Kenangan Pecel Tumpang

Pecel Tumpang dan Gudeg

Banyak hal yang bisa mengingatkan kita pada kenangan masa kecil. Permainan tradisional, orang-orang tersayang, makanan rumahan, bahkan mungkin cinta pertama (bisa saja cinta pertamanya saat masih kecil, seperti kisah di film-film). Kalau saya tentu saja makanan yang membuat jatuh cinta pada saat makan pertama kali. Salah satu makanan yang sangat melekat dengan kenangan masa kecil adalah Pecel Tumpang. Mungkin ada beberapa yang belum pernah mendengar nama pecel tumpang. Bagi saya jenis pecel ini rasanya tidak ada yang bisa mengalahkan jenis pecel yang lainnya, bahkan pecel pincuk yang dijual di depan Pasar Beringharjo yang selalu membuat saya selalu rindu untuk kembali ke Jogjakarta. Tapi kembali lagi, ini adalah masalah selera dan kenangan didalamnya.

Pecel didepan Pasar Beringharjo. Kalau melihat foto ini selalu kangen kota Jogjakarta.
Pecel didepan Pasar Beringharjo. Kalau melihat foto ini selalu kangen kota Jogjakarta.

Entah kapan tepatnya saya mulai menyukai pecel tumpang. Tapi yang pasti saya hanya bisa makan pecel tumpang ketika pergi ke rumah Mbah di Nganjuk, yang sayangnya hanya setahun sekali, dan dikemudian hari malah hanya dua atau tiga tahun sekali. Ibu memang sering memasak pecel tumpang di rumah, tapi tetap rasanya berbeda jika langsung makan di tempat asalnya. Ada seorang tetangga, Yu Rah namanya, menjual pecel tumpang tepat disebelah rumah Mbah. Setiap selesai adzan subuh berkumandang, saya selalu mendengar Yu Rah dibantu suami dan anak-anaknya menyiapkan segala perlengkapan untuk berjualan. Sayur mayur yang ditaruh di baskom besar, satu plastik berisi sambel pecel yang nanti akan diseduh dimangkok bersama air panas, satu mangkok sambel tumpang, satu mangkok sambel goreng tempe tahu, dua toples besar (kami menyebutnya “blek”) masing-masing berisi kerupuk pasir (krupuk yang digoreng dipasir, ini krupuk khas Nganjuk. Bahasa Jawanya : Krupuk Wedi ) dan peyek teri kacang, bubur sumsum (kami menyebut jenang sumsum), satu ceret besar berisi air, satu ceret kecil berisi teh hangat, dan satu baskom ketan putih yang nantinya dihidangkan bersama bubuk kedelai.

Pecel Yu Rah ini sangat terkenal di desa tempat tinggal Mbah. Pukul setengah 6 pagi, saat orang-orang bergegas ke sawah, mereka akan mampir dulu merasakan nasi hangat yang ditaruh dipincuk daun pisang kemudian diberi sayur kecambah, kangkung, lamtoro gung disiram sambel pecel dan sambel tumpang, tidak lupa sambel goreng tahu tempe dan ditutup oleh kerupuk pasir dan peyek teri kacang. Setelah selesai makan pecel, biasanya mereka akan memesan bubur sumsum atau ketan sebagai makanan penutupnya sembari sesekali menyeruput segelas teh hangat. Ah, menuliskan hal ini saja sudah membuat saya sangat rindu akan suasana desa. Rindu kursi panjang dari bambu tempat mereka bercengkrama sembari sarapan, rindu sapaan hangat dengan senyuman yang selalu tersungging dibibir, rindu melihat mereka memanggul cangkul menembus kabut pagi.

Biasanya saya sudah mengantri sejak jam 6 pagi, karena jika telat sedikit saja, antrian sudah mengular dan sekitar jam setengah 8 pagi dagangan Yu Rah sudah habis tak bersisa. Saya akan makan sepincuk pecel tumpang sembari mendengarkan penduduk desa berbincang tentang sawah mereka, hasil panen, ataupun topik politik yang mereka lihat di televisi. Setelah sepincuk pecel tumpang tandas, saya akan melanjutkan memakan semangkok kecil bubur sumsum.

Jika jauh begini, sungguh tersiksa kalau sedang kangen makanan tertentu. Jalan keluarnya ya akhirnya memasak sendiri. Beberapa waktu lalu, sebuah sejarah terjadi. Saya yang seumur hidup tidak pernah membuat sambel pecel, akhirnya dengan terpaksa nekat membuat pecel tumpang lengkap dengan pasukannya. Sambel tumpang dibuat dari tempe yang sudah semanggit (tempe nyaris busuk) dicampur dengan bawang merah dan bawang putih serta kencur dan daun jeruk lalu dimasak dengan sedikit santan. Perpaduan rasa tempe yang semanggit dan kencur inilah yang membuat sambel tumpang sangat istimewa. Ini yang membuat pecel tumpang berbeda. Dan pecel tumpang ini adalah makanan khas Kediri dan Nganjuk. Tumpang artinya diletakkan diatas sesuatu. Karenanya, pecel tumpang ini sambel tumpangnya disiramkan langsung diatas nasi atau sayuran.

Setelah pulang liburan dari Perancis, keinginan untuk makan pecel tumpang semakin menggebu. Karena saya punya persediaan tempe semanggit, akhirnya tanpa berpikir panjang langsung semangat ’45 memasak. Dan disaat yang sama, saya juga ingin makan gudeg. Entah sedang kerasukan apa, gudeg pun saya buat juga padahal sebelumnya belum pernah dan tidak terpikir sama sekali dalam hidup akan memasak gudeg sendiri. Setelah berkutat sejak jam 7 pagi di dapur mempersiapkan semuanya dengan berbekal resep hasil dari berselancar di internet serta padu padan bumbu dan bahan serta seperti biasa ilmu kira-kira dalam hal takaran, akhirnya pada saat makan siang saya dan suami bisa menikmati sepiring pecel tumpang yang dikombinasikan dengan gudeg, bacem tahu, bacem telur puyuh, mendol. Pengalaman luar biasa buat saya karena pertama kali memasak sambel pecel, sambel tumpang, dan gudeg.

Pecel Tumpang dan Gudeg
Pecel Tumpang dan Gudeg

Suami yang belum pernah makan sambel tumpang ternyata cocok dengan rasanya, padahal saya beri tahu kalau itu dari tempe yang nyaris busuk. Buat dia tidak masalah, selama rasanya enak dan tidak mengandung racun. Bahkan dia meminta sisa sambel tumpang dan gudeg diikutsertakan untuk bekal makan siangnya di kantor keesokan hari. Senang rasanya bisa menghadirkan kenangan masa kecil pada sepiring pecel tumpang buatan sendiri. .

Pecel Tumpang dan Gudeg
Sambel pecel, sambel tumpang, gudeg, mendol, bacem tahu, bacem telur puyuh, sayurnya kemangi kangkung kecambah, tidak lupa kerupuk.

 

Cerita tambahan

Hari ini ada libur nasional di Belanda, jadi kami leyeh-leyeh seharian di rumah. Pagi hari jam 8 kami lari di bukit dekat rumah (sepedahan dulu ke sana, kira-kira 30 menit). Lumayan juga lari naik turun bukit selama 1.5 jam dengan total 15km. Mumpung matahari nyentrong jadinya kami manfaatkan sebaik mungkin mengumpulkan vitamin D dengan duduk sebentar dipinggir danau setelah lari.

Suami sudah di ujung atas, saya narik napas dulu
Suami sudah di ujung atas, saya narik napas dulu
Selonjoran pinggir danau sambil lihat angsa sliweran
Selonjoran pinggir danau sembari melihat angsa bersliweran

Tahun kemarin kami berkunjung ke Malieveld untuk menyaksikan Bevrijdingsfestival yang salah satu pengisi acaranya ada penampilan dari Molukse en Nederlandse popmusici yang menyanyikan lagu Bengawan Solo.  Ceritanya pernah saya tuliskan disini tentang Bevrijdingsfestival tahun lalu. Tahun ini kami menikmati cuaca cerah dengan bersih-bersih rumah, ehm lebih tepatnya suami yang bersih-bersih rumah, saya membaca buku. Tapi kok tiba-tiba saya ingat abang-abang yang jual otak otak ikan di bawah jembatan penyeberangan depan Cempaka Mas Jakarta, karena saya hampir setiap hari beli otak otak disana kalau pulang kerja sewaktu masih tinggal di rumah bulek.

Karena punya persediaan ikan pangasius, akhirnya untuk mengobati rasa kangen dan rasa ingin makan otak otak ikan, berbekal Bismillah karena belum pernah membuat sebelumnya dan berbekal persediaan bahan yang ada, saya berselancar di internet mencari resepnya. Karena daun pisang disini mahal harganya, jadi meskipun mempunyai persediaan di kulkas, saya tidak menggunakan daun pisang. Caranya tanpa menggunakan daun pisang : adonan otak-otak yang sudah jadi lalu dibentuk, kemudian direbus, ditiriskan, setelahnya baru dipanggang. Rasanya sama persis dengan yang biasa saya makan sewaktu di Jakarta, beda aroma daun pisang saja. Wah, berhasil membuat otak otak ikan untuk pertama kali disajikan dengan sambel pecel.

Enaakk rasanya *dipuji sendiri haha. Suami sampai nambah berkali-kali. Untung jadinya banyak.
Enaakk rasanya *dipuji sendiri haha. Suami sampai nambah berkali-kali. Untung jadinya banyak.

 

Makanan nostalgia versi kalian apa?

-Den Haag, 5 Mei 2016-

Romeinenweek

This week, from April 30th until May 8th in the Netherlands there is an event called Romeinenweek. The English translation would be something like Week of the Romans.  It is a nice gesture to commemorate the presence of the Romans in the Netherlands 2000 years ago. There is a special website that has a program of all the activities to this special week. This year is the third time this event will be organised and the theme for this year is water. So the activities will be focused on subjects like bridges, aquaducts and canals.

But why would a nation commemorate the presence of Romans, an event that already happened so very long ago? There are several reasons for that. From a personal level I remember as a young child there was something fascinating and magical about Romans and their Roman Empire. Most of all, their soldiers looked cool. They wore impressive outfits and the soldiers were very well trained and usually would easily beat their enemies.

romans
Roman soldiers

I think this is still applicable to the children that grow up nowadays even in this time of TV and video game ‘superheroes’, the Romans still have this special attraction to children. If you want to know how life in the Netherlands was during the Roman presence you might consider making a trip to Archeon in Alphen aan den Rijn. They rebuild buildings from that time, like a Roman bathhouse and there are shows with Roman soldiers and gladiators.

Unknown
Bathhouse in Archeon

As I grew older and studied ancient history I learned that there were many other reasons why the Romans could be considered ‘cool’. They managed to unite and unify large parts of the tribes and people that lived in Europe, something that no other military or political figure since then has managed. And they knew how to stay in control: the larger part of their empire would be united for nearly 1000 years. It seems almost unbelievable that with the modest technology they had at their disposal they managed to keep together an empire that stretched from England and Spain in the West, Germany in the North, North Africa in the South and stretched all the way to Egypt and Israel in the East. The Romans built a capital, Rome, that was unlike anything the world had ever seen until that point. Millions of people were living in that city and it would take until the 19th century before humanity would see new capitals with a comparable figure of inhabitants.

Rome

The Dutch people have always had a keen interest in their history. And the Romans have left us many things to remind us from the time they were present in the Netherlands. Not as obvious like temples or buildings, those have not survived. But by excavating or by pure accident many objects from the Roman time have been found. Not only phyiscal objects like (coins, household items and tombstones to name a few) but also infrastructures like the roads they built or the fundaments of cities and villages. Many of these found objects are on display in musea all around the Netherlands. I could recommend visiting the Rijksmuseum voor Oudheden in Leiden that has one of the largest collections on display in their beautiful museum.

For a full program of activities during Romeinweek you can have a look at the schedule.

