Mumpung masih hangat, jadi mari dituliskan (sebelum terbit madingnya *kriikk). Jadi, saya sudah suntik booster. Ini benar – benar dadakan, tanpa persiapan, tanpa pemberitahuan beberapa hari sebelumnya. Pun, saya tidak mendaftar.
Jadi begini ceritanya.
Saya ini tidak terlalu menyimak tentang vaksin ketiga. Setiap sore beritanya ada di TV, tapi ya sekilas saja saya memperhatikan, karena di Belanda baru dimulai. Setahu saya, kira – kira Januari pertengahan baru giliran saya bisa dapat (berdasarkan tahun kelahiran, itupun kalau lancar). Dan yang kedua, kalau tidak suntik booster, QR Code vaksin pertama dan kedua tidak bisa dipakai lagi. Saya sejak awal memang sudah berencana akan suntik booster. Satu – satunya alasan adalah supaya QR Code masih tetap bisa dipakai demi untuk kedepannya bisa liburan tanpa terkendala masalah pervaksin-an. Bisa sih tanpa bukti vaksin ya tapi harus tes dulu sebelumnya, atau malah ada negara yang mewajibkan vaksin dulu sebelum masuk ke sana. Intinya, saya tidak mau dibuat pusing kedepannya tentang vaksin ini. Tujuan utama saya ya mudik. Jadi saya tidak terlalu berpikir tentang proteksi badan terhadap Corona setelah vaksin ketiga. Yang penting nanti pas mudik, tidak terhadang tentang bukti vaksin. Itu saja. Meskipun kata menteri kesehatan Belanda setelah vaksin ketiga akan ada vaksin – vaksin selanjutnya, ya sudah itu dipikirkan nanti saja. Sekarang ya sekarang.
Beberapa waktu lalu, sekitar jam makan malam, ada dua surat yang diantarkan langsung ke rumah. Suami yang mengambil dan membaca, bilang kalau itu surat undangan untuk vaksin ketiga (booster) corona yang dilakukan di klinik huisarts (dokter keluarga). Jadi itu surat undangan langsung dari klinik tersebut. Membaca surat cuma selembar tersebut, saya awalnya Suudzon (berburuk sangka) karena kok nampak tidak formal. Tidak ada cap atau tanda tangannya atau apa gitu yang meyakinkan. Tapi disitu disebutkan jenis Vaksin apa yang akan kami dapatkan.
Nah, di surat undangan, disebutkan kalau cara penjadwalan suntiknya berdasarkan huruf pertama nama terakhir. Kami berdua, dapat hari pertama. Jadi cuma dua hari saja jadwal suntik booster di klinik. Selama dua hari dipakai vaksin, klinik ditutup untuk pemeriksaan lainnya. Hanya untuk mengambil atau membeli obat di apotek dalam klinik masih bisa. Suami keesokan hari setelah saya vaksin, menelepon klinik ingin membuat janji diperiksa. Ditolak oleh mesin penjawab, disuruh telpon besok paginya lagi.
Ok, kembali lagi ke bahasan vaksin. Disebutkan juga, kalau tidak datang sesuai jadwal, tidak akan bisa suntik di klinik pada waktu lainnya. Artinya harus lewat jalur GGD (Municipal Health Service). Yang vaksin pertama dan kedua memang jalurnya lewat GGD (atau ada yang lewat huisarts ya, saya juga tidak terlalu paham). Makanya kami kaget tiba – tiba dapat undangan dari klinik untuk suntik di sana. Saya masih ragu apa mau di GGD atau di klinik. Kalau di GGD, kok lokasinya yang terdekat di Delft dan kemungkinan besar dapat Moderna (Mama mertua sudah suntik 2 minggu lalu di GGD dan dapat Moderna. Vaksin 1 dan 2 Beliau adalah Pfizer). Jadi, malam itu saya belum memutuskan besok paginya mau suntik apa tidak. Sementara suami sudah memutuskan, dia cukup dua kali vaksin saja. Dia tidak mau suntik apa – apa lagi yang berhubungan dengan vaksin. Sudah males nuruti pemerintah katanya. Wes mbuh karepmu.
Besok paginya, saya ke kota mengantar pesanan. Sempat lupa perkara vaksin. Setelah sampai rumah kembali dan setelah makan siang, saya mencoba untuk menelepon GGD, ingin menanyakan apa benar undangan yang dari klinik ini. Masih dalam rangka Suudzon, ini jebakan batman apa bukan. Lahir dan besar di negara yang banyak marabahaya, jadinya terbawa sampai di sini, apa – apa musti waspada. Dari pihak GGD Den Haag menjelaskan, kalau sudah dapat surat undangan dari klinik huisarts dan jika memang saya ingin vaksin, bisa langsung ke sana karena memang bisa dilakukan di klinik juga. Wah jadi lega mendapatkan pencerahan seperti itu. Lalu hilang Suudzonnya.
Oh ya, syarat untuk bisa suntik booster di klinik tersebut berdasarkan surat undangan adalah usia 18+, vaksin yang kedua minimal 3 bulan lalu, dan dalam 2 bulan terakhir tidak positif Corona. Itu syarat utamanya. Ada juga syarat – syarat lainnya yang berhubungan dengan kondisi kesehatan. Saya lalu berangkat ke klinik sepedahan hanya 5 menit saja. Surat harus dibawa karena tidak bisa suntik tanpa membawa surat. Sesampainya di sana, saya lihat antrian di luar tidak terlalu panjang.
Saya menuju barisan, antri, lalu antrian mulai maju perlahan. Setelahnya macet sampai 45 menit. benar – benar tidak maju sama sekali. Suhu -2 derajat celcius plus agak berangin. Dinginnya menampar -nampar pipi. Pas saya lihat ke belakang, antrian sudah mengular kira – kira 40-50 meter. Orang – orang yang antri sudah kasak kusuk, tapi jelas saya tidak paham karena suaranya tidak terlalu keras. Tiba – tiba ada mobil berhenti, turun seorang perempuan membawa beberapa box warna putih. Ohhh ternyata antrian stuck karena stok vaksin di klinik habis. Pantes.
Antrian mulai maju cepat, lalu masuk pendataan, mengecek surat dan ID dan penulisan bukti di kertas. Setelahnya diarahkan masuk ruangan mana. Kalau di GGD dulu, Saat vaksin harus duduk. Sementara booster ini, nyuntiknya sambil berdiri. Cepet sekali prosesnya. Di surat undangan dibilang, kalau mau menunggu 15 menit setelah suntik, bisa saja tapi menunggunya tidak di dalam gedung melainkan di parkiran (kliniknya sungguh mungil, jadi ga cukup tempat menunggu). Juga dibilang kalau vaksin 1 & 2 tidak ada keluhan yang berat atau efek yang parah ke badan, kemungkinan besar vaksin ketiga juga akan biasa saja. Karena Vaksin pertama (Pfizer) dan Vaksin kedua (Pfizer) saya tidak ada keluhan apapun setelahnya (hanya jadwal mens yang berantakan 3 bulan pertama, setelahnya kembali normal), jadi saya memutuskan langsung pulang.
SETELAH VAKSIN
Beberapa jam setelah vaksin, keadaan masih aman terkendali. Saya tidak merasa ada yang berbeda dengan badan. Lengan pun tidak sakit. Tidak mengantuk parah. Tidak gampang lapar. Sampai malam menjelang tidur pun masih ok. Keesokan harinya, juga baik – baik saja. Tidak merasa sakit apapun. Lalu saya beraktifitas seperti biasa, bahkan saya tetap ber Chloe Ting 30 menit. Semua lancar – lancar. Setelah lewat 24 jam setelah vaksin, badan tidak ada rasa sakit sedikitpun, lengan tidak, semua baik dan aman terkendali. Jadi saya simpulkan, efek vaksin ketiga (Pfizer – booster) di badan saya tidak ada efek sakitnya. Entah nanti apakah jadwal mens akan terganggu lagi apa tidak. Mudah – mudahan tidak. Mama mertua yang mendapatkan Moderna divaksin ketiga ini (setelah yang pertama dan kedua adalah Pfizer), juga tidak ada keluhan apapun setelahnya. Sama seperti sebelumnya.
Begitulah cerita saya vaksin ketiga (booster) lewat jalur undangan dari klinik dokter keluarga. Kalau lewat jalur GGD, saat ini masih untuk mereka yang kelahiran tahun 1965 dan sebelumnya. Jadi, saya lumayan beruntung dapat jalur express. Tidak semua klinik huisarts di Belanda bisa sebagai tempat suntik vaksin ketiga ini. Entah kriteria kliniknya seperti apa. Dalam waktu dua minggu setelah vaksin, buktinya otomatis sudah ada di QR Code.
Pertengahan tahun 2020, saat mulai tertarik menekuni dunia bikin kue dan roti, saya mencari informasi sekolah baking yang ada di Belanda. Saat itu, setelah berdiskusi dengan suami, saya ingin lebih serius terjun di bidang ini. Alih – alih ingin meneruskan ke S3 di Institut teknik (yang sudah saya rencanakan sejak dulu kala tapi nyatanya maju mundur ga jelas dengan berbagai alasan dan kesibukan), saya berpikir lebih baik saya jadikan serius saja dunia oven mengoven ini. Setelah mencari dan mengumpulkan informasi, dari berbagai macam sekolah baking, pilihan saya jatuh pada satu institut. Ga jadi ke Institut teknik, beloknya ke institut bakery haha. Saya diskusikan secara mendalam dengan suami, dia sangat mendukung rencana saya kembali sekolah meskipun bidangnya sangat berbeda dengan latar belakang pendidikan juga pengalaman kerja. Dia bilang : tekuni kalau memang ini yang kamu yakini, inginkan dan bisa membuat kamu berkembang secara ilmu dan pengalaman. Tekuni kalau memang ini bidang kerja yang kamu ingin jalani dan juga kamu senang mengerjakannya. Dapat dukungan gini, saya tentu saja jadi ringan melangkah.
Institut ini punya program khusus berdiploma yaitu kelas 9 minggu untuk Pattiserie dan 9 minggu Boulangerie. Waktu itu, saya memutuskan untuk ikut gabungan keduanya. Jadi minimal 20 minggu, setiap hari masuk dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore. Saya dan suami juga mulai cari cara bagaimana supaya berjalan seimbang antara yang di rumah dan saat saya sekolah. Ada beberapa hal yang menyulitkan sebenarnya, tapi kami mencoba jalan tengahnya. Ini program yang sangat intensif dan musti punya komitmen tinggi. Tidak bisa berhenti di tengah karena biayanya sangat mahal. Pun ujian akhirnya juga belum tentu lulus. Tergantung kemampuan peserta selama mengikuti sekolah.
