Gimana, judulnya sudah sangat mengAADC belum 😅 -atau kuharus lari ke hutan kemudian belok ke pantai?- 😜
Akhir pekan memang kami lalui di hutan dan di pantai, selain kerjabakti berdua seperti biasa bersih-bersih rumah dan saya masak untuk persediaan beberapa hari kedepan. Akhir pekan suami dimulai hari Jumat karena dia sudah libur sedangkan saya mulai Jumat sore saat pulang kerja. Karena Jumat minggu lalu panasnya luar biasa, tidak ada angin jadi makin menambah hawa panasnya, maka sepulang saya kerja kami makan es krim. Sebenarnya makan es krim karena ingin merayakan sesuatu juga sih, jadi sekalian bersepeda ke toko es krim dekat rumah yang murah meriah dan enak, makanya rame setiap saat.
Sabtu hampir seharian dengan Mama mertua karena pagi sampai siang kami membantu Beliau belanja dan ngobrol di rumahnya. Trus siangnya Beliau mentraktir kami makan di restoran Indonesia andalan saya dan suami yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah. Kenapa andalan? Karena memang rasanya lebih cocok untuk lidah kami dibanding restoran-restoran Indonesia lainnya yang ada di Den Haag. Andalan saya di restoran ini adalah Tekwan, selain Pempek karena memang restoran ini terkenal dengan Pempeknya (bukan postingan berbayar, hanya testimoni dari pelanggan yang puas). Biasanya restoran ini tidak terlalu ramai kalau siang, meskipun pada saat akhir pekan. Untungnya saya sudah pesan tempat dua hari sebelumnya. Ternyata begitu kami datang, rame sekali. Beberapa orang yang datang setelah kami, tidak bisa makan karena tempat sudah penuh dan mereka memang tidak pesan tempat dulu sebelumnya (saya dengar ada yang datang dari Jerman). Hawa yang panas dan restorannya tidak mempunyai AC, akhirnya pintu dibuka agar sirkulasi udaranya lancar. Mama makan gado-gado minumnya kopi, saya makan tekwan minum teh botol, suami makan sate kambing rames (dia selalu pesan ini kalau makan di sini) plus es campur tape. Duh senangnya ditraktir Mama, bisa bungkus juga haha mantu kemaruk. Setelahnya sampai rumah kami leyeh-leyeh, mau lanjut ke pantai tidak kuat dengan panasnya (sok banget ya ga kuat panas, padahal panasnya belum ada apa-apanya dibandingkan Situbondo dan Surabaya😅). Malamnya kami nonton film Princess Diana di TV Belgia (lupa nama salurannya). Baru tahu tentang kehidupan percintaan Lady Di setelah bercerai. Meskipun katanya film ini dibuat berdasarkan gosip saja, bukan fakta. Nonton film sambil makan rujak petis.
Minggu cuacanya tidak terlalu bagus, tidak terlalu buruk juga. Mendung seharian, tapi kadang-kadang muncul matahari. Kami bangun pagi. Suami sepedahan 50km, saya masak sambil nunggu dia pulang sepedahan. Saya masak bumbu urap, botok tempe teri, sambel tumpang, dadar jagung panggang, ubi kukus. Jadi menunya semua serba kukus, rebus, panggang, tanpa minyak. Menu tersebut selain untuk makan siang juga untuk menu makan siang kami berdua selama beberapa hari kedepan. Untuk bumbu urapnya sekalian masak banyak untuk stok di freezer. Botok dan sambel tumpangnya memakai tempe setengah busuk, karena saya memang punya persediaan.
Setelah 1.5 jam masak dan selesai semua, suami datang dari sepedahan. Lalu kami pergi ke hutan dekat rumah untuk lari. Saya selalu senang kalau lari di hutan, tidak terlalu terasa capek.
Pulang lari, langsung santap semangka. Duuhh segernyaaa! Setelahnya kami makan siang. Selepas makan, suami bersih-bersih kamar mandi, nyapu dan cuci peralatan masak. Saya ngurusin kembang-kembang.
Setelah kerja bakti dan istirahat sebentar, kami lalu ke pantai yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah (antara Scheveningen dan Kijkduin). Ya karena cuacanya memang mendung mendung sendu plus angin kencang, jadinya ya tidak terlalu berharap banyak matahari akan bersinar. Tapi lumayan bisa menghirup aroma laut. Sewaktu kesana, banyak banget yang sedang olahraga apa ya namanya ga tahu saya. Semacam surfing tapi ditarik parasut gitu. Karena angin kencang dan ada ombak juga jadi pantai rame dengan mereka yang sedang olahraga ini, selain beberapa orang yang lari sore.
Jadi, akhir pekan kami seperti puisi dalam film AADC ya -ku lari ke hutan lalu belok ke pantai- 😅 semoga akhir pekan kalian juga berwarna bersama orang-orang tercinta.
Seminggu kedepan Den Haag kembali nyentrong panasnya☀️ Semoga minggu ini keceriaan dan keriaan selalu bersama kita semua.
-Den Haag, 29 Agustus 2016-
Hari ini, dua bulan lalu, tepatnya 24 Juni 2016 salah satu keinginan terbesar saya dalam dunia menonton konser akhirnya tercapai sudah. Sesuai judul tulisan ini yang memang jelas sekali, saya akhirnya bisa nonton konser Coldplay! Sejak bertahun-tahun lalu saya selalu bermimpi kapan bisa melihat konser Coldplay di Indonesia. Dulu pernah ada selentingan kabar (baca dari twitter juga) kalau mereka akan tampil di Bali. Tunggu punya tunggu ternyata hanya isapan jempol semata. Padahal waktu itu, saya yang posisinya masih kerja di Jakarta, langsung bilang ke atasan kalau memang sampai kejadian Coldplay konser di Bali, saya akan cuti tidak peduli seberapa banyak kerjaan di kantor. Bos saya cuma iya iya aja, kemudian pasrah saja selama seminggu mendengarkan lagu Coldplay yang terdengar dari laptop saya *masih ingat muka Beliau kalau lewat kubikel, muka asem :))))
Awalnya, saya bukan fans fanatik Coldplay. Sewaktu mereka mengeluarkan album pertama tahun 2000 yang berjudul Parachutes, saya malah tidak tahu, terlalu sibuk dengan praktikum kampus *pencitraan :p. Beberapa saat kemudian saya mulai terkena racun teman dekat yang setiap saat, setiap waktu selalu bernyanyi, ngomong tentang Coldplay (dan Chris Martin tentu saja). Gara-gara teman saya ini juga, awalnya yang saya tidak suka dengan Naif, akhirnya jadi suka sekali *kena tulah. Sekarang saya akhirnya berterimakasih pada dia karena sudah memperkenalkan musik Coldplay pada saya (dan saya tidak berhasil membuatnya suka pada Bon Jovi haha!). Pada saat ada rumor Coldplay akan konser di Bali, saya dan dia sudah mulai heboh sendiri, membayangkan bagaimana rasanya ketemu dengan Chris Martin (hahaha ketemu! padahal maksudnya nonton dia nyanyi), merencanakan akan pakai baju apa. Intinya berkhayal macam-macam tentang konser Coldplay yang ternyata memang hayalan semata karena tidak ada yang namanya akan konser di Indonesia (menurut berita seperti itu).
Sewaktu awal ketemu suami, begitu tahu bahwa mas Ewald ini adalah orang yang punya hobi dan serius di dunia musik, saya langsung tanya dong ya penyanyi atau band favoritnya apa. Begitu dia menyebutkan, pada saat itu juga saya tahu kalau kami tidak satu keyakinan untuk urusan musik. Bahkan waktu itu dia menyebutkan tidak suka Bon Jovi dan Coldplay. Padahal sewaktu menyebutkan itu, dia belum tanya saya sukanya mendengarkan musik siapa. Langsung menelan ludah pahitlah saya begitu tahu dia tidak suka dengan band favorit saya (kemudian ragu, apakah harus melanjutkan hubungan kami *lebayyy perkara Coldplay dan Bon Jovi aja :))). Intinya kami beda selera musik, tapi kami saling menghormati : kalau yang satunya lagi putar Coldplay, yang satunya ikutan putar David Bowie, saling menghormati tidak mau kalah maksudnya haha.
Sewaktu baca tulisan Jo tentang konser Bon Jovi, duh saya iriiiii sekali dengan Jo sekaligus senang sudah diberikan reportase tulisan dan rekaman di Instagram. Melihat konser Bon Jovi juga salah satu mimpi besar saya. Trus saya merepet tiap hari ke suami “andaikan ada di Indonesia yaa, jadi bisa nonton Bon Jovi” lalu setiap hari saya pasang lagu-lagu Bon Jovi. Suami sepertinya menahan sabar saja waktu itu dan menebalkan telinga :))) Saya komen di tulisan Jo semoga suatu saat bisa melihat konser Bon Jovi dan semoga bisa melihat konser Coldplay. Suami diam-diam mencari informasi tentang konser Bon Jovi, yang ternyata tahun ini tidak ada yang diadakan dekat Belanda. Pada saat mencari informasi konser Bon Jovi itulah suami akhirnya mendapatkan informasi kalau Coldplay akan mengadakan konser di Amsterdam. Wah, saya giraaangg bukan kepalang sewaktu suami memberitahukan hal tersebut. Setiap hari rasanya ingin tersenyum membayangkan saya bisa menonton konsernya. Tapi suami bilang kalau konser yang banyak penggemarnya semacam Coldplay pasti tiketnya akan ludes dalam hitungan menit. Disitu saya langsung merasa lemas *langsung teringat konser Maroon 5 di Jakarta
Pembelian Tiket
Sekitar satu minggu sebelum hari H pembelian tiket, saya sudah woro-woro ke beberapa teman dan kenalan, bukan hanya yang ada di Belanda tapi juga seputaran Eropa. Tujuannya tidak lain untuk mencari teman menonton konser. Kan rasanya garing kriikk kriik ya kalau menonton konser sendirian. Mengandalkan suami jelas tidak mungkin karena saya sudah mengupayakan berbagai cara mengajak dia, tetap tidak mau. Bahkan saya bilang kalau tiketnya saya yang bayar, tetep tidak mau. Beberapa yang saya hubungi tidak ada yang tertarik, ada sih yang tertarik tapi kendala jarak jadi tidak memungkinkan. Saya sampai mengajak kolega di kantor, anak-anak mudanya, tidak tertarik juga. Akhirnya pasrah, pertama kalinya dalam hidup, nonton konser sendirian.
