Ketika membaca postingan Mbak Yoyen tentang Sonsbeekmarkt pada bulan Maret lalu, saya langsung terpana dengan jajaran pemandangan makanan dipostingan tersebut. Langsung saya menunjukkan tulisan Mbak Yo tersebut ke suami untuk dibaca. Dia juga terpana karena belum pernah mendengar Sonsbeekmarkt sebelumnya. Akhirnya kami sepakat untuk mengunjungi Arnhem pada bulan Juni. Iya, saya suka latah kalau ada postingan yang berhubungan dengan makanan, padahal kalau sudah sampai tempatnya ya tidak terlalu banyak makan. Selain akan ke Sonsbeekmarkt, saya bertanya pada Mbak Yo tempat manalagi yang bisa dikunjungi. Mbak Yo yang memang tinggal di Arnhem menyarankan untuk ke Openluchtmuseum dan Museum Bronbeek. Tentu saja suami memilih untuk ke Museum Bronbeek dibanding Openluchtmuseum. Padahal saya ingin sekali ke Openluchtmuseum. Kenapa tidak bisa langsung langsung tiga tempat dalam satu hari? Karena pak suami pasti lama sekali kalau sudah masuk museum. Waktu ke Museum Bronbeek saja sampai hampir tutup museumnya kami masih didalam. Satu persatu dibaca, sementara saya membaca juga tapi cuma sekilas saja. Maklum, kami memang beda keyakinan kalau masalah yang satu ini.
Singkat cerita, setelah mendapatkan tiket kereta dagkaart kami langsung memutuskan kapan akan pergi. Kalau memakai dagkaart bisa lebih mengirit untuk bepergian jarak jauh. Jarak tempuh dari Den Haag – Arnhem antara 1.5 jam sampai 2 jam. Tergantung waktu datang kereta saat transit. Waktu itu saya mendapatkan seharga €14 bisa dipakai seharian. Ternyata waktu di Arnhem bisa juga dipakai untuk naik bis, asal perusahaan transportasinya sesuai dengan yang tertera ditiket. Dagkaart bisa dipakai ke seluruh Belanda dalam waktu satu hari. Dagkaart ini ada yang hanya bisa dipakai senin-jumat, ada yang bisa dipakai hanya sabtu-minggu, ada yang bisa dipakai seluruh hari. Dagkaart dijual di HEMA, Kruidvart, Blokker, dan Albert Heijn (AH). Untuk mengetahui promosi ini bisa dicek ke website Treinreizeger.
Sonsbeekmarkt ini adanya setiap hari minggu pada minggu pertama setiap bulan sejak bulan Maret sampai Desember setiap tahunnya. Jadi hari minggu besok adalah yang terakhir pada tahun ini. Sonsbeekmarkt bertempat di Sonsbeekpark. Kalau ke Arnhem naik kereta, maka lokasi Sonsbeekpark ini tidak jauh dari Arnhem Centraal, penunjuk jalannya jelas, bisa dijangkau sekitar 10 menit jalan kaki. Saya sendiri terpesona dengan Sonsbeekpark yang luas dan sejuk, sepanjang mata memandang hamparan rumput hijau dan pohon-pohon. Selain itu, diarea ini juga terdapat hutan. Lengkap mata dimanjakan oleh pemandangan yang menyegarkan. Ditengah-tengah Sonsbeekpark ada gedung putih atau yang dikenal sebagai De Witte Villa. Gedung ini berfungsi selain sebagai restaurant juga cafe, juga sebagai tempat pertemuan atau tempat mengadakan pesta yang berkapasitas sampai 600 orang. De Witte Villa dibangun pada tahun 1744 dan direnovasi pada tahun 2014.
Sonsbeekmarkt sudah ada sejak tahun 2012. Markt sendiri adalah bahasa Belanda yang artinya pasar. Yang menyenangkan di Sonsbeekmarkt adalah tidak hanya makanan dan minuman saja yang dijual, tetapi segala jenis barang ada. Makanan dan minumannya fresh, bahkan rotinya homemade. Produk yang dijual kebanyakan adalah produk lokal. Jadi terbayang kan pengalaman merasakan langsung produk lokal. Tidak hanya itu saja, penjualnya juga senang menerangkan dengan ramah tentang apa yang dijual. Saking senangnya mereka bercerita, saya sampai takjub mendengarkan ada satu stand yang menjual roti menerangkan proses pembuatan roti yang dia jual. Di stand lain yang menjual Sate, saya malah diajak berbincang karena yang menjual bisa dengan lancar berbicara bahasa Indonesia dan dia bilang kalau pernah bekerja selama 2 tahun di Jakarta, tetapi harus meninggalkan pekerjaannya tersebut dan memilih pulang ke Belanda untuk membantu usaha keluarganya tersebut. Awal mula dia mengajak berbincang karena saya celingak celinguk didepan stand tersebut, lalu dia menyapa “Hai, kami berjualan sate ayam biasanya, tapi kali ini kami hanya membawa sate babi, jadi kamu tidak bisa makan karena ini tidak boleh buat kamu.”Saya jadi terharu.
Hampir disetiap stand makanan ada testernya. Jadi kami berkeliling sambil icip-icip gratis. Lama-lama kenyang juga. Akhirnya setelah berputar mencari makanan apa yang cocok untuk makan siang, suami mengajak makan gado-gado distand makanan Indonesia yang punya ibu dari Suriname. Suami ini memang kalau makan diluar menunya cuma dua, kalau tidak soto ya gado-gado. Awalnya saya tidak tahu kalau Ibu ini bisa bahasa Indonesia. Begitu saya mengucapkan terima kasih, malah diajak ngobrol bahasa Jawa. Saya lupa kalau Suriname banyak orang Jawanya. Akhirnya kami mengobrol menggunakan bahasa Jawa.
MUSEUM BRONBEEK
Museum Bronbeek ini museum tentang KNIL (Koninklijk Nederlands-Indie Leger). Walaupun saya tidak setekun suami untuk membaca semua informasi didalamnya, yang saya rasakan setelah keluar dari museum ini sedih sekali, entah kenapa. Jangan bertanya lebih lanjut tentang sejarah pada saya. Kalau ingin tahu apa saja yang ada didalam museum ini, saya rekomendasikan untuk langsung membaca tulisan Crystal tentang Museum Bronbeek. Saya saja baru paham ketika membaca tulisan dia, padahal saya yang lebih dulu ke museum ini. Dibelakang museum ada restoran Indonesia yang bernama Kumpulan juga ada rumah untuk para veteran. Sewaktu saya kesana, ada satu veteran yang sedang bertandang ke Museum. Beliau bercerita tentang sejarah pada saat ada di Jakarta. Saya yang waktu itu masih belum terlalu paham bahasa Belanda, ya agak sepotong-sepotong menangkap isi ceritanya. Sedangkan suami jangan ditanya, seperti punya dunia sendiri kalau sudah masuk museum, tidak bisa diganggu gugat, menekuri satu persatu seluruh bagian museum. Saya lupa tiket masuk museum ini berapa. Kalau yang suka sekali berkunjung ke museum, lebih baik membeli museumkaart. Kartu ini bisa digunakan ke seluruh museum di Belanda (yang jumlahnya lebih dari 400) dalam waktu satu tahun, cukup dengan membayar €55. Ini sangat menghemat jika setiap minggu pergi ke museum dan tiket masuknya anggap saja satu kali masuk €10. Bisa dihitung sendiri hematnya berapa.
Beruntung sekali sewaktu ke Arnhem cuaca cerah cenderung panas. Padahal berhari-hari sebelumnya selalu turun hujan dan cuaca seperti ini khas Belanda : sebentar hujan, sebentar ada matahari, angin kencang muncul, hujan lagi dan seterusnya. Saya senang dengan Arnhem. Tidak sehiruk pikuk Den Haag. Jalan yang kami lalui tenang dan lengang. Mudah-mudahan suatu saat bisa berkunjung kembali ke Arnhmen. Ada beberapa tempat lagi yang ingin kami datangi.
Dalam satu minggu ini, saya dan suami datang ke dua acara besar yang diadakan oleh KBRI di Den Haag bekerjasama dengan Rumah Budaya Indonesia (RBI) yang ada di Belanda. Rumah Budaya Indonesia sendiri terdapat di 10 negara yaitu Belanda, Amerika, Perancis, Jerman, Turki, Jepang, Timor Leste, Singapura, Myanmar, dan Australia. RBI didirikan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia yang bertujuan untuk menjadikan rumah publik dalam rangka memperkenalkan kekayaan budaya Indonesia kepada dunia sehingga dapat meningkatkan apresiasi, citra, dan membangun ikatan (budaya) masyarakat Internasional terhadap Indonesia. Selain itu, di RBI masyarakat lokal bisa belajar banyak hal mengenai Indonesia seperti sejarah, bahasa, dan tentu saja keragaman budaya Indonesia. Untuk mendukung tujuan tersebut, maka RBI akan menggelar berbagai pertunjukan seni dan pameran kesenian kebudayaan Indonesia, seperti pertunjukan tari tradisional, permainan musik tradisional, dan sebagainya. Di Belanda sendiri RBI diresmikan pada tanggal 25 Juni 2015 di Amsterdam.
Dalam satu minggu kebelakang, KBRI dan RBI di Belanda mengadakan dua pagelaran besar. Semuanya tanpa dipungut biaya alias gratis untuk siapapun baik masyarakat Indonesia ataupun warga Belanda atau siapapun yang menyaksikan acara tersebut.
INDONESIA JAZZ NIGHT
Sebenarnya saya sudah telat saat mengetahui akan ada acara ini. Seorang teman yang ingin datang ke Den Haag untuk mengurus paspor mengatakan bahwa akan ada Dwiki Darmawan di Den Haag. Tetapi ketika saya mencoba mendaftar melalui website KBRI, ternyata sudah tidak bisa. Ya iyalah seminggu sebelum acara pasti sudah tidak ada tempat sisa. Singkat cerita, akhirnya saya bisa mendapatkan tiket ke acara tersebut dengan segala perjuangan. Kenapa saya begitu ingin datang ke Indonesia Jazz Night yang diadakan di Koninklijk Conservatorium Den Haag pada tanggal 20 November 2015 pukul 18.30-21.00? Karena salah satu pengisi acaranya adalah orang yang suka sejak dulu. Indonesia Jazz Night menampilkan Dwiki Darmawan, Tohpati, dan Dira Sugandi, dan beberapa musisi pendukung lainnya. Ya, saya ingin melihat Dira Sugandi karena suka mendengar suara penyanyi Indonesia yang sudah menginternasional ini. Sejak kemuculan Dira Sugandi di acara Just Alvin, saya langsung terpana dan memutuskan menjadi salah satu fansnya. Bangga banget kesannya :D. Sedangkan suami tertarik datang ke acara ini karena dia memang penyuka dan penikmat musik jazz. Maklum, darah pemusik dikeluarganya kental. Papa mertua pernah menelurkan beberapa album jazz bersama grup musik beliau. Suami juga bisa memainkan beberapa alat musik dengan baik seperti piano, gitar, dan drum. Karenanya suami senang sekali datang ke pertunjukan musik khususnya jazz.
Indonesia Jazz Night ini dibuka oleh tarian Sajojo yang (kalau tidak salah) dibawakan oleh siswa-siswa salah satu SMA di Semarang dilanjutkan oleh grup Angklung dari Eindhoven. Selanjutnya Dwiki Darmawan membawakan Jazz for Freeport dilanjutkan Paris Berantai. Dira Sugandi muncul pada urutan ketiga menyanyikan lagu IE. Saya menahan nafas melihat kecantikan Dira Sugandi dan kejernihan suaranya dalam bernyanyi. Saya lupa Tohpati muncul pada saat kapan, yang pasti pada saat membawakan lagu Lukisan Pagi, Dira Sugandi diiringi oleh petikan gitar Tohpati. Aslinya Lukisan Pagi ciptaan Tohpati ini dilantunkan oleh Shakila. Pada saat Dwiki Darmawan memberitahukan hal tersebut, suami bertanya dengan polosnya pada saya “Lho, lagu ciptaan Tohpati ini pernah dibawakan sama Shakira?”, Mas, Shakila, bukan Shakira :p
Lagu lainnya yang dibawakan oleh Dira Sugandi adalah Bubuy Bulan dan Lamalera’s Dream. Sedangkan Dwiki Darmawan beserta Tohpati dan beberapa musisi lainnya membawakan Prambanan Mood, Frog Dance (yang terinspirasi dari suara kodok ketika berlibur ke Ubud), Whale Dance, Pasar Klewer (dari album terbaru Dwiki Darwaman yang belum keluar dipasaran), Arafura, dan The Spirit of Peace.
Saya sebagai penikmat musik yang biasa saja, merasa senang dengan penampilan Dwiki Darmawan yang bersinkronisasi (aduh ini istilah opo ya) dengan petikan gitar Tohpati, tabuhan kendang, petikan bass, dan tabuhan drum musisi pendukung lainnya. Meskipun terdengar seperti berdiri sendiri ketika mereka memainkannya dan juga cepat seperti saling berkejaran, namun masih terdengar satu harmoni. Saya masih bisa menikmati. Sedangkan Suami yang memang khusyuk sekali memperhatikan, tidak bisa disenggol sedikitpun kalau musik sudah dimainkan. Bahkan saya beberapa kali dipelototi ketika mencoba mendokumentasikan dalam bentuk foto atau video. Dia semakin kesal ketika beberapa kamera menggunakan flash dan terdengar suara “cekrik” pada saat memotret. Saya juga sebenarnya sebal sekali dengan Ibu yang duduk didepan. Bukannya melihat pertunjukan, malah sibuk dengan FB dengan sinar sangat terang pada layar Hpnya. Beliau sampai ditegur oleh Ibu Belanda yang duduk disebelahnya. Disebelah suami malah dengan santainya menerima telpon dan berbincang, akhirnya ditegur oleh suami. Dia sampai tidak habis mengerti dan mengomel “Orang Indonesia ini seperti tidak tahu cara berterimakasih. Sudah diberikan pertunjukan musik gratis dengan mendatangkan orang-orang bertalenta berkelas Internasiona, bukannya duduk menyimak sebagai bentuk penghargaan, malah sibuk dengan sosial media.” Inggih Mas *kemudian melipir.
