Sejak kamis malam entah kenapa saya tiba-tiba terbayang pecel tumpang Nganjuk. Kangen sekali rasanya ingin makan pecel Nganjuk yang super pedas diberi sambel tumpang, sambel goreng tahu tempe dan peyek teri yang ditata dipincuk daun. Biasanya saya membeli ditetangga Mbah Putri yang menjual nasi pecel. Setelah makan pecel tumpang dilanjutkan makan bubur sumsum. Menulis ini saja saya harus menahan air liur yang hampir menetes. Makanan sederhana tetapi menjadi istimewa jika jauh seperti ini. Karena persediaan sambel pecel saya habis dan masih belum ada mood untuk membuatnya, akhirnya saya hanya membawa khayalan makan nasi pecel tersebut ke dalam tidur, siapa tahu didalam mimpi kesampaian bisa makan pecel tumpang Nganjuk lengkap dengan bubur sumsum, yang nyatanya saya malah mimpi liburan.
Jumat sepulang kerja, dalam keadaan basah karena kehujanan, sambel pecel tiba-tiba datang lagi sekelebat didalam pikiran. Daripada terus dihantui perpecelan ini akhirnya saya mampir ke toko Indonesia dekat rumah untuk membeli kacang sambel. Sebelumnya saya mampir ke supermarket untuk membeli beberapa sayuran. Ketika melewati rak ikan, mata saya tiba-tiba tertuju pada ikan pangasius yang sedang diskon 50% seberat 250gr. Wah, lumayan pikir saya. Saya berpikir sebentar, bisa dibuat apa ya ikan pangasius ini. Lalu saya teringat kalau ikan pangasius ini bisa menggantikan ikan tengiri untuk membuat pempek. Tanpa berpikir panjang saya langsung membeli ikan tersebut, niatnya ingin bereksperimen membuat pempek menggunakan ikan untuk pertama kali. Entah kenapa saya menjadi lupa tujuan awal ingin mampir ke toko Indonesia, setelah sampai rumah baru teringat niat awalnya ingin membuat sambel pecel lha kok malah belok ingin membuat pempek *duassaarr. Saat suami sampai rumah, saya sampaikan rencana besar dihari sabtu untuk membuat pempek. Dia hanya senyum-senyum melihat saya bersemangat, mungkin dalam hatinya bilang “mudah-mudahan tidak gagal ya” karena ini pertama kali membuat pempek.
Sabtu jam 9 pagi saya mulai menyiapkan peralatan memasak, kemudian mencari resep pempek di youtube. Iya saya baru mencari resepnya pagi itu. Akhirnya saya mengkombinasikan resep yang saya dapat dari masak.TV dan resep pempek dos. Setelahnya saya baru mempersiapkan bahan-bahannya, yang untungnya masih punya persediaan tepung tapioka dan tepung terigu. Saya tidak mengikuti takaran resep yang sudah ada, hanya memakai ilmu perkiraan saja, yang penting takaran untuk tepung terigu setengahnya tepung tepioka. Itupun saya hanya memakai takaran sendok bukan ditimbang. Setelah menggiling ikan, memasukkan telor dan air, kemudian diaduk lagi, tepung mulai dimasukkan. Setelahnya drama dimulai. Rupanya saya terlalu banyak memasukkan air. Akhirnya setelah tepung tapioka didalam wadahnya habis, adonan masih terasa lembek. Saya terdiam sejenak, memikirkan apa yang musti dilakukan. Disaat seperti itu saya merindukan warung atau toko pracangan di Indonesia. Kalau ada yang kurang ditengah memasak, bisa langsung melipir ke warung. Yang sedihnya disini tidak ada, dan masak iya saya harus menunggu toko Indonesia dekat rumah buka dulu jam 12 siang, keburu adonannya ngambek :D.
Saya masuk ke gudang, membongkar segala persediaan disana, berharap terselip tepung tapioka. Kenyataannya saya malah menemukan tepung beras ketan sisa membuat wingko babat. Akhirnya saya nekat memasukkan tepung beras ketan kedalam adonan sebagai gantinya tepung tapioka, logikanya kan sama-sama memadatkan fungsi kedua tepung tersebut. Saya sebenarnya tidak yakin pada logika saya tersebut, sampai pada proses terakhir direbus dan setelah didinginkan, saya coba mencicipi dengan mengiris sedikit. Wah, ternyata rasanya enak *huahaha dipuji sendiri, tapi memang benar rasanya enak, strukturnya tidak keras, lumayanlah untuk ukuran pertama kali membuat pempek yang diselingi drama kehabisan tepung. Beralih ke proses membuat cuko yang juga agak drama. Dari resepnya salah satunya dibutuhkan ebi. Karena tidak punya ebi, tetapi menurut masak.tv juga diperlukan tongcay, saya punyanya hanya tongcay. Jadilah saya hanya menggunakan tongcay, asam jawa dan cukapun hanya tinggal sedikit yang tersisa dari persediaan. Ya dari sisa-sisa tersebut saya mengolah cuko sedemikian rupa, hasilnya enaak sekali sesuai yang saya harapkan.
Hasil akhirnya saya bisa membuat 6 porsi pempek. Lumayan mengiritlah dibanding harus beli, jadinya sekarang punya persediaan, kalau kepengen tinggal menggoreng dari yang tersimpan di freezer. Karena terharu berhasil membuat pempek pertama kali, saya langsung kirimkan fotonya ke Puji, maklum dia yang selalu bersemangat “ngomporin” saya sejak dulu untuk membuat pempek sendiri dan mengatakan kalau membuat pempek itu mudah. Ternyata memang mudah, kalau tidak diselingi drama haha. Tarrraa, Inilah pempek pertama buatan saya yang dinikmati bersama suami 🙂 Karena euforia, siang dan malam saya makan pempek :p
Hari minggu seperti biasa hari memasak. Karena memang sedang malas, akhirnya saya masak yang gampang-gampang saja untuk lauk beberapa hari kedepan. Saya membuat perkedel panggang. Resepnya sama seperti perkedel biasa, tapi karena malas menggoreng dan malas membentuk bulat-bulat, akhirnya saya panggang saja. Lebih praktis dan mengurangi penggunaan minyak. Suami juga lebih senang perkedel panggang karena lebih sehat tanpa minyak.
Hari minggu ini suami mengikuti lari half marathon (21km) yang diadakan di Den Haag bernama CPC Loop. Tahun lalu kami ikut acara ini bersama, ceritanya pernah saya tulis disini. Tahun ini saya sudah mempersiapkan diri untuk ikut yang 21km juga. Saya sudah mendaftar, sudah latihan selama beberapa bulan, tetapi karena suatu kondisi akhirnya saya harus merelakan tidak bisa mengikuti half marathon. Sedih rasanya, padahal impian saya bisa ikut berlari bersama suami dan karena sudah latihan juga. Tetapi memang tidak bisa dipaksakan karena skala prioritas. Akhirnya suami pergi sendiri. Seperti biasa sebelum lomba lari, dia akan makan spaghetti. Saya memasak spaghetti, dengan sausnya ditambahi jamur dan wortel kemudian ditaburi keju, disajikan bersama daun basil. tomat dan paprika. Menurut dia enak sekali, sampai nambah *enak opo luwe mas :D.
Sedangkan makan siang saya dengan lodeh pedes. Angan-angannya sih membuat lodeh mangut, tapi kan disini tidak ada. Akhirnya mangutnya diganti makarel asap. Rasanya nyaris sama lho, ada sangitnya. Menu begini saja bisa nambah nasi berkali-kali :D.
Setelah suami berangkat lari, saya melanjutkan belajar bahasa Belanda. Menjelang sore, saya mulai penat belajar, akhirnya melanjutkan membaca buku A Simple Life. Saya suka sekali isi buku ini karena yang ditulis oleh Desi Anwar tidak jauh-jauh dari kehidupan kita sehari-hari. Meskipun menggunakan bahasa Inggris, tetapi kalimatnya mudah dipahami. Seringnya saya manggut-manggut kalau menemukan bagian-bagian yang “menohok” ataupun senyum-senyum kalau membaca bagian yang “lho ini kan aku banget.” Buku yang sangat saya rekomendasikan untuk dibaca. Buku Desi Anwar ini adalah buku ke 10 yang saya baca ditahun 2016 ini. Sedang deg-degan nih menunggu IEP datang *padahal kalau sudah datang juga belum tahu kapan dibacanya 😀.
Begitulah cerita akhir pekan saya dan suami. Oh iya, suami bisa menyelesaikan 21km dengan catatan waktu 1 jam 50 menit. Kata dia lebih cepat 4 menit dibandingkan tahun lalu. Mudah-mudahan tahun depan saya bisa ikut 21km bersama dia dan tidak ada kendala.
Bagaimana cerita akhir pekan kalian? Mudah-mudahan berkesan juga ya. Sedang membaca buku apa saat ini?
Semoga minggu ini dilancarkan segala urusan dan dimudahkan segala yang diharapkan. Selamat hari Senin.
Masih dalam rangkaian Catatan Perjalanan jalan-jalan bulan Agustus – September 2014
Setelah dari Bali (Cerita Perjalanan di Bali bisa klik disini), maka perjalanan kami lanjutkan menuju Kota Ambulu, Kabupaten Jember. Mengapa ke Ambulu? Karena saya dilahirkan di Ambulu. Saya anak pertama dari 3 bersaudara. Kami sekeluarga sebenarnya tinggal di Situbondo. Tapi saya dan kedua adik dilahirkan di Ambulu yang merupakan kota asal Bapak. Ambulu adalah kecamatan di Kabupaten Jember, ProvinsiJawa Timur, Indonesia. Wilayah selatan kecamatan ini berbatasan dengan Samudera Hindia dengan pantai yang terkenal Pantai Watu Ulo dan Pantai Papuma. Kecamatan Ambulu mempunyai luas wilayah 104,56 Km² dengan ketinggian rata-rata 35 m di atas permukaan laut (Sumber : Wikipedia). Kami sekeluarga masih sering pergi ke Ambulu meskipun Bapak dan Mbah sudah meninggal. Ambulu kotanya nyaman, sejuk dengan masyarakatnya yang ramah (ramah yang tulus bukan kepo), setidaknya itu yang saya rasakan.
Mas Ewald ingin mengetahui lingkungan dimana saya dilahirkan dan ingin mengenal lebih jauh saudara-saudara yang ada disana. Kami menginap dirumah Bude karena kediaman Mbah yang biasanya saya dan keluarga tempati jika sedang di Ambulu, dalam tahap renovasi. Sejak sampai di Ambulu, Mas Ewald sudah sangat suka dengan lingkungannya. Tenang, tidak terdengar bising kendaraan lalu lalang, khas kota kecil, apalagi kami tinggal didesanya. Benar-benar nyaman dijadikan sebagai tempat istirahat, kalau malam hanya terdengar suara jangkrik dan kodok, suara adzan mengalun syahdu saat menjelang subuh. Bahkan Mas Ewald sudah punya cita-cita akan tinggal di Ambulu kalau sudah pensiun nanti. Selama 2 hari di Ambulu, Mas Ewald banyak mengenal hal baru. Pertama kali melihat kelapa yang langsung diambil dari pohon. Baru mengetahui tanaman sereh, jahe, dan beberapa tanaman bumbu lainnya yang langsung diambil dari tanah. Makan buah yang langsung dipetik dari kebun. Sayuran yang langsung diambil dari sawah. Dia senang karena semua makanan yang dia makan selama disana segar. Mandi dari air sumur, benar-benar segar dibadan. Saya senang karena bisa memperkenalkan kekayaan alam Indonesia dimulai dari lingkungan terdekat. Saya bahagia karena suami semakin kaya pengetahuannya akan Indonesia.
Malamnya Mas Ewald bercengkrama dengan beberapa saudara. Dalam satu desa ini, nyaris semua penduduknya masih mempunyai ikatan saudara. Meskipun dengan Bahasa Indonesia yang terbatas, tapi dia sangat menikmati berkumpul dengan mereka. Tertawa, menyimak beberapa hal, dan menceritakan tentang Belanda. Kalau seperti ini, bahasa tidak menjadi kendala utama lagi. Yang paling penting adalah saling memahami. Menjelang tidur, dia berkata bahwa menyenangkan mempunyai banyak saudara, karena di Belanda dia berasal dari keluarga yang sangat kecil. Mas Ewald merasakan kehangatan berkumpul dengan keluarga baru di Indonesia. Jadi memang benar, pernikahan itu bukan hanya tentang cinta 2 manusia, tetapi memperkenalkan budaya dan keluarga yang berbeda.
Keesokan paginya, saya membawa Mas Ewald ke Pantai Papuma yang terletak tidak jauh dari tempat tinggal kami, hanya 10 menit berkendara.
