Saya mau bercerita singkat tentang Hari Ibu pada hari minggu lalu. Di Belanda, hari Ibu selalu pada hari minggu kedua dibulan Mei.
Beberapa waktu sebelumnya, suami beberapa kali bertanya apakah ada sesuatu yang bisa dia kasih sebagai kado untuk hari Ibu. Sekarang kami benar-benar nyaris melakukan pembelian semua online, tidak bisa spontan langsung pergi ke toko kalau ingin membeli sesuatu, karenanya untuk kado pun harus disiapkan jauh hari supaya ada waktu untuk melakukan pembelian. Pengantaran barang pun saat ini jauh lebih lama dibandingkan saat keadaan normal.
Saya bilang, tidak usah diberi kado karena sewaktu ulangtahun toh saya sudah mendapatkan kado. Apalagi 2 hari sebelum hari Ibu saya sangat sedih karena tidak bisa pulang ke Indonesia seperti rencana awal tiket pesawat dibeli. Namun begitu, toh suami tetap memberikan kado berupa beberapa tanaman. Wahh saya senang sekali, jadi makin bertambah tanaman-tanaman di halaman.
Minggu pagi bangun seperti biasa, lalu mendapatkan bunga dari sigarane nyowo dan dari mereka yang memanggil saya Ibu. Lalu tiba-tiba saya mendapatkan Hidayah ingin membuat pastel dan dadar gulung. Ingin membuat sesuatu yang spesial di hari Ibu. Saya memang orang yang terbiasa merayakan apapun, bahkan hal-hal yang kecil sekalipun. Apalagi hari Ibu yang menurut saya spesial. Lalu saya bertanya ke salah satu teman, untuk membuat pastel, tepung apayang digunakan. Pertanyaan tepung ini selalu jadi topik utama. Untuk sekedar info, di Belanda dunia pertepungannya agak ruwet. Tidak segampang di Indonesia.
Setelahnya, saya berkutat di dapur menyiapkan semuanya. Membuat adonan kulit pastel, membuat kulit dadar gulung, dan membuat isian pastel. Semuanya saya lakukan secara pararel. Jadi kompor dua nyala semua sambil saya mengadon kulit pastel. Ini pertama kali saya membuat pastel dalam seumur hidup. Biasanya selalu beli karena pastel adalah salah satu camilan favorit.
Singkat cerita, jam 11 menjelang makan siang, semua sudah siap. Wah saya bangganya bukan main bisa membuat pastel pertama kali. Resep kulit pastel saya dapat dari Anis. Saking bangganya dengan pastel yang pertama kali dibuat dan merasa sukses, saya sampai pamer ke mana-mana. Dari twitter, FB, sampai grup WhatsApp haha. Ya wes tidak apa, namanya juga euforia. Waktu membuat semua makanan ini, saya masih puasa. Jadi belum bisa mencicipi bagaimana rasanya. Tapi siangnya sudah ada yang mencicipi, memberikan testimoni enak. Termasuk tetangga dan Mama mertua yang saya bagi juga makanan tersebut.
Resep Pie Susunya saya mencontek milik Chef Tiarbah di YouTube. Hanya untuk yang saya buat ini, resepnya digandakan supaya lebih nampak sebagai pie susu. Sewaktu pertama kali membuat beberapa waktu lalu, penampakannya tidak terlalu tebal karena teflon yang saya punya terlalu lebar. Kunci utama sukses membuat pie susu teflon ini adalah api harus super kecil supaya bawahnya tidak gampang gosong dan matang merata. Memasaknya memang akan memakan waktu yang lama. Yang saya buat ini sampai 1.5 jam. Tentu saja bisa saya sambi mengerjakan yang lain. Oh ya, diresepnya menggunakan susu kental manis, tapi karena menurut saya terlalu manis, saya ganti menggunakan slaagroom ditambahi gula sedikit. Jadi lebih enak karena rasa tidak terlalu manis. Bisa juga diganti susu biasa.
Untuk dadar gulungnya, standar saja. Saya biasa menggunakan resep yang diberikan Ibu. Isinya juga standar, unti (kelapa dan gula merah). Setelah dirasakan, rasanya seperti biasa, tidak standar karena enak *hahaha masak sendiri dipuji sendiri.
Sorenya kami sepedahan ingin jalan-jalan ke hutan. Mampir sebentar ka rumah Oma untuk mengantarkan Anggrek, mengucapkan selamat hari Ibu dan makanan yang saya buat. Seperti biasa, semua yang kami bawa diletakkan di depan pintu, Oma membuka pintu, dan kami berbincang sejenak dari jarak jauh (sekitar 3 meter). Begitu saja sudah membuat kami senang bisa melihat Oma dan berbincang sejenak.
Setelah berbuka, saya ada kesempatan untuk mencoba. Walhasil terharu sekali dengan pastel yang saya buat. Seperti yang saya harapkan, kulitnya crunchy, tidak menyerap minyak dan setelah sekian lama digoreng (pagi) masih juga kulitnya crunchy. Isiannya juga pas rasanya. Enaklah menurut saya. Pantas saja siangnya ada yang sampai habis 3 pastel haha. Saking terharunya karena pertama kami membuat pastel dan setelah mencicipi ternyata sesuai yang diharapkan, setiap selesai menggigit saya komen ke suami : aduuhh enak banget ini, waahh aku sampai terharu ini bisa membuat pastel… begitu terus sampai pastelnya habis haha. Super terharu sampai mengalahkan rasa terharu waktu lulus kuliah :)))
Begitulah cerita singkat kegiatan Hari Ibu minggu lalu. Selamat hari Ibu, semoga kita sehat selalu. Ramadan sudah memasuki minggu ketiga. Semoga semuanya masih lancar ya puasanya dan disertai kesehatan yang baik. Postingan selanjutnya saya akan menceritakan tentang Ramadan keenam di Belanda.
Pagi kami bersiap dengan beberapa koper, membawa perlengkapan pribadi dan buah tangan yang terbeli. Mengecek apakah semua dokumen sudah lengkap, obat-obatan dan vitamin yang diperlukan tak tertinggal, dan semua barang yang akan dibawa sudah pada tempatnya.
Seharusnya hari ini kami menitipkan rumah selama ditinggal liburan pada tetangga sebelah, duduk di taksi yang telah kami sewa menuju bandara, melewati jalan raya dengan bergumam sampai bertemu lagi tiga bulan kemudian.
Seharusnya siang ini kami dalam antrian untuk melewati petugas imigrasi, duduk di ruang tunggu dengan penuh senyuman membayangkan segera bertemu keluarga, teman dan beberapa sahabat, di dalam pesawat selama total 17 jam dengan sedikit perasaan was-was namun gembira semoga semua lancar sampai negara tujuan.
Seharusnya hari ini, rencana yang kami persiapkan sejak tahun lalu untuk mudik ke Indonesia bisa terlaksana setelah beberapa tahun tertunda. Seharusnya hari ini sejak pindah 5.5 tahun lalu, akhirnya kesempatan mudik pun tiba. Seharusnya esok hari saya sudah bisa bertemu dengan Ibu, adik-adik dan semua saudara di desa. Seharusnya esok hari semua rindu yang saya tahan selama 5.5 tahun ini bisa tertumpahkan. Seharusnya beberapa hari ke depan kami sudah bisa nyekar ke kuburan Bapak. Betapa saya sudah rindu mengirimkan doa di depan kuburan Bapak seperti yang biasa saya lakukan sebelum pindah, berbisik lirih bahwa akhirnya saya bisa ada di sana bersama seluruh anggota keluarga. Memperlihatkan tempat mbah Kakung yang sosoknya tak pernah mereka temui secara nyata. Seharusnya lebaran tahun ini kami bisa bersama seluruh keluarga di sana setelah terakhir kali saya berlebaran dengan mereka 6 tahun lalu. Mudik kali ini tidaklah muluk-muluk dengan banyak rencana karena ingin menghabiskan banyak waktu dengan keluarga dan menikmati masakan Ibu yang sudah sangat saya rindu.
Seharusnya memang semua rencana itu bisa terlaksana karena kami sudah mempersiapkan setiap detilnya sedemikian hingga. Memang seharusnya saya tidak memperkarakan apa yang seharusnya terjadi hari ini. Memang seharusnya saya bisa berdamai dengan situasi yang diluar kendali seperti saat ini. Idealnya seperti itu. Tapi saya masih mencoba berdamai dengan rasa sesak yang kadang timbul tenggelam, pergi lalu datang lagi. Saya sedang menata hati dan emosi. Menata sedih yang sering mengalirkan air mata, bahkan saat tulisan ini tercipta.
Entah kapan rencana yang tertunda ini akan bisa terwujud kembali. Entah. Yang bisa saya lakukan saat ini hanya memanjangkan doa, harapan, dan permohonan pada yang Kuasa. Semoga kami di sini dan keluarga serta para teman juga sahabat di Indonesia yang telah direncanakan untuk bertemu diberikan panjang umur dalam kesehatan yang baik, hidup melewati situasi saat ini, berjodoh untuk saling bertemu tanpa rasa was-was dan dalam situasi yang tak membuat cemas. Semoga situasi ini segera berlalu dan semua pulih seperti sedia kala.
Pagi kami bersiap dengan beberapa koper, membawa perlengkapan pribadi dan buah tangan yang terbeli. Mengecek apakah semua dokumen sudah lengkap, obat-obatan yang diperlukan tak tertinggal, dan semua barang yang akan dibawa sudah pada tempatnya.
Seharusnya hari ini kami menitipkan rumah selama ditinggal liburan pada tetangga sebelah, duduk di taxi yang telah kami sewa menuju bandara, melewati jalan raya dengan bergumam sampai bertemu lagi tiga bulan kemudian.
Seharusnya siang ini kami dalam antrian untuk melewati petugas imigrasi, duduk di ruang tunggu dengan penuh senyuman membayangkan segera bertemu keluarga, teman dan beberapa sahabat, di dalam pesawat selama total 17 jam dengan sedikit perasaan was-was semoga semua lancar sampai negara tujuan.