Hari jumat tanggal 27 November 2015, hari pertarungan pembelian tiket pun tiba. Sejak jam 8 pagi saya sudah deg-degan setengah mati. Suami yang saat itu kerja dari rumah, saya minta tolong untuk membantu, dia tidak bisa karena jam 9 pagi akan pergi ke Gym. Saya pasang senjata, manyun, tapi tidak mempan. Dia itu kalau berhubungan dengan olahraga tidak bisa ditawar. Waktu pembelian tiket dimulai jam 10 pagi. Saya sudah mempersiapkan senjata : satu laptop, Hp, dan tablet. Saya memantau twitter promotornya dan membuka websitenya. Suami menawarkan komputer yang ada diruang kerjanya. Wah, saya tidak terlalu paham cara menggunakannya, terlalu canggih untuk saya. Dia bilang lebih baik pakai komputernya karena proses kerjanya cepat, tidak lelet seperti laptop saya *ya iyaa, laptop jaman-jaman kuliah tahun 2012 😀 tapi sayang banget sama laptop ini, sangat berjasa. Akhirnya saya mengiyakan untuk memakai komputernya setelah diajari singkat cara pakainya, sebelum dia berangkat ke Gym. Mana dia tidak bawa Hp, sengaja supaya saya tidak mengganggu aktivitasnya. Dia cuma bilang “good luck”
Jam 10 pas, entah kenapa saya deg-degan sekali. Tangan sampai gemetar. Saya buka websitenya menuju arah pembelian tiket Coldplay tapi lamaaa sekali tidak bisa masuk. Tanda lingkarannya tidak bisa sampai 100% dan ada perintah untuk menunggu, tidak boleh di refresh. Saya memantau twitter, ada keterangan kalau pembelian tiket sedang berlangsung. 5 menit sudah berlalu, saya mulai membuka website lewat Hp, laptop saya, dan tablet. Semuanya masih dalam posisi proses. Wah, saya mulai ada perasaan tidak enak, pasti tiketnya sudah ludes. Tapi saya tetap optimis, pasti dapat tiketnya. Setengah jam berlalu, tidak sabar, akhirnya saya refresh juga dan mulai dari awal lagi. Tapi saya membaca di twitter kalau tiket sudah habis. Wah, badan saya langsung lemes. Pupus sudah harapan bisa menonton konser Coldplay. Saya terduduk lama didepan komputer, bengong menatap nanar layar, rasanya seperti baru putus cinta. Tapi entah kenapa saya tidak beranjak dari sana, seperti menunggu datangnya keajaiban. Dan 5 menit menjelang jam 11, tiba-tiba ada keterangan nongol kalau tiket untuk tanggal 23 Juni 2016 sudah habis dan karena masih banyaknya peminat, maka akan dibuka pembelian tiket untuk konser tambahan tanggal 24 Juni 2016.
Saya yang awalnya seperti tidak punya tenaga, tiba-tiba jadi segar lagi dan langsung sigap untuk memulai langkah-langkah pembelian dari awal. Kali ini prosesnya lebih cepat. Sejak dari awal mendengar Coldplay akan konser di Amsterdam, saya sudah meniatkan akan membeli tiket untuk kelas yang duduk, maksudnya bukan yang festival berdiri. Selain karena memang sudah tidak sanggup lagi kalau berdiri terlalu lama (mending lari 10km dibanding berdiri lebih dari 2 jam), saya juga sadar diri kalau tubuh mungil ini tidak akan sanggup bersaing dengan orang Belanda yang aduhai menjulang tingginya. Saya sudah pengalaman menonton konser-konser sebelumnya, yang ada leher saya sakit karena harus mencari celah diantara tinggi mereka. Karena itulah, saya sudah tidak mempedulikan lagi tidak bisa melihat Chris Martin dari jarak dekat, yang penting leher tidak sakit. Toh masih seruangan sama dia kan, anggap aja LDR- distance nya cuma beberapa puluh meter haha! *mulai halusinasi
Tiket sudah ditangan, 8 bulan menuju 24 Juni 2016 *tiket 8 bulan sebelumnya sudah ludes dalam hitungan menit saja. Jadi di Amsterdam, Coldplay konser selama 2 hari. Saya kebagian yang hari ke dua. Rasanya sangat bersyukur sekali masih diberikan kesempatan untuk menonton Coldplay. Konon katanya A Head Full of Dreams adalah album mereka yang terakhir seperti yang dikatakan Chris Martin di Website Billboard“It’s Planned as Coldplay’s Last Album. It’s our seventh thing, and the way we look at it, it’s like the last Harry Potter book or something like that,” Martin said. “Not to say that there might not be another thing one day, but this is the completion of something.” He added, “I have to think of it as the final thing we’re doing. Otherwise we wouldn’t put everything into it.”
Sebelum Hari H
Beberapa hari sebelum hari H, saya melihat lagi syarat dan ketentuan yang tertera pada tiketnya. Saya terkejut ketika membaca ada ketentuan tidak boleh membawa kamera professional. Saya bingung apakah mirrorless termasuk kamera professional atau bukan. Tapi saya pernah bertanya kepada Manda sewaktu dia menonton Coldplay di Manchester, dia membawa kamera mirrorless juga, dan diperbolehkan. Tapi saya masih ragu setelah membaca ketentuannya. Apalagi di twitter disebutkan kalau saat pemeriksaan tas ada yang membawa kamera professional, maka kamera tersebut tidak boleh dibawa masuk, harus dititipkan entah pada siapa karena di sana tidak disediakan tempat penitipan. Kalaupun ada, tempat penitipannya bukan di loker, hanya diberi nomer. Lha kan rawan hilang. Saya bertanya ke pihak panitia lewat twitter, jawaban mereka tidak memuaskan. Akhirnya saya memutuskan untuk membawa kamera saja. Suami saya bilang “Kamu ini mau nonton konser kok ribet kamera. Mau nonton konser apa mau meliput konser?” haha suami sewot lihat istrinya ribet sendiri.
Hari H
Jumat saya masuk kerja pagi sekali supaya bisa pulang lebih cepat. Sewaktu makan siang saya pamer ke beberapa kolega kalau malamnya akan nonton Coldplay. Mereka seperti tidak percaya saya nonton konser sendirian. Ya, walaupun berasa tidak seru kalau nonton konser sendirian, tapi daripada tidak sama sekali kan ya. Sendirianpun bukan halangan. Jam 3 sore saya sudah sampai rumah. Karena pada saat itu bulan puasa dan saya sedang tidak puasa, akhirnya saya makan dulu sebelum berangkat. Jam 4 saya sudah siap berangkat. Perjalanan naik kereta kurang lebih 1 jam. Saya belum pernah ke Amsterdam ArenA sebelumnya. Jadi untuk meminimalisir kemungkinan saya nyasar, maka lebih baik berangkat lebih awal. Suami sampai heran, Coldplay mainnya jam 20:45 saya jam 4 sore sudah berangkat. Maklumlah, namanya mau ketemu mantan calon pacar, mas Chris *huahaha delusional tiada akhir!
Sewaktu di kereta, gerbong penuh dengan orang-orang yang akan menonton konser. Bagaimana saya tahu? Karena mereka memakai kaos Coldplay. Bahkan saya mendengar di gerbong sebelah (saya duduk diantara dua gerbong), mahasiswa-mahasiswa Indonesia ngobrolnya kenceeengg banget kayak di pasar. Cekakak cekikik gitu *biasa aja woy ngobrolnya ga usah ngegas -saya sirik karena ga ada teman ngobrol
Sampai di Amsterdam ArenA tanpa ada drama nyasar. Ternyata tempatnya gampang dicari. Saya belum tenang kalau belum melewati pemeriksaan tas karena Saya membawa lensa tele. Eh, ternyata waktu diperiksa, bapaknya senyum-senyum saja dan kamera saya lolos tanpa kendala. Saya celingak celinguk mencari muka-muka Indonesia, siapa tahu duduknya berdekatan. Tidak nampak sedikitpun. Naik ke lantai 1, saya lama menatap layar TV yang ada tulisannya Coldplay. Lalu satu orang panitia, mbak bule bertanya apakah ada yang bisa dibantu. Sayapun punya ide cemerlang, minta tolong untuk difoto disana. Hahaha norak tak mengapa, asal punya kenangan kalau saya pernah menonton Coldplay.
Saya langsung masuk ruangan sesuai nomer kursi. Ternyata masih sepi meskipun di kelas festival sudah banyak yang datang. Ternyata tempat duduk saya paling depan, sendirian, dekat pintu masuk, dan ada balkon lebar untuk berdiri. Wah, cocok ini kalau saya ingin ambil foto. Saya perhatikan orang-orang kok memakai gelang, lha kok saya tidak melihat ada yang bagi-bagi gelang (ini seperti arloji bentuknya, disebut apa ya, saya menyebut gelang supaya lebih gampang :D). Saya keluar lagi lalu celingak celinguk. Ternyata sewaktu di lantai 2 saya melewati begitu saja orang yang bagi-bagi gelang, tidak memperhatikan. Terlalu khusyuk memikirkan Chris Martin :))))
Karena masih sepi, dan orang-orang mulai berdatangan, saya punya waktu untuk memperhatikan sekitar. Rasanya masih tidak percaya. It’s real! Saya benar-benar sedang berada di tempat Coldplay akan konser!! Rasanya benar-benar deg-degan seperti akan kencan pertama *saya tidak ingat dulu kencan pertama deg-degan atau tidak. Untuk membunuh sepi, saya foto-foto saja yang sekiranya menarik perhatian.
