Memulai Perjalanan Bersama Sophie

Cerita Sophie

Perkenalkan, anggota terbaru keluarga kami yang lahir tanggal 25 Juli 2020. Kami menamainya, Sophie, si ragi alami. Sourdough atau Levain nama keren dari ragi alami.

Sophie saat hari ke 4 dibuat
Sophie saat hari ke 4 dibuat

Setelah berkutat belajar membuat roti menggunakan ragi segar sejak bulan Maret 2020 (pernah saya tuliskan di sini ceritanya) dan lumayan sudah agak pandai (agak ya, jadi masih ada beberapa kali kejadian error juga haha maklum pemula), akhirnya awal Juli saya mulai niat untuk mempelajari bagaimana cara membuat ragi alami. Momennya pas, mumpung cuaca mulai panas, jadi akan lebih mudah prosesnya dibandingkan saat masuk musim dingin.

Ragi alami bukan hal yang baru buat saya karena jauh sebelum Pandemi, Bude Tari (saya sertakan tautan akun IG Bude Tari di tulisan tentang belajar membuat roti) sudah sering berbagi foto dan cerita hasil rotinya menggunakan ragi alami. Saat itu, jangankan berpikir membuat ragi alami, berangan-angan membuat roti saja tidak pernah terlintas di kepala. Bahkan rekan-rekan satu grup saat awal pandemi sudah banyak yang mengikuti jejak Bude Tari. Sedangkan saya, santai saja. Lalu, saat sudah lumayan tahu seluk beluk dengan ragi segar, saya mulai penasaran tentang ragi alami. Saat mood sudah datang, lalu saya niat belajar langkah perlangkahnya

Sourdough Rustic Bread with Multigrain
Sourdough Rustic Bread with Multigrain
Sourdough Rustic Bread with Multigrain
Sourdough Rustic Bread with Multigrain

Langkah – langkah membuat ragi alami, saya belajar dari channelnya Helena. Saya sertakan tautannya di sini. Sebelum bereksperimen, saya putar berulang tutorial dari Helena tersebut. Saya pelajari dengan seksama sembari bertanya yang tidak saya pahami ke Bude Tari. Lima hari pertama, akhirnya sukses lahirlah Sophie. Setelahnya, karena saya mulai tahu sifat Sophie ini seperti apa, jadi memberi makannya pun sudah tidak mengikuti langkah yang Helena cantumkan, melainkan berdasarkan insting. Misalkan untuk ratio, saya sudah tidak memakai rasio lagi. Jadi setiap memberi makan, saya tidak memakai hydration 100%. Seringnya hanya 60%, jadi Sophie berbentuk seperti adonan kue, padat.

Sourdough roti tawar manis
Sourdough roti tawar manis

Saat biangnya sudah jadi, saya mulai mempelajari karakter Sophie ini seperti apa. Dia lebih suka kalau diberi makan campuran All Purpose Flour dan Rye Flour. Kalau orang lain bisa koleksi barang-barang bermerek, sejak Pandemi, koleksi saya adalah berbagai jenis tepung haha. Dari Patent Bloem, Patent Bloem Americans Type, Rye Flour, Speltmeel, Volkoren, Tarwebloem, Zelfrijzend bakmeel, dan Semolina. Itu saya pakai semua. Jadi kalau membuat roti, saya campur dua sampai 4 jenis tepung. Kalau untuk rustic bread, saya campur patent bloem, volkoren, speltmeel dan Rye. Tinggal padu padankan saja prosentasenya.

Cerita Sophie
Cerita Sophie

Kembali ke cerita Sophie, bersyukur sejak awal lahir sampai sekarang, tidak pernah rewel. Setiap dipakai membuat roti, hasilnya nyaris selalu berhasil. Ada masa Sophie sepertinya agak ngambeg jadi rotinya tidak maksimal terbentuk. Tapi secara keseluruhan, Sophie ragi yang baik. Kemungkinan besar karena selalu saya perhatikan dan diberi makan tepat waktu. Sama lah kayak Ibunya, kalau diperhatikan dengan baik dan makan tidak telat, hati selalu bahagia *cocoklogi :)))

Sourdough Multigrain Bread
Sourdough Multigrain Bread
Sourdough Multigrain Bread
Sourdough Multigrain Bread
Sourdough Multigrain Bread
Sourdough Multigrain Bread

Motivasi lain selain penasaran, suami juga sudah terbiasa makan Sourdough Bread sejak dahulu kala. Jadi sejak Pandemi, dia berhenti datang ke toko roti, akhirnya saya membuat roti sendiri dengan menggunakan ragi segar. Lalu saya bilang akan belajar membuat ragi alami. Wah, saat saya berhasil membuat roti yang biasa dia makan, gembiranya bukan main. Dia bilang roti buatan saya, jauh lebih enak dari Sourdough Bread yang biasa dia beli. Ah si Mas bisa saja. Kan jadi kembang kempis hidung saya.

Sourdough Pretzels
Sourdough Pretzels
Sourdough Pretzels
Sourdough Pretzels

Saya mulai sering mengutak atik resep yang menggunakan ragi biasa, saya transformasikan ke roti menggunakan Sophie. Lumayan berhasil dan gampang juga. Jadi Sophie ini saya gunakan bukan hanya untuk roti-roti ala Eropa, juga saya gunakan untuk roti-roti empuk ala Indonesia. Dalam satu minggu, saya menggunakan Sophie bisa 2-3 kali. Saya membuat roti hampir setiap hari.

Yang terbiasa menggunakan ragi instan atau ragi segar, begitu menggunakan ragi alami, akan diuji kesabarannya dengan lamanya waktu proofing. Biasa 2-3 jam adonan sudah ngembang (tergantung suhu ruangan), pakai ragi alami bisa 8-12 jam (bisa suhu ruang atau ditaruh di kulkas). Untungnya, saat awal mempunyai Sophie, sedang musim panas. Jadi tidak perlu mencari tempat khusus yang hangat. Satu lagi yang mungkin akan bikin kaget karena tidak terbiasa dengan ragi alami, yaitu rasa yang asam. Kalau untuk rustic bread, rasa asam malah membuat roti menjadi enak. Sedangkan untuk roti empuk dan manis, munculnya rasa asam yang membuat jadi tidak terlalu cocok, menurut saya. Jadi sekarang saya tahu, untuk jenis roti yang mana Sophie bisa digunakan. Satu yang masih membuat saya penasaran karena sampai sekarang masih belum bisa sempurna menghasilkan crumb yang besar pada rustic bread. Jangan patah semangat, suatu hari pasti bisa!

Sourdough Baguette
Sourdough Baguette

Sejak belajar ilmu membuat roti menggunakan ragi alami, saya juga banyak tahu kosakata baru, misalkan : hydration, laminating, stretch and fold, oven spring, open crumb, dll. Jadi makin banyak yang dipelajari, makin tahu dan menarik sekali ilmu ragi alami.

Saya masih pemula sekali untuk urusan ragi alami ini. Saya juga banyak belajar dari teman-teman yang berkutat dengan ragi alami, belajar dari beberapa orang di twitter, tidak sungkan bertanya jika tidak tahu. Apapun itu, yang membuat rasa penasaran saya bisa tertuntaskan. Biasanya setiap bereksperimen dengan Sophie, hasilnya akan saya bagikan (baca : pamerkan) di akun twitter dan FB beserta keterangan, misalkan tepung apa saja yang dipakai, hydration berapa % dan yang lainnya. Saya juga sangat senang kalau bisa berdiskusi tentang ragi alami. Unik sih ragi alami ini, polanya bisa berbeda tergantung suhu, makanan, dan suasana hati pemiliknya haha.

Sourdough Chocolate Cookies with Sea Salt
Sourdough Chocolate Cookies with Sea Salt

Semoga suatu hari nanti ada kesempatan sekolah untuk memperdalam ilmu dibidang membuat roti dan kue. Semoga terbuka jalan ke sana. Sekian cerita saya mengisi waktu, supaya hidup selama pandemi tidak hanya goler – goler saja (walau pada kenyataannya, ya lebih sering goler-goler dibandingkan produktif haha). Semoga Sophie hidup sejahtera bersama kami.

Penampakan Sophie saat ini, tidak terlalu cair lagi.
Penampakan Sophie saat ini, tidak terlalu cair lagi.

-28 September 2020-

Semangat Buat Kita Semua!

Veluwe

Tadi malam, saya dan suami berunding tentang rencana mudik tahun depan apakah masih bisa dilaksanakan atau tidak, melihat kondisi Indonesia sampai saat ini yang semakin aduhai membuat pilu dan greget tak bisa berkata-kata. Saya sangat memikirkan Indonesia, mau tidak mau, karena keluarga ada di sana, terlebih kondisi di Jawa Timur. Saya lalu menghubungi Garuda untuk menanyakan apakah kami bisa refund saja setelah masa berlaku tiket pernah kami perpanjang sampai Juni 2021. Pihak Garuda mengatakan, bisa refund tapi dalam bentuk voucher, tidak dalam uang cash dan masa berlakunya sampai 31 Desember 2021. Mereka juga bilang kalau tiket kami, sudah otomatis diperpanjang lagi sampai Desember 2021.

Mendengar tentang tiket kami yang sudah diperpanjang sampai Desember tahun depan, ada rasa lega, sesaat. Yang masih mengganjal, apakah benar tahun depan keadaan sudah aman untuk bepergian, paling tidak untuk mudik. Sudahlah nanti saja dipikirkan lagi, satu persatu. Semoga saja tahun depan benar keadaan mulai membaik.

Kami lalu berbincang tentang saya yang sampai 5 tahun lebih tidak pernah mudik sama sekali, sejak pindah ke Belanda. Sebenarnya sejak tahun ketiga, kami sudah berencana untuk mudik. Rencana yang sungguh-sungguh. Tapi tahun-tahun berikutnya ada saja sebuah kondisi yang membuat urung untuk mudik. Membuat mudik bukan prioritas lagi. Sampai tahun 2019 pertengahan kami sudah mantab akan mudik. Awal 2020 kami sudah membeli tiket, membeli oleh-oleh, mengabarkan keluarga besar di Indonesia, bahkan sudah membuat daftar makanan untuk dijelajahi, daftar kota untuk didatangi, sudah mendaftar untuk vaksin, segala persiapan sudah matang, lalu datanglah Pandemi. Wassalam gagal lagi. Beginilah jadi perantau, jauh dari keluarga di tanah air, memendam rindu untuk bertemu, ada rasa was-was apakah semua baik-baik di sana, hubungan jarak jauh dengan kawan, saudara, sahabat. Tahun ini, jujur saya melewati hari demi hari dengan perasaan cemas. Mencoba mengalihkan dengan hal-hal lain, tapi resah dan cemas selalu ada. Pikiran bercabang ke mana-mana. Kondisi mental saya naik turun sejak awal tahun.

Berbicara tentang hubungan jarak jauh, kami lalu teringat tahun 2014 saat berhubungan beda benua. Enam bulan sebelum menikah dan 6 bulan setelah menikah. Mungkin karena saat itu saya sedang sibuk (dan stress pula) perkara tesis dan kerja, jadi hubungan jarak jauh diantara kami tidak membuat saya pusing tujuh keliling. Ditambah lagi banyak dokumen yang musti diurus, dari dokumen nikah sampai dokumen pindah. Wes pokok e 2014 adalah tahun tersibuk selama ini. Kami bisa melewatinya dengan baik minim gontok-gontok an dan tak ada cemburu. Kami fokus dengan kehidupan masing-masing dan mempersiapkan segala sesuatu untuk kepindahan saya ke Belanda. Kami jalani hari demi hari dengan komunikasi yang seefektif mungkin, tidak pernah melakukan video call, bertahan dengan rindu, menyelesaikan semua yang harus diselesaikan. Buat kami, yang paling berat saat itu adalah perbedaan waktu. Saat saya sudah tidur, suami baru pulang kerja, saya malas sekali untuk bangun dini hari kalau tidak ada ujian atau tugas kuliah yang harus dikumpulkan keesokan hari. Saat saya bangun tidur untuk memulai aktifitas, suami masih tidur karena di Belanda masih dini hari. Saat suami bangun tidur dan ada waktu sebelum berangkat kerja, saya sedang kerja atau sedang jam kuliah. Begitu saja muter ritmenya. Makanya kami siasati dengan berkomunikasi lewat email. Atau kalau akhir pekan, kami lebih sering berbincang lewat WhatsApp. Saat itu, suami menelepon 2 minggu sekali.