Singkat cerita, setelah berpikir lama mempertimbangkan segala hal dan mencoba mencari celah kesulitan yang kami hadapi kalau saya kembali sekolah secara intensif, akhirnya diputuskan saya akan mendaftar 1 jurusan dulu yaitu Boulangerie. Saya mendaftar sekitar Maret 2021, lalu dipanggil interview sekitar bulan Mei. Saat interview, semua bisa saya jawab dengan baik, dengan bahasa Belanda tentunya. Saat interview itulah saya mendapatkan gambaran kira – kira bagaimana nanti suasana selama 10 minggu sekolah. Akhirnya keesokan harinya, saya mendapatkan kabar kalau saya lulus interview dan bisa meneruskan proses pendaftaran yang berikutnya.
Lalu saya mulai gamang. Saya mulai mempertanyakan diri sendiri, apa iya saya sanggup meninggalkan rumah seharian, 5 hari dalam seminggu, selama minimal 10 minggu (karena akan ada masa magang juga). Apa iya saya akan kuat secara mental meninggalkan yang ada di rumah. Pertanyaan – pertanyaan itu mulai saya pikirkan secara serius. Kalau menuruti ambisi, saya bisa saja berkeras hati tetap berjalan sesuai rencana. Tapi saya kembali berpikir, sebenarnya prioritas saya sekarang apa.
Singkat cerita, saya akhirnya memutuskan mengundurkan diri, tidak melanjutkan untuk ikut kelas pendidikan 9 minggu Boulangerie. Tapi hasrat saya untuk masuk kelas tetap membara. Akhirnya saya memutuskan untuk mengambil kelas kursus pengenalan pembuatan roti. Sebenarnya kursus yang saya incar adalah kelas Croissant. Namun kelas ini mensyaratkan untuk ambil kursus dasar dulu. Meskipun secara praktek saya sudah bisa membuat roti bahkan menjualnya (bisa ditengok akun jualan dan prakarya baked goods IG : @SophieBreadnSweets) khusus sourdough bread, tapi secara teori saya butuh banyak belajar. Akhirnya saya mendaftar kursus di Institut ini dengan dosen yang sama mengajar di kelas pendidikan 9 minggu. Saya pikir, dengan jalan tengah seperti ini, semua hal bisa terakomodasi. Saya bisa tetap belajar di kelas yang berhubungan dengan baking, pun yang di rumah tidak keteteran saya tinggal karena waktunya tidak terlalu intensif. Toh dosennya sama dengan kelas pendidikan dan diakhir kursus saya mendapatkan sertifikat. Win Win Solution.
Awal November, saya masuk kursus kelas dasar pembuatan roti. Kursus ini berlangsung 2 hari, yang tempatnya lumayan jauh dari tempat tinggal saya. Sekitar 4 jam perjalanan menggunakan kereta total pergi dan pulang. Waktu kursus, hari minggu dan senin dari jam 8 pagi sampai 4 sore . Peserta total 8 orang. Setelah perkenalan, diantara 8 orang ini, hanya 2 orang yang punya usaha baked goods. Saya dan satu orang dari Zeeland. Selebihnya, mereka baru mengenal dasar – dasar roti ya dari kursus ini.
Selama 2 hari kursus, banyak teori baru yang saya dapatkan berkaitan dengan cara membuat formula resep roti, proses kimianya, bahkan praktek cara melipat dan membentuknya pun saya mendapatkan insight baru. Wah antusias sekali saya selama 2 hari ini. Beberapa kali dipuji peserta kursus lainnya katanya cara saya membuat roti pakai tangan sudah terlihat professional. Lalu dosennya menjawab : ya dia jualan roti, kalau sampai tidak bagus kan bawa reputasi usahanya. Bwuahaha Pak Dosen, beraatt Pak! Namanya belajar otodidak dan belajar di kelas pasti banyak bedanya. Intinya, yang namanya belajar, pasti akan banyak hal baru yang didapat.
Setiap hari selama 2 hari ini, para peserta membawa pulang hasil karya membuat roti. Dalam 1 hari, kami membuat 4 macam roti, dan per satu varian, kami membuat 3. Jadi jumlah roti yang kami bawa sebanyak 12 haha mabok roti dalam dua hari. 12 roti itu dalam satu hari saja ya. Besoknya membawa jumlah yag sama dengan varian yang berbeda. Karena kami sekeluarga akan pergi liburan, jadi roti yang saya bawa pulang, saya bagikan ke tetangga – tetangga. Dan dihari kedua, rotinya saya bagikan ke peserta kursus lainnya.
Yang membuat saya bangga dengan diri sendiri adalah, selama kursus dua hari ini saya paham apa yang dijelaskan dosen dalam bahasa Belanda. Bahkan saya ikut bertanya dan menjawab beberapa pertanyaan dari dosen dan peserta kursus lainnya. Dosen hari kedua, sudahlah ngomong Belandanya cepet, aksennya perancis. Duh puyeng. Saya sampai musti benar – benar konsentrasi penuh dengan apa yang dijelaskan. Jangan sampai meleng sedikit. Dan selama kursus 2 hari ini saya bersyukur memutuskan tidak jadi meneruskan mendaftar ke pendidikan 9 minggu. Lha dua hari saja terasa sekali capeknya. Berangkat sebelum jam 6 pagi, sampai rumah paling cepet jam 6 malam. Selama di kelas, tidak duduk sama sekali. Beda dengan kelas Patisserie di sebelah yang disediakan tempat duduk. Jadi selama 8 jam, duduk cuma 1/2 jam waktu makan siang dan waktu di toilet. Selebihnya berdiri. Tidak duduk karena memang sistem kerjanya berdiri wira wiri ngurusin resep, mencatat di papan, ngecek oven, sampai membuat adonan pakai tangan dan diajari pakai mesin.
Akhir dari kursus, peserta mendapatkan sertifikat dan berfoto bersama. Pengalaman dan banyak ilmu yang saya dapatkan selama 2 hari kursus di Bakery Insitute. Juga mengenal peserta kursus dari bidang pekerjaan yang lain. Mereka baik sekali, kalau saya tidak paham, dijelaskan secara sabar pelan – pelan. Yang sekelas, cuma saya yang pendatang. Bahasa Belanda pun pas – pasan mentok yang lumayan bisa paham penjelasan dosen. Waktu sesi perkenalan, masing – masing menyebutkan umur dan bidang kerja saat ini. Karena saya mendapatkan urutan awal, saya PD sekali kalau saya akan masuk umur yang lumayan masih muda. Lha ternyata saat semua sudah memperkenalkan diri, ternyata saya masuk 3 besar paling atas umur yang tua hahaha. Terlalu PD dengan wajah sendiri.
Me time yang saya sukai ya salah satunya seperti ini. Belajar hal baru yang mudah – mudahan jadi jalan karier saya dimasa depan, yang dengan perasaan senang jadi pekerjaan yang saya serius geluti. Untuk tahun depan, saya sudah mendaftar 2 kursus, satu di Pattiserie dan satu Boulangerie di tempat yang sama. Tidak sabar ingin belajar di kelas lagi, menambah banyak ilmu baru lagi, dan bertemu dosen juga peserta kursus yang baru. Jadi, sampai dicerita kursus baking selanjutnya.
Pakjesavond atau malam saat Sinterklaas bagi – bagi kado, tahun ini lumayan meriah karena kami mendapatkan sumbangan kado yang banyak. Tahun kemaren penyumbangnya juga sama, tapi tahun ini jumlahnya lebih banyak. Selain itu, yang membuat meriah karena yang diberi kado lebih paham apa Pakjesavond itu.
Tahun ini kami mulai belanja kado sejak pertengahan oktober karena minggu kedua November kami pergi liburan selama 2 minggu. Pun karena minggu – minggu sebelumnya ada beberapa acara termasuk saya yang masuk kelas baking. Takutnya kalau tidak dicicil, tidak akan sempat dan terlalu pendek waktunya. Juga saat November, ada beberapa anak teman yang ulangtahun, jadi sekalian belanja untuk kado ulangtahun. Walhasil awal November semua kebutuhan kado ulangtahun dan untuk Pakjesavond sudah selesai. Kami pergi liburan dengan perasaan tenang.
Menjelang tanggal 5 Desember, sumbangan kado dari tetangga dan Oma datang. Makin banyak kado yang kami terima. Karena menurut kami terlalu banyak jika diberikan saat Pakjesavond, jadinya dibagi 2. Nanti akan dibagikan saat Natal juga. Jadi terasa hawa Natalnya dengan bagi – bagi kado.
Cerita selingan, tentang pohon Natal. Kalau tahun – tahun sebelumnya termasuk tahun lalu akhir November sudah terpasang Pohon Natal, tahun ini kami baru sempat menyelesaikan tepat tanggal 1 Desember. Sebenarnya ini juga hitungannya terlalu awal karena tradisi di Belanda, Pohon Natal baru didirikan setelah Sinterklaas meninggalkan Belanda yaitu tanggal 6 Desember. Di komplek rumah kami, sepertinya hanya saya dan rumah Oma dekat sini yang sudah ada pohon Natal sebelum Sinterklaas.
Selama 6 tahun berturut, kami selalu menggunakan pohon Natal yang sama dari bahan plastik. Tahun ini kami memutuskan memasang pohon Natal asli dari pohon. Jadi kami membeli pohonnya di dekat rumah tanggal 30 November dan langsung dihias. Lumayan juga wangi pinus, segar. Meskipun tidak semerbak seperti yang saya bayangkan. Mungkin aroma pinusnya ketutup dengan aroma sate ayam haha.
Hiasan yang kami pakai tetap sama hanya ada tambahan sedikit. Semua ikut menghias makanya agak amburadul konsepnya. Saya juga tidak terlalu banyak ikut campur cuma membetulkan sedikit kalau ada yang jatuh. Yang penting semua senang dan ruang tamu jadi lebih meriah lampu kelap kelip di tengah cuaca yang abu – abu setiap hari dan dingin tidak karuan.
Rangkaian acara Sintreklaas juga dimeriahkan di sekolah – sekolah dan pusat perbelanjaan. Pesta di sekolah selain bagi – bagi kado, juga mendatangkan Sinterklaas dan Zwarte Piet yang jam 8 pagi sudah heboh nari – nari di atas genteng sekolah sambil pasang musik kenceng lagu Sinterklaas. Saya sampai ngikik membayangkan jangan sampai nyangsang aja di cerobong asap. Tapi seru sih, saya saja menikmatinya. Apalagi para bocah – bocah sekolah ya. Di beberapa supermarket menyediakan rak yang bisa ditaruh sepatu lalu bisa diambil lagi sebelum tanggal 5 Desember. Di dalam sepatu sudah ada coklat atau kruidnoten (biskuit kecil – kecil rasa kayu manis). Saya juga mengirimkan kado ke beberapa anak teman, menyemarakkan suasana Pakjesavond di rumah mereka.