Sekitar jam 7, Alessia Cara sebagai penyanyi pembuka mulai bernyanyi dilanjutkan oleh Lianne La Havas pada pukul setengah 8. Mereka berasal dari London. Saya belum pernah mendengar mereka sebelumnya tetapi lagu-lagu yang dibawakan oleh Lianne La Havas sangat bagus dan liriknya puitis. Karena akhir Juni sudah memasuki musim panas, jadi di dalam Amsterdam ArenA masih terang benderang sekitar jam 20.30. Bersyukurnya hari itu tidak turun hujan sama sekali. Amsterdam ArenA mulai dipadati penonton, meskipun saya lihat di kelas festival tidak terlalu penuh, masih banyak ruang kosong di bagian belakang. Tiba-tiba ada suara penyanyi seriosa. Orang-orang langsung bertepuk tangan. Saya melihat jam, wah sudah mendekati waktunya Coldplay tampil. Lalu penonton yang di tribun membuat “ombak” seruuuu! Terharuuu sekali rasanya, mata saya sampai berkaca-kaca. Terdengar berlebihan ya, tapi itu yang saya rasakan. Seperti tidak percaya setelah bertahun-tahun berharap Coldplay bisa konser di Indonesia, eh ternyata rejeki saya bisa melihat Coldplay setelah pindah negara.
Suara Chris Martin langsung terdengar menyanyikan A Head Full of Dreams, penonton langsung bersorak ramai, senang melihat idola mereka muncul. Dada saya rasanya membuncah bahagia, antara pengen nangis dan merinding mendengarkan suara calon mantan *delusional parah :))). Sempat-sempatnya saya berdoa semoga Chris Martin balikan lagi sama Gwyneth Paltrow *huahaha kok yaaa kepikiran. Setelah lagu selesai, Chris menyapa penonton, mengucapkan selamat malam dalam bahasa Belanda. ArenA serentak riuh suara tepuk tangan. Lagu favorit saya lalu berkumandang : Yellow!. Ingatan langsung melayang ke mantan pacar beneran *halah! Saat lagu ketiga Every Teardrop tiba-tiba kertas warna warni berhamburan. Merinding lihatnya karena tak terkatakan meriah dan serunya konser ini. Belum lagi pemainan lasernya, balon warna warni yang dilepaskan, gelang yang menyala dan berganti warna mengikuti musik yang dimainkan, penonton yang benar-benar totalitas ikut bernyanyi dan goyang sepanjang konser. Ini daftar lagu lengkapnya :
A Head Full of Dreams
Yellow
Every Teardrop
The Scientist
Birds
Paradise
Always in My Head
Everglow
Amsterdam
Clocks into Midnight
Charlie Brown
Hymn for The Weekend
Fix You
Heroes
Viva La Vida
AOAL
Don’t Panic
See You Soon
Amazing Day
A Sky Full of Stars
Up&Up
Mereka perform tidak hanya di satu panggung saja, tetapi juga didua panggung lainnya yang letaknya di tengah dan panggung bagian kanan. Sebelum menyanyikan lagu Everglow, ada video Muhammad Ali. Suasana hening sejenak, lalu mengalunlah Everglow. Beberapa lagu favorit saya dinyanyikan yaitu Yellow, The Scientist, Hymn for The Weekend, Up&Up, Fix You. Sayang Gravity tidak dinyanyikan.
Setelah Up&Up selesai, Chris mengucapkan terima kasih kepada penonton untuk keseruan malam itu. Wah, konser sudah berakhir. Hampir dua jam tidak terasa jejingkrakan (iya, saya ikut jejingkrakan karena ada mbak bule yang mengajak jingkar-jingrak haha), nyanyi, dan merasakan satu ruangan dengan Chris Martin. Saya pikir setelah mereka berpamitan trus ada aksi kembali kepanggung lagi *so old school style banget ya haha. Ternyata tidak. Saya membalikkan badan, menaiki tangga untuk keluar ruangan. Beberapa orang tersenyum pada saya dan mengacungkan jempol. Wah, saya baru sadar, tadi di depan bertingkah apa saja ya sampai diperhatikan :))) Konser selesai jam 11 malam. Eh ternyata suami berinisiatif menjemput saya. Meskipun tidak di Amsterdam, tapi lumayanlah separuh perjalanan lebih cepat kalau dijemput. Di dalam kereta dari Amsterdam ArenA, penontonnnya masih dalam suasana konser. Mereka bernyanyi di dalam kereta. Seru banget. Malam yang tidak terlupakan, bahkan selama beberapa hari setelahnya saya masih terngiang-ngiang suara Chris Martin dan senyum-senyum sendiri di rumah. Suami wes biasa lihat saya seperti itu :))) Trus dia ngomong “andaikan kamu di Indonesia, tidak akan bisa kamu melihat Coldplay seperti malam ini” hahaha omongan saya tentang Bon Jovi sekarang dibalik :)))
Ini ada rekaman ala kadarnya dari konser Coldplay.
Semoga Coldplay hanya cuti sementara saja ya, tidak benar-benar ini adalah konser terakhir mereka. Dan semoga mereka bisa konser di Indonesia sehingga fans mereka yang di Indonesia bisa menikmati konser mereka tanpa harus jauh-jauh melihat ke benua seberang ataupun di negara tetangga. Tulisan ini saya dedikasikan untuk Jo yang tahun lalu sudah menuliskan cerita serunya menonton Bon Jovi. Semoga suatu saat kita bisa bertukar peran ya Jo, aku nonton Bon Jovi, kamu nonton Coldplay. Tulisan ini juga ditujukan untuk siapapun yang menyukai Coldplay -dan Chris Martin- *kekeuh Chris Martin haha. Hartelijk bedankt Coldplay. Het was erg de geweldig avond. Thank you Coldplay for an amazing concert!
Yang punya mimpi apapun, tetaplah menabung mimpi. Siapa tahu tanpa kita sadari, semesta dengan tangan-tangan penuh kuasa punya rencana sendiri untuk mewujudkannya. Jika tidak saat ini ataupun nanti, mungkin akan digantikan dengan yang lebih baik sehingga mimpi kalian jadi nyata. Semoga. Jangan lupa sertai juga dengan usaha.
we’re going to get it get it together I know
going to get it get it together and flow
going to get it get it together and go
fixing up a car to drive in it again
when you’re in pain
when you think you’ve had enough
don’t ever give up
don’t ever give up
“Apalah arti sebuah nama” – begitu yang sering kita baca. Tentu saja nama sangat berarti, kalau tidak maka calon orang tua tidak akan pusing mencari dan memutar otak untuk padu padan nama calon bayi mereka, bahkan buka primbon serta bertanya pada yang dituakan. Jadi, setiap nama pasti punya arti atau bahkan mungkin peristiwa yang ada dibaliknya. Tulisan ini sebenarnya datang dari kejadian yang akhir-akhir ini saya alami, perihal nama belakang. Tapi sebelum masuk dalam cerita tersebut, saya mau merunut sejenak tentang nama saya dan suami.
Nama Depan
Nama depan sekaligus panggilan saya adalah Deny. Untuk orang Indonesia, nama Deny kebanyakan dipakai untuk nama pria. Tidak lazimlah nama Deny disematkan pada wanita. Kesimpulan tersebut saya tuliskan karena setiap ada yang bertanya atau ketika saya menyebutkan nama, hampir seluruhnya berkomentar “lho kok perempuan namanya Deny?” Dari yang awalnya saya antusias menjelaskan tentang nama Deny sampai akhirnya malas menjawab atau memberi jawaban ala kadarnya “anda orang ke sepuluh ribu sekian yang berkomentar seperti itu.” Kalau menulis email, saya sudah menaruh nama lengkap pun masih sering dipanggil Bapak atau Mas, padahal nama belakang saya jelas untuk perempuan. Kalau sedang malas, maka akan saya biarkan. Kalau sedang rajin akan saya jawab dan menerangkan kalau saya perempuan. Kalau yang tidak saya jelaskan dan kami ada hubungan kerja, lalu melanjutkan komunikasi lewat telepon, mereka akan meminta maaf karena sudah menyebut saya Mas atau Bapak, karena sadar begitu ketemu, yang ditemui adalah perempuan atau ditelepon yang terdengar suara perempuan. Deny adalah nama yang terbentuk dari gabungan nama kedua orangtua. Karena penulisannya seperti “deny” dalam bahasa inggris yang artinya menyangkal, pada saat kerja dulu, beberapa kolega dari Eropa dan Amerika banyak yang salah memanggil saya dengan penyebutan deny dalam bahasa Inggris, yaitu “dinai.” Kalau yang bagian ini jelas perlu saya luruskan. Lagian kan ga enak dipanggil keminggris gitu ya.
Lain permasalahan dengan pelafalan, lain juga dengan penulisan. Saya dari dulu selalu rewel dengan yang namanya penulisan nama. Saya selalu memperhatikan penulisan nama orang lain, jangan sampai ketika menuliskan nama, salah eja ataupun salah huruf karena hal ini yang sering terjadi pada saya. Pada bagian atas blog ini jelas-jelas sudah tertulis besar namanya adalah Deny and Ewald. Walaupun demikian masih saja ada yang menulis : deni, denny, ataupun denni. Tidak itu saja, kalau saya menulis email, pasti akan saya tutup dengan nama saya (kalau email formal pasti dengan nama lengkap, kalau email tidak formal pasti nama deny saja). Sudah ditulis nama saja masih sering yang menjawab email menuliskan nama saya dengan salah. Disitu saya merasa semacam lelah *nyemil ote ote.
Nama depan suami juga untuk orang Indonesia agak susah dalam penulisan maupun pelafalan. Beberapa sepupu saya memanggil mas Ewald dengan “Ewold” yang seharusnya antara penulisan dan pengucapannya sama. Sudah diberitahu beberapa kali tetap saja salah pengucapannya. Akhirnya suami bilang “biarkan saja, variasi panggilan :D” Penulisan nama Ewald juga begitu, Seringnya ditulis jadi “Edwald” oleh beberapa kenalan orang Indonesia, padahal jelas-jelas dia selalu menuliskan namanya dengan Ewald. Menurut suami, nama “Ewald” sendiri bukanlah nama Belanda. Ewald adalah nama Jerman karena memang dari Papa mertua ada keturunan Jerman, selain itu Papa mertua suka sekali dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan Jerman (karena dulu sewaktu kerja sering ditugaskan ke Jerman), karenanya anak-anaknya diberikan nama Jerman.