Seberat-beratnya hubungan jarak jauh kami saat itu, saya pikir lebih berat hubungan jarak jauh saat Pandemi seperti ini. Beda kota, beda provinsi juga musti berpikir ulang untuk bertemu. Beda benua apalagi karena banyak negara saat ini masih menutup perbatasan untuk kedatangan mereka dari negara tertentu dengan visa turis atau mengunjungi keluarga. Hanya yang mempunyai ijin tinggal saja yang bisa masuk ke negara tersebut. Misalkan, di Belanda, saat ini belum bisa menerima kedatangan WNI dengan visa turis atau visa mengunjungi keluarga, kecuali sangat penting misalkan mengunjungi keluarga dekat yang sakit keras atau menghadiri pemakaman keluarga dekat. Itupun harus didukung dengan dokumen yang kuat. Indonesia juga belum bisa kedatangan WNA jika tidak mempunyai ijin tinggal (yang terbaru ada visa yang bisa digunakan hanya mereka yang mempunyai pasangan di Indonesia. Dibuktikan dengan dokumen-dokumen, tentu saja).

Hubungan jarak jauh kami saat itu, sesuatu yang memang kami tahu sejak awal akan terjadi dan kami rencanakan juga tahu kapan berakhirnya. Jadi serindu-rindu nya kami, jika memang ingin mengunjungi, masih bisa. Sedangkan mereka yang sedang berjauhan dengan yang tersayang saat ini, seperti meraba-raba kapan semua ini akan selesai dan kapan bisa bertemu kembali. Ini berlaku tidak hanya hubungan jarak jauh terkait percintaan, juga untuk mereka karena ikatan keluarga, misalkan hidup terpisah dari orangtua.

Saya ada seorang teman yang tidak bisa datang ke pemakaman Bapaknya di Indonesia. Dia masih punya anak bayi di sini, keadaan tidak memungkinkan pulang saat Bapak sedang dalam keadaan kritis. Dia mengikuti proses pemakaman lewat panggilan video. Semoga dia dikuatkan dan diberi ikhlas yang luas.

Buat yang sedang menjalani hubungan jarak jauh, kehidupan pernikahan yang terpisah karena pandemi, tertunda bertemu orangtua dan saudara karena keadaan belum memungkinkan saat ini, semoga kita semua dikuatkan ya. Saya hanya bisa menyertakan doa semoga tidak patah semangat, tidak putus berharap. Meskipun memang jalan di depan masih remang-remang, kapan ini sebenarnya berakhir, sedikit demi sedikit kita tetap bisa memupuk harapan. Jika situasi sudah memungkinkan, kita semua pasti bisa bertemu dan berkumpul dengan mereka yang kita sayangi. Tetap Semangat!

Beberapa hari lalu, Ibu berkata pada saya, “Sejak Pandemi, Ibu mematuhi semua apa yang sekiranya bisa memperpanjang umur Ibu, meminimalkan kemungkinan terkena virus. Apapun itu, semua Ibu lakukan. Keinginan Ibu saat ini cuma satu : bisa bertemu kamu, keluargamu, dalam keadaan sehat dan selamat melewati pandemi ini.”

Ibu saya sampai saat ini dalam keadaan sehat, masih kuat beraktifitas meskipun umurnya sudah sepuh. Saya trenyuh mendengar Ibu berbicara seperti itu. Betapa rindunya Beliau pada kami. Ibu terakhir bertemu kami, awal tahun 2018 saat Beliau berkunjung ke Belanda. Keinginan saya saat ini juga tidak muluk-muluk : tetap sehat selamat sekeluarga melewati pandemi ini supaya bisa bertemu Ibu, adik-adik, keluarga di Indonesia, dan sahabat-sahabat. Itu saja.

Sehat selalu buat kita semua. Jaga diri, jaga keluarga, supaya kita bisa berkumpul dan bertemu dengan yang kita sayangi. Semangat!

-24 September 2020-

Pengalaman Naik Pesawat Pertama Kali

Beberapa waktu lalu di twitter, ada topik yang membuat saya bernostalgia. Jadi mengingat hal-hal kocak tentang pengalaman naik pesawat pertama kali. Saya besar dikeluarga yang suka bepergian, terutama Ibu. Tapi, belum pernah sekalipun kami naik pesawat. Biasa naik bis, kapal laut, atau numpang mobil saudara. Paling mewah adalah naik kereta kelas ekonomi. Mewah karena kalau ke Jakarta naik kereta ekonomi, Ibu selalu masak banyak trus dibuat nasi bungkus. Jadi kami makan di kereta berbekal nasi bungkus buatan Ibu. Wahh, itu rasanya mewah sekali. Entah kenapa, berkali lipat enaknya. Padahal ya, kereta ekonomi pada jaman itu, sudahlah panas, tidurpun di lantai kereta beralaskan koran. Tidur di bangku kereta, sempit. Jadi lebih nyaman tidur di lantai kereta, beralaskan koran, lalu dilangkahi orang-orang yang lalu lalang dan para pedagang. Haha masa-masa itu. Indah untuk dikenang, tapi kalau disuruh mengulangi, saya tidak mau. Lagipula, katanya sekarang kereta ekonomi sudah jauh lebih nyaman.

Jadi tahun 2005, sebelum diwisuda, saya sudah diterima kerja di salah satu perusahaan Multinasional (sekarang PMA) yang ada di Surabaya. Sewaktu tandatangan kontrak kerja, saya diberitahu kalau sudah didaftarkan training di AC Nielsen – Jakarta, hari kedua kerja. Dikasih tau juga akomodasi dan lain-lainnya. Waahh, saya berasa keren sekali waktu itu dan juga rasa tak percaya baru masuk kerja sudah dikirim training. Saya naik Garuda Indonesia, makanya norak dan berasa keren. Tidak pernah naik pesawat sebelumnya, pertama langsung Garuda Indonesia dan dibiayai kantor pula.

Hari H tiba, saya naik taksi dari tempat kos. Naik taksi saja saya sudah merasa sangat keren karena dibayari kantor. Norak-norak bergembiralah intinya waktu itu haha. Berasa keren sejak awal. Hari itu, pertama kalinya saya tau yang namanya Bandara Juanda. Kalau lewat sih pernah beberapa kali sebelumnya. Tapi belum pernah sampai masuk ke dalamnya. Turun dari taksi, saya melongo, wah besar dan megah sekali. Lalu saya tersadar dan jadi deg-degan, semoga tidak nyasar. Oh ya, saya tidak pergi sendirian ke Jakarta, melainkan dengan rekan satu team dan manager. Pagi harinya kami sudah janjian akan bertemu di mana untuk sama-sama Check In. Sambil tetap deg-degan dan norak karena melihat Juanda pertama kali, akhirnya saya bisa menemukan mereka.

Saat Check In, meskipun judulnya tetap sama-sama, tapi kenyataannya sendiri-sendiri majunya. Saya pikir dikolektifkan. Saya urutan paling belakang, jadi deg-degan sendiri. Sampai depan, saking sudah tidak konsen, ditanya tiket pesawat, saya berikan briefing training hahaha padahal sudah saya siapkan lho. Cuma karena satu map, jadi salah kasih.

Selama di Bandara, saya diam saja beribu bahasa. Kalau tidak ditanya, ya saya tidak bersuara. Anak baru pun ya saya ini, tidak paham juga yang dibicarakan rekan kerja dengan manager itu apa. Saya juga bukan tipe orang yang suka basa basi atau sok-sok bisa masuk dalam pembicaraan. Sudahlah diam saja, daripada ketahuan ga pahamnya. Intinya selama menunggu masuk pesawat, saya ngintil mereka terus.

Tibalah saat masuk pesawat, ya itu pertama kali juga saya tahu dalamnya pesawat secara nyata. Sebelumnya cuma tahu dari film. Saat mulai pasang sabuk pengaman, sebelum Pramugari mempraktekkan, saya kembali resah. Duh gimana caranyaaa ini pasang sabuk pengamannya. Manager duduk sebelahan dengan rekan kerja. Sementara saya duduk terpisah namun masih satu deret. Saya yang awalnya pasang muka sok tahu, lalu bingung nengok kanan kiri, akhirnya menyerah bilang, “Bu, saya tidak tahu caranya pasang sabuk pengaman ini.” Manager saya biasa saja mukanya, lalu membantu memasangkan dan memberi tahu bagaimana cara melepaskannya.

Lalu pesawat tinggal landas, nah itu terharu sekali saya. Rasa : benar-benar naik pesawat nih, nyata! Tak berapa lama, pramugari mulai memberikan roti dan minuman sebagai camilan. Saat itu, saya tidak paham kalau itu diberikan sebagai salah satu fasilitas. Saya pikir seperti di bis, diberikan trus disuruh bayar kalau diambil. Jadi, setelah diberikan roti dan minuman, saya tidak langsung makan. Takut disuruh bayar hahaha. Ya maklum karyawan baru masuk dua hari, mana punya uang banyak ya kan. Di kepala saya, kalau berhubungan dengan Garuda Indonesia, pasti mahal semua. Wong tahun segitu tiket Surabaya – Jakarta pulang pergi, mahalnya tidak karuan. Jadi roti dan minuman tersebut tidak saya sentuh sama sekali. Sewaktu pramugari datang lagi untuk mengambil sampah plastik, saya mikir kok roti saya tidak diambil ya. Padahal kalau tidak makan, kan diambil saja, jadi saya tidak harus bayar. Ah, ya sudahlah pikir saya. Nanti kalau semua penumpang turun, pasti diambil juga dan saya tidak disuruh bayar.

Sewaktu bersiap-siap turun, manager saya bilang roti yang tidak dimakan bawa saja, taruh di tas. Nanti bisa dimakan di taksi. Saya bilang dengan polosnya : Memang sengaja tidak saya makan Bu, biar tidak usah bayar. Manager saya yang pada awalnya mukanya datar-datar saja, langsung tertawa ngakak “Den, itu dikasih rotinya. Kamu makan saja, ga akan disuruh bayar. Kan sudah dibayar kantor tiketnya.” Duh!! Muka saya berasa panas, entah berubah jadi merah apa tidak. Saya tersenyum kikuk, malu hahaha. Kocak bener kalau diingat.

Pengalaman naik pesawat pertama kali yang tidak akan pernah saya lupakan. Kocak, norak, berasa keren, tapi banyak bersyukur juga karena bisa naik pesawat pertama kali tanpa harus bayar sendiri.

Tahun depannya, saya pindah kerja di Jakarta. Di perusahaan baru ini, 70% pekerjaan saya di luar kantor. Jadi dalam 1 bulan, 20 hari selalu bepergian untuk perjalanan kantor seluruh Indonesia, 10 hari di kantor. Seseorang yang jarang sekali naik pesawat, menjadi orang yang sehari-hari akrab dengan bandara, pesawat, pramugari dan transit. Di kantor ini, fasilitas pesawatnya adalah Garuda. Dari GFF Blue sampai kelas Platinum saking seringnya bepergian. Lumayan, beberapa kali poinnya bisa saya tukarkan tiket untuk liburan. Kerja sering naik pesawat kadang sampai bingung sendiri, hari ini ada di kota mana, bangun tidur langsung kaget takut ketinggalan pesawat. Selama bepergian dengan pesawat, belum sekalipun ketinggalan pesawat. Tiga kali nyaris telat, malah dipindah ke kelas bisnis Garuda Indonesia. Wow, rejeki nomplok. Lumayan pas rute panjang : Jakarta – Makassar, Jakarta Manado, Jakarta – Medan. Lumayan bisa merasakan kelas bisnis haha. Karena kerja di kantor ini pula, saya jadi tahu banyak kota di Indonesia yang selama ini hanya tahu dari TV. Jadi punya kesempatan menyaksikan keindahan alamnya dan keragaman kulinernya.

Kalau bepergian sendiri tidak dibiayai kantor, saya naiknya pesawat yang terjangkau kantong harganya. Pernah naik Adam Air, Lion Air, Merpati, Air Asia, Tiger Air, Citilink, Sriwijaya, Mandala.

Pertama kali buat paspor, saya naik pesawat ke negara tetangga : Malaysia. Setelahnya, beberapa kali ke luar negeri (sampai akhirnya takdir mengirimkan saya tinggal di Belanda) dengan pesawat yang berbeda seperti Luthfansa, Etihad, Singapore Airlines, Ryan Air, KLM, Kroatia Air, beberapa saya lupa yang pesawat sekitaran Eropa.

Harusnya tahun ini naik pesawat ke Indonesia. Tidak jadi karena Pandemi. Naik pesawat terakhir kali ke Kroasia tahun kemaren. Tahun ini kami pergi liburan cuma dalam negeri saja.

Panjang juga ya cerita pengalaman pertama saya naik pesawat. Banyak kocaknya sih.

Cerita kalian sendiri bagaimana, pertama kali naik pesawat kemana perginya, pesawat apa, apakah ada cerita unik lucu dan menarik?

-25 Agustus 2020-

Merayakan Sebuah Proses

Bunga dari keluarga

Ini akan menjadi tulisan yang panjang. Bisa disimak buat para orangtua atau mereka yang merasa selama ini memandang sebuah proses haruslah berakhir menjadi berhasil. Mereka yang selama ini takut akan kegagalan. Tentang sebuah apresiasi terhadap proses.