-Den Haag, 2 May 2016-

Bersepeda Menyusuri Keindahan Ladang Tulip di Belanda

Ladang Tulip

Memasuki musim semi artinya bunga-bunga mulai menunjukkan keindahan warnanya. Tidak hanya bunga, pepohonan pun mulai berwarna warni dengan indahnya. Sejak pindah ke Belanda, saya menjadi seseorang yang menyukai bunga. Dulu saya tidak terlalu memperhatikan aneka rupa bunga, tetapi sejak tahun lalu, salah satu kesenangan saya adalah berlama-lama di pusat penjualan bunga dan pernak perniknya karena memang lokasinya dekat dengan rumah. Kalau tidak mengingat dirumah tidak terlalu banyak tempat untuk menaruh bunga, pasti pulang dari sana saya selalu menenteng pot bunga. Salah satu bunga yang sukai saat musim semi adalah tulip.

Tulip merupakan salah satu ikon negara Belanda. Tempat yang terkenal dengan beraneka macam tulip dan segala jenis bunga lainnya adalah Keukenhof, yang mampu menyedot turis dari segala penjuru dunia sejak pertengahan maret sampai pertengahan mei setiap tahunnya. Pesona Keukenhof pula yang membuat saya ingin mengunjungi Belanda, melihat tulip dalam wujud nyata, tidak hanya dari majalah Colours setiap saya naik Garuda ketika sedang ada urusan kerja. Dulu saya membayangkan bagaimana rasanya berada diantara jutaan tulip dan bunga-bunga lainnya. Bersyukur pada tahun 2014 akhirnya semesta mewujudkan hal yang selama ini menjadi impian, langkah kaki sampai juga ke Keukenhof. Saya pernah menuliskan pengalaman mengunjungi Keukenhof disini. Ada yang membuat saya penasaran ketika sedang didalam Keukenhof, mata saya tidak lepas memandang ladang tulip diluar area Keukenhof. Warna warni tulip berjejer rapi membentuk bentangan indah selayak karpet alami. Saat itu saya hanya berkata dalam hati, suatu saat ingin mengunjungi ladang tulip tersebut.

Dua tahun berselang, tepatnya satu bulan lalu, saya kembali teringat apa yang saya batin. Saya kemudian mengutarakan ide ke suami tentang mengunjungi ladang tulip. Suami sangat setuju. Akhirnya diputuskan pada akhir pekan pertengahan April kami berpetualang menyusuri ladang tulip dengan bersepeda. Ya, kami berangkat dari rumah di Den Haag menuju area ladang tulip disekitar Lisse, Sassenheim, Noordwijk, dan Noordwijkerhout. Yang saya sebutkan tadi adalah nama kota-kota yang masuk area Duin en Bollenstreek, yang merupakan wilayah pesisir antara Wassenaar dan Haarlem yang memiliki bukit pasir dan budidaya umbi bunga. Kombinasi pantai, bukit, ladang bunga, sejarah peternakan, danau, istana dan perkebunan membuat daerah ini sangat menarik untuk dikunjungi.

Jam 11 siang kami memulai petualangan satu hari bersepeda. Saya sebenarnya agak tidak terlalu yakin apakah sanggup bersepeda dengan radius lebih dari 50km, tapi rasa penasaran akan keindahan ladang tulip mengalahkan rasa tidak yakin tersebut. Senangnya kalau bersepeda adalah kami bisa berhenti ditempat-tempat yang diinginkan sewaktu-waktu. Jadi kalau merasa capek, ya berhenti dulu sambil foto sana sini. Kalau haus, tinggal cari kran air dan langsung minum air langsung dari sana. Kalau melihat tempat wisata seperti danau atau kebun yang penuh burung, langsung masuk tanpa dipungut biaya. Dan suguhan pemandangan selama perjalanan sangat menyenangkan, selain alamnya juga bisa melihat domba, sapi, kuda dimana-mana.

Sapi sedang merumput
Sapi sedang merumput
Domba
Domba
Memotret sambil bersepeda. Tangan kanan memegang stang sepeda, tangan kiri memegang Hp, kaki mengayuh, mata memandang kedepan supaya tetap fokus ke jalan dan tidak tiba-tiba nubruk :D
Memotret sambil bersepeda. Tangan kanan memegang stang sepeda, tangan kiri memegang Hp, kaki mengayuh, mata memandang kedepan supaya tetap fokus ke jalan dan tidak tiba-tiba nubruk 😀
Kalau ditengah perjalanan haus, tidak usah khawatir. Di beberapa ruas jalan ada keran bisa langsung minum air dari sini.
Kalau ditengah perjalanan haus, tidak usah khawatir. Di beberapa ruas jalan ada keran bisa langsung minum air dari sini.

Dari Den Haag, kami menuju Leiden terlebih dahulu. Karena suami sudah hafal luar kepala jalur bersepeda menuju Leiden, kami tidak menggunakan peta atau aplikasi Fietsknoop. Sebenarnya tanpa menggunakan aplikasi ataupun peta juga bisa karena disetiap titik jalur bersepeda selalu tersedia peta dan bisa dilihat kita sedang dititik nomer berapa kemudian melihat pada peta kita ingin ke titik nomer berapa. Petunjuknya sangat jelas, dan mudah-mudahan meminimalisir tingkat tersasar khususnya untuk orang seperti saya yang memang gampang sekali kesasar. Ditengah perjalanan, tanpa sengaja kami melewati kantor VVV di Teylingen. Jadi VVV ini adalah kantor pusat informasi tentang tempat wisata, rute bersepeda (fietsen), rute berjalan kaki (wandelen), museum, taman, dan tempat wisata lainnya yang ingin dikunjungi. Ada banyak brosur yang tersedia disini, kebanyakan gratis tapi ada beberapa yang harus beli, contohnya peta rute bersepeda ini kami beli seharga €1,20. Kalau rute jalan kaki disediakan gratis. Disini kita bisa bertanya apapun yang ingin kita ketahui tentang yang berhubungan dengan tempat wisata. VVV ini ada disetiap provinsi di Belanda. Bagi turis yang ingin bersepeda, bisa menyewa sepeda OV (OV Bicycle) di stasiun. Keterangan lebih lengkapnya bisa dilihat di website resmi mereka atau menyewa di area Keukenhof, hanya saya kurang jelas harga sewa sepedanya berapa.

Peta yang kami gunakan.
Peta yang kami gunakan.
Tanda bersepeda dan peta didepan sana yang menunjukkan pemberhentian dititik nomer berapa.
Tanda bersepeda dan peta didepan sana yang menunjukkan pemberhentian dititik nomer berapa.

Hal seru yang kami rasakan saat bersepeda adalah ketika bertemu sesama rombongan bersepeda lainnya dan kami saling bertegur sapa, saling melemparkan kata “Halo” atau “Hai” atau “Hoi.” Ada saatnya kami menolong keluarga yang nampak kebingungan harus menuju arah mana, ada saatnya kami berbincang dengan mahasiswa-mahasiswa dari Universitas Leiden yang sedang beristirahat. Hal lain yang tidak kalah menyenangkan yaitu kami membawa bekal makan siang dan beberapa makanan ringan lainnya, jadi semacam piknik. Saya yang tidak mau repot memasak, hanya membuat sushi. Kalau menuruti rasa ingin, harapannya bisa membawa nasi bakar, lalapan, ikan asin, tahu dan tempe goreng. Tapi karena rasa malas memasak sedang datang, sushi saja sudah cukup. Sebenarnya kami membawa tikar juga, tetapi karena menemukan bangku yang nyaman untuk tempat makan, maka rencana makan lesehan beralaskan tikar kami simpan dahulu. Makan siang dengan pemandangan serba hijau dan didekat kincir angin ditemani angin yang super kencang menjadi pengalaman tidak terlupakan.

Istirahat sembari menikmati bekal makan siang
Istirahat sembari menikmati bekal makan siang
Bekalnya Sushi
Bekalnya Sushi

Setelah beberapa jam bersepeda melintasi desa, akhirnya satu persatu ladang tulip bisa kami jumpai. Girang bukan kepalang saya rasakan. Ingin loncat-loncat saja rasanya melihat secara dekat hamparan warna warni tulip dan bunga lainnya yang dahulu saya lihat dari dalam Keukenhof. Sekarang saya bisa masuk kedalam ladang tulip secara langsung. Ladang-ladang tulip yang kami lalui ini sebagin besar berada pada jalur rute bersepeda maupun rute berjalan kaki. Jadi terkadang tersembunyi dari jalan besar yang dilalui mobil.

Tulip kuning. Gemes!
Tulip kuning. Gemes!
Tulip ungu
Tulip ungu
Semburat kuning dan oranye
Semburat kuning dan oranye

Secara tidak terduga, ditengah perjalanan kami menjumpai parade bunga. Kami lalu menghentikan laju sepeda dan memarkirnya untuk sesaat larut dalam kemeriahan iring-iringan parade bunga. Kalau dua tahun lalu saya harus berdesakan untuk melihat parade bunga ini di Keukonhof, namun kali ini saya berada dibarisan pertama tanpa harus berdesakan dengan penonton lainnya. Bahkan suami menonton parade bunga sembari duduk di rerumputan. Hanya sekitar 30 menit kami melihat parade ini dan kembali mengayuh sepeda untuk melanjutkan perjalanan. Informasi parade bunga atau dalam bahasa Belanda adalah Bloemencorso bisa dilihat pada website resmi mereka di Bloemencorso Bollenstreek.

Bloemencorso Bollenstreek
Bloemencorso Bollenstreek
Bloemencorso Bollenstreek
Bloemencorso Bollenstreek

Kalau melihat ladang bunga seperti ini, serta merta ingatan saya langsung tertuju pada berita rusaknya kebun bunga Amaryllis di Jogjakarta. Karena hasrat eksistensi diri atau hasrat ingin mengunggah foto di media sosial, harus dibayar dengan merusak keindahan bunga dikebun tersebut. Selama mengunjungi beberapa ladang tulip, saya melihat pengunjung lainnya bersikap santun, tidak merusak, tidak menginjak-nginjak ataupun tidur gegoleran hanya untuk mengikuti nafsu mengunggah foto diri di media sosial. Kalaupun ingin mengambil foto diantara tulip-tulip, maka mereka berjalan sangat hati-hati, memastikan bahwa kaki mereka tidak menginjak satupun bunga. Mudah-mudahan sikap seperti ini juga bisa ditiru di Indonesia. Menikmati keindahan dengan cara yang wajar dan santun, tidak hanya memuaskan hasrat eksistensi tetapi tidak mengindahkan etika dan tata krama.

Menikmati tulip melalui lensa kamera
Menikmati tulip melalui lensa kamera
Hamparan tulip
Hamparan tulip
Terpesona
Terpesona
Hyacinth
Hyacinth

Saya sudah bercerita beberapa kali melalui tulisan-tulisan terdahulu bahwa cuaca di Belanda itu sangat cepat berganti dalam satu hari, karenanya melihat prakiraan cuaca sangatlah dibutuhkan disini karena tingkat keakuratan yang tinggi. Sampai ada yang menyebut bahwa dalam satu hari bisa terjadi 4 musim. Hal ini kami buktikan selama bersepeda sabtu kemarin. Dalam satu hari melintasi kota dan desa kami harus berjuang dengan segala cuaca. Di satu kota cuaca hangat  dengan matahari bersinar cerah, kemudian di kota sebelahnya mendung gelap, hujan dan angin sangat kencang sampai saya nyaris jatuh dari sepeda beberapa kali karena tidak sanggup menahan laju angin. Setelahnya panas kembali, lalu tiba-tiba hujan es. Iya, dimusim semi seperti ini masih saja hujan es. Malah saya mendengar siaran berita dibeberapa kota dibagian utara turun salju. Pada hari minggu saat saya menulis postingan ini, hujan es tidak berhenti turun ke bumi. Tetapi dengan melalui beberapa cuaca dalam satu hari kemudian melihat pelangi muncul di ladang tulip paling akhir yang kami kunjungi, rasanya lengkap sudah petualangan satu hari bersepeda menyusuri keindahan ladang tulip. Kami berhitung sampai 3 kali melihat pelangi selama perjalanan pulang, sampai suami berseloroh ada kabar gembira apa yang sudah menunggu dengan pertanda 3 pelangi tersebut.

Pelangi di ladang tulip.
Pelangi di ladang tulip.