PANTAI PAPUMA
Sebenarnya di Jawa Timur memiliki banyak sekali pantai-pantai yang eksotis. Papuma adalah salah satunya. Pantai Papuma terletak diwilayah kabupaten Jember Kecamatan Ambulu, tepatnya didesa Sumberejo. Jalan menuju Pantai Papuma harus melewati tanjakan dimana kiri dan kanannya adalah hutan yang sebagian besar ditanami pohon jati, palem, serut dan beragam pohon kecil lainnya. Jalan ini pada saat Agustus kami kesana sedang rusak. Aspal yang berlubang disana sini membuat para pengendara harus esktra hati-hati mengendarai sepeda motor ataupun mobil.
Disepanjang Pantai Papuma terhampar pasir putih yang bersih dan indah. Meskipun ombak di pantai ini tidak terlalu tinggi tetapi tidak diperbolehkan untuk berenang karena Pantai Papuma merupakan gugusan pantai selatan yang terkenal dengan ombaknya yang tidak bersahabat. Papuma merupakan singkatan dari Pasir Putih Malikan. Malikan adalah nama yang diberikan Perhutani setelah membuka lokasi wisata ini. Kata Tanjung ditambahkan didepannya menjadi Pantai Tanjung Papuma yang menggambarkan posisi pantai yang menjorok ke laut barat daya. Selain pantai, hutan dikawasan ini juga menjadi daya tarik wisatawan karena ada beberapa hewan seperti orang hutan, ayam hutan, dan burung yang berkeliaran.
Pantai Papuma juga terkenal dengan karang-karang besar yang diberi nama tokoh pewayangan. Tempat makan banyak terdapat didalam kawasan pantai ini. Menu yang ditawarkan tentu saja sekitar makanan laut. Terdapat beberapa penginapan juga yang disewakan oleh pihak Perhutani jika ada wisatawan yang ingin menginap dengan harga yang bervariasi.
Bagaimana, tertarik untuk mengunjungi Pantai Papuma? Atau sudah pernah ke Papuma?
Catatan Perjalanan bulan madu kami selanjutnya adalah Karimunjawa. Pulau Karimunjawa memberikan kesan yang tidak terlupakan buat kami dalam proses pengenalan satu sama lain juga keindahan alam dan lautnya. Ingin tahu ceritanya? silahkan klik disini.
Pagi ini sebelum keluar rumah, seperti biasa sembari menunggu jamnya tiba, saya membuka twitter sekedar membaca berita terbaru atau gosip atau mencari kesenangan dengan menjadi pengamat twitwar. Iya, saya memang menikmati sekali segala hal yang disuguhkan twitter. Kemudian tanpa sengaja saya menemukan foto berisi tulisan :
Mengapa Istri harus bisa masak?
Padahal itu rumah tangga bukan rumah makan?
-Pidi Baiq-
Saya otomatis tergelak. Tulisan tersebut melemparkan ingatan akan cerita kedua orang tua saya (yang diceritakan berulang sampai saya dan adik-adik hafal luar kepala), Ibu dan almarhum Bapak. Siapa sangka Ibu yang mempunyai pekerjaan sampingan usaha katering, sebelum menikah adalah wanita yang sama sekali tidak bisa memasak. Wajar saja, kalau merunut dari cerita Mbah Putri, sewaktu kecil tugas ibu adalah bekerja mencari tambahan uang setelah pulang sekolah. Memasak menjadi tugas Pak Lek (adik Ibu) dan Mbah Putri. Ibu adalah anak kedua dari sembilan bersaudara. Meskipun Ibu datang dari keluarga yang cukup (tidak berlebihan maupun tidak kekurangan), tetapi untuk menambah dan membantu perekonomian keluarga, Ibu bekerja serabutan sepulang sekolah. Walhasil yang namanya memasak ataupun mengenal bumbu dapur sama sekali tidak ada dikamus Ibu sebelum menikah. Ditambah lagi setelah merantau ke Situbondo untuk bekerja, Ibu ngekos yang fasilitasnya sudah termasuk makan.
Bapak dan Ibu sejak pertama kenalan sampai menikah membutuhkan waktu yang tidak lama, hanya 6 bulan saja. Mereka bukan hasil perjodohan ataupun kenalan di online dating (ya kali tahun ’80 sudah ada online dating), melainkan murni dari kenalan biasa. Kapan-kapan saya akan ceritakan bagaimana kisah mereka bertemu, yang mengikuti aliran kalau memang jodoh tidak akan kemana. Entah mengikuti jejak orangtua atau memang sudah jalannya, Adik saya menikah dalam waktu 6 bulan sejak kenalan, saya 8 bulan. Oke, kembali lagi ke cerita Ibu dan Bapak. Dalam masa 6 bulan pengenalan tersebut, Bapak sudah tahu kalau Ibu tidak bisa memasak. Tetapi Bapak tidak pernah mempermasalahkannya. Pada saat Ibu diajak untuk berkenalan dengan keluarga Bapak dan oleh Mbah (ibu dari Bapak) diajak ke dapur untuk membantu masak, Ibu sama sekali tidak tahu segala jenis bumbu-bumbu disana. Apakah kemudian Mbah tidak menyetujui Ibu dan Bapak untuk menikah karena Ibu tidak bisa memasak?
Terlahir sebagai bungsu dari 4 bersaudara, Bapak adalah satu-satunya anak lelaki dikeluarga. Semua kakak Bapak (saya memanggil bude) sangat jago memasak. Legendaris sekali masakan mereka dikeluarga besar kami, TOP enaknya. Hal itu disebabkan karena Mbah memang jago masak juga, dan Mbah tidak pernah menyuruh anak-anak perempuannya untuk belajar memasak. Semua datang dari kesadaran sendiri. Bude-bude masuk ke dapur karena mereka ingin belajar memasak, bukan karena memasak adalah sebuah keharusan. Kembali ke pertanyaan sebelumnya : Apakah kemudian Mbah tidak menyetujui Ibu dan Bapak untuk menikah karena Ibu tidak bisa memasak? jawaban Mbah (aslinya dalam bahasa jawa, saya sudah terjemahkan) :
Perempuan itu tidak harus bisa memasak. Namanya Rumah Tangga, semuanya ya dikerjakan bersama. Kalau istri tidak bisa memasak, ya berarti suaminya yang belajar masak, atau keduanya sama-sama belajar masak. Kalau malas dan punya uang, ya beli saja diwarung, kan gampang. Urusan yang simpel jangan dibuat susah.
Ya, kepandaian memasak ternyata bukan kriteria utama Ibu diterima sebagai menantu. Bapak yang sejak SMA sudah hidup ngekos dan memang sudah biasa ikut membantu memasak Mbah, tumbuh sebagai lelaki yang terbiasa didapur. Jadi, yang mengajari Ibu memasak sejak kawin adalah Bapak dan Bude-bude. Memperkenalkan satu persatu segala bumbu dapur dan resep masakan. Saya selalu ingat cerita ini : suatu hari, Ibu ceritanya ingin sekali membuat soto ayam untuk Bapak. Berbekal dari catatan resep yang diberitahu bude, mulailah Ibu mengolah soto ayam sepulang mengajar. Ketika Bapak pulang kerja, dengan bangganya Ibu berujar kalau nanti malam menunya spesial, yaitu soto ayam. Bapak tentu girang bukan kepalang. Saat yang dinanti tiba. Ketika soto ayam dihidangkan, kening Bapak sempat berkerut melihat soto ayam yang tersaji di mangkok. Tapi itu tidak berlangsung lama karena setelahnya Bapak berujar, “wah, terima kasih ya, kamu sudah memasak soto ayam buat saya. Saya senang sekali soto ayam kali ini sangat spesial karena warnanya berbeda dari biasanya. Tapi tidak masalah, yang penting namanya soto ayam.” Saya bertanya kepada Bapak memang sotonya berwarna apa. Soto ayamnya ternyata berwarna hijau karena Ibu mengulek seledrinya berbarengan dengan bumbu halus lainnya. Saya kalau teringat cerita itu selalu tertawa. Karena Ibu sendiri selalu menceritakan dengan ditambahi guyon-guyon lainnya. Bapak tetap menyantap soto ayam tersebut sampai tandas, yang dikemudian hari Bapak menyebutnya soto ayam rasa seledri.
Tetapi sejak saat itu Ibu semakin tertantang untuk belajar memasak. Bukan karena Bapak yang menuntut, tetapi karena Ibu memang ingin belajar memasak. Keinginan yang datang dari dalam hati, bukan karena tuntutan. Secara perlahan tapi pasti, akhirnya Ibu semakin mahir memasak. Tetapi kalau Ibu sedang capek atau malas, giliran Bapak yang memasak. Saat Ibu sering sakit, Bapak yang memasak untuk seluruh anggota keluarga, setiap hari sampai Ibu sembuh. Sampai sebelum Bapak meninggal, beliau tetap rajin memasak. Ada satu masakan Bapak yang membuat kami anak-anaknya selalu kangen. Kami menyebutnya nasi goreng super pedes Bapak. Bumbunya sangat sederhana : bawang putih, cabe rawit hijau dengan jumlah yang sangat banyak, garam diulek ditambah dengan daun jeruk. Juara sekali sekali rasa pedasnya, sampai telinga kami berdengung kalau makan nasi goreng Bapak, tapi rasanya joss gandoss enak. Walaupun saya mencoba membuat sendiri, tetapi selalu beda rasanya dengan buatan Bapak. Nasi goreng inilah salah satu hal yang membuat kami selalu merindukan Bapak.
Sering saya bertanya kepada Bapak, kenapa sebelum menikah dan tahu kalau Ibu tidak bisa memasak tidak membuat Bapak menyurutkan langkah?
Saya mencari wanita untuk dijadikan Istri, bukan Koki
Itu jawaban Bapak. Pertanyaan yang sama pernah saya lontarkan ke suami sebelum kawin “kalau saya tidak bisa memasak, apa kamu masih mau meneruskan rencana perkawinan kita?” suami tergelak kemudian menjawab, “pertanyaanmu aneh, kita kan akan kawin, bukan interview jadi tukang masak di restoran. Lagian kan saya bisa memasak. Kalau kamu tidak bisa dan tidak mau masak, saya tidak masalah memasak untuk kita.” Tetapi karena saya selalu kangen makanan Indonesia (dan kalau beli terus mahal), jadinya ya saya dengan senang hati masak makanan Indonesia. Giliran dia masak yang sesuai keahliannya, makanan Belanda dan Eropa (cerita tentang pembagian memasak dengan suami sudah pernah saya tulis disini). Bukan tanpa sebab saya mempertanyakan hal tersebut, karena ketika punya hubungan dengan lelaki-lelaki sebelum suami, pasti ada pertanyaan, “kamu bisa masak ga?” Kan njeketek kalau setiap pacaran ditanya seperti itu. Atau selalu ada celutukan, “Ibuku masakannya uenaakk lho, mudah-mudahan kamu bisa masak seenak Ibuku ya.”
Entah kalimat dalam foto tersebut sarkastis ataupun kalimat sesungguhnya, tetapi saya melihat dari sisi kehidupan saya dan lingkungan terdekat. Menurut pendapat saya, Istri memang tidak wajib untuk bisa memasak. Kalau bisanya hanya memasak mie instant, ya terimalah sesuai keadaan yang ada. Memasak mie instant juga butuh keahlian lho, tetap saja namanya memasak. Kalaupun suatu hari istri ternyata ingin belajar memasak, berarti memang dia ingin, bukan dituntut. Memasak untuk keluarga itu paling enak dengan penuh rasa cinta karena sampainya juga penuh cinta, tidak menyoal rasanya seperti apa. Tetapi jika istri tidak bisa memasak bukan berarti dia tidak punya rasa cinta ataupun tidak perduli kepada keluarga. Meskipun memang menyenangkan kalau bisa menyajikan makanan hasil olahan sendiri ke keluarga, selain lebih hemat juga (mudah-mudahan) lebih sehat. Tetapi kembali lagi, menurut saya itu tidak mutlak, apalagi di Indonesia disetiap pengkolan pasti ada warung, restoran atau tukang jual makanan yang aduhai enak rasanya. Kalau istri tidak bisa atau tidak mau memasak, tidak ada salahnya juga lho para suami turun ke dapur untuk belajar masak atau bergantian masak untuk keluarga. Memasak itu bukan hanya tugas istri. Rumah tangga itu tidak sama algoritmanya antara satu dengan lainnya seperti yang pernah saya tulis disini (terima kasih untuk komentar-komentar yang mencerahkan). Karena tidak sama tersebut, maka tidak elok juga rasanya menyerang istri-istri yang tidak bisa memasak, atau para suami yang membandingkan istri-istri yang jago memasak. Semua istri itu hebat dengan segala kekurangan dan kelebihan masing-masing, jago atau tidaknya dia memasak bukan menjadi persoalan utama.
Bagi lelaki yang sedang mencari istri dengan kriteria harus bisa memasak, semoga kembali berpikir ulang dan bijak terhadap kriteria yang ditetapkan. Memang tidak salah mempunyai keinginan seperti itu, wong masing-masing orang pasti punya kriteria idaman. Saya hanya teringat ucapan Bapak saja, “mau cari istri atau cari koki.”