Seharusnya hari ini, rencana yang kami persiapkan sejak tahun lalu untuk mudik ke Indonesia bisa terlaksana setelah beberapa tahun tertunda. Seharusnya hari ini sejak pindah 5.5 tahun lalu, akhirnya kesempatan mudik pun tiba. Seharusnya esok hari saya sudah bisa bertemu dengan Ibu, adik-adik dan semua saudara di kampung. Seharusnya esok hari semua rindu yang saya tahan selama 5.5 tahun ini bisa tertumpahkan. Seharusnya beberapa hari ke depan kami sudah bisa nyekar ke kuburan Bapak. Betapa saya sudah rindu mengirimkan doa di depan kuburan Bapak, berbisik lirih bahwa akhirnya saya bisa ada di sana bersama seluruh keluarga. Seharusnya lebaran tahun ini kami bisa bersama mereka setelah terakhir kali saya lebaran di sana 6 tahun lalu. Mudik kali ini tidaklah muluk-muluk dengan banyak rencana karena ingin menghabiskan banyak waktu dengan keluarga di sana dan menikmati masakan Ibu yang sudah sangat saya rindu.
Seharusnya memang semua rencana itu bisa terlaksana karena kami sudah mempersiapkan setiap detilnya sedemikian hingga. Memang seharusnya saya tidak memperkarakan apa yang seharusnya terjadi hari ini. Memang seharusnya saya bisa berdamai dengan situasi yang diluar kendali seperti saat ini. Idealnya seperti itu. Tapi saya masih mencoba berdamai dengan rasa sesak yang kadang timbul tenggelam, pergi lalu datang lagi. Saya sedang menata hati dan emosi. Menata sedih yang sering mengalirkan air mata.
Entah kapan rencana yang tertunda ini akan bisa terwujud kembali. Entah. Yang bisa saya lakukan saat ini hanya memanjangkan doa, harapan, dan permohonan pada yang Kuasa. Semoga kami di sini dan keluarga serta para teman juga sahabat di Indonesia yang telah direncanakan untuk bertemu diberikan panjang umur dalam kesehatan yang baik, hidup melewati situasi saat ini, berjodoh untuk saling bertemu tanpa rasa was-was dan dalam situasi yang tak membuat cemas. Semoga situasi ini segera berlalu dan semua pulih seperti sedia kala.
Hai, apa kabar? mau menyapa sejenak dunia per-blog-an. Saya ingin menuliskan hal-hal baru yang akhirnya bisa menjadi bagian hidup sehari-hari setelah 6 minggu beradaptasi.
DIAM DI RUMAH.
Buat saya, diam di rumah bukanlah hal baru. Sejak berhenti kerja akhir tahun 2017, kegiatan saya ya kebanyakan di rumah. Tapi diam di rumah kali ini berbeda. Biasanya saya suka spontan jalan-jalan ke luar rumah tanpa harus ada alasan kuat. Misalkan, ke supermarket hanya sekedar cuci mata, jalan sore ke taman bermain, jalan pagi ke sekeliling rumah, atau tiba-tiba pergi ke kota karena cuaca sedang cerah. Sekarang kami sudah beradaptasi, tidak bisa lagi seperti itu. Kami benar-benar diam di rumah saja jika tidak ada kepentingan ke luar.
KE TEMPAT YANG SEPI
Setiap sore, kami menyempatkan untuk sepedahan. Tujuannya ya ke tempat-tempat yang sepi semacam hutan, danau, peternakan, atau sekadar sepedahan keliling kampung. Beruntung kami tinggal di kampung, jadi kesempatan berpapasan dengan banyak orang di tempat-tempat yang saya sebutkan di atas sangat kecil. Jika salah satu tempat tersebut ramai, kami tidak akan berhenti di sana. Kami melanjutkan perjalanan sampai ketemu tempat yang sepi. Apalagi sejak Intelligent Lockdown diberlakukan di sini, entah kenapa cuaca mendadak nyaris selalu cerah setiap hari. Karenanya kami menyempatkan sepedahan setiap sore.
MENJAGA JARAK
Saat pemerintah mulai menganjurkan secara keras untuk menjaga jarak minimal 1.5 meter, saya malah merasa takut kalau bertemu orang. Kalau dari jauh terlihat ada orang yang berjalan ke arah saya, cepat-cepat saya mencari cara supaya tidak berpapasan. Waktu itu saya benar ketakutan bertemu orang. Sekarang sudah tidak lagi. Perlahan perasaan cemas hilang dan otomatis jika bertemu orang langsung menjaga jarak. Berbicara dari jarak jauh.
MEMAKAI MASKER
Belanda tidak menyarankan untuk memakai masker. Tapi kami selalu membawa masker jika ke luar rumah dan memakainya jika bertemu orang. Bahkan suami saya menggunakan masker jika pergi ke supermarket retail. Kami punya masker dua jenis. Yang dari kain dan masker N95. Yang dari kain kami membeli dari orang Indonesia tinggal di sini, sedangkan masker N95 kami pesan sejak pertengahan Februari 2020 saat belum ada kasus di Belanda.
BELANJA MINGGUAN ONLINE
Sejak 6 minggu lalu, kami sudah tidak belanja mingguan ke supermarket lagi. Terutama saya karena terakhir ke supermarket tanggal 13 Maret 2020. Jadi sampai detik ini, saya tidak tahu sama sekali secara nyata perubahan apa yang ada di supermarket. Sedangkan suami sesekali pergi ke supermarket tapi yang retail jika ada kebutuhan yang mendesak. Setiap minggunya, kami berbelanja online. Menyenangkan berbelanja mingguan online, tapi perjuangannya tidak mudah. Slot jadwal pengiriman dibuka tidak setiap saat. Jadi harus benar-benar memantau aplikasinya. Saya selalu mendapatkan slot jika membuka aplikasi sekitar dini hari. Beruntung selama ini kami selalu mendapatkan slot dua minggu berturut. Jadi belanja mingguan aman.
SEMUANYA BELANJA ONLINE
Tidak hanya belanja mingguan saja yang online, semua belanja apapun kami lakukan secara online. Dulu tidak terbiasa karena kami lebih memilih datang langsung ke toko. Sekarang beli pelembab badan atau pasta gigi sebiji saja beli online.
MEMBUAT ROTI SENDIRI
Karena kami sudah tidak lagi pergi ke supermarket dan bakery, walhasil saya “terpaksa” membuat roti sendiri. Roti merupakan makanan sehari-hari di rumah kami. Jadi bukan sebagai camilan, tetapi sebagai makanan utama setiap makan malam. Dari awal yang saya buta sama sekali tentang tepung, jenis ragi, sekarang sudah lumayan bisa otak atik resep, otak atik cara membuatnya bahkan mulai bisa membuat desain eksperimennya. Nanti kapan-kapan kalau senggang, saya akan tuliskan tersendiri tentang perjalanan saya membuat roti.
BERTEMU OMA DARI JARAK JAUH
Akhirnya dua minggu lalu kami ke rumah Oma (Mama mertua saya). Sebelumnya sudah saya tuliskan tentang bagaimana kami tidak bisa bertemu Oma, di sini. Kami bertemu Oma dengan jarak yang sangat jauh. Jadi Oma membuka pintu rumah, berdiri di belakang pintu dalam rumah, dan kami berdiri di jalan. Tidak bisa ngobrol terlalu lama karena Oma sudah tidak terlalu kuat berdiri lama. Pertemuan pertama setelah 1 bulan tidak bertemu, berlangsung haru. Oma menangis, saya apalagi, sesenggukan. Merasa nelangsa kami sekarang tidak bisa lagi duduk di ruang tamu berbicara santai. Merasa nelangsa karena tidak bisa lagi sering – sering ke sana. Tapi masih bersyukur bisa melihat keadaan Oma.
SERING VIDEO CALL
<li> Saya dan suami bukan tipe orang yang suka video call-an. Entah, males aja gitu nelpon sambil lihat muka yang ditelpon haha. Tapi sejak 6 minggu terakhir, mau tidak mau kami jadi rajin menggunakan video call. Menelepon Oma atau saudara-saudara di Indonesia. Sekarang jadi terbiasa menelepon sambil melihat mukanya.</li>
BERSIH-BERSIH RUMAH BERDUA
Sejak awal tahun lalu (2019), setiap dua minggu sekali ada Mbak yang datang untuk bersih-bersih rumah. Enam minggu terakhir, kami kembali gotong royong bersih-bersih rumah. Nanti kalau keadaan sudah aman, kami akan menggunakan jasa bersih-bersih rumah lagi
SETIAP SAAT WAKTU KUMPUL KELUARGA
Suami sudah mulai kerja dari rumah sejak 12 Maret 2020. Meskipun kerja dari rumah, dia benar-benar seperti kerja di kantor. Sering meeting online juga. Turun ke bawah hanya jika mau ambil minum dan snack sekitar jam 10 dan saat makan siang. Sore jika sudah selesai jam kerja, kami baru jalan-jalan. Secara keseluruhan, tidak ada bedanya dengan dia bekerja di kantor. Hanya saat makan siang kami bisa bersama dan jika ada hal yang mendesak saya bisa minta bantuannya. Menyenangkan buat saya karena merasa tenang ada suami di rumah. Merasa lebih tenang dan senang.
BELUM NAIK KENDARAAN UMUM LAGI
Terakhir naik kendaraan umum tanggal 10 Maret. Sampai sekarang belum pernah naik kendaraan umum lagi. Kalau lihat bis atau tram yang lewat, kangen sebenarnya. Nanti-nanti saja kalau sudah aman.
KEHILANGAN SPONTANITAS
Kami sudah beradaptasi untuk tidak spontan lagi saat ini. Dulu kalau cuaca cerah, menjelang makan siang biasanya kami spontan punya rencana ke luar rumah ke mana. Sekarang kalau cuaca cerah, ya tujuannya ke mana lagi kalau bukan ke tempat yang sepi atau tinggal saja di rumah. Kangen sebenarnya spontan bisa jalan-jalan ke supermarket tanpa membeli apa-apa. Nanti saja, kalau keadaan sudah membaik kembali. Akan ada saatnya.
Begitulah beberapa adaptasi yang kami lakukan sehubungan dengan kondisi terkini. Adaptasi selama 6 minggu terakhir yang merupakan the new normal buat kami.