KILAS BALIK

Saya tumbuh besar dididik oleh seorang Ibu yang sangat mendewakan sebuah keberhasilan. Bapak, justru kebalikan. Beliau selalu bilang, apapun hasil akhirnya tidak jadi masalah selama saya menjalani proses dengan sungguh-sungguh dan menikmatinya. Buat Bapak, tidak ada yang namanya gagal. Menurut Beliau, belum berhasil artinya diberikan kesempatan lagi untuk belajar lebih baik. Pesan Beliau : jadilah yang terbaik versimu.

Sayangnya, doktrin Ibu bahwa gagal adalah gagal itu selalu tertancap di otak saya sampai dewasa. Yang namanya gagal, ya gagal. Artinya tidak lalu menjadi keberhasilan yang tertunda. Sejak kecil, saya selalu berkompetisi dengan diri sendiri untuk membuktikan kepada Ibu bahwa saya bisa menjadi yang terbaik, versi Beliau. Berhasil? iya. Saya memang bisa membuktikan bahwa saya selalu menjadi yang terbaik, menjadi yang juara, menjadi Ter- Ter- versi Beliau. Apakah saya menikmatinya? Dulu saya pikir setiap keberhasilan yang saya raih membuat saya bahagia, membuat saya bangga. Dikemudian hari, saya menyadari bahwa selama ini saya tidak menikmati kebahagiaan sesungguhnya karena sudah menjadi seseorang yang berhasil meraih pencapaian tinggi. Bahagia, iya. Tapi rasa kebahagiaan yang saya rasakan seperti semu. Hanya sesaat saja.

Dikemudian hari saya juga menyadari bahwa untuk mencapai berhasil, saya tidak menikmati prosesnya. Tidak langkah per langkah saya pikirkan, tapi fokus saya selalu hasil akhir harus berhasil. Tidak boleh gagal. Kalau sampai gagal, kiamat dunia. Dulu, gagal buat saya adalah sebuah aib. Sebisa mungkin tidak saya suarakan, tidak saya beritahukan kepada orang lain. Saya akan simpan sendiri dan membuat jadi tertekan. Karenanya, saya akan berusaha lebih dari maksimal agar berhasil, menghindari tertekan karena gagal. Tanpa saya sadari, bahwa jalan menuju berhasil, prosesnya, itu yang membuat saya tertekan.

Ibu, juga mendidik saya dengan jarang sekali memberikan apresiasi. Walaupun berhasil, jarang terlontar pujian atau ucapan bahwa Beliau bangga pada saya. Keberhasilan semacam sebuah keharusan. Jika tercapai, ya memang selayaknya seperti itu. Tidak ada yang istimewa. Beliau tidak melihat jatuh bangun saya sampai dititik berhasil. Yang Beliau tanamkan, bahwa berhasil itu tidak perlu dirayakan, karena memang seyogyanya sebuah terget harus berhasil dititik akhirnya. Terbayang kan jika saya mengalamai kegagalan? Karenanya saya selalu berjuang lebih dari kata keras untuk berhasil.

Misal : sewaktu SMP saya pernah menjadi juara 1 di kelas. Waktu itu saya masuk kelas unggulan di mana isinya anak-anak pintar semua. Saya belajar mati-matian waktu itu. Tapi saya tidak mendengar ucapan selamat dari Ibu. Justru saya dengar bahwa Ibu bangga pada saya dari seorang teman Ibu. Saya ingat sekali sedihnya seperti apa. Lain waktu, saat SMA, saya pernah masuk dalam 10 besar pararel di sekolah. Pararel artinya juara antar kelas. Itu juga belajar mati-matian. Sekolah saya termasuk favorit di Surabaya, dan masuk 10 besar pararel artinya lumayan berprestasi. Saya bangga mengabarkan hal tersebut pada Ibu. Sambutan Ibu : kalau belajar lebih giat, mustinya bisa masuk 3 besar.

Walhasil, dibalik perjuangan keras saya untuk berhasil, ada satu harapan untuk mendapatkan sebuah apresiasi dari Ibu. Setiap langkah saya, setiap kerja keras, selalu yang terpikirkan adalah bagaimana caranya supaya Ibu memberikan pujian kepada saya secara langsung. Yang saya tahu, Beliau memberikan pujian, justru dilontarkan pada orang lain. Beliau bangga pada saya, tapi tidak saya dengar langsung. Saya justru tahu dari orang-orang yang mendengar lontaran bahwa Beliau bangga karena anak tertuanya sudah berhasil A, B, C dll. Hal tersebut malah membuat saya berpikir, kenapa ya kok Ibu tidak pernah memuji saya secara langsung? Tidak mengapresiasi apa yang saya lakukan secara langsung? Kenapa harus dilontarkan pada orang lain tanpa saya tahu.

Dengan keadaan seperti itu, menjadikan saya melakukan segala hal supaya selalu berhasil agar mendapatkan apresiasi dari Ibu secara langsung. Saya haus apresiasi. Sampai pada satu titik, akhirnya saya kelelahan dan mulai berhenti untuk menjadi yang terbaik versi Beliau. Saya lelah mengejar hal yang mungkin tidak akan pernah Beliau lakukan sampai kapanpun. Saya berhasil dalam banyak hal, tentu membahagiakan. Dilain sisi, ternyata saya tidak sebahagia yang saya pikirkan. Bahagia tapi kosong. Bahagia tapi lelah. Bangga karena bisa menyelesaikan sampai berhasil semua target yang saya pasang, tapi saya tertekan. Orang melihat saya selalu berhasil, nyaris tidak pernah gagal. Benar, tapi ternyata saya tidak pernah menikmati prosesnya. Saya kelelahan. Saking lelahnya, saya beberapa kali membutuhkan bantuan professional untuk mengatasi kondisi psikologis yang seperti ini.

Beberapa tahun belakang, saya memberanikan diri bertanya ke Ibu kenapa saya tidak pernah dipuji secara langsung ketika melakukan sesuatu hal yang sekiranya membanggakan Beliau. Ibu bilang karena tidak terbiasa jadi tidak tahu cara mengekspresikan langsung pada saya. Saya mencoba menerima apa yang Ibu utarakan tersebut. Mencoba berdamai dengan luka yang terlanjur ada.

SEMUA BERUBAH

Saat mulai tinggal di Belanda, saya makin menyadari bahwa yang saya lakukan saat tinggal di Indonesia benar-benar tidak sehat. Hidup penuh ambisi, penuh pembuktian kepada orang lain, ingin selalu jadi juara. Asal muasalnya satu : menjadi yang terbaik versi Ibu supaya Beliau selalu bangga pada setiap pencapaian yang saya lakukan. Saya tidak pernah menyisakan ruang untuk gagal. Saya tidak pernah merasakan langkah per langkah proses untuk menuju berhasil. Gagal adalah sebuah momok, aib. Gagal membuat saya jauh tertekan. Walhasil, saya hidup dengan gemuruh yang selalu ada di kepala. Positifnya, saya memang selalu dapat apa yang ditargetkan. Buruknya, kondisi psikologis saya yang tidak sehat.

Hidup di sini, melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana orang-orang yang saya temui, suami, mereka yang tinggal di lingkungan sekitar, dan lingkungan keluarga, mereka sangat menghargai yang namanya proses. Saat mendengar ada seseorang atau anggota keluarga yang merasa gagal melakukan sesuatu, tanggapan mereka selalu membesarkan hati, semacam : Nanti dicoba lagi, berarti waktu kamu buat belajar lebih panjang. Kamu sudah berhasil sejauh ini, sudah belajar keras. Kalau hasilnya belum maksimal, semoga setelah ini lebih baik ya sesuai yang kamu inginkan.

Maureen pernah membahas di tulisannya yang ini, tentang bagaimana menanggapi sebuah hal. Lebih spesifik tentang feedback. Seringnya, yang dilakukan oleh orangtua di Indonesia (pada masa saya, tapi tidak semua orangtua) adalah melihat kesalahan terlebih dahulu dibandingkan memberikan apresiasi. Mengkritik tapi lupa memberikan pujian. Padahal yang namanya usaha adalah proses panjang menuju titik yang ingin dicapai. Apapun hasilnya nanti, sebuah usaha layak mendapatkan apresiasi. Tidak usah muluk-muluk, ucapan selamat atau terima kasih sudah berjuang sejauh ini, itu sudah cukup.

Selama 5 tahun di sini, saya belajar akan hal itu. Memberikan apresiasi dan menerimanya. Sekecil apapun, setiap usaha layak mendapatkan apresiasi. Saya yang dulunya berjiwa ambisius namun cepat sekali merasa tersengal -lelah- sekarang lebih bisa merasakan setiap proses yang lakukan. Jika gagal, tentu saja kecewa, namun tidak berlebihan. Mulai bisa menerima konsep bahwa gagal juga bisa menjadi hal baik kedepannya. Ada waktu lebih untuk belajar. Menerima konsep bahwa gagal bukanlah sebuah aib. Menerima konsep bahwa gagal juga bagian dari proses pembelajaran dan bukanlah sebuah akhir.

Sejak di sini, saya berani untuk menjadi yang terbaik versi saya, bukan versi Ibu atau versi orang lain. Dan saya jauh lebih bahagia dengan hal tersebut.

BELAJAR MENYETIR MOBIL

Menyetir mobil bukanlah sesuatu yang saya rencanakan untuk dilakukan. Rumah kami dekat dengan transportasi umum : bis, tram, dan kereta. Mau ke mana-mana juga dekat karena lokasi rumah diantara 3 kota besar di Belanda. Kami juga ke mana-mana bisa naik sepeda. Lalu buat apa repot-repot belajar menyetir mobil, apalagi saya takut sekali yang namanya mengendarai kendaraan bermotor. Selain itu, kami juga tidak punya mobil.

Sampai sekitar September tahun lalu, saya mulai terpikir bahwa menyetir mobil itu termasuk salah satu skill yang harusnya saya punya. Saya tidak mau selalu bergantung ke suami jika suatu saat butuh untuk berkendara dengan mobil. Ditambah lagi, saya ingin menantang diri sendiri untuk melawan ketakutan mengendarai kendaraan bermotor. Singkat cerita, saya mendaftar les menyetir akhir tahun lalu.

Selama les, banyak kendala yang saya hadapi. Yang terbesar adalah : rasa takut. Itu benar-benar sebuah momok. Mengalahkan rasa takut dan tidak percaya diri itu susah. Tapi kembali lagi, saya sudah berniat untuk bisa menyetir walaupun prosesnya harus diselingi dengan tangisan. Terkadang saya lupa, bahwa saya memulai dari nol dan semua butuh waktu. Instruktur menyetir saya yang mengingatkan bahwa tidak bisa saya langsung menguasai semua hal yang berhubungan dengan menyetir mobil dalam sekali jalan. Layaknya anak kecil yang belajar melangkah, prosesnya harus dijalani. Tidak bisa langsung loncat tahapannya. Saya pernah ditegur oleh dia saat ditanya hal apa yang saya pelajari hari itu. Saya menjawab : banyak sekali salah yang saya lakukan hari ini. Dia lalu bilang : kenapa kamu selalu fokus dengan kesalahan yang kamu lakukan. Kenapa kamu tidak fokus dengan keberhasilan yang kamu lakukan hari ini dan berterimakasih ke diri sendiri kamu sudah melangkah sejauh ini. Setiap orang yang belajar pasti ada salahnya, tapi bukan berarti tidak melakukan yang benar kan. Salah buat bahan koreksi supaya kedepannya lebih baik. Tapi jangan lupa untuk berterima kasih ke diri kamu sendiri untuk setiap keberhasilan meskipun kecil bentuknya.

Saya terdiam. Sejak saat itu, saya selalu berusaha melihat hal positif setiap les menyetir. Kesalahan menyetir masih banyak yang saya lakukan. Tapi, bukan berarti tidak ada hal baik yang sudah saya lakukan sejauh ini. Saya berterima kasih dengan keras kepala saya untuk selalu belajar lebih baik lagi.

Kemarin, merupakan hal bersejarah buat hidup saya. Akhirnya ujian menyetir pun tiba setelah tertunda 3.5 bulan karena Corona. Saya sudah berjalan sejauh ini, saatnya menunjukkan apa yang saya pelajari ke pihak penguji. Ditahap ini, saya bilang pada diri sendiri, saya akan berusaha semaksimal mungkin selama ujian. Berhasil atau mengulang lagi, saya tetap melihat sebagai sebuah keberhasilan karena sudah berani menaklukkan ketakutan menyetir mobil.

Setelah ujian selesai, seperti yang sudah saya duga karena ada beberapa kesalahan yang saya lakukan saat di jalan, saya harus mengulang ujian. Kecewa tentu saja. Tapi saya langsung bilang ke diri sendiri : Hebat, kamu sudah melalui tahap ini. Terima kasih kamu sudah berani untuk menyetir mobil. Mari belajar lebih semangat dan menyetir dengan lebih aman setelah ini. Jangan menyerah ya, yuk sama-sama berusaha. Saya bangga dengan kamu.