Sebelum acara berakhir, Dwiki Darmawan meminta penonton berdiri untuk hening sejenak “Mari kita hening sejenak, mendoakan para korban di Paris, korban ketidakadilan, korban perang dimanapun berada, sementara kita masih diberikan kesempatan bersenang-senang disini. Semoga kedamaian tercipta dimuka bumi ini.”
Secara keseluruhan, kami puas dengan Indonesia Jazz ini. Lebih dari puas malah saya bilang. Penampilan yang super. Kapan lagi bisa melihat penampilan 3 orang musisi yang sudah melanglang buana karyanya dikalangan Internasional, dalam satu panggung. Ditambah lagi gratis melihat acara ini dan diberikan kotak snack (lupa isinya yang pasti ada teh kotak) oleh KBRI. Hati riang, perut kenyang, pulang kerumah dalam keadaan senang 🙂
INDONESIA ANGKLUNG PERFORMANCE
Indonesia Angklung Performance yang diadakan pada tanggal 25 November 2015 pukul 18:00-19:30 di Museon Den Haag, menampilkan Saung Angklung Udjo. Saya sudah lama mendengar ketenaran Saung Angklung Udjo, tapi baru kali ini melihat secara langsung bagaimana mereka pentas. Dan memang sungguh menakjubkan. Pada bulan November juga merupakan perayaan selama lima tahun Angklung ditasbihkan sebagai Intangible Heritage oleh UNESCO.
Saya janjian dengan suami distasiun yang tidak jauh dari rumah karena suami pulang kerja, jadi kami berangkat bersama-sama ketempat acara. Sesampainya di Museon, kami langsung disuguhi kotak snack, yang lagi-lagi isinya menggugah selera : lemper, pastel, nogosari dan jus jeruk. Setelahnya kami masuk keruangan. Awalnya kami duduk didepan, tapi karena saya yang tingginya pas-pasan begini, jadi tidak bisa melihat dengan jelas panggungnya. Akhirnya saya bilang ke suami untuk pindah ke bagian belakang saja karena letaknya lebih tinggi dan masih banyak tempat kosong (yang sesaat kemudian penuh ketika beberapa orang yang terlambat mulai berdatangan). Beberapa saat kemudian pertunjukan dimulai dengan beberapa orang mulai memainkan angklung dan beberapa lainnya menari. Setelahnya beberapa murid Saung Angklung Udjo unjuk kebolehan memainkan instrumen menyerupai bambu berderet yang harus dipukul alat untuk mengeluarkan bunyinya (seperti gamelan tetapi dari bambu, lupa namanya apa).
Selain pertunjukan yang benar-benar meriah dan membuat yang hadir sangat antusias, ada juga workshopnya. Penonton diberi masing-masing satu angklung yang kemudian bersama-sama dipandu oleh anak Mang Udjo yang sekarang menjadi pemilik Saung Angklung Udjo. Setiap angklung mempunyai satu nada. Saya memegang angklung bernada 6, sementara suami bernada 7. Kami beberapa kali diajari cara memainkannya yang kemudian bersama-sama memainkan beberapa buah lagu dengan cara dipandu. Seru sekali bagian ini. Kami seringkali tertawa ketika beberapa orang tidak bisa mengikuti yang diinstruksikan. Antusias terlihat bukan hanya dari orang Indonesia, beberapa orang bule juga saya lihat nampak bersemangat (termasuk yang disebelah saya :D). Tak disangka setelah workshop berakhir, diumumkan bahwa kami diperbolehkan membawa Angklung. Ruangan langsung riuh dengan suara senang penonton. Kami malah membawa pulang tiga angklung karena tiba-tiba diberi oleh ibu yang duduk disebelah. Seru sekali sesi ini. Suasana Workshop yang sempat saya rekam :
Setelah Workshop selesai, dilanjutkan kembali oleh pertunjukan Angklung kembali. Dan dibawah ini adalah rekaman penutupnya yaitu Es Lilin dan tarian.
Wah kami senang sekali mendatangi dua acara diatas yang diselenggarakan dalam waktu berdekatan. Terutama pertunjukan Angklung karena bisa memperkenalkan ke suami alat musik tradisional Indonesia. Lihat saja wajah antusiasnya 🙂 Dia malah bilang kalau saat pulang ke Indonesia nanti, mau mampir ke Saung Angklung Udjo di Bandung. Mau membeli Angklung semua nada. Huwooo digawe opooo Mas, ngebak-ngebaki omah ae :p
Senang tidak hanya warga Indonesia yang bisa menikmati suguhan budaya ini, tetapi juga beberapa warga negara kebangsaan diluar Indonesia.
Selamat berakhir pekan, semoga akhir pekannya menyenangkan bersama yang tersayang. Jadi, apa rencana akhir pekan kalian?
Judulnya ngeri-ngeri sedap ya :). Tenang, ini tulisan santai dan tidak dalam kapasitas membicarakan rumah tangga orang lain. Saya mau membicarakan kehidupan rumah tangga sendiri. Saya sering sekali mendapatkan pertanyaan tentang hal-hal yang berkaitan dalam rumah tangga kami yang lamanya baru bisa dihitung dengan jari tangan plus jari kaki (dalam bulan). Pertanyaan ini bukan hanya datang dari keluarga dan teman, bahkan juga orang yang baru dikenal. Beberapa hal yang mereka ingin tahu karena saya menikah dengan lelaki yang tidak sebangsa. Suami saya tetap seorang manusia biasa, hanya berbeda warna kulit, warna rambut dan kewarganegaraan, itu yang selalu saya tegaskan kepada siapapun yang melihat suami saya dengan pandangan yang luar biasa. Awalnya mungkin karena penasaran, walaupun tidak dapat dipungkiri juga beberapa menanggapi dengan suara sumbang. Setiap rumah tangga berbeda dalam cara mengelolanya karena masing-masing punya kebutuhan yang tidak sama. Berharap dengan tulisan ini saya tidak perlu lagi menjelaskan panjang lebar dan tinggal copy link ketika ada yang bertanya.
PEMBAGIAN TUGAS KERJA
Kami mengibaratkan rumah tangga ini adalah teamwork, dimana kekompakan dan kata sepakat perlu dikedepankan. Tapi hal tersebut juga tidak berlaku saklek, semuanya bisa didiskusikan. Maklum saja semua harus dikerjakan sendiri, jadi perlu adanya pembagian tugas, kalau tidak ya legrek kalau semua harus dipusatkan pada satu orang. Kapan waktunya bersenang-senang kalau misalkan semua printilan dibebankan kepada salah satu pihak, simpelnya seperti itu. Suami sebelum menikah dengan saya juga sudah terbiasa mengerjakan semuanya sendiri, saya juga mantan anak kos yang apa-apa dikerjakan sendiri. Dalam pembagian kerja, pada pos-pos tertentu memang sudah ada kesepakatan siapa mengerjakan apa. Misalkan kamar mandi dan wc itu tugas suami dalam membersihkan karena saya tidak suka berkutat didua tempat tersebut dan dia mengajukan diri sejak awal akan mengambil tugas disana. Tetapi jika suami sedang sibuk dan waktunya membersihkan, mau tidak mau akhirnya saya yang mengerjakan (daripada kotor kan ya). Menyeterika baju saya juga tidak terlalu suka, akhirnya kami membagi tugas menyetrika 50%-50%. Kami menyetrika setiap tiga minggu sekali ketika baju yang siap disetrika sudah menggunung. Tetapi ketika saya sedang capek atau repot memasak, suami dengan senang hati akan menyetrika semuanya. Begitu juga kalau suami tidak sempat, saya yang akan melaksanakan tugas menyetrika. Semua tanpa paksaan karena melihat siapa yang longgar ya dia yang mengerjakan pekerjaan yang belum sempat tersentuh.
Dalam urusan makan ada waktu-waktu tertentu kami berbeda keyakinan. Ketika sarapan, kami menyiapkan menu masing-masing. Saya bangun tidur langsung minum perasan jeruk hangat dilanjutkan setengah jam kemudian makan buah (pisang, apel, jeruk, apapun itu yang tersedia dikulkas) lalu menyiapkan bekal suami makan siang untuk dibawa ke kantor (tinggal menata di kotak). Sedangkan suami menyiapkan menu sarapannya sendiri : roti, telur rebus (terkadang diganti keju), yoghurt, dan ketimun. Jadi selama ini saya memang tidak pernah menyiapkan sarapannya. Kalau makan siang saya yang menyiapkan perbekalannya, giliran makan malam dia yang menyiapkan untuk kami berdua sepulangnya bekerja. Makan malam kami cukup simpel yaitu sayuran segar (salad) dengan dressing dan lauk yang tersedia (tahu, tempe, perkedel atau apapun itu. Kecuali hari rabu lauknya adalah salmon. Kami menyebutnya salmon dating :D). Suami lebih telaten dan lebih banyak ide dalam membuat padu padan sayuran, dibanding saya tentunya.
Saya masak besar untuk lauk pada hari minggu untuk persediaan selama 5 hari kedepan. Misalkan membuat perkedel, dadar jagung, mendol, sambel goreng tempe tahu ataupun menu lainnya buat bekal suami, makan siang saya dan lauk makan malam kami. Suami suka sekali makanan Indonesia jauh sebelum menikah dengan saya. Karenanya memudahkan saya juga dalam menyiapkan masakan dan dia juga tidak rewel tentang makanan. Saya tidak pernah membuat dua jenis masakan. Satu masakan untuk dimakan bersama, beruntungnya dia juga suka pedes. Setiap hari minggu saya memasak dua macam lauk. Kalau memasak sayur senin pagi sebelum saya berangkat sekolah dan kamis pagi. Sedangkan pada hari sabtu dan minggu kadang kami makan diluar atau memasak sekadarnya. Karena saya memang suka memasak, jadi pos memasak ini juga bagian saya. Sementara saya memasak, suami sibuk membersihkan rumah, membersihkan karpet, menjemur baju dan terkadang juga mengepel. Sesekali suami juga membantu mencuci panci dan peralatan masak lainnya kalau dia melihat saya kecapaian, karena yang masuk dishwasher hanya peralatan pecah belah, sendok, garpu. Dengan pembagian seperti itu kami masih punya banyak waktu untuk me time. Dia dengan hobi bermusiknya sibuk dalam ruangan musiknya, saya juga punya kesibukan sendiri. Lagipula kalau rumah kotor dan berantakan, yang merasakan tidak nyaman tentu saja kami berdua, bukan hanya salah satu pihak saja. Jadi segala sesuatu yang terjadi di rumah adalah tanggungjawab kami berdua.
BERDISKUSI, BUKAN MEMINTA IJIN
Entah karena mempunyai persamaan pandangan atau dasarnya memang kami tidak suka saling mengekang, karenanya semua yang berlangsung selama ini adalah cenderung berdasarkan hasil diskusi bukan hasil meminta ijin. Misalkan ketika dia akan membeli suatu barang “aku mau beli X nih, gimana menurut kamu?” setelahnya kami akan berdiskusi penting tidaknya, skala prioritasnya, kegunaannya dan sebagainya. Ataupun ketika saya akan pergi ke suatu tempat bersama seorang teman “aku nanti mau ketemu A di stasiun jam 12 sepulang sekolah dan setelahnya kami mau jalan-jalan sampai jam 5, jadi dinner aku sudah ada dirumah,” tanpa harus menambahkan kata-kata “boleh ga?” kalau saya terlambat, cukup berkirim pesan bahwa saya akan terlambat berapa lama sampai di rumah. Hal tersebut juga berlaku sebaliknya pada suami. Kalau salah satu dari kami keberatan, bisa disampaikan mengapa tidak sepaham. Semuanya bisa didiskusikan. Bagaimanapun kami adalah individu yang mempunyai kehidupan masing-masing sebelum menikah. Karenanya kami juga butuh waktu untuk bersama teman masing-masing tidak harus selalu runtang runtung sepanjang waktu. Toh kami juga tahu sejauh mana batasannya. Ada saatnya kami menghabiskan waktu berdua, ada saatnya juga kami ingin punya waktu sendiri.
PENDAPAT YANG DITERIMA
Ketika saya menjelaskan semua yang tertulis diatas saat ada yang bertanya, reaksi positif dan negatif yang saya terima. Pendapat positif ketika mereka memuji pembagian kerja yang kami terapkan ataupun mengedepankan diskusi dalam banyak hal. Tetapi tidak sedikit juga komentar negatif yang saya terima.
Saya dikatakan sebagai istri yang tidak berbakti dan mengabdi ketika melibatkan suami dalam pekerjaan rumah tangga. Menurut mereka adalah tugas istri dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Saya selalu malas berdebat kusir kalau ujung-ujungnya selalu melibatkan dalil-dalil agama. Saya selalu menjawab bahwa suami ridho, ikhlas, senang dan penuh suka cita mengerjakan itu semua. Tidak ada satupun diantara kami dipaksa mengerjakan apapun. Yang penting adalah senang. Kalau kami sedang ingin leyeh-leyeh saja seharian, ya kami akan melakukan itu seharian. Dan saya tetap tidak paham dibagian mana letak salahnya, sampai saya dituduh istri yang tidak berbakti. Lebih baik mengerjakan secara bersama-sama diiringi rasa senang daripada menyanggupi untuk mengerjakan semua sendiri tapi mengeluh yang ujung-ujungnya cemberut sepanjang hari karena kecapaian. Ada satu teman di sekolah yang menyelutuk kenapa saya tidak bisa menjadi istri seutuhnya dan tega membiarkan suami menyiapkan makan malam kami berdua padahal dia sudah kerja seharian. Saya sampai terperanjat ketika dia bilang seperti itu, speechless tidak tahu bagaimana harus menanggapinya. Toh saya juga tidak harus menjawab semua pertanyaan atau pernyataan, apalagi yang menurut saya tidak terlalu masuk akal.