Saat Pakjesavond, sama seperti tahun sebelumnya. Suami pura – pura menggedor pintu trus teriak – teriak ada siapa di depan pintu. Saya sampai ngakak saking ga tahan sama sandiwaranya. Sukses sih, dipikir beneran Sinterklaas yang mengantar kado – kado yang ditaruh dalam kantung depan rumah.
Lalu kami bareng – bareng membuka kadonya. Semua senang, semua riang. Kenangan seperti ini bukan hanya anak – anak se Belanda saja yang menikmati keseruannya, juga orang dewasanya. Seru dan penuh suka cita.
Sekarang saatnya mulai mencicil menulis kartu Natal dan mulai mengirimkan ke wilayah Belanda. Yang wilayah Internasional sudah saya kirimkan sejak minggu ketiga dan keempat November. Mudah – mudahkan sampai tepat waktu paling tidak sebelum tahun baru. Saya juga mulai memikirkan menu malam Natal nanti, meskipun tidak mengundang siapapun terkait peraturan hanya 4 tamu dewasa dalam satu hari (kalau peraturannya tetap sama sampai akhir Desember). Tahun ini sepi lagi Natalnya, tidak ada kumpul keluarga besar. Semoga tetap penuh suka cita. Dipatuhi saja, namanya juga peraturan kan.
Beberapa hari ini perasaan saya gundah tidak menentu. Rasanya resah dan tidak tenang. Hal ini terkait dengan rencana kami yang akan mudik ke Indonesia tahun depan. Awalnya, kami optimis akan mudik karena peraturan karantina masih bisa kami penuhi dan persyaratan visa untuk suami, terpaksa kami ikuti alurnya. Itu saat kondisi masih dalam jangkauan aman – aman saja ditengah situasi yang belum sepenuhnya aman. Sampai minggu lalu yang peraturan cepat sekali berubah. Bahkan hanya dalam hitungan hari. Kemaren ada berita erupsi di Lumajang, Jawa Timur. Lumajang ini dekat dengan kota tempat Ibu dan adik – adik saya tinggal. Hati saya makin sedih karena makin sadar bahwa jarak yang terbentang antara Belanda dan Jawa Timur itu sangat jauh. Artinya, saya memang harus mengikhlaskan kalau ada segala hal terburuk terjadi dengan keluarga, saya tidak bisa segera ke sana. Sebenarnya saat pindah ke Belanda pun saya sudah tau konsekuensi tersebut. Hanya saat ini, makin nyesek di hati. Keluarga saya baik – baik saja, tidak terdampak erupsi kemaren.
Sebelum kami liburan ke Andalusia (cerita tentang ini, menyusul), suami sudah bertanya dan “mendesak” saya untuk menjadikan saja mudik tahun depan saat lebaran. Toh “hanya” karantina 5 hari (saat itu) dan syarat visa (atau KITAS) pun masih bisa diusahakan. Saya sebenarnya berat hati karena masih tidak rela men”sedekah” kan uang untuk karantina hotel 5 hari. Lalu suami bilang : yang penting bisa ketemu keluarga, kamu kan sejak pindah sini belum mudik sama sekali. Uang bisa dicari lagi, ga usah mikir terlalu panjang. Apalagi Ibuk beberapa kali bilang kangen ingin ketemu kita semua. Saya tertegun saat dia bilang begitu. Lalu saya berpikir, iya juga. Apalagi selama ini memang saya ingin sekali mudik saat lebaran. Saya berlebaran terakhir dengan keluarga di Indonesia, tahun 2014. Jadi saya memang benar – benar rindu merasakan lagi suasana lebaran berkumpul dengan keluarga besar di sana. Juga saya ingin memperkenalkan keluarga saya di sini, lebaran itu seperti apa dan bagaimana. Biar mereka tahu dan ada kenangannya. Ada alasan lain juga kenapa lebaran tahun depan satu – satunya kesempatan saya bisa mudik, tapi tidak bisa saya tuliskan di sini alasannya apa. Lalu aturan karantina dipersempit lagi jadi 3 hari. Saya semakin optimis. Saya sampai bilang ke Ibuk : Insya Allah mudik jadi Bu tahun depan pas lebaran. Saya akan urus semuanya setelah pulang liburan.
Akhirnya saya sanggupi saran suami : Ok, setelah pulang liburan dari Andalusia, kita akan urus semuanya. Kita mulai dengan reschedule tiket Garuda (yang memang sudah kami beli sejak sebelum pandemi masuk Belanda, awal 2020), lalu urus – urus semuanya. Kami sudah menetapkan tanggal kapan berangkat, sudah memilih jam berapa akan berangkat, dan tanggal berapa akan pulang ke Indonesia. Lalu kami pergi liburan lah selama 2 minggu. Selama di Andalusia pun saya masih sempatkan cari informasi apa saja rentetan persyaratan yang harus kami penuhi sebelum dan sesampainya di sana.
Sesampainya di Belanda kembali, kami teler beberapa hari, kecapean. Jadi baru ada tenaga untuk mikir mudik ya minggu lalu. Lalu terdengar kabar, karantina yang awalnya 3 hari, karena ada varian baru yang sudah masuk ke beberapa negara (termasuk Belanda), diperpanjang jadi 7 hari. Mencegah masuk ke Indonesia tentu saja. Saya masih punya harapan : ok, tidak apa – apa masih 7 hari. Begitu saya membesarkan hati. Suamipun ikut membesarkan hati (nya sendiri lol), 7 hari masih ok katanya. Lalu beberapa hari kemudian, sebelum subuh saya dapat kabar kalau karantina jadi 10 hari. Saya langsung sedih. Gila, 10 hari ngapain di dalam kamar ga bisa ke mana – mana. Untuk pembayaran hotel, meskipun dengan berat hati bisa kami sanggupi dan untuk waktu pun kami bisa (karena rencana liburan di Indonesia selama 6 minggu), tapi membayangkan 10 hari di dalam kamar itu ngapain saja. Sehobi – hobinya saya rebahan, tapi kalau 10 hari dalam ruangan sekeluarga, kan ya jadi gila rasanya kalau dibayangkan. Tidak bisa ke luar kamar sama sekali kan. Bisa saling bunuh kami di dalam ruangan.
Sampai kami membuat beberapa skenario yang pada akhirnya semuanya sulit diwujudkan (skenario ini dengan aturan karantina 10 hari) :
Saya pulang sendiri ke Indonesia. Ini jelas tidak bisa saya lakukan. Keberadaan saya masih dibutuhkan secara fisik di Belanda dan juga saya tidak akan tenang meninggalkan keluarga saya di rumah dalam waktu yang tidak sebentar. Bukan saya tidak percaya dengan suami atau dia tidak bisa diandalkan, tapi memang saya masih harus hadir dalam keseharian. Tidak bisa tidak. Suami jelas bisa diandalkan, tapi untuk hal – hal tertentu, untuk saat ini, saya yang harus ada.
Saya pulang membawa satu anak kami. Ini juga sulit diwujudkan karena dia sudah tak terpisahkan dengan saudaranya. Sehari ga ketemu saja sudah saling mencari nangis ga karuan. Memisahkan mereka, sama saja membuat mereka sakit yang nantinya kami juga yang kerepotan
Kami mudik sekeluarga. Ini kemungkinannya juga kecil walaupun kalau bisa diusahakan kalau kepepet, karena anak – anak tidak pernah tidak ke luar rumah satu haripun kecuali sedang badai. Mereka setiap hari selalu beraktifitas di luar rumah, bermain di udara terbuka meskipun cuma 2-3 jam (di luar jam sekolah). Jadi membayangkan dikurung dalam ruangan selama 10 hari walaupun disediakan mainan dan bahan hiburan yang cukup, rasanya tidak bagus buat perkembangan mental mereka. Mereka ini sedang di usia yang aktif – aktifnya bergerak (kalau saya kan sudah masuk usia sedang aktif – aktifnya ingin rebahan tapi inginnya tetap bergelimang uang *yang mana ya jelas ndabrus.). Suami saya saja tidak bisa membayangkan apa dia sanggup selama 10 hari tidak beraktifitas di luar ruangan sama sekali.
Saya sudah mencari informasi tempat karantina berupa apartemen, sudah dapat tapi dia hanya ada 1 kamar tidur. Bentuk apartemen ini rasanya lebih manusiawi buat kami karena ada sekat – sekat dengan ruangan yang lain. Punya dapur juga, dan jelas ada ruang tamunya. Juga ada balkonnya, jadi bisa cari udara segar di balkon. Tapi kalau cuma 1 kamar tidur, ya tetap sulit. Bisa dipaksakan kalau kepepet. Tapi males juga kalau dipepet – pepet tidur karena memang tidak pernah selama ini. Sudahlah tidak bisa ke mana – mana 10 hari, masa tidur juga musti merana.
Saya pulang membawa anak – anak sendiri tanpa suami. Lah ini sama juga dengan skenario sebelumnya tapi dengan kondisi yang lebih merepotkan karena saya harus mengurus semuanya sendiri. Encok buukkk kalau ga ada suami siaga di samping saya. Hari pertama mungkin sudah dadah – dadah ke kamera.
Skenario terakhir, terpikir untuk mendatangkan kembali Ibuk ke Belanda. Tapi rencana ini langsung gugur mengingat Ibuk sudah sepuh dan perjalanan panjang ke sini terlalu melelahkan untuk usia Beliau. Saya juga tidak tega membayangkan prosedur yang harus dijalani Ibuk nanti jika kembali ke Indonesia harus menunggu berjam – jam sebelum bisa ke hotel karantina.
Baru itu saja skenario yang terpikirkan karena belum ada pembicaraan lebih lanjut dengan suami (juga sahabat – sahabat saya). Suami dan sahabat – sahabat saya juga lelah hati memikirkan skenario apa lagi. Hal yang paling mungkin kami lakukan ya tetap mudik. Saya menuliskan semuanya di blog ini untuk menguraikan keruwetan yang ada di otak dan keresahan yang ada di hati perkara rencana mudik dan peraturan yang berubah dan juga varian baru yang mak bedundug muncul lagi. Supaya saya berasa lebih lega sedikit. Tidak usah banyak, sedikit saja bisa membuat saya lebih legowo menjalani esok hari. Seminggu ini saya mengerjakan sesuatunya seperti ngawang tidak menginjak tanah. Bahkan mengerjakan pesanan juga dengan perasaan yang tidak tenang. Untungnya ya saya bisa menyelesaikan pesanan minggu lalu dengan baik. Minggu depan dan depannya lagi juga masih banyak pesanan. Alhamdulillah bulan Desember ini saya banyak pesanan.
Sepupu saya di Jakarta mengingatkan : kalau mau mudik menjelang momen besar misalkan akhir tahun atau lebaran, pasti aturan akan diperketat. Polanya selama ini seperti itu. Sahabat – sahabat saya di sana pun berpendapat yang sama. Kenapa saya “ngotot” ingin mudik tahun depan. Selain alasan yang sudah saya sebutkan di atas, juga karena ada beberapa hal yang harus saya urus di sana. Saya harus hadir sendiri secara fisik, tidak bisa diwakilkan. Juga alasan ada perasaan khusus kalau saya memang harus mudik tahun depan. Seperti perasaan yang sangat kuat, tidak bisa ditunda lagi, memang harus mudik.