Saat menulis, di sini masih waktu Maghrib malam Ramadhan hari pertama. Selamat menjalankan Ibadah puasa Ramadhan untuk teman-teman yang menjalankan. Semoga diberikan kelancaran, kesehatan yang baik, dan berkah. Insya Allah Ramadhan kali ini saya sudah ikut berpuasa, semoga bisa khatam Al-Qur’an juga selama sebulan ini. Walaupun Ramadhan tahun ini yang rencananya saya bisa berpuasa dengan keluarga di Indonesia, tapi ternyata belum berjodoh untuk bisa pulang karena pandemi, semoga saya dan keluarga di sini diberikan umur panjang dan sehat sehingga bisa bertemu keluarga di Indonesia dalam keadaan yang jauh lebih baik.
Semangat buat kita semua. Semoga keadaan berangsur membaik dan kita diberikan perlindungan sehingga selamat dan hidup melewati pandemi ini.
Pertambahan usia kali ini, saya lewati dengan suasana dan kondisi yang tidak biasa. Siapa yang menyangka dalam hitungan bulan, dunia kelabakan dengan pandemi Covid-19. Begitupun kami. Banyak jadwal dan rencana yang tertunda, bahkan batal. Termasuk rencana merayakan ulangtahun saya yang akhirnya batal. Kali ini, saya merayakan dalam suasana yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, di rumah saja. Justru saya merasa nyaman, di rumah leyeh-leyeh dan kruntelan seharian. Makin berasa hari yang spesial.
Baru saja, PM Belanda, Mark Rutte membacakan peraturan terbaru sehubungan dengan meminimalisir penyebaran Covid-19 di Belanda. Peraturan sebelumnya yang berlaku sampai 6 April, diperpanjang jadi 28 April, dengan catatan : nanti sebelum 28 April akan ada pidoto lagi apakah ada perpanjangan waktu lagi atau tidak. Peraturannya adalah : Horeca, daycare, Museum, sportclub, coffeeshop, salon, tutup sampai 28 April. Sekolah tutup sampai selesai liburan bulan Mei. Larangan mengadakan acara berlaku sampai 1 Juni (termasuk larangan perayaan paskah, sholat taraweh, Idul Fitri, Koningsdag dll). Dilarang berjalan bergerombol (lebih dari 2 orang, kecuali keluarga) dan tetap menjaga jarak minimal 1.5 meter. Jika dilanggar akan kena denda €400. Denda untuk perusahaan yang melanggar (misalkan mengadakan acara) sebesar €4000. Belanja dilarang membawa anak-anak dan cukup 1 orang dalam satu keluarga. Pasar tetap buka tapi dengan pengaturan yang ketat. Dilarang bepergian ke LN kecuali untuk urusan sangat mendesak. Hanya ada dua maskapai yang terbang ke Belanda, itupun jadwalnya sudah berkurang. Maskapai lainnya sudah meniadakan jadwal terbang ke Belanda. Sangat disarankan untuk tinggal di rumah, tidak usah ke luar rumah untuk hal-hal yang tidak mendesak. Boleh sesekali ke luar rumah untuk menghirup udara segar seperti sepedahan, jalan ke hutan atau danau asal tetap diingat untuk jaga jarak. Sangat disarankan untuk bekerja dari rumah, jika memang punya pilihan itu.
Sejak ditetapkan peraturan yang lebih ketat minggu lalu, ketika kami sepedahan sore hari, memang terlihat polisi patroli di mana-mana. Mereka bukan hanya patroli di jalan raya, tapi sampai blusukan ke dalam hutan, danau, taman-taman. Hanya taman bermain yang mungkin tidak terlalu karena saya melihat masih banyak taman bermain yang rame bukan hanya anak-anak kecil tapi remaja yang sampai membawa sound speaker lalu joged-joged. Pengen tak sampluk ae arek-arek iki. Belanda tidak pernah menyatakan bahwa kebijakan yang diambil ini adalah Lockdown. Opsi ini tidak akan diambil (untuk saat ini). PM Belanda menyebutnya kebijakan Intelligent Lockdown (terus terang saya sendiri masih ngikik kalau dengar istilah ini dilontarkan oleh Perdana Menterinya. Apa cuma Belanda aja nih yang pakai istilah Intelligent lockdown). Maksudnya, pemerintah tidak akan melarang orang ke luar rumah, diharapkan orang-orang punya common sense. Yang pada kenyataannya ya banyak yang tidak punya. Buktinya sebelum dikeluarkan peraturan baru yang lebih ketat, saat cuaca cerah mereka malah memenuhi pantai, taman, hutan, pasar, dll. Dibelahan bumi manapun memang akan selalu ada orang-orang yang seperti ini.
Begitulah sekilas keadaan di Belanda sekarang. Yang meninggal setiap hari masih diatas 100 orang. Tapi dari grafik, yang dites positif tidak eksponensial lagi, meskipun tetap banyak. Sejak sebulan lalu kasus pasien pertama, per hari ini (31 Maret 2020) yang positif dites total sebanyak 12.595 orang dan total yang meninggal sebanyak 1.039 orang.
Kembali ke cerita saya. Saat hari pertambahan usia (yang bukan hari ini), seperti biasa saya membuat tumpeng (yang tidak berbentuk tumpeng karena tidak punya cetakannya). Kali ini isinya orek tempe tahu, sambel bajak, dadar telor, oseng buncis wortel, suwiran ayam oven, dan mie goreng. Kami makan siang dengan lahap setelah saya mengucapkan beberapa harapan. Mama mertua menelepon untuk mengucapkan selamat. Sudah hampir 4 minggu saya tidak bertemu Beliau. Biasanya kami berjumpa seminggu sekali. Cerita kenapa kami tidak bisa mengunjungi Beliau, sudah saya tuliskan sebelumnya di sini.
Setelah selesai makan siang, saya menyiapkan beberapa piring isi nasi kuning buat tetangga. Kali ini, saat mengantar makanan, saya sudah tidak bisa lagi mengobrol panjang. Hanya mengantar, mereka mengucapkan selamat ulang tahun dari balik pintu, lalu saya pulang. Beginilah sekarang hidup bermasyarakat di Belanda. Biasanya kalau berpapasan saling menyapa, melempar senyum, sekarang mukanya pada tegang. Apalagi saya, sekiranya dari jauh terlihat orang akan berpapasan, langsung cari cara bagaimana untuk menghindar atau putar balik. Setakut itu saya bertemu orang saat ini. Saya sudah tidak pernah lagi ke supermarket sejak 3 minggu lalu. Kami belanja mingguan online atau kalau mendesak ada yang harus dibeli, suami ke supermarket retail dan berangkat sangat pagi. Jadi masih sepi dan tidak bertemu banyak orang. Virus ini memang mengubah semuanya, sampai pada tatanan bermasyarakat.
Sorenya, kami makan taart yang dibeli suami saat ke supermarket retail sehari sebelumnya. Setelahnya, karena udara super dingin meskipun matahari sangat nyentrong, kami tidak sepedahan ke danau melainkan leyeh-leyeh saja di rumah, main-main di halaman belakang.
Menjelang makan malam, suami tiba-tiba punya ide untuk memesan makanan cepat saji. Sejak saya pindah ke Belanda (tahun 2015), baru dua kali ini kami memesan makanan diantar ke rumah. Makan malam ulang tahun tahun ini dipersembahkan oleh restoran cepat saji.
Banyak syukur yang terucap sampai usia saat ini. Meskipun tahun ini melewati pertambahan usia di tengah suasana pandemi, tapi saya bersyukur kami sekeluarga sehat, bahagia, masih diberikan keselamatan dan berkumpul bersama. Meskipun kami sekeluarga (terutama saya) harus mengikhlaskan tidak jadi mudik saat lebaran (tiket pesawat dibeli sebelum Covid-19 sampai ke Belanda) dan melakukan reschedule (tanggal belum ditetapkan), namun kami yakin kalau langkah kecil kami untuk tidak mudik saat situasi masih gonjang ganjing begini adalah keputusan yang tepat. Semoga langkah kecil kami ini bisa menyelamatkan banyak nyawa, membantu dunia untuk bisa cepat pulih dan melewati ini semua. Kami ingin menjadi bagian yang berjuang bersama seluruh orang di dunia berdasarkan porsinya masing-masing. Kami mengambil porsi yang bisa dilakukan untuk meratakan kurva, mengurangi resiko menularkan dan ditulari, yaitu : semaksimal mungkin diam di rumah, tidak mudik ke Indonesia (dan liburan) saat situasi masih belum sepenuhnya terkendali. Berat diawal karena saya sudah memberitahu keluarga besar dan para teman, Ibu sudah mempersiapkan banyak hal untuk ketemu kami, sudah mempersiapkan waktu mengunjungi beberapa keluarga dan teman. Namun setelahnya saya malah lega akhirnya memutuskan tidak mudik saat lebaran. Mudah-mudahan diberikan rejeki waktu dan berjodoh bertemu Ibu dan keluarga di sana dalam keadaan sehat.
Doa saya pada pertambahan usia tahun ini : Semoga saya tetap hidup, selamat, dan sehat melewati pandemi ini. Semoga ini semua bisa segera selesai dan kami sekeluarga sehat selamat. Hal pertama yang ingin saya lakukan jika semua ini sudah terlewati : jalan-jalan santai di supermarket cuma melihat-lihat isi raknya tanpa harus beli. Hiburan yang selama ini saya lakukan (sebelum Corona Virus datang).
Yuk sama-sama berjuang supaya ini segera selesai. Kalau kata pemerintah Belanda : Alleen samen krijgen we corona onder controle – Hanya dengan bersama kita dapat mengendalikan Corona.
Sudah tiga minggu Mama mertua tidak bertemu dengan anggota keluarga lainnya. Terakhir berjumpa dengan seluruh keluarga, saat pesta ulang tahun cucu termudanya. Setelah itu, berita tentang Virus Corona semakin santer di Belanda. Setiap hari selalu ada berita terbaru berapa banyak orang yang dites dan positif Corona, berapa banyak yang meninggal dan berapa jarak usia pasien yang meninggal. Nyaris setiap hari selalu ada seruan pemerintah untuk melakukan tindakan preventif supaya virus tidak semakin menyebar. Salah satunya adalah dengan seruan keras untuk tinggal di rumah (kecuali bagi mereka yang harus bekerja di luar rumah atau ke luar rumah untuk keadaan darurat misalkan belanja makanan ke supermarket, ke dokter, atau rumah sakit), menjaga jarak, dan membatasi pertemuan dengan orang dalam jumlah banyak.