Belum semua tempat bisa kami kunjungi, mungkin tahun depan kami akan kembali lagi kesini, tidak melalui rute sepeda, mungkin melalui rute jalan kaki. Kami sudah rindu rasanya menghirup aroma wangi bunga yang menguar selama perjalanan, berjumpa gadis kecil yang menunggu tulip untuk dijual, ataupun membeli bunga tulip di kios tanpa penjaga dan cukup menaruh uang sesuai harga yang tertera pada kotak yang sudah tersedia. Kunjungan selanjutnya kami ingin menyusuri pantai, menyaksikan matahari terbenam dan tetap melintasi ladang tulip melewati rute lainnya. Jam 10 malam kami tiba dirumah setelah menempuh 90 km bersepeda sejak jam 11 pagi. Rasa capek terbayarkan dengan melihat kembali foto-foto selama bersepeda yang beberapa kami bagikan melalui cerita di blog ini.

Jika ada yang tertarik untuk melihat keindahan tulip, kami sarankan untuk datang pertengahan april sampai akhir april karena itu adalah waktu terbaik saat tulip sedang mekar-mekarnya. Sampai bertemu di cerita tulip selanjutnya, dan kami menunggu cerita tulip versi kalian 🙂

Taun depan kami akan mengunjungi kalian kembali wahai tulip-tulip yang indah
Tahun depan kami akan mengunjungi kalian kembali wahai tulip-tulip yang indah

-Den Haag, 24 April 2016-

Semua foto adalah dokumentasi pribadi

Aachener Dom (Cathedral) and Domschatzkammer (Cathedral Treasury)

Aachen -like so many other cities in Germany- clearly show the scars of World War II. The Allied Forces mercilessly bombed German cities of any importance in order to weaken the Nazi regime and Aachen was no exception. If that was not enough, Aachen also became in the frontline of an intense battle between the American and German army in October 1944, destroying large parts of the city. Luckily for us today some of the most important buildings were spared and still there to visit, among them the Aachener Dom. In 1978 it was one of the first 12 sites to make the entry into the UNESCO list of World Heritage Sites. It was the first German site and one of the first three European sites to be admitted. Two decades of restoration work on the dome was completed in 2006.

Aachener Dom
Aachener Dom
MILNG005994
Aachener Dom area during World War II

Aachen is nowadays a city with some 250.000 inhabitants and is situated close to the Belgium and Dutch border. Besides the Aachener Dom the city center contains interesting buildings like the Rathaus and the Elisenbrunnen, an 18th century center for the rich Europeans that came to Aachen for its curing Mineral Wasser Brunnen (mineral water sources). Such buildings remind us of Aachen’s rich and important place in European history. Of those buildings the Aachen’s Cathedral –Dom as the German people name it- is the most visible and important.

The history of the Dom goes back 1200 years when Charlemagne reigned in large parts of Europe and tried to restore the grandeur and importance of the Roman empire. Charlemagne made Aachen into one of his residences within his empire. In Aachen he would settle a few months throughout the year with his royal court. In later times, during the medieval age the Dom was used to crown the German emperors.

Charlemagne as depicted in a 14th century bust
Charlemagne as depicted in a 14th century bust

From the outside the Dom does not immediately impressed me like for example the Cologne Dom. It clearly consists of different parts that were built over very different periods and the ongoing constructions  make it difficult to get a good overall impression of the outside  the Dom. The entrance of the Dom might appear a bit underwhelming.

The modest entrance of the Dom
The modest entrance to the Dom

We are entering here through one of the earliest stages of the church established by Charlemagne. In the entrance hall you pass by two very ancient Roman sculptures: a bronze pine cone and a wolf. Then you enter the main hall of the Dom. This is a very impressive experience: the decorations on the walls and ceilings are truly splendid.

The decorations of the Dom's ceilings
The decorations of the Dom’s ceilings
The decorations of the Dom's ceilings
The decorations of the Dom’s ceilings

Keep remembering though that what you see are treasures from very different periods. Some of the golden relics date from between 1000 to 1400. The main foundation of the church with its beautiful columns from marble and granite dates from the time of Charlemagne. The stained-glass windows are from relatively recent dates (post World War II).

The stained-glass windows of the Dom.
The stained-glass windows of the Dom
Civitatis Dei (Home of God), a beautiful mosaic
Civitatis Dei (Home of God), a beautiful ceiling mosaic

After your visit to the Dom I advise you to go to a close location: the Dom Information Center. Here you can reserve your place for a guided tour that allows you to visit places that are not accessible for the common visitor. The tour takes around 45 minutes and takes place every hour. The admission fee is around 5 euro. In the same office you can buy tickets for the Domschatzkammer, the treasury of the Dom. Tickets for the treasury a little more expensive than the tour tickets, buit it is totally worth visiting the treasury for there are so many beautiful paintings, sculptures, textiles and other objects to see.

Entrance to the treasury.
Entrance to the treasury

I do not pretend to have a very extensive knowledge of European cathedrals but from the ones I have visited I can say that the Aachener Dom is among the most beautiful places to visit. The DomSchatzkammer contributes to the experience of visiting a place that clearly shows the rich and glorious past of Aachen.

Ewald Kegel,

-April 12th 2016, The Hague-

Cerita Akhir Pekan : Berkunjung ke Aachen dan Monschau

Monschau nampak dari atas bukit

Setelah minggu sebelumnya kami berlibur melintasi desa dan kota-kota kecil di Alsace Region dan Burgundy Region, Perancis, maka akhir pekan kali ini kami jalan-jalan sebentar ke Jerman. Rencana awalnya akan ke Frankfurt karena suami sudah membeli tiket ke Frankfurt Musikmesse, yaitu pameran bertaraf International yang berhubungan dengan alat-alat musik dan Industri musik. Kalau Frankfurt Book Fair yang pernah kami kunjungi sebelumnya adalah pameran Internasional yang berkaitan dengan Industri buku dan buku itu sendiri. Karena suami memang hobi bermusik dan minatnya besar pada musik, maka setiap tahun pasti menghadiri Frankfurt Musikmesse.

Tahun lalu, para kolega kantor Mas Ewald memberi kado wellness weekend. Lha kok ternyata akhir pekan ini masa berlakunya akan berakhir. Akhirnya kami memutuskan untuk menginap semalam di Pullman Hotel Aachen, memanfaatkan kado. Saya sudah membayangkan bisa massage disini, eh ternyata harus mendaftar dulu jauh-jauh hari. Akhirnya saya hanya bisa memanfaatkan fasilitas fitness centre, berenang, sementara suami lanjut sauna. Malamnya tidur nyenyak sekali karena badan segar setelah berolahraga.

Pullman Hotel
Pullman Hotel

Aachen

Kami menyempatkan diri untuk mengelilingi pusat kota Aachen yang memang tidak terlalu besar. Hal itu terbukti dalam waktu beberapa jam saja kami sudah mengunjungi semua tempat wisata maupun sudut-sudut kota Aachen bahkan sampai lorong-lorongnya (karena mencari restaurant untuk makan siang, akhirnya tertarik untuk mencoba makanan Lebanon). Aachen adalah kota paling barat di Jerman yang berbatasan langsung dengan Belanda dan Belgia. Penduduk Aachen sekitar 250.000 orang. Salah satu bangunan yang terkenal di Aachen adalah Cathedral. Bahkan Aachen Cathedral masuk pada Unesco Heritage list. Begitu masuk kedalam, kami terpana dengan desain bangunannya. Berbeda dengan beberapa katedral yang sudah kami datangi sebelum-sebelumnya. Aachen Cathedral dengan kubah berbentuk segi delapan ini nampak megah dengan hiasan dilangit-langitnya yang mewah dan menawan, juga seperti ada cerita yang ingin ditorehkan pada langit-langit tersebut. Cerita tentang Aachen Cathedral ini akan dituliskan secara lengkap oleh suami pada postingan selanjutnya.

Aachen Cathedral
Aachen Cathedral
Salah satu sudut dinding dan langit-langit di Aachen Cathedral
Salah satu sudut dinding dan langit-langit di Aachen Cathedral
Aachen Cathedral
Aachen Cathedral
Museum Katedral
Museum Katedral

Selain Aachen Cathedral, ada beberapa bangunan lain yang terkenal dan bernilai sejarah, misalkan balai kota, sumber mata air alami terpanas di Eropa, beberapa museum (Couven-Museum, Museum Suermondt-Ludwig, Museum koran Internasional), Grashaus di Fischmarkt (awalnya adalah balai kota yang dikemudian hari berubah menjadi perpustakaan), teater Aachen, aktifitas di alun-alun, maupun pusat perbelanjaan.  Ada hal yang menarik perhatian kami selama berkeliling pusat kota Aachen yaitu keberadaan patung-patung yang artistik dan mencuri perhatian. Aachen tidak hanya lekat dengan sejarah, museum maupun Cathedral, tetapi juga terkenal dengan 4 universitasnya serta pada EXPO 2000 di Hanover, Aachen diperkenalkan sebagai daerah model Eropa, sebagai contoh yang baik dari perubahan struktural yang sukses dari daerah pertambangan dan industri konvensional menjadi salah satu lokasi teknologi tinggi besar Eropa. Aachen sangat layak dikunjungi karena kota ini mampu menyajikan sejarah dari waktu ke waktu secara fisik dan visual.

Salah satu patung di Aachen. Wanita berpayung (mudah-mudahan benar saya menginterpretasikannya)
Salah satu patung di Aachen. Wanita berpayung (mudah-mudahan benar saya menginterpretasikannya)

Monschau

Keesokan harinya, saat pagi hari, tiba-tiba suami mengatakan perutnya sakit dan membatalkan untuk pergi ke Frankfurt. Setelah ditunggu beberapa saat, perutnya perlahan membaik. Saat sarapan, dia mengusulkan untuk pergi ke sebuah kota yang letaknya dekat dengan Aachen karena saat itu cuaca sedang bagus, matahari bersinar cerah. Kami berkendara kesana dari Aachen sekitar 50 menit. Nama kota tersebut adalah Monschau.

Monschau adalah kota kecil yang dikelilingi perbukitan dan pegunungan didaerah Eifel, Jerman. Kota kecil ini adalah kota turistik namun penataannya sangat apik, unik, bahkan saya menyebutnya ini adalah kota vintage karena lorong-lorongnya dan bangunannya menimbulkan kesan seperti itu. Monschau mengingatkan saya akan Strasbourg karena tipe rumah maupun penataan kotanya mirip. Berkeliling kota Monschau tidak akan membosankan karena selain warna warni rumah disana yang memanjakan mata, juga pemandangan alamnya yang memukau, suara air yang mengalir melewati bebatuan pada sungai, naik ke atas bukit untuk melihat keseluruhan kota. Jika sudah bosan dengan kebisingan kota besar, maka mengunjungi kota kecil nan memukau seperti Monschau ini bisa dijadikan alternatif liburan.

Monschau
Monschau
Naik ke bukit untuk melihat Monschau dari atas
Naik ke bukit untuk melihat Monschau dari atas
Monschau nampak dari atas bukit
Monschau nampak dari atas bukit
It's Spring!
Hello Spring!

Vaals

Setelah dari Monschau, kami bergegas pulang. Tetapi ada satu tempat lagi yang kami kunjungi saat melewati jalan menuju Den Haag. Tempat itu adalah Drielandenpunt yang terletak di Vaals, Belanda. Drielandenpunt ini adalah tugu batu setinggi kurang lebih setengah meter yang terletak ditengah lingkaran yang terbagi menjadi 3 bagian yang merupakan representasi dari wilayah Belanda, Belgia, dan Jerman. Jadi singkatnya Drielandenpunt ini adalah titik perbatasan tiga negara. Sayang karena kami tidak bisa berlama-lama disana karena harus sampai Den Haag sebelum jam 7 malam, tugu ini tidak bisa kami temukan. Kami naik ke menara dengan membayar 3 euro untuk bisa menyaksikan wilayah 3 negara. Rasanya luar biasa juga ya melihat dari ketinggian ketiga wilayah negara. Saya tidak berani berdiri sampai ujungnya. Membayangkan menggantung begitu jadi ngeri sendiri. Sedangkan suami malah betah berlama-lama diujung sana.