Selain itu, alasan utama ya karena saya sudah rindu sekali ingin bertemu dengan Ibuk, adik – adik saya dan keluarga besar di sana. Tidak ada yang saya rindukan lainnya selain keluarga dan para sahabat. Saya memang dekat dengan keluarga di Indonesia apapun dinamika yang terjadi selama ini. Mereka tetap dan akan selalu jadi alasan utama saya untuk liburan lama di Indonesia. Bahkan waktu 3 bulan saja buat saya masih kurang, apalagi 6 minggu, rasanya tidak cukup untuk melepas kangen dan saling bercerita. Makanan tentu saja rindu tapi masih bisa ditunda. Januari tahun depan, tepat 7 tahun saya tidak bertemu dengan mereka (kecuali adik dan Ibu saya yang pernah ke Belanda tahun 2017. Sedangkan adik saya yang satunya, terakhir bertemu tahun 2014). Rasanya sesak sekali setiap memikirkan betapa sulitnya mudik di situasi saat ini. Saya tahu, akan ada banyak (dan sudah banyak) yang menyarankan : ditunda saja sampai keadaan lebih aman dan memungkinkan. Jika saya pernah mudik ke Indonesia selama 7 tahun sejak pindah ke sini, saran tersebut akan bisa saya dengarkan dengan perasaan lebih nerimo. Tapi karena saya belum pernah mudik sama sekali, jadi susah buat saya untuk menunda sampai keadaan aman. Parameter aman yang bagaimana, sampai kapan benar – benar aman, apakah memang akan bisa benar – benar aman? Saya sedang menata hati mencoba berdamai dengan keadaan ini.
Saat mengabarkan pada Ibuk kalau karantina saat ini jadi 10 hari, hati ini rasanya retak. Sedih sekali. Membayangkan Ibuk dengan susah payah mencoba mengerti situasi yang memang sulit saat ini. Saya tahu, Ibu memang tidak akan pernah menampakkan kekecewaannya. Bisa merasakan bagaimana Ibuk bersusah payah menyiapkan mental jika kami mungkin akan batal mudik lagi. Membayangkan begitu saja, saya sudah tak sanggup untuk tidak keluar air mata. Meskipun Ibuk selalu menjawab : tidak apa -apa Den, yang penting semua sehat. Tapi saya tahu dengan pasti, sebenarnya Beliau menata perih hatinya supaya tidak nampak oleh saya.
Sekarang yang bisa saya harapkan dan doakan ya keadaan lebih baik kedepannya dan peraturan karantina lebih diperpendek dan dalam waktu dekat tidak muncul lagi varian baru. Suami meyakinkan sambil memeluk saya untuk menenangkan : apapun yang terjadi, selama kita bisa mudik, lebaran tahun depan kita akan mudik sekeluargake Indonesia.
Saya ingin mudik. Saya ingin bertemu Ibuk, adik – adik dan keluarga besar di sana. Ingin mempertemukan keluarga saya dengan mereka semua. Ingin ziarah ke makam Bapak yang terakhir saya kunjungi akhir tahun 2014. Itu saja, tidak muluk – muluk.
-5 Desember 2021-
Saat ini sebenarnya ada perayaan yang menggembirakan di rumah karena sedang Pakjesavond (Sinterklaas bagi – bagi kado), tapi hati saya tetap digelayuti rasa sedih. Jadi mencoba professional nampak baik – baik saja, padahal tidak. Hanya suami yang tahu, dan dia bertanya ada apa. Ya sebenarnya dia tahu kenapa saya begini. Dia hanya memastikan saja.
Dunia blog sekarang sudah berbeda dengan jaman saya masih ngeblog di Multiply, Blogspot, Friendster, Tumblr. Apalagi MP, setiap masuk kerja, pertama yang dibuka ya multiply. Membaca ada postingan apa hari itu karena yang saya ikuti postingannya pasti bagus – bagus. Ya seputaran dunia percintaan, puisi, cerpen. Masa itu, saya memang lebih produktif menulis cerpen dan puisi dibandingkan cerita ringan sehari – hari. Total perjalanan saya ngeblog ya 15 tahun an dari awal sampai sekarang.
Mulai ngeblog di WP tahun 2014 karena awalnya memang saya dan suami yang akan menulis bersama di blog ini. Karena itu nama blog ini Deny and Ewald. Seiring berjalan waktu, saya yang lebih banyak menulis di sini sedang suami fokus pada blognya sendiri. Meskipun alamat blog ini masih nunut blog dia dan dia juga yang bayar iurannya. Blog ini juga sarana saya belajar menuliskan cerita yang santai, kehidupan sehari – hari, cerita liburan, beberapa informasi yang mudah – mudahan berguna bagi yang baca, sarana mendokumentasikan apapun bahkan juga tulisan rasan – rasan. Ya lumayan lengkap luas lah cakupan blog ini. Mau yang positif ada, yang negatif juga ada. Balance. Blog suka – sukalah isinya.
Tahun 2014, masih banyak yang rajin ngeblog. Yang saya ikuti, hampir ada saja tulisannya tiap minggu. Semakin bertambah tahun, makin berkurang yang aktif. Tiga tahun terakhir makin terasa sepinya. Syukurlah yang saya kenal lumayan baik dari tulisannya, mereka masih tetap menulis. Yang penting tetap menulis jadi saya tahu dan tetap bisa baca apa kabar terbaru dari mereka. Beberapa ada yang saya ikuti ceritanya di media sosial dan yang lainnya tidak. Jadi, ya andalan saya tetap blog.
Meskipun saya tidak selalu berkomentar di setiap tulisan, tapi saya usahakan untuk tetap baca. Selalu ada hal menarik di setiap tulisan. Beda dengan media sosial, blog itu “arwah” nya berbeda. Lebih terasa ke hati jika membaca tulisan yang lengkap, menceritakan hal yang baru, atau apapun itu.
Jaman memang sudah berubah. Banyak yang memindahkan tulisannya ke media sosial sehingga tidak aktif lagi di dunia blog. Banyak yang lebih nyaman berbagi di dunia video. Saya pun akhir – akhir ini ada saja alasan untuk malas menulis padahal banyak sekali bahan dan cerita sehari – hari yang bisa didokumentasikan di sini. Bahkan membalas komentar pun belum saya lakukan. Maaf ya yang sudah komen di tulisan – tulisan sebelumnya, pasti nanti akan saya balas. Saya sadar, interaksi yang kita bangun lewat tulisan bisa semakin intensif lewat kolom komentar. Jadi tahu sudut pandang yang membaca seperti apa. Selain waktu, menulis di blog memang butuh mood khusus. Saya sudah punya waktu lebih longgar. Hanya mood yang seringnya malas. Memang harus diberantas sikap malas menulis. Supaya tujuan awal punya blog di WP tetap terlaksanakan, yaitu sarana mendokumentasikan apapun.
Saya tetap semangat ngeblog meskipun dunia blog semakin sepi. Saya tetap semangat ngeblog meskipun yang membaca semakin sedikit. Saya tetap dan akan selalu ngeblog selama platform ini tidak gulung tikar. Saya pasti akan terus menulis sampai kondisi tidak memungkinkan lagi. Selama jiwa dan raga masih sehat, semangat saya untuk menulis di blog tak akan pernah surut. Buat saya, media blog tidak akan tergantikan dengan media yang lainnya. Seaktif aktifnya saya di media sosial, blog tetaplah media yang tepat buat saya untuk menulis.
Tumbuh besar di wilayah Jawa Timur bagian timur dan lingkungan tempat tinggal mayoritas adalah orang Madura, sejak kecil saya sudah terbiasa mengkonsumsi makanan pedas. Jika diingat kembali, hanya ada dua rasa makanan yang saya kenal sejak kecil yaitu asin dan pedas. Saya ingat sekali, mungkin sekitar umur TK, saya makan lodeh yang dibuatkan Mbah, sampai telinga berdenging. Saking pedasnya. Rasanya semua makanan bersantan dari desa Bapak, tidak ada yang tidak pedas. Masak sayur asem pun, ya pasti ada sandingan nya sambal. Malah, meskipun sayurnya sudah pedas, tetep saja sambal tidak absen untuk dihadirkan. Karena itulah kenapa pengetahuan saya akan rasa, tidak terlalu luas. Karena ya hanya mengenal asin dan pedas, lidah saya tidak terlalu terpapar rasa makanan lainnya. Itulah mengapa sampai sekarang, saya lebih menyukai rasa makanan yang asin dibanding yang manis. Ironis sebenarnya karena saya saat ini berjualan camilan manis, tapi saya sendiri tidak terlalu doyan rasa manis.
Makanan Jawa Timur wilayah timur itu didominasi dengan rasa asin, pedas, petis, dan terasi. Merantau ke Surabaya dan Jakarta pun, tidak terlalu banyak bedanya. Tetap saja buat saya makanan enak itu kalau ada rasa pedasnya dan asin. Meskipun sewaktu kerja di Jakarta, saya sering tugas ke seluruh pulau di Indonesia, tetap saja yang saya cari ya makanan pedasnya. Intinya, level pedas lidah saya sudah tidak terhingga. Kata teman – teman yang mengenal saya, lidah saya sudah mati rasa saking semua rasa pedas ga ngefek. Mungkin kalau dulu sudah ada vlogger yang mukbang makanan pedas, saya mengajukan diri untuk diadu. PD akan menang.
Sebelum pindah ke Belanda, dua kali saya jalan – jalan ke LN, tepatnya ke Malaysia dan Vietnam. Kalau ke Malaysia, ya secara melayu, makanan masih bisa lah diterima lidah. Tapi, untuk mengantisipasi kalau misalkan masakannya tidak pedas, saya sampai belain bawa cabe bubuk. Kalau tidak salah ingat, saat itu belum ada cabe bubuk dengan merek ternama yang punya level sampai 30. Jadi saya bawa merek entah apa, yang sebenarnya bubuk cabenya pun tidak terlalu pedas. Tapi lebih baik daripada tidak ada sama sekali ya kan. Liburan ke Vietnam pun barang yang tidak boleh ketinggalan ya kalau tidak bubuk cabe, saus cabe. Pokoknya permasalahan makanan tidak cocok di lidah saat itu, akan terselesaikan kalau dua barang ini ada di depan mata.
MERANTAU LEBIH JAUH
Sebelum pindah ke Belanda, saya kan beberapa bulan sebelumnya pernah datang sebagai turis. Jadi sudah tau nih kira – kira makanan Indonesia di Belanda tuh tipenya yang seperti apa. Sudah ada bayanganlah. Tidak perlu takut kekurangan bahan makanan dan masakan Indonesia. Banyak yang jual dan kalau bikin sendiri juga gampang. Apalagi waktu itu kami tinggal di Den Haag yang jadi surganya makanan Indonesia.
