami dengan waktu 2:49:32. Ternyata suami mengalami sedikit kecelakaan. Nyungsep saat jalan menurun karena kemiringan yang terlalu tajam, mungkin juga karena dia sudah kelelahan. Medan yang 21km dari ceritanya lebih mengerikan lagi susahnya. Saya sampai finish dengan keadaan baik-baik saja sudah sangat bersyukur dengan catatan waktu yang sudah disebutkan. Bromo Marathon memberikan pengalaman yang sangat berharga bagi kami. Banyak kejadian lucu yang bisa membuat kami tertawa terbahak bahak kalau sedang mengingatnya
Keterangan lebih lengkap tentang Bromo Marathon, langsung bisa klik di website nya. Pendaftaran untuk tahun 2015 akan segera dibuka.
Nah, beberapa hari lagi kami akan mengikuti NN CPC Loop 2015 Den Haag. Saya konsisten ikut yang 10km, suami yang 21km. Antusias sekali karena race ini akan diikuti oleh ribuan peserta juga. Namun juga ada rasa grogi, kuat apa tidak sampai finish. Buat saya, dicoba saja dulu sampai batas maksimal kemampuan, yang penting sudah berusaha :). Kalau ada kesempatan, dan kesehatan memungkinkan, akhir tahun 2015 saya ingin ikut yang 21km. Membayangkan bisa berlari bersama suami pasti sangat menyenangkan.
Yuk, Olahraga biar badan seger 🙂
-Den Haag, 4 Maret 2015-
Foto-foto yang ada disini adalah dokumentasi pribadi
Dan inilah yang akan saya ikuti beberapa hari lagi. 10km di NN CPC Loop Den Haag. Mudah-mudahan sampai finish dengan aman sentausa sehat jiwa raga 🙂
Minggu pertama ketika baru sampai di Den Haag, saya sudah bertanya ke Suami dimana pasarnya. Saya juga tidak ada bayangan pasar di Belanda (atau bahkan di Eropa) itu bentuknya seperti apa. Imajinasi saya pasarnya pasti dalam ruangan tertutup dan bersih. Suami sempat menyebutkan satu tempat, tapi saya tidak ingat persis namanya. Akhirnya pada minggu lalu saya membaca tulisan Yayang tentang Pasar Kaget di Rotterdam. Wah, saya semakin bersemangat ingin menjelajah pasar.
Akhirnya kesempatan itu datang ketika Ibu Wiwiyk, kenalan yang bekerja di Toko Indonesia didekat rumah mengirim pesan, mengajak saya ke pasar di Den Haag, namanya Haagse Markt. Dengan semangat 45 saya bilang ke Suami, yang saya tau pasti dia setuju karena dia senang sekali kalau saya keluyuran sendiri :D. Akhirnya sabtu 21 Februari 2015 untuk pertama kalinya saya pergi ke pasar di Den Haag. Saya berangkat sendiri dari rumah naik trem dan janjian dengan Bu Wiwiyk di Haarenstraat kemudian kami pergi bareng ke pasar. Sesampainya di pasar, mungkin karena saya terlalu antusias karena pada akhirnya menginjakkan kaki di pasar, sepanjang jalan saya senyum lebar ke setiap orang hahaha norak.
Jadi, menurut pengamatan saya, Haagse Markt ini adalah pasar terbuka, luar ruangan, yang bersih (ya karena saya membandingkannya dengan pasar di Situbondo tentunya). Konon katanya menurut pak dhe Google, Haagse Markt adalah salah satu pasar luar ruangan yang terbesar di eropa dengan lebih dari 500 kios yang menjual segala macam jenis kebutuhan, dari sayur mayur, pakaian, buah, ikan, daging, keju, roti, bunga, suvenir, camilan, oleh-oleh, penjual jilbab, baju muslim, sampai kerajinan tangan. Pokoknya komplit. Saat ini terlihat beberapa ruas pasar yang sedang direnovasi. Haagse Markt ini terletak di Herman Coesterstraat di distrik Schilderswijk, bukanya hari Senin, Rabu, Jumat, dan Sabtu dari Jam 9 pagi sampai jam 5 sore. Untuk lebih lengkapnya bisa langung cek di website Haagse Markt
Tentu saja sisi pasar yang paling antusias saya datangi adalah bagian makanan, sayur mayur, buah, dan ikan. Saya terkaget-kaget beberapa sayuran yang saya beli harganya 1 euro-satu bak (bak disini maksudnya wadah satu tempat yang tidak terlalu kecil tapi tidak terlalu besar juga. Bukan bak besar untuk mencuci baju :D). Mungkin kalau dirupiahkan masih terhitung mahal ya kalau perbandingannya dengan Indonesia, tapi disini sudah sangat murah untuk ukuran Belanda dengan perbandingan belanja di supermarket. Dan ada beberapa sayuran yang jauuh lebih murah harganya dibandingkan di Indonesia, contohnya Paprika-1 euro isinya 506 paprika merah, dan alpukat mentega ukuran sedang 1 bak isi 3 buah juga harganya 1 euro. Tempat jual ikannya juga bersih dan ikannya segar-segar. Buah-buahnya juga saya beli yang 1 euro-an. Mangga (2 buah ukuran besar), alpokat, pisang (isi 7 pisang), kiwi (isi 10 buah), lemon (8 buah)-semuanya 1 euro. Raddish, timun (4 timun besar), paprika, tomat (6 tomat ukuran besar), cabe, jamur Champignon, kecambah besar, ikan asin, brokoli (isi 2 brokoli besaarr sekali), wortel (isinya segambreng banyaknya), pare semuanya satu bak 1 euro. Dan masih banyak lagi sayuran dan buah yang hitungannya 1 euro. Keadaan buah dan sayurnya juga masih segar. Ahhh, senang sekali. Kalau tidak ingat bahwa saya harus membawa hasil belanja sendiri yang sangat berat, ingin rasanya saya beli semua sayuran dan buah yang segar-segar itu. Untuk ikan, karena saya membeli salmon, hitungannya tidak berbeda jauh dengan supermarket, walaupun tetap lebih murah. Tetapi untuk ikan beku, jika beruntung bisa membeli seharga 5 euro, bahkan salmon beku juga saya beli seharga 5 euro. Pada dasarnya saya tidak bisa dan sangat tidak jago menawar, karenanya saya senang di Haagse Markt ini sistemnya tidak usah menawar. Ya apanya yang mau ditawar kalau kebanyakan yang dijual hitungannya sudah satu euro.