Menara untuk melihat 3 negara sekaligus
Menara untuk melihat 3 negara sekaligus
Wilayah Belanda
Wilayah Belanda
Wilayah Jerman
Wilayah Jerman
Wilayah Belgia
Wilayah Belgia
Tugu yang menyatakan bahwa tempat ini adalah yang tertinggi di Belanda
Tugu yang menyatakan bahwa tempat ini adalah yang tertinggi di Belanda yaitu 322 meter diatas permukaan air laut.

Lama perjalanan dari Vaals ke Den Haag yaitu 2.5 jam. Sebenarnya kami harus sampai di Den Haag sebelum jam 7 malam karena saya ingin makan mie di restaurant mie yang terkenal enak di Den Haag, namanya Seleraku. Kami kesini sebelumnya sampai 3 kali selalu tidak beruntung. Kalau tidak sedang tutup ya menjelang tutup. Karenanya kami bertekad kali ini harus bisa makan disini. Sesampainya disana ternyata tempatnya ramai sekali, dan lagi-lagi kami nyaris tidak bisa makan disini karena meja dan kursi penuh terisi. Beruntung ada dua orang yang selesai makan berbaik hati untuk segera pergi. Akhirnya makan mie juga. Saya pesan mie jamur tahu, sementara suami pesan nasi campur pedas dan es krim durian. Wah, rasa mie disini memang oke punya. Sampai ketika menulis ini saya masih ingat rasanya *lalu mendadak pengen makan mie tengah malam.

Mie Tahu Jamur Seleraku
Mie Tahu Jamur Seleraku

Akhir pekan kami ditutup oleh cuaca di Den Haag yang sangat cerah sehingga kami memutuskan untuk bersepeda ke hutan dilanjutkan jalan kaki mengelilingi hutan dan danau. Kalau seperti ini, rasanya memang musim semi. Kalau hujan turun, mendadak rasanya hati ikutan murung. Meskipun mataharinya terang seperti ini, hawanya tetap dingin karena dibawah 10 derajat.

Wat een mooi weer!
Wat een mooi weer!

Bagaimana dengan akhir pekan kalian? ada cerita seru apa? Selamat beraktivitas, selamat hari senin  dan semoga satu minggu kedepan keberkahan dan kebahagiaan selalu menyertai.

-Den Haag, 10 April 2016-

Semua foto adalah dokumentasi pribadi

Cerita Perjalanan Menyusuri Indahnya Perancis

Salah satu sudut Colmar

Pagi itu dengan mata yang terasa lengket tidak mau diajak kompromi untuk terbuka dan menahan kantuk yang luar biasa karena baru tidur 4 jam, saya membantu suami memasukkan barang-barang ke mobil. Bahkan saya menolak diajak sarapan jam 5 pagi dan lebih memilih melanjutkan tidur sebentar sebelum waktu subuh datang. Suami sangat antusias dengan perjalanan kami kali ini, melebihi saya, dan dia mempercayakan pada saya untuk membuat daftar tempat-tempat yang akan dikunjungi. Maklum saja, perjalanan kali ini adalah yang terlama setelah saya pindah ke Belanda. Perjalanan terlama sebelumnya adalah saat kami berbulan madu selama 1 bulan keliling dari Bali sampai Bandung melalui perjalanan darat. Road trip ke Perancis selama 8 hari ini adalah hadiah ulang tahun dari suami.

Pertengahan Januari, suami sudah bertanya apa yang saya inginkan untuk ulang tahun. Sejak pindah ke Belanda, suasana pada saat pertambahan angka usia tidak lagi sama. Kalau dulu saya terbiasa merayakan dengan keluarga dan teman-teman dekat, tapi tidak sejak memutuskan hidup disini. Teman-teman yang cocok dihati belum terlalu banyak saya dapati, meskipun ada tetapi tinggalnya dikota yang harus ditempuh beberapa jam berkereta. Akhirnya saya lebih memilih untuk pergi berlibur bersama suami menuju usia yang tidak lagi serupa. Tahun kemarin liburan ulang tahun disekitar Belanda saja, antara lain ke Giethoorn dan Zaanse Schans. Tahun ini saya ingin merayakan di negeri tetangga.

The Old Quarter, Luxembourg City, a UNESCO World Heritage Site in 1994.
The Old Quarter, Luxembourg City, a UNESCO World Heritage Site in 1994.
Strasbourg dari atas Katedral
Strasbourg dari atas Katedral
Salah satu sudut Strasbourg
Salah satu sudut Strasbourg

Awalnya pilihan jatuh ke Belgia. Tetapi beberapa kali saya mengubah negara tujuan. Menjelang pertengahan Februari baru menetapkan pilihan untuk ke Perancis saja. Tetapi karena Perancis luas, saya memilih yang dekat-dekat dulu. Lama liburan disesuaikan dengan cuti suami dan ijin saya kerja. Setelah berdiskusi, saya menetapkan ingin mengunjungi Strasbourg dan Colmar (region Alsace) serta Dijon (region Burgundy) yang dikemudian hari mengalami beberapa perubahan ditengah perjalanan. Memilih AirB&B yang letaknya tidak dipusat kota tetapi melipir dari kota utama menjadi pengalaman tersendiri buat kami karena keindahan yang disuguhkan alam disekitar rumah tempat menginap membuat kami betah mendengarkan suara burung berkicau sambil melihat hamparan warna hijau bukit yang mengelilingi, maupun sekedar berjalan kaki membeli roti dan mencium aroma manis roti yang baru keluar dari oven ditoko dekat dengan kami tinggal. Saya 8 hari betah tidak makan nasi ataupun mencari sambal karena senang dengan segala aneka roti di Perancis, bahkan kejunya. Kami menginap di Dingsheim, Andolsheim, dan Saisy.

Kastil Lichtenberg
Kastil Lichtenberg
Kastil Haut-Barr di Saverne
Kastil Haut-Barr di Saverne
Kastil di Wangenbourg
Kastil di Wangenbourg
Kastil Haut-Kounigsbourg
Kastil Haut-Kounigsbourg

 Hal yang menyenangkan kalau road trip adalah bisa mampir-mampir ataupun mengganti tujuan perjalanan dengan lebih fleksibel, misalkan kami bisa mampir di Luxembourg untuk melihat The Old Quarter yang ada didaftar Unesco Heritage Site  dan beberapa tempat lain disekitarnya, bahkan pada akhirnya kami memutuskan untuk tidak pergi ke Dijon, mengganti ke Baune dan Autun. Sewaktu berangkat, saya hanya memberikan daftar tempat yang akan dikunjungi berdasarkan penelusuran di google yang tentu saja merupakan tempat-tempat turistik. Memang itu yang saya cari karena bisa datang ke tempat yang fotonya selama ini hanya bisa saya lihat dari majalah ataupun internet. Ternyata setelah membeli peta di Strasbourg dan Beaune, suami ingin wisata alam juga. Jadilah penambahan beberapa tempat ditengah perjalanan, bahkan mengunjungi beberapa kastil karena memang letaknya berdekatan dan sejalan menuju kota selanjutnya. Entah karena berbarengan dengan liburan Paskah, beberapa tempat turistik yang kami kunjungi tidak terlalu ramai. Atau mungkin pada saat kami kesana masih pagi jadi belum terlalu banyak turis yang datang.

C. de la Schlucht
C. de la Schlucht
Gerardmer
Gerardmer

Liburan yang mengalir seperti ini juga penuh kejutan. Kejutan manis maupun agak asem. Kejutan asemnya ketika mobil terperosok kedalam tumpukan es saat kami ingin berhenti sejenak dipuncak gunung menuju Gerardmer. Beruntungnya ada dua mobil yang berhenti ikut membantu yang pada akhirnya memang harus mendatangkan truk derek. Terharu sekali dipinggir jalan, yang sepi dilalui kendaraan tiba-tiba ada yang berhenti untuk menolong. Awalnya kami tegang dengan kejadian yang diluar kuasa seperti ini, tapi saat menunggu truk derek datang kami jadi tertawa bahkan suami bilang “ini tadi kenapa ga berhenti 10 meter didepan, jadinya malah terperosok ke selokan.” *parit mas bukan selokan. Kejutan manisnya beberapa menit dari tempat kejadian terperosok, kami melintasi tempat main ski. Saya girang bukan kepalang melihat gunung berwarna putih seperti itu. Setelah mendapat musibah datang kejutan indah, mungkin seperti itu analoginya. Informasi tentang Gerardmer saya intip dari tulisan Fe di Cerita4musim tapi saya ga ngeh kalau disitu ada foto orang-orang main ski. Saya yang memang dari dulu ingin sekali merasakan hujan salju, akhirnya kesampaian juga saat diatas gunung tiba-tiba hujan salju deras sekali. Dulu inginnya hanya merasakan hujan salju (meskipun di Den Haag sempat ada tapi tipis dan sebentar), sekarang malah dikasih kesempatan naik gunung tempat main ski juga. Karena libur Paskah, tempatnya sepi, hanya beberapa orang saja yang datang kesini. Saya main perosotan pakai kaki yang hanya beralaskan sepatu lari dan menggunakan jaket musim semi. Norak sih waktu disana sampai jejingkrakan karena bisa pegang salju. Namanya juga pengalaman pertama dan tidak terduga.

Eguisheim. Gang saja bisa romantis begini ya, jadi membayangkan adegan di film Before Sunrise :D
Eguisheim. Gang saja bisa romantis begini ya, jadi membayangkan adegan di film Before Sunrise 😀
Sudut Eguisheim
Sudut Eguisheim

Mendatangi tempat yang selama ini hanya dilihat lewat majalah ataupun internet rasanya membuat bibir tidak berhenti menyunggingkan senyuman maupun bersorak dalam hati, girang. Rasanya seperti, wah akhirnya kesampaian juga ya kesini. Melihat rumah warna warni yang bentuknya unik di Strasbourg, Eguisheim maupun Colmar seperti masuk ke dunia dongeng. Menyusuri jalan setapak ditengah cuaca yang dingin dan mendung sembari mengamati satu persatu keunikan bangunan – bangunan tersebut dan terdengar sayup musisi jalan memainkan Accordion, menimbulkan perasaan romantis. Ditambah lagi bahwa ini adalah Perancis, apa yang tidak romantis di Perancis. Melihat meja dengan 2 bangku berwarna kuning dan bunga berwarna kuning di sudut jalan saja rasanya ingin menggandeng tangan suami mengajak duduk disana *lalu beli makan dan minuman sekalian, lapar :p

Colmar
Colmar
Salah satu sudut Colmar. Gemes ya lihat warna warni rumahnya
Salah satu sudut Colmar. Gemes ya lihat warna warni rumahnya

Tepat seminggu lalu saya bertambah angka usia dengan iringan doa dari Ibu dan suami serta ucapan dari teman-teman dekat. Tidak banyak yang saya haturkan pada yang Kuasa ditanggal kelahiran, semoga selalu bisa bersyukur disegala keadaan, sehat dan bahagia bersama seluruh keluarga. Hari itu saya mendapat kejutan dari pemilik rumah di Saisy. Pada saat sarapan mereka menghidangkan kue kecil khas Inggris sebagai pengganti kue ulang tahun. Mereka adalah keluarga dari Inggris tetapi bermukim sudah lama di Saisy, menikmati masa-masa pensiun disebuah rumah didesa kecil diatas bukit. Saya dan suami sarapan didapur sekaligus ruang makan yang hangat, menghirup aroma Croissant dan Baguette buatan pemilik rumah yang baru keluar dari panggangan, sambil melihat hamparan bukit hijau, hening terhipnotis dengan suasana damai.

