As the final hours of 2016 here in the Netherlands are ticking away I wish all the readers of our blog a very happy and healthy 2017!
2017 will be a very important year for the people of the Netherlands and Indonesia.
In the Netherlands people feel more and more the (financial) stress of the situation from the unstable economic situation within the European Union and with the Euro. There are many uncertainties around the influx of immigrants from Syria and other Arabic and African countries that could lead to tensions with the Dutch citizens when it comes to social matters (like housing) and cultural differences. In March we will have elections in The Netherlands and I have recently become involved with a new and fresh political party so this promises to be a new and busy experience for me!
In Indonesia I feel worried about what I read in the press about the events concerning the Jakarte governor Mr. Ahok. It would be a very sad situation if religious circumstances would challenge the stability of Indonesia. Religion should not be a reason to silence opinions from individuals or groups in a society. I hope for 2017 that the situation in Indonesia stabilizes and the different religious groups can return to live peacefully and practice their religion with respect to the each other.
Tahun lalu adalah pengalaman pertama saya menikmati suasana Natal di Belanda. Seperti yang pernah saya tuliskan di sinitentang pengalaman Natal pertama di Belanda, saya dan suami berkunjung ke rumah Mama untuk berkumpul bersama dengan anggota keluarga yang lain. Mama masih dalam keadaan berkabung karena Papa meninggal beberapa bulan sebelumnya. Karenanya Mama lebih memilih tinggal di rumah meskipun anak-anaknya ingin mengajak makan malam bersama.
Tahun ini, karena beberapa beberapa anggota keluarga banyak yang pergi berlibur pada saat Natal dan kami takut Mama merasa kesepian kalau tidak terlalu banyak orang yang mengunjunginya, maka saya berinisiatif mengusulkan ide ke suami bagaimana kalau mengundang Mama ke rumah untuk makan malam pada saat tanggal 25 Desember. Tentu saja ide tersebut disambut gembira oleh suami. Ternyata begitu disampaikan ke Mama, beliau menyanggupi. Kami tentu sangat senang bisa mengundang Mama makan malam pada hari Natal. Lalu beberapa hari setelahnya, saya terpikir kenapa tidak mengundang juga anggota keluarga yang tidak sedang berlibur. Lebih banyak orang yang bisa datang, akan lebih ramai kan rumah. Pada akhirnya yang memberikan konfirmasi bisa datang sebanyak 3 orang. Suami memang dari keluarga kecil.
Setelah ketahuan yang akan ada pada makan malam nanti total sebanyak 6 orang, saya mulai mencari menunya apa saja. Agak puyeng juga gonta ganti ide menu. Saking agak bingungnya dengan menu, sampai pernah terpikir mau saya masakkan soto ayam dan sate ayam saja haha. Tapi saya juga penasaran dengan kemampuan memasak dan ingin menantang diri sendiri untuk keluar dari zona nyaman menyajikan masakan Nusantara. Saya bilang ke diri sendiri “masa ga bisa sih masak selain makanan Indonesia. Pasti bisa lah asal belajar.” Akhirnya dengan mantab saya menuliskan beberapa menu yang memang menurut saya masih bisa lah untuk dipelajari. Saya beberapa kali mencari sumber resep di youtube dan mempelajari dengan sungguh-sungguh langkahnya karena ada resep yang agak membuat saya bingung. Setelah lumayan paham, saya tidak sabar untuk eksekusi di dapur pada hari H.
Tanggal 24 Desember saya pergi seharian ke Amsterdam untuk mengikuti acara Sinau bareng Cak Nun dalam rangka peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Saya tentu tidak melewatkan kesempatan Cak Nun berkunjung ke Belanda karena memang saya suka dengan apa yang selama ini Beliau sampaikan. Ada banyak hal yang Beliau utarakan sesuai dengan cara saya belajar agama Islam maupun keingintahuan saya tentang agama-agama lainnya ataupun keinginan saya untuk belajar akan banyak hal. Mungkin nanti saya akan tuliskan dalam judul terpisah tentang pandangan saya akan Cak Nun dan acara di Amsterdam ini.
Tanggal 25 saya mulai mempersiapkan memasak sekitar jam 10 pagi. Saya mulai dengan membuat makanan penutup lalu dilanjutkan dengan makanan pembuka dan makanan utama. Sedangkan suami bertugas membersihkan rumah, mencuci baju, dan menyiapkan pernak pernik di meja makan. Jadi menu yang saya sajikan pada makan malam Natal adalah :
1. Makanan pembuka : sup labu kuning. Resep andalan karena sudah berkali-kali membuatnya dan sudah di luar kepala serta memikat lidah Mama mertua karena katanya enak sekali, saya contek dari blog Beth
2. Makanan Utama terdiri dari :
– Hasselback potato (kentang utuh yang dikerat tipis sampai dasar) saya beri bumbu minyak zaitun beraroma truffle, rozemarijn yang dicincang halus, merica hitam kasar, bawang putih cincang halus, garam laut sedikit. Kentang saya rendam dalam bumbu tersebut selama 2 jam, setelahnya dipanggang 30 menit. Bumbu-bumbunya saya ngarang sendiri.
– Wortel dan Asparagus (dalam keadaan utuh semua) yang saya beri bumbu (ini ngarang juga) : minyak zaitun, sedikit air jeruk, lada, thyme. Saya mengoleskan bumbu-bumbu tersebut satu jam sebelum dipanggang. Lalu saya panggang selama 30 menit.
– Ayam panggang dengan bumbu : saus tiram, bawang putih cincang halus, kecap asin dan manis sedikit, jahe parut kasar, perasan jeruk lemon, kulit jeruk lemon, potongan kasar daun basil, merica hitam kasar, minyak wijen. Setelah direndam selama 3 jam, panggang selama 3o menit dan ketika akan disajikan taburi dengan wijen.
– Roast beef aka daging sapi panggang. Karena sebelumnya saya tidak pernah membuat sama sekali daging sapi panggang, maka saya agak bingung bagaimana cara menentukan dia sudah matang di oven. Setelah mempelajari dan karena tidak mau gagal, akhirnya saya pakai cara yang paling gampang : menggunakan termometer daging saat dimasukkan ke oven. Jadi tidak perlu was was lagi apakah dagingnya sudah matang atau belum. Suami membeli daging yang jenis black angus 1kg. Saya goreng sebentar dagingnya dengan minyak sedikit (atau bisa juga margarine) sebelum dimasukkan ke oven. Tujuannya menggoreng sebentar ini untuk mengikat jus dagingnya supaya tidak keluar saat dioven. Setelah keempat sisi daging dipanaskan dalam wajan, lalu saya olesi dagingnya dengan bumbu : garam laut, merica hitam kasar, thyme, rozemarijn cincang kasar, minyak zaitun, dan bawang putih halus. Ini bumbu-bumbu juga saya ngarang. Saya masukkan ke oven suhu 140°C kurang lebih 2 jam atau saat suhu termometer dagingnya menunjukkan 62°C (untuk tingkat kematangan medium well). Setelahnya, istirahatkan daging selama 20 menit dengan ditutupi aluminium foil lalu iris sesuai selera. Ternyata setelah diiris, hasilnya persis yang saya bayangkan. Dagingnya tidak terlalu kering, masih berwarna agak merah muda tapi tidak terlalu juicy. Perfect!
– Saus untuk roast beef saya membuat saus jamur, cari yang gampang saja. Jadi saya pakai Champignon potong-potong lalu goreng bersama bawang bombay di minyak bekas menggoreng dagingnya. Setelah jamur dan bawangnya layu, lalu saya masukkan santan (karena saya tidak punya krim kental). Setelah diberi bumbu garam laut dan merica, beri air sesuai kebutuhan lalu kentalkan menggunakan tepung maizena.