Instruktur saya pun bilang : Kamu hebat sudah mengalahkan rasa takutmu. Sudah melangkah sejauh ini. Setelah ini, kita perbaiki lagi apa yang jadi bahan masukan dari penguji. Tetap semangat ya, jangan menyerah. Saya yakin kamu bisa.

Sesampainya di rumah, saat membuka pintu, saya mengabarkan kalau musti mengulang lagi. Suami memberikan bunga dan mereka memberikan ucapan selamat pada saya. Suami bilang bahwa saya layak mendapatkan bunga dan ucapan selamat atas proses panjang dari nol yang telah saya lakukan. Dia bilang : Lulus atau mengulang lagi, sama-sama dirayakan karena kamu sudah melangkah sejauh ini.

Bunga dari keluarga

Terharu rasanya mendapatkan dukungan seperti ini. Keluarga adalah pendukung utama saya. Siangnya saya bercerita pada beberapa teman, termasuk Yayang. Dia mengatakan satu hal : Kamu sudah menjadi seorang pemenang karena sudah mengalahkan rasa takutmu. Meskipun kamu harus mengulang ujian, kamu sudah menjadi seorang pemenang karena sudah berusaha paling maksimal.

Ah ya, saya sudah menjadi seorang pemenang. Terima kasih, Yang.

Sorenya kami merayakan apa yang terjadi hari itu. Merayakan sebuah proses. Kami memesan antar makanan dari restoran yang dekat dari rumah. Saat makan, suami bilang : Lulus atau mengulang, kamu tetap juara buat kami. Dari yang tidak bisa mengemudi mobil, sekarang sudah bisa mengemudi ke mana-mana selama les. Selanjutnya, tinggal meningkatkan jadi lebih baik supaya lulus ujian.

Terima kasih, kalian selalu mendukungku. Terima kasih juga buat Ibu yang mendoakan saya saat ujian kemarin.

BERIKAN APRESIASI PADA ANAKMU

Seorang anak, berapapun usianya, mempunyai perasaan. Bahkan seorang balita sekalipun. Hargailah perasaan anakmu. Belajar dari apa yang sudah Ibu lakukan pada saya. Sejauh ini, saya tidak menyalahkan sepenuhnya apa yang Ibu perbuat pada saya. Saya percaya, setiap keberhasilan yang saya lakukan, ada doa Ibu yang menyertai di dalamnya. Ada sujud panjang Ibu di Tahajjud, sholat-sholat wajib dan sunnah lainnya. Yang Ibu lupa adalah mengapresiasi setiap hasil yang saya lakukan. Berhasil ataupun gagal, ada proses panjang di dalamnya. Ibu lupa bahwa seorang anak juga ingin mendengar langsung bahwa Beliau bangga atas apa yang saya lakukan selama ini. Ibu lupa menanyakan apakah saya bahagia dengan segala pencapaian selama ini. Ibu lupa bertanya apakah semua ini benar-benar yang ingin saya jalankan dan inginkan.

Ada luka dalam batin menyertai proses tumbuh saya. Saat ini, saya perlahan menyembuhkan luka tersebut. Belum terlambat untuk berbenah. Semua harus berhenti di saya. Perlahan tapi pasti. Tidak ingin meneruskan pada keturunan saya, setiap proses harus diapresiasi. Setiap proses ada bahan pembelajaran. Gagal juga bagian dari hidup yang harus dihadapi. Tidak semua hal sesuai kehendak kita. Gagal bukanlah aib.

Semoga apa yang saya tuliskan kali ini bisa membuka wacana tentang hal yang mungkin dianggap sepele tapi berdampak sangat besar di kemudian hari. Mengapresiasi setiap proses yang sudah dilakukan.

Buat para orangtua, jangan segan-segan untuk memberikan apresiasi untuk anak-anakmu sekecil apapun itu.

Buat kamu sebagai pribadi, jangan lupa ucapkan terima kasih pada diri sendiri atas segala perjalanan yang sudah ditempuh sejauh ini. Terima kasih karena sama-sama belajar untuk berproses menjadi lebih baik. Jangan segan untuk merayakan meskipun gagal. Mari merayakan sebuah proses.

Selamat berakhir pekan!

-10 Juli 2020-

Liebster Award 2020 – Mijn Versie

Menarik juga ya postingan tentang Liebster Award ini. Dulu sering dapat dari beberapa blogger, tapi entah kenapa saya tidak mengerjakan PR dari mereka. Mumpung sekarang sedang rame lagi, niat saya kerjakan.

Kali ini saya mendapatkan PR dari tiga blogger, yaitu Rahma, Maureen, dan Anis. Terima kasih ya sudah dikasih PR. Aturan main Liebster Award ini bisa dibaca di infografis di bawah. Karena saya mendapatkan pertanyaan dari tiga orang, jadi saya langsung menjawab 33 pertanyaan dalam satu postingan ya, males kalau harus memisah.

11 fakta random tentang diri sendiri :

  1. Belum pernah makan jengkol dan tidak tertarik ingin mencoba. Tapi doyan sekali makan pete.
  2. Belum pernah makan durian, tidak ada hasrat untuk mencoba karena dari jarak jauh kalau sudah tercium aromanya jadi keliyengan.
  3. Pernah menjadi Pestecarian selama 11an tahun. Jadi tidak mengkonsumsi daging merah dan ayam, tapi konsumsi makanan laut. Kembali lagi ke jalan yang benar sekitar 3 tahun lalu karena badan butuh zat besi yang lebih banyak.
  4. Bukan penyayang hewan, tapi juga tidak benci.
  5. Bukan penggemar nasi padang.
  6. Tukang pamer foto makanan di segala media sosial yang dipunya (cuma 2 biji) hasil masak sendiri, hasil beli, maupun hasil dikasih orang lain.
  7. Punya ambisi menjelajah Afrika, sejak usia SD sampai saat ini.
  8. Tidak terlalu hobi mandi menyeluruh.
  9. Suka bersih-bersih rumah, bersih-bersih halaman, buang-buang barang yang lama tidak terpakai, meminimalkan barang yang ada di rumah. Tidak betah dengan rumah yang berantakan. Paling geli kalau menginjak lantai rumah kotor dengan kaki telanjang. Tiada hari tanpa bersih-bersih, kecuali sedang males gerak.
  10. Pernah makan babi dan rasanya enak sekali. Pernah banyak kali minum minuman yang mengandung alkohol dan ternyata lebih cocok minum air mineral.
  11. Paling tidak suka dengan orang yang Humble Brag dan kebanyakan basa basi.

Saatnya menjawab pertanyaan.

Dari Anis :

  • Apakah kamu night owl atau morning person?

Jam berapapun tidurnya di malam hari, bangun selalu antara jam 4-5 pagi. Bisa jadi kalong, bisa tidur cepet. Tergantung kebutuhan. Tapi bangun selalu pagi dan selalu produktif kalau pagi (kecuali jaman kerja, baru produktif jam 3 sore haha, pantes lembur mulu)

  • Seandainya bisa memilih, di lokasi mana kamu mau tinggal/menetap?

Di manapun keluarga saya berada dan hidup nyaman terjamin serta bahagia lahir batin. Saat ini, Belanda.

  • Pilih mana, liburan di gunung atau pantai? Jangan lupa alasannya

  Gunung karena suka mendaki dan tantangannya lebih dibandingkan pantai.

  • Siapa idolamu dahulu kala dan masih tetap jadi idola sampai sekarang atau udah nggak lagi?

Jon Bon Jovi. Jaman masih SMP malah punya ambisi pengen kawin sama Bon Jovi hahaha konyol. Masih suka sampai sekarang.

  • Apa menu sarapan favoritmu?

Sewaktu di Indonesia, sarapan menu warteg. Favorit cumi sotong dan oseng buncis, nasi anget. 1.5 tahun ini hampir tidak pernah sarapan. Males tidak ada hasrat. Jadi langsung makan siang. Tapi kalau ingin sarapan, menunya agak horor semacam mie goreng instan pakai cabe rawit.

  • Buku apa yang terakhir kali kamu baca?

Teori Menyetir Mobil di Belanda

  • Barang apa yang buat kamu sangat berat/susah untuk melepasnya dan kenapa?

Tidak pernah punya ikatan batin dengan barang apapun. Kalau memang sudah tidak berfungsi lagi, ya secepatnya dienyahkan.

  • Sebutkan satu produk (boleh apa aja, sebut merek juga gapapa hihi) yang menggambarkan kepribadianmu 

Sneakers, Backpack, dan rok (lebih dari satu). Merek apa saja yang penting awet dan harga terjangkau (kalau perlu diskon 90%).

  • Kamu lebih dekat dengan siapa, Ayah atau Ibu?

Bapak

  • Nasihat terbaik apa yang pernah kamu terima dalam hidupmu sampai sekarang?

Dari Bapak : Hidupmu adalah tanggungjawabmu. Apapun pilihan hidupmu, jadilah yang terbaik versimu.

Dari Ibu : Perempuan apapun statusnya, harus berpenghasilan sendiri supaya punya harga diri.

  • Boleh share link postingan blog milikmu yang paling berkesan buatmu dan cerita dibaliknya?

Tulisan tentang Keguguran : Yang Terjadi Pada Kehidupan Setelah Keguguran. Salah satu kehilangan yang cukup berat untuk saya. Setiap mengalami keguguran, hidup rasanya jungkir balik. Sedih tidak bisa digambarkan.

Dari Rahma :

  • Alasan tetap bertahan ngeBlog

Dasarnya suka menulis jadi selama ada sarana menulis seperti WP, akan tetap ngeblog.

  • Negara yang tidak ingin dikunjungi

Belum terpikir karena cita-cita mulia ingin mengunjungi semua negara di dunia.

  • Kalau bisa jadi time traveler, maunya kembali ke masa apa, bertemu siapa

Bertemu diri sendiri sekitaran tahun 90an. Ingin bilang agar tidak terlalu banyak berpikir yang mboten mboten dimasa akan datang. Jangan menjadi orang yang overthinking.

  • Kalau misal jadi penyanyi, maunya jadi seperti siapa?

Sundari Soekotjo

  • Sebutkan 1 Pengalaman paling memalukan ketika traveling

Sewaktu bulan madu di Pulau Menjangan, Bali, nyaris tenggelam. Sok tidak mau memakai pelampung saat snorkeling di tengah laut dan mengaku bisa berenang. Bisa sih berenang, tapi tidak jago. Walhasil saat arus mulai kencang, saya kebingungan dan mendadak panik. Suami jaraknya sangat jauh. Mencoba mencari pegangan yang terdekat, ada turis perempuan yang memakai pelampung. Saya pegang badannya, dia teriak-teriak. Ternyata dia tidak bisa berenang. Hebohlah Malu saat itu.

  • Apa moment terbaik tahun lalu

Bisa menyelesaikan target membaca 50 buku

  • Apa makanan di dunia yang belum sempat dicicipi sampai detik ini.

Durian dan jengkol. Memang tidak mau mencicipi.

  • Kalau boleh memilih, negara mana yang diinginkan ketika ada kesempatan untuk pindah menetap ke luar negeri, sebutkan dengan alasan.

Belanda karena sejak 15 tahun yang lalu ingin melanjutkan kuliah di Belanda.

  • Semisal dikasih kesempatan bisa interview Donal Trump dan Kim jong un, 1 pertanyaan penting apa yang ingin ditanyakan.

Melepaskan kesempatan tersebut.

  • Semisal teman dapat kesempatan 1 hari jadi Mark zuckenberg dan dapat mengendalikan sosial media miliknya, 1 langkah apa yang ingin diambil

Membekukan akun-akun yang promosi Nikah Muda dan Poligami.

  • Kata motivasi terbaik yang paling menyentuh dan selalu dijadikan api penyemangat diri ketika jatuh dalam kegagalan agar bisa bangkit lagi?

Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya.

Dari Maureen :

  • Apa 1-2 hal yg dipelajari dari masa lalu?

Pantang menyerah dan selalu mengosongkan diri supaya banyak hal baru yang bisa dipelajari.

  • Apa deskripsi dari makan pagi yang ideal?

Bisa membuat sepanjang hari cerah gembira. Semisal : Ceplok telur dan nasi putih hangat yang diberi kecap manis.

  • Kapan tahun terbaik dalam hidupmu?

Tahun-tahun saat sudah pindah ke Belanda. Banyak pembelajaran berharga dan banyak belajar hal baru dengan jatuh bangun perjalanannya.

  • Barang apa yang sedang diinginkan saat ini?

Bukan barang, tapi makanan. Petis ikan Madura, persediaan di rumah sudah tak ada, tinggal sak ndulit.

  • Apa yang masing ingin kamu pelajari lebih lanjut?