Nama Belakang
Kalau tadi adalah lika liku seputar nama depan, sekarang giliran nama belakang. Nama saya hanya terdiri dari dua kata, depan dan belakang tanpa nama tengah. Sebenarnya nama belakang saya itu tidak ruwet, cuma sering salah penulisannya. Dan saya hampir selalu mengeja. Ini tidak hanya terjadi di Belanda saja tetapi juga di Indonesia. Kalau di Indonesia seringnya salah dengan penulisan, dan saya selalu mengeja huruf per huruf, untuk orang Belanda rupanya nama belakang saya susah disebutkan (dan dituliskan).
Sejak datang ke Belanda sampai sekarang, saya masih memakai nama asli untuk semua dokumen, jadi tidak mengadopsi nama keluarga dari suami untuk nama belakang. Hanya untuk asuransi kesehatan dan tanda pengenal tertera nama belakang suami. Jadi selama ini untuk urusan apapun, saya masih memakai nama sendiri, termasuk untuk keperluan sehari-hari misalkan menuliskan di media sosial.
Di Belanda, nama lengkap yang tertera pada hampir semua dokumen adalah nama belakang (de achternaam), sedangkan nama depan (de voornaam) dan nama tengah (het tussenvoegsel) hanya satu huruf nama depan (inisial). Jadi misalkan ada seorang perempuan namanya Alfa Beta Gama, maka akan ditulis mevrouw A.B. Gama dan kalau dipanggil ya nama belakangnya yaitu mevrouv Gama (mevrouw artinya kalau bahasa Inggris Mrs. Kalau bahasa Indonesia Ibu atau Nyonya mungkin ya). Pada saat berurusan dengan Bank, kantor pemerintahan, rumah sakit, wawancara kerja, atau mengisi formulir apapun, pada umumnya saya menuliskan nama lengkap hanya untuk nama belakang, sedangkan nama depan hanya inisialnya saja (atau saya menuliskan nama depan juga, nanti mereka yang akan menyingkatnya). Nah, kalau saya mendaftar lewat telepon atau ingin konfirmasi apapun lewat telepon, hampir selalu saya mengeja nama belakang karena mereka kesulitan untuk menuliskannya. Begitu juga misalkan saat di rumah sakit atau praktek dokter, ketika memanggil nama saya, mereka selalu mengeja persuku kata nama saya, karena mungkin agak susah untuk diucapkan. Disitu saya sering senyum-senyum sendiri. Bahkan beberapa waktu lalu saat ada urusan dengan Bank, petugasnya bilang “nama belakangnya unik ya, bagus, tapi saya kesusahan menyebutkannya.” 😀
Adopsi Nama Keluarga Suami
Awal datang ke Belanda, suami sudah menanyakan apakah mau memakai nama belakangnya atau tidak. Saya menjawab tidak, saya mau memakai nama saya saja. Dia bilang kalau memakai nama belakang saya mungkin nanti agak kesusahan untuk melamar kerja. Dia berpikir kalau menggunakan nama belakangnya, setidaknya orang akan tahu bahwa saya menikah dengan dia (WN Belanda) dan itu mungkin akan memudahkan mendapatkan kerja. Saya agak tidak percaya saat itu, “masa iya sih,” begitu pikir saya. Selain itu, di Belanda juga tidak diharuskan untuk meletakkan nama belakang suami baik itu untuk surat menyurat ataupun dokumen lainnya, kecuali pada dua kartu yang saya sebutkan di atas. Karena tidak ada keharusan tersebutlah saya tetap memakai nama sendiri. Akhirnya saya membuktikan bahwa teori suami tentang susah mendapatkan pekerjaan ketika tanpa menggunakan nama belakangnya terbantahkan. Saya beberapa kali mendapatkan panggilan wawancara kerja sampai mendapatkan pekerjaan saat ini. Namun tidak dipungkiri juga ketika wawancara kerja saya mendapatkan pertanyaan kenapa tidak memakai nama belakang suami. Bahkan karena saya memakai nama sendiri, kadang mereka tidak tahu kalau saya sudah menikah, karena memang status tidak pernah ditanyakan pada saat mengisi formulir pada saat melamar kerja. Saya akan menjawab ketika ditanya, tetapi kalau tidak ditanya ya saya tidak jelaskan tentang status.
Nama keluarga suami tidak seperti layaknya nama belakang orang Belanda (tentang nama belakang orang Belanda pernah diulas lengkap oleh Mbak Yoyen disini) karena memang ada keturunan dari Jerman. Karenanya nama belakang yang sama dengan nama belakang suami sangat jarang ditemukan di Belanda.
Alasan saya sampai saat ini tidak memakai nama keluarga suami untuk nama belakang saya karena saya merasa tidak terbiasa (mungkin belum terbiasa) dan masih belum perlu. Saya merasa tidak nyaman menggunakan nama orang lain untuk nama belakang (meskipun dalam konteks ini adalah nama belakang suami), dan merasa aneh kalau nama belakang saya tiba-tiba berubah atau bertambah. Memang sampai saat ini masih belum ada keperluan yang sangat mendesak sampai saya harus membubuhkan nama keluarga suami pada nama belakang saya. Entah nanti kalau memang ada kebutuhan yang medesak dan mengharuskan saya membubuhkan nama keluarga suami pada nama belakang, maka akan saya lakukan. Konsekuensinya saat ini adalah saya akan tetap berurusan dengan pengejaan nama belakang yang agak sulit untuk orang Belanda. Tidak mengapa, lumayan untuk melatih otak juga, mengeja nama sendiri.
Punya cerita unik seputar nama?
Catatan tambahan : Membaca komentar Noni jadi teringat kalau kata Ibu saat saya baru lahir diberikan nama Sayekti (nama pemberian dari Mbah Kakung), tetapi beberapa hari badan saya panas sampai hampir kejang. Akhirnya nama Sayekti diganti menjadi Deny. Percaya tidak percaya, sakit panas jadi hilang.
-Den Haag, 18 Agustus 2016-
Foto dipinjam dari http://slideplayer.nl/slide/2827506/
Suatu hari sekitar bulan Juni, tanpa sengaja saya membaca rencana beberapa anggota grup whatsapp yang saya ikuti akan mengadakan pertemuan di Berlin. Maksudnya adalah kopi darat sekalian jalan-jalan menyusuri Berlin. Grup whatsapp yang saya ikuti ini anggotanya adalah mereka yang tinggal di Eropa dan terdaftar sebagai anggota @uploadkompakan cabang Eropa. Jadi saya mengenal mereka berawal dari Instagram, berlanjut ke grup whatsapp. Beberapa dari mereka juga blogger. Banyak hal positif yang saya dapatkan sejak bergabung dengan grup ini lebih dari setahun lalu. Topik pembicaraan di grup ini beragam, tetapi tidak jauh-jauh seputar kehidupan sehari-hari di negara masing-masing di Eropa. Pembicaran pun tidak terlalu sering, hanya pada jam-jam tertentu saja, sama dengan dua grup whatsapp lainnya yang saya ikuti. Iya, saya hanya punya 3 grup whatsapp dan itu sudah lebih dari cukup.
Awalnya saya masih ragu untuk ikut serta ke Berlin karena waktunya dua minggu setelah saya dan suami selesai road trip ke Italia dan saya harus mengatur jadwal kerja kalau senin dan selasa tidak masuk ketika ke Berlin. Tapi saya juga ingin ke Berlin dan bertemu dengan mereka. Kemudian saya mendiskusikan hal ini dengan suami. Dia mendukung sekali rencana ke Berlin ini. Dia bilang akan sangat menyenangkan kalau saya bisa bertemu dengan mereka yang selama ini hanya kenal lewat dunia maya, sekalian jalan-jalan ke Berlin. Karena ini adalah girls trip, artinya para suami dari mereka yang akan bertemu di Berlin tidak ikut serta. Dan ini artinya pertama kali sejak menikah saya akan bepergian sendiri ke luar Belanda. Kalau di Belanda bepergian sendiri sudah biasa. Tapi kalau ke Berlin bepergian sendiri akan menjadi pengalaman pertama setelah menikah.
Setelah saya mengkonfirmasikan akan ikut serta ke Berlin pada Beth (pencetus ide pertemuan di Berlin), maka saya, Anggi, Mbak Dian, dan Beth sendiri mulai mengadakan koordinasi tentang penginapan karena kami akan menginap selama 3 malam di Berlin. Sedangkan Mindydan Mia yang tidak ikut menginap juga ikut menyumbangkan ide tentang tujuan mana saja yang bisa kami kunjungi. Sebenarnya saya juga tidak terlalu khawatir tentang jalan-jalan ke Berlin ini karena ada Mindy dan Beth yang pernah tinggal lama di Berlin sebelum akhirnya pindah ke kota mereka saat ini, juga ada Mia yang tinggal di Jerman dan pernah beberapa kali ke Berlin. Saya mulai mencari perbandingan antara tiket kereta dan tiket pesawat. Kalau naik pesawat sekitar 1.5 jam. Kalau naik kereta sekitar 5 jam dengan harga tiket tidak terlalu beda jauh dengan pesawat. Akhirnya saya memutuskan naik kereta saja karena lebih suka naik kereta dibandingkan naik pesawat meskipun waktunya lebih lama. Saya suka menikmati pemandangan dari kereta.
Karena ini bukanlah kopdar pertama saya dengan beberapa blogger, jadi deg-degannya tidak terlalu terasa seperti saat pertama kali saya merasakan yang namanya kopdaran dengan para blogger yang tinggal di Belanda (ceritanya disini). Dan juga karena saya sudah beberapa kali pernah ketemu Beth (ini yang ke empat, bahkan saya pernah menginap di rumah Beth) juga pernah bertemu Mindy di Frankfurt. Singkat cerita, saya sudah tidak sabar menantikan hari saat saya naik kereta ke Berlin. Dari Utrecht, saya akan pindah kereta di stasiun Duisburg Hbf untuk kemudian menuju Berlin Hbf. Saya sampai membawa bekal makan siang dari rumah. Jadi ingat sewaktu sering ke Jakarta naik kereta ekonomi pada saat masih kecil bersama seluruh keluarga, Ibu pasti membungkus bekal makan siang untuk mengirit pengeluaran. Jadi ketika saya membawa bekal dan makan di Duisburg Hbf, mengingatkan saya akan kenangan masa kecil tersebut.