– Salad sayuran. Ini suami yang menyiapkan karena ada salah satu keluarga yang vegan.
– Salmon panggang. Ini buat saya karena saya tidak makan daging dan ayam.
3. Makanan penutup : Tiramisu. Saya baru pertama kali membuat Tiramisu. Jadi saya pelajari sungguh-sungguh langkah-langkahnya dari sini sumbernya. Karena memakai telur mentah, makanya saya membuat pagi di hari yang sama. Saya menyajikan dengan cara yang berbeda yaitu dengan gelas. Jadi seperti ini penampakannya :
4. Minuman : minuman ini urusan suami yang menyiapkan. Terdiri dari Glühwein, wine, beberapa botol minuman soda rasa buah, dan air mineral.
Karena hampir keseluruhan proses memasaknya dipanggang, jadi waktu tidak habis di dapur. Bumbu yang saya gunakan juga tinggal cemplang cemplung tidak ada yang diblender. Saya tinggal juga beberapa kali untuk beberes yang lain. Bahkan saya tinggal mandi juga. Saya tidak foto satu persatu makanannya. Secara keseluruhan setelah ditata di meja makan penampakannya seperti ini :
Bagimana komentar yang makan? Menurut mereka makanan yang saya sajikan rasanya enak sekali. Terbukti semua makanan ludes tak bersisa. Bahkan saya membuat tiramisu 10 gelas tak bersisa satupun padahal yang makan 5 orang, jadi satu orang makan dua gelas haha. Mama mertua suka sekali dengan rasa daging sapi panggang dan ayamnya. Beliau juga heran bagaimana saya bisa memasak makanan yang tidak saya makan tapi rasanya masih enak. Ya ilmu kira-kira saja sambil komat kamit doa rasanya tidak meleset 😅 Mama mertua ini komentator makanan yang jujur. Kalau enak ya dibilang enak, begitu juga sebaliknya. Karena pernah sekali masakan saya dibilang tidak enak haha. Saya tidak sakit hati, malah senang sudah dikritik. Pada awal akan makan, mama melihat ada tempat saus. Lalu beliau tanya apakah itu saus sate (saus kacang) lalu disambut tertawa oleh suami. Dia bilang kalau malam ini tidak menyediakan menu Indonesia sama sekali. Bisa dimaklumi Mama menanyakan saus kacang karena orang Belanda memang suka sekali sama saus kacang. Saya sangat gembira makanan yang saya masak ludes tidak bersisa dan semua bisa menikmati rasanya karena ada beberapa yang saya baru pertama kali membuatnya jadi agak was was juga sama rasanya. Ternyata kekhawatiran tidak terbukti. Kalau begini, rasanya ketagihan ingin mengundang keluarga makan-makan lagi di rumah *huahaha guayyaa. Saya juga senang karena bisa keluar dari zona nyaman, bisa menyajikan hidangan diluar masakan Nusantara.
Setelah makan malam, acara berlanjut dengan berbincang santai sambil minum teh dan makan roti coklat pemberian tetangga (seperti yang saya ceritakan pada tulisan sebelumnya), roti pemberian Mama, kaasstengels buatan saya, dan beberapa kue lainnya sambil membuka satu persatu kado yang telah saya dan suami persiapkan. Acara yang ditunggu-tunggu ini, buka kado. Senang dengan reaksi masing-masing saat membuka kado dan saya juga kaget menerima kado dari suami yang diluar dugaan 😅
Acara selesai jam 10 malam. Tidak terasa 5 jam terlewati. Malam Natal yang menyenangkan. Bisa berkumpul bersama keluarga, saling bertukar cerita, makan bersama, sungguh kehangatan yang tidak terlupakan. Semoga kami semua selalu diberikan kesehatan yang baik dan umur sampai tahun-tahun selanjutnya agar bisa melewati kebersamaan penuh kehangatan dan suka cita.
-Nootdorp, 27 Desember 2016-
Komentar-komentar pada postingan sebelum-sebelum ini akan saya balas secepatnya begitu charger laptop saya ketemu ya (kesingsal seminggu lebih). Saya tidak bisa membalas komentar dari Hp (entah kenapa). Tiga tulisan saya tulis dari Hp (entah kenapa bisa😅). Terima kasih untuk komentar-komentarnya.
Sejak saya pindah ke Belanda, kami sebenarnya sudah berencana setiap bulan Desember akan mengunjungi pasar Natal yang ada di Jerman atau negara-negara lain yang masih di sekitar Belanda. Kenapa tidak di Belanda saja? Kata suami pasar Natal di Belanda kurang berkarakter, maksudnya beda tipe dengan yang ada di Jerman atau Belgia atau Austria. Tapi kalau yang saya baca dari Internet, yang ada Valkenburg dan Dordrecht bagus pasar Natalnya. Mungkin ke dua kota tersebut bisa kami agendakan selanjutnya.
Karena Desember ini tidak bisa pergi jauh, maka kami menunggu pasar Natal yang ada di Den Haag buka sejak 15 Desember sampai 23 Desember 2016. Pasar Natal yang ada di Den Haag ini lokasinya ada di beberapa yaitu di pusat perbelanjaan, Lange Voorhout (kawasan kedutaan besar), dekat museum Mauristhuis dan ada beberapa tempat lagi yang tidak sempat kami kunjungi. Tadi malam setelah membeli barang untuk kado-kado Natal (iya saya selalu telat kalau beli kado Natal :))), menunggu suami pulang kerja sambil memutari pasar Natal yang disekitar pusat perbelanjaan. Yang saya temukan adalah truk-truk berjejer yang jual makanan. Den Haag yang saya lihat tadi malam cantik sekali, penuh kerlip lampu.
Setelah bertemu suami, kami lalu menuju ke pasar Natal yang ada di Lange Voorhout. Dari kejauhan tampak stan-stan berwarna putih yang berjejer. Wah besar juga ya, pikir saya. Setelah masuk (gratis) kami mulai perlahan memperhatikan ada stan apa saja di sana.
Lalu kami menjumpai sekelompok orang yang bernyanyi lagu-lagu bernuansa Natal. Seru deh karena kostumnya seperti yang saya lihat di film-film jaman dulu. Apalagi waktu mereka bernyanyi Jingle Bels (saya merekamnya), wah terasa sekali suasana Natalnya. Akhir-akhir ini juga cuaca dingin sekali. Kurang saljunya aja nih.
https://youtu.be/p4mxLhPM0Og
Setelah sampai ujung, dengan sadar masing-masing dari kami ternyata dalam hati membandingkan dengan pasar Natal yang ada di Köln yang kami kunjungi tahun kemarin. Suami yang niat ingin minum Glühwein tidak ada satu stan pun yang jual di sini. Sampai dia bilang, yuk ke Aachen saja lihat pasar Natal di sana haha. Ya memang tidak bisa dibandingkan dengan Köln sih pasar Natal yang ada di Den Haag ini. Namanya pun bukan Christmas Market ya. Tapi kami tetep terhibur dengan berkeliling stan yang ada di sana. Meskipun pulangnya suami mengajak mampir makan soto ayam di restoran Indonesia (wahaha niatnya beli Glühwein, ujung-ujungnya malah makan soto ayam)
CERITA SELIPAN
Hari kamis saya membuat lemper karena suami ada perayaan Natal di kantornya dan masing-masing orang disuruh bawa makanan yang khas. Lalu suami tanya apakah saya bisa membuat lemper karena sebelumnya saya pernah membuat lemper pesanan teman-teman kantornya dan mereka suka. Saya lalu menyanggupi untuk membuat lemper kembali, wong ya tidak terlalu susah tinggal gulung gulung. Saya membuat 30 buah yang rencananya akan saya bagikan juga ke tetangga kiri kanan dan Mama mertua. Setelah saya antar beberapa lemper ke tetangga, ternyata saya langsung diberikan kue coklat karena satu diantara mereka sedang membuat kue coklat untuk acara Natal di sekolah anaknya. Lalu tadi malam mereka mengantar lagi kue-kue coklat ke rumah. Dan suami juga membawa pulang kue coklat dari kantornya. Dan saya pun mendapatkan parcel Natal dari tempat kerja yang isinya kebanyakan coklat. Walhasil kulkas kami sekarang bergelimang kue-kue coklat dan coklat. Wah bahaya ini, bisa naik timbangan haha. Belum lagi setoples kaasstengels yang saya buat membuat tangan kami tidak berhenti buka tutup toples (resep kaasstengels saya contek dari sini). Mudah-mudahan kaasstengels ini masih ada penampakannya sampai hari minggu.