Tentang cara kerja otak. Sedang mengambil kursus online untuk belajar hal ini

  • Bisa memberi saran satu kebiasaan sederhana yang bisa membuat dunia lebih baik?

Mandi seperlunya saja, tidak perlu sering-sering dan tidak perlu lama durasi mandinya. Lumayan kan bisa menghemat air di bumi. Air jadi bisa digunakan untuk keperluan yang lebih penting lainnya.

  • Postingan blog tentang apa yang menarik buatmu?

Tentang makanan, cerita sehari-hari yang tidak terlalu berlebihan, dan tentang perjalanan.

  • Seandainya ada tawaran menulis buku, apa yang menjadi judul bukumu nanti?

Cara cepat, singkat, dan gampang mempelajari Sistem Dinamika dan Metaheuristika.

  • Apa sosial media yang masih digunakan?

Twitter dan Facebook.

  • Theme blog yang seperti apa yang kamu suka?

Simpel tidak terlalu banyak warna.

  • Postingan apa yang view-nya paling banyak, sertakan linknya ya.

Ada dua yang setiap tahun viewnya selalu banyak : Pelangkah dan Langkahan, mitos atau fakta dan Mengurangi Nasi Putih, Minyak, dan Garam untuk hidup lebih sehat.

Pfiuhh akhirnya selesai juga menjawab 33 pertanyaan.

PERTANYAAN DARI SAYA

  • Apa yang kamu tidak sukai dari ngeblog?
  • Topik tentang apa yang paling kamu suka saat menulis blog?
  • Perbedaan dunia blog saat ini dibandingkan 10 tahun lalu, menurutmu seperti apa? –> jika ngeblog belum 10 tahun, perbandingannya saat kamu awal ngeblog.
  • Boleh tau blogger siapa saja yang kamu suka baca tulisannya (sekalian sertakan linknya)? Alasannya kenapa? —-> pertanyaan ini supaya menambah wawasan saya tentang blogger-blogger yang ada saat ini.
  • Apa arti media sosial buat hidupmu?
  • Media sosial apa yang paling menarik dari yang kamu punya saat ini?
  • Bagaimana kamu dalam bermedia sosial : Tanpa batasan semua tidak masalah dibagikan, ada batasan tertentu, atau banyak batasan? kenapa?
  • Pamer tentang hal apa yang paling tidak kamu sukai di media sosial? Apakah kamu dulu juga pernah melakukannya?
  • Pernah mendapatkan Bullying di media sosial? Jika pernah dan tidak keberatan, bisa tolong ceritakan karena apa?
  • Bagaimana kamu menilai dirimu sendiri saat ini : Apakah sudah merasa matang secara sikap dan pemikiran? Apakah merasa masih labil? Atau ada hal lainnya?
  • Masakan apa yang paling juara yang pernah kamu buat dan selalu mendapatkan pujian dari orang terdekat yang memakan?
  • Apa yang paling kamu banggakan dari dirimu sendiri, saat ini?
  • Apa kabarmu selama Pandemi ini?

Jika tidak ingin mengikuti award-award an ini, tidak masalah. Lewatkan saja. Buat seru-seruan. Jika berkenan, monggo pertanyaan di atas dijawab di blog masing-masing dengan bahasa yang biasa digunakan di blog. Pertanyaan di atas, saya tujukan untuk 13 blogger (harusnya cuma 11, tapi saya lebih suka angka 13) di bawah ini :

Terima kasih sebelumnya untuk kesediaan rekan-rekan blogger terhadap keikutsertaannya pada Liebster Award ini.

Selamat berakhir pekan.

-19 Juni 2020-

Mereka Hanya Manusia Biasa

Mereka Hanya Manusia Biasa

Sebenarnya dari dulu ingin menuliskan topik ini karena beberapa kali mendapatkan komentar yang berhubungan dengan hal ini. Sengaja saya tidak menggunakan judul Bule karena sejak dulu tidak mau numpang beken dengan menggunakan kata tersebut. Tidak mau menggunakan embel-embel Bule supaya terkenal. Biarlah saya terkenal karena usaha sendiri *huwopooo ae.

Jadi begini, beberapa kali di blog dan di twitter saya mendapatkan komentar tentang beruntung dapat suami bule. Kata mereka, punya pasangan bule itu tiap saat pasti romantis dan mereka membaca dari cerita saya di blog atau beberapa cuitan di twitter yang disimpulkan rumah tangga saya adem ayem saja. Jadi ada beberapa yang minta dicarikan bule untuk dijadikan pasangan (entah pacar atau untuk status pernikahan).

Begini ya, yang namanya rumah tangga itu pasti ada saja celahnya untuk tidak adem ayem. Dua kepala yang tiap hari bertemu satu rumah ya pasti ada saja berselisihnya. Dari hal kecil sampai hal kecil yang dibesar-besarkan. Mau menikah dengan yang sama sebangsa ataupun yang tidak sebangsa, kemungkinan untuk berbeda pendapat dan bertengkar, akan selalu ada. Bule romantis? tergantung definisi romantis seperti apa. Setiap orang pasti punya standar romantis yang berbeda. Buat saya, romantis itu kalau suami pulang dari belanja lalu bilang dia tidak lupa membelikan cabe, tempe, dan tahu. Itu menurut saya romantis karena dia mengingat fovorit istrinya dan membelikannya tanpa saya minta. Jadi merasa dia mengingat saya setiap melihat cabe haha.

Kalau memberikan bunga, mungkin buat orang lain romantis, tapi buat orang Belanda itu sudah jadi hal yang biasa. Saya tetap senang kalau diberikan bunga oleh suami. Tetap ada rasa kupu-kupu di perut jika dikasih bunga. Tapi buat saya bukan masuk definisi romantis. Mungkin jika patokan romantis seperti yang ada di film-film, saya rasa pria Indonesia juga banyak yang romantis. Jadi, jangan dijadikan patokan jika setiap Bule pasti romantis.

Kembali ke pembahasan rumah tangga yang nampak adem ayem. Alhamdulillah kalau ada yang berpikir seperti itu dan saya amini sebagai doa. Saya tidak pernah mau membawa apapun permasalahan yang terjadi di rumah sampai ke luar rumah. Apa yang terjadi di rumah, kami selesaikan di rumah. Tidak perlu dunia tahu apalagi diumbar ke media sosial. Saya selalu ingat perkataan Ibu : simpan baju kotormu di rumah, tidak perlu tetangga dan saudaramu tahu. Sejauh ini, wejangan itu yang selalu saya ingat dan suami satu pemikiran. Saya menceritakan hanya yang ingin saya ceritakan di blog atau di media sosial. Selebihnya, biarkan jadi ruang privasi saya. Jikapun mungkin ada masalah, kami akan menyelesaikan sendiri, tidak perlu seluruh lapisan masyarakat berperan di dalamnya. Lha wong kami ini bukan orang terkenal, buat apa woro-woro, ya tho? Jika tidak bisa menyelesaikan sendiri, kami akan minta bantuan professional. Sebisa mungkin tidak melibatkan saudara apalagi teman, supaya tidak ada keberpihakan. Apalagi sampai dijadikan status di media sosial, buat apa. Malah saya pikir jadi membuat banyak orang bersorak sorai. Saya tidak bisa mengontrol apa reaksi orang, tapi saya bisa mengontrol apa yang perlu saya bagikan. Semakin bertambah umur, semakin saya berhati-hati dengan yang namanya kecepatan jari.

Setiap rumah tangga punya rambu-rambu dan tidak bisa disamakan dengan yang lainnya. Kepentingan juga berbeda, sehingga aturan yang dibuat juga disesuaikan kondisi yang ada. Yang penting dibicarakan sama-sama dan disepakati bersama supaya menjalani dengan bahagia. Tidak ada yang paling sempurna. Hidup memang sawang sinawang. Orang melihat kawin dengan bule kok terlihat bahagia, padahal ya jatuh bangunnya selalu ada. Hanya kami memilih untuk tidak berbagi bagian jatuh ndelosornya. Bukan untuk pencitraan, bukan untuk menampilkan yang baik-baik saja. Kembali lagi, saya hanya ingin berbagi yang ingin saya bagi. Jika dari yang membaca blog ini ada yang mengikuti akun twitter (atau FB) saya, tahu jika saya jarang sekali berbincang hal-hal yang menyangkut suami (atau keluarga kami). Saya saling follow dengan suami di twitter, tapi kami tidak pernah saling “berbincang” di media sosial. Lah yo buat apa tho, wong satu rumah. Malah nampak aneh kalau segala sesuatunya dibicarakan lewat media sosial padahal tidur juga sebelahan. Eh, tapi ini menurut saya lho ya, kalau berbeda dengan yang lainnya ya monggo tidak masalah.

Mereka Hanya Manusia Biasa
Mereka Hanya Manusia Biasa

Bule itu juga manusia biasa. Sama saja dengan segala bangsa di dunia ini. Ada yang baik, ada yang blangsak. Ada yang mampu mengingat setiap tanggal bersejarah, ada yang ingat nama lengkap pasangannya saja sudah untung. Banyak yang pinter, yang tidak pintar juga tidak kalah banyak. Ada yang anti air, ada yang ketetesan keringet sebiji aja langsung mandi. Ada yang pintar masak, ada yang lebih baik istrinya saja yang masak daripada dapur berubah kayak Pasar Gembrong. Yang penting, sebelum memutuskan melangkah terlalu jauh untuk berkomitmen yang serius, ditinjau dulu segala sesuatunya, jangan silap mata dengan status bule. Ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan sebelum melangkah untuk serius.

Jangan berpikir tentang setiap hari akan dapat bunga dan lantunan puisi. Mungkin memang ada yang tipe seperti itu, tapi prosentasenya saya yakin tidak banyak. Jangan berpikir semua bule pasti cakep. Yang tampang pas-pasan juga luber ke mana – mana. Sama saja intinya. Di Indonesia juga ada NicSap yang cakep tho *Loalaahh mbak, ga iso mup on teko mas iku. Jangan berpikir nikah dengan Bule hidup pasti terjamin. Ingat, seperti halnya semua bangsa, tidak semua bule punya harta berlimpah. Yang pas-pas an juga tak kalah banyaknya. Belum lagi perjalanannya panjang dengan sederet dokumen yang harus dipenuhi. Jika memutuskan pindah negara, sudah siap kalau pas kangen ingin makan tempe tapi ga ada yang jual tempe? Sudah siap ngonthel sepeda ditengah hujan salju? siap lapar tengah malam pengen makan sate tapi yang ada roti dingin?

Rawat tanaman di halaman sendiri supaya tetap segar dan menarik dilihat. Kalau tidak punya tanaman, ya rawat apa yang ada. Sesekali nengok halaman tetangga ya tidak apa-apa, siapa tahu mendapatkan inspirasi, atau malah berjodoh dengan tetangga. Berjodoh dengan siapapun, jangan jadikan kewarganegaraan tertentu untuk dijadikan patokan, apalagi sampai niat untuk memperbaiki keturunan. Lha memang keturunannya yakin baik kalau nikah dengan yang berbeda warna kulit? kalau tidak sesuai yang diharapkan, lalu bagaimana? kalau pasangannya tidak mau berketurunan, lalu bagaimana?

Banyak hal yang perlu dipikirkan lebih panjang, bukan hanya sekedar bule. Mereka juga manusia biasa, yang punya kelebihan dan kekurangan. Mereka manusia biasa, bukan dewa, jadi tak perlu didewa-dewakan.

-12 Juni 2020-

Cerita Lebaran Keluarga di Indonesia

Pertengahan Maret 2020, setelah berunding dan mempertimbangkan banyak hal, akhirnya kami memutuskan untuk tidak mudik. Keputusan sangat berat, terutama buat saya. Setelah 5 tahun belum ada kesempatan mudik, tahun ini kami sungguhlah niat untuk mudik bertepatan dengan Ramadan dan Lebaran. Mudik yang sangat dinanti. Bukan hanya kami, keluarga di Indonesia yang kami kabari, sudah tak sabar menunggu bulan Mei tiba untuk bisa segera bertemu. Kami sudah 90% siap. Ibupun sudah mempersiapkan segalanya di sana. Hampir setiap hari Ibu bertanya, apa yang kami butuhkan, apa yang perlu Ibu persiapkan. Ibu sudah sangat siap menyambut kedatangan kami sekeluarga.

Sampai pada hari di mana keputusan untuk batal mudik dibuat. Saya bilang ke suami akan mengabarkan hal ini kepada Ibu, “tapi kasih aku waktu. Saat aku siap, aku akan bilang ke Ibu.”