Setelah sampai Berlin Hbf, saya langsung tercengang. Itu stasiun besar sekali. Saya seperti orang yang baru datang dari desa kecil sampai terlongo-longo dan celingak celinguk melihat stasiun kereta sebesar itu. Saya langsung teringat Tunjungan Plaza (TP) di Surabaya. Iya, Berlin Hbf nampaknya memang sebesar TP 1 dan 2. Pada saat itu, didepan stasiun sedang ada demonstrasi yang awalnya saya pikir akan ada artis yang akan datang dan mereka para fans sedang menunggu di depan stasiun. Ternyata sedang ada demonstrasi.
Setelah membeli tiket di mesin yang penuh dengan drama ditambah saya tersasar dan salah naik kereta (wes biasa ini cerita nyasar dan salah naik kereta :D, bukan sekali dua kali terjadi) padahal saya sudah membaca dengan seksama petunjuknya, akhirnya sampai juga saya di stasiun Zoologischer Garten kemudian jalan kaki menuju AMC Apartments tempat kami menginap selama 3 malam yang lokasinya tidak jauh dari Kurfürstendamm. Sesampainya di Apartemen, sudah ada Beth. Senang rasanya bisa ketemu Beth lagi. Kamar yang kami tempati sangat menyenangkan kondisinya, lengkap semua perabotannya dari dapur dan segala peralatannya, tempat tidurnya juga nyaman, hanya pada malam pertama kami merasa agak kepanasan. Tapi secara keseluruhan tempat ini nyaman, letaknya strategis, juga harganya terjangkau untuk dipakai menginap secara beramai-ramai.
Sambil menunggu Anggi dan Mbak Dian datang, saya dan Beth berjalan-jalan disekitar Apartemen. Lumayan bisa melihat beberapa tempat bersejarah seperti gereja Kaiser-Wilhelm Memorial. Pada sore itu juga bertepatan dengan ada lomba lari dan lomba sepatu roda jadinya rame sekali disekitar Kurfürstendamm. Sepanjang jalan saya dan Beth bercerita banyak hal. Beth menunjukkan ini dan itu, saya masih ternganga dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi. Maklum saja, terakhir melihat gedung-gedung tinggi seperti itu sewaktu di Jakarta mengurus visa. Di Belanda mana ada gedung menjulang tinggi sekali. Kami ada sedikit drama juga diruangan bawah tanah stasiun, mencari pintu keluar menuju seberang jalan yang tak kunjung ditemukan. Setelah berbelanja buah dan beberapa keperluan lainnya kami kembali ke Apartemen menunggu Mbak Dian dan Anggi. Saat malam mulai datang, mereka datang. Senang rasanya pada akhirnya bisa bertemu dengan orang yang selama ini dikenal hanya dari dunia maya, mendengar suaranya pun tidak pernah. Saya belajar banyak hal selama ini dari kisah perjuangan Mbak Dian (tinggal di Austria), seorang breast cancer survivor, yang ceritanya pernah ditulis Melly disini. Anggi (tinggal di Edinburgh) pun begitu, banyak hal positif yang dia ceritakan melalui blognya, kegigihan dia dan suaminya untuk mencapai cita-cita mereka. Dan Anggi ini ternyata sepupu dekat dari teman dekat saya. Betapa dunia sempit sekali ya.
Hari pertama kami berencana ke Teufelsberg, tempat wisata baru jadi tidak terlalu banyak turis di sana. Beth yang mempunyai ide ini, saya pun mengaminkan tanpa berusaha mencari informasi sebelumnya tentang tempat apa sebenarnya ini (ketahuan malesnya :D). Setelah Mia datang ke hotel, kamipun bergegegas berangkat. Ini kali pertama saya bertemu Mia. Saya merasa senang karena Mia sangat ramah, banyak senyum, dan dia ternyata teman seangkatan kuliah dari suami sepupu dekat saya. Duh, bener-benar sempit sekali dunia ini :D. Sepanjang jalan menuju Teufelsberg, setelah turun dari kereta, kami tidak ada hentinya antara mengoceh dan mengunyah. Ehm, kayaknya yang mengunyah hanya saya dan Anggi haha! Kami sempat mempertanyakan berkali-kali ke Beth apakah jalan yang kami lalui ini benar adanya karena kok tidak sampai-sampai. Beth yang awalnya yakin sempat goyah juga keyakinannya. Akhirnya dia bertanya pada seorang lelaki yang sedang melintas. Ternyata jalan yang kami lalui sudah benar. Singkat cerita dengan melalui jalan tanjakan, sampailah kami di tempat yang ternyata supeerr kece ini. Banyak graffitinya dan setiap pojokan itu bagus semua. Wajib dikunjungi ini kalau misalkan ada yang berencana ke Berlin dan suka dengan graffiti. Kami tentu saja memanfaatkan ini dengan sebaik-baiknya, maksudnya dengan berpose sebanyak-banyaknya. Di tempat ini kami berkenalan dengan dua pemuda tampan, nampaknya mereka adalah model dari London (setelah ditelusuri dari IG nya-niat!). Awal perkenalan (tsah!) karena minta tolong untuk memfotokan kami. Setelahnya ditempat berbeda mereka meminta tolong untuk mengabdikan kebersamaan mereka. Pada beberapa kesempatan, Mbak Dian, Beth, Anggi sigap sekali manjadi fotografer dadakan mereka. Saya malah tertarik mengabadikan pose 3 orang ini saat menjepret satu pemuda ganteng lainnya. Saya selalu tertawa kalau melihat foto-foto mereka tampak belakang :)))
Setelah acara bernarsis ria selesai, kami sudah lapar dan membayangkan segala makanan Indonesia karena rencana selanjutnya ke restoran Nusantara sekalian bertemu Mindy. Kami melewati jalan berbeda dengan saat kami datang. Kali ini kami lewat hutan ketika kembali. Pikir kami supaya bisa memotong kompas. Setelah bertanya dan diyakinkan bahwa lewat hutan bisa tembus ke parkiran mobil (dimana ini kami lewati ketika pertama datang), kamipun mengikuti dua orang yang memberitahu tersebut. Sampai pertengahan jalan, tanpa ada papan penunjuk, dan kami kehilangan jejak dua orang tersebut, mulailah kami tebak-tebak buah manggis jalan mana yang bisa dilewati. Dengan sedikit perjuangan karena jalanan kecil yang menurun, mbak Dian di depan sebagai penuntun jalan, ditambah lagi kami yang sudah halusinasi bayangan : soto, tempe mendoan, es cendol, lontong sayur, segala menu yang akan kami makan di restoran Nusantara, sampailah kami pada tempat parkir yang dituju. Saat di hutan tadi, kami sudah membayangkan kemungkinan buruk tersesat. Tapi kami masih berpikir positif tidak akan tersesat karena terdengar suara mobil yang melintas. Setelahnya kami sudah tidak sabar menuju Nusantara.
Sampai di Nusantara, kami langsung kalap pesan ini dan itu. Di Nusantara ini juga banyak cerita mengalir. Dari cerita sedih, bahagia, maupun cerita yang biasa saja. Tidak lupa Anggi mengajarkan dengan praktek cara memulas lippenstift (lipstik) pada Beth. Dari Anggi ini pula saya konsultasi cara merawat wajah, apa saja langkah-langkahnya. Pokoknya Anggi ini pakar lipstik dan perawatan wajah.
Hari selanjutnya kami lewati dengan acara masing-masing. Saya, Anggi, dan Mbak Dian mengkuti free walking tour dan boat tour. Mindy yang baru bergabung kemudian jalan bersama Beth ke Mall of Berlin, Mia sudah pulang ke kotanya, Beth malamnya lihat konser Sting. Kami sempat ketemu Mindy sebentar di restoran Mabuhay. Menurut Beth, Mabuhay ini dulunya adalah restoran Filipina (sesuai namanya ya), tetapi setelah jadi restoran Indonesia namanya tidak berubah. Makanan disini super enaknya, benar-benar citarasa makanan rumahan. Kalau di Nusantara kami kalap, di Mabuhay kami kalap kuadrat. Pesan ini itu terus berlanjut. Dan herannya, habis semua. Setelah ditotal, rasanya kami tidak percaya makanan begitu banyaknya dan minum tidak sampai €60 untuk 5 orang. Sebelum makan, kami riuh berbincang, setelah makanan datang seperti mengheningkan cipta, khusyuk dengan piring masing-masing :D. Mabuhay ini benar-benar patut dicoba kalau ke Berlin, rekomendasi Beth memang mantap! Selama 4 hari kami bersama, satu topik yang selalu jadi pembicaraan hangat, yaitu makanan Indonesia. Itu yang namanya ngobrol tentang makanan Indonesia yang kami rindukan memang tidak ada habisnya, sambung menyambung dan saling timpal. Makanan Indonesia memang menjadi perekat sesama perantau.
Setelah dari Mabuhay, kami pergi ke gedung parlemen (Reichstag). Niatnya mencoba keberuntungan untuk mendapatkan tiket naik ke atas tanpa reservasi terlebih dahulu. Tapi ternyata tiket hari itu untuk yang go show sudah tidak ada, yang tersedia tiket keesokan harinya. Akhirnya kami ya hanya berfoto ria di depan gedung parlemen. Selama dua hari pergi rombongan, kami selalu membeli tiket grup untuk naik transportasi umum maksimal 5 orang seharga €17 (kalau tidak salah) yang bisa dipakai satu hari. Itu hitungannya murah sekali per orang.
Empat hari kebersamaan yang sangat menyenangkan dan tidak akan terlupakan. Banyak cerita yang mengalir, keseruan penuh tawa, sempat juga menangis terharu. Banyak pelajaran berharga saya dapatkan dari mereka. Tentang perjuangan menjadi perantau di negara orang, cerita dari masing-masing negara yang menjadi tempat tinggal mereka saat ini, tentang kegigihan, kesetiaan, tentang berpikir positif dan tidak gampang nyinyir. Berpikir dan bertindak kritis sangat dianjurkan, tetapi harus dibedakan dengan nyinyir. Tentang manfaat lingkungan yang memberikan aura positif dan lebih baik meninggalkan segala sesuatu yang membawa energi negatif, baik di dunia maya maupun dunia nyata. Mereka, wanita-wanita tangguh dan mandiri dengan ceritanya masing-masing. Saya yang baru 1.5 tahun merantau beda benua dan 2 tahun pernikahan, belajar banyak hal dari mereka. Bersyukur sekali saya memutuskan untuk ke Berlin bertemu dengan mereka.