–Den Haag, 25 Februari 2016-
catatan seorang istri yang sudah sebulan lebih sedang muaaales masak, males semales malesnya, berharap tukang nasi goreng atau tahu tek-tek atau tahu campur lewat depan rumah, atau ada warung kepiting saos padang disebelah rumah.
Saya sangat suka memperhatikan bagian dari muka orang. Hal pertama yang selalu menarik perhatian adalah alis. Saya selalu terkagum dengan mereka yang mempunyai alis asli lebat dan rapi. Maklum saja, alis saya pas-pasan, jadinya suka kalau melihat ada orang yang mempunyai alis bagus. Mungkin karena terlalu terobsesi dengan alis, seringnya tanpa sadar selalu terlontar ucapan “alisnya bagus” kepada orang yang saya temui dengan alis yang menurut kriteria saya bagus. Sampai ada seorang teman yang ketika datang ke perkawinan kami menyebut bahwa saya tertarik sama suami pertama kali pasti karena alisnya, yang memang saya amini selain karena dia pria berkacamata *saya suka klepek-klepek kalo lihat pria berkacamata 😀. Karena beralis minimal, saya beberapa kali belajar membuat alis supaya nampak lebih bagus, bukan dengan mencukur tetapi dengan menambah ketebalannya menggunakan pensil alis, dimana berakhir dengan bentuk yang tidak memuaskan. Akhirnya ya pasrah saja punya alis pas-pasan dan mengagumi mereka yang bisa membentuk alis dengan bagus menggunakan pensil alis. Sewaktu kawin dulu, saya tidak mau alis dicukur oleh perias. Selain alis yang menjadi daya tarik sehingga saya memperhatikan muka orang, gigi juga menjadi salah satu parameter buat saya berlama-lama memandangi muka.
Berawal dari gandrung menonton film dan drama Korea, yang entah kapan itu awal mulanya, saya jadi suka memperhatikan gigi setiap bertemu orang. Maklum saja, pemain film dan drama Korea selain kulit mukanya yang bisa membuat nyamuk dan lalat terpeleset, giginya juga sering membuat saya terkagum, meskipun dibalik gigi bagus mereka mungkin perawatannya super intensif atau bahkan mungkin sudah melalui proses kosmetik gigi. Saya suka dengan gigi yang rapi dan sehat karena kalau gigi cantik itu relatif ya, maksudnya warna gigi bukan yang harus putih seperti cat tembok terus saya mengkategorikan menjadi gigi cantik, bukan seperti itu meskipun saya juga ingin punya warna gigi yang putih paripurna. Menurut saya, gigi sehat itu lebih penting dan jikalau memungkinkan juga rapi.
Sejak kecil, saya dan adik-adik sudah dibiasakan untuk pergi ke dokter gigi oleh Ibu. Awalnya karena salah satu adik saya harus dipasang kawat gigi karena selain bentuk giginya yang tidak rapi, setelah diobservasi oleh dokter ternyata bisa mengganggu kesehatan mulutnya. Dari situlah kami sekeluarga akhirnya menjadi rajin ke dokter gigi, paling tidak satu tahun sekali. Karena disiplin mengikuti instruksi dokter gigi dan memang sejak kecil kami tidak dibiasakan memakan makanan yang mengandung banyak gula, contohnya coklat dan permen, bersyukurnya sampai sekarang keadaan gigi kami sekeluarga dikategorikan bagus karena belum (jangan sampai) mengalami proses tambal gigi dan tidak ada yang berlubang. Yang paling saya kagumi adalah gigi Ibu, diusianya yang sudah lebih dari 60 tahun, gigi Ibu kondisinya masih bagus, rapi, tidak pernah sakit gigi sekalipun dan tidak ada tambalan sama sekali, warnanya giginya juga cerah. Oh iya, sejak kecil kami juga tidak dibiasakan minum kopi ataupun teh, mungkin karena itu juga yang menjaga warna gigi meskipun tidak bisa putih cemerlang tetapi minimal masih cerah. Satu-satunya keluhan dengan gigi dikeluarga saya adalah karang gigi.
Pada saat usia SMA, saya pernah punya ambisi untuk pasang kawat gigi. Waktu itu saya menganggapnya keren karena melihat teman-teman SMA kawat giginya berwarna warni. Ternyata setelah saya tahu, prosesnya menyakitkan dan tidak ada keren-kerennya sama sekali serta dimarahi oleh dokter gigi karena saya dianggap tidak bersyukur karena sudah punya gigi rapi malah mau pasang kawat gigi. Ketika kuliah, saya tetap rajin ke dokter gigi yang tempat prakteknya ada diklinik kampus. Selain karena harga konsultasinya terjangkau untuk anak kuliahan yang statusnya ngekos, juga karena tempatnya tidak jauh dari jurusan dan fasilitasnya juga bagus. Senangnya saat sudah bekerja, biaya kontrol ataupun membersihkan karang gigi ternyata diganti oleh kantor. Tentu saja saya memanfaatkan fasilitas kantor tersebut semaksimal mungkin. Enam bulan sekali pasti saya kontrol ke dokter gigi, entah hanya sekedar kontrol biasa maupun membersihkan karang gigi. Perasaan saya selalu senang saat keluar dari ruangan dokter gigi, merasa kalau gigi bersih dan mengetahui jika gigi sehat itu senang luar biasa, berasa enteng mulutnya, bukan enteng pengen ngatain orang ya LOL 😀. Datang ke dokter gigi selalu menjadi bagian yang dinanti karena bersyukurnya sampai sekarang belum pernah punya pengalaman buruk dengan dokter gigi.
Sewaktu pertama kali pindah ke Belanda, suami sempat ragu untuk memasukkan dokter gigi ke asuransi kesehatan saya dengan alasan karena saya tidak ada riwayat sakit gigi maupun bermasalah dengan gigi. Akhirnya diambil jalan tengah, dokter gigi akan ditambahkan ke asuransi kesehatan setelah diobservasi terlebih dahulu. Pertama kali datang ke dokter gigi di Den Haag setahun lalu, setelah dicek sana sini, dokternya bilang gigi saya bagus kondisinya hanya sedikit bermasalah dengan gusi yang mengakibatkan saya harus datang lagi untuk pemeriksaan menyeluruh. Setelah datang kedua kali dan diperiksa secara intensif (hampir satu jam) ternyata permasalahan dengan gusi tidak terlalu parah yang kemudian saya diberi tahu cara menyikat gigi yang benar dan dianjurkan mengganti sikat gigi manual menjadi sikat gigi elektrik. Jadi sudah setahun ini saya menggunakan sikat gigi elektrik. Dengan kondisi gigi yang baik-baik saja, jadwal ke dokter gigi hanya perlu setahun sekali. Dokter gigi saya ini orangnya gaul. Diruangan dia selalu diputarkan musik sesuai permintaan pasien. Jadi sewaktu saya datang pertama kali, ditanya mau diputarkan musik apa. Saya iseng saja bilang kalau ingin dengar Bon Jovi, lah ternyata dia punya lho. Sewaktu datang kedua kali, saya minta diputarkan Coldplay, dia juga punya. Curiga dia ini mantan penyiar radio kampus :D.
Kebiasaan memperhatikan gigi orang dikemudian hari mengakibatkan karma buat saya. Tidak disangka tidak dinyana, ternyata suami dan Mama mertua ketika pertama kali bertemu saya yang dinilai pertama kali adalah gigi. Ini pengakuan jujur terlontar dari suami dan Mama mertua setelah saya pindah ke Belanda. Ternyata penilaian yang merupakan bagian screening tersebut dilakukan diam-diam dan mereka tidak merencanakan bersama alias misi masing-masing. Mama mertua dengan terus terang mengatakan kalau sejak pertama bertemu saya langsung tertarik mengenal lebih jauh karena gigi saya (nampak) sehat dan rapi. Menurut beliau, kalau seseorang giginya sehat, artinya dia juga pandai menjaga kesehatan anggota badan yang lainnya. Saya mahfum beliau sampai berpendapat seperti itu karena gigi beliau dan anak-anaknya sampai sekarang kondisinya bagus dan terjaga dengan baik.
Saya tidak ada kiat muluk-muluk dalam menjaga kesehatan gigi. Sikat gigi setelah makan besar dan sebelum tidur (jadi saya sikat gigi 1-3 kali sehari, tapi ya seringnya 2 kali). Saya menyikat gigi dengan cara yang sudah diajarkan oleh dokter gigi : sebelum menyikat gigi, membersihkan sela-sela gigi dan gusi dengan alat pembersih khusus, semacam tusuk gigi tapi ada bulu-bulu halusnya. Hal ini dilakukan untuk membersihkan sisa makanan yang tidak terjangkau oleh sikat gigi supaya tidak mengendap disitu. Kemudian membersihkan sela gigi dengan benang, Jika memakai sikat gigi elektrik sikatnya tidak boleh ditekan ke gigi (jadi ditempel secara normal saja, tidak perlu ditekan) dan setiap gigi diberi waktu 3 detik, setelahnya sikat dipindah ke bagian gigi lainnya, seterusnya sampai keseluruhan gigi selesai disikat. Menyikatnya bukan hanya pada bagian gigi saja, tetapi didekatkan juga ke area gusi supaya gusi juga ikut dibersihkan. Setelah selesai menyikat gigi dan berkumur dengan air, ditutup kumur dengan cairan kumur mulut. Jangan lupa juga untuk membersihkan lidah juga karena lidah salah satu tempat sumber berkumpulnya kuman yang menyebabkan nafas tidak sedap. Saya juga menjaga pola makan yang seimbang, tidak suka memakan makanan yang manis, tidak minum teh kopi dan minuman bersoda (kalau ini karena kebiasaan), banyak makan sayur dan buah.
Kalau gigi sehat, mulut terjaga kesehatannya, dan nafas tidak bau, rasanya senang selain juga hemat kan karena tidak perlu sering-sering ke dokter gigi. Jadi semangat juga untuk senyum ala tiga jari seperti foto blogger kondang dibawah ini 😀
Ini cerita sisipan, jumat malam kami mendapatkan kunjungan dari blogger Arif Rahman yang punya blog Backpackstory. Jadi ceritanya dia dan istri (namanya Gladies) yang menikah seminggu lalu sedang bulan madu ke beberapa negara di Eropa, salah satunya Belanda. Akhirnya berkunjunglah mereka ke tempat kami. Saya memasak beberapa masakan Indonesia yang gampang-gampang saja masaknya (ayam panggang, urap-urap, tumis pedes cumi asin pete, tahu tempe goreng, dan sambel trasi). Eh, ternyata Gladies kangen makan Indomie kuah, akhirnya dia masak sendiri Indomie kuah pakai sawi, telur, bakso dan potongan cabe rawit. Ternyata lidah Indonesia memang ga bisa bohong ya, kangennya malah sama Indomie (saya juga sering begini :D).
Kembali lagi ke masalah pergigian, kalian punya cerita atau pengalaman tentang kesehatan gigi?
-Den Haag, 21 Februari 2016-
Sumber foto pertama : http://www.123rf.com/stock-photo/molar_tooth.html
Sabtu 13 Februari 2016, kami berkesempatan untuk menyaksikan kemeriahan perayaan Tahun Baru Cina 2016 di pusat (centrum) kota Den Haag. Acara ini berlangsung dari jam 11 siang sampai jam 5 sore. Meskipun paginya sempat mendung, tapi menjelang tengah hari langit berangsur cerah, padahal beberapa hari sebelumnya hujan setia mengguyur kota ini. Saya sempat mbatin, wah, pawang hujannya ciamik nih, namun akhirnya saya sadar masak iya disini ada pawang hujan. Walaupun udara tetap saja dingin menggigit (1 derajat celcius), sampai badan saya menggembung karena harus dobel-dobel memakai baju, jaket tebal juga syal dan sarung tangan, tetapi tak menyurutkan kayuhan sepeda kami menuju centrum.
Rupanya kami terlambat karena sesampainya di Stadhuis (Balai Kota), atraksi Barongsai sudah selesai. Jadi Perayaan Tahun Baru Cina disini menyebar diberbagai tempat tetapi masih disekitar pusat kota. Nah, perayaan utamanya (panggung utama, undangan-undangan penting yang hadir, pameran, hiburan) bertempat di Stadhuis.
Ada untungnya juga punya badan mungil seperti saya ini. Awalnya yang terhalang orang-orang yang tingginya menjulang, tetapi karena melihat kerumunan tidak terlalu rapat, akhirnya saya bisa merangsek pelan-pelan kearah dekat panggung. Nah, begitu saya melirik kearah kiri, kok melihat anak-anak kecil dan beberapa orang dengan kamera yang lensanya semacam teropong saking gedenya,gelesotan dilantai arah depan panggung persis, dan mereka menyandar meja. Akhirnya saya ikutan duduk lesehan dilantai. Awalnya anak-anak kecil itu melihat saya dengan pandangan semacam “Hoi, kamu sudah gede kok ikutan gaul sama anak-anak kecil” tetapi tidak berapa lama kemudian mereka mulai menyapa saya. Senang mendengarkan mereka berbicara karena anak-anak ini multi bangsa. Jadi kalau mereka saling berbincang menggunakan bahasa Belanda, trus kalau berbicara dengan orangtuanya ada yang menggunakan bahasa Mandarin, ada yang menggunakan bahasa Arab *hasil nguping. Iri deh melihat mereka lancar sekali berbahasa Belanda. Sementara sewaktu mereka mengajak saya ngobrol pandangannya semacam “Mbak iki ngomong opo sih kok aku ga paham.” (kok saya jadi suudzon ya :D).