Memberitahukan pengunduran mudik kami selalu saya tunda, sampai awal April, baru saya menguatkan hati untuk memberi tahu Ibu. Berat rasanya. Membayangkan betapa kecewanya Ibu. Saya memberitahukan tentang alasan-alasan kenapa kami memilih untuk tidak mudik saat ini dan mengundurkan entah sampai kapan. Lalu menutup percakapan di WhatsApp, saya mengatakan ke Ibu, “Demi keselamatan kita bersama Bu. Saya tidak mau membawa virus ini ke tempat Ibu. Belanda sekarang sedang dalam situasi yang genting. Saya juga tidak mau liburan di sana dengan perasaan was-was dan cemas. Maaf Bu, semoga Ibu legowo.”

Lalu panjang lebar Ibu menanggapi, “Sejak awal virus ini masuk Indonesia, sebenarnya Ibu ingin menyarankan kalian untuk menunda mudik. Ibu tidak ingin ada hal buruk yang terjadi. Ibu ingin kita semua sehat. Tapi, Ibu tidak mau mengatakan itu karena kamu pasti sudah mempersiapkan semua. Saat kamu akhirnya bilang akan menunda mudik, Ibu sangat lega. Lebih baik menunda bertemu Ibu dan keluarga di sini tapi semua sehat, daripada memaksakan mudik tapi malah bisa menimbulkan marabahaya. Mari kita saling jaga sebagai keluarga, di tempat masing-masing, dengan cara-cara yang bisa kita lakukan. Turuti apa yang saat ini pemerintah anjurkan. Mari kita saling berdoa semoga dipanjangkan umur dan sehat sehingga bisa bertemu kalau keadaan sudah aman.”

Saya lega luar biasa dengan jawaban Ibu. Terharu karena Ibu justru lebih berpikir panjang dibanding saya. Setelahnya, saya menghubungi pihak maskapai untuk mengurus penundaan keberangkatan.

Awal Mei, menjelang Ramadan, saya bertanya ke Ibu, apakah ada rencana untuk Taraweh di Masjid? dan apakah selama ini tetap shalat berjamaah di Masjid? Kata Ibu,”Sejak daerah ini ditetapkan sebagai zona merah, Ibu sudah tidak pernah lagi jamaah di Masjid. Nanti rencananya Taraweh juga di rumah saja. Kalaupun pada akhirnya Ibu meninggal, Ibu berikhtiar supaya meninggal bukan karena virus ini. Ibu juga ingin menjaga supaya tidak menularkan pada orang lain. Sholat di rumah tidak berjamaah di situasi sekarang ini, toh tidak lantas berkurang pahala.” Sebagai infornasi, Ibu selama ini tidak pernah meninggalkan satu waktu sholatpun untuk berjamaah di Masjid. Jadi ketika saya membaca apa yang Ibu tuliskan, jadi terharu sendiri. Ibu lebih baik tidak sholat di masjid untuk melindungi diri sendiri dan orang lain.

Lain waktu, saya bertanya kepada adik laki-laki apakah masih sholat Jumat di Masjid? Dia bilang sudah sejak awal April tidak pernah lagi sholat Jumat di Masjid. Dia sholat Jumat sendirian.

Menjelang Idul Fitri, Saya kembali bertanya ke Ibu apa rencana Idul Fitri nanti tentang sholat dan unjung-unjung antar saudara dan tetangga. Ibu bilang, “Ibu sholat Ied di rumah saja. Apa fungsinya sholat berjamaah di Masjdi dan lapangan tapi shaf diberikan jarak. Dan lagi, disituasi saat ini, apakah bijak jika sholat Ied berjamaah di Masjid atau lapangan sedangkan meskipun katanya mengikuti protokol, tapi malah kemungkinan menimbulkan bahayanya tinggi. Adik-adikmu tidak Ibu perbolehkan datang ke sini. Lebih baik Ibu lebaran sendirian tapi aman daripada rame-rame tapi beresiko tinggi. Lebaran kali ini beda, tidak usah dipaksakan sama. Toh masih bisa saling telpon. Toh bisa sholat sendiri di rumah. Yang penting semua sehat, semua selamat.”

Adik-adik saya juga sholat Ied di rumah masing-masing. Hari Raya, saya melakukan panggilan video ke Ibu dan adik saya yang laki-laki. Sebenarnya ada rasa sedih karena ini lebaran pertama bagi Ibu benar-benar sendirian dan lebaran pertama juga buat adik-adik tidak berkumpul dengan Ibu dan saudara-saudara di desa. Tapi, ada perkataan Ibu yang membuat saya bangga pada Beliau, “Yang lebaran sendirian kan bukan cuma Ibu. Banyak. Yang sedih juga bukan cuma Ibu, tapi banyak. Akhirnya Ibu tidak terlalu sedih, karena banyak temannya di dunia ini.” haha ya benar juga sih. Di suasana haru, Ibu saya masih juga bisa membesarkan hati anak-anaknya (dan juga hati beliau sendiri).

Saat saya melakukan panggilan video ke Ibu, Beliau sedang bersantai di tempat tidur. Saya bertanya, apa ada yang datang ke rumah? Ibu bilang ada beberapa yang Ibu dengar kasak kusuk di depan rumah. Ibu menutup gordijn seluruh rumah, menutup semua pintu. Tamu-tamu yang sudah datang bilang mungkin Ibu sedang ke luar rumah. Nyatanya Ibu di dalam rumah tapi tidak mau menerima tamu. Sore harinya Ibu hanya ke tempat Bude untuk silaturrahmi, datang sebentar tanpa salaman lalu pulang lagi.

Beberapa hal yang Ibu lakukan selama ini benar-benar membuat terharu saya. Ibu sudah tidak pernah lagi kumpul2 bahkan pengajian pun yang dulunya rutin dilakukan, sudah tidak didatangi lagi sementara ini, tidak pernah sholat jamaah di masjid lagi, ke luar rumah hanya untuk hal-hal yang sangat penting, tidak mau salaman, ke luar rumah pasti menggunakan masker, dan tidak mau dekat-dekat dengan orang. Ibu yang dulunya sangat bersosialisasi sampai rasanya seluruh pasar dan seluruh kecamatan kenal, sekarang duduk anteng duduk di rumah.

Saya pernah bertanya apakah tidak bosan? Ibu bilang, “Ibu ini tidak melakukan apa-apa, kenapa harus merasa bosan? Wong tinggal duduk santai-santai di rumah, kan enak tho. Banyak orang yang saat ini tidak bisa merasakan kemewahan duduk santai di rumah. Banyak yang harus tetap kerja di RS, di tempat-tempat yang rawan penyakit. Mereka tidak punya pilihan untuk bosan. Kita yang masih punya pilihan, mbok ya nurut saja melakukan hal-hal untuk melindungi diri dan orang lain. Wes tho, wong-wong iku ga usah ibadah di Masjid dulu, ga usah pengajian, ga usah kumpul-kumpul dhisik. Ditahan. Sing penting kabeh sehat selamet.”

Di luar kenyataan bahwa kami sering mempunyai perbedaan pendapat dan bersitegang, sebenarnya saya sering mengagumi cara berfikir Beliau yang memang nyantai tapi jauh ke depan.

Mari saling jaga dengan hal-hal sederhana yang bisa kita lakukan saat ini, demi keselamatan kita, demi keselamatan orang lain. Jangan lengah dulu. Semoga pandemi ini segeran berlalu.

-1 Juni 2020-

Lebaran 2020 dan Hantaran Antar Teman

Sebelum memulai cerita lebaran tahun 2020, saya ingin mengucapkan terlebih dahulu Selamat Lebaran untuk yang merayakan dan Mohon maaf lahir batin untuk semuanya. Maaf atas segala hal-hal yang tidak berkenan selama berinteraksi di blog atau media sosial, atas segala komentar, jawaban, atau status. Semoga kita semua diberikan kesehatan yang baik, umur panjang yang barakah bersama seluruh keluarga dan orang-orang yang kita cintai, bisa bertemu kembali dengan Ramadan dan Lebaran tahun-tahun akan datang dengan kualitas ibadah yang lebih baik dan dalam keadaan sehat.

Saya ucapkan terima kasih untuk mereka yang lebaran kali ini tidak mudik, tidak berdesakan membeli baju baru, sholat Ied di rumah, tidak melakukan anjangsana, dan tidak menerima tamu di rumah. Lebaran kali ini berbeda, jangan dipaksakan sama. Mari kita berjuang bersama supaya keadaan menjadi aman kembali.

Selamat Lebaran 2020
Selamat Lebaran 2020 dengan foto kue-kue kering buatan sendiri

MEMBUAT KUE KERING UNTUK LEBARAN

Tidak pernah terpikirkan kalau suatu saat saya akan membuat kue-kue kering sendiri untuk lebaran. Selama ini, sejak tinggal di Belanda, saya tidak pernah membuat kue kering untuk lebaran. Malah ketika masuk bulan Desember, menjelang Natal, saya biasanya membuat Kaasstengels.

Lebaran ini, karena tidak jadi mudik sehubungan pandemi, maka saya sudah niat ingin menciptakan suasana lebaran di rumah secara maksimal. Salah satunya adalah mengisi toples-toples yang seringnya menganggur di rumah, dengan kue-kue kering.

Dimulai dua minggu menjelang lebaran, saya sudah mulai mencicil membuat kue-kue yang sekiranya saya dan orang-orang di rumah akan suka. Mulailah saya membuat putri salju (meskipun saya tidak terlalu suka, tapi saya rasa suami akan suka. Kan bertabur gula), dilanjut kue kacang, lalu Kaasstengels, dan terakhir kue tepung beras yang orisinil dan rasa coklat. Untuk kue kacang saya membuat dua versi dari dua resep yang berbeda. Satu resep untuk ditaruh di rumah, satu resep saya persiapkan khusus untuk teman-teman yang akan saling bertukar hantaran.

Pertama kali membuat beberapa kue kering untuk lebaran kesannya adalah capek luar biasa. Salut buat yang berjualan kue kering. Boyokku rasa cuklek setelah beberapa hari membuatnya. Tapi ada rasa puas juga karena ternyata kok ya saya bisa disela jadwal rumah yang super padat. Sewaktu diberikan ke Mama mertua, Beliau suka sekali. Memuji Kaasstengels dan Putri saljunya. Senangnya hati ini.

Inilah isi toples-toples yang biasanya menganggur : Kue kacang, Kaasstengels, Rengginang, Putri Salju, dan Kue tepung beras. Saya sengaja tidak membuat nastar karena selama lebaran di desa kue yang tersajikan tidak pernah ada nastar. Jadinya lidah saya tidak terbiasa dengan nastar. Yang penting ada rengginang karena di desa kalau tidak ada rengginang rasanya tidak sah berlebaran haha.

Kue kering untuk lebaran ala saya
Kue kering untuk lebaran ala saya

MASAKAN LEBARAN

Masih terkait mudik yang ditunda, maka sedari awal saya sudah niat sekali untuk masak spesial lebaran ini. Saya ingin menyuguhkan masakan khas dari desa mbah, namanya Pecel Pitik. Sebenarnya agak tidak percaya diri awalnya ingin masak pecel pitik. Saya merasa nanti pasti dari segi rasa sangat jauh kalau Bude saya yang memasak. Tapi, karena niat yang membara, saya akhirnya menanyakan resep Pecel Pitik ke Bude lewat perantara Ibuk.

Sebenarnya setiap lebaran di desa saya juga ikut dalam proses memasaknya, bahkan selalu kebagian mengulek bumbu dan cabe. Tapi karena terakhir makan pecel pitik itu saat lebaran tahun 2014, terus terang ingatan saya akan rasanya agak buram. Walhasil berkali-kali saya tanya ke Ibu tentang rasa yang dominan apa, bagaimana urutan memasaknya, dan beberapa hal lagi. Bahkan saat H-1 lebaran, saat saya memasak, groginya luar biasa. Mana masih puasa kan, jadi tidak bisa mencicipi langsung. Saat buka puasa baru bisa dicicipi dan lega karena rasanya mirip dengan yang biasa saya makan di desa. Terharu luar biasa. Leluhur saya pasti bangga karena salah satu keturunannya bisa memasak pecel pitik di tanah rantau haha.

Yang menjadikan pecel pitik ini istimewa, karena ayamnya harus dipanggang terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke bumbu santan. Tujuan dipanggang untuk mengeringkan kandungan air dan menimbulkan aroma panggangan. Ayam yang digunakan juga wajib ayam kampung. Di Belanda ada yang menyerupai ayam kampung dengan daging yang agak liat, meskipun harganya tidak murah. Tutup mata saja, kan untuk hari raya. Memanggang pun lebih enak kalau menggunakan sabut kelapa atau kayu di pawonan. Tapi kan ya di londo ini susah, jadi pakai yang ada saja, memanggang di teflon.

Tempe yang dimasukkan juga dipanggang terlebih dahulu. Rasa yang dominan adalah pedas. Aslinya masakan ini pedasnya luar biasa. Tetapi karena saya tidak ingin “meracuni” suami dan teman-teman yang akan menerima pecel pitik, jadi saya kurangi level pedasnya menjadi 1/4 dari aslinya. Inilah pecel pitik yang membuat saya terharu karena setelah 6 tahun lalu, sekarang bisa makan lagi dan dari hasil masakan sendiri.

