Cerita Lebaran Keluarga di Indonesia

Pertengahan Maret 2020, setelah berunding dan mempertimbangkan banyak hal, akhirnya kami memutuskan untuk tidak mudik. Keputusan sangat berat, terutama buat saya. Setelah 5 tahun belum ada kesempatan mudik, tahun ini kami sungguhlah niat untuk mudik bertepatan dengan Ramadan dan Lebaran. Mudik yang sangat dinanti. Bukan hanya kami, keluarga di Indonesia yang kami kabari, sudah tak sabar menunggu bulan Mei tiba untuk bisa segera bertemu. Kami sudah 90% siap. Ibupun sudah mempersiapkan segalanya di sana. Hampir setiap hari Ibu bertanya, apa yang kami butuhkan, apa yang perlu Ibu persiapkan. Ibu sudah sangat siap menyambut kedatangan kami sekeluarga.

Sampai pada hari di mana keputusan untuk batal mudik dibuat. Saya bilang ke suami akan mengabarkan hal ini kepada Ibu, “tapi kasih aku waktu. Saat aku siap, aku akan bilang ke Ibu.”

Memberitahukan pengunduran mudik kami selalu saya tunda, sampai awal April, baru saya menguatkan hati untuk memberi tahu Ibu. Berat rasanya. Membayangkan betapa kecewanya Ibu. Saya memberitahukan tentang alasan-alasan kenapa kami memilih untuk tidak mudik saat ini dan mengundurkan entah sampai kapan. Lalu menutup percakapan di WhatsApp, saya mengatakan ke Ibu, “Demi keselamatan kita bersama Bu. Saya tidak mau membawa virus ini ke tempat Ibu. Belanda sekarang sedang dalam situasi yang genting. Saya juga tidak mau liburan di sana dengan perasaan was-was dan cemas. Maaf Bu, semoga Ibu legowo.”

Lalu panjang lebar Ibu menanggapi, “Sejak awal virus ini masuk Indonesia, sebenarnya Ibu ingin menyarankan kalian untuk menunda mudik. Ibu tidak ingin ada hal buruk yang terjadi. Ibu ingin kita semua sehat. Tapi, Ibu tidak mau mengatakan itu karena kamu pasti sudah mempersiapkan semua. Saat kamu akhirnya bilang akan menunda mudik, Ibu sangat lega. Lebih baik menunda bertemu Ibu dan keluarga di sini tapi semua sehat, daripada memaksakan mudik tapi malah bisa menimbulkan marabahaya. Mari kita saling jaga sebagai keluarga, di tempat masing-masing, dengan cara-cara yang bisa kita lakukan. Turuti apa yang saat ini pemerintah anjurkan. Mari kita saling berdoa semoga dipanjangkan umur dan sehat sehingga bisa bertemu kalau keadaan sudah aman.”

Saya lega luar biasa dengan jawaban Ibu. Terharu karena Ibu justru lebih berpikir panjang dibanding saya. Setelahnya, saya menghubungi pihak maskapai untuk mengurus penundaan keberangkatan.

Awal Mei, menjelang Ramadan, saya bertanya ke Ibu, apakah ada rencana untuk Taraweh di Masjid? dan apakah selama ini tetap shalat berjamaah di Masjid? Kata Ibu,”Sejak daerah ini ditetapkan sebagai zona merah, Ibu sudah tidak pernah lagi jamaah di Masjid. Nanti rencananya Taraweh juga di rumah saja. Kalaupun pada akhirnya Ibu meninggal, Ibu berikhtiar supaya meninggal bukan karena virus ini. Ibu juga ingin menjaga supaya tidak menularkan pada orang lain. Sholat di rumah tidak berjamaah di situasi sekarang ini, toh tidak lantas berkurang pahala.” Sebagai infornasi, Ibu selama ini tidak pernah meninggalkan satu waktu sholatpun untuk berjamaah di Masjid. Jadi ketika saya membaca apa yang Ibu tuliskan, jadi terharu sendiri. Ibu lebih baik tidak sholat di masjid untuk melindungi diri sendiri dan orang lain.

Lain waktu, saya bertanya kepada adik laki-laki apakah masih sholat Jumat di Masjid? Dia bilang sudah sejak awal April tidak pernah lagi sholat Jumat di Masjid. Dia sholat Jumat sendirian.

Menjelang Idul Fitri, Saya kembali bertanya ke Ibu apa rencana Idul Fitri nanti tentang sholat dan unjung-unjung antar saudara dan tetangga. Ibu bilang, “Ibu sholat Ied di rumah saja. Apa fungsinya sholat berjamaah di Masjdi dan lapangan tapi shaf diberikan jarak. Dan lagi, disituasi saat ini, apakah bijak jika sholat Ied berjamaah di Masjid atau lapangan sedangkan meskipun katanya mengikuti protokol, tapi malah kemungkinan menimbulkan bahayanya tinggi. Adik-adikmu tidak Ibu perbolehkan datang ke sini. Lebih baik Ibu lebaran sendirian tapi aman daripada rame-rame tapi beresiko tinggi. Lebaran kali ini beda, tidak usah dipaksakan sama. Toh masih bisa saling telpon. Toh bisa sholat sendiri di rumah. Yang penting semua sehat, semua selamat.”

Adik-adik saya juga sholat Ied di rumah masing-masing. Hari Raya, saya melakukan panggilan video ke Ibu dan adik saya yang laki-laki. Sebenarnya ada rasa sedih karena ini lebaran pertama bagi Ibu benar-benar sendirian dan lebaran pertama juga buat adik-adik tidak berkumpul dengan Ibu dan saudara-saudara di desa. Tapi, ada perkataan Ibu yang membuat saya bangga pada Beliau, “Yang lebaran sendirian kan bukan cuma Ibu. Banyak. Yang sedih juga bukan cuma Ibu, tapi banyak. Akhirnya Ibu tidak terlalu sedih, karena banyak temannya di dunia ini.” haha ya benar juga sih. Di suasana haru, Ibu saya masih juga bisa membesarkan hati anak-anaknya (dan juga hati beliau sendiri).

Saat saya melakukan panggilan video ke Ibu, Beliau sedang bersantai di tempat tidur. Saya bertanya, apa ada yang datang ke rumah? Ibu bilang ada beberapa yang Ibu dengar kasak kusuk di depan rumah. Ibu menutup gordijn seluruh rumah, menutup semua pintu. Tamu-tamu yang sudah datang bilang mungkin Ibu sedang ke luar rumah. Nyatanya Ibu di dalam rumah tapi tidak mau menerima tamu. Sore harinya Ibu hanya ke tempat Bude untuk silaturrahmi, datang sebentar tanpa salaman lalu pulang lagi.

Beberapa hal yang Ibu lakukan selama ini benar-benar membuat terharu saya. Ibu sudah tidak pernah lagi kumpul2 bahkan pengajian pun yang dulunya rutin dilakukan, sudah tidak didatangi lagi sementara ini, tidak pernah sholat jamaah di masjid lagi, ke luar rumah hanya untuk hal-hal yang sangat penting, tidak mau salaman, ke luar rumah pasti menggunakan masker, dan tidak mau dekat-dekat dengan orang. Ibu yang dulunya sangat bersosialisasi sampai rasanya seluruh pasar dan seluruh kecamatan kenal, sekarang duduk anteng duduk di rumah.

Saya pernah bertanya apakah tidak bosan? Ibu bilang, “Ibu ini tidak melakukan apa-apa, kenapa harus merasa bosan? Wong tinggal duduk santai-santai di rumah, kan enak tho. Banyak orang yang saat ini tidak bisa merasakan kemewahan duduk santai di rumah. Banyak yang harus tetap kerja di RS, di tempat-tempat yang rawan penyakit. Mereka tidak punya pilihan untuk bosan. Kita yang masih punya pilihan, mbok ya nurut saja melakukan hal-hal untuk melindungi diri dan orang lain. Wes tho, wong-wong iku ga usah ibadah di Masjid dulu, ga usah pengajian, ga usah kumpul-kumpul dhisik. Ditahan. Sing penting kabeh sehat selamet.”

Di luar kenyataan bahwa kami sering mempunyai perbedaan pendapat dan bersitegang, sebenarnya saya sering mengagumi cara berfikir Beliau yang memang nyantai tapi jauh ke depan.

Mari saling jaga dengan hal-hal sederhana yang bisa kita lakukan saat ini, demi keselamatan kita, demi keselamatan orang lain. Jangan lengah dulu. Semoga pandemi ini segeran berlalu.

-1 Juni 2020-

Tidak Sulit Untuk Berempati

(Nyaris) semua orang saat ini sedang berlomba2 bersama menyelamatkan diri, keluarga, dan lingkungan sekitar. Tidak hanya lingkup negara, tapi seluruh dunia. Musuh kita tak kasat mata tapi sudah membuktikan kekuatannya : menghilangkan banyak nyawa dan menimbulkan krisis ekonomi.

Setiap individu punya cara masing-masing untuk bertahan, apapun itu. Bertahan waras secara mental maupun raga. Bertahan untuk hidup menit demi menit.

Ada yang setiap masuk rumah dari luar rumah, langsung mandi dan mencuci bajunya. Apakah berlebihan? Tidak. Itu cara mereka bertahan hidup dengan melindungi diri dan keluarganya. Supaya hal-hal yang tak kasat mata dan mematikan di luar tidak menyebar di dalam rumah.

Ada yang merasa cemas setiap berpapasan dengan orang lain lalu memilih jauh-jauh supaya tidak berdekatan. Apakah berlebihan? Tidak. Itu cara mereka menentramkan hati supaya tidak was-was tertular atau menularkan pada orang lain. Kita tidak pernah tahu siapa yang jadi pembawa musuh utama kita saat ini.