Selamat mempersiapkan perayaan di hari Natal bagi yang sedang mempersiapkan. Saya dan suami mengundang Mama mertua dan keluarga lainnya untuk makan malam di rumah dan tentu saja kami tidak sabar menunggu saat membuka kado-kado yang sudah dipersiapkan.
Memenuhi janji kepada diri sendiri untuk tetap menulis paling tidak satu tulisan setiap minggu meskipun (sok) sibuk, maka tulisan kali ini saya akan bercerita tentang hal yang santai dan tidak terlalu panjang. Karena saya juga tidak bisa duduk terlalu lama di depan laptop, jadi cerita tentang lipstick ini akan (dicoba) singkat dan padat.
Jadi begini, saya itu sejak dulu memang tidak pernah punya banyak Lipstick, maksimal dua. Itupun saya pasti menunggu lipstick nya habis dulu baru beli yang baru. Istilahnya saya koret koret sampai habis baru saya beli yang baru. Dan kalau saya sudah cocok dengan satu warna dari merek tertentu, biasanya saya akan beli lipstick tersebut berulang kali. Saya malas coba-coba karena sayang kalau tidak cocok selain itu bibir saya ini gampang kering kadang sampai berdarah meskipun sudah menggunakan Lipbalm. Karenanya saya lebih sering menggunakan Lipbalm untuk melembabkan bibir karena buat saya bibir lembab itu lebih perlu dibandingkan bibir berwarna karena memang kondisi bibir saya yang berbeda.
Sejak di Belanda, saya punya satu merek lipstick favorit, yaitu Hema. Itupun tanpa sengaja karena kehabisan lipstick Sariayu (andalan saya) dan beli agak ngasal karena toko Hema dekat dengan rumah. Eh ternyata cocok dan selama nyaris dua tahun, sudah dua kali beli lagi dari merek dan tipe yang sama. Lipstick Hema yang saya gunakan ini harganya murah meriah, bukan yang matte tapi yang banyak pelembabnya (saya lupa istilahnya apa). Mertua pernah memberikan hadiah lipstick dua buah, kata Beliau biar saya ganti warna lipstick, tidak itu itu saja yang digunakan. Mungkin Beliau agak prihatin melihat menantunya tidak kreatif cuma punya satu warna. Lipstick pemberian mertua cuma dua kali saya pakai, selebihnya saya kembali lagi ke lipstick Hema.
Sampai suatu hari saya bertemu Anggi di Berlindan kami menginap di kamar yang sama selama 3 malam, jadi saya tahu peralatan make up dia apa saja, termasuk lipsticknya. Oh iya, saya belajar langkah-langkah merawat wajah juga dari dia, konsultasi lewat whatsapp, beberapa bulan sebelum ketemu di Berlin. Sejak saat itu, saya jadi rajin merawat wajah. Lumayan lah hasilnya kelihatan. Ok, kembali ke soal lipstick. Jadi waktu di Berlin itu, Anggi cerita kalau dia sedang senang dengan satu merek lipstick namanya The Balm yang Matte. Katanya aroma mint dan rasa semriwing ketika dipulas ke bibir menimbulkan sensasi tersendiri. Dia juga bilang lipstick ini tahan lama dan tidak membuat bibir pecah-pecah. Saya dan Beth penasaran lalu Anggi menyuruh kami mencoba. Karena bentuknya cair dan saya belum punya pengalaman dengan lipstick yang cair seperti ini, Anggi sampai mengajari saya bagaimana cara memulas lipstick di bibir. Memang betul, rasa mint dan semriwingnya langsung terasa. Setelah dipakai beberapa jam kemudian, ternyata bibir saya baik-baik saja dan masih terasa lembab. Wah saya langsung jatuh cinta dengan lipstick ini. Lalu saya mulai googling warna apa saja yang tersedia. Ternyata setelah googling, ngiler lah saya dengan warna warnanya yang ciamik. Bingung juga mau beli yang warna apa, rasanya ingin dibeli semua karena warna warnanya menggemaskan. Saya tidak langsung membeli karena menunggu lipstick Hema habis dulu.
Beberapa bulan kemudian, Fe menuliskan review The Balm Meet Matt(e) Hughes yang mini set.Jadi dalam satu wadah ada 6 warna dalam kemasan mini. Setelah membaca ulasannya sampai selesai, tanpa menunggu lama saya langsung beli mini set via OL shop. Saya ingat sekali waktu itu jam 5 pagi, siap-siap mau berangkat kerja haha. Saking nafsunya karena senang ada versi mininya dan terdiri beberapa warna jadi bisa coba-coba dan gratis ongkos kirim. Di bawah ini warna-warna The Balm yang mini set (sumber)
Setelah barangnya saya terima beberapa hari kemudian, rasanya tidak sabar mencoba satu persatu warnanya. Suami sampai kaget saya beli lipstick sampai banyak begitu. Biasanya cuma sebiji. Setiap dicoba, saya langsung memotret bibir saya. Bukan sengaja karena ingin seperti model lipstick, tapi diantara 4 dari 6 foto di bawah ini, saya sedang tidak menggunakan jilbab dan males kalau harus pakai dulu. Akhirnya ya saya potret bibirnya saja dengan posisi yang aneh aneh, maklum ternyata motret bibir sendiri susah ya haha.
Sejauh ini saya benar-benar suka sama The Balm. Jadi sebelum digunakan, 10 menit sebelumnya saya oleskan lipbalm terlebih dahulu. Lalu setelah The Balm dioleskan ke bibir (saya cuma satu oles saja, tidak terlalu tebal) tunggu sekitar 5 menit sampai benar-benar menempel sempurna di bibir. Saya pernah menggunakan dari jam 7 pagi sampai jam 3 sore masih bagus hasilnya, padahal saya makan siang pakai sop. Membersihkannya juga gampang tinggal dioleskan VCO, dua tiga kali oles langsung luntur lalu dibersihkan lebih lanjut dengan pembersih muka dan setelahnya saya gunakan lipbalm untuk melembabkan bibir sepanjang malam. Saya menggunakan lipbalm dari Hema dan Purol yang Vaseline. Seminggu dua kali bibir saya scrub, berbarengan saat saya scrub muka. Sampai sekarang bibir saya aman terkendali tidak terlalu sering berdarah lagi hanya beberapa kali saja. Jadi, kalau The Balm yang mini set ini sudah habis, saya sudah tahu akan membeli yang warna apa. Karena favorit saya adalah warna yang Loyal, Charming, Sincere, dan Comitted. Jadi nanti kalau beli lagi, salah satu dari empat warna favorit saya.
Sekian cerita saya tentang lipstick. Ini bukan tulisan berbayar, melainkan rasa puas karena menemukan lipstick yang sesuai kondisi bibir saya.
Kalau kamu, lipstick apa yang sedang dipakai sekarang?