Saat packing barang – barang untuk pindahan, tentu saja saya tidak melupakan untuk bawa cobek. Karena cobek batu, tidak bisa ditemukan di Den Haag, kecuali pesan pada perorangan baru ada. Nyambel kan paling enak kalau dicobek batu, apalagi saya sudah terbiasa ngulek. Jadi, dunia persambalan aman. Awal di sini, saya masih belum terpisahkan dengan sambal dan makanan pedas. Inginnya segala jenis makanan dipedesin pake sambal atau saus sambal. Sudah pindah negara, beda benua, masih saja lidah tidak diberi kesempatan untuk mengenal rasa yang lainnya.
Sampai saat kami road trip ke Perancis Utara, selama perjalanan itulah saya dapat hidayah. Awalnya saya lupa kenapa, tapi sepertinya saya tidak ingat untuk membawa saus sambal. Lalu selama perjalanan 8 hari, tentu saja tidak ada yang namanya makanan saya taburi dengan bubuk cabe atau dicocol ke saus cabe. Selama itulah pertama kalinya saya merasakan masakan negara lain dengan rasa aslinya. Tanpa tambahan apapun yang membuat pedas. Ternyata hey! saya tidak ada masalah kalau makan tidak pedas. Saya tidak jadi ngamuk karena makanannya, misalkan level asinnya tidak sesuai lidah saya. Di sanalah saya belajar mengenal rasa lainnya yang takjubnya membuat saya suka. Saya sangat menikmati apapun jenis makanan yang kami pesan. Dan selama itu juga tidak makan nasi, saya baik – baik saja, tidak emosi karena tidak bertemu makanan Indonesia. Disitulah saya disadarkan kalau ya tidak semua makanan butuh rasa pedas.
TOBAT
Sepulangnya dari Perancis Utara, saya seperti tobat dengan rasa pedas. Perlahan mulai mengurangi dan merubah cara berpikir ya ga perlu sampai nenteng sachet saus sambel ke mana – mana. Tidak perlu panik kalau makanannya tidak pedas. Saya beruntung bisa travelling ke beberapa negara selama di sini. Jadi makin tahu makanan lokal di negara tersebut bagaimana rasanya. Saya mulai memberi kesempatan pada lidah untuk mengenal rasa sebanyak – banyaknya. Makin banyak rasa yang saya kenal, makin gampang saya beradaptasi dengan rasa makanan yang baru. Asal makanannya masih masuk kriteria yang bisa saya makan, bablass akan saya santap tidak peduli lagi kalau rasanya tidak pedas. Justru salah satu manfaat jalan – jalan ke berbagai negara itu ya mengenal makanan lokalnya kan. Sayang kalau sampai makanan lokal dinodai dengan campuran saus sambal atau ditaburi dengan cabe bubuk, jika memang penyajiannya dan rasa aslinya tidak pedas. Sayang kalau menyiakan kesempatan untuk merasakan makanan lokal dengan citarasa aslinya. Ada sih beberapa kali pikiran : wah ini enak sih kalau dimakan sama sambel terasi, wah ini bakal lebih oke nih kalau disajikan pedas, dsb. Pikiran tersebut tentu ada. Tapi ya tentu saja hanya pikiran saja, tidak lalu diwujudkan. Toh saat makan, tetap saja nikmat, meskipun tidak pedas.
Beda lagi kalau memang saat liburan sengaja singgah ke restoran Indonesia ya. Itu kan bukan makanan lokal negara yang disinggahi. Saya saat di Berlin pun makan di dua restoran Indonesia. Tapi sebisa mungkin kalau sedang liburan ke LN, saya tidak makan di restoran Indonesia atau Asia. Konsekuensinya adalah saat pulang liburan dan kembali ke Belanda, jujugan pertama kami adalah restoran Indonesia atau Chinese Restaurant. Kami berdua pasti sudah kangen banget dengan makanan Asia. Berapapun lamanya liburan, entah di dalam Belanda atau luar Belanda, pasti sebelum sampai di rumah, kami belok dulu untuk beli makanan Asia atau Indonesia untuk dibawa pulang. Kembali ke zona nyaman. Di rumah pun, sekarang saya santai saja kalau misalkan tidak ada sambal. Kalau malas nyambel, ya sudah makan aja seadanya. Tidak dibuat repot.
Saya bersyukur sekarang lidah dan pengetahuan saya akan rasa semakin luas. Dulu saya mendefinisikan makanan enak itu kalau ada rasa pedasnya, asin, dan dimakan dengan sambal. Sekarang pandangan saya akan makanan enak sudah berbeda. Makanan enak buat saya, jika saya bisa merasakan dengan citarasa aslinya. Saya suka agak gimana gitu kalau melihat foto orang Indonesia yang sedang liburan di sebuah negara lalu makanan lokalnya ditaburi cabe bubuk atau dicocol saus sambel. Dulu kan saya pelaku seperti itu. Tapi karena sudah tobat, jadi saat melihat ada yang melakukan sama seperti yang saya lakukan dulu, ternyata ga elok ya. Balik ke selera sih ya.
Saya semakin paham dan yakin, bahwa tidak semua makanan perlu dimakan pakai sambal, punya rasa pedas, dan tidak semua makanan butuh saus sambal.
Agustus jadi bulan bahagia buat kami karena merupakan bulan ulangtahun perkawinan. Tahun ini, sudah memasuki usia ke tujuh tahun perkawinan. Kadang kami berpikir, wow cepat sekali ya sudah tujuh tahun menikah dan hampir delapan tahun sejak awal perkenalan. Setiap tahun yang terlewati adalah kerja keras dan kerja sama kami berdua dalam rumah tangga ini. Kami menyadari, semakin bertambahnya umur perkawinan, semakin tidak penting dan tidak bermutu sumber pertengkaran yang lewat. Ada saja hal – hal yang sebenarnya tak penting untuk diperdebatkan, eh ini malah jadi bahan pertengkaran. Seringnya bersumber dari saya. Berasa butuh tantangan kalau sekian lama tidak ada huru hara, trus cari gara – gara trus kesel sendiri. Kapokmu kapan. Suami sih lempeng – lempeng saja. Sudah hapal tabiat istrinya.
Bahagianya, Alhamdulillah semakin bertambah. Bahagia yang datangnya dari dalam, bukan material. Kalau di atas saya tuliskan hal receh yang jadi sumber pertengkaran, maka hal receh yang jadi sumber becandaan pun lebih banyak lagi. Bahkan kadang kalau sedang duduk – duduk di taman, lalu kami melihat satu objek yang sama, trus kami saling pandang, setelahnya bisa tertawa ngakak bersama. Padahal ya ga paham apa sebenarnya sumber tertawaan kami. Cuma pengen tertawa aja. Memang seretjeh itu. Jadi bahan tertawa kami setiap hari juga tidak terlalu penting. Tapi dari hal – hal receh yang kami sebutkan di atas, makin menguatkan hubungan kami.
Sekarang kalau bertengkar, baikannya juga cepet. Sudah males berlama – lama, tak ada tenaga. Sudah tak ada drama kumbara lagi. Diselesaikan secepatnya, saling minta maaf, ngobrol kedepannya seperti apa. Sudah sama – sama berumur, jadi ga ada tenaga lebih untuk tak saling sapa. Mending tenaganya dialihkan ke hal – hal berguna lainnya. Pernikahan kan proses belajar seumur hidup. Setiap hari ada saja hal baru dari pasangan yang membuat kita terkejut dan jadi bahan pembelajaran. Tidak setiap hari hidup kami dihiasi hal – hal yang romantis. Tapi dari sanalah justru kami belajar untuk lebih mengenal satu sama lain.
Kartu ucapan dari suami
Ulangtahun perkawinan tahun ini, kami rayakan di restoran All you can eat dekat rumah. Sebulan sebelumnya suami sudah reservasi tempat dan saya tidak sabar hari H karena sudah lama kami tidak ke tempat ini. Sebelum pandemi, beberapa kali kami ke sini dan jadi tempat favorit karena menunya yang supeerr banyak dan enak. Saya berdandan maksimal sebelum berangkat dan suami pun berpakaian rapi. Kami sama – sama memakai cincin perkawinan yang selama 7 tahun ini cuma dipakai 3 kali, selebihnya tergeletak di kotak. Kami memang tidak suka memakai cincin. Tapi entah kenapa tahun ini ingin memakai. Berasa kencan, gitu.
Kalau orang lain merayakan hari bahagia dengan potong taart, kami melakukan dengan cara yang berbeda. Potong sourdough bread. Hari itu, jadwal saya membuat sourdough bread, jadinya ya kami potong roti saja.
Sourdough Bread
Dua minggu sebelumnya, saya bertanya ke suami, “tahun ini ada kado – kadoan gitu ga sih? aku lupa tahun kemaren apa saling ngasih kado apa nggak ya?” pasangan lanjut usia, lupa tahun lalu ngado apa nggak. Eh pas hari H, seperti biasa suami kasih kartu ucapan dalam tiga bahasa. Begitu membaca yang bahasa Indonesia, saya yakin dia pasti pakai google translate. Namanya usaha ya. Saya senang sekali diberi kartu ucapan, mama mertua memberikan bunga dan mentraktir kami makan malam 2 hari setelahnya. Ucapan dan doa juga kami dapatkan dari keluarga suami, Ibu dan adik – adik saya di Indonesia, para sahabat yang datang ke perkawinan kami 7 tahun lalu. Bahagia kami rasakan karena mereka ingat dan ikut mendoakan hal – hal baik pada perjalanan perkawinan kami.
Sama seperti tahun – tahun sebelumnya, tahun inipun kami bersedekah lewat makanan untuk merayakan ulangtahun pernikahan kami. Saya memilih satu akun jual makanan di twitter @berhijabmerah sebagai perantara sedekah kami. Jadi saya memesan makanan pada beliau dan meminta tolong untuk mendistribusikan pada orang – orang yang memang butuh. Saya mempercayakan semuanya pada beliau. Saya senang dengan cara komunikasinya. Cepat dan bisa diajak diskusi. Saya orangnya kan detail ya, jadi saat memesan, sayapun akan bertanya sangat detail. Makanya saya puas pesan di @berhijabmerah.
Isi paket ricebowl : nasi putih, chicken teriyaki, beef rolade, tumis buncis wortel, saus sambal, buah, brownies potong, sendok, garpu dan tissue. Paketnya saya tambahi dengan 2 masker dan 1 handsanitizer. Saya pesan 50 paket yang dibagikan ke petugas kebersihan, pekerja jalanan, petugas puskesmas dan dokter yang sedang melakukan pemberian vaksin di lingkungan beliau tinggal, petugas keamanan, penjual kerupuk, dan beberapa orang lainnya.