Ada yang sangat patuh dengan anjuran : menjaga jarak, banyak diam di rumah, bahkan menggunakan masker saat di luar rumah. Apakah berlebihan? Tidak. Itu cara mereka berjuang supaya virus ini tidak semakin merajalela. Mereka percaya pada ahli-ahli yang lebih mengerti tentang hal ini.

Ada yang pergi ke psikolog bahkan sampai dirujuk ke psikiater karena butuh pertolongan untuk membuat kesehatan mental mereka tetap terjaga. Apakah mereka berlebihan? Tidak. Rasa was-was dan cemas dengan keadaan ini sangat nyata dan bisa mempengaruhi kesehatan jiwa. Mereka butuh pertolongan untuk tetap sehat secara mental.

Ada yang lebih memilih tinggal di rumah, merasa nyaman untuk tidak bertemu banyak orang, dan menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan untuk mengalihkan perhatian dari berita-berita yang bersliweran. Apakah mereka berlebihan? Tidak. Itu cara mereka bertahan melewati hari, menumbuhkan sekeping harapan bisa melewati pandemi ini dengan selamat bersama yang mereka cintai.

Ada yang tidak punya pilihan, harus tetap bekerja di luar rumah. Menjadi bagian yang menyelamatkan banyak nyawa karena musuh yang tak tampak jelas oleh mata, menjadi bagian yang bekerja membersihkan tempat-tempat rawan oleh makhluk ini, tidak memikirkan keselamatan diri selama masih punya uang untuk membeli nasi dan membawa pulang untuk dimakan bersama keluarga. Dan masih banyak yang tidak punya pilihan untuk jauh-jauh dari virus ini.

Ada yang tidak mengindahkan anjuran dan malah mencela pilihan orang lain yang sangat berhati-hati sekali menjaga diri dan lingkungan terdekat. Apakah yang mencela ini berlebihan? Entahlah. Yang pasti, saya menuduh mereka tidak punya empati.

Ada yang berbondong-bondong bergerombol mendatangi suatu tempat demi kesenangan sesaat dan melupakan anjuran untuk menjaga jarak. Apakah mereka berlebihan? Tentu saja. Apa manfaatnya datang ke suatu tempat beramai-ramai hanya demi kesenangan sesaat lalu membuat virus ini semakin ke sana ke mari. Melupakan bahwa banyak orang yang berjuang supaya keadaan saat ini aman kembali.

Kita yang punya banyak pilihan, bersyukurlah. Bersyukur karena masih hidup dengan sehat, punya cukup makanan, masih bisa melihat anggota keluarga berkumpul dengan lengkap. Bersyukur sampai saat ini kita masih selamat dari virus ini.

Namun, tak perlu jumawa. Virus ini berbahaya. Bagi banyak orang, sangat menakutkan. Tidak perlu berkoar-koar bahwa virus ini tidak ada apa-apanya hanya karena kita masih bisa duduk santai dipagi hari sambil makan roti dan menyeruput kopi. Jika kita masih sehat, bersyukurlah. Mari sama-sama jadi bagian untuk berjuang melawan makhluk ini. Semua orang lelah dengan keadaan saat ini. Setiap jenuh, ingatlah tenaga kesehatan yang bahkan mereka tidak punya pilihan untuk jenuh, tetap berjuang menyelamatkan banyak nyawa. Setiap rasa rindu berkumpul dengan teman-teman dan keluarga datang, tahanlah dan ingat petugas kebersihan yang bekerja di tempat-tempat rawan bergelut dengan virus ini. Ingatlah mereka yang tidak punya pilihan untuk menghindar. Tahanlah untuk melakukan hal-hal demi kesenangan pribadi semata untuk saat ini, paling tidak sampai semua ini aman kembali.

Tahanlah sejenak setiap merindukan ritme kehidupan yang lalu untuk datang lagi. Ini tidak akan lama jika kita berjuang bersama dengan cara sekecil apapun yang kita bisa. Mari saling jaga. Ingatlah banyak orang meninggal karena virus ini. Ingatlah banyak keluarga yang kehilangan orang-orang yang mereka cintai. Ingatlah banyak Oma Opa yang tidak bisa memeluk anak cucunya, menahan rindu karena ingin menjaga diri mereka dan keluarga dari virus ini. Semua saat ini sedang berjuang bersama. Virus ini nyata, bukan hasil gembar gembor media. Angka-angka mereka yang meninggal bukan hanya sekadar angka karena itu adalah nyawa. Jika ada yang punya teori sendiri mengenai keadaan saat ini, simpan sajalah. Tak perlu mengerdilkan keadaan yang kacau saat ini hanya karena masih bisa berdiri tegak tanpa kurang satu hal. Tak perlu.

Jika saat ini kita masih sehat, bersyukurlah dan jangan jumawa. Tiap orang punya cara sendiri untuk berjuang, jangan dianggap sebelah mata apapun usahanya, asal bisa selamat dan tetap hidup demi tidak terpapar sang virus. Tidak sulit untuk berempati, kecuali memang sudah tak ada hati atau sang empati sudah mati.

*Awalnya saya tulis di FB. Sekarang saya salin di blog.

-15 Mei 2020-

Situasi (Saya) Terkait Corona Virus di Belanda

Sudah lama ingin menuliskan tentang Covid-19 atau Corona Virus terkait diri saya dan situasi yang ada di Belanda, sejauh ini, saat tulisan ini dibuat.

Beberapa hal di bawah ini adalah dampak yang saya rasakan terkait Corona :

  • PERASAAN CEMAS TERAMAT SANGAT

Perasaan cemas ini mulai saya rasakan awal Januari 2020. Saat itu berita tentang Corona sering saya baca yang menjelaskan kondisi di Wuhan. Saya cemas super parah selama seminggu. Saya sering menangis, susah tidur dan perasaan was-was yang teramat sangat dengan situasi yang ada. Saya benar-benar takut bagaimana jika Corona sampai ke Belanda. Membayangkan jika salah satu anggota keluarga positif Corona. Lalu suami meredakan cemas saya dengan selalu memberikan saran yang positif. Mencoba menenangkan isi kepala saya yang ruwet. Akhirnya cemas mereda (sesaat).

Saya kembali cemas saat Corona sudah sampai Eropa. Saya berpikir : tinggal tunggu waktu saja sampai ke Belanda nih. Sejak itu sampai Corona benar-benar di Belanda (tanggal 27 Februari 2020 pertama kali satu orang positif Corona), perasaan cemas saya muncul dan tenggelam. Kadang bisa santai, dilain waktu bisa jadi super panik. Benar-benar yang panik. Ini perasaan cemas dalam pikiran. Sebagai informasi, pertulisan ini dibuat total 1135 orang positif Corona di Belanda, total 20 orang meninggal (pada range usia 59-94 tahun). Di kampung saya, ada7 orang yang positif Corona. Perkembangan tentang Corona bisa diikuti di website RIVM. Mereka akan selalu update setiap hari jam 2 siang.

Status tentang Corona di Belanda per 15 Maret 2020
Status tentang Corona di Belanda per 15 Maret 2020

  • BATAL UJIAN MENYETIR MOBIL

Pagi ini, seharusnya saya ujian menyetir mobil. Dua kali les terakhir di hari jumat dan sabtu minggu lalu, saya bertanya ke instruktur apakah ada kemungkinan ujian akan dibatalkan terkait Corona. Dia bilang, tidak. Kamis sore, PM Rutte mengumumkan tentang anak sekolah di jenjang tinggi mulai diliburkan, pembatalan acara-acara yang melibatkan lebih dari 100 orang, anjuran untuk mengurangi kumpul-kumpul, dan anjuran orang-orang bekerja dari rumah. Sabtu siang selesai les, saya bertanya lagi apa ada kemungkinan ujian dibatalkan. Instruktur saya bilang tidak.

Minggu sore, ada pengumuman resmi dari dua mentri tentang penutupan Sekolah (semua jenjang), daycare, sport club, sex club, coffeeshop, Horeca (termasuk restoran dan cafe) sampai 3 minggu kedepan, dan tetap anjuran orang kantoran bekerja dari rumah. Wah perasaan saya mulai tidak enak. Saya cek website CBR, ternyata benar jika semua ujian (theorie, toets, dan praktijk) ditiadakan sampai tanggal 31 Maret 2020. Setelah tanggal tersebut, baru bisa mendaftar ulang kembali untuk mencari jadwal ujian. Jadi, saya belum tahu kapan dapat jadwal ujian kembali. Sudah hampir selangkah dan di depan mata untuk mendapatkan SIM (jika langsung lulus), sekarang dalam ketidakpastian. Belum lagi karena les saya sudah berakhir, untuk tetap latihan menyetir, harus mengeluarkan uang ekstra per lesnya sampai ujian nanti.

  • BATAL LIBURAN ULANG TAHUN DI ANDALUSIA – SPANYOL

Setiap saya ulangtahun, jika kondisi memungkinkan, biasanya kami akan jalan-jalan. Sejak akhir tahun lalu, kami sudah merencanakan akan ke Andalusia selama 2 minggu, akhir maret ini. Kami fokus ke ngurusin tiket buat mudik, sehingga tiket ke Andalusia masih belum terbeli tapi penginapan dan tempat-tempat yang akan kami kunjungi sudah dibuat dengan detail. Rencananya, akhir Februari akan membeli tiket pesawat.

Akhir Februari, mulai ada yang positif Corona di Belanda dan keadaan di Spanyol mulai mengkhawatirkan. Akhirnya, awal maret kami putuskan batal ke Andalusia.

  • BATAL LIBURAN KE MECHELEN – BELGIA

Untuk mengobati batal ke Andalusia, kami berpikir pergi ke tempat yang dekat rumah saja. Dapat satu kota namanya Mechelen di Belgia. Jaraknya tidak terlalu jauh dan kotanya cantik. Cocok buat tempat beristirahat sejenak dari gonjang ganjing Corona.