Tahun 2016 sudah akan berganti menjadi tahun 2017 dalam 2 minggu ke depan. Saya saja yang merasa atau memang tahun ini waktu berlari sangat cepat. Sepertinya baru kemarin saya selesai sekolah bahasa Belanda awal Januari, lah kok tahu-tahu sekarang sudah menuju akhir tahun. Semoga itu pertanda baik bahwa saya sangat menikmati apa yang telah dilalui di tahun 2016.
Bersyukur tahun ini bisa saya dan suami lewati dengan baik lengkap bersama cerita suka duka senang sedih tertawa. Kami melewati semuanya berdampingan. Banyak kabar bahagia yang hadir, ada beberapa kabar duka juga yang terdengar. Kami berdoa buat mereka yang ditinggalkan yang terkasih dan orang-orang terdekat, semoga dikuatkan dan tetap semangat. Dan semoga yang kembali menghadap Sang Pencipta diberikan tempat yang terbaik di sisiNya. Dan yang sedang diberikan ujian sakit, semoga tetap semangat dengan ikhtiar dan doanya, semoga diberikan yang terbaik. Mendengar berita duka, selalu mengingatkan saya akan hidup di dunia ini yang ada batasnya dan bisa mengembalikan saya kembali pada jalur yang seharusnya, jika melenceng. Berita duka juga mengingatkan saya agar berusaha memanfaatkan setiap detiknya untuk kegiatan yang tidak mendatangkan kesia-siaan dan tidak lupa untuk bersyukur jika ada kabar bahagia yang datang karena tidak ada yang kekal di dunia ini, termasuk kebahagiaan ataupun kesedihan. Semua akan berputar pada waktunya.
Bagi yang sedang berbahagia, saya ucapkan selamat. Apapun bentuk kebahagiaan itu, semoga bisa menular ke sekitarnya karena katanya aura kebahagiaan bisa membuat sekelilingnya ikut bahagia juga.
Kalau dua tahun berturut saya selalu membuat catatan akhir tahun seperti rangkuman apa saja yang terjadi dalam satu tahun, kali ini tidak lagi. Saya dan suami sangat menikmati apa yang telah kami lalui tahun ini, dengan semua hal yang sudah kami tuliskan di blog ini untuk berbagi cerita, maupun hal-hal yang memang ingin kami simpan sendiri sebagai bagian dari privacy. Syukur tidak henti kami panjatkan atas segala perjalanan yang telah kami lakukan, kekuatan untuk saling mendukung saat duka datang, bersyukur atas kegembiraan dan rejeki yang telah dititipkan, tidak lupa juga tetap melihat ke bawah dan sekeliling sebagai pengingat dan berbagi, dan bersyukur untuk kesehatan yang baik dan umur yang mudah-mudahan membawa berkah. 2016 luar biasa buat kami.
Buat saya pribadi, 2016 adalah tahun penuh pembelajaran dan penerimaan. Saya lebih santai menjalani hidup. Pikiran saya tidak lagi terlalu berisik seperti tahun-tahun sebelumnya. Saya lebih bisa bernafas secara sadar, lebih bisa mengatur langkah, dan lebih memilih untuk bahagia dengan cara saya, bukan karena bagaimana orang melihat saya atau bukan karena saya ingin dilihat orang lain. Hidup di negara baru hampir 2 tahun juga banyak memberikan saya pelajaran berharga. Bukan hanya belajar bahasa dan budaya yang baru, tetapi juga belajar untuk menerima. Lebih legowo jika memang saya dalam keadaan tidak baik-baik saja. It’s okay not to be okay. Suara-suara berisik di kepala saya sudah mulai berkurang karena belajar menerima. Saya tidak lagi sibuk mengejar ini itu, tidak lagi ruwet sendiri supaya terlihat “sempurna.” Saya belajar menerima bahwa hidup tanpa masalah itu kurang berwarna. Masalah datang sebagai sarana untuk meningkatkan kemampuan dalam memecahkannya. Saya bisa berjalan tanpa penuh rasa kekhawatiran dengan pertanyaan : bagaimana jika. Gagal ataupun berhasil memang sudah jadi bagian dalam perjalanan hidup. Tahun 2016 juga memberikan saya kesempatan untuk bertemu orang-orang baru, mengenal lebih dalam artinya pertemanan. Teman datang dan pergi silih berganti. Kalau layak dipertahankan, akan saya perjuangkan. Tapi jika tidak bisa saya perjuangkan untuk bertahan, akan saya ikhlaskan untuk pergi dan berlalu.
Salah satu hal baik yang saya rasakan tahun ini adalah mengenal lebih banyak blogger. Mereka memberi warna tersendiri dalam hidup saya. Banyak cerita yang bisa saya jadikan bahan renungan, cerita yang membuat tertawa terbahak, cerita yang tidak sesuai di hati maupun cerita yang memberikan pengetahuan baru. Memang tidak setiap saat saya meninggalkan komentar ataupun membaca dengan seksama, tetapi jika ada waktu senggang, saya usahakan untuk berkomentar kalau memang topiknya saya pahami. Terima kasih untuk blogger yang sudah follow blog kami dan menyempatkan waktu untuk membaca tulisan kami atau meninggalkan komentar. Terima kasih juga yang sudah follow lewat email dan untuk siapapun yang membaca blog kami dan berkirim email.
Saya sudah tidak sabar menyambut tahun 2017. Semoga saya dan suami selalu diberikan kesehatan yang baik, umur yang berkah, selalu ingat untuk bersyukur setiap waktu, tetap dan selalu memberikan dukungan satu sama lain, dan tidak lupa untuk bahagia.
Untuk diri sendiri, saya punya satu ambisi di tahun 2017 yaitu untuk hidup sederhana. Menyederhanakan yang selama ini rumit. Tetap membuat sederhana yang tidak rumit. Dan tidak membuat rumit yang sudah sederhana.
Semoga tahun 2017 dunia bisa lebih damai dan Indonesia mampu beranjak maju dengan tidak terlalu berkutat pada urusan agama dan politik yang saling menunggangi. Semoga masing-masing orang diberikan pikiran yang jernih untuk sama-sama kembali ke tujuan menjadikan Indonesia lebih baik. Jangan hanya jalan di tempat dan mencari kesalahan saja. Yuk sudahi gontok gontokannya dan kembali mengukir prestasi.
Tanggal ini tiga tahun lalu, pertama kali saya mengenal kamu. Satu bulan sebelum pernikahan yang seyogyanya akan dilaksanakan, tetapi saya memutuskan untuk tidak melanjutkannya tepat sebulan sebelum kenal kamu. Perasaan saya datar, karena sedang dalam taraf berdamai dengan keadaan, dengan kekecewaan, dan mencoba menelaah serta menyusun ulang tentang konsep sebuah hubungan.
Tanggal ini tiga tahun lalu, saya pertama mengenal kamu ditengah sibuknya ritme perkuliahan, diantara padatnya timbunan tugas, dan disaat tema tesis tidak kunjung tuntas yang sempat menimbulkan ragu apakah kuliah layak dilanjutkan ataukah menyerah di tengah jalan. Sungguh saat tidak tepat untuk memulai sebuah perkenalan.
Tanggal ini tiga tahun lalu saya mengenal kamu. Sebuah perkenalan yang biasa, jauh dari kesan istimewa. Tidak disangka, jalan hidup manusia siapa yang bisa menduga. Dari sebuah perkenalan yang biasa meskipun caranya tak terduga, membawa saya dan kamu menjadi kita dalam sebuah pernikahan, 8 bulan setelahnya.
Tanggal ini tiga tahun lalu saya mengenal kamu. Mahar pernikahan yang diambil dari tanggal perkenalan kita, menjadikan tanggal ini akhirnya menjadi istimewa. Saya sering berkelakar, jika waktu itu saya sedang tidak bosan dalam ruang perkuliahan disaat mengulang mata kuliah tiga tahun lalu, mungkin kita tidak akan pernah saling tahu. Tapi Tuhan selalu mempunyai cara yang misterius untuk mempertemukan saya dan kamu.