Namanya manusia, tidak bisa diseragamkan. Ada saja yang tidak mematuhi himbauan pemerintah. Tidak memikirkan orang lain, hanya memikirkan diri sendiri. Akhir- akhir ini cuaca di Belanda sedang cerah. Sangat cerah malah, meskipun anginnya tetap dingin. Banyak yang memanfaatkan kesempatan untuk pergi ke pantai, pasar tetap penuh, leyeh-leyeh di taman, bergerombol di pusat kota. Lupa akan bahaya Virus Corona. Lupa untuk menjaga jarak minimal 1.5 meter. Lupa seruan tinggal di rumah. Lupa untuk sementara tidak bergerombol. Lupa bahwa virus ini sudah membunuh ribuan orang di dunia. Lupa bahwa dunia saat ini sedang berjuang bersama untuk memutuskan mata rantai penyebaran. Lupa bahwa yang kita lakukan untuk tinggal di rumah bisa menyelamatkan banyak nyawa. Mereka lupa atau memang sejenak melupakan atau bahkan sengaja lupa bahwa keadaan saat ini sedang tidak biasa saja.
Mama, yang setiap minggu selalu dikunjungi anak-anak dan cucunya, sejak tiga minggu lalu memutuskan untuk mengisolasi diri di rumah. Beliau tidak mau dikunjungi siapapun dan tidak keluar rumah dengan alasan apapun. Bahkan saat hari ulang tahun, sehari sebelumnya Beliau memutuskan membatalkan acara yang seharusnya dirayakan di sebuah restoran. Kami sekeluarga sedih karena ini pertama kali Mama melewati ulang tahun sendiri, sejak Papa meninggal 5 tahun lalu. Mama, yang memendam rindu bertemu anak-anak dan cucu-cucunya harus merelakan melewati akhir pekan tanpa kunjungan dari siapapun. Usia Beliau yang memang rawan terinfeksi virus ini, menyebabkan kami sekeluarga juga patuh untuk tidak mengunjungi Mama. Belanja pun, beliau meminta tolong salah satu anaknya, lalu meletakkan di depan pintu. Beliau akan mengambil belanjaan tersebut jika anaknya sudah tidak terlihat di depan mata.
Mereka yang tidak patuh pada anjuran pemerintah untuk memutus mata rantai penyebaran virus, mungkin tidak tahu ada banyak Oma dan Opa yang memendam rindu tidak bisa melihat wajah anak cucunya sejak wabah ini berlangsung. Mereka yang merasa masih muda, mungkin merasa tidak akan jadi bagian yang terjangkiti virus ini sehingga abai dengan tindakan preventif. Tapi mereka lupa, bahwa mereka jadi bagian yang memperpanjang mata rantai virus.
Suatu hari, salah seorang cucu termuda (Balita) Mama rindu ingin bertemu Omanya. Terjadilah perbincangan di bawah ini antara dia dan Ibunya (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia semuanya) :
Anak : Oma Mana?
Ibunya : Oma ada di rumah.
Anak : Kita pergi ke rumah Oma?
Ibunya : Nanti ya, kalau Virus Coronanya sudah tidak ada, kita pergi lagi ketemu Oma.
Anak : Hari minggu ya?
Ibunya : Hari minggu kalau virusnya sudah pergi ya. Kalau belum, kita di rumah saja. Kalau virusnya masih ada, nanti Oma jadi sakit. Kangen sama Oma ya?
Anak : Iya. Kangen pengen peluk dan cium Oma. Kangen main sama Oma.
Si anak lalu menundukkan wajah. Terlihat raut sedih.
Sedih rasanya melihat cucu yang kangen dengan Omanya. Sedih seorang Oma juga memendam rindu tidak bisa bertemu keluarganya. Semoga keadaan ini segera berlalu. Semoga semakin ada titik terang. Mari berjuang bersama. Bisa saja kita memang (nampak) sehat, tapi bisa jadi kita sebagai pembawa. Ada banyak yang harus dipikirkan sebelum kita melakukan tindakan, saat ini.
Tolong patuhi anjuran pemerintah. Tinggal di rumah jika memang tidak ada hal mendesak untuk dilakukan di luar. Tolong jaga jarak jika memang harus ke luar rumah untuk sekedar jalan kaki, bersepeda atau menghirup udara segar. Jangan hadir dalam kerumunan dan acara yang melibatkan orang banyak. Saat ini, mari kita patuh. Ada banyak nyawa yang bisa kita selamatkan selain nyawa sendiri. Para dokter, perawat, dan pekerja yang berada di garis depan yang saat ini sudah kelelahan tapi tetap berjuang menyelamatkan nyawa para pasien yang sudah positif. Para pasien yang sedang berjuang melawan virus ini. Para Oma dan Opa yang sangat memendam rindu tapi tidak bisa bertemu langsung dengan keluarganya karena usia mereka yang rawan terinfeksi. Para anak yang tidak bisa bertemu orangtuanya yang bertugas di RS. Para orangtua yang melepas kepergian anaknya dan entah kapan lagi bisa bertemu karena mereka sedang berjuang menyelamatkan nyawa para pasien. Orang-orang yang lelah secara mental karena selalu dilanda cemas berlebihan dengan situasi dan kondisi seperti ini. Dan masih banyak lagi orang-orang yang terdampak dengan adanya wabah ini.
Pantai bisa menunggu, dia tak akan pindah tempat. Cuaca cerah bisa kita dapatkan lagi, dia akan selalu datang jika saatnya. Nyawa manusia yang tidak bisa menunggu. Banyak yang butuh diselamatkan.
Mari kita saling menguatkan. Semua ini pasti akan berlalu. Keadaan ini akan bisa terlewati jika kita berjuang bersama. Berikhitiar, berdoa, dan tawakkal. Kali ini, mari saling dukung. Lupakan perbedaan, apapun itu. Melakukan yang terbaik dari tempat masing-masing. Mari sama-sama kita putuskan mata rantai penyebaran virus Corona. Bahkan kita bisa melakukan hal yang paling sederhana untuk menyelamatkan nyawa orang banyak dan diri sendiri : di rumah saja.
Sudah lama ingin menuliskan tentang Covid-19 atau Corona Virus terkait diri saya dan situasi yang ada di Belanda, sejauh ini, saat tulisan ini dibuat.
Beberapa hal di bawah ini adalah dampak yang saya rasakan terkait Corona :
PERASAAN CEMAS TERAMAT SANGAT
Perasaan cemas ini mulai saya rasakan awal Januari 2020. Saat itu berita tentang Corona sering saya baca yang menjelaskan kondisi di Wuhan. Saya cemas super parah selama seminggu. Saya sering menangis, susah tidur dan perasaan was-was yang teramat sangat dengan situasi yang ada. Saya benar-benar takut bagaimana jika Corona sampai ke Belanda. Membayangkan jika salah satu anggota keluarga positif Corona. Lalu suami meredakan cemas saya dengan selalu memberikan saran yang positif. Mencoba menenangkan isi kepala saya yang ruwet. Akhirnya cemas mereda (sesaat).
Saya kembali cemas saat Corona sudah sampai Eropa. Saya berpikir : tinggal tunggu waktu saja sampai ke Belanda nih. Sejak itu sampai Corona benar-benar di Belanda (tanggal 27 Februari 2020 pertama kali satu orang positif Corona), perasaan cemas saya muncul dan tenggelam. Kadang bisa santai, dilain waktu bisa jadi super panik. Benar-benar yang panik. Ini perasaan cemas dalam pikiran. Sebagai informasi, pertulisan ini dibuat total 1135 orang positif Corona di Belanda, total 20 orang meninggal (pada range usia 59-94 tahun). Di kampung saya, ada7 orang yang positif Corona. Perkembangan tentang Corona bisa diikuti di website RIVM. Mereka akan selalu update setiap hari jam 2 siang.
BATAL UJIAN MENYETIR MOBIL
Pagi ini, seharusnya saya ujian menyetir mobil. Dua kali les terakhir di hari jumat dan sabtu minggu lalu, saya bertanya ke instruktur apakah ada kemungkinan ujian akan dibatalkan terkait Corona. Dia bilang, tidak. Kamis sore, PM Rutte mengumumkan tentang anak sekolah di jenjang tinggi mulai diliburkan, pembatalan acara-acara yang melibatkan lebih dari 100 orang, anjuran untuk mengurangi kumpul-kumpul, dan anjuran orang-orang bekerja dari rumah. Sabtu siang selesai les, saya bertanya lagi apa ada kemungkinan ujian dibatalkan. Instruktur saya bilang tidak.
Minggu sore, ada pengumuman resmi dari dua mentri tentang penutupan Sekolah (semua jenjang), daycare, sport club, sex club, coffeeshop, Horeca (termasuk restoran dan cafe) sampai 3 minggu kedepan, dan tetap anjuran orang kantoran bekerja dari rumah. Wah perasaan saya mulai tidak enak. Saya cek website CBR, ternyata benar jika semua ujian (theorie, toets, dan praktijk) ditiadakan sampai tanggal 31 Maret 2020. Setelah tanggal tersebut, baru bisa mendaftar ulang kembali untuk mencari jadwal ujian. Jadi, saya belum tahu kapan dapat jadwal ujian kembali. Sudah hampir selangkah dan di depan mata untuk mendapatkan SIM (jika langsung lulus), sekarang dalam ketidakpastian. Belum lagi karena les saya sudah berakhir, untuk tetap latihan menyetir, harus mengeluarkan uang ekstra per lesnya sampai ujian nanti.
BATAL LIBURAN ULANG TAHUN DI ANDALUSIA – SPANYOL
Setiap saya ulangtahun, jika kondisi memungkinkan, biasanya kami akan jalan-jalan. Sejak akhir tahun lalu, kami sudah merencanakan akan ke Andalusia selama 2 minggu, akhir maret ini. Kami fokus ke ngurusin tiket buat mudik, sehingga tiket ke Andalusia masih belum terbeli tapi penginapan dan tempat-tempat yang akan kami kunjungi sudah dibuat dengan detail. Rencananya, akhir Februari akan membeli tiket pesawat.
Akhir Februari, mulai ada yang positif Corona di Belanda dan keadaan di Spanyol mulai mengkhawatirkan. Akhirnya, awal maret kami putuskan batal ke Andalusia.