Setiap hari bahagia di keluarga kami, selalu tidak lupa kami siapkan untuk bersedekah. Kami berpikir, setiap rejeki yang kami dapatkan, ada hak orang yang membutuhkan di situ. Saat di sini kami bahagia merayakan, maka kami ingin berbagi kebahagiaan juga buat orang lain yang berhak dan membutuhkan. Semoga berkah buat semua.
Tumpeng nasi kuning
Akhir pekan saya membuat tumpeng nasi kuning dan pie susu. Pengennya membuat taart tapi karena tetangga sedang liburan dua minggu, jadi tidak ada yang membantu menghabiskan taart yang saya buat. Akhirnya saya buat pie susu yang hasil akhirnya berantakan. Wes ga masalah sing penting rasane josss! *dipuji dewe dan memang habis di hari yang sama.
Ricebowl
Banyak syukur selalu kami ucapkan karena berkah yang selalu datang di kehidupan perkawinan kami. Pasang surut, naik turun, sedih bahagia selalu kami hadapi bersama. Tidak pernah sekalipun diantara kami yang meninggalkan satu sama lain. Sampai detik ini, bahu kami satu sama lain bisa dijadikan sandaran dan tangan kami masih tetap saling bergandengan. Semoga seperti ini, seterusnya, sampai nanti ujung waktu. Sehat dan menua bersama dalam suka dan duka. Dalam tangis dan tawa. Tetap saling cinta dan mencintai. Saling menopang dan menegakkan. Saling memeluk dan menghangatkan. Saling tersenyum dan menggembirakan.
Menyetir mobil ini benar – benar salah satu pencapaian terbesar dalam hidup saya. Bayangkan, dari orang yang sangat takut berkendara sendiri, bahkan naik motor saja takut, sekarang sudah bisa menyetir mobil lintas provinsi di Belanda.
Jadi, kami baru pulang liburan 4 hari. Di dalam negeri saja. Selama liburan tersebut, kami tinggal di vakantie huis (rumah yang disewakan untuk berlibur) di salah satu kota di provinsi Gelderland. Seperti biasa kalau liburan menginap beberapa hari, suami pasti akan menyewa mobil karena pasti kami mengunjungi kota – kota di sekitar tempat yang kami tinggali. Lalu suami bilang kalau liburan kali ini, bagian saya yang menyetir mobil supaya latihan dan tidak kaku.
Sebenarnya saat kami liburan awal Juli, itupun sudah direncanakan kalau saya yang akan menyetir mobil selama liburan. Waktu itu kami ke provinsi Drenthe dan Friesland. Tapi, karena SIM saya jadinya telat seminggu setelah liburan, walhasil saya tidak jadi menyetir saat itu. Akhirnya kesempatan liburan kali ini saya yang menyetir mobil.
Terakhir menyetir mobil ya waktu saya ujian praktek dan dinyatakan lulus akhir bulan Mei. Setelahnya sama sekali belum menyetir mobil lagi. Pagi hari saat mau berangkat, sempat ada rasa deg – deg an, kira – kira masih bisa tidak ya, kira – kira masih ingat tidak ya aturannya seperti apa, dsb. Sempat ada rasa khawatir sejenak. Tapi setelah saya duduk di belakang setir, semua berjalan lancar.
Jadi liburan kali ini, saya menyetir mobil lintas 4 provinsi di Belanda. Sebenarnya letak antara satu provinsi dan lainnya tidak terlalu jauh karena ya Belanda ini sebesar apa sih, negara yang kecil. Jadi, kami berhenti – berhenti di 3 provinsi : Utrecht – Gelderland – Zeeland. Berhentinya bukan hanya di Pom Bensin saja tapi masuk ke kotanya karena kami mengunjungi beberapa tempat di sana. Nah karena rumah kami ada di provinsi yang berbeda yaitu Zuid Holland, jadinya ya saya menyetir lintas 4 provinsi : Zuid Holland – Utrecht – Gelderland – Zeeland – Zuid Holland.
Sekitar 90% selama liburan, saya yang pegang setir. Sementara suami menggantikan saya menyetir cuma 1 jam sisa perjalanan saat dari Gelderland ke Zeeland yang total waktu tempuhnya 2 jam 45 menit. Jadi saya menyetir 1 jam 45 menit, sisanya suami. Selebihnya, selama 4 hari ya saya yang menyetir.
Rasanya bagaimana akhirnya bisa menyetir mobil? Bangganya luar biasa pada diri sendiri. Menengok lagi ke belakang, tidak mudah meyakinkan saya sendiri kalau menyetir mobil adalah keterampilan yang benar – benar ingin saya kuasai. Dulu waktu di Indonesia, sama sekali tidak ada keinginan dan terpikir untuk bisa menyetir mobil. Tapi saat di sini, pikiran saya jadi berubah. Saya merasa, saya harus bisa menyetir mobil supaya lebih mandiri dan pasti terpakai untuk kebutuhan lainnya. Lalu saya berkeras kepala untuk lulus ujian teori meskipun buat saya itu bahasanya sudah tingkat dewa saking susahnya (tricky dan bahasa Belanda yang dipakai formal sekali). Alhamdulillah sekali tes langsung lulus. Kemudian saya pun kembali berkeras kepala untuk lulus ujian praktek meskipun gagal dua kali dan 3 kali ujian tidak jadi karena terkena lockdown. Ujian ketiga baru saya dinyatakan lulus.
Sekarang saya bisa merasakan apa yang saya perjuangkan selama 1.5 tahun. Bisa menyetir dengan aman sesuai peraturan yang berlaku, menyetir dengan tenang dan bisa berpikir cepat apa yang harus dilakukan kalau ada kondisi yang tidak ideal.
Selama liburan kemaren, rasanya hampir semua situasi sudah saya lewati. Menyetir saat hujan deras sekali, menyetir di jalanan berkelok curam ke atas saat ke kastil, menyetir di kecepatan 120km/jam, 100km/jam saat jam sibuk, menyetir dalam kota, menyetir di sekitar pusat perbelanjaan, bermanuver di jalan tol menyalip truk – truk yang berukuran super besar, menyetir di jalanan super sempit, menyetir saat macet di dalam kota dan di jalan tol, menyetir malam hari. Alhamdulillah semua terlewati dengan baik. Dulu berpapasan dengan truk saja sudah membuat gemetaran. Sekarang setelah di belakang setir, semuanya jadi biasa. Dulu membayangkan melewati jalan berkelok curam saja ngeri, sekarang setelah dijalani sendiri, ya berani.
Pertama kali menyetir di Belanda setelah punya SIM
Kenapa saya berani? karena aturan menyetir di sini semuanya jelas dan peraturan lalu lintasnya pun jelas. Jadi orang tidak akan seenak udelnya serobot sana sini di jalanan. Selain itu, karena sudah punya SIM yang mendapatkannya penuh perjuangan, banyak uang yang sudah dikeluarkan, ya tidak ada alasan untuk tidak berani menyetir.
Suami bilang : Wah, rute selanjutnya roadtrip lintas negara nih. Selama ini, kalau kami roadtrip ya pasti dia saja yang menyetir. Karena sekarang saya sudah bisa, jadi saya juga tertantang menyetir mobil roadtrip lintas negara.
Ibu saja sampai heran, darimana keberanian yang saya dapatkan kok bisa – bisanya sekarang ga ada takutnya menyetir. Padahal dulu sudah ditawari beberapa kali untuk les nyetir mobil di Indonesia selalu saya tolak dan bilang kalau seumur hidup tidak akan pernah menyetir mobil sendiri. Sekarang saya telan omongan sendiri.
Kalau tidak merantau sejauh ini, saya tidak akan punya keberanian sebesar sekarang. Jika saya tidak berkeras kepala untuk meneruskan les menyetir sampai lulus dan mendapatkan SIM, rasanya saya tidak akan sebangga ini. Jika tidak mencoba sendiri menyetir mobil, rasanya saya tidak akan tahu bahwa saya pun bisa mengalahkan ketakutan selama ini.
Rute selanjutnya, lintas negara? Kita lihat saja nanti. Kalau menyetir mobil di Belanda saya bisa tanpa ada rasa takut, nanti di Indonesia saya serahkan saja pada ahlinya. Membayangkan lalu lintasnya saja sudah bikin saya dadah – dadah ke kamera .
Cerita singkat saja ya kali ini. Beberapa hari lalu, saya selesai mendapatkan vaksin kedua covid. Yang bagian pertama, bisa dibaca ceritanya di sini ya.
Berbeda dengan vaksin pertama yang masih ada sedikit efek sampingnya, vaksin kedua ini benar – benar tidak berasa ada efek setelahnya. Lengan sakit pun tidak berasa. Padahal saya sudah mempersiapkan mental kalau efek vaksin kedua ini akan berat karena mendengar cerita – cerita mereka yang sudah mendapatkan vaksin kedua.
Sama halnya dengan yang pertama, sebelum vaksin kedua ini pun saya tidak ada persiapan khusus. Makan minum seperti biasa, istirahat dan tidur pun seperti biasa, tidak mengkonsumsi vitamin apapun. Intinya, biasa saja. Ada satu yang nyaris sama dengan vaksin yang pertama : Saya nyaris lupa kalau hari itu harus vaksin. Padahal dua hari sebelumnya saya sudah mengingat – ingat kalau akan vaksin 2 hari lagi. Pas tengah malam saya baru teringat kalau besok pagi jadwal vaksin. Walah, nyaris terlewat. Padahal jadwal saya hari itu padat sekali. Harus mengerjakan Sourdough bread 4 macam yang adonannya sudah diinapkan di kulkas, masak makan siang, dan masak lodeh buat akhir pekan. Ngerinya kalau setelah vaksin efeknya berat, buyaarr semua jadwal itu. Adonan roti bisa – bisa berubah jadi adonan tape.
Selesai vaksin, sesampainya di rumah, saya masih leyeh – leyeh 30 menit. Kok tidak ada tanda – tanda sakit ya. Lalu saya mulai mengerjakan roti satu persatu. Sampai roti kedua, masih ga ada rasa sakit. Saya tidak mau jumawa. Takutnya kena tulah besokannya sakit parah. Tiga jam berlalu, 6 jam berlalu, 10 jam berlalu, tetap biasa saja. Bahkan semua rencana hari itu, bisa saya selesaikan semua. Membuat 4 macam roti, masak makan siang, masak lodeh untuk akhir pekan, jalan – jalan ke hutan, sampai beberes pun selesai semua. Hari itu, terlewati dengan mulus.