Pecel Pitik Jember
Pecel Pitik My Love!

Hidangan lebaran lainnya yang sanggup saya masak sesuai ketersediaan stok tenaga dan mood adalah : telor petis madura, sate ayam, oseng Kohlrabi wortel, balado udang pete, dimakan pakai lontong atau nasi, dan minumnya es garbis (blewah).

Hidangan lebaran di rumah kami
Hidangan lebaran di rumah kami

Mengapa tidak ada rendang dan opor? Karena sejak kecil jika lebaran tiba, makanan yang disediakan di rumah Mbah tidak pernah ada menu rendang dan opor. Jadi ya saya selama ini tidak memasukkan opor dan rendang sebagai menu lebaran di rumah kami. Tapi tahun ini kami bisa makan rendang dan opor dari pemberian teman-teman.

HANTARAN UNTUK DAN DARI TEMAN-TEMAN

Lebaran kali ini sangat spesial karena dalam suasana pandemi yang artinya tidak bisa saling kunjung antar teman. Bisa sebenarnya karena aturan berkunjung sekarang sudah lebih longgar. Tapi untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, saat ini lebih baik tidak berinteraksi secara dekat dulu. Saling menjaga satu sama lain.

Selama 6 kali lebaran di Belanda, selain untuk keluarga sendiri, saya biasanya juga memasak dalam jumlah banyak untuk dikirim ke para tetangga dan saudara-saudara. Nah, karena lebaran ini teman-teman saya tidak ke mana-mana apalagi mudik, akhirnya ada ide untuk saling memberikan hantaran yang salah satu isinya adalah masakan spesial masing-masing orang. Selain itu, terserah apa yang ingin diberikan. Tentu saja kami sangat menyambut dengan senang hati ide ini. Apalagi Anis dan Asri dengan sukarela menawarkan diri sebagai pihak yang mengambil paket dan mengantarkannya (eh, beneran sukarela ya Nis, Asri haha. Takutnya aku ngarang).

Saya menyiapkan 6 tas (yang foto di bawah cuma 5 tas karena tas untuk Dita menyusul saya hantarkan ke rumahnya di Delft keesokan harinya) yang isinya masakan pecel pitik dan telor petis madura, kue kacang dalam wadah kecil, kerupuk, coklat, dan beberapa barang tambahan (masing-masing orang berbeda) serta saya lampirkan kartupos dari beberapa negara yang pernah kami kunjungi yang saya tulisi ucapan selamat lebaran.

Urutannya adalah begini : Asri mengambil tas dari saya untuk Eby, Rurie, dan Asri sendiri. Lalu Asri memberikan pada saya tas hantaran dari dia. Kemudian Asri membawa tas-tas saya untuk diserahkan ke Eby dan Rurie. Sementara Anis, pergi ke rumah Rurie dulu untuk menyerahkan hantaran dari dia dan Patricia serta mengambil hantaran dari Rurie (dan Asri) untuk dia sendiri, saya, dan untuk Patricia. Lalu Anis ke rumah saya untuk menyerahkan hantaran dari dia, Patricia, dan Rurie. Terakhir, Anis ke rumah Patricia menyerahkan 3 tas (karena yang dari Anis sudah diserahkan sehari sebelumnya). Jadi 5 orang diantara kami akan saling mendapat hantaran dari masing-masing orang tersebut. Eby adalah teman saya dan Asri, jadi dia mendapatkan hantaran hanya dari kami berdua. Diantara kami berlima, Asri dan Patricia tidak merayakan lebaran (plus Eby), tapi mereka semangat mempersiapkan hantaran. Oh ya ada satu lagi, saya menerima kiriman juga dari Astrid, dia mengirimkan lewat pos. Astrid juga tidak merayakan lebaran, tapi selama ini dia selalu berkirim kartu ucapan selamat lebaran. Teman saya Andrea yang tinggal di Leuwaarden juga mengirimkan kartu ucapan.

Kami ini jarang bertemu (paling tidak untuk saya karena memang saya tidak (mau) sering ikutan kumpul-kumpul haha), jadi dengan momen saling memberi hantaran begini, rasanya hangat di hati, menjalin silaturrahmi dan tetap bisa saling kunjung lewat hantaran. Walaupun hanya sesaat bertemu Anis dan Asri, tapi senang bisa melihat dan berbincang sebentar dengan mereka. Saking sebentarnya, paling hanya 2 menit kami ngobrol. Mereka menaruh barang-barang di depan pintu dan kursi taman, saya pun demikian. Tetap saling jaga jarak.

Tas-tas hantaran dari saya

Saya sengaja memotret satu persatu apa yang sudah mereka berikan pada saya untuk nanti saya pamerkan di blog dan media sosial. Ya memang seniat itu. Bukan karena permintaan mereka, bukan karena untuk berterima kasih karena hal ini jelas sudah saya lakukan secara langsung. Saya memotret apa yang sudah saya dapatkan dari mereka memang karena suka. Tidak ada alasan lain. Perkara nanti ada orang lain yang tidak suka karena saya pamer, ya itu bukan urusan saya. Saya tidak bisa mengendalikan apa reaksi orang karena yanh bisa saya kendalikan adalah apa yang ingin saya tampilkan. Sama halnya terkadang saya nyinyir kalau melihat orang menjembreng uang di media sosial. Itu bukan salah yang menjembreng uang, ya saya saja yang cari-cari bahan gosip. Kalau ada yang melihat unggahan saya lalu ikut merasakan kegembiraan saya menerima dan memberi hantaran dari dan untuk teman-teman, yuk toss virtual.

Saya dan teman-teman ini sudah sering saling kirim mengirim barang dan makanan. Jadi tidak dalam momen lebaran saja. Dan setiap kali saya mendapatkan kiriman, biasanya selalu saya pamer, kalau saya niat. Kalau tidak niat ya saya tidak akan koar-koar. Apakah demi konten? Ya jelas tidak. Saya bermedia sosial tidak berpikir konten, tapi lebih ke arah berbagi dan pamer. Sesimpel itu. Salah satu tujuan saya bermedia sosial kan memang ingin pamer, ya untuk apa lagi haha. Kadangkala saya pamer opini, lain waktu saya pamer foto-foto, sesekali juga pamer pencapain. Berbagi makanan ke teman – teman juga tidak pada saat hari raya saja saya lakukan. Hari – hari biasa kalau saya niat masak banyak, akan saya bagikan ke beberapa teman juga.

Hantaran dari teman-teman

Saya membaca beberapa opini yang beredar mengatakan kenapa hantaran harus dipamer di media sosial, kenapa kok tidak secara wajar saja tidak usah dipamerkan. Ya kembali lagi ke prinsip utama dalam bermedia sosial, kalau sudah sangat meresahkan, lebih baik tidak usah dilihat, dilewati saja. Toh pamer hasil pemberian tidak akan merugikan siapapun, tidak menyakiti hati siapapun, tidak akan membuat pingsan siapapun. Kalau ada yang merasa resah, tidak suka, atau clekit-clekit hatinya, coba diperiksa lagi hati dan pikirannya. Mungkin ada yang tidak benar di dalamnya. Tapi saya kan juga tidak bisa mengatur orang-orang yang berbeda pandangan tentang hal ini. Semua orang bebas berpendapat. Pamer hantaran kalau di Indonesia malah bisa untuk membantu jasa pembuat hantaran lho. Bisa jadi orang akan mencatat akun media sosial pembuat hantaran lalu saat mereka butuh bisa menghubunginya. Kalau hantaran yang kami buat kan bikin sendiri. Tapi saya tetap dengan senang hati mempromosikan akun media sosial teman-teman saya itu. Siapa tahu ada yang mau pesan makanan.

Saya sejak dulu selalu suka melihat orang mendapatkan hantaran dan memperlihatkan isinya. Entah, suka saja. Merasa ikut merasakan gembiranya sang penerima. Padahal waktu itu saya tidak ada yang mengirimi, melas yo. Saya suka tulisan Dila tentang opini dia mengenai hal ini. Silahkan baca di sini.

Beberapa makanan dari teman-teman yang sudah kami makan. Ada banyak yang belum makanya belum bisa difoto. Dua foto di atas (foto taart) saya pinjam dari Rurie. Saking semangatnya mau makan, sampai lupa moto duluan.

HARI LEBARAN

Hari Minggu, 24 Mei 2020, lebaran tiba. Setelah berkutat di dapur sejenak, saya bilang suami untuk mandi dan siap-siap sholat Ied. Saya memakai baju rapi, supaya berasa lebarannya. Selama 6 kali lebaran di sini, baru dua kali saya ikut sholat Ied bersama di Masjid (Al Hikmah, Den Haag). Selebihnya sholat di rumah. Jadi untuk lebaran kali ini, biasa saja sholat di rumah karena acara keagamaan yang melibatkan orang banyak masih dilarang di Belanda, termasuk sholat Idul Fitri.

Setelah sarapan, saya mulai panggilan video dengan Ibu, Adik, dan satu keluarga di Bekasi. Selama lebaran ya memang seperti itu. Jadi kali ini tetap tidak ada bedanya. Oh ada sih, kali ini saat saya telepon mereka satu persatu, mereka semua leyeh-leyeh di kasur di rumah masing-masing. Karena mereka sholat Ied di rumah, lalu menutup rumah serapat mungkin.Tidak mau menerima tamu. Jadinya ya mereka leyeh-leyeh.

Jam 11.30 kami makan bersama. Bersyukur lebaran bisa berkumpul sekeluarga lengkap dan sehat. Semoga kami diberikan jodoh panjang untuk selalu bersama dalam formasi lengkap dan sehat setiap Ramadan dan Lebaran tahun – tahun akan datang.

Begitulah cerita sekelumit keseruan lebaran kali ini. Jika ingin membaca cerita lebaran – lebaran saya sebelumnya, saya akan sertakan tautannya di bawah :

Lebaran Pertama di Belanda

Lebaran Kedua di Italia

Lebaran Ketiga di Belanda

Lebaran Keempat di Belanda

Lebaran Kelima di Belanda

Sehat-sehat selalu ya untuk kita semua.

-26 Mei 2020-

Ramadan Keenam di Belanda

Tulisan singkat saja kali ini tentang Ramadan keenam di Belanda. Tahun ini adalah Ramadan pertama setelah beberapa tahun terakhir saya cuti puasa Ramadan. Rasanya bagaimana? hari pertama badan saya kaget. Sejak pagi sampai sore tidak ada masalah. Menjelang buka puasa jam 9 malam, baru perut saya terasa mual. Tiba-tiba kepala pusing, perut mual seperti mau muntah, lalu badan mendadak menggigil dingin. Wah, tidak beres ini, pikir saya. Lalu saya mencoba rebahan. Beberapa saat kemudian, lumayan membaik. Mungkin badan saya kaget. Setelahnya baru saya berbuka puasa. Hari-hari selanjutnya sampai sekarang, lancar. Hanya hari pertama saja yang butuh penyesuaian.

Ramadan Pertama di Belanda

Ramadan di Belanda tahun 2020 durasinya 17- 17.5 jam. Semakin bertambah hari, durasinya semakin panjang. Saat tulisan ini dibuat, Ramadan sudah memasuki hari ke-26. Imsak jam 3.43, buka puasa jam 21.43, dan Isya’ jam 23.25. Waktu yang saya sebut itu untuk wilayah Den Haag dan sekitarnya karena berbeda provinsi, waktunya juga beda. Terbayang ya, sholat Isya disambung taraweh sambil menahan kantuk. Target khataman Al-Qur’an Insya Allah tahun ini tidak tercapai hahaha. Lho ini bukan tertawa bangga, tapi miris. Kalah sama ngantuk setiap membuka Al-Qur’an. Niatnya satu hari satu Juz. Kenyataannya setiap mulai membaca, masuk halaman keempat, huruf-huruf mulai buram karena mata mendadak mengantuk sangat. Apalagi kalau Tadarusan siang hari, duh itu baca sehalaman saja bisa lamaa sekali karena mata berat. Sepuluh hari pertama masih Istiqomah satu hari satu Juz. Selebihnya ya sesuai kemampuan saja. Jadi, saat Ramadan akan berakhir, Juz baru lebih sedikit setengah dari yang ditargetkan. Terakhir bisa khataman Al-Qur’an saat Ramadan, tahun 2016.