Lalu masalah keluar rumah, mereka bilang bahwa seyogyanya istri harus meminta ijin ketika keluar rumah, bukan hanya memberitahukan. Sebelum suami memberikan ijin, istri tidak bisa keluar rumah. Menurut pendapat saya, kenapa harus seperti itu, apakah selalu kewajiban istri untuk selalu meminta ijin suami, bagaimana dengan suami, apakah tidak mempunyai kewajiban yang sama? Ketika jawaban yang seperti itu saya lontarkan, penghakiman selanjutnya yang keluar adalah saya dikatakan terlalu menjunjung feminisme, yang kemudian diakhiri dengan dalil-dalil agama (lagi). Tenang saja, saya mengetahui dengan pasti ajaran-ajaran agama yang saya anut. Sejauh mana boleh atau tidaknya suami istri memperlakukan satu sama lain. Patuh tidaknya seorang istri pada suami bukan hanya dilihat pada saat ingin keluar rumah dengan meminta ijin. Memberitahukan juga salah satu bentuk penghargaan bahwa salah satu pihak dilibatkan.
Masing-masing rumah tangga mempunyai “dapur” yang berbeda. Masing-masing dapur dikelola sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan. Kita tidak bisa memaksakan dapur kita harus serupa dengan milik orang lain ataupun memberikan komentar bahwa dapur yang ideal adalah milik kita. Manajemen dalam rumah tangga tercipta karena kedua belah pihak ada kesanggupan bersama. Semua rumah tangga mempunyai kondisi idealnya masing-masing dengan segala suka duka didalamnya. Yang harus kita pahami adalah tidak ada alasan apapun untuk menghakimi satu perkara itu baik ataupun buruk hanya karena tidak sama dan tidak sesuai dengan apa yang kita lakukan. Saling menasehati untuk menuju kebaikan itu sangat dianjurkan. Tetapi terkadang antara menasehati dan menghakimi tidak nampak terlihat jelas batasannya. Rumah tangga adalah kerjasama. Ridho suami adalah ridho istri, begitu juga sebaliknya ridho istri adalah ridho suami, bukan berlaku hukum sepihak. Saya suka menganalogikan bahwa setiap rumah tangga itu seperti proses membuat permodelan (ini agak matematika sedikit bahasanya). Model terbaik yang dihasilkan tidak bisa diterapkan pada kasus yang lain karena ada syarat dan ketentuannya, yang biasa disebut teorema. Sebuah model terbaik untuk satu rumah tangga belum tentu menjadi model terbaik untuk rumah tangga lainnya.
Mudah-mudahan ini juga menjadi catatan tersendiri buat saya bahwa yang namanya masih hidup pasti akan selalu ada pro dan kontra. Dan pada dasarnya juga saya tipe orang yang i don’t care what other people said as long as i’m happy dan masih dalam jalur yang benar dan tidak membuat rugi sekitar. Saya akan menerima segala macam komentar, disaring, diambil yang terpenting. Sesimpel itu.
Disclaimer : tulisan dibawah ini sangat subjektif sifatnya, berdasarkan pengalaman saya : mahasiswi yang pas-pasan nilainya ketika lulus (baca: bukan lulusan cumlaude dan pas untuk mencari kerja) dan sedang-sedang saja prestasinya serta tentunya lintas dasawarsa. Dan cerita dibawah ini hasil dari pengamatan dari lingkungan sekitar saya. Mumpung baru lulus awal tahun 2015, jadi saya tuliskan segala pengalaman yang tidak terlupakan. Dan postingan ini akan sangat panjang.
Hari ini almamater saya, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, berulangtahun. Ya, kampus ini berulangtahun setiap tanggal 10 Nopember sesuai dengan namanya dan bertepatan dengan Hari Pahlawan. ITS yang juga dikenal sebagai kampus perjuangan memang benar-benar meresapi arti perjuangan itu sendiri. Untuk bisa kuliah di ITS perjuangannya sangat berat. Diawali dengan ujian masuknya yang harus bersaing dengan beribu pendaftar seantero Indonesia. Ketika sudah dinyatakan resmi sebagai Mahasiswa ITS, perjuangan yang sebenarnya baru dimulai. Ketika akan lulus, perjuangan mengerjakan Tugas Akhir/Skripsi/Tesis/Disertasi juga tidak kalah beratnya. Intinya selama kuliah di ITS itu isinya berjuang terus. Apakah terdengar sesengsara itu? Oh tentu saja tidak. Bukankah ada pepatah bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Nah kalau di ITS ini beda, bersakit-sakit selama perkuliahan, tapi bersenang-senang jangan sampai ketinggalan. Nguaraangg puoooll :)))
Dulu kalau ada tes kerja di Jakarta, saya paling sebal kalau ditanya “ITS itu apa ya? Institut Teknologi Surabaya?” atau pertanyaan “ITS itu dimana ya?” dan yang tidak kalah menyebalkan “oh ada ya Institut Teknologi negeri lainnya selain ITB?” Saya sampai bertanya-tanya sendiri, ini ITS apa memang kalah pamor dengan ITB atau bagaimana sih kok beberapa HRD di Jakarta sampai tidak mengerti. Padahal konon katanya lulusan ITS itu calon menantu idaman dan hampir selalu bikin incaran hati klepek-klepek tanpa ampun *mulai lebhayy :)) Paling tidak punya nilai lebih lah dimata calon mertua kalau ditanya “kuliah dimana? atau lulusan darimana?” dan jawabannya “ITS”, sedaapp.
Sebelum ada yang bertanya saya ini alumni jurusan apa dan angkatan berapa, maka saya jabarkan dulu diawal. Sejak sebelum lulus SMA (alumni SMA Negeri 2 Surabaya), orangtua menghendaki saya masuk kedokteran UNAIR. Maklum saja pada masa itu dokter masih menjadi salah satu jujugan pekerjaan yang cemerlang dan (diharapkan) menghasilkan uang banyak. Tapi saya tidak suka ilmu menghafal meskipun sewaktu SMA nilai biologi selalu menonjol diantara nilai lainnya (masih ingat nilai fisika pernah dapat 5 dirapor-buka aib sendiri). Sejak SMA sudah punya cita-cita kalau kuliah ingin di ITS. Akhirnya dengan tidak tahu dirinya sewaktu UMPTN (sudah terbaca era kapan dari penyebutan UMPTN) mendaftar pilihan pertama kedokteran UNAIR, pilihan kedua Teknik Kimia ITS, pilihan ketiga Akuntansi Unair. Singkat cerita dari tiga pilihan tersebut GAGAL semua. Akhirnya saya diterima di D3 Statistika kemudian melanjutkan S1 Statistika dan setelah bekerja 7 tahun, melanjutkan ke S2 Teknik Industri. Karenanya diawal saya sebutkan kalau saya ini angkatan lintas dasawarsa.
Sebenarnya hubungan saya dengan ITS itu benci tapi rindu. Hate and love relationship. Saking susahnya kuliah di ITS saya bersumpah tidak akan kecemplung lagi untuk kembali kuliah di ITS. Tapi janji tinggallah janji. Saya kembali nyemplung sampai 2 kali, kembali ke kampus yang sama. Perjuangan di ITS tanpa saya sadari memang membuat ketagihan.
Kembali lagi dengan serba-serbi selama kuliah di ITS pada tahun-tahun yang telah tersebutkan, ini pengalaman saya :
PENGKADERAN di ITS
Kalau ada yang membaca ini dan angkatannya tidak jauh berbeda dengan saya *kode keras ke Dani :))) pasti mengalami pengkaderan yang super duper keras tak berperikemahasiswaan, tapi masih level normal (menurut saya) pada masa itu. Saya pikir ketika sudah dinyatakan resmi sebagai mahasiswa maka tidak ada lagi hambatan dan rintangan yang dilalui. Ternyata salah jenderal! Pengkaderan di Statistik, disebut BCS singkatan dari Bina Cinta Statistika yang dikemudian hari lebih terkenal sebagai Bina Cinta Senior karena masa-masa pengkaderan adalah masa dimana senior tebar pesona menjerat maba *hayoo para senior ngaku!!. Sebenarnya pengkaderan di Statistika tidak terlalu keras dibandingkan jurusan teknik-teknik yang lain. Statistika waktu itu letaknya berdekatan dengan Teknik Mesin, Teknik Lingkungan, dan Teknik Elektro. Jadi saya bisa melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kerasnya pengkaderan terutama di Teknik Mesin. Sepatu dan segala benda melayang diantara mahasiswa baru (maba) yang sedang push up berantai. Sedangkan pengkaderan di Statistik saya rasakan waktu itu juga teramat keras. Bentakan demi bentakan harus dilalui setiap sabtu dan minggu (kalau tidak salah selama hampir 5 atau 6 bulan), tugas yang bertubi dan seringnya nampak tidak masuk akal untuk dikerjakan karena butuh kreatifitas (dan halusinasi) yang tinggi. Aturan yang berlaku hanya ada dua : 1. Senior tidak pernah salah, 2. Jika senior salah, maka kembali ke nomer 1. Belum lagi Bakti Kampus dimana maba seluruh ITS dijadikan satu dan dikader bersama. Masih teringat jelas bagaimana kerasnya Bakti Kampus saat itu. Setelah pengkaderan jurusan selesai, puncaknya adalah Camp yang biasanya diadakan di luar kota. Lokasi favorit camp ITS adalah sekitar daerah cuban-cuban (cuban rondo, saya lupa cuban-cuban lainnya) dan Kakek Bodo. Saya menyebut pengkaderan di ITS itu sebagai pengkaderan berlapis karena tingkatannya adalah Jurusan, Fakultas, lalu Institut.
Pada masa pengkaderan itu saya sering ingin menyerah, sering menangis dan rasanya sudah tidak sanggup untuk meneruskan kuliah di Statistika. Tapi beruntungnya saya mempunyai teman-teman angkatan yang solid, meskipun beberapa ada yang sedikit melenceng dari jalur (dan kami menyebutnya adalah para outlier atau biang kerok). Saking solidnya pertemanan kami pada masa itu, saya masih bertahan berteman dekat dengan beberapa diantara mereka sampai sekarang. Dan kami selalu tertawa cekikikan kalau membahas masa lalu pengkaderan. Iya, pada masa itu kami memang harus berdarah-darah melewati pengkaderan, tetapi pada masa kini kami bisa menertawakan yang telah kami lewati. Tidak itu saja, kami juga akrab sampai sekarang dengan beberapa senior. Bahkan ada beberapa yang menikah dengan senior. Disinilah keberhasilan BCS patut diakui.
MINIM WANITA
Namanya saja kampus teknik, dapat dimaklumi kalau ITS pada masa itu fakir perempuan. Karenanya para senior lelaki akan menjadi sangat buas, sikut kanan kiri untuk mendapatkan maba incaran yang perempuan. Tidak jarang sampai ada perang dingin diantara teman. Para perempuan pun seakan naik pamor karena (merasa) diincar para senior. Mendadak jadi idola istilahnya. Nyatanya yang diincar ya cuma segelintir saja karena selebihnya hanya sebagai pelengkap penderita (ngakak, maklum saya pada posisi yang kedua). Tapi pada waktu itu saya sedikit bangga karena disaat yang lain sibuk dengan pengkaderan, saya sudah pacaran dengan senior dari Teknik Mesin. Apakah karena saya nampak kinclong sampai terjadi kisah cinta lintas jurusan? bukan, karena sejujurnya pada saat itu kami berdua tidak ada pilihan *maaf mantan, saya harus berterus terang haha. Waktu itu bangganya bukan main punya pacar anak Teknik Mesin, dengan jaket jurusan berwarna merah, nampak garang diantara jurusan-jurusan yang lain. Plus mantan pacar saya itu anak Basket. Mari sudahi kisah nostalgi(l)a ini. Oh iya, jaket jurusan ini juga jadi ajang arogansi (tidak tertulis) mahasiswanya dengan warna simboliknya.
Kalau di Statistik masih lumayan banyak wanitanya. Jurusan lain lebih pahit keadaannya. Jurusan Teknik Mesin angkatan saya (kalau tidak salah ingat-maaf kalau salah, sudah 16 tahun lalu :D) hanya punya satu mahasiswa perempuan diantara (mungkin) sekitaran total 50 mahasiswa. Tidak jarang mahasiswa ITS sampai invasi ke UNAIR, nongkrong di kantinnya dengan tujuan siapa tahu beruntung dapat pacar. Atau kalau ada mahasiswi Unair yang datang ke kantin pusat ITS, semua mata pria-pria langsung terperangah. Tidak hanya pria, mahasiswinya juga ikut takjub karena penampilan mereka yang jauh berbeda dengan mahasiswi ITS. Jurusan Teknik Industri dan Arsitek terkenal banyak mahasiswinya dan penampilan mereka benar-benar fashionable.
PENAMPILAN
Penampilan anak ITS jauuuhh dari kata fashionable (pada saat itu) kecuali beberapa jurusan, misalnya yang sudah saya sebutkan diatas. Tapi secara keseluruhan, baik mahasiswa maupun mahasiswi, penampilannya tidak jauh dari tas ransel besar, jaket jurusan yang besarnya sudah semacam jubah, sandal gunung, sepatu yang diinjak pada bagian belakang (semahal apapun sepatunya, cara memakainya 2 macam : diinjak bagian belakang, seringnya atau memakai secara normal), rambut kucel, penampilan acak-acakan, jarang mandi (pada jaman saya, benar adanya kalau mahasiswa jarang mandi ketika kuliah) dengan alasan air di kos mati ataupun alasan klise tidak sempat mandi karena bangun kesiangan, celana jeans belel (belel dalam artian sebenarnya yang jarang dicuci atau koyak disana sini termakan umur). Sepertinya ada semacam perjanjian tidak tertulis bahwa semakin kusam penampilan maka semakin bisa mentasbihkan sebagai anak ITS sejati. Ada kemungkinan juga mereka (dan saya) berpenampilan seadanya karena faktor uang bulanan yang pas-pasan. Maklum, anak ITS kebanyakan adalah anak kosan yang hidupnya bergantung dari kiriman bulanan. Dan juga tidak terlalu memperhatikan penampilan karena terlalu sibuk dengan timbunan tugas-tugas yang tiada henti datangnya. Bahkan ketika saya kuliah S2 dan pergi ke beberapa tempat, saya langsung mengenali kalau bertemu dengan beberapa orang, yakin kalau mereka anak ITS. Penampilan mahasiswa ITS itu khas sekali.