Mudah-mudahan kami selalu diberikan kesehatan yang baik dan umur yang barakah supaya bisa mewujudkan girls trip selanjutnya, di negara yang lainnya. Terima kasih untuk Anggi, Beth, Mindy, Mbak Dian, dan Mia atas kepercayaannya bercerita segala hal, juga saya pun bisa bercerita banyak hal pada kalian. Semoga pertemanan kita akan selalu baik-baik saja kedepannya.
Cerita seru Beth tentang perjalanan kami bisa dibaca di sini
-Den Haag, 15 Agustus 2016-
Semua foto milik pribadi kecuali yang ada keterangan pinjam.
Today marks the two year anniversary of our marriage: on August 9th 2014 we tied the knot on that beautiful day in Situbondo, East-Java. Last year it was Deny who wrote on this blog to commemorate this our first year anniversary, this year I will take the opportunity for some reflection.
First of all I feel blessed to have Deny because of her patience with me and her relentless dedication as my wife. I will never think lightly of all the steps Deny made by giving up so much from her life in Indonesia to follow me all the way to the Netherlands.
In our two year marriage, we, like any other couples, experienced so many positive things and sometimes negative things. The sum of these experiences made the bond between us stronger and we still have many things to look out for in life.
Sometimes Deny asks ‘Why don’t we meet each other earlier in life?’. And then I usually have some logical response, like ‘Be glad, we did meet each other…” Of course it would have been wonderful too meet earlier, but maybe in life we open our sensors for love and meeting when we are ultimately ready for the experience so the time we met is the perfect time.
As my late Dad once replied per mail to our congratulations for my parents marriage anniversary: ‘if it is up to us we hope you two will witness many more anniversaries to come’. Sadly for them it turned out to be their last marriage anniversary as my Dad passed away a few months later. Needless to say that Deny and I intend to celebrate many, many more anniversaries and in the meantime enjoy our time in life together…
Sudah lama ya rasanya tidak bercerita tentang kegiatan akhir pekan, kangen juga menuliskan di blog ini. Maklum, akhir pekan kami akhir-akhir ini selalu saja ada kegiatan yang menyita waktu, begitu minggu malam, rasanya ingin leyeh-leyeh saja. Setelah kami road trip ke Italia, minggu lalu saya pergi sendiri ke Berlin untuk kopdaran dengan beberapa blogger yang tinggal di Jerman (Beth, Mia, Mindy), Austria (Mbak Dian), dan Edinburgh (Anggi). Jadi ini semacam girls trip. Kami meninggalkan sejenak para suami di rumah. Cerita lengkapnya menyusul akan saya tuliskan, atau follow saja blog mereka karena nampaknya mereka yang akan terlebih dahulu menceritakan keseruan yang kami lalui di Berlin. Jika punya akun Instagram, bisa melihat foto-foto keseruan kami dengan hastag #mbakyuropdiberlin.
Akhir pekan ini kami tidak ada acara khusus. Karena sudah lama tidak memasak pada akhir pekan, saya merasa kangen dengan dapur. Rasanya ingin mencoba memasak sesuatu yang baru, tapi yang tidak ruwet. Sabtu pagi suami pergi ke gym setelahnya belanja di supermarket, saya di rumah bersih-bersih kamar. Tiba-tiba saya ingin makan pecel untuk makan siang karena persediaan bumbu pecel masih ada dan di kulkas stok sayuran masih bervariasi karena jumat sepulang kerja saya dan suami pergi belanja sayur dan buah. Akhirnya kami makan siang dengan pecel lauk perkedel tahu panggang. Ini sambel pecelnya sangat pedes, tapi mas Ewald doyan meskipun makannya sambil bercucuran air mata dan ingus keluar dari hidung saking pedesnya dan dia harus berkali-kali membersihkan ingus. Saya bilang kalau kepedesan tidak usah dihabiskan, tapi dia bilang pedasnya masih bisa diterima oleh lidahnya. Level pedes suami rasanya semakin hari semakin meningkat seiring istrinya tega selalu menyajikan makanan dengan rasa pedas 😀
Setelah makan siang, saya bersiap untuk membuat kue. Jadi suami malamnya ada acara dengan kerabat. Si empunya acara ini vegan. Setelah mencari resep kue vegan kesana kemari, akhirnya saya cocok dengan resep kue vegan yang ada di youtube ini karena bahannya tidak ruwet dan proses membuatnya tanpa dioven. Bahan kuenya : Tepung Almond (karena saya tidak paham tepung apa yang diterangkan di youtube tersebut, akhirnya saya ganti sendiri dengan tepung almond), air kelapa, kelapa parut, cocoa powder, vanilla extract, kurma (pengganti gula). Ini semua bahannya dicampur menggunakan tangan. Bahan isi dan lapisan luarnya : kurma, air kelapa, avocado, cocoa powder, vanilla extract, dan apel. Untuk takaran bahan-bahannya saya memakai ilmu kira-kira jadi tidak pakai timbangan. Ini baru pertama kali saya membuat kue vegan, dan tanpa di oven. Suami sempat bertanya,”kalau kuenya sudah jadi bisa dimakan?” Wah yo embuh ya mas, ora tau nggawe sebelumnya :D. Dan setelah jadi, taddaaa ternyata kuenya enaaakkk banget. Lembut, tidak terlalu manis, dan yang penting sehat dan tidak ruwet membuatnya. Kue vegan ini setengah loyang dibawa suami ke acara, dan mereka semua suka. Ah senang rasanya baru pertama membuat dan langsung sukses. Sementara suami di rumah berkali-kali buka tutup kulkas untuk makan kue ini. Dia ingin selanjutnya saya membuat kue vegan saja karena menurut dia rasanya lebih enak dibandingkan kue yang biasa saya buat. Saya yang memang tidak terlalu suka jenis kue yang manis, hanya memakan satu kali saja kue vegan coklat tersebut.
Sabtu malam saat suami tidak di rumah, saya tiba-tiba ingin makan Tom Yum. Saya ingat masih punya bumbu Tom Yum di kulkas yang saya buat sendiri. Tapi sayangnya saya tidak punya stok seafood. Akhirnya saya membuat Tom Yum isi sayuran : jamur, sawi, kecambah ditambah irisan cabe rawit. Sabtu malam kencan dengan Tom Yum sambil cekikikan melihat lagi foto-foto di Berlin.
Kami memulai minggu pagi seperti biasa dengan olahraga. Saya lari 5km, suami bersepeda 50km plus lari 8 km. Lalu saya sibuk di dapur menyiapkan makan siang, suami membersihkan wc dan kamar mandi. Sehari sebelumnya, saya sudah mencari resep pastel tutup karena memang belum pernah membuat dan masih ada stok kentang. Ternyata membuat pastel tutup itu gampang, tidak seruwet seperti yang saya bayangkan. Isi dari pastel tutup ini : wortel, sawi, buncis, jamur, soun, prei dan brokoli. Tinggal oseng-oseng isinya, masukkan di pinggan tahan panas, tutup dengan kentang rebus yang sudah dihaluskan, masukkan oven 190 derajat selama 22 menit. Setelah dicoba ternyata enaakk rasanya, meskipun kentangnya tidak memakai susu, keju ataupun telur. Kentangnya saya campur dengan sedikit tepung supaya agak merekat. Suami suka dengan pastel tutup ini. Hanya satu kritiknya, kok ga dikasih cabe. Duh mas, lidahmu kok lebih mengIndonesia sekarang, apa-apa harus pedas :p. Sisa adonan kentangnya saya buat perkedel panggang untuk lauk suami makan siang di kantor. Dan inilah penampakan pastel panggang pertama saya. Kami makan 3/4 loyang dan selebihnya saya bagi ke Mama mertua.
Setelah makan siang dan kekenyangan pastel panggang, suami melanjutkan aktivitas menyapu dan membersihkan karpet sementara saya menjemur baju. Sekitar jam 3 kami pergi ke toko tanaman untuk membeli beberapa bunga karena bunga-bunga yang ada di rumah mati semua selama kami tinggal liburan. Setelah dari toko tanaman kami ke rumah Mama. Saya membawa pastel tutup dan kue vegan coklat. Setelah dicoba Mama, beliau sukaa sekali pastel tutup dan kue vegan coklat tersebut. Wah saya girang bukan kepalang. Mama adalah penikmat masakan saya yang paling jujur. Kalau masakan saya tidak enak, beliau akan bilang tidak enak dan makanan saya selebihnya akan dikembalikan. Untung saja selama ini baru satu kali masakan saya yang dibilang tidak enak dan dikembalikan. Kalau tidak salah semur tempe. Selebihnya beliau suka, bahkan tumis pare pete pedes pun beliau suka. Beliau ini suka makanan pedas. Kalau akhir pekan saya memang memasak agak banyak agar Mama juga bisa ikut makan masakan saya. Kalau saya sedang tidak bisa main ke rumah Mama, maka makanan akan saya titipkan pada suami karena suami setiap minggu pasti ke rumah Mama.
Setelah dari rumah Mama kami mengayuh sepeda diiringi angin yang super kencang, gerimis, dan mendung yang memang menggelayut sejak pagi. Musim panas di Belanda matahari muncul hanya sesekali. Selebihnya tetap mendung, hujan dan angin kencang. Akhir pekan kami tutup dengan berbincang ditemani kerupuk, teh jahe, kue coklat vegan dan mendung. Akhir pekan yang menyenangkan karena saya akhirnya kembali lagi ke dapur. Memasak selalu membuat saya bahagia.
Today Deny is on her way to Berlin by train. In Berlin she will meet her friends and spend some days visiting Berlin’s interesting places. This gives me some time to reflect on my own journey to Berlin a long time ago, in 1989 to be precise!
In those days the Wall was still standing, ‘Checkpoint Charlie’ was still operational and not yet a museum. Berlin was separated in a Western and Eastern part of the city, like Germany itself was divided into two countries: West Germany with Bonn as the capital city and East Germany or DDR (Deutsche Demokratische Republik) as the East Germans themselves called it) which was actually a communistic satellite state of the Soviet Union). The eastern part of Berlin was the capital of the DDR and reflected the territory of Berlin that the Soviet Union occupied during World War II. The western part of Berlin was an enclave and knew a British, American and French sector. This picture will give you an impression of the complex situation of Berlin during that period.