Sourdough Multigrain Bread
Keesokan paginya, bangun dengan tanpa badan sakit. Oh ya lupa dituliskan. Seminggu sebelum vaksin, hidung saya mulai mampet. Pilek. Sampai hari vaksin pun, hidung saya tetap mampet, pilek. Nah keesokan harinya, bangun tidur tetep mampet. Jadi kondisi setelah vaksin, tidak ngefek pada kemampetan hidung. Berharapnya agak membaik ya, tapi tetap saja. Sehari setelah vaksin, juga sama, mulus dilalui tanpa rasa sakit (bahkan sampai tulisan ini diunggah). Akhirnya saya bisa menyimpulkan bahwa untuk vaksin kedua, tidak ada efek samping apapun di badan saya. Mulus tetap berkegiatan seperti biasa.
Senang akhirnya sudah mendapatkan vaksin yang kedua. Yang membuat saya makin lega lagi, Ibu dan adik – adik saya di Indonesia, akhirnya sudah mendapatkan vaksin yang pertama. Setelah lika liku stok vaksin di daerah yang cepat habis, akhirnya mereka sudah bisa vaksin yang pertama. Rasanya benar – benar ingin sujud syukur saking senangnya mereka sudah divaksin.
Suami masih bulan depan vaksin keduanya. Apa rencana kami setelah mendapatkan vaksin lengkap? Tidak ada rencana apapun. Ya begini saja tetap tinggal di rumah karena tidak ada undangan kumpul – kumpul juga. Kehidupan berjalan seperti biasa. Tetap liburan gentayangan di Belanda. Kemaren saya menanyakan lagi ke suami, apa dia ada rencana liburan ke LN secara dia ini kalau bikin rencana liburan selalu dadakan. Dia lalu mengingatkan saya bahwa negara ini kodenya sedang merah. Jadi kami tidak mau ruwet perkara liburan di LN dengan embel – embel datang dari negara berkode merah. Dan lagi, peraturan di situasi seperti ini cepet berubah. Intinya, kami males ruwet sih. Jadinya, tetap seperti rencana semula sejak awal tahun kalau tahun ini tema liburan kami adalah explore Belanda. Lumayan, jadi lebih tau kota – kota kecil di Belanda, menjelajah museum, dan lebih mengenal hotel – hotel di sini haha.
Stay Happy and healthy ya! Doa saya tetap dan selalu sama. Semoga keadaan ini cepat membaik, kehidupan berjalan normal lagi, kita semua diberikan kekuatan lebih untuk melangkah. Turut berduka cita untuk mereka yang ditinggalkan keluarga, teman, sahabat, yang tercinta karena pandemi ini. Semoga diberikan kekuatan dan penguatan.
-25 Juli 2021-
*Cerita tambahan. Sebenarnya sangat tidak penting. Tapi tetap ingin saya tuliskan. Sewaktu diarahkan ke salah satu loket pemeriksaan kartu identitas, petugasnya ganteng sekali. Matanya bagus, giginya rapi dan bentuknya bagus sekali. Pas dia tersenyum, duh tiba-tiba jantung saya kayak yang jadi cepat gitu detaknya. Matanya bagus banget asli. Wah gawat, jangan sampai ga bisa vaksin gara – gara disenyumin lalu tensi saya melonjak. Setelah meninggalkan loket, jantung saya masih deg-degan gitu lho. Ya Allah, norak! Lemah memang saya kalau lihat mata bagus. Makanya saya lemah lihat matanya NicSap *nyebut Mbak!
Sampai rumah saya cerita suami kan. Dia cuma senyum datar aja. Komen dia : ya untung saya ga ditelpon sama GGD suruh jemput kamu yang pingsan gara – gara disenyumin anak muda dengan mata yang menurutmu bagus.
Awalnya tidak terlalu ingin menuliskan pengalaman mendapatkan vaksin covid di Belanda, mengingat Ibu saya di Indonesia masih belum vaksin karena kemaren – kemaren masih suram keberadaan vaksin di daerah yang antara ada dan tiada. Saya merasa sedih karena di sini lumayan cepat distribusi vaksinnya, sedangkan keluarga saya di sana yang tinggal bukan di kota besar, akses mendapatkan vaksin semacam mengenaskan. Tapi ini mulai ada titik terang karena adik saya dua hari lalu akhirnya bisa vaksin juga. Mudah – mudahan setelah ini Ibu saya juga sudah bisa vaksin karena Ibu masih sakit jadi menunggu membaik baru akan vaksin. Kepikiran lho ini saya perkara keberadaan vaksin di kota kecil di Indonesia yang hilalnya pada saat itu belum nampak. Jadinya sedih dan nelongso mengingat keluarga saya di sana yang ingin vaksin tapi belum juga bisa menjangkau, pada saat itu -sekitar 3 minggu lalu-.
Karena mood saya sudah lebih baik (memikirkan vaksin di Indonesia yang belum merata sampai daerah saja bikin mumet dan mood berantakan tiap hari), jadi saya akan menceritakan pengalaman mendapatkan vaksin Covid di Belanda.
SEBELUM HARI H VAKSIN
Jadi, sekitar dua minggu lalu, saya sudah divaksin. Seminggu sebelum tahun lahir saya diumumkan untuk bisa mendaftar, beberapa teman dan kenalan sudah memberitahu saya kalau kemungkinan minggu depannya tahun kelahiran saya sudah bisa mendaftar untuk bisa vaksin. Sebulan sebelumnya, Suami sudah mendapatkan surat undangan untuk vaksin, tapi dia masih mikir – mikir dengan beberapa alasan yang diantaranya ya masuk akal juga, meskipun penyampaiannya agak mbulet. Ok, saya hargai keputusannya, selama dia bukan antivaksin. Sampai tulisan ini diunggah, dia akhirnya sudah mendaftar vaksin. Sujud syukur akhirnya dia dapat hidayah juga, setelah proses panjang mendapatkan wejangan dengan tatapan cemberut dari istrinya. The power of mrengut.
Awalnya, pemerintah Belanda memang mengirimkan surat undangan. Jadi, warga ya dengan sabar menunggu surat. Setelahnya, sistem diubah menjadi kita bisa mendaftar lebih dulu lewat akun DigiD jika tahun kelahiran sudah diumumkan. Surat undangan tetap dikirimkan. Jadi kitanya yang proaktif, tidak usah menunggu surat datang. Ini diluar mereka yang mendapatkan prioritas ya. Jadi berdasarkan tahun kelahiran dan tanpa resiko kesehatan.
Nah pada saat tahun kelahiran saya sudah diumumkan, saya diberitahu oleh Anis. Karena saya saat itu sibuk ngurusi pesanan cookies dan brownies juga paket untuk Father’s day di Belanda, jadinya saya terlupa untuk mendaftar. Baru ingatnya, dua hari kemudian. Itupun gara – gara ngobrol sama Anis lalu teringat belum mendaftar. Lalu mendaftarlah saya lewat akun DigiD. Gampang dan cepat prosesnya. Musti menjawab beberapa pertanyaan dulu sebelum sampai pada tanggal dan tempat di mana dan kapan bisa vaksin. Setelahnya, saya sudah mendapatkan tanggal kapan vaksin pertama dan kedua. Tempatpun sangat dekat dengan rumah, cuma 10 menit sepedahan. Tempat vaksin di stadion bola.
Perkara mendaftar, sudah beres. Beberapa hari kemudian, surat undangan untuk vaksin datang. Jadi dalam amplopnya ada formulir isinya pertanyaan – pertanyaan yang nanti harus kita bawa saat vaksin, juga ada surat yang isinya jadwal vaksin pertama dan kedua dan syarat – syarat yang harus dibawa saat vaksin. Juga ada keterangan, vaksin apa yang akan kita dapat. Disurat saya, kalau tidak salah ingat, tercantum saya akan mendapatkan Pfizer atau Moderna. Ini kalau tidak salah, kita tidak bisa memilih sendiri ya. Yang pasti nanti di tempat ya dapatnya antara 2 itu.
HARI H VAKSIN
Dalam rentang seminggu hari H vaksin itu, saya super ruwet bikin cookies dan brownies pesanan. Belum lagi packing dan memastikan tiap pesanan berada di kardus yang benar. Juga memastikan kartu – kartu tidak salah penempatan. Jadi H-1, saya benar – benar ruwet, baru tidur jam 12 malam. Baru selesai packing karena pagi akan mengirimkan ke service logistic yang dekat rumah. Itupun saya hanya tidur 4 jam karena bangun lebih awal, bikin brownies lagi. Jadi saya merasa ngantuk kurang tidur. Dua minggu lalu, seingat saya, jadwal vaksin baru keesokan harinya di sore hari. Trus saat packing terakhir jam 7 pagi, tiba – tiba saya teringat apa benar jadwal vaksin saya keesokan hari atau hari itu. Saya lalu membuka sms, membaca lagi pesan yang dikirimkan oleh GGD 2 hari sebelumnya. Pesan pengingat jadwal vaksin.
Loalaahh ternyata jadwal vaksin saya hari itu, bukan keesokan harinya. Duhhh, nyaris saja terlewat. Memang tidak saya catat di jadwal sih, mengandalkan sms pengingat dari GGD. Ternyata ya luput juga, riweh sama pesanan. Jadi saya benar – benar tidak ada persiapan khusus sebelum hari H vaksin. Tidur dan istirahat saja kurang, tidak minum suplemen khusus juga. Jadi benar – benar berkegiatan seperti biasa. Setelah beres mengirimkan paket – paket, saya beristirahat sejenak leyeh – leyeh sebelum melanjutkan masak untuk makan siang. Itu saya sudah mengantuukk sekali. Satu jam sebelum vaksin, saya berbaring di kamar. Pengennya tidur, tapi takut kebablasan.
20 menit sebelum vaksin, saya sudah siap – siap. Meskipun tempatnya dekat sekali dengan rumah, saya memutuskan berangkat lebih awal. Naik sepeda 10 menit sudah sampai. Saya sering ke tempat ini jadinya ya sudah tau jalannya ke sana. Sampai di tempat, parkir sepeda, lalu menuju gedung tempat vaksin. Sebelum masuk ke dalam, disemprot dulu di telapak tangan di depan bangunan. Setelahnya, ada petugas menanyakan apa ya kok saya lupa. Kayaknya menanyakan jam berapa jadwal saya. Setelahnya saya ditunjukkan untuk menuju loket berapa.
Sewaktu berjalan menuju loket yang dimaksud, saya merasa terharu sampai agak berkaca mata ini. Pikiran saya lalu loncat ke Maret tahun lalu saat situasi mulai genting di Belanda. Melewati tahun lalu dengan kondisi yang amburadul dan situasi yang mencekam. Segala lockdown dari jilid 1 sampai entah jilid berapa dilalui. Segala adaptasi pun dilakukan dengan kondisi saat itu, sampai kita semua menyebutnya sebagai New Normal. Alhamdulillah keluarga kami utuh sampai saat ini, sehat melewati ini semua. Itu yang benar – benar saya sangat syukuri. Jadi saat berjalan menuju loket, perasaan saya campur aduk, antara haru dan sedih. Terharu karena kok saya melihat diri sendiri seperti disebuah scene film yang saya selalu lihat yang temanya tentang virus. Melihat diri ini yang selamat dari dari virus lalu mendapatkan kesempatan vaksin. Mengingat juga keluarga saya di Indonesia yang belum tersentuh vaksin, perasaan jadi sedih. Intinya campur aduk.