ANTARA PELIT, IRIT ATAU PAILIT
Terkadang sulit mendefinisikan pada saat kuliah D3 dan S1 apakah saya ini termasuk kategori irit, sedang pailit ataukah memang berjiwa pelit karena uang bulanan yang dikirim orangtua selalu pas bahkan hampir selalu habis sebelum bulan berakhir. Tapi hal tersebut tidak hanya terjadi pada saya. Banyak teman satu jurusan juga seperti itu. Kalau uang bulanan habis, senjata andalan adalah mengutang. Siklus hutang inipun seperti lingkaran setan yang tidak tahu ujung dan pangkalnya. Hutang ke ibuk kantin (kami memanggil ibuk pada penjual di kantin Statistik), hutang pada teman. Kalau uang kiriman sudah datang, saatnya membayar hutang, dimana akhirnya uang bulanan habis lagi. Begitu seterusnya. Ada jalan lain : beli makanan sebungkus kemudian dimakan ramai-ramai (saking ngiritnya). Saya pikir kebiasaan makan ramai-ramai ini hanya terjadi pada saat saya kuliah sampai lulus S1. Ternyata ketika melanjutkan S2, kebiasaan makan beramai-ramai ini masih saja tetap berlanjut, at least diangkatan saya. Jadi sebenarnya mereka ini irit, pailit, atau pelit? Beruntungnya warung di keputih dan gebang porsi makanannya memang jumbo, sehingga bisa dimakan beramai-ramai.
Beli minum 2 botol dibagi menjadi beberapa gelas. Kami sedang beruding bagaimana caranya supaya bisa dibagi rata. Waktu itu kami menyebutnya ngoplos minuman. Ini hampir tegah malam dan kami masih keluyuran cari makan diwarung dekat kampus.
MENGINAP DI KAMPUS
Karena tugas yang memang mengalir deras seperti air sungai yang tidak bisa dibendung kedatangannya, seringkali menyebabkan kami rela untuk tidur di kampus. Apalagi pada masa-masa mengerjakan Tesis atau Tugas Akhir, maka bisa dipastikan berhari-hari kami bisa menginap di kampus. Biasanya di ruangan HIMA (Himpunan Mahasiswa) atau ruangan khusus yang disediakan (seperti ruangan S2). Belum lagi tugas dosen yang terkadang membutuhkan tenaga ekstra dalam mengerjakannnya, misalkan mengerjakan pada berlembar-lembar kertas folio manual tulis tangan. Kalau ada yang salah perhitungan, maka harus mengulang dari awal. Bencana. Pada masa S2, selain karena fasilitas internet gratis dengan kecepatan yang sesuai mood, juga ada keuntungan lain yang ingin didapat yaitu bisa tidur diruangan ber-AC. Maklum, Surabaya panasnya melebihi normal dan dikos tidak ada AC. Kipas angin tidak mampu menembus hawa panas itu. Nah, karena sering menginap di kampus, sering mengerjakan tugas bersama, sering runtang runtung kesana kemari, maka cinta lokasi pun tak bisa terelakkan. Ada yang bertahan sampai jenjang pernikahan, ada yang bubar jalan dalam hitungan bulan.
Sehari-hari begini kegiatannya. Terbenam diantara tumpukan tugas. Sampai menginap di kampuspun dijalani.
CANGKRUK
Jaman saya dulu, kegiatan di kampus tidak pernah lepas dari yang namanya cangkruk. Cangkruk artinya adalah kumpul duduk-duduk. Kegiatannya apa? Ya nggedabrus (ngomong ngalor ngidul) sambil ngetruf (main truf). Saking hobi cangkruk, saya sampai sering pulang malam sampai kos. Rasanya sehari saja tidak cangkruk dengan teman-teman ada bagian hidup yang hilang. Padahal ya yang diomongkan tidak terlalu penting, banyak juga sih beberapa yang penting. Ya itu tadi, nggedabrus ga jelas. Tapi bagian cangkruk ini yang sebenarnya saya sesalkan sampai sekarang. Mengapa saya tidak memanfaatkan waktu produktif saya dengan kegiatan lebih berguna. Waktu itu sih alibinya menjalin networking. Halah, Networking huwopoo.
CERITA HOROR
Kampus ITS dan cerita horor adalah satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan. Maklum ITS dulunya adalah rawa dan bangunannya pun banyak yang sudah tua. Beberapa bangunan dan tempat kental dengan cerita mistis. Saya terus terang tidak pernah merasakan dan mengalami kejadian horor. Tetapi dari beberapa sumber yang bisa dipercaya, kejadian aneh seringkali terjadi apalagi pada waktu malam hari. Beberapa tempat yang terkenal dengan cerita horornya adalah taman belakang Statistik, Gedung Theater (saya lupa tepatnya thater yang sebelah mana), Laboratorium Bahasa, Gedung MIPA, Perpustakaan dan masih banyak tempat uji nyali lainnya. Salah satu cerita horor itu misalnya di salah satu theater, kalau melintas pada waktu malam, di area itu sering terdengar dentingan piano padahal tidak ada siapapun di dalam. Dan ada satu cerita legenda yaitu Putri Biru yang sering melintas di jembatan Statistik (jembatan Statistik ini pada angkatan saya sering disebut jembatan Dawson Creek, karena pada saat itu sedang booming serial ini dan ada jembatan yang nampaknya mirip dengan jembatan Statistika. Iya, ini maksa). Cerita yang beredar katanya ada beberapa mahasiswa yang bunuh diri karena tidak selesai mengerjakan tugas akhir. Benar atau tidaknya saya juga tidak tahu. Duh, kok jadi merinding sendiri ya malam-malam nulis beginian.
ORGANISASI MAHASISWA
Pada waktu itu organisasi mahasiswa (OrMaWa) sangat marak. Saya ikut beberapa yaitu UKM Penalaran dan Karate. Tapi yang bertahan sampai akhir adalah UKM Penalaran. Dulu ada sekretariat bersama (sekber) beberapa UKM yang letaknya dekat kantin pusat, sekarang menjadi bangunan BNI. Selain itu saya juga ikut kegiatan di HIMASTA (Himpunan Mahasiswa Statistika). Niatnya waktu itu ingin menjadi aktivis. Kenyataannya menjadi aktivis abal-abal. Pernah ikut demo di depan rektorat yang berujung pada yang ikut demo mendapat teguran keras dari jurusan plus foto masuk berita Jawa Pos (saya lupa demo masalah apa ya). Pada saat itu saya memang aktif sekali ikut UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa). Saking terlalu aktifnya sampai IPK nyaris dibawah rata-rata (sewaktu D3). Saya bisa bilang karena aktif mengikuti organisasi inilah yang menjadi penolong dalam mencari pekerjaan. Bagus di nilai akademis perlu, tetapi berkecimpung dalam dunia organisasi kampus juga perlu sebagai media pembelajaran kita mengenal dunia selain akademis. Jadi seimbang kehidupan di kampus. Bahkan salah satu bos saya dulu bilang, kalau mencari lulusan dengan nilai cumlaude pasti banyak. Tapi mencari lulusan dengan pengalaman organisasi di kampus, itu yang menjadi nilai tambah.
KEBERSAMAAN ANTAR MAHASISWA
Karena selama masa perkuliahan yang selalu bersama dalam susah maupun senang, sudah terdengar dramatis belum?, hubungan diantara teman kuat. Kami menjadi solid, saling menguatkan satu sama lain. Jalinan pertemanan yang kuat saya rasakan sudah seperti hubungan persaudaraan. Kampus sudah semacam rumah kedua. Terkadang saya juga menginap di rumah beberapa teman yang asli Surabaya. Dalihnya ingin mengerjakan tugas bersama-sama, padahal niat dibaliknya sekalian mencari makan gratisan. Saya lebih banyak menghabiskan waktu di kampus daripada di kos. Dan jalinan pertemanan itu beberapa masih terpelihara dengan baik sampai sekarang, 16 tahun kokoh berteman dengan segala suka dukanya. Karenanya saya mendengar bahwa ikatan alumni ITS itu solid.
Bagitulah postingan terpanjang saya diblog ini. Sebenarnya masih banyak yang ingin diceritakan, tapi saya takut panjangnya melebihi serial Tersanjung :D. Kalau sudah bernostalgia tentang cerita kampus memang tidak ada habisnya. Selalu ada hal lucu dan menarik selain perjuangan selama masa perkuliahan. Selamat ulang tahun buat almamaterku tercinta ITS. Semakin jaya meluluskan generasi penerus bangsa dalam bidang teknologi dan ilmu pengetahuan. Saya bangga menjadi bagian alumni (3 kali) dan pernah diwisuda di graha ITS yang megah. Terima kasih untuk para dosen yang telah mengajar dan berbagi ilmunya pada kami (meskipun perjuangan mengerjakan Tugas Akhir dan Tesis penuh liku dan kelokan yang nampak tak berujung, tapi akhirnya lulus juga). Apapun yang pernah terjadi dalam masa perkuliahan, baik buruk, pahit manis, semua adalah pembelajaran yang sangat bermanfaat sampai sekarang. Tidak akan terlupakan. Terima kasih ITS ku yang tercinta. Dibawah ini adalah Hymne ITS.
Hayo, ngacung siapa yang sedang baca ini alumni ITS juga? monggo berkomentar apa pengalaman yang tidak terlupakan selama kuliah di ITS. Kalau posting komennya susah sekali, jangan menyerah. Katanya alumni kampus perjuangan, masak komen masuknya susah saja langsung menyerah *dijejelin lontong balap :))) . Atau yang bukan alumni ITS juga boleh berkomentar apa pengalaman unik yang tidak pernah kalian lupakan selama kuliah dan kalau tidak keberatan boleh dong saya tahu juga kalian alumni mana :D.
Foto yang dipakai ada beberapa yang dokumen pribadi ada beberapa yang meminjam dari beberapa sumber dengan langsung menyertakan sumbernya. Foto pribadi adalah foto-foto selama masa kuliah S2, karena foto-foto selama di Statistika saya belum mengenakan jilbab.
Postingan ini memang sengaja memakai bahasa Indonesia yang tidak baku. Saya sudah bilang ke suami kalau ini postingan nostalgia, jadi mending saya cerita langsung ke dia.
Beberapa hari lalu blog kami mendapat notifikasi dari WordPress yang berisi ucapan selamat bahwa blog ini sudah berusia satu tahun. Ternyata baru satu tahun ya, saya pikir sudah lebih dari itu. Tidak terasa karena saya merasa senang dan nyaman sejak menyalurkan kesenangan menulis di blog ini. Seperti layaknya bayi yang berusia satu tahun, blog kami juga masih merangkak, belajar berjalan ataupun belajar berbicara. Semoga meskipun usianya masih balita, blog kami bisa memberikan sesuatu yang bermakna buat yang membaca maupun buat kami sebagai pemiliknya. Blog ini sudah seperti rumah bagi kami untuk menyalurkan segala opini, berbagi pengalaman, berbagi cerita, maupun mencari informasi yang berharga dari beberapa blog-blog lainnya. Beberapa hal yang ingin saya bagi tentang satu tahun bermukim diblog ini :
TUJUAN NGEBLOG
Tujuan awal menulis diblog sebenarnya sangat sederhana, yaitu ingin berbagi cerita, apapun itu, seperti yang saya pernah tuliskan pada bagian Secangkir Kopi. Dulu saya pernah rajin menulis, ketika patah hati sering melanda pada jamannya. Bahkan pada masa patah hati tersebut, saya produktif dengan beberapa teman mengeluarkan beberapa buku. Kata-kata yang mengalir dapat merangkai sebuah cerita yang indah dan tertuang pada blog lama (blogspot dan multiply) yang pada akhirnya tidak pernah saya sentuh lagi ketika perlahan tapi pasti mulai meninggalkan masa-masa patah hati dan berkutat dengan sibuknya dunia perkuliahan. Bagaimana mau patah hati kalau setiap hari menghabiskan waktu dikampus sampai dini hari, berkencan dengan tugas-tugas kuliah karena setiap hari harus presentasi. Tapi takdir berkata lain. Diantara kesibukan kuliah tersebut, Tuhan membuat saya untuk lebih sibuk lagi ketika akhirnya mempertemukan dengan calon suami yang ternyata berbeda benua. Namun jika sudah takdirNya, jodoh diujung duniapun pasti bertemu. Singkat cerita, sebelum menikah suami mengusulkan untuk membuat blog yang kami isi bersama supaya saya kembali aktif menulis selain menulis laporan tugas kuliah. Nama yang saya usulkan adalah Denald. Asal usul nama tersebut pernah saya tuliskan disini.
Seiring dengan berjalannya waktu, tanpa kami rencanakan, tujuan ngeblogpun mulai bertambah, yaitu berbagi informasi. Informasi apapun itu murni dari pengalaman kami, bukan berbayar. Sampai saat ini kami masih sepakat untuk menjadikan blog ini menjadi tempat berbagi informasi maupun berbagi cerita tanpa embel-embel. Mungkin lebih tepatnya masih belum beriklan, bukan postingan berbayar. Meskipun ada beberapa tawaran kerjasama yang datang, namun masih belum bisa kami terima. Bukan mau menolak rejeki, tetapi memang tidak sejalan dengan tujuan kami menulis blog pada saat ini. Kami belum terpikir sejauh itu karena masih merasa nyaman seperti ini. Kalaupun ada cerita curahan hati, semaksimal mungkin kami usahakan masih ada manfaatnya untuk berbagi. Jadi curahan hati bukan hanya sekedar melepaskan uneg-uneg pribadi tetapi juga yang bisa memberikan nilai lebih buat yang membaca, seperti salah satu cerita saya pada bagian Berkah dan Musibah.