Lalu keadaan di Belanda semakin mengkhawatirkan dan juga negara-negara lainnya, jadi kami memutuskan tidak jadi ke Belgia. Sudahlah berdiam diri di rumah sambil makan nasi kuning tidaklah terlalu buruk untuk merayakan ulang tahun.

  • BATAL ACARA DI RUMAH

Sabtu lalu, harusnya ada pesta kecil-kecilan di rumah. Sejumlah teman dan keluarganya kami undang. Seminggu sebelumnya, ada acara juga dengan keluarga di sini. Syukuran. Lalu seminggu kemudian, perubahan besar terjadi. Seperti biasa, jika di rumah ada acara, saya selalu mencicil memasak jauh hari sebelum hari H. Maklum ya, tenaga terbatas.

Setiap hari mengikuti perkembangan Corona, saya mulai was-was. Mulai berpikir akan membatalkan acara saja. Terlalu riskan jika banyak orang berkumpul dalam satu ruangan untuk situasi saat ini. Tapi suami bilang, acara diteruskan saja, sedatangnya orang karena ada beberapa teman yang membatalkan. Semua makanan sudah siap, kami sudah membeli minuman, camilan, sudah menyediakan goodie bag untuk anak-anak, intinya sudah siap semua. Sampai kamis malam, keinginan saya untuk membatalkan acara semakin kuat. Akhirnya setelah dibicarakan dengan suami, kami mantab membatalkan acara. Pesan saya kirimkan ke semua undangan yang sudah konfirmasi akan datang. Mereka maklum dan bilang akan mengirimkan kado yang sudah dipersiapkan. Saya pun bilang akan mengirimkan goodie bag. Lega sudah mengambil keputusan yang tepat untuk saat ini.

  • CEMAS DENGAN RENCANA MUDIK DALAM WAKTU DEKAT

Satu lagi yang membuat saya cemas akhir-akhir ini adalah tentang rencana mudik dalam waktu dekat. Akhirnya setelah 5.5 tahun sejak datang ke Belanda, kami ada kesempatan mudik ke Indonesia. Kesempatan yang sangat kami tunggu-tunggu selama ini. Jadi persiapannya pun sudah matang, sebelum Corona datang. Sekarang, kami mulai harap-harap cemas apakah bisa dan tetap akan mudik dengan situasi seperti ini. Saya sudah kangen dengan keluarga di Indonesia, Ibupun sudah sangat ingin bertemu kami. Tapi saya sudah mulai bilang ke Ibu, jika situasinya semakin memburuk dan ada kemungkinan bandara di Belanda ditutup, artinya kami tidak bisa mudik. Itu kondisi terburuknya. Sedih, tapi bagaimana lagi. Namun kita lihat saja perkembangannya bagaimana. Mudah-mudahan ada titik terang dan keadaan makin membaik.

  • PANIC BUYING

Kamis malam, tiga supermarket besar (bahkan toko turki pun) di kampung saya mulai diserbu orang-orang yang mulai panik. Kamis pagi dan sore waktu saya ke sana untuk membeli sayuran, semua masih aman terkendali. Saya mulai menjelajah tiga supermarket tersebut sambil melihat kondisi. Semua barang masih aman, tidak ada rak yang kosong.

Jumat pagi, saat kami mau belanja mingguan, sampai tidak mengenali dalamnya supermarket karena banyak rak yang kosong, terutama beras, pasta dan makanan-makanan beku. Benar-benar kosong. Ini di tiga supermarket di kampung. Orang-orang belanja super banyak dan mukanya tegang semua. Kami tidak terlalu banyak belanja karena bahan-bahan dasar sudah ada di rumah seperti beras, pasta, telor dan makanan beku.

IMG_C90B4D709C08-1

 

MENJAGA JARAK – MEMBATASI BERINTERAKSI SECARA LANGSUNG

Hal-hal tidak menyenangkan di atas tentang pembatalan beberapa hal, saya maknai positif. Memang sudah saatnya untuk melakukan tindakan yang bisa memutus mata rantai, mengurangi penyebaran virus. Membatasi diri berinteraksi langsung dengan orang lain, menjauhi kerumunan, dan menjaga jarak. Saya berpikir, mungkin saja saya yang jadi pembawa virus yang bisa menularkan pada orang lain, atau juga sebaliknya. Kita tidak pernah tahu. Bisa saja nampak sehat di luar tapi ternyata kita ada bibit pembawa. Jadi, dengan membatasi interaksi langsung bisa jadi salah satu jalan untuk memutus mata rantai penyebaran virus. Meminimalisir. Bagaimana caranya? Salah satunya ikuti anjuran dengan tinggal di rumah jika tidak ada kegiatan yang mendesak untuk dilakukan di luar rumah.

Sekolah diliburkan, anjuran kerja dari rumah, menjauhi kerumunan orang, mengurangi bepergian menggunakan transportasi umum (jika memungkinkan) bertujuan untuk mengurangi penyebaran virus. Jadi ketika sekolah libur, tolong jangan lalu diartikan bisa pergi ke tempat liburan. Atau jika dianjurkan bekerja dari rumah, jangan diartikan bisa bekerja di tempat yang banyak kerumunan orangnya. Untuk saat ini, tahan keinginan ke mana-mana. Tinggal di rumah. Jika ingin menghirup udara segar, bisa pergi ke tempat yang minim orang misalkan hutan atau danau atau olahraga lari keliling kampung.

Sekali lagi, kita tidak tahu apakah kita menjadi pembawa virus atau tidak. Jika tidak dimulai dari sendiri, mata rantai ini tidak akan putus. Untuk saat ini, dengan situasi seperti ini, mari sama-sama berjuang. Mulai dari sendiri akan membantu orang sekitar juga. Meminimalisir penyebaran. Ini tidak berlangsung lama. Semua orang di dunia sedang berjuang bersama. Mari kita berjuang bersama memerangi virus ini. Mulai membatasi diri, menjaga jarak, mengurangi berinteraksi dengan orang lain, berdiam diri di rumah, tidak keluar rumah jika tidak mendesak, tidak menimbun bahan makanan, sering-sering mencuci tangan secara benar dengan sabun, meningkatkan daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makanan dan minuman tinggi gizi, tidak lagi bersalaman, tidak gampang menyebarkan berita sebelum dicek kebenarannya (No Hoax please), dan beberapa hal tindakan pencegahan lainnya.

Selain berdoa dan tawakkal, yuk sama-sama berikhtiar dengan maksimal. Ini saatnya kita berhenti sejenak, menepi sejenak dari kerumunan, kembali ke keluarga, kembali ke rumah, kembali ke orang-orang tersayang, menikmati waktu kebersamaan. Kami dan semua orang di dunia sedang dilanda cemas, khawatir, dan sedih. Kita sama-sama berjuang melewati situasi yang sedang susah di seluruh dunia. Ini tidak lama (semoga), pasti akan terlewati juga. Saat ini, yang diperlukan adalah perjuangan bersama. Semoga siapapun di manapun, sehat bersama keluarga. Percayalah, situasi sulit ini pasti bisa kita lewati. Pasti ada titik terang dan harapan. Mari sama-sama menguatkan dan optimis.

-16 Maret 2020-

Perkataan yang Menyakitkan

Berawal dari cuitan akun @shitlicious di twitter yang sliwar sliwer,  mempertanyakan : “perkataan apa yang menyakitkan dari orang lain tapi malah membuat bangkit?” Awalnya saya sudah mengetik jawabannya, maksudnya ikutan nimbrung. Tapi setelah diketik, lalu saya baca lagi, menjadi ragu. Akhirnya tersimpan di draft. Sehari kemudian, saya memutuskan untuk mengunggahnya. Kenapa saya sempat ragu? karena melibatkan orang dari masa lalu yang ucapannya masih teringat sampai sekarang.

Tidak disangka, dari yang hanya sekedar berbagi cerita, kok responnya dari warga twitter diluar dugaan, sampai lebih dari seribu (per tanggal tulisan ini diunggah). Saya mendapatkan banyak sekali tanggapan yang positif, juga banyak yang berbagi kisah nyaris sama dengan yang saya alami, bagian diremehkannya. Silahkan baca komen-komen dari cuitan saya (akunnya silahkan cari sendiri *haha sok misterius). Akan banyak sekali cerita-cerita yang miris. Tentang betapa orang gampang sekali melontarkan ucapan atau komentar tidak baik. Jumlah karakter di twitter terbatas, karenanya saya menuliskan secara singkat dan garis besar saja di sana. Kenyataannya lebih pilu dari yang saya tuliskan. Saya jadi ingin menuliskan secara lengkap kisah 18 tahun lalu.

IMG_1591

Alkisah, tahun 2000 saya mempunyai hubungan dengan mahasiswa S2 satu kampus tetapi berbeda jurusan. Status saya waktu itu mahasiswa D3. Kenal dia sebenarnya sejak saya masih SMA. Singkat cerita kami dipertemukan kembali oleh jalan hidup, di satu kampus lalu hubungan menjadi lebih serius. Saya tidak menceritakan secara rinci ya tentang hubungan saya dengan dia, wong sudah masa lalu. Saya hanya mau menceritakan yang berhubungan dengan apa yang tertulis di akun twitter.

Singkat cerita, Sang Ibu tidak setuju dengan hubungan kami. Ibu dia, bukan Ibu saya. Tahun 2001, terjadi sebuah percakapan antara saya dan Si Ibu, lalu ada sebuah perkataan yang tidak bakal saya lupa sejak saat itu sampai kapanpun, “Kamu kan kuliahnya D3, tidak cocok dengan anak saya yang lulusan S2. Ya minimal anak saya dapat dokter lah supaya setara dan selevel.” Saat si Ibu mengatakan tersebut, posisi anaknya memang sudah akan lulus S2. Buat saya, perkataan tersebut benar-benar menyakitkan. Seolah D3 tidak ada harganya, tidak setara, dan tidak selevel. Si Ibu juga tidak pernah menanyakan rencana ke depan saya seperti apa, seolah-olah saya tidak punya rencana untuk menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Yang membuat saya tidak lupa adalah bagaimana Beliau meremehkan D3 saya.