As you can see from this image West Berlin was fully enclosed by East Germany. For me travelling by train from the Netherlands this meant I had to cross West and East Germany before arriving and staying in West Berlin. In those days there was a hostile relationship between the two countries, comparable to the situation nowadays in Korea. This hostility was mainly due to the difficult living situation in East Germany. East Germany was governed by the rule of dictatorship and the economic situation was becoming more and more deplorable.The East German government already feared since a long time that citizens would massively flee to West Germany and East Germany became more and more a fortress and the Berlin Wall, built in the early 60s was obviously the most prominent edifice of this isolation from the West. Travelling through East Germany I immediately felt the impact of this. When the train left the Netherlands into West Germany all doors of the train were automatically sealed, the train only had one destination on the programme: West Berlin. Soldiers and police were on the train and did intensive inspection of the bags that the travellers had with them. I vividly remember the border between West and East Germany: it was build not to let anyone pass it alive without permission.
I must admit that my memories of the West Berlin visit are a bit less clear than my one day visit of East Berlin. In West Berlin I remember visiting Spandau and the Kurfürstendamm, with its impressive KaDeWe shopping mall. Because of the Wall it was complex to travel from West to East and vice versa, there were however a few spots that would allow you to go from West to East. I think I passed East to West through a checkpoint at the Friedrichstrasse. There was an intensive inspection and you had to exchange money and everything that was left at the end of the day you had to return to the East German border control (of course I could not resist to take some East German money back into West Germany).
I can conclude my East Berlin visit shortly as: depressing yet fascinating. At the border just behind the Wall most houses were empty and guarded by soldiers. I remember visiting the Palast der Republik (Palace of the Republic) where the East German parliament was seated and the Fernsehturm a huge television tower in the city center. The Palast der Republik was dismantled in 2006, but the television tower is still present. Already in those days the tower had the rotating restaurant in the top of the building. The weather that day was dark and foggy so the promised beautiful view was absent. The food served in the restaurant was of terrible quality, which forced me to do a second meal later that night when I arrived back in West Berlin.
It was a strange situation, you could easily see that the East Berliners had a lower living standard than their Western counterparts that only lived a few blocks away on the other side of the Wall. Also the difficult situation of living under a communist dictatorship was a heavy burden for the East Berliners. I can recommend you the movie ‘Live of Others‘ that gives an adequate view on how life was in East Germany.
So at the end of the day I left with mixed feelings East Berlin and went back through the inspection point and walked back to the comfort and luxury of West Berlin. Not long after my visit there would be some dramatic changes in the situation in Berlin and East Germany. Due to upheaval in other communist states like Hungary, the East German people revolted against their government and as a result the Wall was broken down by the end of 1989. By the end of 1990 West and East Germany were reunited and Berlin became the capital for the reunited nations.
I am curious how Berlin is now in 2016 and am sure that Deny will share her experiences soon!
-Den Haag, 31 Juli 2016-
Note:
I am still in search for my pictures from West and East Berlin, but have not traced them yet. If you are curious what Berlin looked like in the late 1980s I can recommend the movie ‘Wings of Freedom‘.
Pertama kali tahu Colmar dari postingan Lia. Pada tulisan Lia disebutkan kalau Colmar di Malaysia yang diceritakan adalah tiruan dari Colmar yang terdapat di Perancis. Waktu itu hanya ngebatin, tiruan saja bagus bagaimana aslinya ya. Tidak terpikir sama sekali dan tidak terbayang Colmar di Perancis itu letaknya di sebelah mana. Beberapa waktu kemudian, di twitter ada yang membahas dan menyertakan foto-foto Colmar di Perancis. Wah, bagus juga ya. Cantik warna warninya seperti negeri dongeng saja, pikir saya waktu itu. Sempat saya mencari informasi tentang Colmar di Perancis tetapi yang banyak muncul adalah cerita tentang Colmar di Malaysia. Rupanya tiruannya lebih terkenal dibandingkan yang asli.
Tidak pernah terpikirkan sebelumnya kalau dua bulan setelah membaca tulisan Lia, saya dan suami bisa mengunjungi Colmar di Perancis, versi aslinya. Kunjungan kami ke Colmar pada bulan Maret 2016 merupakan rangkaian road trip kami ke Perancis. Pagi itu cuaca masih mendung karena malam sebelumnya hujan mengguyur Colmar dan sekitarnya. Kami menuju Colmar dari tempat menginap di Andolsheim, yang hanya sekitar 15 menit ditempuh menggunakan mobil, tepat jam 9 pagi.
Karena masih pagi, jadi suasana masih lengang. Tidak terlalu banyak turis yang berlalu lalang. Hanya segelintir orang saja yang bersiap membuka toko dan menyiapkan barang dagangan. Atau memang saat itu masih dalam suasana Paskah, jadi memang ada beberapa toko yang saya lihat tidak buka sampai kami meninggalkan Colmar. Menjelang siang, aktivitas mulai nampak di beberapa sudut. Salah satunya ada pasar terbuka di sebelah katedral. Kami sempat mondar mandir di pasar ini, selain mencicipi beberapa makanan gratis, juga membeli minuman untuk menghangatkan badan.
Menjelajah Colmar serasa ditarik ke dalam negeri dongeng, sampai suami beberapa kali berkata kalau kami seperti ada dalam cerita-cerita dongeng. Kaki melangkah perlahan menikmati setiap warna warni bangunannya. Desain half timbered houses seperti layaknya rumah-rumah di Jerman mendominasi bangunan di kota tua. Mengapa ada sentuhan Jerman di Colmar? Colmar terletak di region Alsace, timur laut Perancis dan berbatasan dengan Jerman. Region Alsace pernah masuk dalam wilayah Jerman pada tahun 1871. Kemudian pada tahun 1919 ada perjanjian Versailles yang salah satunya adalah menetapkan tentang pembagian wilayah di Eropa, juga mewajibkan Jerman untuk mengembalikan region Alsace pada Perancis. Karenanya tidak heran kalau bangunan di region Alsace mirip dengan tipe rumah atau bangunan yang ada di Jerman. Konon katanya Colmar juga merupakan salah satu kota penghasil wine yang terkenal, alsace wine.
Karena masih dalam suasana Paskah, maka tidak heran banyak dijumpai ornamen-ornamen perayaan Paskah seperti telur. Pada salah satu gereja yang ada di sekitar kota tua Colmar sedang ada pameran kerajinan tangan. Kalau tidak ingat harganya yang lumayan merogoh isi dompet, rasanya ingin membeli semua yang ada di sana. Telur-telur dengan lukisan warna warni, telur dari kayu, telur dari porselen, hiasan pecah belah, ingin saya angkut semua. Anak-anak kecil bersuka ria saling berkejaran di sisi katedral, ada yang memperhatikan domba kecil yang sedang meringkuk terkantuk di dalam kandang kecil, bahkan kelinci-kelinci putih saling berlompatan di dalam pagar yang dibuat tidak permanen.
Butuh waktu yang tidak sebentar untuk menikmati warna warni Colmar. Bagaimana tidak, jika kaki selalu berhenti dan mengamati setiap rumah dengan warna yang unik, mengabadikan keindahannya dalam jepretan kamera. Waktu inginnya berjalan pelan ketika berada di sana. Menghirup aroma Croissant atau aroma manis kue ketika melewati toko roti, berjalan bergandengan dengan suami sembari mengamati pasangan-pasangan yang juga merasakan suasana romantis di Colmar. Masuk ke dua katedral yang ada di sana, mengamati setiap sudut ruangan yang ada di dalamnya, menghirup dan merasakan hangatnya coklat yang dijual di pasar untuk menghalau rasa dingin. Kami beruntung pada hari itu Colmar tidak terlalu dibanjiri oleh Turis, jadi bisa berjalan leluasa menikmati suasana romantis yang ditawarkan Colmar. Memang paling cocok mengunjungi Colmar ini bersama pasangan. Tetapi hal tersebut tidak mutlak. Berjalan sendirian, berbagi cerita bersama teman, sahabat, ataupun keluarga juga tidak mengurangi rasa bahagia, senang dan kagum menyaksikan keindahan yang ada di depan mata.
Menikmati keindahan Colmar tidak saja bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Pilihan naik perahu melintasi kanal dan jembatan serta menggunakan kereta juga bisa dijadikan alternatif. Berkeliling Colmar kami akhiri dengan makan siang pada salah satu restoran dekat katedral. Setelah cocok dengan menu yang ditempel pada kaca, kami masuk yang ternyata suasana di dalam rame sekali. Untung saja masih ada satu meja yang tersisa. Makan siang kami sangatlah lezat karena memang sudah lewat jam makan (sehingga lapar sekali) serta rasa makanannya yang enak sekali. Segelas wine dan sebotol lemon tea tak lupa menemani.
Perjalanan ke Colmar tidak pernah terlupakan. Siapa sangka berawal dari membaca sebuah tulisan di blog dan twitter bisa menghantarkan saya pada Colmar di Perancis sebagai hadiah ulangtahun.
Siapa yang ingin ke Colmar? Atau ada yang sudah pernah ke Colmar?
Semua orang pasti punya yang namanya pengalaman pertama, apapun kisah dan ragamnya. Pengalaman pertama ada yang meninggalkan kesan mendalam dan berkesan, ada yang terasa pahit, maupun ada yang merasa biasa saja dan tidak istimewa. Pada umumnya yang namanya pengalaman pertama itu susah dilupakan ya walaupun juga ada beberapa yang malah tidak sadar kalau yang sudah terjadi adalah hal yang pertama kali ada dalam hidupnya.
Banyak hal dalam hidup saya yang berkaitan dengan pengalaman pertama yang berkesan sehingga susah untuk dilupakan. Kesan yang membekas disini biasanya kalau yang tidak pahit sekali ya bahagia sekali. Yang akan saya ceritakan kali ini adalah pengalaman pertama yang mempunyai kesan mendalam karena perasaan sedih yang menyelimuti.