Ini beberapa hiburan yang ada dipanggung utama. Saya tidak sampai selesai acara disini. Sementara suami sudah sejak awal melipir ketempat lain, maklum dia tidak suka acara yang ada suara kencang seperti ini. Jadinya kami berpisah mencari hiburan sesuai kesenangan masing-masing.
Puas menyaksikan hiburan di Stadhuis, saya melangkah ke Chinatown. Ternyata disebelahnya ada bazar makanan. Saya mampir sebentar, eh ketemu suami disana. Dia sedang keliling menelisik kemungkinan mendapatkan tester makanan. Dasar!
Dari kejauhan terdengar suara tabuhan dan petasan rencengan, bergegas kami menuju sumber suara. Ternyata sedang berlangsung pertunjukan Barongsai. Sayangnya saya benar-benar tidak bisa menerobos kerumunan yang benar-benar padat. Pawai ini diadakan beberapa kali dibeberapa tempat sampai jam 5 sore. Nampak sekali antusias yang menonton karena setiap pawai selalu padat pengunjung dari orang-orang yang kebetulan sedang melintas ataupun mereka yang sengaja menunggu.
Selesai jalan-jalan sebentar ke beberapa toko, saya berbelanja sayur ke toko Amazing Oriental sementara suami belanja ke toko sebelah. Belum lama memegang tas belanja, saya mendengar suara tabuhan dekat sekali. Ternyata didepan toko ini sedang ada pertunjukan barongsai. Saya langsung lari keluar dan tas belanja saya letakkan dipinggir. Jadi ada 2 barongsai, merah dan hijau, mereka akan masuk kedalam toko. Kemudian ada satu orang seperti sedang berdoa didepan dua barongsai ini lalu memberikan sayur seperti kubis untuk dimakan kedua barongsai ini. Kedua barongsai diiringi tabuhan memasuki toko dan berjalan dengan gerakan barongsai yang meliuk-liuk kesetiap lorong didalam toko. Jadi saya menebak seperti upacara supaya rejeki lancar setahun kedepan mungkin ya. Seru sekali melihatnya. Ketika barongsai sudah keluar dari toko, eh ada yang bagi-bagi angpao dan coklat. Saya kebagian 3 amplop Angpao. Wah rejeki ya, mau belanja malah dikasih uang.
Sepulangnya dari centrum, kami makan malam direstoran Indonesia yang baru buka dekat rumah. Saya sejak beberapa minggu ini ingin sekali makan gudeg. Akhirnya keturutan juga makan gudeg direstoran ini. Kan sudah dapat Angpao, makanya makan-makan 😀
Senang sekali akhirnya tahun ini bisa menyaksikan kemeriahan perayaan tahun baru Cina 2016. Sepertinya baru kali ini saya menyaksikan perayaan ini, di Indonesia belum pernah melihat secara langsung, hanya menyaksikan liputan di TV.
Beberapa hari lalu kami baru merayakan 1.5 tahun usia perkawinan, dimana sebenarnya saya lupa tapi suami dengan berbesar hati bisa menerima kekurangan saya yang selalu lupa tanggal. Iya, saya gampang sekali lupa tanggal, tapi saya gampang mengingat momen. Seringnya seperti ini :
Suami “Besok kita tanggal 9 kemana nih”
Saya “Lho, ada acara apa tanggal 9?”
Suami “………..”
Padahal tanggal 9 itu adalah tanggal perkawinan kami. Dan hampir setiap bulan saya lupa :D. Kami memang punya kebiasaan untuk merayakan ulang bulan perkawinan. Seru aja sih rasanya. Setelah makan malam dirumah dengan memesan Sushi, suami tiba-tiba bertanya apakah saya ingat ada kejadian apa dua tahun lalu. Tentu saja saya tidak akan lupa, dua tahun lalu pertama kali kami bertemu, trus dia main kerumah lalu berbicara serius kepada Ibu. Setelahnya kami jalan-jalan ke Kawah Ijen, Gunung Bromo dan Air Terjun Madakaripura. Saya ingat ketika kami jalan-jalan ke Gunung Bromo dan Air Terjun Madakaripura itu tanggal 14 Februari 2014 dan dia membelikan saya sandal jepit merah, huahaha penting banget disebut. Tuh kan, kalau bertepatan dengan momen tertentu, gampang untuk saya mengingat.
Jadi kali ini saya akan melanjutkan cerita setelah kami ke Kawah Ijen yang sudah pernah saya tuliskan diblog ini. Jadi dalam perjalanan menuju rumah dari Pantai Pulau Merah, mas Ewald bertanya kapan rencana ke Bromo. Dia penasaran ingin ke Gunung Bromo karena membaca sebuah artikel majalah dalam pesawat Garuda menuju Indonesia. Saya sebenarnya bingung mengatur waktunya karena lusa dia sudah harus kembali ke Belanda. Setelah berunding, akhirnya dia menyanggupi kalau kami akan pergi jam 12 malam ke Bromo dengan tetap menggunakan mobil sewa sekaligus Pak Sopirnya. Terbayang kan hardcorenya setelah naik turun Kawah Ijen trus ke Pantai Pulau Merah jam 10 malam baru sampai Situbondo lalu jam 12 berangkat lagi ke Gunung Bromo. Tapi ya sudahlah, ada turis yang kebeletbanget ingin melihat sunrise di Bromo.
Gunung Bromo
Sekitar jam setengah 3 pagi kami sampai dibagian bawah gunung bromo, duh apa ya nama daerahnya lupa. Mobil tidak bisa naik jadi harus menggunakan jip atau sewa ojek. Saya kalau ke Bromo sebelum-sebelumnya selalu bersama keluarga atau teman-teman, menginap semalam, trus ke kawah Bromo kami jalan kaki melintas lautan pasir untuk melihat sunrise dari atas kawah. Saya belum pernah melihat sunrise dari Penanjakan. Karena baru pertama itulah saya tidak ada pengalaman tentang sewa jip atau sewa ojek. Untungnya Pak Sopir sudah berpengalaman mengantarkan tamu kesini, jadi sudah tau medan. Awalnya ingin sewa jip, tapi kok ya mahal sekali, kalau tidak salah 600 ribu tapi jamnya dibatasi. Sedangkan sewa ojek lebih murah dan jam selesainya terserah kita. Untuk 2 sepeda motor, sewanya 200 ribu.
Dengan kedaan saya yang super mengantuk, kami berempat akhirnya menembus lautan pasir menuju Penanjakan. Pagi itu super dingin dan angin berhembus kencang. Walhasil saya menggigil menahan dingin yang menusuk. Ada disatu tempat saya hampir terjungkal kebelakang karena tiba-tiba tertidur. Untungnya saya sigap langsung memegang bagian kanan kiri sepeda motor. Untungnya tidak otomatis memeluk abang ojeknya :D.
Sesampainya di Penanjakan, ternyata tempatnya sudah penuh dengan wisatawan domestik dan mancanegara yang sama-sama ingin berburu foto sunrise. Mas Ewald dengan santainya berdiri dititik yang strategis dan dengan sabar menunggu sunrise datang dengan kameranya. Sementara saya yang masih mengantuk berat mencari tempat yang nyaman untuk bersandar dan tidur :D. Setelah ditunggu beberapa lama sampai menjelang jam 6, matahari tidak kunjung datang. Inilah yang ditakutkan para pemburu sunrise, yaitu mendung. Iya, pagi itu kami belum beruntung karena cuaca yang sebelumnya cerah, tiba-tiba tanpa disangka mendung menggelayut dan tidak berapa lama kemudian rintik hujan datang. Mas Ewald tentu saja kecewa karena dia tidak bisa menyaksikan secara langsung keindahan sunrise di Bromo yang dia lihat dari majalah. Namun demikian, dia tetap senang karena sudah menginjakkan kaki dikawasan Gunung Bromo.
Setelahnya kami melanjutkan perjalanan menuju kawah Gunung Bromo. Sewaktu kami kesana ternyata berbarengan dengan upacara pelemparan sesajen ke kawah. Bukan upacara besar, hanya terlihat beberapa orang menggunakan baju seperti yang dikenakan penduduk Bali jika sedang ada upacara adat.
Setelah dari Kawah, kami melanjutkan ke Pura yang letaknya tidak jauh dari situ. Pura ini bernama Pura Luhur Poten Gunung Bromo. Pura ini merupakan tempat pusat ibadah Suku Tengger yang mayoritas beragama Hindu.
Setelah berkeliling dan puas melihat bagian dalam Pura, kami memutuskan kembali ke tempat mobil berada. Saat berada diboncengan, tangan abang ojek tiba-tiba menunjuk ke arah depan. Kemudian dia berkata kalau kepulan asap didepan sana itu berasal dari gunung kelud yang meletus. Wah, ternyata Gunung Kelud sedang meletus. Pada saat itu saya berpikir hanya letusan biasa. Ternyata sesampainya kami dirumah, Ibu memberitahu kalau letusannya besar dan Bandara Juanda ditutup, jadi tidak ada penerbangan karena hujan pasir sampai ke wilayah Surabaya.
Air Terjun Madakaripura
Setelah sampai mobil, Pak Sopirnya bertanya tujuan selanjutnya kemana lagi. Karena rencana kami hanya ke Bromo, maka saya bilang kalau langsung pulang kerumah saja. Beliau memberitahukan kalau searah dengan jalan pulang, kami akan melewati Air Terjun yang terkenal, namanya Air Terjun Madakaripura.Wah, saya bolak balik ke Bromo kok belum pernah mendengar keberadaan Air Terjun ini ya sebelumnya. Karena memang hari masih siang, saya mengiyakan usulan beliau, toh searah dengan jalan pulang.
Setelah melewati jalanan yang penuh kelokan dan disuguhi pemandangan lereng yang penuh dengan tanaman wortel, kubis maupun kol serta udara pegunungan yang segar, sampailah kami di Air Terjun Madakaripura yang berlokasi dikecamatan Lumbung, masih dalam kawasan Taman Nasional Gunung Bromo. Menurut cerita yang beredar, Madakaripura ini dulunya adalah sebidang tanah yang dihadiahkan oleh Raja Hayam Wuruk kepada Patih Gajah Mada. Konon ditempat inilah Patih Gajah Mada menghilang secara fisik maupun spiritual atau moksa dari muka bumi. Karenanya dibagian depan area terdapat patung Patih Gajah Mada. Air pada air terjun ini masih dianggap sebagai air suci atau Tirta Sewana dan biasanya penduduk tengger menggunakannya pada prosesi Mendhak Tirta yang dilakukan setiap tahun.
Masuk kedalam kawasan Air Terjun Madakaripura ini cukup dengan membayar retribusi sebesar Rp 5000, kalau tidak salah. Dan sebaiknya menggunakan sandal atau sepatu khusus untuk trekking karena melewati bebatuan dan menyeberangi sungai. Medannya cukup sulit, saya sampai terpeleset dua kali karena bebatuan yang licin. Karena memang tidak ada persiapan akan ke air terjun, walhasil saya harus membeli sandal jepit disini, ya daripada sepatu basah. Ehm, ralat, bukan saya yang membeli. Lebih tepatnya sandal jepit merah ini kado, “sandal jepit merah ini anggap saja kado hari Valentine ya,” err yang lain dapat coklat, ini dikasih sandal jepit :D. Sandal jepitnya masih ada sampai sekarang, bukan karena sengaja disimpan, tapi memang tidak ada yang memakainya di Situbondo. Oh iya, ada jasa pemandu juga disini. Saya pikir waktu itu bakal dibohongi harus menyewa pemandu segala. Ternyata memang karena medannya cukup susah, bersyukur juga akhirnya memutuskan untuk bayar pemandu, jadi selain membantu sebagai penunjuk jalan, juga menolong ketika menyeberang sungai plus jadi tukang foto dadakan.
Pemandangan menuju air terjunnya benar-benar indah diiringi dengan suara gemericik air sungai dan suara burung yang saling bersahutan berbunyi. Tapi saya agak ngeri juga sih, membayangkan tiba-tiba ada air bah datang. Beruntungnya hujan tidak turun karena kalau ada hujan, kami tidak akan diijinkan masuk, terlalu beresiko.