Singkat cerita (haha memang sengaja ceritanya disingkat-singkat ya, karena kalau dijabarkan akan menjadi curhatan masa lalu), setelah lulus D3, bekerja sebentar lalu saya melanjutkan lagi ke S1. Lulus S1 saya bekerja di dua PMA di kota berbeda selama 8 tahun, lalu melanjutkan kuliah S2 setelah mengundurkan diri dari pekerjaan yang terakhir di Jakarta.

IMG_E9CA8831A2E9-1.jpeg

Tahun 2015 awal, saya dinyatakan lulus S2 setelah sidang tesis yang lumayan tidak terlalu rumit (tapi proses menyusun tesisnya, ampun dije sampai ingin dadah dadah ke kamera saking rumit bin ruwet). 3 minggu setelah sidang dan dinyatakan lulus, saya akan berangkat ke Belanda untuk tinggal menetap. Seminggu setelah lulus S2, karena sebuah urusan, saya pergi ke salah satu RS. Kok ya mak bedundug mak jegagik setelah 14 tahun tidak bersua, saya papasan dengan si Ibu di sana. Beliau yang menyapa saya duluan (heran kok masih ingat, padahal saya sudah berjilbab, sudah beda penampakan. Terakhir ketemu Beliau, saya pake celana jeans, kaos lengan pendek dan berambut pendek) :

Si Ibu : Mbak, Apa kabarnya? Kerja di mana sekarang?

Saya : Kabar baik Bu. Saya baru saja lulus S2.

Si Ibu : Wah, lulus S2 ya. Sambil kerja atau bagaimana?

Saya : Saya kuliah dan kerja sambilan paruh waktu, karena kuliahnya siang.

Si Ibu : Main-mainlah ke rumah, ketemu (menyebutkan nama anaknya), mungkin kalian akan berjodoh lagi.

Saya : Saya sudah menikah Bu. Suami saya juga lulusan S2.

—– hening. Si Ibu tidak berkomentar. Lalu saya lanjutkan :

Saya : Sebelum kuliah S2, saya 8 tahun bekerja di PMA. Setelah ini saya akan tinggal di Belanda mengikuti suami. Jadi, saya tidak bisa main ke tempat Ibu. Maaf Bu saya masih ada urusan. Saya duluan.

IMG_A3D4B18496A8-1

Saya lalu pamit setelah mengucapkan salam. Pertemuan yang sangat tidak disangka. Bayangkan, setelah 14 tahun lamanya setelah perkataan Beliau yang tidak mungkin akan terlupakan, seperti sudah diatur Yang Kuasa, kami dipertemukan kembali. Karena mumpung ketemu itulah saya jadi mendadak congkak hahaha. Aji mumpung kan ya, makanya saya ucapkan juga kalau suami saya lulusan S2 -yang pada kenyataannya waktu itu masih nyusun tesis dan baru sidang 6 bulan kemudian :))- Tidak lupa saya sertakan kalau akan pindah ke Belanda, jadi saya tidak bisa main ke rumahnya yang beda kota dari kota tempat kami papasan.

Saya memang tidak akan lupa apa yang Beliau ucapkan, tapi saya tidak dendam. Hanya tidak akan bisa saya lupakan. Motivasi saya kuliah S2 juga bukan karena ucapan Beliau. Saya kuliah S2 karena ingin dan ada kesempatan. Bukan karena ingin membuktikan ucapan beliau salah, wong setelah itu kami tidak ada komunikasi lagi. Kalaupun ternyata suatu hari dipertemukan kembali pada saat yang tepat, pasti memang sudah direncanakan seperti itu oleh Yang Kuasa. Semoga Beliau ingat dihari saat meremehkan D3 saya dan tahu bahwa tidak sepantasnya mengeluarkan perkataan tersebut. Yang saya ucapkan pada saat bertemu Beliau bukan dalam rangka balas dendam. Saya hanya mengatakan fakta, bahwa perempuan yang 14 tahun lalu berpendidikan D3 dan Beliau bilang tidak setara dengan anaknya yang level S2, saat bertemu kembali sudah menyelesaikan S2 dan mempunyai suami (akan) lulusan S2 -tapi bukan anaknya-.

Selama hidup, saya sering mendapatkan respon yang meremehkan. Entah karena pembawaan saya yang tidak meyakinkan untuk berprestasi atau saya yang terlalu selengekan jadinya sering disepelekan. Seiring berjalannya waktu, toh pada akhirnya saya bisa membuktikan pada diri sendiri bahwa apa yang mereka sangkakan tidaklah terbukti, bahkan bisa jauh melampaui dari apa yang mereka ucapkan. Maklum, jiwa tidak suka dipandang sebelah mata jadi muncul kalau ada yang meremehkan.

Satu tambahan cerita saat saya bekerja. Ada satu kolega yang selalu bilang kalau saya tidak akan berhasil naik jabatan karena saya nampak biasa-biasa saja dan tidak cemerlang. Ditambah lagi, menurut dia naik jabatan di kantor tersebut susah. Dia menyebutkan buktinya dia sendiri, sudah lama di sana tapi posisi tetap sama. Saya tidak mendengarkan perkataan dia meskipun ya kesel juga kok diremehkan seperti itu. Saya bekerja seperti biasa, sebaik-baiknya. Singkat cerita, selama 7 tahun di sana, yang awalnya masuk sebagai staff, setiap tahun mendapatkan promosi karena kerja keras terbaik membuahkan hasil. Sewaktu saya mengundurkan diri untuk melanjutkan kuliah, posisi saya jauh di atas dia. Hal tersebut membuktikan, dia meremehkan saya tidak bisa naik jabatan, toh nyatanya kalau bekerja sebaik-baiknya, pihak managemen akan melihat dan menilai dengan adil. Berarti ya dia sendiri yang tidak kompeten untuk bisa naik jabatan.

Yang ingin saya sampaikan dari tulisan kali ini, berhati-hatilah dalam melontarkan ucapan atau komentar. Jika tidak bisa mengucapkan yang baik-baik, lebih baik diam saja. Bisa jadi yang kita ucapkan tidak baik dan meremehkan, akan diingat sepanjang masa oleh pihak yang menerima komentar. Tahan lidah dulu dan pikirkan lagi kalau ingin berkomentar. Kalau di dunia maya, tahan jempol dulu dan pikirkan berulang sebelum diunggah, apakah kedepannya akan membawa kebaikan atau justru keburukan, ada manfaatnya atau tidak. Peristiwa yang saya alami dengan si Ibu memberi pelajaran berharga bahwa memang tidak seharusnya meremehkan orang berdasarkan status sosial, jenjang pendidikan, atau apapun itu. Intinya, jangan gampang meremehkan atau merendahkan orang lain karena menilai diri sendiri terlalu tinggi.

Kita tidak tahu takdir kedepan seperti apa. Jalan hidup orang tidak bisa tertebak. Siapa tahu yang diremehkan di masa lalu, jadi sukses di masa depan dengan jalan yang dipilihnya, meskipun tetap terngiang selalu perkataan yang terlontarkan belasan tahun lalu. Bukan menyimpan dendam, hanya tidak bisa melupakan.

Bijaksanalah menggunakan lidah dan jempol kita.

-8 Desember 2019-

Ada yang mempunyai kisah serupa dengan saya atau hampir mirip atau malah pernah menjadi pihak yang melontarkan omongan kurang menyenangkan?

 

 

Agama Suamimu Apa?

Sabtu kemaren, saya mengundang makan siang di rumah beberapa teman baru yang saya kenal dari twitter. Tidak ada acara khusus, hanya undangan makanan siang. Pembicaraan selama hampir 5 jam, sangat seru. Tidak ada putus-putusnya. Segala macam topik kami bahas. Termasuk salah satu topik yang akhir-akhir ini sangat sensitif di Indonesia, perihal agama.

Ketika mengundang mereka ke rumah, tidak terpikirpun untuk mempertanyakan latar belakang tentang agama mereka. Sejak kecil, saya tidak mempermasalahkan teman atau kenalan saya beragama apa. Siapapun boleh bertandang ke rumah kami, kecuali maling tentu saja. Orangtua saya tidak pernah mengajarkan untuk memilih-milih teman berdasarkan agama. Salah satu sahabat saya sejak 20 tahun lalu bahkan beragama Kristen. Ketika saya memutuskan berjilbab, itu tidak mengubah hubungan kami, tidak serta merta saya memutuskan yang terjalin selama in. Saya tetap bersahabat dengannya. Selama ini, kriteria utama saya dalam memilih teman bukanlah perkara agama. Melainkan kepribadiannya, budi pekertinya.

Membaca berita di Indonesia akhir-akhir ini yang mempertanyakan segala sesuatunya berdasarkan agama, membuat saya sesak dan gelisah. Hati saya berontak. Mencari kos-kosan, ditanyakan agama, jika tidak seagama dengan pemilik kos, tidak diterima. Mau mendaftar pekerjaan, dipentingkan seagama. Jika tidak, akan ditolak. Tidak menyoal apakah kemampuannya bagus atau tidak. Entahlah, sebagai orang yang sudah 5 tahun belum pulang lagi ke Indonesia, saya semakin tidak mengenal negara saya dari sisi itu. Semakin tidak saya pahami masyarakat di sana seperti apa. Sangat berbeda dengan 5 tahun lalu saat saya merantau jauh ke sini. Dulu, tanpa pertanyaan agama, semua baik-baik saja. Saat ini, rasanya semua selalu ujung-ujungnya agama. Kembali lagi, itu yang saya baca di media dan pengalaman beberapa orang.