BATAL LIBURAN KE MECHELEN – BELGIA
Untuk mengobati batal ke Andalusia, kami berpikir pergi ke tempat yang dekat rumah saja. Dapat satu kota namanya Mechelen di Belgia. Jaraknya tidak terlalu jauh dan kotanya cantik. Cocok buat tempat beristirahat sejenak dari gonjang ganjing Corona.
Lalu keadaan di Belanda semakin mengkhawatirkan dan juga negara-negara lainnya, jadi kami memutuskan tidak jadi ke Belgia. Sudahlah berdiam diri di rumah sambil makan nasi kuning tidaklah terlalu buruk untuk merayakan ulang tahun.
BATAL ACARA DI RUMAH
Sabtu lalu, harusnya ada pesta kecil-kecilan di rumah. Sejumlah teman dan keluarganya kami undang. Seminggu sebelumnya, ada acara juga dengan keluarga di sini. Syukuran. Lalu seminggu kemudian, perubahan besar terjadi. Seperti biasa, jika di rumah ada acara, saya selalu mencicil memasak jauh hari sebelum hari H. Maklum ya, tenaga terbatas.
Setiap hari mengikuti perkembangan Corona, saya mulai was-was. Mulai berpikir akan membatalkan acara saja. Terlalu riskan jika banyak orang berkumpul dalam satu ruangan untuk situasi saat ini. Tapi suami bilang, acara diteruskan saja, sedatangnya orang karena ada beberapa teman yang membatalkan. Semua makanan sudah siap, kami sudah membeli minuman, camilan, sudah menyediakan goodie bag untuk anak-anak, intinya sudah siap semua. Sampai kamis malam, keinginan saya untuk membatalkan acara semakin kuat. Akhirnya setelah dibicarakan dengan suami, kami mantab membatalkan acara. Pesan saya kirimkan ke semua undangan yang sudah konfirmasi akan datang. Mereka maklum dan bilang akan mengirimkan kado yang sudah dipersiapkan. Saya pun bilang akan mengirimkan goodie bag. Lega sudah mengambil keputusan yang tepat untuk saat ini.
CEMAS DENGAN RENCANA MUDIK DALAM WAKTU DEKAT
Satu lagi yang membuat saya cemas akhir-akhir ini adalah tentang rencana mudik dalam waktu dekat. Akhirnya setelah 5.5 tahun sejak datang ke Belanda, kami ada kesempatan mudik ke Indonesia. Kesempatan yang sangat kami tunggu-tunggu selama ini. Jadi persiapannya pun sudah matang, sebelum Corona datang. Sekarang, kami mulai harap-harap cemas apakah bisa dan tetap akan mudik dengan situasi seperti ini. Saya sudah kangen dengan keluarga di Indonesia, Ibupun sudah sangat ingin bertemu kami. Tapi saya sudah mulai bilang ke Ibu, jika situasinya semakin memburuk dan ada kemungkinan bandara di Belanda ditutup, artinya kami tidak bisa mudik. Itu kondisi terburuknya. Sedih, tapi bagaimana lagi. Namun kita lihat saja perkembangannya bagaimana. Mudah-mudahan ada titik terang dan keadaan makin membaik.
PANIC BUYING
Kamis malam, tiga supermarket besar (bahkan toko turki pun) di kampung saya mulai diserbu orang-orang yang mulai panik. Kamis pagi dan sore waktu saya ke sana untuk membeli sayuran, semua masih aman terkendali. Saya mulai menjelajah tiga supermarket tersebut sambil melihat kondisi. Semua barang masih aman, tidak ada rak yang kosong.
Jumat pagi, saat kami mau belanja mingguan, sampai tidak mengenali dalamnya supermarket karena banyak rak yang kosong, terutama beras, pasta dan makanan-makanan beku. Benar-benar kosong. Ini di tiga supermarket di kampung. Orang-orang belanja super banyak dan mukanya tegang semua. Kami tidak terlalu banyak belanja karena bahan-bahan dasar sudah ada di rumah seperti beras, pasta, telor dan makanan beku.
MENJAGA JARAK – MEMBATASI BERINTERAKSI SECARA LANGSUNG
Hal-hal tidak menyenangkan di atas tentang pembatalan beberapa hal, saya maknai positif. Memang sudah saatnya untuk melakukan tindakan yang bisa memutus mata rantai, mengurangi penyebaran virus. Membatasi diri berinteraksi langsung dengan orang lain, menjauhi kerumunan, dan menjaga jarak. Saya berpikir, mungkin saja saya yang jadi pembawa virus yang bisa menularkan pada orang lain, atau juga sebaliknya. Kita tidak pernah tahu. Bisa saja nampak sehat di luar tapi ternyata kita ada bibit pembawa. Jadi, dengan membatasi interaksi langsung bisa jadi salah satu jalan untuk memutus mata rantai penyebaran virus. Meminimalisir. Bagaimana caranya? Salah satunya ikuti anjuran dengan tinggal di rumah jika tidak ada kegiatan yang mendesak untuk dilakukan di luar rumah.
Sekolah diliburkan, anjuran kerja dari rumah, menjauhi kerumunan orang, mengurangi bepergian menggunakan transportasi umum (jika memungkinkan) bertujuan untuk mengurangi penyebaran virus. Jadi ketika sekolah libur, tolong jangan lalu diartikan bisa pergi ke tempat liburan. Atau jika dianjurkan bekerja dari rumah, jangan diartikan bisa bekerja di tempat yang banyak kerumunan orangnya. Untuk saat ini, tahan keinginan ke mana-mana. Tinggal di rumah. Jika ingin menghirup udara segar, bisa pergi ke tempat yang minim orang misalkan hutan atau danau atau olahraga lari keliling kampung.
Sekali lagi, kita tidak tahu apakah kita menjadi pembawa virus atau tidak. Jika tidak dimulai dari sendiri, mata rantai ini tidak akan putus. Untuk saat ini, dengan situasi seperti ini, mari sama-sama berjuang. Mulai dari sendiri akan membantu orang sekitar juga. Meminimalisir penyebaran. Ini tidak berlangsung lama. Semua orang di dunia sedang berjuang bersama. Mari kita berjuang bersama memerangi virus ini. Mulai membatasi diri, menjaga jarak, mengurangi berinteraksi dengan orang lain, berdiam diri di rumah, tidak keluar rumah jika tidak mendesak, tidak menimbun bahan makanan, sering-sering mencuci tangan secara benar dengan sabun, meningkatkan daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makanan dan minuman tinggi gizi, tidak lagi bersalaman, tidak gampang menyebarkan berita sebelum dicek kebenarannya (No Hoax please), dan beberapa hal tindakan pencegahan lainnya.
Selain berdoa dan tawakkal, yuk sama-sama berikhtiar dengan maksimal. Ini saatnya kita berhenti sejenak, menepi sejenak dari kerumunan, kembali ke keluarga, kembali ke rumah, kembali ke orang-orang tersayang, menikmati waktu kebersamaan. Kami dan semua orang di dunia sedang dilanda cemas, khawatir, dan sedih. Kita sama-sama berjuang melewati situasi yang sedang susah di seluruh dunia. Ini tidak lama (semoga), pasti akan terlewati juga. Saat ini, yang diperlukan adalah perjuangan bersama. Semoga siapapun di manapun, sehat bersama keluarga. Percayalah, situasi sulit ini pasti bisa kita lewati. Pasti ada titik terang dan harapan. Mari sama-sama menguatkan dan optimis.
Sepuluh tahun lalu, saya memutuskan untuk menggunakan jilbab. Tulisan kali ini, berisi kilas balik sebelum dan setelah berjilbab.
Disclaimer : Tulisan ini tidak membahas dari sisi perjalanan religi. Jadi, sebelum membaca sampai selesai lalu kecewa tidak ada bahasan religinya, saya tuliskan catatan dulu di awal.
LATAR BELAKANG KELUARGA
Orangtua saya biasa saja pengetahuan agamanya. Menjalankan kehidupan beragama juga sewajarnya, tidak yang ketat sekali juga tidak yang longgar. Sesuai porsinya lah kalau saya menyebut. Ibuk saya baru bisa mengaji beberapa tahun sebelum naik haji. Kalau Bapak bisa mengaji sejak kecil karena memang di desa Beliau, mengaji di langgar itu wajib setelah sholat Maghrib.
Setelah Bapak dan Ibuk naik haji sekitar 9 tahun lalu, mereka juga tetap biasa – biasa saja. Tidak lantas menjadi orang yang merasa lebih dari tetangga-tetangga. Tidak juga lantas menjadi paling mulia atau paling alim. Tidak minta ditinggikan kedudukannya juga. Para tetangga juga biasa saja, tidak lantas yang memanggil Bu Hajjah atau Pak Haji ke Bapak dan Ibuk. Kepada anak-anaknya, mereka tidak lantas yang memaksa untuk berjilbab misalkan (Adik saya belum berjilbab waktu itu). Santai saja mereka. Tetap ikut tahlilan, sholawatan. Jaman dulu tidak ada yang sibuk bid’ah-bid’ah, setidaknya di kota saya tumbuh besar. Kehidupan beragama menjadi urusan masing-masing.
Yang berbeda adalah intensitas beribadah. Ibu dan Bapak menjalankan ibadah semakin khusyuk. Tetap menjalankan yang wajib dan menambah dengan amalan yang sunnah. Adakalanya Ibuk kasak kusuk sih memberi tahu saya kok kayaknya si A ga sholat ya, atau si B ga puasa Ramadhan ya. Lalu saya ingatkan, “wes Buk, ayok kembali ke rel semula. Ga usah ngurusi agama orang lain. Kita fokus saja dengan urusan masing-masing. Beragama dan melaksanakan ibadah itu sudah masuk ke area pribadi. Ga perlu ikut campur.”