Ramadan Kedua di Belanda

Bagaimana dengan mengatur antara sahur dan berbuka dengan durasi waktu yang tidak terlalu lama? Berbeda dengan trik makan tahun-tahun sebelumnya (saat saya berpuasa di sini), tahun ini saya lebih santai mengenai makan. Buka puasa saya minum segelas air lalu lanjut minum smoothie (biasanya buah yang saya pakai : mangga, strawberry, dan anggur. Atau pakai buah apa saja yang ada di kulkas. Yang penting tidak asam. Saya harus buka dengan buah terlebih dahulu, supaya perut tidak kaget). Setelah itu, saya makan takjil. Tidak terlalu banyak (ya namanya juga takjil ya), misalkan pastel sebiji atau sup sayuran atau apapun seadanya saja. Lalu saya lanjutkan makanan utama yang tidak terlalu berat karena perut sudah kenyang makan takjil dan minum smoothie. Saya tidak masak khusus, makan apa yang saya masak siang. Jadi malam tinggal menghangatkan saja. Oh ya, disela-selanya sejak makan takjil sampai makanan utama, saya minum air putih serta berjeda, tidak terus-terusan disambung makan.

Ramadan Ketiga di Belanda

Setelah urusan berbuka selesai, saya lanjut sholat Maghrib. Sambil menunggu Isya, saya tadarussan sebentar lanjut ngobrol dengan suami, ngobrol di grup wa atau buka-buka media sosial. Karena itulah menjelang tengah malam (dan pagi hari) akhir-akhir ini saya baru aktif di media sosial. Untuk sahur, saya cuma makan sepotong roti yang ada hari itu, roti yang saya buat sendiri. Sekitar jam setengah 12 malam saya makan sahur lalu lanjut Isya dan taraweh. Ini biasanya cepet-cepetan sih karena mata sudah sangat mengantuk. Lalu jam 00.15 biasanya saya baru tidur, bangun lagi sewaktu sholat subuh. Jadi ada bayangan ya jarak antara berbuka puasa dan sahur yang saya lakukan. Saya malas untuk bangun sahur pagi hari. Jadinya ya sebelum tidur, saya niatkan makan sahur. Makan dan minum terakhir jam 23.30, buka puasa jam 21.40 an. Kalau dihitung waktu tersebut, hampir 22 jam ya sebenarnya saya puasa. Sejauh ini, kuat melewatinya.

Ramadan Keempat di Belanda

Bagaimana dengan kegiatan sehari-hari? tidak ada bedanya dengan sebelum Ramadan. Malah saya merasa selama Ramadan ini kok makin sibuk. Semakin sibuk bersih-bersih rumah seisinya, halaman depan belakang (rumah tidak terlalu besar kok adaaa saja yang dibersihkan, sampai suami bilang : ini bukan museum, ga usah terlalu bersih. Saya ngakak kalau ingat dia ngomong begitu). Pada dasarnya memang saya suka sekali bersih-bersih dan mengurangi barang-barang yang tidak penting di rumah. Lebih baik diberikan kepada yang memerlukan atau dibuang jika memang sudah tidak bisa digunakan lagi.

Belum lagi ngurusin tanaman-tanaman (yang beberapa kok ya susah sekali numbuhnya), membuat roti untuk makan malam, masak seperti biasa untuk makan siang, trus sibuk membuat beberapa kue kering supaya nanti terasa suasana lebaran seperti di Indonesia (akhirnya pecah telor, seumur hidup, baru kali ini saya membuat kue kering untuk lebaran seperti kaasstengels, kue kacang, putri salju dan beberapa kue yang rencana akan dibuat. Biasanya beli atau tidak ada sama sekali. Ternyata ya bisa kalau niat), sepedahan sore jalan-jalan ke hutan atau danau atau taman bermain yang sepi, baca buku, belanja online, ikut kursus online. Ya seperti itulah, malah rasanya lebih sibuk.

Kaasstengels buatan sendiri
Kaasstengels buatan sendiri

Ramadan Kelima di Belanda

Senang juga kalau sibuk begitu, malah tidak sempat mengeluh, jadi jarang buka media sosial kalau siang hari (jadi bisa terlewati dengan berita-berita yang tak penting), waktu berlalu cepet lalu tiba-tiba sudah menjelang berbuka, jadi lebih banyak bersyukur karena meskipun di rumah saja tapi banyak kegiatan yang dilakukan. Tidak merasa bosan dan belum ada keinginan sama sekali ke tempat keramaian apalagi ke pusat kota. Masih belum siap bertemu banyak orang. Sesekali terpikir kapan ya bisa jajan di restoran Indonesia atau Sushi atau restoran-restoran lainnya. Tapi cuma sebatas pikiran, toh beberapa restoran Indonesia di sekitaran Den Haag menyediakan layanan antar dengan ongkos kirim yang terjangkau. Pengen Sushi, ya bikin sendiri. Sekarang kalau lagi ingin makan apapun, ya diusahakan bikin sendiri dulu.

Sushi dengan macam sayuran yang selalu ada di kulkas
Sushi dengan macam sayuran yang selalu ada di kulkas

Cuaca Ramadan tahun ini juga sangat bersahabat. Tidak sangat panas juga tidak dingin. Jadi tengah-tengah. Maksimal 26 derajat celcius. Kadang masih hujan dan angin dingin juga. Tapi secara keseluruhan cerah dan hangat. Ramadan kali ini berbeda karena situasi di tengah Pandemi. Semoga keadaan berangsur kembali aman.

Begitulah cerita Ramadan saya kali ini yang sudah keenam di Belanda. Di atas saya sertakan juga tautan cerita Ramadan dari yang pertama sampai yang kelima sejak tinggal di Belanda. Pertama kali datang merasakan puasa sekitar 19 jam. Saat ini hanya 17 jam, jadi semakin terlatih. Semoga berkah buat kita semua dan sama-sama berdoa untuk dunia semoga vaksin segera ditemukan, didistribusikan, dan dunia kembali aman. Semoga masih bisa dipertemukan kembali dengan Ramadan-ramadan akan datang dengan keadaan yang lebih baik, sehat beserta seluruh keluarga. Mudah-mudahan Ramadan tahun depan keluarga saya di sini bisa merayakan dengan keluarga di Indonesia dalam keadaan sehat dan lengkap.

Selamat berpuasa teman-teman, tinggal sebentar lagi lebaran. Jangan mudik ya, tinggal di rumah saja, sholat Ied di rumah saja, Taraweh di rumah, tidak usah ke mall dulu, perbanyak di rumah kalau tidak penting-penting sekali untuk ke luar rumah. Kondisinya berbeda saat ini, jadi sholat Ied di rumah saja tidak akan mengurangi pahala. Kita semua sadar bahwa Ramadan dan Lebaran tahun ini sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Jangan dipaksakan untuk sama, karena memang tidak akan pernah sama. Ikhlaskan, demi melindungi diri sendiri, demi orang-orang yang kita cintai, demi banyak orang yangs sedang berjuang bersama kita. Sholat Ied di rumah saja ya.

-19 Mei 2020-

Tidak Sulit Untuk Berempati

(Nyaris) semua orang saat ini sedang berlomba2 bersama menyelamatkan diri, keluarga, dan lingkungan sekitar. Tidak hanya lingkup negara, tapi seluruh dunia. Musuh kita tak kasat mata tapi sudah membuktikan kekuatannya : menghilangkan banyak nyawa dan menimbulkan krisis ekonomi.

Setiap individu punya cara masing-masing untuk bertahan, apapun itu. Bertahan waras secara mental maupun raga. Bertahan untuk hidup menit demi menit.

Ada yang setiap masuk rumah dari luar rumah, langsung mandi dan mencuci bajunya. Apakah berlebihan? Tidak. Itu cara mereka bertahan hidup dengan melindungi diri dan keluarganya. Supaya hal-hal yang tak kasat mata dan mematikan di luar tidak menyebar di dalam rumah.

Ada yang merasa cemas setiap berpapasan dengan orang lain lalu memilih jauh-jauh supaya tidak berdekatan. Apakah berlebihan? Tidak. Itu cara mereka menentramkan hati supaya tidak was-was tertular atau menularkan pada orang lain. Kita tidak pernah tahu siapa yang jadi pembawa musuh utama kita saat ini.

Ada yang sangat patuh dengan anjuran : menjaga jarak, banyak diam di rumah, bahkan menggunakan masker saat di luar rumah. Apakah berlebihan? Tidak. Itu cara mereka berjuang supaya virus ini tidak semakin merajalela. Mereka percaya pada ahli-ahli yang lebih mengerti tentang hal ini.

Ada yang pergi ke psikolog bahkan sampai dirujuk ke psikiater karena butuh pertolongan untuk membuat kesehatan mental mereka tetap terjaga. Apakah mereka berlebihan? Tidak. Rasa was-was dan cemas dengan keadaan ini sangat nyata dan bisa mempengaruhi kesehatan jiwa. Mereka butuh pertolongan untuk tetap sehat secara mental.

Ada yang lebih memilih tinggal di rumah, merasa nyaman untuk tidak bertemu banyak orang, dan menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan untuk mengalihkan perhatian dari berita-berita yang bersliweran. Apakah mereka berlebihan? Tidak. Itu cara mereka bertahan melewati hari, menumbuhkan sekeping harapan bisa melewati pandemi ini dengan selamat bersama yang mereka cintai.

Ada yang tidak punya pilihan, harus tetap bekerja di luar rumah. Menjadi bagian yang menyelamatkan banyak nyawa karena musuh yang tak tampak jelas oleh mata, menjadi bagian yang bekerja membersihkan tempat-tempat rawan oleh makhluk ini, tidak memikirkan keselamatan diri selama masih punya uang untuk membeli nasi dan membawa pulang untuk dimakan bersama keluarga. Dan masih banyak yang tidak punya pilihan untuk jauh-jauh dari virus ini.

Ada yang tidak mengindahkan anjuran dan malah mencela pilihan orang lain yang sangat berhati-hati sekali menjaga diri dan lingkungan terdekat. Apakah yang mencela ini berlebihan? Entahlah. Yang pasti, saya menuduh mereka tidak punya empati.

Ada yang berbondong-bondong bergerombol mendatangi suatu tempat demi kesenangan sesaat dan melupakan anjuran untuk menjaga jarak. Apakah mereka berlebihan? Tentu saja. Apa manfaatnya datang ke suatu tempat beramai-ramai hanya demi kesenangan sesaat lalu membuat virus ini semakin ke sana ke mari. Melupakan bahwa banyak orang yang berjuang supaya keadaan saat ini aman kembali.

Kita yang punya banyak pilihan, bersyukurlah. Bersyukur karena masih hidup dengan sehat, punya cukup makanan, masih bisa melihat anggota keluarga berkumpul dengan lengkap. Bersyukur sampai saat ini kita masih selamat dari virus ini.

Namun, tak perlu jumawa. Virus ini berbahaya. Bagi banyak orang, sangat menakutkan. Tidak perlu berkoar-koar bahwa virus ini tidak ada apa-apanya hanya karena kita masih bisa duduk santai dipagi hari sambil makan roti dan menyeruput kopi. Jika kita masih sehat, bersyukurlah. Mari sama-sama jadi bagian untuk berjuang melawan makhluk ini. Semua orang lelah dengan keadaan saat ini. Setiap jenuh, ingatlah tenaga kesehatan yang bahkan mereka tidak punya pilihan untuk jenuh, tetap berjuang menyelamatkan banyak nyawa. Setiap rasa rindu berkumpul dengan teman-teman dan keluarga datang, tahanlah dan ingat petugas kebersihan yang bekerja di tempat-tempat rawan bergelut dengan virus ini. Ingatlah mereka yang tidak punya pilihan untuk menghindar. Tahanlah untuk melakukan hal-hal demi kesenangan pribadi semata untuk saat ini, paling tidak sampai semua ini aman kembali.

Tahanlah sejenak setiap merindukan ritme kehidupan yang lalu untuk datang lagi. Ini tidak akan lama jika kita berjuang bersama dengan cara sekecil apapun yang kita bisa. Mari saling jaga. Ingatlah banyak orang meninggal karena virus ini. Ingatlah banyak keluarga yang kehilangan orang-orang yang mereka cintai. Ingatlah banyak Oma Opa yang tidak bisa memeluk anak cucunya, menahan rindu karena ingin menjaga diri mereka dan keluarga dari virus ini. Semua saat ini sedang berjuang bersama. Virus ini nyata, bukan hasil gembar gembor media. Angka-angka mereka yang meninggal bukan hanya sekadar angka karena itu adalah nyawa. Jika ada yang punya teori sendiri mengenai keadaan saat ini, simpan sajalah. Tak perlu mengerdilkan keadaan yang kacau saat ini hanya karena masih bisa berdiri tegak tanpa kurang satu hal. Tak perlu.

Jika saat ini kita masih sehat, bersyukurlah dan jangan jumawa. Tiap orang punya cara sendiri untuk berjuang, jangan dianggap sebelah mata apapun usahanya, asal bisa selamat dan tetap hidup demi tidak terpapar sang virus. Tidak sulit untuk berempati, kecuali memang sudah tak ada hati atau sang empati sudah mati.

*Awalnya saya tulis di FB. Sekarang saya salin di blog.

-15 Mei 2020-