Hôtel-Dieu, Beaune, rumah sakit bagi masyarakat miskin yang dibangun oleh Kanselir Nicolas Rolin dan istrinya pada pertengahan abad ke-15
Hôtel-Dieu, Beaune, rumah sakit bagi masyarakat miskin yang dibangun oleh Kanselir Nicolas Rolin dan istrinya pada pertengahan abad ke-15
Katedral Saint-Lazare di Autun
Katedral Saint-Lazare di Autun

Pagi menuju siang kami mengunjungi Beaune dan Autun. Salah satu tempat di Beaune yang kami datangi adalah Hôtel-Dieu, sebuah rumah sakit yang dibangun untuk masyarakat yang tidak mampu pada pertengahan abad 15. Sekarang tempat ini menjadi museum. Menjelajah setiap ruangan di museum ini seperti diingatkan untuk selalu menjaga kesehatan dan merawat betul badan dengan pikiran positif, asupan yang bergizi maupun olahraga. Sehat itu menjadi mahal kalau sudah terlanjur sakit. Umur memang hanya Tuhan yang tahu berhenti diangka berapa, tetapi merawat yang dititipkan adalah salah satu bentuk tanggungjawab dan rasa syukur. Dalam perjalanan ke Perancis kali ini selain menjelajah kota, alam, dan kastil, kami juga banyak sekali mendatangi Katedral maupun Gereja. Senang melihat struktur bangunannya maupun sejarah masing-masing Katedral dan Gereja tersebut. Seringnya saya duduk dibangku belakang dan memperhatikan beberapa orang yang sedang khusyuk beribadah. Rasanya tenang dan damai.

Lac de Settons
Lac de Settons

Berjalan kaki mengelilingi Lac de Settons dan Gerardmer atau menyusuri hutan disekitar kastil Wangenbourg, hiking menuju kastil, mendengarkan suara gemericik aliran sungai kecil ditengah hutan menuju air terjun Nideck (Cascade du Nideck), mencium aroma daun dan kayu yang basah karena tetesan gerimis dan suara burung yang saling bersahutan, adalah kemewahan yang tiada tara. Berbincang dengan suami sembari bersenda gurau dari topik yang ringan sampai yang serius akhir-akhir ini terjadi di dunia, atau membicarakan rencana-rencana kami kedepan. Sore itu dihari ulang tahun, kami menghabiskan sore mengelilingi Lac de Settons. Meskipun langit mendung dan sempat gerimis, tetapi tidak menyurutkan langkah beberapa orang yang kami lihat berjalan mengelilingi danau juga. Hari ulang tahun memang akan segera berganti hari yang lain, tandanya hidup memang terus berjalan. Yang penting setiap hari dibawa gembira dan berpikir positif. Tidak terlalu memusingkan perkataan tidak menyenangkan orang selama apa yang saya lakukan tidak menyimpang dari aturan dan tidak merugikan.

Mungkin kami akan kembali lagi menyusuri desa-desa lainnya di Perancis saat vineyards sudah tidak gundul lagi karena suami ingin sekali ikut tour merasakan wine didesa-desa tersebut. Kemarin dia Wine Tour juga sih, tapi di restaurant :D. Saya senang sekali dengan liburan kali ini, kembali ke alam, menyusuri desa dan kota kecil, suasana tenangnya mengingatkan desa di Ambulu. Melintasi desa dengan bangunan unik berwarna warni ataupun berhenti untuk menggerakkan badan dan makan roti dipinggir hutan sembari mendengarkan lonceng yang berbunyi dari gereja. Tidak sabar dengan rencana jalan-jalan berikutnya.

Ini video amatir dari perjalanan kami. Kenapa amatir karena sebenarnya saya tidak niat membuat videonya, hanya iseng mengisi waktu sambil duduk disamping suami yang menyetir. Tapi kata suami lebih baik digabung-gabung saja, sebagai kenang-kenangan. So, please enjoy this video!

-Den Haag, 5 April 2016-

Semua dokumentasi adalah milik pribadi

Berkeliling Texel Dalam Satu Hari

Vuurtoren Texel. Vuurtoren = Mercusuar.

Texel, nama tempat yang asing ditelinga saya saat pertama kali mendengarnya. Tetapi karena membaca pengalaman beberapa blogger yang tinggal di Belanda dan sudah pernah ke Texel, akhirnya penasaran juga untuk menelusuri seperti apa sebenarnya Texel ini. Berbekal dari informasi yang didapat melalui google, saya jadi tertarik untuk datang kesini. Saat itu bertepatan kami akan merayakan satu tahun perkawinan (jadi ini ceritanya pada Agustus 2015).

Kami berangkat dari Den Haag hari Jumat, menunggu suami pulang kerja. Beruntungnya pada bulan Agustus matahari sedang nyentrong padahal beberapa hari sebelumnya, seperti biasa cuaca di Belanda sedang tidak menentu, kalau tidak hujan ya mendung (padahal sedang musim panas). Sesampainya di Den Helder, antrian kendaraan yang akan menyeberang sudah panjang mengular. Kami harus menunggu kapal selanjutnya datang, sehingga kami memanfaatkan waktu dengan menikmati pelabuhan sembari berjemur dibawah sinar matahari, hitung-hitung mengumpulkan vitamin D :D. Kalau ke Texel tidak membawa kendaraan sendiri, bisa juga ditempuh dengan transportasi umum. Dengan kereta menuju Den Helder setelahnya bisa ditempuh dengan Ferry dan bus Texelhopper dengan total harga tiket €5.5. Menyeberang ke Texel tidak membutuhkan waktu lama, sekitar 20 menit saja.

Menyeberang ke Texel
Menyeberang ke Texel. Sepanjang perjalanan menyeberang sangat menyenangkan karena ditemani banyak burung. Anginnya kencang, tapi masih dalam taraf yang normal.

Lho, terletak dimana sih Texel ini kok pakai acara menyeberang segala? Texel adalah pulau terbesar milik Belanda, letaknya disebelah utara Belanda dan masuk provinsi Noord-Holland. Ada beberapa desa yang berada di Texel. Desa terbesar di Texel bernama Den Burg. Sedangkan 6 desa besar lainnya yaitu Den Hoorn, Oudeschild, De Waal, Oosterend, De Cocksdorp, dan De Koog. Selebihnya desa kecil-kecil saja.

Sumber : welt-atlas.de
Sumber : welt-atlas.de

Kami sampai di Texel sudah sore menjelang malam tetapi matahari masih bersinar terang, maklum saja musim panas dimana matahari baru tenggelam antara jam 9 atau 9.30 malam. Kami langsung menuju Bed and Breakfast (B&B), tempat kami menginap dua malam selama di Texel, tepatnya didesa Spangerweg yang terletak antara Den Burg dan Oosterend. Rumahnya menyenangkan, letaknya tepat didepan padang rumput yang pada saat kami datang penuh dengan domba yang sedang merumput. Sayang saya lupa mengabadikan. Selain B&B, pilihan hotel untuk tempat menginap di Texel juga banyak jumlahnya. Jika tidak ingin menginap di Hotel maupun B&B, pilihan menginap ditenda juga memungkinkan karena ada beberapa tempat yang menyediakan persewaan tenda atau mungkin mau bawa sendiri juga bisa. Saya juga melihat banyak camper van dibeberapa area.

Domba yang tinggal sedikit karena sudah menjelang malam.
Domba yang tinggal sedikit karena sudah menjelang malam.
Menginap ditenda
Menginap ditenda

Keesokan harinya setelah sarapan, kami menuju tempat penyewaan sepeda yang berjarak sekitar 20 menit berjalan kaki (adanya didesa sebelah). Untuk menjelajah seluruh pulau Texel menurut kami memang yang paling ideal adalah dengan menggunakan sepeda karena lebih leluasa untuk berhenti dimanapun bahkan sampai masuk desa-desa kecilnya. Jika tidak membawa sepeda sendiri, jangan khawatir di Texel banyak sekali tempat yang menyewakan sepeda. Kami menyewa sepeda jenis tandem seharga €15 untuk 24 jam. Lumayan murah kan, tinggal modal betis dan kaki kuat buat ngontel biar ga sengklek seharian berkeliling Texel.

Sepeda tandem
Sepeda tandem

Sepeda sudah didapat, saatnya petualanganpun dimulai tepat jam 8 pagi. Cuaca sangat mendukung karena sangat cerah. Matahari bersinar terik sehingga hangatnya sangat terasa dikulit. Banyak pemberhentian yang bisa dikunjungi di Texel. Jangan takut kesasar karena dibeberapa tempat strategis ada peta yang ditempel pada semacam papan pengumuman dan juga ada seperti patokan sekarang kita ada dititik nomer berapa. Beruntungnya kami diberi pinjaman peta oleh pemilik B&B.

Membaca peta yang gampang ditemu dimana-mana
Membaca peta yang gampang ditemu dimana-mana

Sembari mengayuh sepeda, kami membicarakan banyak hal. Salah satunya topik yang tidak pernah bosan menjadi bahan obrolan, yaitu bagaimana kami bertemu sampai menikah. Jodoh, maut, rejeki memang sudah ada yang mengatur dan tidak akan pernah tertukar. Meskipun proses menujunya kadang ada yang mulus, kadang ada berliku dan berkelok, tetapi kalau sudah jalannya, ya akan kejadian juga. Saya ingat sekali sewaktu kaki saya mulai sakit saat mengayuh, suami menyuruh saya untuk mengistirahatkan kaki dan dia yang mengayuh sepeda sendiri. Kemudian dia berkata kepada saya, “mengayuh sepeda tandem begini ibaratnya seperti rumah tangga kita. Ada saatnya semua dikerjakan bersama, ada saatnya hanya satu orang saja yang mengerjakan yang lainnya istirahat. Tetapi sebuah rumah tangga tanggungjawabnya milik bersama, bukan hanya dibebankan pada satu orang saja. Apapun yang diputuskan, semua sudah melalui kesepakatan hasil pembicaraan, bukan karena keterpaksaan. Semua bisa berjalan kalau segala sesuatunya dibicarakan bersama. Kalau ada masalah ya diselesaikan bersama. “ Ketika pada satu tempat dia kecapaian, saya menggantikan posisinya didepan, mengayuh sepeda untuk kami berdua. Kalau kami berdua sama-sama capek, kami berhenti sejenak, menghela nafas dan menikmati pemandangan yang ada.

Duduk-duduk disini sambil mengamati burung di Natuurmonumenten
Duduk-duduk disini sambil mengamati burung di Natuurmonumenten
Capek sepedahan, istirahat lihat pemandangan seperti ini
Capek sepedahan, istirahat lihat pemandangan seperti ini

Kebetulan yang sangat menyenangkan adalah pada saat kami ke Texel, rupanya sedang ada festival laut yang diadakan di Oudeschild, pelabuhan satu-satunya yang bisa digunakan pada sisi timur pulau Texel. Ketika kami sampai disana, pas dengan waktu makan siang. Walhasil kami berkeliling dari satu stan ke stan lainnya yang banyak menyediakan makanan laut gratis. Cerita tentang festival laut ini sudah pernah saya tulis disini.

Oudeschild
Oudeschild

Texel terkenal dengan domba, sapi, dan bir. Tidak mengherankan kalau sepanjang mata memandang sapi dan domba ada dimana-mana. Jika ingin mencicipi bir Texels secara langsung, bisa langsung datang ke pabriknya karena dibelakang pabrik ada cafe dengan interior klasik.

Pabrik Bir Texel
Pabrik Bir Texels

Menyusuri desa-desa yang ada di Texel juga tidak kalah seru. Banyak hal tidak terduga yang menyenangkan bisa dijumpai. Seperti dibeberapa rumah menjual selai buatan sendiri, atau gereja yang sudah ada sejak tahun 1700an dan dihalaman belakangnya ada kuburan yang bagus-bagus dan masih terawat rapi atau tiba-tiba melihat jemuran melintas diatas jalan dan masih banyak kejutan unik yang bisa ditemukan di desa-desa ini.

Desanya apik dan bersih
Desanya apik dan bersih
Kami waktu itu bertanya-tanya sendiri, ini jemuran betulan atau semacam simbol apa gitu? entahlah
Kami waktu itu bertanya-tanya sendiri, ini jemuran betulan atau semacam simbol apa gitu? entahlah
Gereja disalah satu desa di Texel
Gereja disalah satu desa di Texel

Jangan lupa kalau sudah di Texel untuk mengunjungi mercusuarnya. Kita bisa naik dan melihat sekeliling pantai Texel dari atas mercusuar. Untuk bisa naik ke mercusuar, diwajibkan untuk membeli tiket dulu (lupa berapa harganya). Selain mercusuar, taman nasional juga menjadi daya tarik sendiri untuk dikunjungi karena didalam taman nasional ada hutan, bukit pasir dan pantai dalam satu kawasan. Unik dan menarik.