MASA SD
Meskipun orangtua santai dalam urusan beragama, namun mereka menginginkan anak-anaknya punya bekal yang cukup dalam agama. Saya dan adik-adik dimasukkan madrasah dan diikutkan mengaji setelah Maghrib. Saya Madrasah Ibtidaiyah sampai lulus. Jadi kalau pagi sekolah SD Negri, sorenya di Madrasah Ibtidaiyah. Jadi saya punya dua ijazah. Setelah sholat Maghrib, saya pergi ke rumah tetangga untuk belajar mengaji dengan anak-anak tetangga lainnya. Tidak lama, hanya setengah jam seingat saya. Sebelum Isya, saya sudah di rumah lagi, lanjut belajar atau kalau tidak ada PR ya main-main di halaman dengan anak-anak tetangga. Yang saya ingat, sewaktu madrasah sangat menyenangkan. Saya bisa belajar tentang sejarah Islam, Fiqih, membaca huruf gundul, ikut lomba Qiro’ah, bahkan menang lomba kaligrafi tingkat kecamatan. Senang saya ikut lomba-lomba sewaktu di Madrasah. Sementara di SD Negri, saya juga sering dikirim lomba misalkan cerdas cermat, murid teladan, sampai lomba bidang studi. Kayaknya masa SD saya isinya dari lomba satu ke lomba yang lain.
Saat sekolah Madrasah, murid – murid lainnya menggunakan jilbab. Saya tidak mau. Saya menggunakan kerudung yang hanya mau saya pakai saat di kelas saja. Di luar kelas, saya buka kerudung, gerah. Kota pesisir sis, panas. Guru-guru tidak ada yang mempermasalahkan. Tidak ada paksaan. Saat mengaji malam pun saya tidak pernah mau berjilbab. Cuma pakai mukena. Untuk informasi, saya tinggal di kota kecil yang terdapat dua organisasi Islam yang kuat, yaitu NU dan Muhammadiyah. Tapi seingat saya NU lebih kuat di sana. Saya sekolah Madrasah di Muhammadiyah, tapi guru ngaji di rumah orang NU. Jadilah dalam tubuh saya ini berjiwa campuran haha. Keluarga saya juga tidak fanatik ke kubu tertentu. Biasa saja. Dulu kalau ada yang bertanya, saya NU atau Muhammadiyah? Saya menjawab : saya Islam.
MASA SMP
Sewaktu di SMP, saya mulai tertarik menggunakan Jilbab. Melihat beberapa teman kok rasanya kece kalau memakai jilbab. Yang menggunakan jilbab waktu itu cuma beberapa gelintir manusia saja dan kok ya semuanya parasnya cantik. Memang alasan saya waktu SMP ingin berjilbab secetek itu sih, biar nampak kece haha. Saya lalu mengutarakan ke orangtua tentang keinginan untuk berjilbab. Sudah bisa saya duga, tidak diijinkan. Bapak Ibu memang tidak mau kalau keputusan berjilbab hanya untuk ikut-ikutan teman, supaya nampak kece, ataupun ingin menutupi suatu kekurangan. Bapak bilang, “Berjilbab itu keputusan besar. Kamu harus punya alasan kuat, punya pijakan agama yang sudah kokoh, dan harus datang dari diri sendiri. Bukan karena disuruh, bukan karena ikutan tren, dan bukan karena alasan manusia lainnya. Cukup agama saja yang kami turunkan. Berjilbab, kamu harus memutuskan kalau sudah siap. Kalau belum, ya tidak usah terburu-buru. Kamu masih muda. Banyak waktu. Nikmati saja semuanya dulu.” Saya disuruh menemukan alasan kuat dulu.
Seiring berjalannya waktu, saya lalu lupa keinginan berjilbab. Waktu SMP saya pernah masuk pondok pesantren, sebentar. Sewaktu libur panjang sekolah. Nah, di pesantren memang jilbab diwajibkan. Walhasil saya pakai jilbab hanya kalau ada kegiatan di luar saja. Jilbab yang asal ditali kebelakang. Selebihnya, saya copot. Ga koaatt akuuhh. Sumuk Men! Panasnya kotaku rasanya tak ada duanya. Intinya, saya lupa keinginan berjilbab.
MASA KULIAH
Saya loncat cerita ke masa kuliah. Sewaktu SMA, saya tidak terpikir sama sekali dengan jilbab. Sedang menikmati hidup penuh kebebasan karena tinggal ngekos jauh dari orangtua (mulai ngekos sejak umur 15 tahun). Bebas dalam artian, ya bebas haha. Masa-masa nakal lah saya menyebutnya. Nakal tapi saya tidak menyesal pernah melakukan kenakalan-kenakalan masa SMA.
Awal masuk kuliah, untuk yang muslim, diwajibkan ikut kegiatan mentoring. Ini saya agak samar-samar ingat sebenarnya apa ya waktu itu kegiatan mentoring. Saya banyak mbolos haha. Kalau tidak salah kajian Al-Qur’an dan pembahasan Fiqih. Tidak patut dibanggakan karena mbolos tapi saya punya alasan kuat kenapa sering mbolos. Saya sering disindir oleh mbak mentor kenapa tidak pakai jilbab. Saya seringnya pakai kerudung kan, lalu sering disindir. Walhasil saya pakai mukena saja, sekalian sholat Ashar di Masjid kampus.
Jaman kuliah, ini masa di mana saya haus sekali belajar agama. Saya sering ikut kajian-kajian. Inginnya bisa masuk ke komunitas-komunitas tertentu. Intinya saya ingin banyak belajar tentang Islam. Tapi, saya terkecewakan oleh : seringnya ditolak secara tidak terang-terangan karena saya tidak berjilbab, “Maaf lebih baik ditutup dulu auratnya baru bisa bergabung dengan kajian kami.” Coy! saya kan ga pakai bikini ke kampus. Masa sih sampai segitunya. Sungguh, saya kecewa sekali. Sempat mutung kenapa ya ada yang ingin belajar agama Islam secara serius tapi kok malah ditutup jalannya hanya karena saya tidak berjilbab. Dan yang menutup jalan justru dari mereka yang paham agama. Ga jalan logika saya dibagian itu. Mereka seperti mengeksklusifkan diri. Saya sempat agak dendam kalau melihat perempuan dengan jilbab yang menjuntai lebar. Jilbab taplak dulu saya menyebutnya karena saking lebarnya kayak ukuran taplak. Dan sejak itu, saya merasa antipati dengan yang namanya kajian agama Islam atau belajar Islam oleh komunitas tertentu. Bagaimana mau merangkul kalau sudah mengeksklusifkan diri. Saya lalu belajar sendiri dan mencoba mencari sumber-sumber belajar lainnya. Masa kelam dalam hal belajar tentang Islam pada saat kuliah itu.
MASA KERJA
Setelah lulus kuliah, saya bekerja 9 bulan di Surabaya. Lalu pindah ke Jakarta dan bekerja di sana selama 7 tahun. Di dua perusahaan tersebut, karyawan yang beragama Islam sedikit sekali jumlahnya, minoritas. Ya tidak masalah juga karena perusahaan tidak pernah menganggap beda, yang penting berprestasi dan hasil dari pekerjaan yang baik.
Saya sampai lupa perihal berjilbab, sibuk bekerja. Cemerlanglah karir saya selama total 8 tahun itu walaupun ada saja cobaan hidup. Meskipun tidak terpikir tentang Jilbab, tapi belajar agama tetap jalan terus. Saya selalu ikut ceramah agama yang diadakan di Musholla kantor, seminggu sekali. Saya menjalani kehidupan sehari-hari ya seperti biasa. Mencoba menyeimbangkan urusan kantor dan pribadi.
Sampai suatu ketika, setelah acara liburan kantor ke Bali, saya mendadak terpikir tentang ingin menggunakan Jilbab. Di malam itu, di kamar kos, saya berpikir dan merasa terpanggil. Saat itu, saya sudah punya alasan kuat dan sudah lebih mantab. Saya sudah bisa memutuskan sendiri dan pasti bisa bertanggungjawab dengan keputusan yang dibuat. Saya telepon Bapak, menyampaikan niat tersebut. Kali ini, Bapak dan Ibuk menyerahkan semuanya pada saya. Waktu itu, Ibuk belum berjilbab. Jadi, Ibuk tidak bisa berkomentar banyak tentang keputusan yang saya ambil.
Waktu itu, saya tidak tahu kapan akan mulai berjilbab. Saya tidak punya jilbab, bahkan baju lengan panjang saja hanya punya satu pasang. Celana dan kaos. Selebihnya, rok pendek dan kemeja lengan pendek. Nah, beberapa hari kemudian, saya ditugaskan ke Surabaya. Lalu saya ingat, punya teman sekelas waktu SMA yang berjilbab. Saya hubungi dia, bisa tidak mengajarkan saya bagaimana cara menggunakan jilbab. Ya, sampai menggunakan Jilbab saja saya tidak tahu caranya. Teman yang sangat berjasa pada awal mula saya berjilbab itu bernama Halimatuz. Saya panggil Tuz. Dia sekarang tukang rias terkemuka di seantero Surabaya (dan Jatim kayaknya). Akun IG nya @RiasJilbab (bukan testimoni berbayar ini).
Saat itu, dia masih bekerja di bank. Kami janjian malam hari di McD Basrah, Surabaya. Dia diantar oleh suami, datang dengan anaknya. Saya ditemani adik. Di sana, saya diajari cara menggunakan Jilbab yang rapi, masang peniti, bagaimana cara melipatnya, bagaimana membuatnya rapi. Dia yang bawa jilbabnya, karena saya tidak punya Jilbab. Lalu dia memberi saya dua jilbab dan penitinya. The Best lah Halimatuz ini. Suwun ya, Wes 10 tahun lalu Tuz.
Singkat cerita, akhirnya saya berjilbab tepat dihari ulangtahun yang ke 29. Ya ini memang saya sengaja, biar gampang mengingatnya haha. Wah, heboh satu ruangan, semua langsung datang ke kubikel. Bukan untuk menyelamati, tapi terbengong rasa tidak percaya bagaimana bisa seorang Deny kok jadi berjilbab. Bagaimana bisa. Seharian itu, ruangan yang isinya 25 orang jadi gaduh. Bahkan saya dipanggil bos besar, bukan ditegur. Beliau menanyakan apakah saya punya masalah. Saya bilang tidak, baik-baik saja semua. Beliau bertanya seperti itu karena sebelum ke Surabaya selama seminggu, saya menangis di ruangan karena stress dengan urusan budget kantor yang ruwet. Dipikirnya saya berjilbab karena stress haha. Lha menghilang seminggu, lalu balik ke kantor sudah beda tampilan.