Pertanyaan tentang agama ini, juga saya dapatkan sejak menikah. Tentu saja bukan saya yang ditanya, tetapi tentang suami. Sebelum menikahpun, ada kenalan dari kampus yang terang-terangan bertanya,”Calon suamimu agamanya apa?” saat tahu calon suami saya WNA. Setelah menikah, pertanyaan berganti menjadi,”suamimu agamanya apa?” juga sering saya dapatkan, bahkan sampai saat ini. Di Belanda, pertanyaan tersebut tentunya saya dapatkan saat papasan dengan orang Indonesia dan hanya berbincang sesaat. Kalau pembicaraan sudah mengarah ke sana, saya akan langsung jawab, “pertanyaan terlalu pribadi, saya tidak akan jawab.” Buat saya, pertanyaan tentang agama ini sangatlah pribadi, apalagi yang ditanya tentang suami saya. Bukan hak saya untuk menjawab. Sama halnya ketika banyak pertanyaan yang saya dapatkan,”suamimu sudah sunat?” Itupun sudah diluar nalar saya, bagaimana bisa orang-orang tersebut menanyakan hal yang tidak layak untuk ditanyakan. Itu bukan urusan mereka kan?. Sudah melampaui batas-batas kesopanan. Katanya orang Indonesia adalah bangsa yang punya unggah ungguh dan sopan santunnya tinggi banget, tapi segelintir orang dengan gampangnya menanyakan perihal sunat. Punya pengaruh apa suami saya sudah sunat apa belum dengan kehidupan mereka.

Tadi malam menjelang tidur, saya berbincang dengan suami perkara agama ini. Kalau hidup di Indonesia, mungkin keluarga kami sudah mendapatkan penolakan di sana sini karena kriteria agama yang tidak “layak” tinggal ditengah-tengah masyarakat. Pernikahan saya akan dipertanyakan keabsahanannya dari sisi kehidupan beragama, suami saya ke manapun melangkah akan dipertanyakan agamanya apa, bahkan tidak mungkin kedepannya keturunan kami akan dikucilkan dari pergaulan karena memilih berbeda dengan kebanyakan masyarakat di sana. Terus terang jika memikirkan hal tersebut, hati kecil saya selalu menangis, sedih. Beberapa kali saya juga mendapatkan kata kunci pencarian di blog ini tentang agama suami saya : Apa agama suami blog denald. Bahkan agama sayapun ada yang penasaran : agama Deny apa?.

Kemana keberagaman agama yang saya kenal sejak kecil, tidak mempersoalkan mau makan dengan mereka yang berbeda agama, tidak mempersoalkan berteman dengan yang berbeda keyakinan, tidak mempertanyakan agama saat ingin menolong orang yang sedang kesusahan. Pemikiran saya tentang agama masih sama sejak remaja sampai saat ini : Agama itu perkara panggilan hati, bukan paksaan apalagi didapat dari garis keturunan. Agama itu pilihan, bukan kewajiban. Ada yang memilih beragama, ada yang memilih beragama tertentu, ada yang memilih percaya pada alam semesta, semuanya hak masing-masing orang. Seharusnya itu tidak menjadi halangan ataupun sebuah penghalang terhadap apapun. Seharusnya.

Jika saya mempertanyakan agama setiap orang yang akan bertandang ke rumah atau mereka yang ingin saya undang ke rumah, sabtu kemaren saya tidak akan belajar banyak hal dari mereka karena memiliki latar belakang keyakinan yang berbeda dengan saya. Dari pembicaraan selama 5 jam, saya belajar tentang kehidupan dari pengalaman mereka yang berlatarbelakang beragam. Saya belajar tentang hidup menjadi perantau, jatuh bangun, dan suka duka di negeri ini.

Harapan saya perihal agama di Indonesia, semoga semuanya kembali seperti semula. Saling guyub antara agama satu dan lainnya. Kembali paham esensi beragama. Saling hidup bersandingan tanpa harus mempertanyakan agama satu sama lain. Tahu batasan masing-masing tapi tidak terkungkung oleh batasan tersebut. Melebur dengan damai.

Semoga saat kami ada kesempatan mudik ke Indonesia, tidak ada lagi pertanyaan yang sama saat 5 tahun lalu dia berkunjung ke sana, “Agama suamimu apa?” Semoga beragama ataupun tidak beragama, tidak menjadi sebuah persoalan besar. Semoga perilaku yang baik dan punya sopan santun yang baik sudah mencukupkan. Semoga kami diterima dengan sewajarnya meskipun kami memilih berbeda dengan mereka. Memilih untuk tidak menjadi bagian atau golongan manapun. Semoga.

-2 Desember 2019-

Menutup Diri Setelah Tinggal di Luar Negeri?

Suasana kampung tempat tinggal kami

Membaca postingan  di blog ini, pendapat penulis tentang Diaspora yang disinyalir mengalami sindrom menutup diri, jadi tertarik untuk membuat tulisan dari sudut pandang saya dan berdasarkan pengalaman diri sendiri tentunya. Sejak pindah ke Belanda, seringkali saya mendengar dari kerabat, kenalan, teman di Indonesia kalau saya semakin menutup diri dan menjaga jarak dengan mereka. Ada benar dan tidaknya apa yang mereka sampaikan serta ada alasannya juga kenapa saya bersikap seperti itu. Salah satu alasan saya membuat tulisan ini adalah untuk memberikan gambaran tentang hal tersebut.

Saya nyaris 5 tahun tinggal di Belanda dan belum pulang sama sekali ke Indonesia. Jadi saat membaca penjabaran selanjutnya bisa membayangkan kondisi dan situasi saya. Tulisan ini lumayan panjang.

GANTI NOMER TELEPON

Pindah ke Belanda, artinya ganti nomer telepon. Saatnya tidak lagi bergabung dengan banyak grup WhatsApp (WA). Sampai saat ini, saya hanya punya tiga grup WA. Ya, cuma tiga. Saya membatasi berbagi nomer telepon yang baru. Hanya pada yang merasa dekat saja saya berbagi nomer telepon Belanda. Itupun ternyata beberapa kali ada yang lancang membagikan nomer tanpa sepengetahuan saya lebih dahulu.

Alasan saya tidak lagi bergabung dengan banyak grup wa, pertama karena zona waktu sudah berbeda. Kedua, karena seringnya saya tidak membaca isi grup wa yang sangat aktif. Ketiga, ya saya mau fokus dulu dengan kehidupan di Belanda. Disinilah awal mula ada beberapa komentar yang saya dengar kalau saya “mengasingkan” diri. Mereka berpikir saya tidak mau ikut grup lagi karena sudah tinggal di LN, tidak level dengan mereka yang tinggal di Indonesia. Lha, apa hubungannya ya. Tapi ya sudahlah, saya juga tidak mau repot-repot menjelaskan.

PROSES ADAPTASI YANG TIDAK MUDAH DAN JUGA TIDAK SUSAH

Saya memulai semuanya di Belanda dari nol, dari awal. Jatuh tersungkur-sungkur belajar bahasa baru, mengenal lingkungan baru, mendaftar sebagai sukarelawan untuk beberapa kegiatan supaya memperlancar bahasa Belanda, ujian bahasa Belanda sebagai syarat memperpanjang ijin tinggal, jungkir balik mencari pekerjaan, lalu dapat kerja di bidang yang baru dan sangat berbeda dengan latar belakang pendidikan maupun pengalaman kerja sebelumnya, penyesuaian terhadap cuaca, mempelajari (dan belajar panjang sabar) terhadap segala sistem birokrasi di sini, dan masih banyak lagi yang harus saya lakukan sebagai proses adaptasi. Semuanya bukan perkara yang mudah, terutama untuk bahasa dan cuaca, namun buat saya juga bukan hal yang susah. Saya fokus dengan apa yang ada sekarang, apa yang perlu saya jalani saat ini. Bukan berarti saya melupakan apa yang ada di Indonesia, tapi setiap hari di sini adalah proses adaptasi, pun sampai detik ini. Banyak hal-hal baru yang terus saya pelajari dan perlu fokus. Itu saja sebenarnya. Fokus saya sudah berbeda dengan kehidupan sebelumnya sewaktu di Indonesia. Menjadi imigran buat saya tidak mudah, karenanya saya ingin membuat lebih mudah dengan menjalani secara fokus apa yang ada sekarang dan menerapkan skala prioritas.

PERTANYAAN YANG TERLALU PRIBADI

Ada beberapa kenalan, teman, dan kerabat yang mengajukan pertanyaan atau memberikan pernyataan yang sudah jauh masuk dalam ruang privasi saya. Misalkan saja : suami kerja di mana, gaji suami berapa, beli rumah di Belanda harganya berapa, suami sholat nggak, sudah punya anak apa belum, sudah dapat apa saja dari suami (mengacu pada materi), kenapa kamu kok tidak bekerja kantoran, kenapa kok kamu sudah sekolah tinggi tapi malah tinggal di rumah, dan sebagainya dan sebagainya. Masih banyak sebenarnya, tapi tidak akan saya tuliskan semua. Pertanyaan tersebut datang dari orang-orang yang tinggal di Indonesia maupun dari orang-orang Indonesia yang tinggal di Belanda. Saya merasa tidak nyaman dengan hal tersebut dan saya memilih untuk selalu mengatakan bahwa apa yang mereka katakan terlalu masuk dalam ranah pribadi saya dan saya tidak akan memberikan jawaban atau pernyataan apapun. Saya tidak berhutang penjelasan pada siapapun. Jadi, kalau saya menjaga jarak dengan mereka, bukannya tanpa sebab, melainkan karena mereka sendiri yang membuat saya berlaku seperti itu. Bertukar kabar dengan berbagi cerita yang umum saja saya sudah cukup, tidak perlu bertanya sampai jauh ke ranah pribadi.