BAHASA YANG DIGUNAKAN DAN PROSES MENULIS
Beberapa tulisan dalam blog kami menggunakan bahasa Inggris dan kebanyakan menggunakan bahasa Indonesia. Kalau tulisan yang menggunakan bahasa Inggris, Mas Ewald yang lebih banyak berperan meskipun saya juga pernah menulis tapi cerita yang pendek. Tetapi kalau tulisan dalam bahasa Indonesia, jelas saya yang menulis. Kenapa menggunakan bahasa Indonesia baku? Selain melatih saya untuk belajar menggunakan Bahasa Indonesia secara baik dan benar sesuai kaidah EYD, juga sebagai sarana Mas Ewald belajar Bahasa Indonesia. Disetiap tulisan yang saya buat, dia selalu membaca menggunakan bantuan translator pada aplikasi telefon genggamnya. Setiap ada kata-kata baru yang dia belum pahami, dia selalu menanyakan kepada saya artinya apa. Tidak terasa sekarang perbendaharaan kata Bahasa Indonesia yang dia ketahui semakin bertambah. Ditunjang dengan kegigihannya belajar Bahasa Indonesia dari sebuah buku.
Menulis menggunakan Bahasa Indonesia sesuai kaidah EYD itu susah-susah gampang. Tidak dapat dipungkiri dalam setiap menulis saya selalu membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk mencari padanan kata ataupun sekedar megecek apakah kata-kata tertentu tertera disana. Selain aspek yang berhubungan dengan Ejaan Yang Disempurnakan yaitu membuat kalimat yang baik dan benar, menggunakan tanda baca yang benar, penggalan kata dan beberapa hal lainnya, kami juga berusaha untuk tetap membuat setiap tulisan dalam blog ini nyaman untuk dibaca. Tersampaikan pesannya dengan bahasa yang gampang dicerna.
Dalam proses menulis, meskipun hanya sekedar tulisan curahan hati, entah mengapa saya selalu melakukan riset. Rasanya tidak nyaman buat saya pribadi ketika menulis tanpa melakukan riset meskipun kecil-kecilan. Apalagi untuk berbagi informasi agak serius misalkan tentang Ujian Bahasa Belanda di Jakarta atau Sekolah Bahasa Belanda sampai menghabiskan waktu berhari-hari untuk mengumpulkan informasi supaya akurat. Harapannya adalah informasi yang diberikan tidak menjerumuskan kearah yang salah. Karenanya, saya dan suami (terutama saya) tidak bisa menulis dan langsung publish. Biasanya kami akan mengendapkan dulu beberapa saat. Membaca kembali berulang kali apakah ada hal yang terlewatkan, apakah ada tulisan yang salah ketik, apakah ada kalimat yang janggal dan sebagainya. Hal tersebut yang menjadi salah satu alasan kenapa blog kami ini hanya menelurkan (halah, menelurkan bahasanya) paling banyak 2 tulisan setiap minggunya. Tapi paling tidak selalu kami usahakan satu tulisan tidak absen setiap minggu, kecuali kepepet dan khilaf.
MANFAAT NGEBLOG
Banyak sekali manfaat yang kami rasakan sejak terjun dalam dunia blog. Bukan hanya menambah banyak informasi yang sangat berguna tetapi juga menambah kenalan baru. Dengan blogwalking, saya jadi mengenal banyak sekali blog-blog yang keren (menurut kami, semua blog itu keren dengan ciri khasnya masing-masing). Banyak pelajaran berharga yang bisa didapat dari pengalaman orang lain, banyak ilmu bermanfaat yang bisa didapatkan, maupun mengetahui karakter orang dari cara menulis ataupun menjawab komentar, meskipun berlaku hukum don’t judge the book by it’s cover. Memang betul bahwa tidak disetiap tulisan mereka saya meninggalkan komentar, tetapi percayalah jika memang ada waktu luang, saya pasti membaca semua tulisan dari blog-blog yang saya follow dari email maupun yang muncul di reader.
Mengharukan adalah ketika beberapa kali menerima email yang mengatakan bahwa banyak informasi yang didapatkan dari blog kami ini tidak hanya yang berkaitan dengan tes bahasa Belanda maupun sekolah bahasa Belanda ataupun segala sesuatu yang berhubungan dengan Belanda, bahkan ada email yang masuk menanyakan tantang seluk beluk pasar di Den Haag, Haagse Markt yang memang super lengkap dan murah karena pengirim email akan bertandang ke pasar tersebut, tentang Kawah Ijen dan tempat-tempat yang pernah kami singgahi, ataupun hanya sekedar menyapa dan berkata senang membaca blog kami. Saya juga senang membantu mereka yang memerlukan informasi khususnya tentang pernikahan dengan warga negara Belanda, dokumen-dokumen yang dibutuhkan, syaratnya apa saja, proses pindah dan sebagainya, dengan catatan mereka tidak datang kosongan. Artinya saya tidak memberikan informasi dari nol, mereka sudah membawa informasi yang sudah didapatkan sebelumnya, mungkin ada yang tidak mengerti atau kurang jelas, baru saya akan membantu. Terus terang saya malas membantu atau menjawab pertanyaan yang sebenarnya sudah jelas saya tuliskan atau yang bisa mereka cari dari google, karena memang seperti itu cara saya dulu mendapatkan informasi. Bertanya sesuatu yang kurang dimengerti dari informasi yang saya dapatkan sebelumnya, bukan bertanya sesuatu yang informasinya sudah bertebaran dimana-mana. Senjatanya seperti ini : membaca dengan teliti dan tidak malas memaksimalkan penggunaan teknologi untuk mencari informasi.
Saya pernah bertemu dengan beberapa dari mereka yang memang niat untuk mendapatkan informasi lebih dari apa yang mereka baca diblog ini maupun dari sumber lainnya. Ada yang harus menunggu dikos saya lebih dari satu jam sementara saya masih sibuk mengerjakan tesis dikampus. Ada yang sampai datang kekampus karena pada saat itu saya sedang kejar tayang sidang tesis. Jadi saya membantu dia, mendengarkan curhatnya, sembari saya mengerjakan laporan tesis. Ada yang ternyata tetangga beda blok ketika di Surabaya dan kami berteman baik sampai sekarang karena dia masih sering bolak balik Indonesia-Belanda untuk mengunjungi suaminya. Bahkan ada beberapa dari luar Surabaya sampai menelepon lama menanyakan ini dan itu. Sungguh saya tidak keberatan kalau memang blog ini menjadi jalan untuk memberikan manfaat bagi mereka yang membutuhkan informasi tertentu. Bersyukurnya sampai saat ini kami belum pernah (mudah-mudahan jangan sampai kejadian) menerima email yang tidak mengenakkan isinya, ataupun komentar yang tidak menyenangkan. Yang tidak kalah menyenangkan adalah ketika menerima kabar gembira bahwa mereka yang menanyakan informasi, diberikan kelancaran sampai pada tujuannya. Ada yang akan menikah sudah mengurus ini dan itu, ada yang sudah menikah, ada yang sudah lulus ujian bahasa Belanda, ada yang sudah pindah ke Belanda berkumpul dengan suami dan keluarga tercinta, ada yang sampai dengan selamat dan berbelanja di Haagse Markt, ataupun keberhasilan-keberhasilan lainnya. Sungguh, menerima kabar bahagia itu sangat memotivasi kami menjadikan blog ini untuk bisa memberikan sesuatu yang lebih berarti lagi, yang membawa manfaat bagi yang membaca.
Selain manfaat-manfaat diatas, tentu saja yang tidak kalah menyenangkan adalah kopdar dengan beberapa blogger. Bertemu langsung dengan mereka yang selama ini saya tahu hanya dari tulisan itu sangat berbeda rasanya. Berdiskusi langsung, berinteraksi, dan saling bertukar pikiran. Beberapa blogger yang saya pernah jumpai langsung adalah Mbak Yoyen, Yayang, Crystal, Indah, Melly, Beth, Febi, Mindy, Bijo, Mbak Dede dan Safitri (mudah-mudahan tidak ada yang terlewat)
TERIMA KASIH
Terima kasih kepada siapapun yang sudah mampir ke blog kami. Terima kasih atas waktunya untuk membaca tulisan diblog ini. Terima kasih atas waktunya meninggalkan komentar meskipun kami tahu butuh tenaga ekstra untuk meninggalkan komentar diblog ini karena masalah yang kami tidak tahu ada dimana (suami sudah mengecek berulangkali dan katanya blog ini baik-baik saja atau memang mungkin ada masalah yang kami tidak tahu letaknya dimana, mohon maaf atas ketidaknyamanan ini) menyebabkan banyak yang merasa kesusahan untuk berkomentar disini, dan terima kasih yang sudah follow blog ini. Kami berusaha memberi respon untuk setiap komentar yang masuk karena kami berpendapat bahwa siapapun yang mampir diblog ini dan meninggalkan komentar berarti sudah meluangkan waktunya untuk membaca. Jadi kami merasa sangat perlu untuk membalas setiap komentar yang masuk. Kami ingin menciptakan diskusi dari setiap komentar yang ada. Kami sadar diri bahwa blog kami ini belum sebesar blog-blog yang sudah ada sekarang, yang mempunyai banyak pembaca tetap. Saya terutama, belajar dari blog-blog yang ramai pembaca, mereka selalu meluangkan waktu untuk membalas setiap komentar yang masuk. Kalau setiap pembaca kami sudah meluangkan waktu untuk memberikan komentar, membaca postingan kami, alangkah menyenangkan juga jika kami sebagai pemilik blog menyediakan waktu juga untuk membalas setiap komentar yang masuk. Itu sangat berharga untuk pembaca blog. Kami berpendapat bahwa mempunyai blog itu bukan hanya mengisi postingan dengan tulisan yang menarik (syukur-syukur kalau bermanfaat juga), tetapi juga komunikasi dua arah dengan cara membalas komentar.
Semoga blog kami kedepannya semakin lebih baik lagi dalam kualitas tulisan. Kami selalu belajar untuk memperbaiki yang kurang layak, mempertahankan yang sudah baik dan menjadikan lebih bermanfaat apa sudah kami bagikan dalam sepotong tulisan. Mohon maaf atas salah kata ketika blogwalking maupun ketika menjawab komentar. Seperti layaknya hidup dalam dunia nyata yang indah jika saling berdampingan, kami berharap dalam dunia blog kami juga dapat hidup indah berdampingan saling memberikan manfaat dengan blog-blog lainnya maupun pembaca pada umumnya.
Note : Saya bingung mengganti kata ngeblog, apakah menulis di blog ataukah menulis blog.
HavenVIStijn (Haven=Pelabuhan; Vis=Ikan) adalah sebuah festival tahunan yang diadakan di pelabuhan Oudeschild, salah satu wilayah di Texel, Belanda. Oudeschild adalah satu-satunya pelabuhan yang bisa digunakan pada sisi timur pulau Texel. Festival ini bisa dikatakan sebagai festival laut yang tentu saja erat kaitannya dengan segala sesuatu tentang ikan, hasil laut, kegiatan yang bisa dilakukan dilaut (misalkan melihat anjing laut), bazar, makan gratis (beberapa stand hanya meminta uang seikhlasnya untuk amal, sedangkan stand yang lainnya menyediakan makan gratis), melihat pertunjukan musik, dan masih banyak lagi acara yang bisa dinikmati ketika HavenVIStijn.
HavenVIStijn tahun ini diadakan pada tanggal 8 Agustus 2015. Setiap tahun acara ini diselenggarakan ketika musim panas pada minggu kedua dibulan Agustus dari jam 1 siang sampai 5 sore. Kami beruntung sempat mengintip kemeriahannya karena sebelumnya tidak mengetahui ada festival laut ini ketika berencana ke Texel untuk merayakan satu tahun pernikahan (cerita tentang Texel akan ditulis terpisah). Kami baru mengetahui satu hari sebelum berangkat, tanpa sengaja ketika browsing tentang tempat-tempat yang akan dikunjungi di Texel. Tentu saja kami senang luar biasa karena kami pencinta ikan, segala makanan laut, dan tentu saja laut itu sendiri. Ketika kami singgah di pelabuhan Oudeschild ini setelah bersepeda selama 4 jam tanpa berhenti (total waktu kami bersepeda pada hari itu 13 jam dengan jarak tempuh 90km untuk mengelilingi pulau Texel), suasana sudah sangat ramai dengan pengunjung yang berbaur menikmati dan melakukan segala aktivitas disana. Tentu saja ketika kami sampai disana sudah waktunya makan siang dan kami berkeliling mencari makan pada stand yang menyediakan makanan gratis ataupun dengan membayar secara sukarela. Beruntung sekali pada hari itu cuaca sempurna cerahnya. Karena terlalu bahagia dengan adanya matahari yang tampil paripurna, suami sampai tidak sadar kalau kulitnya terbakar padahal sudah memakai krim. Baru sadarnya malam hari terasa perih ketika terkena air. Kalau saya ya cukup agak menggelap sedikit, hahaha congkak.
Dan masih banyak makanan laut lainnya yang saya nikmati seperti sup tomat kerang, udang panggang, ikan asap, dan beberapa jajanan lainnya. Intinya hari itu perut kami kenyang dengan makanan laut yang banyak disediakan gratis. Kai pesta makanan laut pada hari itu. Selain makanan, beberapa kegiatan lainnya juga tidak kalah menariknya seperti pertunjukan musik, workshop membuat jala, pembuatan ikan asap, satu stand berisi segala macam ikan yang bertujuan untuk memperkenalkan ke pengunjung nama dan jenis dari semua ikan tersebut,
Dan yang tidak kalah serunya adalah kegiatan melihat anjing laut dari kapal. Sayang kami tidak bisa ikut karena tertinggal kapal yang terakhir.
Saya rindu dengan suasana laut, pantai dan hangatnya sinar matahari. Tapi saya masih bersyukur beberapa hari ini matahari muncul walaupun hanya sebentar. Lumayan untuk menghangatkan badan meskipun tetap memakai jaket tebal karena dingin yang semriwing dan sesekali langit masih abu-abu diselingi gerimis serta dipagi hari selalu datang kabut pekat.
Selamat berakhir pekan, selamat pergi ke pantai kalau ada yang berencana kesana atau menghabiskan waktu bersama keluarga, sahabat dan yang dikasihi dengan leyeh-leyeh dirumah. Semoga asap (dari hutan yang terbakar atau dibakar) yang mengepung Sumatra, Kalimantan dan beberapa tempat lainnya segera dapat diatasi. Mudah-mudahan diturunkan hujan.