Setelah berjilbab, perlahan saya mulai menghilangkan foto-foto yang diunggah ke media sosial saat belum berjilbab. Saya berpikir, setelah berkomitmen berjilbab, seharusnya saya tidak perlu lagi menampilkan foto-foto tanpa Jilbab. Membuka lembaran baru, tutup yang lama. Walaupun apa yang diunggah ke Internet akan selamanya ada, setidaknya saya berusaha menghapus yang di halaman media sosial. Makanya sekarang saya sangat berhati-hati dalam mengunggah foto diri.
Beruntung saat itu saya berjilbab karena keputusan yang datang dari diri sendiri, dari kemauan sendiri, dan tidak dalam keadaan terpaksa.
SETELAH 10 TAHUN BERJILBAB
10 tahun kemudian, saya tetap berjilbab, tetap haus dengan ilmu agama, dan tetap belajar sebanyak mungkin tentang Islam. Semakin saya banyak belajar, semakin saya merasa saya ini tidak ada apa-apanya. Tidak ada yang berubah sama sekali dari saya. Tidak lalu tiba-tiba menjadi tukang dakwah, tidak lantas menyuruh teman atau sahabat untuk berjilbab. Saya masih tetap dengan apa yang orangtua ajarkan : Agama dan beribadah itu urusan masing-masing. Sudahlah tak perlu ikut campur. Saya tidak lantas merasa lebih dari mereka yang tidak berjilbab atau memandang sebelah mata yang memutuskan melepaskan Jilbab. Sama sekali tidak. Setiap orang punya pergulatan hati masing-masing, sayapun demikian. Saya tidak memandang berbeda mereka yang berjilbab berdasarkan lebar atau kecilnya jilbab. Tidak ada yang beda buat saya.
Perjalanan berjilbab selama 10 tahun ini juga tidak selalu riang gembira. Sewaktu di Indonesia, sering dipandang sebelah mata oleh mereka yang jilbabnya lebar sedangkan jilbab saya ya cukupan lebarnya, yang penting terjulur sampai dada. Belum lagi di Belanda, ada saja ujiannya. Dari yang pernah jilbab dijambak, dikatain kalau saya ini bawa kuman penyakit dengan menggunakan jilbab, sampai diteriakin saya harus kembali ke negara asal karena dia benci lihat perempuan berjilbab, dan masih ada beberapa cerita lainnya. Di mana-mana, ada saja ujiannya. Cerita senangnya, untungnya lebih banyak. Salah satunya tentang keluarga suami. Sejak berkenalan, keluarga di sini tidak mempermasalahkan tentang jilbab yang saya kenakan. Malah Mama mertua memberikan saya dua Jilbab sebagai hadiah waktu berkunjung pertama kali ke Belanda. Saya berbeda di keluarga, tapi mereka memperlakukan saya dengan sangat baik.
Saat pasang pohon Natal di rumah lalu saya unggah fotonya di media sosial, seorang mantan sahabat bertanya,“Kamu masih pakai Jilbab, Den?” Lalu saya jawab, “Kalau memang kita pernah bersahabat, kamu tidak akan menanyakan hal ini.“
Saya ingat betul pernah berbincang seperti ini dengan Bapak,“Pak, nanti kalau misalkan saya lepas jilbab atau pindah agama, bagaimana menurut Bapak?” Lalu Bapak menjawab,“Apa yang sudah kamu putuskan, pasti sudah kamu pikirkan masak-masak. Bapak sebagai orangtua hanya sebatas memberikan pandangan. Selebihnya, apapun itu, jadi tanggungjawabmu sendiri.” Beruntung sekali saya mempunyai Bapak yang tidak memaksakan apapun pada anak-anaknya, sampai urusan agamapun. Bapak memang berbeda dengan Ibuk tentang penyikapan.
Begitulah kisah panjang saya tentang perjalanan berjilbab. Setiap orang punya perjalanan religi dan spiritual masing-masing. Begitupun saya yang sampai saat ini masih meraba dan tertatih untuk semakin baik dari hari ke hari.
Akhir bulan Januari ini, tepat lima tahun saya tinggal di Belanda. Masih ingat dengan jelas, lima tahun lalu saat suami menjemput di Schiphol, saya sampai lupa wajahnya seperti apa sampai dia memanggil beberapa kali haha. Maklum, setelah menikah kami tinggal terpisah dan selama 6 bulan tidak pernah sekalipun video call-an. Jadi wajah suami agak samar di ingatan dikepruk bojoku :))). Lima tahun lalu, badan saya masih singset mungil –koyok wong ga doyan mangan– Memang saya susah naik Berat Badan….. duluuu. Dua tahun terakhir ini, badan saya sukses mengembang kayak diguyur fermipan. Entah naik berapa puluh kilo. Tak mengapa, memang sengaja dibuat membesar, supaya tidak gampang diterbangkan kerasnya angin di Belanda dan angin kehidupan *krikk kriikk.
Saya tanya suami, apa perbedaan saya lima tahun lalu dan lima tahun kemudian. Inilah jawaban dari dia :
Makin Dewasa dan Lebih Jinak
Bagian makin dewasanya saya tidak bisa komentar ya karena ukuran dewasa itu banyak variabelnya. Jadi saya menyebutnya, relatif. Saya mau komentar bagian lebih jinak. Ini maksudnya lebih ke arah emosi. Saya akui, selama 5 tahun ini memang cara saya mengatur emosi lebih stabil. Dulu kan senggol bacok. Seiring berjalannya waktu, lebih banyak pelajaran kehidupan, dan tertular suami yang panjang urat sabarnya, saya pun jadi lebih panjang sumbu sabarnya. Saya makin santai menghadapi apapun, dalam segala suasana. Lebih bisa memilih dan memilah mana yang harus disikapi. Lebih bisa berpikir panjang sebelum bertindak atau bereaksi. Intinya, saya yang dulu senggol bacok, sekarang lebih zen. Dulu yang reaktif, sekarang lebih santai dalam bereaksi. Tidak gampang tersulut, tidak gampang meledak. Pegangan saya cuma satu : tidak semua hal perlu saya urusi dan ada hal-hal di luar kuasa yang tidak bisa saya kendalikan. Belajar dari kesalahan – kesalahan yang pernah terjadi, saya ingin menjadi jiwa yang lebih baik. Mengendalikan emosi salah satunya. Sekarang, sudah jauh lebih baik. Banyak hal-hal baik dari suami yang saya serap, salah satunya ya bagian emosi ini. Dari dia lah saya belajar untuk lebih santai dan tidak reaktif.
Lebih Belanda Dari Orang Belanda
Saya dari dulu kalau ngomong, ceplas ceplos, apa adanya. Awalnya suami kaget pas kenal saya. Berasa bicara sama orang Belanda katanya haha mirip. Kalau di Belanda, disebutnya direct. Jadi ngomong ya apa adanya, tanpa basa basi. Walaupun tingkat direct saya lebih tinggi dibandingkan lingkungan saya di Indonesia, tapi pas tahun pertama menikah, duh ada saja yang bikin perang dunia. Salah paham terus dengan suami perkara dia lebih direct (ya iyalah, dia dari orok di sini). Lama-lama makin paham, lalu sekarang kata suami terkadang saya lebih direct dari orang Belanda asli.
Yang kedua, tentang waktu. Sejak di Indonesia, saya memang paling tidak suka telat dan nelat. Janjian pasti lebih awal dari jam yang disepakati. Lebih baik menunggu daripada ditunggu. Jadi begitu pindah Belanda, saya tidak ada masalah dengan perkara janjian. Suami, tipe yang on time. Jadi benar-benar pas waktunya. Sedangkan saya lebih awal dari waktu janjian. Makanya dia bilang saya lebih Belanda dari orang Belanda.
Yang terakhir tentang uang. Biasa ngirit kan ya karena 13 tahun jadi anak kos. Selain itu juga hasil ajaran orangtua : jika membeli sesuatu, yang seperlunya saja. Walhasil menancaplah ajaran itu sampai akar. Konon katanya, orang Belanda terkenal pelit. Kalau menurut saya, bukan pelit, tapi memperhitungkan segala sesuatunya. Jadi kalau tidak penting-penting amat, tidak akan berfoya-foya. Seperlunya saja. Suami dan keluarganya, termasuk orang yang dalam mengeluarkan uang, seperlunya. Tapi mereka sangat menikmati hidup justru dengan prinsip itu. Menabung kencang, pos-pos untuk hiburan juga diisi kencang. Jadi kalau saatnya travelling, ya menikmatinya dengan maksimal. Makan di tempat yang ok, nginep di hotel yang ok, tidak terlalu memikirkan harus mengirit ini dan itu karena memang sudah memperhitungkan sesuai yang ditabung. Nah, saya lebih perhitungan lagi dari mereka haha. Entah, antara perhitungan sama pelit memang tipis kalau diterapkan pada saya. Suami pernah komen : Kupikir aku ini sudah ngirit, eh kamu kok lebih ngirit dari aku :)))
Itulah dua poin utama dari kacamata suami tentang perubahan saya selama lima tahun numpang tinggal di negara orang. Nah kalau dari saya, ada beberapa hal yang saya masih belum bisa lepas dari hal-hal yang berbau Indonesia dan juga beberapa perkembangan yang saya dapat selama di sini :
Masih Takut Hantu
Ini bagian yang agak kocak. Saya ini suka nonton film horor dan sudah terpapar film horor sejak balita mungkin haha. Ya generasi Suzanna lah pokoknya. Jadinya, otak saya itu suka kreatif menciptakan sosok-sosok hantu yang entah ada atau nggak. Apalagi pas kuliah, doyan banget nonton film horor Jepang macam Sadako. Belum lagi horor Thailand kan ngerinya ga main-main. Walhasil, saya jadi orang yang takut akan hantu (yang entah ada apa tidak *ga minta dilihatin juga). Selama di Belanda, saya tidak terlalu merasa horor lagi. Padahal katanya hantu Belanda di Indonesia itu menyeramkan ya. Yang pasti, lingkungan di Belanda tidak terasa horor. Pulang malam jam 10 saya masih berani sepedahan. Tapi, kalau lewat hutan dengan penerangan yang minimal, saya langsung merinding. Membayangkan kalau tiba-tiba ada bayangan putih melesat di depan mata, atau tiba-tiba boncengan sepeda berat trus saya nengok tiba-tiba ada mbak-mbak rambut panjang sudah duduk dengan menyeringai ke arah saya. Itu khayalan saya ya, yang nyatanya memang tidak terjadi. Harusnya saya lebih takut dengan penjahat kalau lewat hutan seperti itu. Nyatanya, bayangan hantu lebih membuat saya takut. Padahal kata suami, kalau di Belanda yang paling ngeri itu cuma satu : dapat surat cinta dari kantor pajak haha.