Ketika pulang kerumah, saya pamerkan hasil “buruan” ke Suami, dia terkaget-kaget senang. Kaget karena dia memang tidak pernah masuk pasar sebelumnya, sehingga tidak menyangka kalau barang-barang yang saya beli hampir semua seharga 1 euro. Tentu saja dia senang karena otomatis jadi hemat belanja 😀 (maklum, karena saya belum bekerja, yang bisa dilakukan untuk membantu suami adalah bersikap hemat, bijak terhadap pengeluaran :))
Dan, rabu 25 Februari 2015 kemarin, saya berangkat lagi ke pasar (kecanduan ke pasar haha), karena beberapa persediaan sayur juga udah habis. Kali ini saya berangkat sendiri saja, tidak ditemani lagi oleh Bu Wiwiyk karena beliaunya sedang bekerja. Naik trem sendiri, tidak susah. Dari tempat saya, naik tram 15 (dari pemberangkatan Nootdorp) turun di halte Rijswijkseplein/Station HS, setelah itu menyeberang jalan, lanjut naik tram 11 (jurusan Scheveningen haven) atau tram 12 (jurusan Duindorp) turun di halte Hoefkade. Kembali lagi kerumah saya juga menggunakan transportasi yang sama.
Untuk tempat jual ikan, daging, sayur mayur, buah, dan beberapa kios makanan berpusat di area Hoefkade. Sedangkan untuk tempat jualan baju, bunga, tas, suvenir, barang-barang antik, dan yang lainnya berpusat di area Hobbemaplein. Berdasarkan pengalaman, untuk membeli buah dan sayur, jangan tergoda langsung membeli karena melihat harganya yang sangat miring. Berputar lebih dahulu, karena banyak kios yang menjual dengan barang sama, tapi bisa jadi harganya lebih miring. Jadi, anggap saja jalan-jalan santai sambil cari yang lebih murah meriah. Untuk kios makanan, saya senang sekali membeli ikan goreng seharga 1,75 euro, besar ikannya, sekali makan langsung kenyang (ya kebangetan kalau sampai tidak kenyang haha). Kios ini selalu dipadati pembeli, karena antriannya panjang dan memang ikannya sangat yummy. Selain itu, favorit saya yang lain untuk oleh-oleh suami adalah pizza vegetarian di kios pizza turki. Kios ini juga ramai pembeli. Untuk kios-kios makanan yang lainnya juga menggugah selera untuk dicoba, tapi saya harus memilih kios yang halal.
Hati-hati dengan barang bawaan dan dompet serta Hp, karena kondisi pasar yang sangat ramai. Banyak polisi disekitar pasar ini karena konon katanya banyak sekali pencopet. Jadi kalau ke pasar, lebih baik uangnya langsung disiapkan ditempat yang mudah dijangkau, misalkan saku jaket, sehingga tidak perlu buka tutup dompet yang bisa riskan akibatnya. Jika ingin ke pasar tidak terlalu ramai, hari senin dan rabu dan dipagi hari. Pengalaman saya selalu kepasar siang hari sudah penuh berdesakan. Bagaimana jika belum lancar berbahasa Belanda seperti saya, apakah akan mengalami kendala jika berbelanja di Haagse Markt? jangan khawatir, penjualnya bisa berbicara menggunakan bahasa Inggris. Jadi kemarin saya berbelanja menggunakan bahasa campuran, Belanda dan Inggris. Mereka juga sangat ramah, mengenali saya dari Indonesia, dan beberapa dari mereka mengajak berbincang saya sepatah dua patah kata menggunakan bahasa Indonesia.
Itulah pengalaman saya pergi sendiri berbelanja di Haagse Markt – Den Haag, mengobati kerinduan akan pasar tradisional Indonesia. Menyenangkan? tentu saja. Saya sangat senang karena setelah ini bisa selalu berbelanja ke pasar. Pasar tradisional selalu mempunyai segudang cerita dibaliknya dengan beragam orang didalamnya.
-Den Haag, 26 Februari 2015-
Segala foto yang ada disini adalah dokumentasi pribadi