Ini adalah koor dari nelayan di Oudeschild yang sempat saya rekam ketika baru sampai pada HavenVIStijn. Jika ada yang tertarik mengunjungi festival ini, bisa langsung membaca lengkap pada website resmi HavenVIStijn (dalam bahasa Belanda). Tahun depan acara ini akan diadakan pada hari Sabtu, 13 Agustus 2016.
Kapan kalian terakhir menikmati suasana pantai atau laut?
-Den Haag, 30 Oktober 2015-
Semua dokumentasi yang ada disini adalah milik pribadi.
Kenapa tayang ulang? Karena Kawah Ijen adalah salah satu tempat favorit saya, selain karena ada kenangan tersendiri disana, juga karena letaknya dekat dengan rumah di Situbondo maupun dari Ambulu. Jadi saya merasa senang berbagi ulang tulisan lama supaya lebih banyak yang membaca.
Selamat Hari Blogger Nasional (27 Oktober) -aslinya saya belum menelusuri sejarah hari blogger Nasional ini darimana, ikut memeriahkan ini :D-. Banyak hal yang saya dapat dari menulis diblog. Bukan hanya banyak kenalan baru, tetapi ilmu dan pengetahuan serta hal-hal yang bermanfaat juga. Keep on blogging.
——————————————————————————————————————————-
Sebenarnya perjalanan ke Kawah Ijen dan Pulau Merah adalah catatan yang tertunda diposting. Perjalanan kami kesana ketika calon suami (pada saat itu) datang ke Indonesia untuk melamar. Bulan Februari 2014, Mas E datang ke Indonesia. Awal niatnya hanya ingin bertemu saya, karena kami belum pernah bertemu sebelumnya. Trus dia bertanya apakah boleh main kerumah orangtua. Saya sih tidak masalah karena pada saat itu status kami hanya teman. Alasan lainnya karena dia pengen ke Bromo. Rumah orang tua di Situbondo, tidak terlalu jauh dari Bromo. Ya sudah, saya bilang sekalian saja ke Kawah Ijen dan Pantai Pulau Merah. Kalau saya sih sudah pernah 2 kali sebelumnya ke Kawah Ijen. Tapi ke Pantai Pulau Merah belum. Karena pada saat itu Pantai Pulau Merah sedang booming dibicarakan para pelancong, dan sekali jalan juga kalau dari Kawah Ijen, akhirnya 2 tempat itu kami masukkan dalam daftar yang akan dikunjungi selain Bromo.
Ternyata, Mas E tidak hanya sekedar ingin tahu kota dimana saya dibesarkan. Ternyata dia punya agenda besar lainnya. Dia melamar saya langsung ke Ibu. Saya antara percaya dan tidak percaya, Antara senang dan bingung karena hubungan kami sebelumnya memang hanya sebatas teman. Antara melongo dan pengen sorak-sorak bergembira. Singkat cerita, 6 bulan kemudian kami menikah. Cepat juga ya.
Karena Mas E hanya cuti satu minggu dari kantornya, maka jadwal jalan-jalan kami sangat padat. Kami menyewa mobil beserta supirnya untuk menghemat tenaga dan waktu. Adik saya yang biasa mengantar kemana-mana sedang capek. Jadi kasihan saja kalau harus minta tolong dia buat mengantar ke Kawah Ijen dan Pantai Pulau Merah. Kami berencana berangkat malam karena ingin melihat Blue Fire di Kawah Ijen. Blue Fire ini adalah belerang yang terlihat seperti api berwarna biru pada dinding kawahnya pada saat malam hari. Saya harus menunggu teman dan pacarnya yang berangkat dari Surabaya. Tetapi mereka datang terlambat dari jadwal yang sudah disepakati. Untuk melihat Blue Fire, kami seharusnya sudah sampai di kawasan Kawah Ijen sekitar jam 2 pagi dan mendaki pada jam tersebut. Tetapi karena kami baru berangkat jam 2 pagi dari Situbondo, maka kami harus menahan kekecewaan tidak bisa melihat fenomenal alam yang sangat terkenal tersebut.
KAWAH IJEN
Gunung Ijen sendiri berada di kawasan Wisata Kawah Ijen dan Cagar Alam Taman Wisata Ijen di Kecamatan Licin Kabupaten Banyuwangi dan Kecamatan Klobang Kabupaten Bondowoso. Gunung ini berada 2.368 meter di atas permukaan laut dimana puncaknya merupakan rentetan gunung api di Jawa Timur seperti Bromo, Semeru dan Merapi. Kawah Ijen merupakan tempat penambangan belerang terbesar di Jawa Timur yang masih menggunakan cara tradisional. Ijen memiliki sumber sublimat belerang yang seakan tidak pernah habis dimanfaatkan untuk berbagai keperluan industri kimia dan penjernih gula.
Kawah Ijen merupakan salah satu kawah paling asam terbesar di dunia dengan dinding kaldera setinggi 300-500 meter dan luas kawahnya mencapai 5.466 hektar. Kawah di tengah kaldera tersebut merupakan yang terluas di Pulau Jawa dengan ukuran 20 km. Ukuran kawahnya sendiri sekitar 960 meter x 600 meter. Kawah tersebut terletak di kedalaman lebih dari 300 meter di bawah dinding kaldera (Sumber : Wonderful Indonesia)
Kami sampai diparkiran Kawah Ijen sekitar jam 4 pagi. Setelah sholat shubuh, kami melanjutkan perjalanana pada jalanan yang menanjak sejauh 3km. Ada tiket masuknya. Saya lupa tepatnya berapa, tetapi berbeda jauh harganya antara wisatawan domestik dan wisatawan asing. Jalan menanjaknya bukan tanjakan biasa, melainkan dengan derajat kemiringan hampir 45 derajat hampir disepanjang jalan. Disarankan untuk menggunakan alas kaki yang nyaman, misalkan sepatu olahraga atau sandal gunung karena dibeberapa tempat jalannya ada yang berpasir. Selain itu, karena udara pada pagi hari sangat dingin, sekitar 10 derajat, jangan lupa untuk menggunakan pakaian hangat. Karena Mas E terbiasa hidup di negara 4 musim, jadi dia hanya memakai celana pendek dan jaket tipis. Tidak terasa dingin menurutnya. Selain itu, jangan lupa untuk membawa masker dan kacamata. Masker ini diperlukan ketika sudah sampai di kawasan kawah karena asap belerang jika terhirup bisa menimbulkan sesak. Tips jika nafas tetap sesak walaupun sudah memakai masker, maka basahi masker dengan air kemudian pakai lagi. Kemudian minum air putih yang banyak. Air bisa menetralisir efek sesak nafas dari asap belerang. Dan kacamata diperlukan untuk menghindari mata dari asap belerang yang tertiup angin karena bisa menimbulkan pedih dan iritasi. Peralatan lain yang perlu dibawa adalah senter, jika berencana naik pada dini hari karena jalan mendaki yang dilalui kanan kiri adalah hutan dan sepanjang pendakian tidak ada lampu. Terbayang kan bagaimana pekatnya tanpa senter. Dan yang terakhir, jangan lupa juga untuk membawa perbekalan. Karena dengan mendaki jalan sejauh 3km diperlukan waktu antara 1-2 jam untuk sampai di kawahnya. Makan dan minum yang cukup karena sangat diperlukan sepanjang jalan.
Pemandangan yang terlihat sepanjang jalan menuju ke kawah
PENAMBANG BELERANG KAWAH IJEN
Sepanjang jalan kami berpapasan dengan para penambang. Penambang Belerang Kawah Ijen Berbekal keranjang rotan dan kain seadanya yang dibasahi air sebagai penutup hidung dari kepulan asap yang menyesakkan paru-paru dan memedihkan mata, mereka berjuang mempertahankan hidup dengan mengambil belerang dan dijual Rp 800/kg. Para penambang ini harus mengangkut belerang dari kawah kaldera yang cukup curam sepanjang 300m dan menuruni gunung sejauh 3km. Mereka rata-rata bisa mengangkut 80-90 kg, yang ditaruh dikeranjang pada pundak, sekali jalan. Tidak heran, seringkali dijumpai tonjolan pada pundak mereka karena beban berat yang selalu dipikul. Mereka tidak pernah menyerah berjuang untuk kehidupan yang lebih baik. Dalam sehari mereka maksimal bisa bolak balik sebanyak 3 kali. Bayangkan saja, kami yang hanya membawa ransel berisikan makan, minum, dan kamera terengah-engah untuk sampai ke kawahnya. Bagaimana mereka bisa melakukan itu selama bertahun-tahun bahkan puluhan tahun. Himpitan ekonomi yang memaksa mereka untuk mempertaruhkan nyawa dengan memilih pekerjaan sebagai penambang belerang. Dengan berat belerang yang dipanggul, mereka mendapatkan maksimal (jika memikul 100kg) Rp 80.000. Jika beruntung mereka akan membawa uang maksimal, sekitar Rp 200.000. Jika kondisi tidak memungkinkan, mereka hanya membawa uang Sekitar Rp 80.000 setiap hari. Keadaan yang ironis dibandingkan keindahan dari Kawah Ijen. Mas E sampai takjub. Dia bilang betapa susah mencari uang di Indonesia dengan nyawa sebagai taruhannya.
Setelah menempuh 1.5 jam jalan menanjak, akhirnya kami sampai di kawahnya. Karena matahari sudah bersinar terik, sekitar jam 7, maka kami bisa melihat air kawahnya yang berwarna hijau kebiruan. Setelah beberapa saat kami menikmati keindahan dari atas, ada seorang penambang menyarankan kami untuk turun sampai kalderanya. Setelah tawar menawar harga sebagai imbalan karena Bapak tersebut sebagai pemandu, maka kami mulai turun menuju Kaldera. Jalan yang kami lalui sangat curam. Beberapa kali saya harus berhenti karena takut terpeleset. Membayangkan kalau tiba-tiba terpeleset terus nyemplung di Air Kawahnya. Bisa langsung larut saya karena tingkat keasaman air yang tinggi.
Begitulah pengalaman kami ke Kawah Ijen. Selain bisa menikmati keindahan alamnya, kami juga melihat dan berinteraksi langsung dengan para penambang sebagai cerita lain yang ada dibalik keindahan Kawah Ijen. Diantara kokohnya dinding Kaldera, ada nasib para penambang yang diletakkan disana. Diantara indahnya air Kawah Ijen, ada tetesan keringat yang mengalir dalam setiap keranjang rotan yang membawa belerang diantara pundak meraka. Masih mengeluh dengan beban hidup kita setelah melihat perjuangan mereka?
PANTAI PULAU MERAH .
Setelah dari kawah Ijen, Kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Pulau Merah yang terletak di Banyuwangi. Untuk mencapai ke Pantai ini diperlukan waktu sekitar 3 jam dari Kawah Ijen. Pantai ini terkenal dikalangan surfer karena merupakan salah satu spot favorite surfer internasional selain kawasan G-Land di Plengkung, juga di kota Banyuwangi. Dinamakan Pantai Pulau Merah karena sekitar 100m dari bibir pantai terdapat sebuah pulau kecil yang ujung atasnya akan memantulkan warna merah jika terkena sinar matahari pada sore hari. Konon seperti itu, karena saya tidak membuktikan dengan mata kepala sendiri. Pantai Pulau Merah dikenal juga denga Pantai Kuta nya Jawa karena tipe pantainya yang menyerupai Pantai Kuta. Mungkin ekspektasi saya terlalu tinggi dengan informasi yang saya dapatkan sebelumnya, sesampainya disana saya justru kecewa. Pantainya tidak seindah seperti yang saya bayangkan. Justru lebih indah Pantai Papuma yang ada di Jember. Sisi positifnya, akhirnya saya tahu Pantai yang sekarang menjadi pembicaraan para pelancong.
Tertarik untuk mengunjungi Kawah Ijen dan Pantai Pulau Merah?
Frankfurt Book Fair (FBF) adalah pameran buku terbesar dan tertua didunia, lebih dari 500 tahun usianya. Dikutip dari website resminya, tentang sejarah awal FBF :
The history of the Frankfurt Book Fair dates back to the 15th century, when Johannes Gutenberg first invented movable type – only a few kilometers down the road from Frankfurt. Frankfurt remained the central and undisputed European book fair city through to the 17th century. In the course of political and cultural upheaval, in the 18th century Leipzig then came to play the part. In 1949, that early Frankfurt book fair tradition was given a new lease of life: 205 German exhibitors assembled on Sept. 18-23 in Frankfurt’s Paulskirche for the first post-War book fair. More than 60 trade-fair years later, the Frankfurt Book Fair is the largest of its kind in the world – and the hallmark for global activities in the field of culture.
Frankfurt Book Fair adalah tempat bertemunya pelaku industri buku, media, pemegang hak cipta yang datang dari seluruh penjuru dunia. Acara ini digelar setiap tahun pada pertengahan bulan oktober. Jadi pada saat tersebut akan ada banyak sekali penulis buku, penerbit, penjual buku, agen bahkan produser film yang bertemu untuk menciptakan sesuatu yang baru. Partisipannya sebanyak 132 negara dengan jumlah pengunjung mencapai ratusan ribu orang. Hal lain yang tidak kalah menariknya adalah setiap tahun selalu ada tamu kehormatan. Pada tahun 2015 ini Indonesia menjadi tamu kehormatan. FBF tahun ini dilaksanakan pada tanggal 14-18 Oktober 2015.