Saya punya teman-teman baik (belum sampai level sahabat) di Belanda, tapi sangat terbatas. Tidak lebih dari jumlah jari tangan. Prioritas hidup saya saat ini (dan sejak awal di sini) bukan untuk mencari teman baru, jadi saya sudah cukup bahagia dengan teman-teman dekat yang ada sekarang. Sebenarnya sejak saya pindah ke Belanda, mencari teman bukanlah prioritas. Ada atau tidak ada teman, saya biasa saja. Saya lebih sibuk untuk adaptasi hal-hal lainnya. Semuanya mengalir dalam pertemanan, tidak pernah saya buat ngoyo. Karena itulah, saya punya teman sangat sedikit dan itu tidak jadi masalah.

Saya selalu membalas senyuman atau tegur sapa orang Indonesia yang ketemu dijalan (meskipun saya sendiri nyaris tidak pernah menegur duluan), menjawab obrolan mereka juga. Namun jika sudah terlalu jauh topik obrolannya, saya memilih tidak melanjutkan dan lebih baik permisi pergi. Saya pernah menuliskan di sini, cerita tentang mereka yang saya temui di Belanda, asal njeplak berkomentar padahal kenal (baik) saja tidak.

img_1521

LEBIH “MELEK” DENGAN YANG NAMANYA PRIVASI

Melanjutkan dari tulisan di atas, semakin bertambah umur, saya semakin melek dengan yang namanya privasi. Dulu sih semuanya saya ceritakan dan tuliskan terutama di media sosial. Semakin ke arah sini, saya semakin membatasi dan berpikir berulang kali perkara penting tidaknya mengunggah foto, status, cerita dan tulisan. Tahun 2015 saya deactive FB. Lalu tahun 2018 saya aktifkan lagi. Sejak mengaktifkan lagi, saya benar-benar menggunakan FB sebijak mungkin. Saya kurangi daftar teman yang ada di sana, hanya mereka yang sudah saya kenal yang dipertahankan. Saya makin selektif menerima permintaan pertemanan. Saya unggah sesuatu yang umum-umum saja, bahkan seringnya hanya sebagai sarana berbagi tulisan blog. Berbagi foto? seingat saya, tidak sampai 10 kali foto yang diunggah sejak FB aktif kembali.

Hal tersebut menimbulkan pertanyaan beberapa orang kenapa saya nampak terlalu menutup diri, tidak pernah mengunggah foto keluarga, tidak pernah bercerita tentang keluarga. Bahkan ada yang bertanya apakah kehidupan pernikahan saya baik-baik saja. Mungkin karena dulunya saya terlalu gampang “berbagi” di media sosial dan sekarang nampak lebih tertutup, jadi mereka menginterpretasikan bahwa kehidupan saya di Belanda tidak baik-baik saja. Padahal sebenarnya simpel : sekarang saya lebih nyaman seperti ini, tidak terlalu “obral” diri di media sosial maupun di blog, lebih nyaman dengan ruang privasi saya dan keluarga yang terjaga. Jejak digital tidak bisa dihapus, itu pegangan saya.

MENASEHATI TANPA DIMINTA PENDAPAT

Karena saya terlihat menutup diri dibandingkan sebelumnya, ada beberapa yang memberi nasihat tanpa diminta, berdasarkan asumsi mereka sendiri. Jadi semacam tebak-tebak buah manggis lalu mencoba menasehati. Misalkan : Saya tidak pernah bercerita secara detail tentang keluarga atau memasang foto keluarga, lalu ada yang berasumsi bahwa kehidupan saya di Belanda ada masalah. Lalu dinasehatilah saya bahwa kehidupan berkeluarga memang seperti itu, ada naik turunnya. Padahal, saya tidak pernah memberi komen apapun tentang asumsi yang dibuat. Karena tidak ada komentar dari saya, lalu mereka memberi cap kalau saya sombong sejak tinggal di Belanda. Padahal yang saya lakukan hanyalah tidak mau memberi ruang akan segala hal yang sudah mereka asumsikan sendiri. Saya diberi cap sombong? ya silahkan saja. Sejak di Indonesia pun saya sudah sering diberi cap sombong bahkan judes. Jadi kalau sekarang diberi cap itu lagi, rasanya ya biasa aja. Saya tidak bisa mengendalikan reaksi orang. Itu salah satu contohnya.

PERKARA JANJIAN

Beberapa kali ada teman dan kenalan dari Indonesia yang akan main ke Belanda, selalu dadakan mengajak janjian. Seringnya mereka mengajak ketemuan di Amsterdam. Tempat tinggal saya ke Amsterdam lumayan jauh, sekitar 1.5 jam naik transportasi umum. Pertama, Belanda itu negara kecil dan transportasi di Belanda seringnya tepat waktu (karena ada masanya tidak tepat waktu juga karena kendala teknis). Jadi, jarak tempuh 1.5 jam itu adalah waktu yang lumayan lama. Kedua, transportasi umum di Belanda itu mahal. Jadi biasanya kalau akan pergi jauh, saya mencari info lebih dahulu apakah ada tiket kereta yang dijual murah (banyak promo tentang ini). Meskipun saya menggunakan kartu abonemen (yang akan mendapat diskon 40% jika naik kereta), tapi jika dihitung akan lebih murah menggunakan tiket promo, ya saya menggunakan tiket promo. Belanda ini negara mahal, jadi kalau ada banyak cara untuk bisa hidup hemat, kenapa tidak ya kan.

Alasan ketiga, kami tinggal di Belanda semua dikerjakan berdua. Bukan berarti dengan saya tidak bekerja kantoran lalu saya banyak waktu senggang lalu bisa mengajak ketemuan dadakan. Setiap hari saya sudah punya rencana apa saja yang harus saya kerjakan. Saya sudah terbiasa membuat janjian jauh hari, wong mau makan bakso saja musti janjian paling tidak sebulan sebelumnya. Jadi kalau dadakan, seringnya saya tolak.  Kalau ketemuannya di kota terdekat, akan saya pertimbangkan.

Lalu tanggapan yang saya terima, dibilang saya terlalu londo, terlalu kaku padahal di Indonesia dulu tidak begitu. Mereka lupa, bahwa saya tinggal di Belanda hampir 5 tahun dan sudah menyesuaikan (nyaris) semuanya dengan tempat tinggal saat ini. Ya, lalu bagaimana saya menjadi tidak “terlalu londo?” *sudah terbaca belagu belum.

MEMBATASI DAN MENJAGA JARAK, BUKAN MENUTUP DIRI

Dari semua hal yang saya jabarkan di atas, jika banyak yang mengatakan saya menutup diri, mungkin bagi mereka nampak seperti itu. Saya membatasi dan menjaga jarak dengan orang-orang yang tidak saya kenal baik yang berada di Indonesia maupun orang-orang Indonesia yang ada di Belanda. Buat saya, jumlah teman tidaklah penting. Yang lebih penting adalah kualitasnya. Keluarga, teman-teman dekat, sahabat yang ada sekarang (cuma 4 orang yang semuanya ada di Indonesia), sudah lebih dari cukup. Mereka tidak pernah terlalu mencampuri urusan pribadi, sayapun berlaku sama. Kami tahu batasan masing-masing. Kami saling menanyakan kabar terbaru, cerita terbaru, dan sering juga mengirimkan foto terbaru. Hanya dengan mereka saya merasa nyaman berbagi cerita yang ingin saya bagi. Lalu kalau ada yang bilang saya menutup diri, artinya saya tidak dekat dengan mereka.

Jadi jika ada yang tidak mengenal saya dengan baik lalu berasumsi sendiri tentang kehidupan saat ini, ya monggo. Sekali lagi, saya tidak berhutang penjelasan detail pada siapapun. Yang terpenting, saya tidak pernah menutup diri, hanya membatasi dan menjaga jarak, melakukan hal yang membuat nyaman. Berteman dengan mereka yang saling menyamankan, berbagi kabar pada keluarga yang membuat saya merasa nyaman, dan berbagi hal-hal yang seperlunya saja di media sosial. Rasanya motto yang cocok dengan hidup saya sejak tinggal di Belanda adalah : bertindak, berbicara, dan nyetatus seperlunya saja.

-21 Oktober 2019-

 

Pembahasan Penting Sebelum (Memutuskan) Kawin

Saya menikah saat umur tak lagi muda untuk ukuran orang Indonesia. Justru saya bersyukur sekali menikah saat jiwa raga, mental spiritual sudah siap, meskipun kata lingkungan terbilang telat. Saya pribadi tidak memandang dan merasa menikah saat usia 33 tahun telat. Saya menikah ketika banyak hal suka duka dalam kehidupan sudah terlewati, mengajarkan banyak hal, jadi saat memutuskan serta melihat sesuatu tidak grasa grusu lagi. Pun ketika saya dipertemukan dengan suami, saya memutuskan menikah dengannya setelah melalui pembicaraan dan diskusi yang panjang tentang beberapa hal. Diskusi ini benar-benar sangat terbuka tanpa ada satupun yang kami tutupi. Kami melakukan pembicaraan ini untuk memperkecil gesekan yang akan kami hadapi dalam kehidupan rumah tangga. Memperkecil ya, bukan meniadakan. Dua kepala yang berbeda tinggal dalam satu rumah dengan sebuah ikatan, mustahil kalau selalu adem ayem. Tapi dengan pembicaraan yang tuntas tentang beberapa hal yang kami anggap penting sebelum melanjutkan untuk memutuskan menikah, saya rasakan rumah tangga kami tak terlalu gonjang ganjing. Justru seringnya pertengkaran datang dari hal-hal yang sepele, misalkan saya lupa menutup kran setelah menyiram tanaman atau suami memakai sepatu naik ke lantai atas karena terburu-buru ingin mengambil suatu barang. Selebihnya, ya kami lewati 5 tahun pernikahan (dan semoga banyak tahun-tahun di depan) dengan baik-baik saja.