Beberapa waktu lalu, saya merasa ada hal aneh terjadi di rumah. Lalu saya menyimpulkan kalau ada setan di rumah. Saya cerita ke suami dengan menggebu. Suami ambil Hp, googling, lalu memaparkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi termasuk aspek psikologis. Tidak ada dalam paparannya kemungkinan ada setan. Ya beginilah salah satu perbedaan saya dan suami. Beda antara yang dibesarkan dengan ilmu pengetahuan dan logika, dengan yang dibesarkan oleh film-film Suzanna.
Nyebrang Jalan Masih Ragu-Ragu
Terbiasa di Indonesia sebagai pejalan kaki selalu terkalahkan oleh kendaraan bermotor, akhirnya mental itu terbawa sampai sini. Setiap kali lewat zebra cross, saya selalu menunggu mobil lewat dulu. Padahal jelas-jelas kalau menyeberang lewat zebra cross, mobil akan berhenti menunggu pejalan kaki menyeberang. Tapi entah, sampai saat ini saya masih otomatis berhenti dan menunggu mobil lewat dulu. Sudah lumayan berkurang, tapi masih ada rasa takut kena serempet mobil.
Denda Sepeda
Ini yang agak aib. Akhirnya selama 5 tahun sepedahan di Belanda, awal Januari kena denda. Duh memalukan sekali. Padahal sepedahan sampai 90km lintas kota Den Haag-Leiden, baik-baik saja. Eh ini mau ke klinik dokter yang jaraknya cuma 10 menit dari rumah, kena denda. Salah saya memang. Karena terburu-buru, saya lupa menyalakan lampu belakang sepeda. Waktu itu jam 8 pagi. Saya pikir, sudah agak terang, jadi lupa saya menyalakan lampu belakang sepeda. Lha kok pas banget ada polisi patroli dengan mobil. Walhasil, saya dihentikan, ditanya kartu identitas, lalu beberapa hari kemudian surat denda datang ke rumah. €65 melayang gara-gara lampu belakang.
Pemahaman Bahasa Belanda Semakin Membaik
Ada satu kursus yang saya ikuti saat ini pesertanya semua orang Belanda, bahasa pengantar kursusnya juga bahasa Belanda. Saya satu-satunya imigran di sana. Pertama kali masuk, pulang-pulang kliyengan kepala saya. Kursusnya selama 3 jam. Walaupun saya paham dengan yang disampaikan oleh pemateri, tapi saat diskusi, peserta lainnya kalau ngomong dengan aksen yang berbeda-beda. Kebanyakan ga nangkep jadinya apa yang mereka sampaikan. Kadang malah saya dengarnya kayak kumur-kumur atau krusek krusek kayak nyari gelombang radio. Tapi, ya sesama orang Belanda paham mereka meskipun di telinga saya seperti sedang sakit gigi pas ngomong. Ya sejauh ini, setiap evaluasi setidaknya saya selalu mendapatkan nilai bagus. Masih jadi 3 terbaik di kelas dari 20 peserta. Sampai yang lainnya sempat bertanya apa saya pernah mengikuti kursus ini sebelumnya. Saya bilang tidak. Tapi di rumah, saya memang selalu belajar. Intinya, sebagai imigran, saya sadar diri kemampuan bahasa Belanda saya masih 75%, jadi saya harus inisiatif belajar sendiri di rumah, menyiapkan materi sebelum kelas mulai. Jadi ketika di kelas, saya sudah lumayan tahu apa yang akan disampaikan. Sebagai imigran, dalam hal apapun, saya harus berusaha 10 kali lipat dibandingkan orang Belanda, supaya kemampuan tidak dianggap sebelah mata.
Itulah beberapa hal yang bisa saya tuliskan. Tadi pagi, sebelum berangkat kerja, ucluk-ucluk suami bawa tas dari gudang belakang. Dia memberikan hadiah buat saya. Ya ampun, saya yang rembes dengan rambut masih awut-awutan merasa senang dikasih kado. Merasa suami kok sweet sekali *sekali-kali muji suami nang blog lak ga haram tho. Lalu jam 9 pagi saya mulai berkreasi, masak maksudnya. Saya membuat martabak telor dengan kulit bikin sendiri. Lalu masak mie ayam jamur dengan bahan seadanya di kulkas. Saya pakai ayam sisa soto ayam minggu lalu. Lalu karena tak ada sawi, jadi pakai sayur salad. Dan tak punya cabe merah, jadi pakai cabe buat martabak.
Ini kali kedua saya membuat martabak telor dalam dua bulan terakhir. Resepnya saya nyontek dari blog Mbak Yoyen. Gampil sih, cuma yang agak akrobatik pas naruh di penggorengan. Debus pun kalah. Tapi hasil akhirnya tak mengecewakan. Semua suka, tandas sekejap mata.
Suami mengajak makan malam di Sushi restoran. Merayakan 5 tahun saya di Belanda. Lima tahun lalu saya tiba di sini. Meninggalkan Indonesia, memulai semua dari awal, tidak menengok lagi yang dibelakang. Lima tahun mengenal negara ini, jatuh bangun dijalani, suka duka dilewati bersama keluarga kecil kami. Semoga saya berjodoh lama dengan negara ini, berjodoh lama dengan suami, dan bisa bersama menjalani pernikahan ini sampai berpuluh tahun lamanya. Sekali lagi, selamat 5 tahun untuk diri sendiri, selamat sudah sampai sejauh ini. Semoga tahun-tahun mendatang tetap menjalani hari dan mencapai yang dicitakan dengan langkah penuh kebahagiaan.
Semakin bisa mengikhlaskan, semakin bisa berdamai dengan waktu, dan semakin bisa memeluk rasa kehilangan yang teramat sangat. Luka karena kesedihan yang mendalam semakin membaik. Airmata masih saja menetes jika mengingat kenangan yang pernah ada, tapi perih di hati semakin bisa teratasi.
Siang ini saya makan nasi goreng favorit kami semua, saya dan adik-adik, sejak kecil sampai kami hidup terpisah. Salah satu dari sekian masakan yang akan selalu kami rindukan. Ketika kami sudah tidak tinggal bersama di rumah, pulang menjadi sangat berarti. Selain bisa mengobrol apa saja sampai tengah malam, kami juga bisa menyantap nasi goreng super pedas yang rasanya tidak akan pernah kami temukan selain di rumah. Bahkan sampai beratus kali saya membuat sendiri, rasanya tak akan pernah menyamai aslinya.
Nasi goreng hijau, kami menamainya. Warna hijau di dapat dari ulekan cabe rawit hijau, bawang putih, daun jeruk, dan garam. Diuleknya tidak terlalu halus, lalu dioseng dengan sedikit minyak sampai bumbu agak mengering supaya tidak langu. Setelahnya nasi dimasukkan dan digoreng sampai tanak. Biasanya kami akan tambahkan lauk seperti telor ceplok atau dimakan tanpa lauk pun sudah sangat enak.
Tadi, saya makan nasi goreng hijau ini sambil mengenang jika kami makan bersama. Duduk bersila di depan TV dengan piring masing-masing. Sembari ngobrol dan sesekali menengguk air minum karena rasa nasi goreng yang super pedas. Bahkan saking pedasnya, seringkali telinga menjadi berdenging. Mungkin karena sejak kecil sudah makan nasi goreng pedas ini, kami tumbuh jadi anak-anak yang doyan pedas.
Saat sudah bekerja di Jakarta, saya sering mendengar candaan yang terlontar saat berbincang di telefon, “Nanti kalau kamu sudah bertemu dengan jodohmu dan kalian sudah punya anak, jangan lupa untuk liburan ke rumah. Bapak akan sangat senang bermain dengan cucu-cucu. Nanti Bapak ajak berkebun. Nanti Bapak dipanggil Mbah Kakung saja. Mbah Kakung akan cerita pada cucu-cucu kalau Ibunya dulu paling senang duduk di pangkuan Mbah Kakung saat Mbah Kakung makan sepulang kerja.”
Tadi pagi saat berjalan-jalan, saya melihat seorang Opa menggandeng cucunya sambil mendorong stroller cucu yang satunya. Mata saya berembun, ada rasa sesak dan perih melihat pemandangan tersebut. Selalu perasaan yang sama muncul saat melihat Opa bersama cucunya, bersenda gurau dan bercengkrama. “Insya Allah, tahun ini kami semua akan datang dan liburan ke rumah, Pak.Berziarah dan menunjukkan pada mereka kuburan Mbah Kakungnya. Seorang Mbah Kakung yang tak pernah mereka temui tapi akan selalu menemani lewat cerita dari Ibunya.” Waktu memang tidak lagi bisa diajak berandai-andai. Saya selalu yakin, Bapak tidak pernah pergi. Beliau ada di sekitar kami, tersenyum melihat hidup saya sekarang, sejauh ini.
Bapak, satu-satunya orang di keluarga yang selalu mendukung apapun keputusan yang saya ambil, “asal kamu mampu bertanggungjawab dengan apapun konsekuensinya,”. Bapak, satu-satunya yang percaya setiap mimpi dan keinginan saya yang nampak mustahil buat orang lain, tapi selalu mengatakan tak ada yang tidak mungkin di dunia. Bapak, satu-satunya orang yang tidak pernah bosan mengatakan bahwa saya harus bersekolah setinggi mungkin. Bapak, satu-satunya yang tidak pernah menyuruh saya cepat-cepat menikah, apalagi punya anak, “Nikmati hidupmu dulu, berkarier dan sekolah dulu setinggi-tingginya. melihat dunia sejauh-jauhnya. Nanti jodoh akan datang sendiri pada saatnya.” Bapak, yang selalu mengusahakan yang terbaik untuk anak-anaknya. Bapak, yang selalu merasa cukup berapapun dan apapun yang dipunya. Tidak pernah ngoyo mencari diluar kemampuan, tidak pernah hidup berlebihan.
Sudah delapan tahun berlalu, tepat tanggal ini, saya selalu melangkah diselimuti kerinduan. Kenangan baik yang selalu akan teringat bersama doa-doa yang terlantun.