Sekitar 7 atau 8 tahun lalu saya selalu memimpikan untuk bisa pergi ke acara ini. Saya rajin memupuk mimpi tersebut. Setiap tahun saya selalu membaca liputannya. Saya selalu mempunyai harapan besar bahwa suatu saat mimpi tersebut akan terwujud. Alasannya sederhana, karena saya cinta buku. Saya suka aroma kertasnya, saya suka sensasi ketika membalik halamannya dan yang terpenting adalah saya cinta membaca buku. Bersyukur tahun 2015 ini salah satu harapan saya (diantara banyak sekali mimpi) bisa menjadi nyata bertepatan dengan Indonesia menjadi tamu kehormatan. Dan yang membuat saya semakin semangat adalah saya ingin bertemu beberapa penulis yang saya idolakan sejak buku pertama mereka terbit, bahkan satu penulis sudah saya idolakan sejak dia menjadi penyanyi. Jadi bisa dibayangkan betapa girangnya saya. Kami berangkat dari Den Haag jam 3 dini hari berkendara selama 6 jam dengan berhenti 2 kali karena suami tidur sebentar dan setelahnya mencari tempat sarapan. Keluar dari parkiran mobil, sudah ada bis yang disediakan untuk antar jemput dari dan ke gedung FBF. Tepat jam 10 pagi pada 17 Oktober 2015 saya menginjakkan kaki pertama kali dalam area FBF. Suami selalu memegangi tangan saya ketika kami sedang berjalan, bukan karena supaya tampak mesra, tetapi karena saya selalu berjalan cepat kesana kemari karena terlalu antusias dan suasana saat itu memang sedang ramai sekali.
FBF dibuka untuk umum hanya pada 2 hari terakhir yaitu 17 dan 18 Oktober 2015. Area FBF sendiri dibagi menjadi 5 gedung utama. Untuk detailnya bisa dilihat pada foto dibawah ini. Ukuran masing-masing gedung atau hall tersebut sangat luas sekali. Kalau ada yang pernah masuk ke Graha ITS Surabaya, maka gedung-gedung tersebut lebih luas dibandingkan Graha ITS Surabaya, per lantainya. Bayangkan saja seperti hall 6 yang mempunyai 4 lantai, mengitari setiap lantai pada semua gedung membutuhkan tenaga ekstra, termasuk kaki yang kuat. Karenanya, alas kaki yang nyaman sangat dibutuhkan untuk berkeliling. Yang menyenangkan adalah jika kita ingin menuju hall-hall yang lain, tidak harus keluar gedung karena setiap hall terhubung satu sama lain disetiap lantai. Karena Indonesia sebagai tamu kehormatan, maka Indonesia menempati paviliun lantai 1 (F1) sebagai pusat acara dan hall 4.0 serta 4.1 untuk sesi talkshow dan tempat beberapa penerbit.
Indonesia Sebagai Tamu Kehormatan
Akhirnya pada tahun 2015 ini Indonesia menjadi tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair. Menjadi tamu kehormatan pada acara yang yang berusia lebih dari 500 tahun tersebut merupakan kesempatan berharga. Menurut Pak Anies Baswedan dalam pidatonya bahwa kesempatan berharga ini bukan hanya untuk memperkenalkan Indonesia tetapi juga mengajak Eropa melakukan percakapan lintas budaya yang lebih luas. Mengusung tema Islands of Imagination, Muhamad Thamrin sebagai Arsitek yang dipercaya untuk menggarap area paviliun tersebut menjadi area yang penuh desain cantik. Dalam paviliun tersebut terdapat tujuh pulau yang masing-masing memiliki unsur budaya di Indonesia. Pulau-pulau tersebut adalah : Island of Scenes, Island of Spices, Islands of Illumination, Island of Inquiry, Island of Tales, Island of Images, dan Island of Images.
Masing-masing pulau menyajikan Indonesia dalam cara yang berbeda. Island of Spices yang mengajak pengunjung untuk berpetualang dan mengenal keragaman Indonesia melalui rempah dan kekayaan kulinernya. Island of Scenes menampilkan Indonesia dari sisi pentas dan pertunjukan budaya. Island of Illumination menampilkan naskah dan manuskrip kuno yang menjadikan awal sastra yang ada saat ini. Island of Inquiry menampilkan sains dan kebudayaan Indonesia dalam bentuk digital. Islands of Tales memberikan nuansa berbeda yaitu memperlihatkan negeri dongeng Nusantara dengan suara dan proyeksi gambar bergerak. Pada bagian Island of Words diperuntukkan bagi para peminat kartun, cerita bergambar, novel grafis dan animasi. Sedangkan bagian yang terakhir adalah Island of Words menampilkan beragam buku karya penulis Indonesia dengan visual dan konten yang menarik.
Sejak saat persiapan sampai hari terakhir acara, perkembangan dan beritanya bisa diikuti langsung melalui website resmi Islands of Imagination, akun Facebook Pulau Imaji dan akun twitter @pulauimaji. Kuliner Indonesia juga berjaya disini. Tidak hanya masakan saja yang disajikan, tetapi rempah Indonesia juga diperkenalkan pada pengunjung. Saya melihat ada beberapa pengunjung tidak hanya mencium rempah-rempah tersebut, tetapi juga mencicipinya. 25 chef sampai didatangkan langsung dari Indonesia seperti William Wongso sebagai ketua kulinernya, Bondan Winarno, Sisca Soewitomo, Barra Pattiradjawane, dan masih banyak yang lainnya. Menu yang disajikan dikantin Indonesia adalah gado-gado (6.5 euro), sayur kapau (9.5 euro), asinan Jakarta (5.9 euro), ayam rica-rica (9.5 euro), dan dessert klappertart (lupa harganya berapa). Sejak sebelum jam makan siang, antrian sudah panjang. Selain demo memasak, juga dibuka kelas memasak yang diikuti oleh pelajar dan anak muda. Kelas memasak ini salah satu contohnya adalah mengajarkan cara membuat kolak pisang dan pepes ikan. Dari situs CNN Indonesia, disebutkan bahwa peserta sangat antusias.
Apa Yang Kami Lakukan
Awal datang, saya langsung menuju hall terdekat yaitu hall 4. Bersyukurnya langsung menemukan stand Gramedia yang sedang mengetengahkan talkshow tentang buku anak-anak. Setelah puas berkeliling di hall 4.0 dan 4.1 kami langsung menuju Paviliun yang ternyata sedang berlangsung sesi Leila S.Chudori dan Laksmi Pamuntjak tentang buku mereka masing-masing yaitu Amba dan Pulang. Karena saya datangnya telat, jadi mendapat tempat dibelakang para pembicara, karena penuh dengan penonton. Diantara penonton saya melihat Taufik Ismail dan Bapak BJ Habibie. Setelah sesi mereka selesai, kami langsung menuju kantin. Kami memesan sayur kapau dan gado-gado (suami ini selalu yang dipesan dimana-mana kalau tidak soto ayam ya gado-gado). Sekitar jam 1 kami bergegas menuju hall 4.3, berputar sebentar dan sebelum jam 2 saya sudah duduk manis menunggu sesi Dewi Lestari dan Ika Natassa jam 2 siang di stand nasional.
Sejak Dewi Lestari menjadi penyanyi, saya sudah mengidolakan dia. Lagu ciptaannya yang berjudul Satu Bintang di Langit Kelam menjadi salah satu lagu favorit sampai saat ini. Dan ketika dia mengeluarkan buku pertamanya yang berjudul Supernova : Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh (2001) bisa ditebak setelahnya saya selalu membeli karya-karyanya, lengkap sampai Gelombang. Saya mengagumi setiap karakter yang dia ciptakan, cara dia membawa pembaca untuk hanyut dalam setiap cerita yang dia tulisakan. Pada buku Perahu Kertas, saya sampai tersedu sedan ketika membacanya. Jadi, salah satu mimpi saya sejak lama juga adalah bisa bertemu langsung dengan Dewi Lestari, berbincang sebentar, meminta tanda tangan dibukunya, dan foto bersama. Jadi ketika tahu Dewi Lestari akan ada sesi dihari sabtu bersama Ika Natassa yang bertema “Woman and The City” saya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Selama 30 menit saya mendengarkan dengan anteng talkshow dalam bahasa inggris tersebut. Sampai sesi tanya jawab, saya langsung mengacungkan tangan, padahal pada saat itu saya belum tahu apa yang akan ditanyakan (kebiasaan!!). Pikir saya, mumpung ada kesempatan. Dan saat itu saya satu-satunya orang yang mengacungkan tangan. Inilah yang direkam suami ketika saya bertanya (bagian saya bertanya dipotong supaya tidak terlalu panjang).
Dan pada akhirnya saya bisa mewujudkan impian. Meminta tanda tangan, berbincang sebentar dan berfoto bersama Dewi Lestari. Bahagia luar biasa dan tidak terkira rasanya.
Misi selanjutnya adalah menemui penulis idola yang kedua, yaitu Andrea Hirata. Saya menyukai bukunya sejak Laskar Pelangi. Buku dan film Laskar Pelangi sukses membuat saya menangis sekaligus semakin yakin akan kekuatan mimpi, doa dan kegigihan dalam mewujudkan mimpi kita. Sejak saat itu saya semakin berani untuk bermimpi dan berusaha keras serta cerdas untuk mewujudkan setiap mimpi tersebut. Rasanya masih tidak percaya juga bisa meminta tandatangan pada buku terbaru Andrea Hirata yang berjudul Ayah. Terus terang saya belum membaca Ayah sama sekali karena baru mendapatkan buku tersebut dari seorang teman yang ke Den Haag 2 hari sebelum saya berangkat ke Frankfurt. Beruntung, pikir saya.
Beberapa waktu sebelum berangkat ke FBF, saya sudah membuat janji dengan Fe dan Mindy untuk bertemu. Tetapi saya tidak punya akses internet selama di Frankfurt, jadi agak merasa kesusahan awalnya harus menemui mereka dimana ketika sudah sampai dilokasi FBF. Akhirnya kami bertemu secara tidak sengaja di Paviliun ketika melihat sesi Leila S. Chudori dan Laksmi Pamuntjak. Akhirnya bertemu juga dengan mereka. Saya mengenal Fe karena follow blognya cerita4musim dan membaca tulisan-tulisannya di jalan2liburan. Kalau Mindy saya mengenal dari grup whatsapp Instagram yang anggotanya semua bermukim di Eropa, bernama KompakersEropa. Mereka berdua adalah dua diantara enam orang penulis buku Menghirup Dunia. Selain ingin kopdaran dengan mereka, tentu saja juga ingin meminta tanda tangan mereka dibuku Menghirup Dunia saya. Senang rasanya akhirnya bertemu dua orang yang selama ini hanya dikenal melalui dunia maya. Mindy dan Fe sangat ramah.
Selain sesi kopdaran dengan mereka, saya juga membuat janji untuk bertemu dengan anggota KompakersEropa yang lain yaitu Beth. Akhirnya berjumpa juga dengan Ibu yang jago fotografi ini. Beth supel sekali orangnya. Saya langsung merasa nyaman berbincang meskipun sebentar sekali dengan dia. Sebenarnya saya juga membuat janji dengan anggota KompakersEropa yang lain pada minggu pagi, tetapi terpaksa saya membatalkan karena kondisi yang tidak memungkinkan.
Bagaimana rasanya setelah datang ke FBF 2015? Bahagia tidak terkatakan. Satu mimpi saya akhirnya terwujud dan mendapat bonus bertemu langsung dengan penulis idola, melihat secara langsung banyak penulis dan pekerja seni yang hadir disana, bertatap muka dengan orang-orang ternama tanah air, juga kopdar dengan beberapa orang yang selama ini tahunya hanya dari dunia maya saja. Frankfurt Book Fair ini semacam surga dunia buat saya karena melihat buku dimana-mana. Walaupun kaki saya pegal sekali pada malam harinya karena seharian berjalan menyusuri setiap lantai setiap hall, tetapi kegembiraan sedikit mengurangi rasa capek tersebut. Ya hitung-hitung latihan tawaf. Rasanya ingin mengikuti semua acara disana termasuk melihat suguhan tarian Indonesia pada saat happy hour di Paviliun, tetapi badan saya dan suami ingin segera diistirahatkan. Satu hari memang tidak cukup untuk mengitari semua hall. Dua hari memang waktu yang ideal.
Apakah saya memborong buku disana? Niat awalnya memang ingin berbelanja buku sebanyak-banyaknya. Tapi apa daya buku dijual hanya pada hari terakhir. Tetapi sore hari Gramedia mengadakan obral buku dengan judul yang sudah ditentukan. Akhirnya saya membeli beberapa buku yang menarik disana.
Beberapa stand buku lainnya
Pengalaman yang tidak akan terlupakan. Untuk tahun depan tamu kehormatannya adalah Belanda dan Belgia. Tahun depan giliran suami yang antusias datang. Secara keseluruhan saya merasa terharu dan bangga dengan tampilnya Indonesia sebagai tamu kehormatan di FBF ini. Melihat dan merasa dekat dengan Indonesia ketika saya sedang jauh dari Indonesia. Angkat topi kepada Goenawan Mohammad selaku Ketua Komite Nasional Pelaksana serta sekitar 80 penulis dan total 300 orang budayawan maupun seniman yang berkumpul dan mensukseskan peran Indonesia sebagai guest of honor pada acara bergengsi tersebut. Meskipun banyak kritik disana sini tentang tidak sempurnanya Indonesia sejak tahap persiapan yang super mepet sampai pada acara berakhir, tetapi langkah awal ini membawa optimisme tersendiri akan Indonesia dan Industri buku Indonesia dimata Internasional. Bukankah perjalanan panjang dan besar selalu diawali dengan langkah yang kecil. Jika tidak dimulai saat ini, maka tidak akan pernah tampak juga perubahaan besarnya dikemudian hari.
-Den Haag, 20 oktober 2015-
Semua foto adalah dokumentasi pribadi kecuali yang menyertakan sumbernya langsung pada bagian bawah foto.
Musim gugur atau Autumn atau dalam bahasa Belanda disebut Herfst tahun 2015 ini adalah yang pertama buat saya. Selama ini saya hanya menikmati musim gugur lewat serial Korea dan drama Jepang. Saya dulu memang maniak sekali melihat serial Korea dan Jepang. Masih ingat betul bagaimana saya lebih mementingkan begadang maraton serial korea dibandingkan mengerjakan revisi tesis. Lebih parahnya ketika sedang menunggu antrian bimbingan, teman-teman yang lain tidak tenang sambil membolak balik draft tesis, saya dengan santainya menunggu sambil melanjutkan menonton serial Korea. Cukup sekian info kecanduan saya pada serial Korea dan Jepang. Sekarang sudah insyaf kok (sementara).