Beberapa hal di bawah ini yang kami bicarakan sebelum melanjutkan hubungan dan memutuskan untuk menikah. Hal-hal di bawah ini juga saya terapkan saat saya berhubungan dengan beberapa pria sebelum bertemu suami *bukan bermaksud sok laku ya haha. Tulisan ini sangat panjang, jadi siapkan waktu luang jika berniat membaca.

  • BAYANGAN AKAN RUMAH TANGGA

Bayangan akan rumah tangga ini maksudnya kami saling mengemukakan pendapat rumah tangga seperti apa yang ingin kami punya nantinya. Hubungan yang seperti apa, keluarga yang bagaimana ataupun bayangan hal-hal apa saja yang akan kami lakukan. Lebih khususnya kami dulu membicarakan tentang hak dan kewajiban. Misalkan salah satunya tentang mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Apakah harus istri semua yang mengerjakan atau ada pembagian atau fleksibel siapapun bisa mengerjakan apapun. Itu sangat penting dibicarakan diawal untuk menghindari kekesalan yang timbul nantinya setelah menikah.

Saya dibesarkan oleh orangtua yang selalu berbagi dan saling membantu pekerjaan rumah tangga. Bapak saya selalu penuh suka cita saat mencuci baju (Kami tidak pernah punya mesin cuci, jadi mencuci baju manual dengan tangan), memasak, mencuci piring, menyapu, bahkan mengepel (Bapak selalu mengepel dengan berjongkok, tidak pernah menggunakan alat) dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya. Apalagi saat Ibu melanjutkan kuliah, otomatis Bapak yang sering berperan dalam mengerjakan pekerjaan RT. Kami anak-anaknya pun sejak kecil sudah diajari untuk membantu tugas dalam rumah meskipun saat itu kami punya pembantu. Saya sudah diajari menanak nasi dengan cara aron dan memakai dandang saat kelas 4 SD. Dan sejak itu, salah satu tugas saya adalah menanak nasi.

Dengan latar belakang seperti itu, penting bagi saya mempunyai suami yang dengan kesadaran (tanpa disuruh-suruh apalagi menggerutu) untuk berbagi peran dalam rumah tangga, mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan fleksibel dalam tugasnya. Beberapa kali mengenal pria yang tidak mau mengerjakan pekerjaan rumah tangga karena menurut mereka hal itu adalah mutlak harus istri yang mengerjakan. Meskipun misalkan pria tersebut seganteng Nicholas Saputra, saya jadi tidak selera lagi melanjutkan hubungan.

Ada satu lagi yang saya biasanya langsung berpikir ulang untuk melanjutkan hubungan, jika bertemu dengan pria yang selalu membandingkan dengan Ibunya dan mengharapkan saya seperti Ibunya. Percayalah, saya tidak bisa berhubungan dengan lelaki seperti itu. Saya adalah saya, berdiri sendiri tidak mau dikasih tempelan ataupun dituntut seperti orang yang sangat dikaguminya. Jika hal ini tidak dibicarakan di awal, nantinya pasti akan jadi salah satu sumber pertengkaran hebat jika sudah menikah.

Begitulah beberapa contoh yang berhubungan dengan gambaran tentang rumah tangga. Oh ya, yang akan pindah ke LN (yang mempunyai 4 musim) mengikuti domisili pasangannya, cek dan ricek dulu secara akurat calon tempat tinggalnya bagaimana, cuaca, lingkungannya, budayanya dan sebagainya. Jangan hanya membayangkan luar negeri itu romantis seperti di film-film Hollywood. Misalkan : Siapkah mempelajari bahasa domisili pasangan dan memulai lagi kehidupan dari awal, meninggalkan apa yang sudah dirintis di tanah air? Sudah siapkah saat kangen makan tempe tapi harus membeli dengan perjuangan melewati tumpukan salju dengan jaket bertumpuk? Persiapkan untuk hal yang terburuk, jika ternyata tidak siap, pikirkan lagi sebelum memutuskan untuk melanjutkan menikah.

  • KEUANGAN

Bagi orang Indonesia pada umumnya, sangatlah tabu membicarakan tentang keuangan sebelum menikah. Buat saya pribadi, justru hal ini harus dibicarakan di awal. Saat suami mengutarakan maksudnya untuk menikah dengan saya, pertanyaan pertama yang saya lontarkan pada bagian keuangan adalah : Apakah kamu punya hutang? Jika memang ada, berapa jumlahnya, apa saja, dan dalam jangka waktu berapa tahun harus lunas? Pertanyaan yang sama dia lontarkan juga pada saya. Jadi sejak awal kami sudah buka-bukaan tentang kondisi keuangan masing-masing. Hutang, aset, gaji, pekerjaan, semuanya yang berhubungan dengan keuangan, kami buka di awal.

Hal ini juga berkaitan dengan expense dalam rumah tangga. Hal-hal apa saja yang harus saya bayar dan dia bayarkan. Tentang hal ini, saya juga melihat langsung dari orangtua. Kedua orangtua saya bekerja, jadi mereka berbagi dalam pembayaran pengeluaran rumah tangga. Jadi hal ini juga harus saya dan suami bicarakan di awal. Kalau misalkan saya belum bekerja bagaimana, dan jika sudah bekerja namun gaji saya lebih kecil atau lebih besar bagaimana pembagiannya. Hal ini kami cantumkan semua dalam perjanjian Pra Nikah (Saya tuliskan secara rinci dalam bahasan akhir). Saat saya bekerja selama dua tahun, kami berbagi prosentase pembayaran pengeluaran rumah tangga. Ini juga berlaku untuk pengeluaran selama liburan ya. Jadi semuanya kami tanggung berdua pengeluaran dalam rumah tangga, bukan hanya jadi tanggungjawab suami. Nah saat saya tidak bekerja, ada tak tik lainnya yang kami lakukan.

Untuk orang Indonesia yang biasa membantu keluarga dan menikah dengan WNA, saya sarankan untuk dibahas di awal juga tentang hal ini. Jangan menjadi batu sandungan di kemudian hari saat sudah menikah. Jangan curi-curi kesempatan juga untuk bisa mengirim keluarga. Lebih baik dikemukakan di awal, jadi kalau ada pihak yang merasa keberatan, bisa dicari jalan keluarnya. Untuk hal ini, saya tidak melakukan karena saya tidak pernah memberi uang kepada Ibu. Tapi saya mengamati dari beberapa kenalan dan teman yang sudah menikah lama dengan WNA.

DE_0445

  • ANAK

Pembahasan yang tidak kalah pentingnya adalah tentang anak. Pastikan dulu apakah calon yang akan menikah dengan kita mempunyai pandangan yang sama tentang memiliki atau tidak mau memiliki anak. Jika dari awal sudah terjadi perbedaan pendapat, lebih baik dipikirkan berulangkali untuk melanjutkan menikah. Misi tentang anak ini harus sama. Jangan mengentengkan : ah nanti siapa tahu berubah pikiran. Jangan seperti itu. Harus jelas di awal tentang hal ini.

Saya waktu itu masih belum yakin ingin memiliki anak, tapi ada keinginan mungkin 10%. Sedangkan suami, menikah dengan saya tidak dengan tujuan hanya untuk memiliki anak. Buat dia, punya anak ok, tidak pun tidak masalah. Saya utarakan hal tersebut kepada suami. Saya bilang : bagaimana kalau nanti kita tidak punya anak karena saya tidak mau, bagaimana kalau ternyata kami tidak bisa memiliki anak karena masalah kesehatan, kalau misalkan ingin memiliki, berapa anak, kalau misalkan tidak bisa punya anak karena kendala kesehatan apakah ada opsi untuk adopsi, dan sebagainya. Kami terbuka tentang hal ini sejak awal.

  • KESEHATAN

Berterus terang tentang kesehatan sama pentingnya buat kami berterus terang tentang kondisi keuangan. Jadi sejak awal kami sudah memberitahu apakah kami punya sakit serius atau tidak, sakit apa saja yang biasa kami derita, apakah dari keluarga ada keturunan sakit serius, dan sebagainya. Jadi, blak-blakan tentang kondisi kesehatan masing-masing sangat perlu buat kami.

  • AGAMA

Nah, pembicaraan tentang agama, buat kami sama pentingnya dengan pembicaraan tentang anak karena ada juga kaitannya. Hal ini juga harus disepakati di awal bagaimana kedepannya nanti. Jangan sampai satu pihak berharap lebih, lalu nanti merasa kecewa ketika setelah menikah kenyataan tidak sesuai yang diharapkan. Kalau berhubungan dengan anak, kami ada kesepakatan di awal. Kalau misalkan kami punya anak, akan dibesarkan dengan cara apa anak ini. Apakah dibesarkan sesuai ajaran agama, apakah dibesarkan sesuai ajaran kebaikan tanpa cenderung ke agama tertentu, ataukah anak nantinya akan dibebaskan mau memilih beragama atau memilih tidak beragama, dimasukkan ke sekolah umum atau sekolah agama, dan pembahasan lebih mendalam dan detail tentang agama. Semuanya sudah kami bahas diawal. Jadi selama  menikah, kami tidak pernah lagi membicarakan hal-hal yang berhubungan tentang agama karena semua sudah jelas di awal.