Saat di loket, diperiksa kartu identitas lalu ditanya formulir yang harus dibawa. Setelah dicek ok, saya lalu diberikan surat untuk nanti dibawa saat vaksin kedua. Beres, lalu saya menuju lajur yang ditunjukkan. Tak ada antrian. Saya lalu menuju bilik. Ditanya oleh petugasnya mau lengan sebelah mana. Saya memilih sebelah kanan. Lalu saya bertanya, saya mendapatkan vaksin apa. Dijawab, Pfizer. Setelah disuntik, diusap bekas suntikan dengan kapas, lalu diberi plester. Selesai. Sempat terpikir, orang – orang yang vaksin trus bisa foto, gimana ya caranya. Ini rasanya kok tidak ada yang memfoto dan tidak ditanya juga sama petugasnya mau foto atau tidak. Ah sudahlah, bisa vaksin saja sudah sujud syukur, kok malah mikir foto segala.
Setelahnya, menuju ruang sebelah. Menunggu 15 menit duduk di sana. Kalau selama 15 menit tersebut keadaan ok, bisa meninggalkan gedung. Selama 15 menit tersebut, saya gunakan untuk memperhatikan orang – orang yang sedang menunggu juga. Saya tidak sempat mainan Hp, karena lebih tertarik memperhatikan sekitaran. Setelah 15 menit berlalu, saya pulang sepedahan lagi. Kalau yang punya buku kuning vaksin, bisa minta stempel vaksin di gerbang keluar. Karena saya tidak punya, jadi ya langsung pulang.
Sesampainya di rumah, karena memang sebelum vaksin sudah sangat mengantuk, jadi saya langsung menuju sofa. Saya langsung tidur di sofa. Benar – benar yang langsung tertidur nyenyak sampai beberapa waktu kemudian dibangunkan oleh suami. Dia membangunkan saya karena tidak mendengar saat saya sudah sampai rumah. Jadi begitu melihat saya dalam posisi tertidur di sofa, dia khawatir kalau saya pingsan setelah vaksin hahaha. Makanya dia cepat – cepat membangunkan saya. Ternyata saya tertidur kecapekan.
KONDISI DAN SITUASI H+1 JUGA EFEK VAKSIN
Menjelang malam, lengan saya mulai terasa kemeng dan njarem kalau bahasa Jawanya. Apa ya ini bahasa Indonesianya. Yang pasti bukan sakit tapi lebih ke arah pegal dan linu. Pagi sewaktu bangun tidur, njarem dan kemengnya tambah parah. Tapi ternyata cuma 2 jam saja setelah bangun. Setelahnya perlahan menghilang sampai saya sudah tidak merasakan lagi H+1. Tapi, hari itu saya mendapatkan menstruasi. Harusnya kalau menurut jadwal, menstruasi saya masih seminggu lagi. Ini maju seminggu. Oh, mungkin ini efek dari vaksin. Mendadak mens. Selebihnya H+1 tidak ada keluhan apapun. Tidak lemas, tidak sakit, tidak sakit kepala, tidak mengantuk berkepanjangan. Hanya mens saja. Ngantuk yang setelah vaksin itu, saya pikir bukan termasuk efeknya, karena sebelum vaksin pun saya sudah mengantuk parah. H+1 itu saya masih berkegiatan seperti biasa plus menyiapkan pesanan untuk keesokan hari akan diambil olah pembeli. Jadi, efek vaksin buat saya, hanya menstruasi yang datang lebih awal seminggu. Selebihnya sampai saat ini, tidak ada keluhan sakit apapun. Saya juga tidak mengkonsmsi vitamin atau suplemen apapun sebelum dan sesudah vaksin. Semua berjalan biasa saja.
Efek vaksin ini memang berbeda – beda tiap orang meskipun mendapatkan jenis yang sama. Saya mendapatkan cerita, ipar – ipar saya sampai sakit berhari – hari setelah vaksin Pfizer. Mereka usianya lebih tua dari saya. Mama mertua, yang sudah divaksin Pfizer sejak Maret, setelah vaksin sama seperti saya, tidak mendapatkan keluhan apapun, lancar mulus. Jadi, mungkin tergantung kondisi badan ya karena umur beda dengan vaksin yang sama juga tidak bisa dijadikan patokan. Ada yang bercerita umur lebih muda dari saya, efek vaksinnya baru hilang beberapa hari kemudian : badan lemas, meriang, sakit kepala, dan lapar terus.
JADI…..
Kalau kalian punya kesempatan untuk divaksin dan akses mendapatkannya mudah, segeralah vaksin jangan ditunda lagi. Kalau saya pribadi, inilah ikhtiar saya ditengah situasi yang masih tak menentu, tidak tahu kapan akan berakhir ini. Inilah ikhtiar saya melindungi diri sendiri dan keluarga. Kalau sudah vaksin bukan berarti lalu kebar virus ya. Masih bisa kok tertular virus, tapi paling tidak kondisinya tidak separah kalau belum vaksin. Jangan juga takut dengan efek setelah vaksin. Lengan pegal itu pasti. Efek selebihnya tergantung masing – masing orang karena bisa berbeda seperti yang sudah saya tuliskan sebelumnya. Kalau ada kesempatan vaksin, ga usah pilah pilih mau jenis yang mana. Semua sama baiknya selama uji klinisnya ok. Kalau sudah mendapatkan vaksin lengkap, pikir berulang kali mau vaksin lagi walaupun kesempatannya ada (misalnya dapat kesempatan vaksin lagi di LN). Vaksin di Indonesia belum merata, jadi ga usah serakah. Ingat – ingat saja itu, di negara sendiri akses vaksin masih susah. Kalau sudah vaksin, please tidak usah memandang vaksin tertentu derajatnya lebih tinggi dibanding yang lain. Wes, ga perlu itu. Pun tidak usah menunda untuk vaksin hanya karena ingin mendapatkan jenis vaksin yang dianggap derajatnya lebih tinggi. Kalau ada kesempatan vaksin sekarang, gas poll langsung vaksin.
Jadi, kalaupun sudah divaksin, please jangan petentang petenteng dulu seperti sudah kebal dengan segala penyakit. Jangan seperti memakai baju Robocop lalu gagah merasa tidak bisa dihancurkan. Wong Robocop saja bisa hancur. Kalau sudah divaksin, tolong sikap waspada masih dijalankan. Kalau sudah vaksin, tolong jangan otomatis langsung berpesta pora umplek – umplek an seolah kita sudah sangat bebas melakukan apa saja. Dunia masih belum sepenuhnya aman sekarang. Waspada, lakukan yang terbaik dan paling maksimal untuk melindungi diri dan orang – orang tersayang. Kalau sudah vaksin, biasa saja dan sewajarnya saja ya. Beritahukan pada mereka yang memang belum tergerak hatinya untuk vaksin. Saya tahu, vaksin atau tidak ini semacam kepercayaan. Memang tidak bisa dipaksakan. Tapi minimal, jika kita berusaha memberitahukan, siapa tahu yang belum tergerak, akan mendapatkan hidayah kemudian hari. Kalaupun sudah vaksin dan ingin liburan ke luar negeri, tetap waspada ya. Ini Portugal statusnya kembali kode merah (Lisbon kalau tidak salah). Intinya, meskipun sudah vaksin, waspada tetap ditegakkan.
Tadi malam saya melihat berita nasional di TV, berita tentang Indonesia sudah masuk sini. Tentang kasus positif yang melonjak tinggi dan Rumah Sakit kewalahan. Di berita tersebut, diperlihatkan pasien yang tidak mendapatkan kamar, menunggu giliran bisa masuk dengan berbaring di kasur di gang antar kamar. Sedih dan terus terang saya tegang sih mengikuti berita di Indonesia. Seperti tahun lalu saja rasanya. Mencekam. Semoga keadaan di Indonesia berangsur membaik.
Di Belanda sendiri, peraturan mulai longgar sejak lockdown ketat dicabut bulan lalu karena kasus positif harian sudah sangat berkurang banyak. Tamu di rumah sudah tidak dibatasi, masker sudah tidak diwajibkan kecuali di kendaraan umum, jam malam ditiadakan, toko – toko sudah bisa buka, perpustakaan dan museum buka kembali, restaurant dan kafe tidak ada jam malam maksimal buka, guru – guru dan murid di sekolah sudah tidak perlu memakai masker, dan peraturan lainnya. Perlahan tapi pasti di sini hidup kembali normal dengan definisi baru yaitu new normal. Itu hasil ikhtiar ketat yang negara ini lakukan selama 1.5 tahun ini. Segala lokdan lokdon setahun ini. Setiap akan ada konferensi pers dari Perdana Menteri, warga rasanya bertanya – tanya kira – kira peraturan apa lagi yang minggu depan akan diketatkan. Jadi, jangan iri ya kalau kami di sini sudah mulai longgar. Negara dan warganya sama – sama menjalani ini dengan harapan semua segera selesai, meskipun tidak bisa dipungkiri golongan tak percaya Corona pun ada, pun golongan anti vaksin.
Kami sendiri, ya karena sudah terbiasa sejak tahun kalau tidak penting – penting banget tidak ke luar rumah, saat peraturan longgar begini ya tetap sama saja. Tetap lebih banyak di rumah. Jauh haripun kami sudah memutuskan tahun ini tema liburan adalah eksplore Belanda. Belum siap ke LN dengan perjalanan menggunakan pesawat atau perjalanan panjang menggunakan kereta. Kalaupun ke LN mungkin ke Jerman atau Belgia saja, tetangga sebelah. Itupun belum direncanakan. Karena sudah terbiasa dengan ritme 1.5 tahun ini, dengan adanya pelonggaran aturan, kami ya seperti biasa saja kesehariannya. Kecuali perkara masker, kami sudah tidak memakai lagi saat ke supermarket atau tempat umum lainnya, meskipun masker tetap kami bawa ke mana – mana kalau ke luar rumah (ini karena faktor sudah terbiasa). Badan sekarang seperti sudah ada alarmnya, kalau melihat supermarket atau toko sedang ramai, ya kami tidak masuk ke dalam. Konsekuensi kami tidak memakai masker, ya berarti kami harus menghindari keramaian. Itu adalah waspada buat kami. Satu yang membahagiakan dari pelonggaran peraturan ini adalah kami bisa kembali berkunjung ke Museum dan Perpustakaan (ini sudah sejak sebulan terakhir). Rasanya legaa sekali dan senang bisa kembali ke museum dan perpustakaan.
Bagian kedua dari tulisan ini akan saya lanjutkan kalau sudah mendapatkan vaksin yang kedua, akhir Juli. Sehat – sehat selalu kita semua.