Tepat sekarang tiga tahun lalu, bukan tanggal pernikahan tapi tanggal kita saling tahu. Awal dari segala keseruan dalam hubungan kita. Ada banyak doa yang terucap. Namun yang terpenting semoga kita selalu diberikan kesehatan yang baik, umur yang barakah untuk bersama saling memberikan dukungan melintasi segala petualangan. Semoga kita juga selalu berpanjang syukur atas semua anugerah dan berkah yang kita terima sampai detik ini dan nanti. Semoga kita selalu ingat bahwa masing-masing dari kita adalah titipan sehingga kita bisa menghargai setiap waktu dan kisah yang tercipta.
Terima kasih untuk kamu yang sudah menemukan saya pada tanggal ini, tiga tahun lalu.
“People fall in love in mysterious ways. Maybe we found love right where we are”
Why does music play such a significant role in our lives? Do we know anyone who does not like music to some extent?
As humans we are blessed with the gift of creating, performing and passively enjoying music and are the only creatures on this planet who have all these capacities. As long as man inhabits this world he creates music. Through scientific research we know that music is a powerful tool in the development of a child’s brain and the brain in general. Music is an important means to identify you as a human, especially when you are in adolescent age. Music can play an important role to determine the social group you want to belong to or to be part of.
Music can give us consolation remembering experiences from the past, our beloved ones or special occasions in our lives. Music can make us relax or arouses us and lift up our spirits. Music brings us together and music makes us dance. Mathematicians have dealt with music because music and sound are bound to the laws of nature and therefor is a grateful subject for mathematicians since the days of the Greek and Roman physicians in Antiquity.
For musicians music can be a means to seek popularity. Or even look for a larger than life perspective, especially since mankind discovered ways to annotate and record music. So music could be reproduced for future performances which could take place long after its creator had deceased. Yet music is -like all forms of art- vulnerable and each generation creates its own music hoping it will stay relevant. Those chances are unfortunately minimal: we only have to look back at our own history to know that music recorded in the 1930s through 1980s is probably relatively unknown to most of the audience that nowadays listen to music. If we travel back further in time we find that only a handful of the compositions of composers from the Middle Ages and Modern Age are still being performed and listened to in our time (think Bach, Mozart, Beethoven and the likes). Music created before that time is practically lost to us, although there are a few exceptions.
When the industrial and scientific revolution in Europe boomed at the end of the 18th century it also had a profound impact on composers, musicians and the way the listener experience music. Composers of music no longer needed to make their income from physical performances but could arrange their compositions for sheet music. Musicians could buy this sheet music and perform the music without ever having heard the original from the composer. Early on in the 20th century new possibilities became available that even would take the reproduction music to a new level. Music could now be recorded and reproduced. First through the use of mechanical reproduction, then vinyl and finally through digital media like the CD and in our current era through the use of streaming media.
On a personal level I always had a great interest in sound and music, an interest that went beyond that of the average interested musician or listener. As a young person I mastered different instruments like flute, piano and guitar. Meanwhile I discovered I found it more interesting to record the results of music making than to play music together with other musicians or to perform live. Over the years I always felt intrigued and inspired by how instruments sound, from the most simple percussion instruments to complex electronic instrumenujts (and everything in between). Some of my favorite sounding instruments are: gamelan,dulcimer, pipe organ, celesta, Moog synthesizer.
So I developed an interest in creating and recording music. Composing and recording music is a strange process. It is difficult to express how and why ideas emerge and why some ideas grow into a composition and other ideas land on a shelf or are forgotten over time. I save most ideas like making a notation that come to mind. Those ideas come from playing some piano chords or noodling on a guitar, but also riding on my bike is good for inspiration. At a certain point I decide that an idea is interesting enough to invest more time into it. When the time comes to record the music it is also a bit strange process. Sometimes things fall easily into place, sometimes you can struggle for weeks to ‘get it right’. What this ‘get it right’ exactly means is difficult to express but it has something to do with reaching a point where you find your composition and recording is ‘like it should be’ and can be considered finished.
Recently I finished a new album ‘Piano and Guitar, Vol. I’. Its title meaning that I return to these instruments and rely less on electronic instruments. You can listen to my new album on Spotify.
Sudah lama tidak bercerita masak memasak meskipun akhir pekan ini saya juga tidak terlalu masak banyak. Malah kami makan jenis makanan yang sama pada hari Sabtu dan Minggu. Yang menjadikan istimewa karena saya memasak makanan masa kecil yaitu rawon. Bedanya, rawon yang biasa Ibu masak untuk saya dan adik-adik isinya bukan daging sapi melainkan kacang panjang dan labu siem. Kami tinggal di kota yang dekat pesisir, maka konsumsi daging sapi dikeluarga sangatlah jarang, lebih banyak mengkonsumsi makanan laut. Karena tidak terbiasa itulah yang membuat kami tidak terlalu suka makan daging bahkan saya sudah beberapa tahun ini berhenti mengkonsumsi daging (dan unggas).
Seminggu lalu saat membersihkan gudang tempat menyimpan persediaan bahan makanan, saya menemukan sebungkus kluwak yang belum terpakai sama sekali. Lalu saya melihat freezer, ternyata stok bumbu rawon sudah habis. Akhirnya niat kalau minggu ini harus membuat stok bumbu rawon dan masak rawon. Kebetulan rendaman telur asin sudah waktunya di”panen”. Tinggal merendam kacang hijau untuk membuat kecambah pendek. Bumbu rawon untuk 4 porsi : 3 porsi untuk stok, satu porsi untuk dimasak. Wangi aroma rawon menyebar ke segala penjuru rumah. Sambil masak, jadi teringat masa kecil kalau Ibu masak rawon ini, saya dan adik-adik sangat lahap makannya. Salah satu makanan favorit di rumah (masakan Ibu lainnya khas rumah pernah saya tulis di sini). Jadi mrebes mili kangen Ibu dan adik-adik, namun terobati kangennya saat berbincang dengan adik di telepon. Dan saya kirimkan foto di bawah ini ke Ibu dengan keterangan : Deny kangen rawon buatan Ibu.
Saya selalu bercerita ke suami kisah dibalik setiap masakan Indonesia yang saya buat. Sekalian memperkenalkan kuliner Indonesia sekaligus memberitahu ada kedekatan apa antara saya dengan beberapa makanan tersebut. Seperti rawon, saya bilang kalau rawon biasanya isinya daging sapi. Jadi yang saya masak ini perkecualian. Ini kali kedua suami makan rawon dan dia tetap penasaran tentang kluwek. Mungkin dia heran ya ada bahan warna hitam dan bisa dimakan.
Terobati sudah kangen saya dengan rawon khas rumah. Minimal bentuknya sama meskipun rasa masih kalah jauh dengan buatan Ibu. Kenangan masa kecil pada semangkok rawon labu siem dan kacang panjang.
Sabtu kami melihat Sinterklaas di dekat rumah. Meskipun udara dingin sekali, tapi penasaran dengan kemeriahannya. Ternyata benar, rame sekali. Anak-anak kecil bersuka cita bernyanyi dan menanti kedatangan Sinterklaas.
Hari minggu saya bisa menyelesaikan 6k lari sementara suami 18k. Hawanya super dingin, saya pikir minus kok tangan rasanya beku sampai kibas kibas beberapa kali tetap rasa kebas. Ternyata begitu saya cek, masih 4°c tapi serasa minus. Siangnya saya masak semur tahu telur puyuh untuk bekal suami minggu depan. Saya juga membuat lemper isi ayam dan ikan tuna, pesanan teman-teman kantor suami. Sisa akhir pekan kami nikmati dengan berbincang-bincang santai sambil jemur baju.