Vuurtoren Texel
Vuurtoren Texel
Bukit pasir
Bukit pasir
Pemandangan dari atas bukit pasir
Pemandangan dari atas bukit pasir

Akhir dari bersepeda selama 13 jam dan sepanjang 90 km (mampir kesana sini dan beberapa kali berhenti), kami memutuskan untuk menunggu matahari terbenam dipantai sembari bermain dengan beberapa burung yang mendekat. Ketika bangun tidur hari berikutnya, lutut saya nyeri sekali, rasanya ngilu buat berjalan. Tidak terbiasa bersepeda sepanjang 90 km. Sedangkan suami malah mengajak latihan lari.

IMG_3964

Tuntas sudah berkeliling Texel dalam satu hari dan kami bisa mendatangi semua tempat yang ada dipeta ditambah bonus  mengunjungi festival laut. Keesokan harinya kami pulang kembali ke Den Haag tepat pada ulang tahun perkawinan kami yang pertama. Pada saat sedang dikapal untuk menyeberang, secara tidak sengaja saya memotret dua buah burung yang terbang saling berjajar. Hadiah ulang tahun dari alam, begitu kami menyebutnya.

Semacam hadiah dari alam? :)
Semacam hadiah dari alam? 🙂

Tertarik untuk mengunjungi Texel?

-Andolsheim, 27 Maret 2016-

Semua foto adalah dokumen pribadi.

Pengalaman Menjadi Sukarelawan di Den Haag

Vrijwilliger = Sukarelawan

Menjadi sukarelawan bukanlah hal yang baru buat saya karena pada dasarnya saya adalah tipe orang yang cepat bosan jika tidak melakukan kegiatan jika ada waktu senggang yang banyak. Maksudnya kegiatan disini adalah yang bertemu dengan beberapa atau banyak orang dan melakukan sesuatu yang baru sesuai minat. Dengan menjadi sukarelawan banyak hal baru yang bisa saya dapat dan membuat semakin bertambah ilmu juga pengalaman. Dari masing-masing kegiatan sukarelawan yang pernah saya ikuti, suka dukanya juga berbeda-beda, ilmu dan pengalaman yang didapat pastinya juga berbeda. Tetapi sejauh ini, saya selalu menikmati kegiatan sukarelawan yang sesuai dengan minat serta disesuaikan dengan waktu yang tersedia. Sewaktu kerja di Jakarta, jika sedang tidak ada tugas kantor keluar kota pada akhir pekan, saya selalu menyempatkan diri untuk mengikuti beberapa kegiatan sukarelawan yang memang tidak jauh-jauh dari kegiatan mengajar dan bercerita karena memang saya suka dua hal tersebut. Beberapa kegiatan sukarelawan di Jakarta yang pernah saya ikuti adalah Indonesia Bercerita, Shoebox project, dan mendongeng disebuah rumah baca. Sedangkan ketika kembali kuliah di Surabaya, saya mengikuti Kelas Inspirasi (ceritanya disini). Senang bertemu kenalan baru, berbagi pengalaman dengan mereka, melatih kesabaran ketika bertemu dengan anak-anak, bahkan sering menangis terharu melihat kepolosan serta mimpi-mimpi yang sering diutarakan oleh anak-anak ini saat saya berinteraksi langsung dengan mereka. Pengalaman hidup yang tidak akan terlupakan.

Ketika pindah ke Den Haag, beberapa kenalan memberikan saran untuk mengikuti kegiatan sukarelawan sebagai sarana melatih berbicara bahasa Belanda dan untuk bersosialisasi dengan lingkungan di Belanda. Mama mertua dan suami juga menyarankan hal serupa. Pada bulan kelima sejak datang, saya mulai memberanikan diri untuk membaca dibeberapa website tentang kegiatan sukarela yang ada. Tetapi kebanyakan membutuhkan kemampuan bahasa Belanda. Saya nekat untuk mencoba melamar beberapa dan seperti sudah diduga, lamaran saya ditolak semua karena memang yang mereka butuhkan yang bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Belanda (yang saya lamar memang organisasi yang membutuhkan kemampuan bahasa Belanda selain bahasa Inggris). Sampai pada akhirnya bulan Oktober 2015, ketika guru disekolah bahasa Belanda mengatakan bahwa kemampuan berbicara saya sudah lumayan bagus (dibandingkan ketika baru masuk yang bisanya cuma hitungan dan beberapa kalimat pendek dengan tata bahasa yang acak adut) dan beliau memberikan alamat website organisasi yang mengkoordinasi sukarelawan di Den Haag, barulah saya mempunyai kepercayaan diri untuk mulai mencoba melamar lagi. Setelah memilih dan memilah, akhirnya beberapa lamaran saya kirimkan. Dibawah ini adalah beberapa pengalaman saya menjadi sukarelawan di Den Haag :

Guru Tamu di The World In Your Classroom (The World In Your Classroom)

Saya pernah menuliskan cerita sebagai guru tamu untuk kegiatan TWIYC ini pada tulisan sebelumnya disini. TWIYC adalah sebuah proyek atau kegiatan sukarela yang diprakarsai oleh pemerintah kota (Gemeente) Den Haag yang bekerjasama oleh ACCESS, PEP, The Bridge Hague, Holland Times serta AngloInfo sebagai media partner. The Hague atau yang dikenal dengan Den Haag adalah kota Internasional yang banyak sekali pendatang dari segala penjuru dunia dengan tujuan menetap ataupun bekerja. Pemerintah kota Den Haag melihat sebuah peluang dari keberagaman pendatang tersebut yang bisa dijadikan sebagai sebuah kerja sukarela (vrijwilligerswerk) sebagai sukarelawan (volunteer atau dalam bahasa Belanda disebut vrijwilliger), maka didirikanlah TWIYC. Kegiatan dalam TWIYC ini bertujuan memberikan kesempatan kepada para pendatang untuk menjadi Guest Lecturer dalam waktu satu jam pada siswa berusia 12 sampai 16 tahun disekolah menengah (Middelbare School) diseluruh Den Haag.

Presentasi tentang Indonesia disalah satu sekolah di Voorburg - Belanda
Presentasi tentang Indonesia disalah satu sekolah di Voorburg – Belanda

Sampai pada saat ini saya sudah mendatangi 4 sekolah di Den Haag untuk mempresentasikan tentang Indonesia (dengan tema keragaman kuliner tradisional di Indonesia). Saya senang dengan kegiatan ini karena bisa berinteraksi langsung dengan murid-murid dan guru serta seringkali mendapatkan kejutan-kejutan menyenangkan dari pertanyaan-pertanyaan yang terlontarkan. Senang mendapati mereka sangat antusias untuk mengetahui Indonesia. Seringnya karena terlalu banyak yang bertanya tetapi waktu yang tersedia hanya maksimal satu jam, guru yang berada dikelas membatasi pertanyaan dan murid-murid tetap berebut bertanya. Pada dua sekolah terakhir saya mempresentasikan penuh dalam bahasa Belanda karena murid-muridnya kesulitan mengerti jika saya menyampaikan semua materi dalam bahasa Inggris. Ini menjadi tantangan tersendiri untuk saya karena terus terang bahasa Belanda saya juga masih pas-pasan. Beruntungnya saya dibantu oleh guru jika ada kesulitan dengan beberapa kata.

Sukarelawan di Yayasan untuk anak-anak Difabel (Middin)

Middin adalah yayasan yang bergerak fokus untuk anak-anak difabel (differently abled yaitu anak-anak yang mempunyai perbedaan level fungsi jasmani dan atau rohani). Middin ini ada dibeberapa tempat di Den Haag. Anak-anak yang ada di Middin tinggal disana selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Sewaktu saya melamar, mereka sedang membutuhkan orang untuk membantu didapur sebagai tukang masak, menyiapkan makan malam untuk anak-anak ini serta menemani mereka makan. Karena suka masak, maka saya memberanikan diri untuk melamar. Ternyata pertanyaan pertama dari mereka adalah apakah saya suka memasak dan bisa memasak. Setelah wawancara, saya disuruh datang minggu depannya langsung bekerja untuk masa percobaan.

Berada didapur dengan kolega yang kesemuanya menggunakan bahasa Belanda membuat saya sempat kaget karena tidak bisa mengikuti alurnya. Mereka berbicara cepat sekali, saya sampai terbengong tidak paham yang diterangkan. Tapi hal tersebut tidak berlangsung lama. Setelah beberapa saat, saya sudah menyatu dengan suasana dapur. Memasak untuk anak-anak difabel tidak bisa sembarangan karena mereka mempunyai diet makanan dan minuman. Jadi sudah ada posnya siapa menyiapkan untuk anak difabel yang mana. Dan masing-masing menu harus dibaca dengan sungguh-sungguh supaya tidak ada salah. Disini saya belajar bekerjasama dan dituntut belajar dengan cepat serta konsentrasi yang tinggi. Saat mendampingi anak-anak tersebut makan juga menimbulkan perasaan haru untuk saya. Karena jadwal dari Middin tidak cocok dengan jadwal saya, akhirnya saya hanya bisa datang dua kali dan setelahnya tidak bisa melanjutkan lagi.

Sukarelawan dirumah perawatan untuk orang tua (WoonZorgcentra Haaglanden)

WoonZorgcentra Haaglanden (selanjutnya saya singkat menjadi WZH) adalah yayasan yang menangani orang tua dirumah perawatan (disebut verpleeghuis) yang ada di Den Haag tersebar dibeberapa cabang. Jadi mereka yang tinggal di verpleeghuis karena ada masalah dengan kesehatan (kesehatan badan dan atau daya ingat) tetapi dalam kondisi yang tidak parah. Berdasarkan dari informasi supervisor saya, mereka tinggal disini bisa jadi dalam jangka waktu tertentu atau dalam jangka waktu yang tidak ditentukan. Contohnya : misalkan ada orang tua yang tidak bisa berjalan dengan baik sehingga menggunakan kursi roda tetapi daya ingatnya masih baik dan tidak mempunyai masalah kesehatan yang lainnya, maka beliau tinggal disini dalam jangka waktu tertentu yang nantinya akan ditinjau ulang berdasarkan keadaan yang ada.

Mereka ada yang masih mempunyai keluarga sehingga mendapatkan kunjungan misalkan setiap minggu sekali ataupun dua minggu sekali bahkan bisa sebulan sekali. Tetapi beberapa juga sudah tidak mempunyai keluarga lagi. Untuk tinggal disini, mereka harus membayar yang diambil dari uang tunjangan.

Saya menjadi sukarelawan di WZH dengan waktu kerja dua kali dalam seminggu sejak jam 8 pagi sampai jam 3 sore. Proses menjadi sukarelawan disini sama dengan di Middin yang melewati  wawancara dan masa percobaan. Diawal ditanyakan motivasi menjadi sukarelawan apa, yang saya jawab untuk memperlancar bahasa Belanda dan untuk bersosialisasi dengan lingkungan di Belanda. Dua minggu kemudian ada kontrak kerja yang harus ditandatangani sebagai sukarelawan yang mencantumkan hak dan kewajiban saya serta diberikan tanda pengenal sebagai sukarelawan disana. Oh iya, sebelumnya saya harus mengajukan permohonan verklaring omtrent het gedrag certificate of conduct (ini semacam surat keterangan berkelakuan baik) ke Ministerie van Veiligheid en Justitie (Ministry of Security and Justice) yang biayanya ditanggung oleh WZH.

Vrijwilliger = Sukarelawan
Vrijwilliger = Sukarelawan

Apa yang saya kerjakan disini? Saya mempersiapkan makan pagi dan makan siang untuk 10 orang tua. Sebelumnya saya jelaskan dulu bahwa WZH ini ada digedung yang besar terdiri dari beberapa lantai dan tiap lantai ada beberapa bagian (afdeling). Saya ada disalah satu afdeling. Satu afdeling terdiri sekitar 20 pasien. Nah saya bertanggungjawab mempersiapkan sarapan dan makan siang hanya untuk 10 orang tua. Ada orang tua yang bisa makan diruang makan, ada yang tidak mau. Untuk yang tidak mau, saya mengantarkan makanan ke kamarnya dan mereka akan makan sendiri disana. Ada yang bisa makan diruang makan dan makan sendiri. Ada yang bisa makan diruang makan dan perlu bantuan untuk disuapi. Saya akan menyediakan makanan dulu untuk mereka yang bisa makan sendiri kemudian melanjutkan menyiapkan makanan dan menyuapi bagi yang tidak bisa makan sendiri. Ada pasien yang memang tidak bisa makan dan membutuhkan peralatan tertentu, ini yang melakukan adalah perawat.