Setelah hampi 1km (kata pemandunya) melalui medan yang sulit, naik turun bebatuan, menyeberangi sungai, akhirnya sampai juga kami dilokasi Air Terjun Madakaripura. Ketika sampai disini, entah kenapa perasaan saya menjadi tidak nyaman. Berasa hawa horor, atau mungkin saya saja yang membayangkan ada makhluk-makhluk halus disana. Berasa merinding selama didalam sini. Air terjun ini memiliki ketinggian sekitar 200 meter, berada diantara tebing-tebing yang menjulang tinggi dan seakan-akan membentuk tirai pada seluruh bidang tebingnya.
Setelah cukup puas disini, dengan tidak berlama-lama, akhirnya kami kembali menyusuri jalan semula menuju ke tempat parkir mobil. Akhirnya kesampaian dengan tanpa rencana sebelumnya ke Air Terjun Madakaripura. Ternyata Air Terjun ini sudah pernah masuk diacara traveling beberapa stasiun TV. Wah, saya berarti yang kurang gaul sampai tidak pernah mendengar ada air terjun ini sebelumnya :D.
Kami langsung pulang dengan singgah direstoran di Probolinggo untuk makan siang yang tertunda. Saya lupa nama restorannya apa. Subuh keesokan harinya kami harus berangkat ke Surabaya karena Mas Ewald harus kembali ke Belanda. Ternyata Juanda ditutup dan semua penerbangan dibatalkan. Setelah mengurus jadwal ulang keberangkatan, akhirnya dia menginap 2 malam lagi di Surabaya. Waktu dua hari tersebut kami manfaatkan untuk berkeliling Surabaya.
Sudah dua tahun lalu rupanya awal sebuah cerita, cerita tentang pertemuan pertama kami. Dan dua tahun kemudian kami sudah melalui 1.5 tahun perkawinan. Semoga selalu bahagia langgeng jaya damai sentosa *semacam slogan dibelakang truk.
Selamat berakhir pekan bersama orang terkasih dan teman-teman tersayang. Ada rencana khusus apa nih akhir pekan ini?
Saya melewati akhir pekan bersama Chris Martin. Bukan, bukan menonton konser Coldplay (belum), karena lebih tepatnya saya melewati jumat, sabtu dan minggu dengan berkaraoke lagu-lagu Coldplay. Berawal dari salah satu akun twitter yang membuat status tentang Carpool Karaoke edisi Chris Martin, akhirnya saya telusuri di Youtube dan waaaahhh saya langsung jatuh cinta dengan Chris Martin acara ini (eh saya ga tau sih ini acara atau apa). Sepanjang durasi edisi Chris Martin saya senyum-senyum sendiri membayangkan bagaimana rasanya klesetan macam Putri Duyung dikursi belakang sembari mendengar suara renyahnya. Dia tertawa saja renyah dan sexy banget ya suaranya, pantes kalau menyanyi membuat hati meleleh *hati saya maksudnya :D. Saya putar berulangkali video ini, sampai detik ini. Ikut tersenyum, tertawa, entah kenapa ikut bahagia melihat mukanya Chris Martin -huahaha ini benar-benar subjektif banget-. Ya, sejak awal muncul Coldplay saya memang langsung suka. Ingat sekali yang memperkenalkan lagu-lagu Coldplay ini adalah mantan pacar. Setelahnya langsung terkiwir-kiwir dengan Chris Martin. Entah kenapa, saya memang selalu mengagumi lelaki yang bisa memainkan alat musik piano, gitar, dan drum. Nampak sexy menurut saya, pengecualian untuk raja dangdut :p. Carpool Karaoke yang edisi Adele juga asyik sekali, saya ikut tertawa mendengar percakapan mereka. Dan saya baru ngeh kalau Justin Bieber sekarang nampak ganteng ya dari acara ini. Saya tidak pernah memperhatikan sebelumnya karena dulu sebel banget melihat rambutnya.
Karena melihat Carpool inilah saya jadi kangen karaokean. Saya terakhir karaoke rame-rame ditempat karaoke bersama teman-teman sekitar tahun 2010, huahaha lama ya. Saya dulu punya dua grup karaoke, satu grup kantor, satu lagi grup teman-teman backpacker yang bernama Peucangers. Hampir setiap minggu setelah pulang kerja saya selalu pergi karaoke bersama mereka dengan jadwal bergantian. Bahkan sering juga seminggu dua kali. Kalau dengan teman-teman kantor untuk melepas penat karena memang pekerjaan yang tingkat stresnya tinggi meskipun hura-huranya juga tinggi. Terkadang kami pergi karaoke juga dengan beberapa orang agency selesai meeting. Kalau dengan orang kantor biasanya jumat sepulang kerja. Kalau dengan teman-teman backpacker jadwalnya tidak menentu, sesuai kesepakatan bersama. Yang biasa kami nyanyikan itu lagu-lagu Maroon 5, Inikah Cinta ME selalu tidak pernah ketinggalan lengkap dengan jogednya, Coldplay, Spice Girls, Bon Jovi, Kahitna, KLa Project, ABBA, Celine Dion dan karena yang di Peucangers itu mayoritas orang batak maka lagu-lagu batak tak lupa jadi lagu wajib buat karaoke. Kalau mereka sudah menyanyi lagu batak, saya diam karena tidak paham artinya (padahal nyaris kawin sama orang batak :D). Tempat karaoke yang biasa saya kunjungi bersama orang-orang kantor itu diseputaran Kelapa Gading karena dekat dengan kantor seperti Inul Vista, Nav, Happy Puppy trus apalagi ya sepertinya semua tempat karaoke diwilayah Kelapa Gading sudah pernah kami datangi semua. Kalau bersama Peucangers ya tempatnya sekitaran Setia Budi, Sarinah, karena tempat kerja mereka didaerah tersebut. Sewaktu kuliah kemarin saya juga sering karaoke sih, tetapi diruangan kampus bersama teman-teman kuliah kalau sudah sumpek mengerjakan tugas-tugas ataupun tesis. Seru juga karena biasanya kami nyanyi saat malam hari ketika menginap dikampus. Jadi seru-seruan nyanyi saat kampus sudah sepi, seringnya malah didatangi polisi kampus ditegur sampai diancam akan dilaporkan ke Kajur, hih tukang ngadu!
Jadilah weekend kemarin saya full berkaraoke lagu-lagu Coldplay, Afgan, Spice Girls, Maroon 5, dan lagu-lagu lainnya. Karaoke dimana? ya dirumah, lengkap dengan microphone (saya biasa menyebut alat ini halo halo sejak kecil). Jadi saya karaoke diruang tv, sementara suami mengurung diri diruangannya sambil mendengarkan David Bowie. Sumpek mungkin mendengar saya menyanyi terus haha. Wah, saya benar-benar rindu teman-teman karaoke. Kalau yang Peucangers sampai sekarang masih rajin karaoke meskipun sudah jarang karena kebanyakan sudah berkeluarga, jadi kalau mau nongkrong harus menyesuaikan dengan jadwal keluarga.
Suami sempat khawatir karena saya terus menerus menyanyikan lagu Coldplay, bahkan humming juga. Dipikir saya stress karena terlalu intensif belajar. Sampai dia bertanya “are you oke?” :D. Ya bagaimana, saya memang suka dengan Coldplay. Kalau album mereka yang terbaru saya suka lagu Fun, Everglow, Hymn For The Weekend juga Adventure of a lifetime meskipun The Scientist, Fix You, dan Gravity tetap juara dihati. Bahkan saat kami pergi bersepeda sekitar rumah, saya tetap bersenandung lagu-lagu Coldplay. Dia sampai bosan akhirnya pasrah mendengarkan suara saya sepanjang jalan.
Minggu sore saya mengajak suami untuk bersepeda ke hutan dekat rumah. Tetapi ketika sudah setengah jalan, tiba-tiba dia mengajak saya ke tempat lainnya. Dia bilang pagi saat lari, ada tempat baru yang dia lewati dengan beberapa kincir angin yang berjejer. Dia bilang mungkin kami bisa pergi kesana. Tentu saja saya senang karena mengunjungi tempat baru dan karena melihat kincir angin. Jarak kincir angin ini tidak terlalu jauh dari rumah, sekitar 15 menit saja bersepeda. Meskipun sore kemarin sedang dingin dan angin super kencang (5 derajat celcius dan kecepatan angin 50km/jam), kami tetap antusias bersepeda. Anginnya benar-benar kencang sampai saya jatuh nyaris kecemplung sungai karena tidak kuat menahan badan dan sepeda karena terpaan angin. Bersepeda melihat pemandangan seperti ini saja sudah membuat hati gembira. Salah satu kincir angin ini sudah ada sejak tahun 1642. Awet juga ya. Kami sempat celingak celinguk didepan kincir angin ini karena penasaran didalamnya seperti apa. Sepertinya jadi tempat tinggal karena melihat jendela kecil-kecil ada hiasan bunganya.
Demikianlah postingan random tentang akhir pekan kami. Saat sedang menulis ini saya ditemani lagu-lagu Maroon 5. Suka tidak kalian berkaraoke? Apa lagu favoritmu ketika karaoke?
Update : Ini sebenarnya postingan lama, tapi gara-gara saya ngubek folder foto, akhirnya menemukan foto-foto liburan saya dengan teman-teman sekitar tahun 2009 di Jogja, akhirnya saya update sekalian rekomendasi tempat makan yang di Jogja. Saya posting ulang siapa tahu ada yang akan ke Jateng libur panjang besok dan ingin wisata kuliner.
Menjelang akhir pekan seperti ini rasanya ingin ngabur sebentar buat jalan-jalan ya. Melepaskan sedikit penat karena rutinitas harian yang tidak ada habisnya. Kalau menuruti pekerjaan, memang tidak akan pernah selesai. Perlu sesekali memanjakan diri untuk berlibur disuatu tempat, membuat rileks pikiran dan badan. Tidak harus jalan-jalan serius, wisata kuliner juga bisa membuat hati senang. Tidak harus makanan yang mahal, yang penting hati riang.
Saya dan Mas Ewald suka makan dan mencoba beragam makanan baru, kecuali unggas dan daging buat saya. Nah, mumpung Mas Ewald sebulan di Indonesia, saya ingin memperkenalkan beragam makanan Indonesia. Supaya dia tahu kalau makanan Indonesia itu tiada duanya dan selalu membuat kangen siapapun yang merantau keluar negeri.
Dibawah ini beberapa tempat makan yang kami datangi ketika jalan-jalan pada bulan Agustus 2014 di 3 kota yaitu Semarang, Jogjakarta, dan Solo. Tempat makan di 3 kota ini kebanyakan saya kenal karena pernah mendatangi sebelumnya (saya sering ditugaskan di 3 kota ini sewaktu bekerja). Jadi bukan dari rekomendasi atau tempat yang jadi rujukan website travelling, melainkan dari pengalaman pribadi. Tetapi ada juga tempat yang kami datangi karena tidak sengaja, kepepet sudah kelaparan dan malas mencari tempat lainnya, eh ternyata tempatnya nyaman.
Restoran Bandeng Juwana yang terletak di Jalan Pandanaran ini saya ketahui pertama kali sewaktu sering ditugaskan ke Semarang oleh kantor. Awalnya tidak tahu kalau dipusat oleh-oleh ini terdapat tempat makan di lantai 2. Tempatnya nyaman, makanannya enak, harga bersahabat. Kami 2 kali makan ditempat ini. Oh iya, kita juga bisa memesan lumpia dengan bermacam variasinya di lantai satu, kemudian diantar ke lantai 2.