Kalau kalian, adakah masakan rumah yang membuat teringat akan kenangan masa kecil?
Setiap hari sekarang langitnya berwarna abu abu, hujan, dan ditambah suhu sudah sekitar -1ºC di pagi hari sehingga kalau ada jadwal kerja dan berangkat naik sepeda dinginnya minta ampun. Belum lagi kalau angin kencang, rasanya saya ingin marah-marah sama anginnya (ojok ditiru :D). Tapi masih bersyukur belum (tidak) ada salju sementara beberapa negara di Eropa seperti Swedia, Austria, Jerman, sudah turun salju. Daripada muram merasakan dingin, saya mau menuliskan sesuatu yang membuat hati bahagia saja. Ini adalah catatan perjalanan ketika kami sedang bepergian ke Italia beberapa bulan lalu. Salah satu tempat yang kami kunjungi adalah Venice. Kota yang tersohor ini tidak luput kami kunjungi karena ingin melihat sendiri kanal-kanalnya, grand canal, gondola, pulau-pulau disekitarnya, air berwarna tosca, dan beberapa bangunan yang menjadi ikon Venice. Kalau tahun lalu kami mengunjungi Venice-nya Belanda yang bernama Giethoorn, siapa sangka tahun ini saya bisa mengunjungi Venice yang asli (kalau suami sudah dua kali ini ke Venice). Cerita Venice saya tuliskan lain waktu karena kali ini saya akan berbagi cerita tentang dua pulau yang kami kunjungi yang termasuk wilayah Venice, yaitu Murano dan Burano.
Ketika sedang menyusun rencana perjalanan ke Venice, banyak informasi yang saya dapat menuliskan untuk mengunjungi juga pulau-pulau yang berada di sekitar Venice. Ada beberapa pulau, sebut saja : Murano, Burano, Torcello, Punta Sabbioni, dan beberapa pulau kecil lainnya. Akhirnya kami memutuskan untuk mengunjungi beberapa tempat tersebut, tergantung dari kecukupan waktu. Kami sampai di Venice dari Marghera, kota tempat kami menginap selama dua malam, sekitar pukul 8 pagi. Masih tidak terlalu banyak pengunjung. Kami lalu menuju loket pembelian Tourist Travel Card dan memilih kartu yang berlaku selama 24 jam seharga €20 per orang. Kartu ini bisa digunakan untuk naik perahu (ACTV Vaporetto) dan naik bis tujuan kota-kota sekitar Venice, asalkan masih dalam waktu 24 jam. Kami membeli kartu ini karena memang niat untuk naik perahu sepanjang Grand Canal dan menuju pulau-pulau di sekitar Venice.
Setelah puas menyusuri setiap lorong Venice dengan berjalan kaki dan mengunjungi beberapa bangunan yang ada, perjalanan kami lanjutkan dengan menggunakan perahu. Ada banyak halte (sebut saja namanya halte, tempat penumpang menunggu) perahu yang sesuai dengan tujuan perahu. Jadi sebelum masuk ke halte tersebut, cek terlebih dahulu perahu yang singgah di sana akan menuju ke mana. Dan lihat juga rute yang terpampang di bagian depan halte. Jika tidak mengerti, bisa bertanya ke petugas perahu sebelum kita naik ke perahu, untuk memastikan. Perhatikan juga jam keberangkatan. Untuk tujuan tertentu (misalnya Burano, yang jaraknya jauh dari Venice), kita harus transit dahulu di beberapa pemberhentian untuk ganti perahu.
Karena jumlah perahunya banyak dan selalu tepat waktu, jadi meskipun pada saat kami ke sana puncak turis datang yaitu musim panas, kami tidak terlalu berdesakan di dalam perahu. Jadi kita bisa memilih duduk di dalam atau berdiri di bagian luar. Tujuan pertama kami adalah Murano. Letak Murano sendiri tidak terlalu jauh dari Venice, hanya beberapa menit saja kami sudah sampai. Dari kejauhan tampak rumah berderet dengan warna warni yang mencolok. Murano dikenal sebagai pulau yang menghasilkan barang pecah belah. Jika ingin ikut menyaksikan cara pembuatannya, bisa mendaftar yang informasinya bisa ditemukan online atau langsung bertanya ke toko-toko pecah belah yang ada di sana. Pada saat kami ke Murano, ada pabrik yang sedang mengadakanpelatihan dan mempertunjukkan proses pembuatannya, tapi kami tidak tertarik untuk melihat karena saat kuliah saya pernah masuk ke pabrik pecah belah yang ada di Surabaya dan menyaksikan proses pembuatannya. Jadi saya pikir akan sama saja. Ada juga Museum yang berisikan barang pecah belah dan sejarah yang menceritakan bagaimana Murano terkenal dengan kerajinan pecah belahnya.
Awalnya saya berpikir Murano tidak akan terlalu banyak dikunjungi turis. Ternyata saya salah, turis penuh di pulau ini. Karena pulaunya lumayan besar, jadi ada beberapa sudut yang tidak dipenuhi pengunjung. Lumayan untuk memotret. Lalu saya bilang ke suami kalau Burano akan lebih sepi dari Murano, begitu yang saya baca di beberapa artikel. Setelah puas berkeliling Murano dan duduk-duduk di pinggir kanalnya sambil menikmati roti dan minuman, kami melanjutkan perjalanan ke Burano. Cuaca yang sangat panas hari itu (sekitar 39ºC) membuat kami harus sering minum. Padahal sewaktu di Surabaya dengan suhu yang sama saya merasa baik-baik saja, sewaktu liburan ke Italia dengan suhu segitu saya rasanya mau dadah dadah ke kamera. Sudah terbiasa digempur dengan dingin dan hujan selama di Belanda jadi begitu merasakan cuaca panas langsung terasa bedanya.
Burano selain terkenal dengan rumah yang berwarna warni dan kanal-kanalnya yang indah, juga dikenal dengan pembuatan renda. Akan banyak ditemui toko-toko yang menjual beraneka bentuk renda, tapi pastikan sebelum membeli bahwa yang dijual tersebut adalah buatan tangan, bukan mesin yang memproduksi dalam jumlah yang banyak. Jika ingin tahu lebih lanjut tentang tradisi pembuatan renda, bisa mengunjungi Museum Lace. Awalnya saya menduga Burano akan lebih sepi dari Murano, ternyata salah besar. Burano lebih ramai dikunjungi turis. Saya yang suka memperhatikan tingkah turis dimanapun berada, jadi keasyikan sendiri melihat ada yang selfie dipinggir kanal dengan raut muka yang dibentuk sedemikian rupa, ada yang sibuk berputar-putar dengan tongsisnya, ada yang semacam foto prewed di depan rumah warna warni lengkap dengan busana yang apik, ada yang bergerombol berbicara dengan kencang, dan ada yang tertegun memperhatikan sekitar (iya, ini saya :D).
Warna warni rumah di Burano lebih berani dan lebih menyala dibandingkan Murano, begitu yang saya lihat. Satu rumah dengan lainnya mempunyai warna yang berbeda sehingga rumah-rumah yang berjajar tersebut terlihat kontras dengan sapuan warna stabilo, menyala, dan eye catching. Melihatnya sangat menggemaskan apalagi kami menemui beberapa rumah dicat dengan pola-pola tertentu. Pengecatan rumah ini dilakukan setiap dua tahun sekali dan jika ada penduduk yang ingin memperbarui warna catnya, harus mendapatkan persetujuan dahulu dari pemerintah. Bukan hanya mata saja yang terasa dimanjakan melihat kemeriahan warna di Burano, hati juga ikut gembira rasanya.