Dalam menyiapkan makanan disini saya juga harus berhati-hati. Ada orang tua tertentu yang tidak ada daftar dietnya (jadi tidak ada masalah dengan makanan), tetapi yang lainnya ada daftar dietnya. Saya harus pelan-pelan membacanya supaya tidak salah. Diawal-awal saya harus beberapa kali membuka kamus bahkan bertanya pada kolega kalau ada kata-kata atau instruksi pada daftar diet yang saya tidak mengerti.

Selain menyiapkan makanan, tugas saya lainnya adalah bertanggungjawab terhadap kebersihan ruang makan, menemani para orang tua misalkan : ke fisioterapi, dokter gigi, ke salon, membacakan cerita jika mereka menginginkan, menemani berbicara sambil minum kopi atau teh (bagi mereka yang diperbolehkan mengkonsumsi teh dan kopi).

Kolega saya adalah dokter, perawat, murid-murid yang sedang magang, mereka yang bekerja paruh waktu, koki, mereka yang membantu membersihkan ruangan pasien. Yang menyenangkan adalah saya dikirim dua kali kursus tentang bagaimana cara merawat orang tua dan seluk beluk bekerja dibagian perawatan. Beberapa bulan kemudian saya mendapatkan tawaran untuk bekerja paruh waktu di WZH.

Keuntungan menjadi sukarelawan :

  • Tujuan saya bisa tercapai yaitu memperlancar bahasa Belanda dan terjun langsung ke lapangan bekerja dan bersosialisasi dengan lingkungan di Belanda. Hal ini saya rasakan sekali manfaatnya terutama saat saya ujian Kennis Nederlandse Maatschappij (ujian kemasyarakatan Belanda) ataupun ujian integrasi lainnya (ujian bahasa Belanda inti dan ONA). Kenapa kesannya saya selalu menuliskan untuk belajar langsung (praktik) untuk memperlancar bahasa Belanda? karena sadar kemampuan berbahasa saya yang tidak bisa cepat jika tidak diiringi dengan praktik langsung. Berbicara dengan suami dirumah menggunakan bahasa Belanda tidak cukup untuk saya. Karenanya saya membutuhkan media lain supaya saya bisa mendengarkan bermacam aksen dan telinga saya terbiasakan dengan obrolan bahasa Belanda.
  • Bisa menjadi referensi yang positif saat mencantumkan di CV ketika mengirimkan lamaran kerja.
  • Bisa mengisi waktu luang lebih bermanfaat terutama buat saya yang baru setahun lebih sedikit tinggal di Den Haag supaya mempunyai kegiatan diluar rumah.
  • Di Den Haag, para sukarelawan setiap sebulan sekali, paling lama dua bulan sekali mendapatkan undangan untuk menghadiri semacam acara kumpul bulanan. Jadi saya bisa bertemu dengan sukarelawan lain diseluruh Den Haag serta beberapa pihak dan organisasi yang terkait didalamnya. Hal ini bagus untuk melakukan networking. Selain itu, disetiap pertemuan juga selalu ada materi atau pembicara professional dan pakar dibidangnya yang dihadirkan : misalkan membahas bagaimana strategi untuk mencari kerja di Belanda. Selama ini saya sudah menghadiri dua pertemuan tersebut.
  • Meskipun namanya adalah kerja sukarela, tetapi untuk beberapa jenis pekerjaan, misalkan untuk saya pada Middin dan WZH, ongkos perjalanan diganti. Jadi akan dihitung jarak dari rumah ke tempat kerja kemudian mereka akan mengganti uang transportasinya yang dibayar setiap tiga bulan sekali. Selain itu saya diberikan kontrak kerja sehingga tahu hak dan kewajibannya apa. Satu lagi yang menyenangkan adalah dikursuskan berarti menambah ilmu baru.
  • Belajar banyak hal baru yang berbeda dengan pengalaman kerja maupun latar belakang pendidikan saya di Indonesia. Mendapatkan ilmu baru contohnya saya yang dikirim kursus seperti yang saya ceritakan diatas pada bagian menjadi sukarelawan di WZH. Selain saya mendapatkan manfaatnya, saya juga bisa membantu orang lain juga.
  • Banyak belajar pengalaman hidup, ini saya dapatkan ketika berbicara dengan para orang tua. Mereka akan bercerita tentang banyak hal tentang kehidupan. Membuat saya lebih banyak bersyukur dengan yang saya miliki saat ini. Tidak hanya itu saja, bahkan saya juga bisa belajar sejarah karena mereka sering bercerita tentang sejarah negara tertentu termasuk Belanda.

Saya merasakan ada perbedaannya menjadi sukarelawan di Indonesia dan di Den Haag. Kalau di Indonesia berdasarkan pengalaman saya, organisasi atau wadah atau tempat yang membutuhkan sukarelawan berdiri sendiri-sendiri jadi tidak ada payung besarnya untuk mengkoordinasi (mohon koreksinya jika saya salah). Sedangkan yang saya rasakan di Den Haag, untuk menjadi sukarelawan bisa mendaftar melalui “payung besarnya” atau bisa disebut ada yang mengkoordinasi. Jadi organisasi atau yayasan atau tempat-tempat yang menerima sukarelawan tidak berdiri sendiri, melalui satu jalur koordinasinya.

Bagaimana cara mendaftar untuk bisa menjadi sukarelawan di Den Haag? Kalau saya sejak awal mendaftar lewat DenHaagDoet.nl. Disana banyak sekali pilihan kerja sukarela yang sesuai dengan minat serta beberapa website vrijwilligerswerk yang lain. Untuk pendatang baru di Belanda seperti saya yang memang tujuan jangka panjangnya adalah tinggal disini, jika memang belum ada kegiatan, saya sarankan untuk mengikuti kerja sukarela. Keluar rumah dan melakukan kegiatan yang bermanfaat sangat berguna untuk mengusir rasa kangen kepada keluarga di Indonesia, supaya tidak ngelangut dalam bahasa Jawa. Selain itu, juga bagus untuk melatih kemampuan berkomunikasi menggunakan bahasa Belanda dan bersosialisasi dengan lingkungan di Belanda.

Tulisan ini terinspirasi oleh pengalaman Ailsa menjadi sukarelawan di Irlandia.

Ada yang mempunyai pengalaman menjadi sukarelawan?

-Den Haag, 20 Maret 2016-

Menjelajahi Keindahan Zaanse Schans

Zaanse Schanse. Seandainya cuaca cerah, pasti langitnya bagus sekali

Sejak malam hari, hujan tidak berhenti mengguyur Leeuwarden. Tidak hanya hujan, angin kencang dan sesekali  disertai suara gemuruh dari langit jelas terdengar dari kamar tempat kami menginap. Malam itu kami mengisi waktu dengan berbincang mengenai beberapa hal, termasuk tentang keindahan Giethoorn yang kami kunjungi dipagi hari. Maklum saja, saya masih sangat terpesona dengan desa kecil yang mempunyai 180 jembatan dan rumah-rumah yang unik seperti yang sering saya bayangkan, seperti dinegeri dongeng begitu saya menyebutnya. Tidak heran kalau Giethoorn disebut sebagai Venice-nya Belanda karena serupa dilihat dari banyaknya jembatan yang melintasi sungai didesa tersebut. Cerita kami pergi ke Giethoorn pernah saya tulis disini. Jalan-jalan pada saat itu dalam rangka untuk merayakan ulangtahun saya. Selain Giethoorn kami ingin mengunjungi beberapa tempat lainnya, salah satunya adalah Zaanse Schans.

Pagi tepat pada hari ulangtahun saya, hujan belum juga berhenti malah suara angin terdengar semakin kencang. Saya mengatakan kepada suami untuk dibatalkan saja rencana ke Zaanse Schans. Suami mengatakan, “kita lihat saja nanti,” karena kami akan mampir dahulu ke rumah kenalan dan satu museum. Kami berharap cuaca akan cerah saat tiba di Zaanse Schans. Namun harapan bertepuk sebelah tangan dengan kenyataan karena sesampainya disana, angin semakin kencang dan hujan semakin deras. Kami harus menunggu sesaat dimobil sebelum memutuskan untuk nekat menerobos cuaca buruk tersebut. Akhirnya kesampaian juga saya melihat wilayah yang lengkap dengan beberapa ikon Belanda, salah satunya kincir angin.

Zaanse Schans adalah sebuah kawasan wisata dan museum terbuka yang masih berpenduduk yang terletak tidak jauh dari Amsterdam, masuk diwilayah Zaandam. Jika ingin ke Zaanse Schans dari Amsterdam Centraal (Stasiun Amsterdam) bisa ditempuh dengan dua cara. Pertama, bisa dengan menggunakan bis nomer 391 dan turun dihalte Zaanse Schans. Cara kedua adalah dengan menggunakan kereta kemudian turun distasiun Koog-Zaandijk. Perjalanan dengan menggunakan kereta memakan waktu sekitar 18 menit dilanjutkan berjalan kaki sekitar 17 menit untuk menuju ke lokasi.

Zaanse Schanse. Seandainya cuaca cerah, pasti langitnya bagus sekali
Zaanse Schanse. Seandainya cuaca cerah, pasti langitnya bagus sekali

Menurut sumber yang saya baca (disini), pada abad 18 dan 19 diwilayah Zaan ada sekitar 600 kincir angin aktif. Wilayah ini dikenal sebagai kawasan industri tertua di Eropa barat. Didalam kawasan industri ini dilakukan beberapa pekerjaan industri seperti memproduksi rak, cat, mustar, minyak untuk makanan dan cat, produksi kertas, semua jenis kain, bunga, dan masih banyak lainnya. Pada masa sekarang, kita bisa menikmati keindahan kincir-kincir angin tersebut dengan menggunakan perahu menyusuri sungai Zaan. Sayang pada saat kami kesana perahu-perahu tersebut tidak ada yang beroperasi karena cuaca buruk. Bagaimana tidak, berjalan kaki untuk berkeliling disekitar Zaanse Schans saja susah karena angin yang super kencang, apalagi kalau naik perahu, bisa-bisa nyemplung ditengah sungai.

IMG_1260

IMG_1262

Kincir angin merupakan salah satu ikon dari Belanda selain bunga tulip, sepeda, keju, klompen, ehmm apa lagi ya. Karenanya Belanda juga dikenal sebagai negara kincir angin. Di Zaanse Schans kita bisa masuk ke beberapa kincir angin yang ada dengan membayar (saya lupa berapa) dan mengetahui proses kincir angin berputar serta sejarahnya. Tetapi untuk masuk ke wilayah Zaanse Schanse sendiri, gratis. Saat ini di Zaanse Schans ada 6 kincir besar yang memiliki nama dan fungsi yang berbeda. De Gekroonde Poelenburg, Het Jonge Schaap, De Zoeker & De Bonte Hen (pembuatan minyak), De Huisman (penggilingan rempah), dan De Kat (pembuatan cat). Masih ada beberapa beberapa kincir angin kecil lainnya diwilayah ini. Pada saat itu kami masuk ke dua kincir angin, kalau tidak salah kincir angin yang berfungsi untuk menggerus kapur dan satu lagi untuk menggerus rempah (mudah-mudahan tidak salah ingat karena sudah setahun yang lalu).

IMG_1271
Roda yang berfungsi untuk menggerus.

IMG_1270

IMG_1272

Rempah-rempah. Sewaktu disini ada pengunjung dari Jerman yang bertanya kepada saya "bedanya ketumbar sama merica apa?" berasa lagi dites sama calon mertua :D
Rempah-rempah. Sewaktu disini ada pengunjung dari Jerman yang bertanya kepada saya “bedanya ketumbar sama merica apa?” berasa lagi dites sama calon mertua 😀

Mengelilingi Zaanse Schans kita seperti diajak untuk bisa merasakan pengalaman hidup masyarakat Belanda pada abad ke 18 dan 19. Di tempat ini ada rumah-rumah tradisional asli Belanda, pabrik pembuatan keju dan susu, galangan kapal bersejarah, pabrik timah, toko kelontong berusia ratusan tahun, demonstrasi pembuatan klompen, dan yang menjadi daya tarik utama banyak turis datang kesini tentu saja kincir angin.