Dulu suka membayangkan bagaimana rasanya melihat langsung daun berwarna merah, kuning, pink yang berguguran, berserakan ditanah atau trotoar, atau pohon yang siap meranggas dengan daun berwarna merah kehitaman. Pasti romantis sekali. Musim gugur yang awalnya hanya khayalan tingkat tinggi -seperti judul lagu Peter Pan- sekarang saya bisa merasakan sendiri, meskipun belum semua daunnya berubah warna menjadi kuning atau merah. Entah kenapa saya merasa durasi hari matahari bersinar lebih sering pada musim gugur dibandingkan pada musim panas lalu. Kalau saya tidak salah ingat, selama musim panas hujan hampir datang setiap hari meskipun ada saat tertentu ketika puasa selama 19 jam panasnya menyengat sampai 38 derajat celcius, yang setelah saya rasakan masih lebih panas di Surabaya dengan suhu yang sama. Selama musim gugur ini matahari berbaik hati selalu menampakkan sinarnya, cerah dan hangat. Birunya langit selalu menggemaskan, seperti tidak pernah cukup untuk mengagumi betapa indahnya langit yang berwarna biru bersih, meskipun beberapa kali hujan tetap rajin mampir. Ada kegiatan mewah yang rajin kami lakukan selama beberapa kali akhir pekan, yaitu berkegiatan di alam.
Maksud dari berkegiatan dialam yaitu bersepeda keliling kota Den Haag (meskipun dalam keseharian, kami juga bersepeda kemana-mana), duduk-duduk ditaman, jalan-jalan ke beberapa hutan yang lokasinya di Zoetermeer dan Delft, dan piknik membawa tikar sambil membaca buku dipinggir danau. Kenapa saya menyebut kegiatan mewah? karena ketika sinar matahari muncul disini mewah sekali rasanya, membuat hati riang gembira. Jadi ketika matahari sedang tampil maksimal, saya memanfaatkan juga lebih maksimal. Saya selalu berseloroh dengan menyebutnya sebagai kegiatan mengumpulkan vitamin D sebanyak mungkin sebagai cadangan pada musim dingin nanti. Bahkan sewaktu kehutan, saya melihat beberapa anak kecil terlihat asyik tertawa riang sambil membawa kantung, mengumpulkan jamur. Saya tidak tahu pasti jamur jenis mana yang bisa dikonsumsi ataupun yang beracun. Ada juga beberapa dari mereka yang membawa ember, mengumpulkan apel-apel yang sedang ranum memetik langsung dari pohonnya. Hari sabtu lalu saya juga berkesempatan bersepeda bersama Crystal, menjelajahi hutan, danau, dan taman ditiga kota.
Akhir pekan lalu, saya dan suami pergi ke sebuah bukit yang tidak jauh dari rumah untuk latihan lari. Bukit ini juga menjadi tempat suami berlatih mountain bike seminggu sekali. Rencananya tidak berapa lama lagi kami akan mengikuti lomba lari. Tanjakan bukit ini lumayan curam juga, mengingatkan saya pada tingkat kesulitan di Bromo Marathon. Berlatih jam 8 pagi dengan suhu 2 derajat celcius, angin yang menerpa pelan serta tanjakan yang susah dilalui, bukan perkara mudah. Saya yang memang latihan berdasarkan mood merasakan dampaknya. Nafas pendek, tangan berasa kebas kedinginan, bahkan pada satu titik saya merasakan susah bernafas seperti kehabisan oksigen. Tetapi begitu melihat pemandangan di bukit dan hutan, serta matahari yang perlahan bersinar membuat saya kembali bersemangat.
Dan tentu saja, oktober tidak lengkap tanpa kehadiran labu kuning atau pumpkin. Sepanjang mata memandang, pumpkin ada dimana-mana. Bahkan di pasar harganya juga lumayan murah. Dan ini kali pertama saya membuat pumpkin soup yang resepnya mencontek dari blog Beth. Rasanya luar biasa enak, sehat, hangat dibadan dan tentu saja gampang dan tidak ruwet dalam proses memasaknya. Suami sampai nambah berulangkali.
Namun sejak beberapa hari ini suhu menurun. Meskipun matahari tetap bersinar, tetapi hawa dingin semakin menusuk ditambah angin. Bahkan kemarin sewaktu saya pergi ke sekolah, suhu dipagi hari 1 derajat celcius, sekitar jam 10 naik menjadi 3 derajat celcius. Seorang teman yang tinggal di Groningen mengatakan bahwa suhu disana sudah -2 derajat celcius dipagi hari pada waktu yang sama. Saya sudah mengeluarkan perlengkapan winter : jaket tebal, sarung tangan, dan baju berlapis agar badan tetap hangat. Ada pemandangan yang menggelitik saat saya pulang sekolah. Matahari bersinar terang, tapi orang-orang lalu lalang dengan berpakaian winter lengkap : boots selutut, syal, jaket tebal, kupluk, dan beberapa memakai sarung tangan juga. Saya yang awalnya merasa aneh karena sudah memakai jaket tebal, begitu melihat mereka jadi tersenyum “Horeee, tidak saya saja!”
Sejauh ini menyenangkan perkenalan dengan musim gugur pertama saya di Belanda. Udara tidak terlalu panas dan juga tidak terlalu dingin (pada awalnya) , daun berwarna-warni, langit biru, dan banyak melakukan aktifitas di alam.
Setiap orang kalau boleh memilih, pastinya akan selalu berdoa untuk dijauhkan dari segala macam musibah. Bagaimanapun juga musibah selalu datang tanpa diduga, meskipun kita sudah berhati-hati menjaga langkah, melantunkan segala macam doa, menjalankan segala yang diperintahkan juga menjauhi segala yang dilarang. Musibah adalah satu paket dalam kehidupan, tidak dapat kita hindari. Beberapa orang lebih mudah untuk bersyukur ketika mendapatkan kenikmatan dibandingkan bersyukur dan ikhlas ketika sedang diuji dengan musibah. Jangankan melihat sebagai berkah, ikhlas saja menjadi sangat jauh dari jangkauan kita. Ketika mendapat musibah, biasanya akan terlontar “Mengapa, Tuhan?” Namun banyak juga dari kita yang pada akhirnya menyadari bahwa dibalik sebuah musibah, ada suatu berkah.
2012 adalah tahun penuh musibah, begitu saya menyebutnya. Kejadian yang tidak menyenangkan datang secara beruntun. Awal tahun tersebut Bapak meninggal, 100 hari kemudian Ibu kecelakaan sampai koma selama satu minggu yang disusul operasi pada bagian kepala karena ada penggumpalan darah. Tempurung kepala dibuka. Tiga bulan kemudian harus menjalani operasi kedua untuk pemasangan kembali tempurung kepala. Pada saat itu, energi dan emosi saya terkuras habis. Diakhir tahun 2011 saya mendapatkan promosi dikantor. Jadwal kerja untuk tahun 2012 sudah tersusun rapi karena memang pada saat itu saya diberi tanggungjawab memegang satu produk yang baru diluncurkan. Jadwal promo diluar kotapun padat. Ketika Bapak meninggal, bubar jalan segala ambisi saya. Dunia seakan runtuh pada saat itu. Bapak tidak sakit apa-apa sebelumnya, bahkan 5 hari sebelum beliau berpulang, kami masih bertemu. Saat itu hidup saya melorot pada titik nol. Hancur. Orang yang selama ini selalu menjadi teman, panutan, tempat bercerita, yang selalu mendukung setiap keputusan, pergi meninggalkan saya tanpa ada tanda dan pesan apapun. Setiap hari saya meratap dan bertanya, “kenapa, Tuhan? kenapa secepat ini?” Saya menggugat Tuhan.
Belum kering air mata dan belum selesai meratap, saya harus dihadapkan pada musibah lainnya. Ibu kecelakaan dan koma. Saya sontak kembali bertanya, “apalagi ini Tuhan? Kenapa beruntun Kau datangkan musibah?” Pada saat itu saya merasa tak sanggup. Tapi kalau saya lemah, tidak ada yang kuat dalam keluarga. Saya yang tinggal di Jakarta harus sering bolak balik ke Situbondo dan Jember untuk menemani Ibu pada masa-masa pemulihan secara fisik karena kecelakaan maupun mental karena masih shock akan kepergian Bapak yang kami rasa sangat mendadak. Saya harus membagi antara jadwal super padat dikantor dan mendampingi Ibu. Pada akhirnya saya harus ikhlas memilih. Pada bulan Juni saya membuat keputusan besar dalam hidup. Pada saat sedang dipercaya untuk melakukan tugas besar dalam kantor, pada saat sedang menikmati posisi yang selama ini diperjuangkan, saya memilih untuk resign. Bukan keputusan yang mudah karena berbulan-bulan memikirkannya dengan penuh pertimbangan baik dan buruk. Pilihan resign diambil karena pada saat itu saya merasa sudah saatnya berbakti pada Ibu. Hubungan kami tidak terlalu baik sebelum Bapak meninggal, sering bersitegang dan berselisih paham. Kami sama-sama keras dalam hal apapun. Dan pada saat mendapatkan musibah beruntun, pada akhirnya saya menyadari, mungkin ini cara Tuhan mengembalikan saya pada keluarga, menuntun langkah saya kembali pada Ibu, menyelami arti berbakti yang sekian lama saya abaikan. Ya, setelah beberapa lama, kami sekeluarga harus berdamai dengan keadaan, menerima kenyataan bahwa Bapak memang sudah takdirnya dipanggil Yang Kuasa. Pada saat itu juga saya menyebut musibah yang beruntun tersebut sebagai sebuah berkah. Saya mencoba memperbaiki hubungan dengan Ibu untuk semakin membaik meskipun masih belum dalam taraf baik-baik saja sampai saat ini, begitupun hubungan dengan adik-adik. Saya bukan lagi seorang anak yang selalu “berkeliaran” kesana kemari mengejar segala ambisi. Saya bukan lagi seorang Mbak yang tidak terlalu peduli dengan adik-adiknya. Saya kembali ke keluarga, diterima pada program double degree Master Program di NTUST Taiwan (akhirnya saya lepaskan), lulus S2, dan bertemu suami tercinta. Pada akhirnya saya bersyukur telah diberikan kepercayaan untuk mengecap musibah.
Lima bulan lalu, tepatnya pertengahan bulan Mei ada sebuah musibah yang mampir dalam kehidupan pernikahan kami. Saya keguguran. Kami yang sedang bergembira karena ada bayi dalam kandungan harus menerima kenyataan dan merelakan bayi itu pergi sebelum terlahirkan secara sehat dan normal, sebelum kami bisa menyentuhnya, sebelum kami bisa melihat seperti siapa raut mukanya. Saya sedih luar biasa. Suami terus menerus membesarkan hati saya, Ibu tidak pernah alpa untuk selalu menguatkan dalam setiap telepon dan smsnya. Kemudian saya teringat dengan apa yang terjadi tahun 2012. Musibah yang beruntun yang pada akhirnya ada berkah yang didapatkan. Saya kemudian bangkit, tidak ingin terlalu lama tertimbun sedih karena kehilangan. Namun kehilangan tetaplah meninggalkan luka yang mendalam. Apalagi ini adalah kehamilan pertama, yang berarti anak saya yang pertama meninggal dunia. Ibu selalu berucap, tidak ada suatu kejadian tanpa seijinNya, bahkan sehelai daun yang gugur sekalipun. Jadi pasti ada hikmah dibaliknya.
Setelah keguguran, saya ingin dilakukan pemeriksaan menyeluruh oleh Ginekolog. Saya pernah ada riwayat kista dan setiap menstruasi sakitnya luar biasa. Setelah berkonsultasi pada Huisarts dan mendapatkan rekomendasi ke Ginekolog, pemeriksaan menyeluruhpun dilakukan. Hasilnya bagus. Tidak ada kista dan rahim bersih. Menurut Ginekolog, saya dan suami siap untuk proses menuju kehamilan selanjutnya. Berkah apa yang saya dapatkan setelah keguguran? Setiap bulan saya tidak pernah merasakan lagi sakit yang luar biasa ketika menstruasi, lancar tanpa hambatan. Hubungan dengan Suami semakin kuat dan harmonis. Saya semakin mencintai dia luar biasa. Pada hari saya keguguran, dia terus mendampingi sepanjang hari, sibuk kesana kemari, beberapa kali menelepon bidan, membersihkan darah yang berceceran, bahkan ketika saya jatuh pingsan karena tidak kuat menahan sakit, dia ada untuk saya. Proses keguguran itu bukan hanya menguras energi secara fisik, tetapi juga menguras emosi. Dia sedih harus kehilangan anak dalam kandungan saya, tetapi dia menguatkan diri dan tegar supaya saya juga kuat menerima kenyataan. Kami beruntung saling dipertemukan, karenanya kami bisa saling menguatkan. Memang benar saya mendapatkan musibah, tetapi setelahnya saya mendapatkan berkah yang luar biasa.
Sedih dan kecewa ketika mendapatkan musibah itu hal yang lumrah, normal. Kita manusia bukan malaikat. Butuh beberapa waktu untuk menyadari bahwa disetiap musibah ada sebuah berkah, sekecil apapun itu. Bersyukur ketika musibah datang hampir mustahil bagi saya untuk melakukannya. Namun seiring berjalannya waktu, berkurangnya umur, dan semakin bertambah pengalaman hidup yang dijalani, saya belajar untuk ikhlas dan bersyukur atas segala ujian hidup yang telah dipercayakan oleh Tuhan. Memang benar, bahwa semua sudah atas kehendakNya. Ikhlas dan bersyukur atas segala keadaan memang lebih gampang untuk diucapkan daripada dilakukan, tetapi bukan tidak mungkin untuk dilaksanakan. Ikhlas dan bersyukur akan selalu menjadi pelajaran seumur hidup.
Semoga atas segala musibah, ujian, kesenangan, kebahagiaan, maupun kesedihan yang dihampirkanNya dalam hidup, kami tidak lupa untuk selalu bersyukur serta mengingat bahwa selalu ada berkah dibaliknya, sekecil apapun itu. Saya belajar untuk tidak lagi bertanya “kenapa?” dan percaya bahwa Tuhan jauh lebih tahu apapun yang terbaik untuk hambaNya.