  • PERJANJIAN PRANIKAH

Ada anggapan bahwa perjanjian pranikah dibuat karena berjaga-jaga jika terjadi perceraian, jadi membuat perjanjian pranikah tidak disarankan karena belum apa-apa kok sudah memikirkan tentang cerai. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya salah meskipun juga tidak benar seutuhnya. Perjanjian pranikah, buat kami pribadi justru melindungi hak dan kewajiban kami sebagai pasangan juga hak dan kewajiban sebagai individu. Misalkan mencantumkan berapa persen pembayaran pengeluaran rumah tangga oleh masing-masing pihak (seperti yang sudah saya bahas sebelumnya). Selain itu, juga melindungi hak kami sebagai individu misalkan jika kami mempunyai properti yang kami beli sebelum menikah, maka hal tersebut tetap menjadi milik pribadi. Jika nanti terjadi perceraian, hak dan kewajiban juga tercantum dengan jelas di situ. Jadi buat kami, perjanjian pranikah sangat perlu, terlebih karena saya menikah dengan WNA.

Sepatu

Begitulah tulisan panjang tentang diskusi saya dengan suami akan beberapa hal penting. Nampak ruwet ya, sebelum menikah kok pembicaraannya berat sekali. Kami lebih memilih ruwet di awal dan mempunyai kata sepakat daripada tidak dibicarakan tapi nanti jadi ganjalan dan batu sandungan dalam pernikahan. Memperkecil gesekan, kami menyebutnya.

Semoga yang saya tuliskan ini bisa membuka wacana dan pandangan bahwa tidak ada hal-hal yang dirasa tabu dan perlu dibicarakan sebelum menikah. Jika memang hal tesebut penting, lebih baik bicarakan di awal. Lebih baik ruwet di awal daripada ruwet di pertengahan. Tentu saja poin-poin di atas subjektif dan sesuai kondisi kami. Masing-masing pasangan punya poin-poin penting lainnya yang mungkin berbeda untuk didiskusikan.

Menikah bukan hanya tentang hal-hal manis saja. Pahitnya pun tak kalah banyaknya. Menikah bukan hanya perkara cinta yang penuh bunga, tapi juga duri-duri harus dihadapi dan diselesaikan. Saya menuliskan tentang topik ini bukan dengan tujuan menggurui dan sok mengerti lika liku pernikahan. Saya ingin berbagi pemikiran dan pengalaman saja, meskipun pernikahan kami baru berjalan 5 tahun. Jika hal-hal yang dirasa mendasar sudah disampaikan dan didiskusikan di awal, semoga bisa memperkecil gesekan.

-26 Agustus 2019-

Berbeda Pilihan

Tegernsee

Beberapa minggu lalu saya bertemu seorang kenalan yang entah kapan terakhir kami berbincang secara langsung. Sayapun sudah tak mengikuti lagi kabarnya seperti apa. Setelah saling bertukar kabar, dia bertanya apakah saya pernah mudik. Saya jawab kalau mudik bukan prioritas, setidaknya dalam beberapa tahun ini. Lalu tanpa diminta, dia berbicara panjang lebar agak “menceramahi” kasihan Ibu saya kalau tidak pernah mudik, harusnya saya bisa menyisihkan uang untuk ditabung supaya bisa mudik, bahkan memberitahu bahwa jalan-jalan sekitar Eropa harusnya bukan jadi prioritas karena mudik lebih penting.

Bisa saja saya langsung nyolot karena segala yang dia “sarankan” tersebut tidak sesuai dengan kondisi saat ini dan karena saya punya alasan khusus kenapa mudik tidak menjadi prioritas. Bisa saja saya bilang bahwa kalau mau, tiap tahun saya mampu pulang ke Indonesia. Bisa saja saya memberi penjelasan -sejelas-jelasnya-. Tapi saya memilih tersenyum saja lalu permisi. Saya tidak berhutang penjelasan apapun atas pilihan-pilihan yang saya putuskan, termasuk padanya, yang ternyata setiap tahun pulang ke Indonesia. Saya tidak harus menjelaskan apapun karena toh yang ingin dia dengar hanyalah hal-hal yang sesuai pikirannya.

Seringnya ketika berbeda pilihan, orang langsung menganggap hal tersebut tidak baik, apalagi jika memakai standar pribadi. Kenalan saya tersebut memilih untuk setiap tahun pulang ke Indonesia, sedangkan saya tidak. Menurutnya, ketika saya memilih untuk memprioritaskan tidak pulang, itu adalah hal yang salah karena kasihan Ibu. Padahal kenyataannya tidak sesuai dengan asumsinya. Mustinya, jika tidak tahu alasan akan suatu keputusan atau perkara, tidak perlu memberikan pendapat lalu seolah-olah memberi masukan padahal sebenarnya justru menyalahkan. Hal ini juga saya amati saat berbeda tentang pilihan politik (apapun kondisinya). Hal-hal yang mendasar jadi terlupakan ketika pilihan politik kita berseberangan dengan orang lain, teman, kenalan, bahkan orang terdekat. Prinsip tak mengapa putus hubungan pun menjadi sebuah hal yang lumrah. Sangat disayangkan. Namun hal tersebut kembali lagi pada masing-masing individu. Tidak semua orang demikian, meskipun banyak yang memilih seperti itu.

Di era media sosial seperti sekarang ini, orang makin gampang menuding ini salah dan itu salah jika ada hal-hal yang tidak sesuai standar pribadi mereka. Banyak sekali keributan tentang berbeda pilihan ini, misalkan : memilih memberi ASI vs susu formula, operasi caesar vs melahirkan per vaginal, BLW vs menyuapi, memilih menikah vs melajang, memilih tidak olahraga vs rajin olahraga, bahkan sampai memilih punya anak vs memilih tidak punya anak. Semua hal ini jadi bahan keributan yang rak uwis uwis. Kalau mau dijabarkan secara panjang, contohnya akan banyak sekali. Banyak yang memilih untuk mengkritisi, tapi tidak sedikit juga yang memilih untuk menyinyiri *haduh bahasa opo iki. Beda ya antara nyinyir dan kritis. Saking bedanya terlalu tipis, banyak yang terjebak, maksudnya kritis malah jadinya nyinyir.

Saya menulis seperti ini kok kesannya suci banget, tidak pernah nyinyir dengan pilihan orang lain. Jangan salah, saya sering nyinyir, apalagi kalau melihat ada yang berbeda dengan standar hidup yang saya jalani. Saya masih suka nyinyir kalau melihat ada yang ngejembreng uang di media sosial (padahal kan uang dia, tidak berhutang pada saya), nyinyir kalau ada yang menampilkan perbincangan intim dengan pasangan di media sosial, bahkan nyinyir kalau ada yang terlalu memuja-muja anaknya setinggi langit (padahal ya anak dia sendiri, wajar kalau dipuji. Masa mau memuji anak tetangga). Kalau saya pikir lagi, ya kenapa saya musti terusik dengan pilihan orang lain yang berbuat demikian, toh tidak merugikan saya. Mungkin saja memang hal tersebut adalah cara mereka membagi kebahagiaan. Ataukah saya nyinyir karena sirik? atau karena merasa “lebih” dari mereka tapi tidak melakukan hal yang sama? ataukah saya nyinyir  karena beda standar? atau ya hanya ingin nyinyir saja? pasti jawabannya salah satu dari yang sudah saya tuliskan.

Masih menjadi PR besar buat saya untuk menjaga pikiran, tangan, dan mulut supaya tidak gampang menghakimi pilihan orang lain yang berbeda dengan apa yang saya putuskan. Beruntung beberapa bulan ini kesibukan saya mulai bertambah, jadi fokus teralihkan dari yang suka mengamati kemudian nyinyir, jadi berkurang banyak. Berkurang lho ya, bukan nihil. Mudah-mudahan kedepannya saya semakin bisa menahan diri dan berpikir panjang sebelum menghakimi pilihan orang lain. Hal ini termasuk pilihan seseorang (yang saya kagumi karena karyanya) tidak melakukan vaksin untuk anaknya. Bukan Andien, saya biasa-biasa aja dengan Beliau meskipun belajar banyak juga dari ilmu-ilmu yang dibagikan.

Kuncinya cuma satu sih sebenarnya, saling menghormati. Standar kebahagiaan masing-masing orang kan berbeda. Kalau yang satu memilih beda dengan apa yang sudah kita putuskan, lalu kenapa musti “terusik.” Toh tidak saling merugikan. Kalau sudah merasa bahagia dengan pilihannya, ya sudah nikmati saja. Tidak perlu mengutuk orang lain yang beda jalan hidupnya. Contohnya : Jika memilih untuk punya anak dan merasa bahagia dengan keputusan tersebut, ya jalani dengan sukacita. Tidak perlu memperolok mereka yang memutuskan untuk tidak punya anak. Tidak usah merasa tinggi hati serta jumawa karena merasa lebih bahagia dari yang memilih tidak punya anak. Sebaliknya pun, jika sudah nyaman dengan pilihan tidak ingin punya anak dan bahagia dengan jalan tersebut, silahkan jalani dengan gembira. Masing-masing pihak tidak perlu koar-koar dengan  pilihan yang sudah diputuskan dan dijalankan, apalagi saling memperolok. Selama ini saya selalu berpikir bahwa yang namanya bahagia, tidak perlu digembar gemborkan, orang pasti bisa merasakannya.

Saya suka dengan apa yang ditulis Beth di blognya, “People have different standard for happiness. Some are happy with children, some are happy without children.” Hal inipun berlaku untuk versus – versusan lainnya. Standar kebahagiaan masing-masing orang berbeda. Jalurnya sudah berbeda, kenapa musti saling memperolok? Bahagialah dengan apapun yang sudah dipilih, jalani dengan tenang tanpa harus saling cela.

Respect each other
Respect each other

Masing-masing orang mempunyai alasan sendiri kenapa memilih sesuatu. Mungkin saja karena sesuai kondisi dan situasi saat itu, mungkin saja memilih sesuai kesadaran, bahkan mungkin saja memilih karena tidak punya pilihan. Kita tidak pernah tahu perjuangan atau cerita apa yang membawa mereka pada pilihan tersebut. Kita tidak pernah tahu.

-Nootdorp, 28 Juli 2019-