Roda didalam rumah kincir angin yang menggerus kapur
Roda didalam rumah kincir angin

IMG_1304

Tangga menuju ke balkon
Tangga menuju ke balkon

Saya beberapa kali mengatakan kalau pada hari dimana ke Zaanse Schans cuaca sangat buruk. Saya melihat dengan mata kepala sendiri ada beberapa turis (ibu-ibu) sampai jatuh dan nyungsep saking tidak kuat menahan angin. Sewaktu kami sedang berada dibalkon rumah kincir angin, maksud hati ingin foto bersama, ternyata kami malah ketakutan sambil menahan badan supaya tidak terseret angin. Kan ga lucu kalau kecemplung ke kali :D.

Foto dari atas balkon
Foto dari atas balkon
Senyum sambil menahan badan supaya tidak terseret angin kebelakang. Demi eksistensi :p
Senyum sambil menahan badan supaya tidak terseret angin kebelakang. Rok sampai berkibar dan suami menahan saya supaya tidak kecemplung. Demi eksistensi ini :p

Ada beberapa tempat lagi yang kami kunjungi. Yaitu museum Albert Heijn (Supermarket di Belanda), tempat pembuatan coklat dan tempat pembuatan keju serta beberapa museum lainnya.

Museum Coklat
Tempat pembuatan coklat
Ada uleg-uleg!
Ada uleg-uleg!
Bentuk coklatnya lucu ya. Nampak seperti asli.
Bentuk coklatnya lucu ya. Nampak seperti asli.
Pabrik pembuatan keju
Tempat pembuatan keju
Pabrik pembuatan keju
Tempat pembuatan keju
Surga keju! Berbagai jenis keju dijual disini
Surga keju! Berbagai jenis keju dijual disini
Mau pilih keju yang mana?
Mau pilih keju yang mana?
Boleh dicicipi dulu sebelum dibeli. Saya sampai kenyang lho cicip sana sini sambil diolesin yang dibotol-botol itu. Rasa kejunya bermacam-macam. Sampai ada keju pedas segala.
Boleh dicicipi dulu sebelum dibeli. Saya sampai kenyang lho cicip sana sini sambil diolesin yang dibotol-botol itu. Rasa kejunya bermacam-macam. Sampai ada keju pedas segala.
Sepanjang meja itu keju-keju yang disediakan untuk dicicipi kalau akan membeli (atau sekedar ingin mencicipi saja)
Sepanjang meja itu keju-keju yang disediakan untuk dicicipi kalau akan membeli (atau sekedar ingin mencicipi saja).

Sayang sekali waktu itu langit sedang tidak bersahabat menampakkan warna birunya sehingga foto-foto yang dihasilkan juga bernuansa abu-abu. Tetapi hal tersebut tidak mengurangi rasa senang saya karena menyaksikan secara langsung keindahan Zaanse Schans dan beberapa hal yang berkaitan dengan ikon-ikon yang ada di Belanda salah satunya adalah kincir angin. Jadi jika ingin melihat dan merasakan tempat yang sangat “Belanda”, datang saja ke Zaanse Schans yang dibuka sepanjang tahun, tetapi waktu yang baik adalah saat musim panas dan musim semi.

Rumah-rumah asli Belanda
Rumah-rumah asli Belanda
Rumah-rumah asli Belanda
Rumah-rumah asli Belanda

IMG_1310

Selamat berakhir pekan!

-Den Haag, 17 Maret 2016-

Semua foto adalah dokumen pribadi

Sebutlah Bahasa Indonesia Secara Utuh dan Benar

SOEMPAH PEMOEDA
Pertama :
– KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA

Kedua :
– KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA

Ketiga :
– KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA

Djakarta, 28 Oktober 1928

Sejak tinggal di Belanda dan berinteraksi dengan selain orang Indonesia, tak ayal saya selalu mendapatkan pertanyaan tentang apa nama bahasa nasional yang digunakan di Indonesia. Pertanyaan pertama muncul ketika sesi perkenalan dikelas sekolah bahasa Belanda yang saya ikuti. Masing-masing murid memperkenalkan diri secara singkat serta menyebutkan bahasa nasional masing-masing negara. Ketika giliran saya tiba, saya menutup sesi perkenalan dengan menyebutkan bahasa nasional negara Indonesia adalah Bahasa Indonesia. Guru saya sempat bertanya bukannya namanya adalah Bahasa, bukan Bahasa Indonesia. Saya menjelaskan bahwa yang benar adalah Bahasa Indonesia, bukan Bahasa. Guru saya tersebut akhirnya menjelaskan kalau selama ini jika beliau bertanya kepada orang Indonesia yang dijumpainya di Belanda (termasuk beberapa muridnya dari Indonesia sebelum saya), selalu dijawab bahasa Nasional negara Indonesia adalah Bahasa. Menurut beliau, baru saya yang menjawab Bahasa Indonesia, bukan Bahasa. Karena itu beliau tahunya bahasa Nasional negara Indonesia adalah Bahasa.

Ketika saya memutuskan aktif mengikuti kegiatan sukarelawan disekitar kota Den Haag, pertanyaan tentang bahasa ini juga salah satu yang menarik perhatian sesama sukarelawan ataupun orang-orang ditempat saya mengikuti kegiatan tersebut. Salah satu contohnya ketika saya mempresentasikan Indonesia dibeberapa sekolah di Den Haag (salah satu ceritanya pernah saya tulis disini). Saya mendapatkan pertanyaan dari murid-murid serta guru tentang bahasa Nasional negara Indonesia. Saya menjawab, Bahasa Indonesia. Ada dua guru pada dua sekolah berbeda menyatakan bahwa selama ini mereka tahunya dari yang mereka dengar adalah Bahasa, bukan Bahasa Indonesia. Lalu mereka bertanya bedanya apa antara Bahasa dan Bahasa Indonesia? Saya menjelaskan kalau Bahasa diterjemahkan dalam Bahasa Inggris adalah Language. Sedangkan seperti yang kita tahu, Language itu sendiri didunia ini ada bermacam-macam namanya. Kalau disebutkan Bahasa Nasional Indonesia adalah Bahasa, kan tidak benar sama sekali. Bahasa apa?

Tidak sampai disitu saja pengalaman saya tentang salah kaprah penyebutan Bahasa Indonesia. Akhir tahun 2015, saya sedang aktif-aktifnya mencari pekerjaan. Kebanyakan pada lamaran pekerjaan yang saya tuju (sesuai dengan pendidikan dan pengalaman kerja), saya harus mengisi formulir pada website masing-masing perusahaan tersebut. Saya ingat betul ada dua perusahaan besar yang mencantumkan pilihan bahasa yang dikuasai selain bahasa Inggris (biasanya saya menuliskan, tetapi yang ini sudah ada pilihannya). Saya mencari Bahasa Belanda (meskipun saat itu belum terlalu menguasai betul, tapi saya ingin mencentang pilihan bahasa Belanda (Dutch)), kemudian saya tercenung, ternyata ada pilihan : Bahasa. Saya mencoba menelusuri satu persatu pilihan bahasa lainnya, berharap ada pilihan Bahasa Indonesia. Bahkan Bahasa Malaysia saja ditulis Malaysian (kalau tidak salah ingat). Tetapi pilihan Bahasa Indonesia tidak saya jumpai disana. Firasat saya mengatakan bahwa yang tertulis Bahasa disana maksudnya adalah Bahasa Indonesia. Tetapi saya tidak memilih, karena merasa tidak yakin itu bahasa apa yang dimaksud. Ketika saya mendapatkan email untuk memenuhi panggilan wawancara salah satu diantara 2 perusahaan tersebut, pada saat hari H wawancara, pewawancara menanyakan kenapa saya tidak memilih pilihan Bahasa padahal saya berasal dari Indonesia. Disinilah saya baru merasa jelas, bahwa pilihan Bahasa yang dimaksud adalah Bahasa Indonesia. Saya menjelaskan kalau bahasa Nasional negara Indonesia bukan Bahasa tetapi Bahasa Indonesia. Kemudian dia bertanya sejak kapan dirubah dari Bahasa menjadi Bahasa Indonesia karena selama ini yang dia dan kolega-koleganya tahu adalah Bahasa. Saya menjelaskan setahu saya juga bahwa memang tidak pernah ada perubahan dari Bahasa menjadi Bahasa Indonesia sejak dikukuhkannya Bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional negara Indonesia pada saat Sumpah Pemuda (saya baca sejarahnya disini), jadi memang tidak pernah tersebutkan Bahasa sama sekali. Dia manggut-manggut sambil mengatakan “saya baru tahu.”

Dengan beberapa pengalaman yang saya sebutkan diatas (sebenarnya yang saya alami lebih banyak dari yang saya sebutkan, disini saya tuliskan beberapa cerita saja), rasanya sedih ketika mengetahui bahwa Bahasa Indonesia lebih dikenal sebagai Bahasa (saya tidak tahu kalau dinegara-negara lain ya). Apakah mungkin karena kita sendiri yang memperkenalkan ke dunia luar dengan menyebutkannya hanya Bahasa? Apakah kita memang tidak tahu bahwa Bahasa itu tidak sama dengan Bahasa Indonesia? Ataukah kita sedemikian malasnya menyebut Bahasa Indonesia secara utuh dan benar?

Saya mencoba memperbaiki ketidakbenaran tersebut dengan cara yang saya bisa, dengan cara yang paling gampang, dari lingkungan terdekat. Saya selalu bilang ke Suami sejak awal bahwa bahasa nasional negara Indonesia adalah Bahasa Indonesia, saya selalu mengingatkan kepada siapapun orang Indonesia yang menyebut bahasa nasionalnya adalah Bahasa bahwa itu salah, yang benar adalah Bahasa Indonesia. Ketika ada yang bertanya apa bahasa nasional negara saya tercinta Indonesia, saya akan tegas dan secara utuh menjawab Bahasa Indonesia, bukan Bahasa, bukan Bahasa Indo.

Dimulai dari diri sendiri, dimulai dengan cara yang paling mudah untuk menyebarkan hal yang benar tentang penyebutan Bahasa Indonesia secara utuh, dimulai sejak saat ini, supaya siapapun tahu bahwa Bahasa tidak sama dengan Bahasa Indonesia. Bahwa bahasa Nasional negara Indonesia adalah Bahasa Indonesia, bukan Bahasa, apalagi Bahasa Indo karena Indo berbeda artinya dengan Indonesia. Kalau tidak kita sebagai bangsa Indonesia yang menyebarkan hal yang benar, lalu siapa lagi yang akan mengatakan kebenaran tersebut.

Mari kita mulai dari sekarang untuk menyebut Bahasa Indonesia secara utuh dan benar baik secara lisan maupun tulisan. Ingatlah perjuangan para pemuda yang mengikrarkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dalam Sumpah Pemuda. Kita tinggal menyebutkan dan mengetikkan Bahasa Indonesia secara utuh dan benar masa iya merasa kesusahan dan malas.

Terima kasih kepada Bapak JS Badudu sebagai Guru dan Tokoh atas jasa dan dedikasi Beliau bagi Bahasa Indonesia. Semoga Beliau mendapatkan tempat yang terbaik. Saya sejak kecil selalu suka membaca deretan kata dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karena kamus tersebut selalu ada dimeja belajar, hadiah dari Ibu yang pada saat itu adalah guru Bahasa Indonesia.

Keterangan tambahan:

Saya suka membaca tulisan Mbak Yoyen terkait dengan Bahasa Indonesia : Berbahasa Satu, Bahasa Ibu, dan tentang penyebutan Indonesia bukan Indo karena artinya berbeda. Saya juga punya pengalaman dengan orang Indonesia yang tidak mau berbicara menggunakan Bahasa Indonesia yang secara tidak sengaja saya temui di Den Haag, ceritanya pernah saya tulis disini.

-Den Haag, 13 Maret 2016-

Gambar dipinjam dari sini