2. Noeri’s Cafe
Jl. Nuri no. 6 – Kota Lama, Semarang
Nah, Cafe ini tidak sengaja kami temukan karena aslinya salah jalan. Jadi setelah membeli tiket ke Jakarta dari Stasiun Tawang, kami ingin ke Gereja Blenduk. Tapi kami tidak tahu arah kesana lewat jalan mana. Akhirnya kami gambling lewat jalan kecil, persis depan stasiun. Ketika berjalan melewati tempat ini, kami merasa tidak ada yang spesial. Seperti Cafe biasa pada umumnya. Mas Ewald sempat berhenti untuk mengambil gambar dari depan. Tiba-tiba dari dalam ada seorang lelaki yang mempersilahkan masuk. Kami ragu-ragu karena memang tidak berencana untuk makan, selain itu hari sudah menjelang malam. Tapi Mas Ewald bilang, mampir saja sebentar. Setelah masuk, Wow! kami ternganga. Interiornya benar-benar vintage dan barang-barang yang ada disana antik semua. Jadi Cafe ini memang didirikan untuk menyalurkan hobi pemiliknya yang merupakan kolektor benda antik professional, Pak Handoko. Tema Cafe ini adalah kolonial. Mas Ewald tentu saja girang melihat banyak benda yang sangat Belanda. Lebih lengkap tentang Noeri’s Cafe akan saya ceritakan lengkap pada postingan berbeda. Pada akhirnya kami tidak menikmati makan dan minum disini, hanya tour singkat yang dipandu oleh salah satu pengelola Cafe yaitu Pak Wawan. Saya sempat melihat sekilas menu makan dan minum, tidak berbeda dengan Cafe pada umumnya. Makanan dan minuman ringan. Jika ingin mencari alternatif Cafe dengan suasana yang berbeda, sangat disarankan ke Noeri’s Cafe
Pasti sudah tidak asing lagi dengan nama Toko Oen. Toko yang terkenal dengan es krim yang rasanya super lezat itu, terletak tidak jauh dari kota lama Semarang. Toko Oen adalah toko roti dan kue pertama di Yogyakarta yang berdiri tahun 1922. Berikutnya menyusul dibuka di Semarang, Malang dan Jakarta. Akan tetapi, tahun 1958 Toko Oen di Yogyakarta dan Jakarta ditutup, sementara yang di Malang dibeli seorang pengusaha. Kini hanya tersisa Toko Oen di Jalan Pemuda 52, Semarang. Toko Oen di Semarang telah berdiri sejak 1936, bangunannya barcat putih dengan kaca besar dan pintu kayu yang masih lekat nuansa klasik. Toko Oen dibangun dengan model jendela dan atap melengkung tinggi meniru desain yang popular di Eropa abad ke-19. Interior bangunannya masih asli ditambah langit-langit yang tinggi dan digantungi lampu-lampu elegan. Furniture resto ini juga menarik karena dilengkapi sebuah mesin kasir tua, jam kayu kuno besar, dan sebuah piano kuno berwarna hitam. Suasana ruangannya menenangkan berpadu dengan lagu-lagu klasik yang mampu membangkitkan nostalgia. Tepat di depan pintu masuknya terpampang etalase dan toples kaca besar berisi kue-kue kering. Sejak dulunya Toko Oen merupakan tempat makan orang-orang Belanda. Bahkan hingga kini pun toko ini tetap menjadi tujuan wajib wisatawan asal Belanda yang datang ke Semarang. (sumber : Wonderful Indonesia)
Mas Ewald senang sekali disini karena suasananya yang kental dengan negeri Belanda. Kami sebenarnya tidak membeli makanan yang banyak. Hanya mencicipi Es Krim yang terkenal enaknya. Niatnya ke Toko Oen sih ingin menumpang Wifi. Duduk berlama-lama hampir satu jam dengan bermodalkan segelas Es Krim. Tapi benar, Toko Oen sangat kami rekomendasikan selain tempatnya yang nyaman juga Es krimnya yang lezat.
4. Bakmi Djowo Doel Noemani
Nah, Bakmi Djowo ini juga tidak sengaja kami temukan. Setelah selesai Mas Ewald Tour Lawang Sewu, kami merasa lapar, tapi tidak ingin makanan yang terlalu berat. Kami sepakat untuk makan seadanya yang kami temukan sepanjang jalan menuju hotel. Ternyata didepan hotel Amaris, tempat kami menginap, ada tempat makan yang pembelinya terlihat banyak sekali. Tanpa pikir panjang kami pun menghampiri. Ternyata Bakmi. Setelah bakmi yang kami pesan datang, dan karena kelaparan, kamipun makan tanpa banyak bicara. Rasanya enak sekali. Kami memesan Bakmi Goreng. Mas Ewald sampai tambah 1 piring lagi. Mas, luwe nemen yo kok sampek nambah hehe. Porsinya menurut saya pas, tidak terlalu banyak maupun sedikit. Harganya juga tidak mahal per porsinya Rp 8000 kalau tidak salah ingat untuk sepiring Bakmi Goreng. Yang membutuhkan tempat makan dimalam hari, datang saja ke Bakmi Djowo Pak Doel Noemani.
JOGJAKARTA
1. Pasar Bringharjo
Setiap ke Jogjakarta, saya tidak pernah absen menyempatkan diri untuk sarapan di bagian depan Pasar Bringharjo. Rasa makanannya khas rumahan dan pilhan makanannya beragam. Tempat makan depan Pasar yang terletak di Jalan Malioboro ini menyedikan segala macam jenis sate, pecel, mie, baceman, gudeg, dan lainnya. Harganya tentu saja sangat bersahabat. Kalau sudah disini, dipastikan pasti kalap mata. Rasanya semua ingin disantap. Silahkan mampir kesini jika ingin mencari alternatif tempat untuk sarapan
2. Jejamuran
Jl. Magelang KM 10 Yogyakarta /Sleman
Jejamuran ini salah satu tempat yang saya selalu kunjungi jika mendapat tugas kantor ke Jogjakarta. Saya mengajak Mas Ewald kesini karena ingin menunjukkan bahwa jamur bisa diolah menjadi berbagai jenis makanan yang sangat lezat. Kami ke Jejamuran ini setelah dari Borobudur. Jadi kami turun di perempatan sleman, kemudian jalan kaki sekitar satu kilo ke arah kiri dari perempatan sleman arah dari Borobudur. Untuk menuju ke Jejamuran, tidak ada kendaraan umum yang melintas karena tidak terletak dijalan besar. Jejamuran berdiri sejak tahun 1997 dan pemiliknya adalah Pak Ratidjo, seorang pengusaha jamur. Semua menu yang tersedia disini berbahan dasar Jamur. Cocok untuk mereka yang vegetarian. Jika ingin berkunjung, tempat makan khas jamur ini buka dari pukul 10.00 WIB hingga pukul 21.00. Sekedar saran, jika datang pada siang hari, usahakan sebelum jam makan siang, karena bisa dipastikan restoran yang memiliki parkir luas ini, penuh pengunjung terutama para pegawai kantor di seputaran Kota Yogyakarta. Rasa enak, namun harga tidak menguras kantong.
Restoran Legian ini juga salah satu tempat yang kami temukan tanpa sengaja. Jadi, pada saat itu seharian kami penuh drama menuju Museum Ullen Sentalu. Akses kendaran umum yang susah menuju dan dari Ullen Sentalu-Jogja membuat energi kami terkuras karena harus berganti berkali-kali kendaraan umum. Setelah turun dari TransJogja, kami memutuskan untuk makan di mall Malioboro saja karena malas dan terlalu capek kalau harus cari-cari lagi tempat makan. Tiba-tiba sebelum mall persis kami melewati tempat ini. Saya bilang ke Mas Ewald, yuk kita lihat sebentar. Setelah naik kelantai 2, kami langsung suka dengan tempatnya. Konsepnya adalah restoran diatap semi outdoor yang berkonsep kebun. Jadi suasananya sejuk karena semilir angin juga romantis karena seperti makan ditengah kebun ditemani temaram lilin. Makanannya enak, harga tidak terlalu mahal, suasananya pun romantis. Perfect!. Oh iya, saya melihat pengunjungnya banyak yang bule.
4. The House Of Raminten
Jl. FM Noto 7, Kotabaru, Yogyakarta
The House of Raminten juga tempat makan yang selalu saya kunjungi jika ke Jogja. Menurut saya, rasa makanannya sangat biasa dan harganya murah meriah. Tapi entah kenapa meskipun rasanya biasa, saya selalu ingin kembali datang kesini. Mungkin saya suka dengan suasananya yang unik. Jadi sejarah The House of Raminten adalah diawali dari hobby, Hamzah.HS yang sangat menyukai makanan dan minuman tradisional yaitu jamu dan sego kucing dan juga rasa sosialnya yang tinggi akhirnya Hamzah.HS membuka suatu peluang usaha yang diberi nama The House of Raminten. Dimana nama Raminten adalah nama tokoh yang diperankan oleh Hamzah HS dalam sebuah sitcom di Jogja TV yang ditayangkan setiap Minggu jam 17.00 dengan judul Pengkolan. The House Of Raminten sendiri buka 24 jam dengan nonstop musik gamelan. Untuk lebih lengkap tentang sejarahnya, bisa dibaca disini
Selain nama-nama menunya yang unik, pramusajinya juga selalu menggunakan kostum yang khas. Selalu menggunakan kemben atau kebaya untuk wanitanya, berjarik dan berompi untuk yang pria.
5. Gudeg dan Ronde
Makanan lainnya yang tidak boleh lupa untuk dicicipi ketika datang ke Jogjakarta tentu saja Gudeg dan Ronde. Waktu itu, kami tidak memilih secara khusus pergi ke Gudeg yang terkenal di Jogja. Kami makan gudeg pun karena sudah lapar setelah berkeliling di Keraton Jogja. Jadi kami makan seadanya disekitaran pintu keluar Keraton Jogja. Saya dan Mas Ewald sama-sama bukan penyuka manis. Jadi untuk Gudeg, kalau tidak terpaksa, kami akan mencari alternatif makanan yang lainnya.
Sedangkan Ronde, kalau malam pasti banyak sekali ditemui disetiap sudut Jogja. Kami menikmati wedang ronde didepan hotel kami menginap, yaitu Ameera Boutique. Wedang Ronde merujuk pada air jahe panas (wedang adalah bahasa Jawa yang merujuk pada minuman panas) yang disajikan bersama dengan ronde. Air jahe juga bisa menggunakan gula kepala, diberi taburan kacang tanah goreng (tanpa kulit), potongan roti, kolang-kaling, dan sebagainya. Sedangkan ronde adalah makanan tradisional China dengan nama asli Tāngyuán (Hanzi=湯圓;penyederhanaan=汤圆; hanyu pinyin=tāngyuán). Nama tangyuan merupakan metafora dari reuni keluarga (Hanzi=團圓;penyederhanaan=团圆) yang dibaca tuányuán (menyerupai tangyuan). Ronde terbuat dari tepung ketan yang dicampur sedikit air dan dibentuk menjadi bola, direbus, dan disajikan dengan kuah manis (Wikipedia)
6. Oseng-oseng Mercon Bu Narti
Oseng mercon ini letaknya kalau tidak salah waktu itu di Jl. KH Ahmad Dahlan (mudah-mudahan tidak pindah). Oseng-oseng yang berisi kulit, tulang muda, gajih, dan kikil ini dimasak dengan sekitar 6-7kg cabe rawit merah untuk 50kg koyoran. Kenapa disebut mercon?karena rasa pedasnya yang meledakkan mulut, dan rasanya seperti melelehkan lidah. Teman saya yang memakan oseng-oseng mercon ini sampai kebingungan meredakan rasa pedasnya dengan meminum teh hangat berkali-kali. Saya yang waktu itu makan lele bakar dengan sambel dari oseng-oseng mercon ini saja rasanya tidak sanggup menghabiskan, saking pedasnya. Tetapi meskipun pedas, rasanya memang mantap. Nasi hangat panas disantap dengan sambel atau oseng-oseng mercon ditemani dengan lele bakar dan teh hangat plus kerupuk. Haduh, saya jadi lapar.
SOLO
Kami singgah ke Solo hanya beberapa jam. Kami pergi dari Jogjakarta menuju Solo menggunakan Pramex. Mas Ewald ingin melihat Kraton Solo. Saya sudah bercerita sebelumnya kalau Mas Ewald ini suka sekali dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan sejarah. Karenanya, dia selalu mengajak ke tempat yang bersejarah, seperti museum dan yang lainnya.
Kalau saya ke Solo, pertama kali yang ingin saya tuju untuk makan adalah Spesial Sambal (SS). Sebenarnya SS ini tidak hanya ada di Solo, di beberapa kota juga sudah ada cabangnya. Tapi entah kenapa saya makan SS ini hanya kalau sedang di Solo. Di Solo pun, lokasinya ada di beberapa titik. Karena saya adalah penggila sambal, tentu yang saya buru adalah berbagai jenis sambal yang enak sekali rasanya dan tingkat kepedasannya pun bisa disesuaikan dengan permintaan pembeli. Yang ingin merasakan berbagai jenis sambal, silahkan ke SS untuk merasakan sensasi kepedasannya.
Begitulah catatan kuliner dari perjalanan kami Semarang – Jogjakarta – Solo. Semoga bisa memberikan rekomendasi tempat makan bagi yang ingin jalan-jalan disekitar 3 kota tersebut.
Punya pengalaman kuliner di 3 kota tersebut? Ada tempat favorit makan dikota-kota tersebut? yuk berbagi disini ^^
Selamat berakhir pekan ^^
-Situbondo, 12 Desember 2014-
Update : -Den Haag, 4 Februari 2016-
Saya lapar sekali malam-malam lihat foto makanan disini. Duh, kangen dengan Jogja! Selamat berlibur panjang ya buat yang di Indonesia.
PS : Semua foto adalah dokumentasi pribadi kecuali yang kami pinjam menggunakan keterangan.
Ketika menulis ini, pada waktu yang sama setahun lalu saya sedang berada dipesawat yang akan menuju negara tempat orang yang saya cintai berada. Dengan membawa 55kg dibagasi dan 10kg kabin (kelebihan bagasi 25 kg, tertolong dengan kartu GFF 15kg, 10kg sisanya lolos karena kebaikan hati petugas Garuda. Jasamu sungguh tak terkira Pak ^^), total jarak tempuh 20 jam dari Surabaya menuju Belanda (hanya transit satu kali di Soetta) menjadi sangat lama karena rasa ingin cepat jumpa dengan suami tercinta. Saya tidak mengindahkan nasehat dari salah satu Professor untuk menunggu sampai wisuda tiba, baru berangkat ke Belanda. Jangankan menunggu sampai satu bulan, rasanya selesai sidang tesis dan dinyatakan lulus, saya ingin kabur ke bandara kemudian terbang ke Belanda, kalau tidak ingat revisi yang harus diselesaikan supaya dinyatakan lulus dari ITS. Karenanya, tiga minggu setelah sidang tesis, setelah memenuhi semua kewajiban, kaki melangkah riang menuju pesawat yang akan terbang ke negara tempat saya akan memulai segala petualangan bersama orang tersayang.