Saat kami sedang berfoto bergantian dengan latar belakang tembok yang berwarna warni (foto di atas), ada satu keluarga yang sedang melintas dan ketika mendengarkan saya dan suami berbicara menggunakan bahasa Belanda, salah satu diantara mereka menawarkan untuk mengambil pose kami berdua. Rupanya mereka keluarga yang berasal dari Belgia. Jadilah kami semua berbicara menggunakan bahasa Belanda dan berbincang-bincang sebentar. Ketika kami menawarkan untuk bergantian memotret, mereka menolak karena ingin segera makan di restoran tidak jauh dari tempat ini. Senangnya punya foto berdua suami di Burano, dengan kebaikan tawaran dari mereka.
Ada satu lagi kesamaan antara Murano dan Burano selain warna warni rumahnya yaitu jemuran ada dimana-mana, di setiap gang ataupun jalan utama. Melihat jemuran di sini nampak enak dilihat mata, tertata dan tidak semrawut. Jadinya jemuran pun mempunyai daya tarik tersendiri.
Setelah dari Burano, niatnya kami ingin mengunjungi pulau yang lainnya yaitu Torcello. Tapi setelah menghitung waktu, nampaknya tidak cukup karena kami ingin menyusuri Grand Canal menjelang matahari terbenam sambil melihat orang-orang yang menaiki gondola diiringi alunan suara dari yang mendayung gondola (tapi saya cuma menjumpai beberapa yang bernyanyi). Puas rasanya bisa mengunjungi dua dari tiga pulau yang terkenal disekitar Venice. Melihat secara langsung keindahan warna warni rumah dan menepi sesaat dari pikuknya Venice. Jika ingin membeli cinderamata, saya melihat banyak toko menjual beraneka bentuk topeng. Saya menduganya ini adalah cinderamata khas Venice.
Jadi terinspirasi ingin mengecat rumah dengan warna yang ngejreng?
Saya kembali memeriksa isi tas dan memastikan tidak ada satu barangpun yang tertinggal, terutama dompet dan tiket kereta. Setelah berpamitan pada suami, kaki tergesa melangkah ke stasiun kereta dekat rumah. Saya berharap tidak tertinggal kereta karena tadi begitu sibuk menyiapkan beberapa pepes ikan asin peda dan sambel teri, pesanan dua orang teman. Ikan asin peda saya buat sendiri karena saat beli ikan di pasar ternyata jumlahnya terlalu banyak untuk dimakan sendiri, akhirnya saya punya ide kenapa tidak dibuat ikan asin saja, mumpung sinar matahari sedang berlimpah satu minggu ini pada bulan Agustus. Setelah menjadi ikan asin lalu saya buat pepes dan saya jual kepada dua orang teman yang sebelumnya sudah memesan sambal teri. Lumayan hasilnya bisa saya buat jalan-jalan. Aroma pepes dan sambel teri menguar dipangkuan saat saya sudah duduk di dalam kereta. Saya berharap aroma ini tidak sampai mengganggu penumpang lainnya. Cukup saya saja yang bisa menciumnya.
Setelah berganti kereta, saya mencari tempat duduk dekat jendela, tempat favorit. Masih jam delapan pagi dan aplikasi prakiraan cuaca mengatakan bahwa hari ini hujan tidak akan datang dan suhu berkisar 15 derajat. Untuk ukuran bulan Agustus, seharusnya suhu bisa lebih dari ini. Tapi dengan tidak hujan saja sudah lebih dari cukup, apalagi saya melihat semburat matahari. Bisa kacau rencana hari ini kalau sampai hujan turun. Melalui jendela kereta, saya menikmati suasana pagi sepanjang jalan. Sapi dan domba yang merumput, rumah-rumah mungil tertata rapi, area pertanian, gedung-gedung perkantoran, dan tak luput saya amati juga kegiatan penumpang yang di dalam kereta. Ada yang sibuk membaca buku, asyik mendengarkan musik, berbincang, dan ada yang menikmati sarapan paginya yaitu roti dan segelas kopi. Tiba-tiba saya kangen sarapan nasi pecel pakai peyek teri.
Jam 9 pagi, kereta sampai di Amsterdam Centraal. Saat kaki keluar dari kereta, kepala mulai menoleh ke kanan dan kiri, mencari sosok seorang teman. Ah, dia sudah berdiri di dekat papan pengumuman. Setelah berbincang sesaat, kami lalu bergegas ke kantor informasi turis (VVV) yang berada tepat di depan Stasiun Amsterdam. Ya, hari ini kami akan menjadi turis sehari dengan mengunjungi beberapa tempat tujuan favorit para turis kalau sedang berkunjung ke Belanda. Tempatnya tidak jauh dari Amsterdam. Dengan berbekal tiket bis terusan seharga €9 yang bisa dipakai selama 24 jam serta mempunyai fasilitas wifi gratis dan peta yang kami dapatkan dari VVV, kami akan mengunjungi tiga tempat yang menjadi bagian dari Waterland. Tempat yang akan kami kunjungi adalah Edam, Volendam, dan Marken. Sebenarnya tempat-tempat yang jadi bagian Waterland selain yang saya sebutkan tadi adalah Monickendam, Purmerend, Broek in Waterland, Middenbeemsteer, Graft-De Rijp, Hoorn, dan Landsmeer. Info lengkap tentang rute bus bisa dilihat langsung di website ini. Tiket bus selain bisa dibeli di kantor VVV, juga bisa dibeli online, dan dengan membeli langsung ke sopir di dalam bis. Tidak harus membeli tiket terusan jika memang tujuannya tidak mengunjungi semua tempat itu. Tapi kalau mengunjungi tiga tempat, seperti yang kami lakukan, lebih menghemat kalau membeli tiket terusan saja.
EDAM
Tentu saja saya sangat antusias dengan tujuan jalan-jalan kali ini. Saya sudah mengajak suami untuk mengunjungi beberapa tempat ini sejak setahun lalu, tapi dia nampak tidak antusias. Dia selalu beralasan kalau Volendam itu sangat ramai dengan turis. Tapi kan tidak afdol rasanya kalau saya tidak ikut berkunjung ke tempat yang menjadi daya tarik turis. Untung saja saya punya teman yang suka kelayapan juga, yang pernah saya ceritakan pada tulisan kunjungan ke Kinderdijk. Akhirnya kesampaian juga berkunjung ke Edam, Volendam, dan Marken. Bisa saja saya bepergian sendiri, tapi kalau ada teman yang sejiwa akan semakin seru.
Tujuan pertama kami adalah Edam. Kalau yang suka sekali dengan keju, pasti tidak asing dengan keju Edam. Ya, Edam adalah salah satu tempat penghasil keju di Belanda. Saya pernah menuliskan tempat lain penghasil keju di blog ini, yaitu Gouda. Edam adalah kota kecil yang ada sejak abad ke-12 saat petani dan nelayan mulai menetap di sepanjang sungai Ye. Kota kecil ini berkembang menjadi sebuah kota yang semakin makmur pada abad ke- 17. Kapal memainkan peranan yang penting dalam pertumbuhan ekonomi di Edam. Setelah membuat 33 kapal, Edam menghasilkan banyak kapal yang terkenal di dunia. Salah satunya adalah “Halve Man”, kapal milik orang Inggris Henry Hudson, yang berlayar pada tahun 1609 untuk mencari rute utara menuju Hindia Timur. Perjalanan yang sia-sia karena akhirnya dia berakhir di pulau Manhattan. Selain kapal, perdagangan juga memegang peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi di Edam. Amsterdam, Hoorn, Enkhuizen, dan Edam adalah kota-kota komersil yang penting di Belanda.
Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, asosiasi kata yang langsung muncul di kepala saat disebutkan Edam adalah keju. Selama berabad-abad keju Edam sudah tersohor di seluruh dunia. Edam juga terkenal dengan pasar keju yang ada setiap musim panas, setiap hari rabu. Pada saat kami ke sana, ada jadwal tambahan pasar keju. Sayangnya pasar keju tersebut baru dimulai jam 5 sore, jadi kami tidak bisa menyaksikan. Kami masuk ke salah satu toko keju dan saya memutuskan untuk membeli keju rasa pesto, oleh-oleh untuk suami. Sedangkan teman saya selain membeli keju rasa pesto juga membeli rasa yang lainnya. Dia mencoba contoh-contoh keju yang disediakan, menurutnya yang rasa daging asap juga enak, ada yang rasa cabai juga.
Kami bisa membayangkan bagaimana keadaan Edam berabad-abad lalu. Menyusuri rumah-rumah dan jalan-jalan tua di Edam, melewati sungai-sungai kecil, berhenti di depan gereja yang merupakan salah satu gereja terbesar di Belanda dan singgah ke beberapa toko yang ada hanya sekedar melihat saja, membuat waktu tak terasa berjalan cepat. Hampir dua jam kami habiskan di Edam. Tidak terlalu banyak turis yang berkunjung, jalanan tidak terlalu ramai, sehingga kami bisa menikmati Edam dengan leluasa.
VOLENDAM
Setelah dari Edam, kami melanjutkan perjalanan ke Volendam. Dari kota kecil yang tidak terlalu ramai, tiba di Volendam suasana langsung berubah, kontras berbeda. Volendam sangat terkenal di kalangan turis, sepertinya semua turis dari penjuru dunia tumplek blek di sini. Rame sekali. Tidak mengherankan karena ada yang mengatakan bahwa jika ingin melihat keindahan Belanda, pergilah ke Volendam. Desa nelayan ini terletak arah timur laut dari Amsterdam, terkenal dengan rumah berwarna warni dan kapal-kapal tua yang bersandar di pelabuhan. Selain itu, di Volendam juga ada pabrik keju. Kita bisa masuk dan melihat proses pengolahan keju, membeli hasil keju, atau masuk ke museum keju. Volendam ini adalah tempat favorit yang nampaknya wajib dikunjungi oleh turis dari Indonesia. Namun hari itu kami tidak bertemu satupun orang Indonesia.
Hal lainnya yang terkenal dari Volendam adalah pakaian tradisional Belanda. Kita bisa mengenakan pakaian tradisional Belanda lengkap dengan klompen serta latar belakang negeri Belanda dan mengabadikannya dalam foto di banyak studio foto di Volendam. Kami masuk ke salah satu studio foto dan melihat kisaran harganya. Salah satu pegawainya mengenali kalau kami berasal dari Indonesia. Dia lalu mengatakan bahwa 70% pengunjung studionya adalah orang Indonesia. Saya tidak bertanya lebih lanjut 70% tersebut dari total berapa pengunjung selama rentang waktu berapa lama. Tetapi dengan melihat beberapa wajah yang saya kenali lewat televisi terpampang di etalase semua studio foto, semakin meyakinkan saya bahwa Volendam memang salah satu tempat wajib dikunjungi oleh turis dari Indonesia. Teman saya sampai terbahak ketika melihat wajah Maya Rumantir dan bertanya tahun berapa foto tersebut sudah ada di sana karena wajah Maya Rumantir masih sangat muda. Dengan membayar €15 untuk satu kali jepret dengan ukuran standar (saya lupa berapa), maka kita sudah punya bukti pernah ke Volendam. Bagaimana dengan kami? Mungkin lain kali kami akan kembali ke Volendam, khusus untuk foto dengan pakaian tradisional Belanda.
Jadi, jangan lupa kalau ke Volendam untuk foto mengenakan pakaian tradisional Belanda, biar dikatakan sah pergi ke Belanda.
MARKEN
Kami menuju Marken menggunakan kapal dengan membayar €7.5 untuk sekali jalan dan tiketnya bisa langsung beli di tempat. Jika memilih pulang pergi maka harga kapal menjadi €9.95. Kami memilih untuk membeli tiket kapal sekali jalan karena kami tidak akan kembali lagi ke Volendam dan setelah dari Marken akan menggunakan Bus untuk melanjutkan perjalanan karena masih punya tiket terusan. Kapal berangkat setiap 30 menit. Jika ingin pergi menggunakan Bus dari Volendam ke Marken, juga bisa. Karena cuaca mendung dan angin lumayan kencang, saya menggigil kedinginan selama perjalanan 20 menit menuju Marken, ditambah lagi saya tidak membawa jaket. Bersyukurnya di tengah jalan tidak hujan.
Dari hiruk pikuk Volendam, sesampainya di Marken suasana kembali sunyi. Marken tidak terlalu banyak dikunjungi turis. Marken adalah sebuah desa bagian dari wilayah Waterland dengan jumlah penduduk 1.810 pada tahun 2012. Marken membentuk sebuah semenanjung di Markermeer dan sebelumnya sebuah pulau di Zuiderzee. Marken dipisahkan dari daratan setelah mengalami gelombang badai pada abad ke-13. Dulu mata pencaharian utama penduduk Marken adalah nelayan, sedangkan saat ini juga ditunjang dari sektor pariwisata. Dulu banjir kerap datang ke Marken, karenanya tipe rumah di Marken adalah rumah panggung. Kita akan menemui banyak jembatan di Marken dan uniknya jembatan-jembatan ini diberi nama dari nama-nama anggota keluarga kerajaan seperti Maxima, Beatrix, Amalia, dll.
Suasana di Marken sangat tenang. Menyusuri setiap sudutnya, mata dimanjakan oleh tata letak rumah yang sangat rapi dan berwarna nyaris seragam yaitu hijau. Saking sepinya Marken, saya sampai bilang tidak mungkin ada orang Indonesia yang tinggal di sini. Ternyata dugaan saya salah besar. Dari salah satu rumah, saya mendengar ada yang berbicara menggunakan Bahasa Indonesia (dengan logat Jawa). Ketika kami mengintip dari sela-sela pagarnya ternyata memang ada beberapa orang Indonesia di sana. Kami sampai mengikik, tidak menyangka ada orang Indonesia yang tinggal di Marken.
Jika berkesempatan mengunjungi Marken, jangan lewatkan untuk mampir ke tempat pembuatan klompen. Selain bisa menyaksikan langsung bagaimana klompen dibuat, kita juga bisa langsung membeli klompen dengan berbagai ukuran dan beraneka rupa warna. Selain sebagai oleh-oleh, klompen yang berada di sana juga bisa digunakan sebagaimana fungsi klompen yaitu sebagai alas kaki. Sayang sewaktu kami ke sana, proses pembuatannya sedang tidak berlangsung. Saya mengincar klompen kecil, rasanya ingin kalap membeli kalau tidak ingat harganya yang sudah disesuaikan dengan harga turis.
Perjalanan kami menyusuri Edam, Volendam, dan Marken berakhir saat jam menunjukkan angka lima disore hari. Perjalanan yang menyenangkan karena akhirnya tahu tempat-tempat yang menjadi favorit turis jika datang ke Belanda. Sehari menjadi turis di tempat yang turistik. Kami bergegas menuju halte bus yang akan membawa kami menuju ke Amsterdam Centraal. Sepanjang jalan perut kami keruyukan mencium aroma pepes dan sambal teri. Ingin segera rasanya sampai di rumah seorang teman yang sudah siap menyambut kedatangan kami dengan beraneka ragam masakan Indonesia. Sabtu kami ditutup dengan perbincangan dan gelak tawa sembari menikmati hangatnya nasi, tempe tahu goreng, balado terong, sambel terasi, ikan goreng, dan oseng ikan asin.
Jika suatu saat ada kesempatan ke Belanda, kalian ingin berkunjung kemana?