Sejak awal tahun 2016, suami sudah bertanya kepada saya apakah kami ada rencana pulang ke Indonesia saat lebaran. Saya tegaskan, tidak. Selama ini suami mengatakan berkali-kali kalau dia rindu dengan Indonesia, rindu masakan ibu dan bude, rindu suasana desa di Ambulu. Intinya dia yang paling punya keinginan kuat untuk ke Indonesia dibanding saya. Bahkan pada akhir 2015 lalu dia sudah berencana akan membeli tiket ke Indonesia, sendiri, tanpa saya, saking sudah kangen dengan Indonesia. Namun rencana itu tidak berjalan lancar, ada satu hal yang harus kami lakukan pada akhir tahun di Belanda sehingga keinginannya untuk ke Indonesia harus tertunda.
Ketika mengetahui bahwa saya tidak ingin pulang saat lebaran 2016, dia bertanya apakah saya tidak rindu berlebaran dengan keluarga besar di sana? Tentu saja saya rindu. Tetapi saya pernah berjanji dengan diri sendiri bahwa jika tidak ada sesuatu yang penting sekali, paling tidak setelah dua atau tiga tahun saya baru akan pulang. Saya melakukan itu supaya proses adaptasi saya di Belanda tidak porak poranda ditengah jalan. Jauh dari keluarga di Indonesia itu butuh kekuatan dan keteguhan hati supaya kerasan tinggal di negara yang baru. Saya tidak pernah tinggal terpisah sejauh ini dari keluarga di Indonesia, apalagi untuk waktu yang tidak tahu berapa lama akan menetap di sini. Karenanya, jika hati dan pikiran tidak dibiasakan dengan lingkungan yang baru, takutnya perasaan ingin pulang dan rindu rumah di Indonesia itu akan selalu bergelayut.
Setelah yakin lebaran ini kami tidak akan pulang ke Indonesia, suami mengusulkan untuk pergi liburan sekitar bulan Juli, sekaligus merayakan ulangtahunnya. Karena dia yang berulangtahun, dia juga yang memutuskan kami akan pergi kemana. Italia, pada akhirnya adalah negara yang akan kami tuju (untuk cerita road trip kami di Italia akan saya tulis terpisah). Singkat cerita, saat lebaran, kami sedang berada di Italia.
Jauh sebelum Ramadan, saat saya sedang menyusun rencana perjalanan dan mengotak atik kota-kota di Italia yang akan kami kunjungi, sekiranya ada tempat yang menyelenggarakan sholat Idulfitri bersama. Setelah bertanya kesana kesini, mencari informasi di internet, saya tidak menemukan informasi yang akurat apakah ada yang menyelenggarakan sholat idulfitri di Le Spezia, kota yang akan kami kunjungi bertepatan tanggal 6 Juli 2016, hari dimana dilaksanakan sholat idulfitri berdasarkan dari surat edaran dari KBRI di Den Haag. Karena informasi tentang sholat tidak juga saya temukan, dan dari hasil bertanya, diperbolehkan jika sholat idulfitri tidak berjamaah.
Berdasarkan niat baik untuk tetap melaksanakan sholat idulfitri, meskipun tidak dalam kondisi yang ideal, akhirnya pertama kali dalam hidup, saya merasakan yang namanya sholat idulfitri tidak berjamaah rama-rame di masjid. Rasanya campur aduk, antara sedih, nelongso, dan membesarkan hati mencoba untuk tetap berusaha baik-baik saja. Kalau tahun kemarin lebaran saya rayakan di Belanda, sholat idulfitri di masjid Indonesia, bertemu dengan banyak orang Indonesia, dapat undangan makan di salah satu restoran padang, bahkan kami juga pergi ke acara silaturrahmi yang diadakan oleh KBRI, makan segala macam masakan khas lebaran. Lebaran tahun ini sangatlah berbeda.
Setelah saya selesai menunaikan sholat idulfitri, kami bergegas menuju Cinque Terre. Kalau tahun lalu lebarannya masih terasa, tidak berbeda jauh dengan ketika di Indonesia, kecuali bagian tidak merayakan dengan keluarga besar. Maka tahun 2016 ini lebarannya juga terasa, terasa liburan maksudnya :D. Hari pertama saya masih belum menelepon Ibu. Ketika kami sedang istirahat diantara rute mendaki gunung (atau bukit ya namanya karena tidak setinggi gunung tapi juga tidak sependek bukit) yang melintasi 5 desa, suami bilang kalau saya nampak sedih. Ya saya bilang kalau saya sedih dan kangen Ibu. Tapi rasa sedih itu saya buang jauh-jauh, kami kan sedang lliburan, jadi harus dinikmati secara maksimal. Cinque Terre panasnya maksimal, sampai 39 derajat, mirip lah sama panas di Indonesia (Surabaya maksudnya). Kami sangat menikmati trekking selama 6 jam sampai desa ke 4, cuaca panas tidak terlalu terasa karena keindahan dari atas melihat birunya langit dan laut seperti hampir menyatu (cerita lengkap tentang Cinque Terre akan saya tulis terpisah).
Jika hidangan lebaran pada umumnya adalah segala macam yang bersantan khas masing-masing keluarga, maka hidangan lebaran kami berbeda. Spaghetti, Gelatto dan satu lagi saya lupa namanya seperti lasagna tapi isinya ikan yang tertulis di menu adalah makanan lokal Cinque Terre. Enak semua rasanya.
Sambil menunggu senja, kami naik ke atas bukit dekat kebun anggur. Kami duduk di atas batu besar. Diam dan hening, tidak ada satupun dari kami yang bersuara. Hanya sesekali terdengar suara dari kamera ketika saya mencoba mengabadikan lukisan alam atau suara burung yang sedang melintasi kami. Suami tahu bahwa saya tidak terlalu ingin berbicara banyak. Dia tahu bahwa saya mencoba menyembunyikan kesedihan dengan mencoba ceria seperti tidak terjadi apa-apa. Dia tahu bahwa dalam hati terdalam saya rindu dengan Ibu dan keluarga di Indonesia. Ketika senja datang, air mata saya perlahan tumpah. Saya teringat almarhum Bapak. Sudah empat lebaran saya lalui tanpa Bapak dan kerinduan itu tidak pernah kering sampai sekarang, sampai kapanpun. Rindu yang teramat sangat tetapi saya tidak bisa lagi berbicara langsung. Hanya lewat doa saya bisa menuntaskan rindu kepada Bapak. Saya memandang senja dalam dekapan Mas Ewald, mencoba menyapu buliran air mata yang tetap menetes.
Belajar dari pengalaman tahun lalu, karena perbedaan waktu dan ketika hari pertama lebaran Ibu sibuk silaturahmi dengan seluruh keluarga di Ambulu dan setelahnya kecapaian, maka saya memutuskan tahun ini menelepon ibu saat lebaran hari kedua. Sebelum berangkat ke Pisa, kami menelepon Ibu, Adik, dan Bude. Pagi itu, acara menelepon menjadi terasa lebih emosional. Ibu mengatakan kalau beliau sangat kangen pada saya dan Mas Ewald. Bude mengatakan kalau beliau selalu teringat saya menjelang lebaran disaat acara masak besar karena saya selalu semangat membantu beliau untuk menyiapkan hidangan lebaran. Adik saya juga mengatakan kalau dia kangen. Saya mencoba menyembunyikan rasa sedih dengan tidak menangis di telepon. Setelah telepon ditutup, ada perasaan kosong dalam hati. Entah, waktu itu saya tidak bisa menjelaskan rasanya seperti apa. Hanya kosong.
Setelah dari Pisa, kami menuju ke kota selanjutnya yaitu San Gimignano. Kami menginap di rumah yang letaknya di tengah perkebunan anggur dan pohon zaitun. Suasananya sunyi, terdengar banyak sekali burung berkicau. Lebaran hari kedua masih terasa muram untuk saya. Tetapi sekali lagi saya ingat bahwa kami sedang liburan. Saya mencoba mengalihkan kesedihan dengan menikmati suasana kota kecil ini. Setelah makan malam, kami kembali ke penginapan. Selesai sholat, tiba-tiba saya menangis lagi. Kali ini bukan tangis kesedihan. Entah kenapa saya seperti diingatkan akan sesuatu. Harusnya saya bersyukur di hari yang fitri ini saya masih mempunyai keluarga yang menyayangi, masih ada orang-orang terkasih yang selalu merindukan dan saya rindukan. Bersyukur meskipun jauh di tanah rantau tapi saya masih bisa mendengarkan suara Ibu, Adik dan Bude. Bersyukur bahwa saya mempunyai alasan menabung rindu agar bisa segera bertemu Ibu. Bersyukur bahwa ada banyak hal yang saya rindukan dari keluarga di Indonesia. Baik dan buruknya mereka, tidak ada satupun yang bisa menggantikan kasih sayang mereka pada saya begitu juga sebaliknya. Bersyukur bahwa apapun yang telah terjadi, terjadi dan akan terjadi, mereka adalah alasan terbesar saya untuk selalu merindukan Indonesia sebagai rumah saya. Keluarga tidak akan pernah tergantikan. Maka bersyukurlah bagi mereka yang masih bisa merasakan dan selalu mengusahakan untuk merayakan lebaran ditengah kebersamaan bersama keluarga besar.
Dan satu hal, bersyukur meskipun jauh dari keluarga, ada satu orang yang selalu ada di samping saya, seorang suami yang mencintai saya sepenuh hati dalam keadaan terbaik maupun terburuk. Bersyukur bahwa dia tidak pernah bosan mendengarkan segala celoteh, tangisan, bercanda tidak mutu maupun segala cerita setiap waktu. Bersyukur bahwa dia selalu ada untuk saya, mendukung setiap langkah yang saya ambil untuk kebaikan. Apa yang saya putuskan untuk merantau jauh dari keluarga adalah keputusan saya sendiri. Jadi meskipun kesedihan terkadang datang menghampiri seharusnya saya tidak perlu terlalu larut didalamnya karena ada berjuta rasa syukur yang bisa saya ucapkan. Bersyukur saya bisa tersenyum dan tidak perlu banyak alasan untuk bahagia, karena dengan berucap syukur akan selalu mendatangkan kebahagiaan. Bersyukur bahwa saya bersama orang yang saya sayangi.
Dan malam itu, pada lebaran kedua, setelah saya puas menumpahkan segala tangisan syukur diatas sajadah, dia menghampiri saya dan berkata “pulanglah, temui keluargamu, kalau itu bisa membuat hatimu lebih tenang.”