Selama dipesawat, saya yang biasanya langsung tertidur ketika pesawat lepas landas, menjadi tidak bisa mengatupkan kelopak mata dengan mudah. Beberapa film sampai khatam saya tonton untuk membunuh waktu. Tidak terhitung berapa kali saya menyembunyikan senyum yang tanpa sadar mengembang karena membayangkan bagaimana rasanya bertemu suami kembali setelah hampir 6 bulan terpisah. Apakah jambangnya tidak lupa dicukur ketika menjemput saya, baju seperti apa yang dia kenakan, apa yang harus saya lakukan ketika bertemu dia. Rasanya seperti saat pertama kali kami berjumpa di Bandara Juanda, saat saya menjemput dia, deg-degan perut mulas dan terasa kupu-kupu beterbangan diperut. Bahagia namun juga cemas karena pertemuan pertama, campur aduk tidak terhingga.
Saat meninggalkan Bandara Juanda dengan diantar beberapa teman kuliah (mereka iba dengan saya yang pergi sendirian tanpa ada yang menemani, padahal saya sudah terbiasa kesana sini sendiri), tidak ada rasa ragu sedikitpun terbersit dihati tentang bagaimana masa depan saya di Belanda. Satu kebimbangan yang muncul hanyalah saat memikirkan tentang Ibu. Apakah ibu baik-baik saja saat saya tinggalkan, bagaimana kalau Ibu sakit, bagaimana kalau Ibu ada masalah. Segala keraguan itu menyesakkan dada apalagi teringat saat ibu memeluk saya dengan berderai air mata sewaktu saya pamit meninggalkan Situbondo, seminggu sebelum saya berangkat ke Belanda. Doa saya waktu itu semoga kami diberikan umur panjang untuk bisa saling berjumpa kembali.
Tiba di Schiphol 30 Januari 2015 sekitar jam 10 pagi, karena terlalu deg-degan akan bertemu suami, saya sampai lupa wajahnya seperti apa. Saya menolehkan kepala kekanan dan kekiri beberapa kali untuk mencari sosoknya, padahal dia sudah berdiri tepat dihadapan dengan tersenyum hangat dan membawa satu buket bunga dengan cover berwarna merah, warna favorit saya. Musim dingin dengan hamparan es dibeberapa sudut luar Schiphol tidak terlalu saya rasakan terlalu dingin yang menggigit, ketika suami menggenggam tangan saya seraya mendorong 65kg barang-barang menuju stasiun kereta. Hangat yang menyeruak didalam hati karena hari itu, saat kaki melangkah keluar dari Schiphol, saya berkata dalam hati “selamat datang Deny, selamat memulai petualangan bersama kekasih hati, selamat mewujudkan segala mimpi dinegara ini yang telah kau susun dengan rapi.”
Setahun berjalan cepat tanpa terasa. Jatuh bangun tentu saja mewarnai perjalanan ini. Peristiwa manis dan pahit datang silih berganti, tetapi tentu saja lebih banyak cerita bahagia dibanding duka karena saya selalu menikmati setiap prosesnya. Saya betah tinggal di Belanda, betah sekali. Banyak pelajaran berharga yang saya dapatkan selama setahun ini. Saat sedang menulis postingan ini, saya sembari menyaksikan final The Voice of Holland ditemani seloyang Pizza Tuna sementara suami sedang bekerja diruangannya. Secara perlahan saya menyusun kepingan ingatan tentang pengalaman selama setahun kebelakang.
Awal datang ke Belanda, saya sama sekali tidak bisa berbicara menggunakan bahasa Belanda, meskipun sudah lulus ujian A1 di Kedutaan Belanda di Jakarta. Saya hanya mengerti beberapa kata saja, tidak paham bagaimana menyusun kalimat. Bahkan saat dua bulan pertama disekolah, saya merasa frustasi, sering menangis karena tertinggal jauh dari murid-murid yang lain. Setiap pulang sekolah, kepala saya selalu pusing. Tetapi sejak dulu saya selalu menerapkan pantang menyerah dalam setiap langkah. Kalau yang lain bisa kenapa saya tidak, begitu yang selalu saya ucapkan. Mengejar ketertinggalan dengan belajar berkali lipat lebih keras, langsung praktek berbicara menggunakan bahasa Belanda dengan suami, keluarga dan semua orang yang saya temui, memberanikan diri melamar pekerjaan, dan mengikuti beberapa kerja volunteer sangat membantu perkembangan bahasa Belanda saya. Dari yang awal datang masih takut dan gagap kalau ingin berbicara, sekarang saya sudah berani, lebih percaya diri untuk berbicara menggunakan bahasa Belanda, meskipun masih jauh dari sempurna. Sekolah selama 9 bulan akhirnya selesai juga dua minggu yang lalu.
Selama melamar pekerjaan, sudah dua kali diterima kerja dalam waktu yang berbeda. Tetapi dua kali juga saya mengundurkan diri padahal dua pekerjaan tersebut adalah dua bidang yang berbeda yang memang saya suka. Saya mengundurkan diri dari pekerjaan pertama karena sebuah alasan idealisme. Saya mengundurkan diri dari pekerjaan kedua karena jadwalnya tidak cocok dengan jadwal saya sekolah. Karena pengalaman tersebut, akhirnya saya memutuskan untuk tidak melamar kerja dahulu sampai saya lulus ujian Bahasa Belanda. Hal tersebut juga didukung oleh suami. Kata dia “kamu kenapa terburu-buru cari kerja, ikut beberapa kegiatan saja dulu untuk memperlancar bahasa Belandamu. Satu persatu diselesaikan, jangan terlalu ambisi. Semua ada waktu yang tepat.” Sebagai gantinya, saya mendaftar untuk menjadi volunteer dibeberapa tempat, tepatnya tiga tempat. Ya, saat ini saya sedang asyik menikmati kegiatan volunteer dari pemerintah kota Den Haag yang bernama The World in Your Classroom yang pernah saya lakukan dibulan Nopember lalu. Minggu lalu saya melakukan presentasi di SG Dalton Voorburg, dan minggu kedua Februari saya juga akan datang disalah satu sekolah di Den Haag. Kegiatan volunteer lainnya adalah dirumah yang dikhususkan untuk orangtua (verpleeghuis). Tugas saya disana menemani beberapa oma dan opa dua kali dalam seminggu. Dan kegiatan volunteer yang terakhir adalah menjadi tukang masak dan menemani anak-anak difabel dirumah khusus untuk gehandicapten. Kalau sedang senggang saya akan ceritakan tentang masing-masing dua kegiatan volunteer yang saya sebutkan terakhir. Letaknya tidak terlalu jauh dari rumah, sekitar 30 menit naik sepeda. Kegiatan volunteer ini benar-benar sangat membantu saya untuk praktek bahasa Belanda, menambah pengalaman bersosialisasi dan beradaptasi, selain juga bisa membantu mereka yang membutuhkan.
Untuk masalah cuaca, sejauh ini saya sudah bisa berkompromi. Tidak terlalu sering mengeluh kalau muka terasa beku kena timpa angin dan cuaca yang dingin. Tetapi masih tetap ngomel-ngomel kalau sedang naik sepeda trus tiba-tiba angin kencang datang dan saya terjatuh dari sepeda (sudah beberapa kali saya terjatuh dari sepeda karena angin yang sangat kencang). Kesal rasanya kalau naik sepeda tiba-tiba hujan dan angin kencang. Tapi ya harus diterima dengan lapang dada, hidup kan tidak selamanya harus nyaman sentausa. Berangkat sekolah dipagi hari saat masih gelap meskipun jam sudah menunjukkan pukul 8 diiringi rintik hujan, suhu 5 derajat bahkan beberapa waktu lalu sempat turun disuhu -4, maupun tetap berangkat ke tempat volunteer untuk melaksanakan tugas. Tidak ada alasan untuk tidak berkegiatan meskipun dicuaca dingin. Kemudian frekuensi saya nyasar sudah jauh berkurang karena sekarang sudah bisa mengikuti arahan google maps dengan baik.
Selain beberapa kegiatan yang saya sebutkan diatas, saat ini juga sedang fokus dengan beberapa project pribadi maupun project komersil. Saya tipe orang yang tidak terlalu betah tinggal dirumah tanpa berkegiatan. Karenanya saya selalu mengikuti kegiatan yang membuat saya bisa mengembangkan kemampuan yang saya miliki atau untuk menambah pengetahuan dan memperluas pergaulan. Kalaupun memang saya sedang tidak ada kegiatan diluar rumah (misalkan ikut kelompok diskusi diperpustakaan kota), saya berusaha untuk melakukan sesuatu yang membuat otak saya terus bekerja, kalaupun bisa mendatangkan penghasilan, itu lebih baik lagi :D. Saya paling tidak betah dirumah seharian tanpa melakukan sesuatu. Ya minimal membaca buku atau belajar atau menulis atau mengerjakan riset seperti yang saat ini saya lakukan sebagai salah satu project yang bersifat komersil atau apapun itu yang penting tidak diam dan badan tetap bergerak.
Pengalaman setahun di Belanda yang sangat berkesan. Semoga tahun-tahun mendatang akan semakin banyak pengalaman berharga, kesempatan dan peluang baik yang bisa saya tangkap. Semoga rencana untuk mewujudkan mimpi-mimpi bisa terlaksana dengan baik. Saya tetap rindu rumah di Situbondo, rindu saudara-saudara di Ambulu, kangen dengan Ibu dan adik-adik juga keponakan, dan kangen dengan kamar saya. Semoga suatu saat saya ada kesempatan pulang, entah kapan. Terima kasih untuk beberapa yang menanyakan keberadaan saya melalui twitter, whatsapp, dan email karena tidak pernah muncul lagi dibeberapa sosial media maupun vakum sementara diblog. Prioritas saya berbeda sekarang. Saya sedang khusyuk dan fokus berkarya didunia nyata, begitu saya menyebutnya, jadi saya vakum dulu dibeberapa sosial media maupun digrup whatsapp (saya hanya punya 3 grup). Tapi saya masih sesekali akan ngeblog dan wira wiri di twitter 🙂
Selamat berakhir pekan. Sabtu ini kami akan kencan merayakan 1 tahun saya di Belanda dengan nonton The Revenant. Dan nampaknya blog kami ini juga sedang mengalami gangguan sejak 2 minggu lalu. Suami sedang sibuk luar biasa dikantornya, sedangkan saya tidak tahu caranya membetulkan gangguan ini. Jadi saya pasrah menunggu dia senggang untuk menangani kerusakan blog ini.
Update : Blognya sudah direparasi oleh bagian IT (baca:suami), jadi kolom komennya sudah ada lagi setelah sempat menghilang 😀
Tidak terasa hampir satu tahun saya tinggal dinegara yang cuacanya silih berganti antara hujan dan angin, walaupun sesekali matahari muncul juga. Banyak hal-hal baru yang saya temui ketika menjadi seorang imigran. Bukan hanya adaptasi lingkungan, cuaca, bahasa, kenalan baru, orang-orang baru, kegiatan baru, bahkan adaptasi makanan. Saya suka tinggal di Belanda dengan udaranya yang segar dan terasa nyaman dipernafasan (saya punya sinusitis akut, sudah operasi dua kali tetapi semenjak tinggal di Den Haag tidak pernah kambuh), transportasinya, fasilitas kesehatan, cepat kalau berurusan dengan instansi pemerintahan, banyak fasilitas yang gratis dan menunjang adaptasi saya sebagai imigran, toko dan pasar yang menjual segala jenis bumbu dan bahan masakan Indonesia, restoran halal yang gampang dijumpai, dan restoran Indonesia yang bertebaran disana sini. Intinya, di Den Haag semuanya ada. Meskipun nampaknya disini semua lengkap, adakalanya saya tetap rindu dengan beberapa hal yang ada di Indonesia. Rindu menggunakan pakaian yang tidak bertumpuk-tumpuk (disini dingin, jadi kalau keluar rumah harus menggunakan pakaian yang berlapis dengan segala perlengkapannya), mbok tukang pijat di Situbondo (bahkan suami sampai pijat 3 kali selama 1 bulan disana), dan terutama saya kangen dengan makanannya.
Sebelum pindah, saya tidak cukup mencari informasi tentang tempat untuk mendapatkan bumbu-bumbu untuk memasak makanan Indonesia. Karena itulah saya membeli bumbu instant di Indonesia sebanyak-banyaknya yang kemudian dikirim ke Belanda. Selang satu bulan setelah saya datang, barulah seorang kenalan mengajak ke Haagse Markt, pasar tradisional yang super lengkap di Den Haag. Tidak hanya lengkap, harga barang-barang yang dijual disana sangat murah. Selain itu, suami juga menunjukkan toko oriental yang menjual semua bumbu untuk masakan Indonesia (kapan-kapan saya akan membahas tentang toko ini secara terpisah). Pada akhirnya, bumbu instant yang dikirim tersebut tidak tersentuh dan saya bagikan ke beberapa kenalan. Awal saya tinggal di Den Haag, setiap akhir minggu kami selalu menjelajah restoran Indonesia, hanya ingin sekedar tahu rasa makanannya seperti apa. Beberapa saat kemudian, setelah saya cukup tahu dengan beberapa restoran Indonesia yang ada di Den Haag, perburuan makanan diakhir pekan frekuensinya berkurang secara bertahap. Ada yang makanannya cocok dengan lidah saya, ada yang tidak. Karenanya saya mulai bertekad untuk belajar memasak sendiri makanan-makanan yang saya inginkan.
Sejak kecil, saya memang suka sekali memasak. Ibu memiliki usaha katering di Situbondo sebagai pekerjaan kedua selain profesi Beliau sebagai guru. Karenanya, membantu ibu sejak usia 7 tahun, mengenali bumbu-bumbu dan segala jenis masakan Indonesia bukanlah hal yang baru buat saya. Saya cinta memasak. Namun ketika usia 15 tahun meninggalkan rumah untuk tinggal dikota Surabaya, saya nyaris jarang memasak lagi karena fasilitas kos saat itu termasuk dengan makan. Hal tersebut berlangsung sampai saya sebelum pindah ke Belanda. Apalagi sebagai anak kos, akan cukup simpel kalau membeli makanan jadi. Ditunjang lagi sejak mengikuti Food Combining, saya lebih sering mengkonsumsi sayuran mentah. Kesempatan saya memasak kalau pulang ke Situbondo. Karenanya, ketika pada akhirnya saya memiliki dapur sendiri, rasanya gembira luar biasa, seperti menemukan ruang kerja, seperti menemukan hobi lama kembali lagi. Kalau untuk makanan Indonesia, saya tidak mempunyai banyak kesulitan ketika memasak. Takaran bumbu biasanya saya memakai perkiraan atau feeling.
Saya baru menemui kesulitan ketika mulai ada niatan untuk membuat kue. Kebetulan pada saat itu saya ingin sekali makan kue coklat. Akhirnya saya menemukan resep mud cake diblog Ria. Karena belum pernah membuat kue sebelumnya, jadi saya buta pengetahuan tentang tepung. Saya sampai bertanya beberapa kali ke Ria tentang jenis-jenis tepung. Nah, ketika kopdar dengan Mbak Yoyen, akhirnya ada kesempatan untuk bertanya jenis-jenis tepung di Belanda. Waktu itu saya cerita ke Mbak Yoyen kalau ingin sekali membuat kue, tapi takut tidak jadi. Mbak Yoyen memberi semangat kalau saya harus mencoba. Akhirnya pulang kopdar saya bersemangat untuk segera membuat mud cake. Tantangan selanjutnya adalah mempelajari cara kerja oven. Bersama suami, saya membaca secara seksama petunjuk penggunaan oven. Agak canggung juga awalnya, takut bantet tidak bisa dimakan, atau takut gosong. Tapi begitu hasilnya keluar, terharu rasanya karena berhasil bisa dimakan. Saya sampai loncat-loncat kegirangan. Seminggu kemudian, salah satu keponakan berulangtahun. Saya mengusulkan ke Mas Ewald untuk memberi kado kue ulang tahun. Asli ini semacam uji nyali. Saya tidak ada bayangan sama sekali membuat kue ulang tahun itu bagaimana. Akhirnya nekad dengan bahan dasar mud cake kemudian saya hias dengan coklat dan beberapa hiasan lainnya. Saya sebenarnya tidak tahu rasanya seperti apa, pada waktu itu hanya berdoa semoga para undangan, adalah keluarga dan teman-teman yang berulang tahun, ketika memakan tidak tiba-tiba sakit perut. Ternyata mereka suka sekali dengan kuenya. Habis ludes, padahal ada 2 kue ulang tahun lainnya. Saya dipuji Mama mertua dan saudara-saudara. Pulang dari acara, senyum tidak putus tersungging dibibir.
Setelah pengalaman tersebut, ketika menghadiri beberapa acara ulang tahun teman suami, dia meminta saya untuk membuat kue ulang tahun sebagai kado. Saya dengan senang hati membuat aneka kue ulang tahun variasi lainnya. Dan sejauh ini masih diterima dengan baik, dibilangnya sih sesuai dengan selera mereka. Malah ketika dua keponakan berulang tahun awal tahun ini, ibunya memesan kue ulang tahun pada saya. Awalnya aneh, kok keluarga memesan kue, yang artinya membayar. Tapi kata suami tidak apa-apa karena keinginan yang berulang tahun. Akhirnya saya buatkan, lumayan uangnya untuk membeli buku. Lain cerita kue, lain cerita masakan Indonesia yang dimakan oleh keluarga dan teman-teman suami.
Beberapa kali suami mengundang keluarga dan teman-temannya untuk makan dirumah. Saya bertanya mau masak apa *nantangin, padahal cuma bisa masakan Indonesia. Untungnya suami bilang kalau teman-teman dan keluarga tidak ada masalah jika disajikan makanan Indonesia. Saya dengan senang hati memasak makanan Indonesia, sekalian untuk memperkenalkan ke mereka betapa Indonesia kaya akan kulinernya, *sekalian promosi juga siapa tahu mereka mau pesan ke saya :D. Sejauh ini, komentarnya positif, makanan yang saya sajikan selalu ludes tidak bersisa karena mereka selalu nambah dan nambah lagi. Bahkan ada teman suami dengan terus terang meminta ijin nasi kuning dan sayur urap serta perkedel tahu untuk dibawa pulang. Saya malah senang karena tidak harus menyimpan makanan dikulkas.
Suatu waktu, suami bilang akan ada meeting untuk divisinya. Saya diminta tolong memasak untuk seluruh anggota meeting kalau tidak salah berjumlah 10 orang, menunya terserah saya. Akhirnya saya putuskan untuk membuat menu terdiri dari nasi kuning, perkedel kentang, urap sayur, ayam bumbu kuning dan dessert puding. Saya tempatkan semua perbox. Pulang kerja suami girang karena teman-temannya menyukai dan tandas tidak bersisa. Beberapa waktu lalu, saya menerima pesanan dari kantor suami tetapi berbeda divisi, untuk meeting, masakan Indonesia juga. Lumayan, buat tambahan beli cabe dipasar. Ketika ulang tahun suami sebenarnya saya ingin memasak sendiri untuk 25 undangan (keluarga dan teman), tetapi karena paginya harus menemani dia ujian thesis dan dia tidak mau saya terlalu capek didapur, akhirnya menu utama pesan yaitu nasi tumpeng lengkap dan es cendol. Saya tinggal menyiapkan camilan saja.
Mas Ewald suka sekali masakan Indonesia, bahkan sejak sebelum bertemu saya. Karenanya, saya tidak menemui kesulitan dalam hal menyiapkan makanan. Dia akan makan apapun yang saya masak, kecuali udang karena dia tidak suka. Ikan asinpun masih mau mencicipi sedikit, apalagi sambel trasi dan pete yang merupakan favoritnya. Sambel wajib ada disetiap makanan Indonesia, ataupun disetiap saya masak kalau tidak terasa pedas, dia akan protes. Syukurlah saya juga doyan pedas. Saya tidak makan daging dan unggas, suami masih makan meskipun porsinya tidak banyak. Sesekali saya masih memasak rendang, ayam panggang, baso daging, maupun soto ayam favoritnya. Untuk masalah rasa, ketika memasak makanan yang saya tidak makan, saya memakai feeling dan dengan bantuan suami. Saya memasak besar setiap sabtu atau minggu, untuk persediaan lima hari kedepan. Seringkali Mama mertua saya bagi juga. Beliau adalah ahli rasa yang saya percaya karena selalu jujur. Pernah suatu ketika saya memasak semur tempe, dirasakan, ternyata tidak suka rasanya. Saya disuruh bawa pulang lagi. Saya malah senang yang seperti itu, daripada dibuang. Masakan yang selama ini saya masakkan untuk Mama : rendang, gado-gado, soto ayam, rawon, kaasstengels (Beliau sampai tidak percaya saya membuat sendiri kaasstengels ala Indonesia karena katanya seperti rasa ditoko kue, enak :D), beberapa kue, nasi kuning urap sayur, perkedel tahu, dadar jagung, dan beberapa masakan lainnya. Beliau juga suka pedas dan doyan makan pete.
Tinggal dinegara yang serba mahal dan tidak semua bahan bisa didapat, butuh kreatifitas tersendiri. Saya suka makan telur asin, tapi kalau beli disini mahal. Akhirnya saya belajar cara membuat telur asin dari telur ayam. Meskipun harus menunggu selama 3 minggu hanya untuk sekedar makan telur asin, saya masih bersyukur, lumayan tombo kangen. Begitu juga kalau makan rawon sayuran, saya ingin pendampingnya sambel trasi kecambah pendek. Tetapi kecambah pendek saya belum pernah jumpai disini. Akhirnya saya membuat sendiri dari kacang hijau yang dilembabkan. Hanya untuk makan kecambah pendek harus menunggu satu malam, tidak mengapa daripada ngiler. Hal-hal tersebut yang membuat saya merasa masih baik-baik saja di Belanda, karena beberapa masakan Indonesia masih bisa saya buat sendiri. Seperti akhir pekan lalu tiba-tiba ingin makan nasi bakar ikan asin, akhirnya setelah berkutat didapur, saya dan suami bisa makan siang dengan nasi bakar. Nah, nasi bakar ini menjadi menu makan siang suami dikantor selama 2 hari. Walhasil teman-temannya penasaran suami ini sebenarnya makan apa, setelah dijelaskan, mereka jadi tertarik pesan untuk minggu depan. The power of nasi bakar.
Tidak semua masakan memang bisa saya buat sendiri. Misalkan pempek atau baso ikan saya masih belum bisa membuatnya. Akhirnya ya pesan. Intinya ketika mampu membuat masakan atau kue dengan hasil yang memuaskan, saya lalu mencari-cari lagi resep lainnya untuk dipraktekkan. Terharu adalah ketika bisa membuat sendiri martabak manis dan pizza. Memasak sendiri itu lebih menyenangkan, jika kita memang punya waktu. Selain bahannya kita tahu dengan pasti, lebih murah, dan tentu rasanya bisa kita atur sesuai selera.
Sumber Resep
Apakah masakan saya hasil dari mengolah resep sendiri? Sebagian kecil sekali iya, tapi sebagian besar tidak. Saya belum pada tahap untuk membuat resep sendiri, masih pemula, jadinya masih mencontek. Ada beberapa sumber ide memasak dan resep :
Ibu dan Bude
Saya selalu rindu masakan Ibu dan Bude. Saya ingin memasak dengan rasa yang selama ini saya ingat. Merekalah sumber inspirasi saya dalam memasak maupun bertanya tentang segala macam resep.
Sewaktu masih aktif IG, saya suka mencari ide masakan dari akun-akun berikut ini : @anitajoyo, @icha.savitry, @tiyarahmatiya, @bundnina_, @omah_ijo, @s_fauziah (Beberapa masakan Puji membuat saya ngiler, akhirnya latah ikutan bikin), dan @isnasutanto. Pada akun mereka tersebut langsung disertakan resepnya. Gampang tinggal mencontek saja atau dimodifikasi sedikit.
Youtube
Youtube tentu saja menjadi rujukan dalam mencari resep. Berikut adalah akun favorit saya : Masaktv.com, Kokiku tv, Bake like a pro, Rasamasa, Gemma Stafford, atau simpel tinggal ketikkan resep apa yang diinginkan, sebagian besar saya temukan di youtube.
Grup Whatsapp dan Google
Saya hanya mempunyai 3 grup whatsapp. Dua grup berisi teman-teman di Indonesia, satu grup berisi ibu-ibu yang tinggal di Eropa, grup ini namanya MbakYurop. Saya banyak mendapatkan ide makanan maupun resep dari grup MbakYurop.
Begitulah cerita panjang saya tentang perjalanan karier memasak selama hampir satu tahun. Kalau misalkan nanti saya sudah bekerja diluar rumah, entah masih bisa lagi atau tidak untuk tetap konsisten memasak. Mudah-mudahan tetap ada waktu, karena saya cinta memasak.
Selamat berakhir pekan, selamat memasak untuk keluarga dan teman-teman tercinta. Saya mau mencoba membuat onde-onde dan dawet nangka akhir pekan ini. Kalian berencana memasak apa? Ada akun atau blog favorit tidak untuk mencari resep masakan, boleh dong dibagi disini 🙂