Ini tulisan yang tertunda untuk diposting. Menjelang hari ulang tahun akhir Maret 2015, Suami terus-terusan bertanya ulang tahun maunya apa, dirayakan dimana, dan mau hadiah apa. Saya sebenarnya ingin ini itu (ngelunjak), tapi waktu itu suasana masih berduka setelah Papa meninggal, akhirnya saya memutuskan seminggu sebelum ulang tahun ingin pergi jalan-jalan yang dekat saja, sekalian untuk menghibur suami juga, dan tidak enak rasanya kalau ingin makan-makan dengan keluarga besar karena masih dalam suasana berduka.
Ketika masih di Surabaya, saya pernah melihat beberapa kali postingan di Instagram tentang desa seperti di Venice-Italia (Saya melihat dimajalah dan TV) yang banyak jembatan dan perahunya, yang ada di Belanda. Saya bertanya ke Suami apakah tempatnya jauh, karena ingin pergi kesana. Kata suami tidak terlalu jauh, 2 jam naik mobil dari Den Haag. Akhirnya diputuskan Jumat malam 26 Maret 2015 berangkat dengan menyewa mobil, karena mobil Suami rusak dan berencana dijual juga 😀 *sekalian iklan. Suami sudah reservasi Bed&Breakfast. Setelah menempuh 2 jam perjalanan, ditambah berhenti sebentar untuk istirahat, akhirnya kami sampai ke Steenwijk, berputar mencari alamat rumahnya ternyata belum ketemu juga. Singkat cerita kami memutuskan untuk menginap dihotel saja karena Suami juga mendapatkan email dari pemilik rumah kalau kami terlalu malam sampainya sehingga tidak bisa lagi untuk check in.
Akhirnya kami menginap di Hotel De Harmonie. Harga semalamnya 97 euro sudah termasuk sarapan. Kamarnya bersih, rapi, dan pelayanan dihotel lumayan bagus. Keesokan harinya kami bangun pagi karena melihat matahari lumayan bersinar terang. Cepat-cepat kami berjalan kaki ke desanya, hanya sekitar 10 menit dari hotel. Jadi Giethoorn ini terletak di Steenwijk, Overijssel. Konon katanya kalau saya membaca dari beberapa artikel, Giethoorn yang dikenal dengan Venice-nya Belanda ini mempunyai 180 jembatan dan rumah-rumah yang unik. Tetapi hati-hati kalau terlalu asyik foto-foto dan tidak memperhatikan tanda, bisa kesasar ke halaman rumah orang karena beberapa rumah ada tanda didepan pintunya tidak ingin dikunjungi.
Karena akhir Maret cuaca masih tidak menentu, maka kami juga tidak menaruh harapan tinggi cuaca akan terang sepanjang hari. Diatas jam 10 pagi, mendung mulai pekat dan tidak berapa lama hujan turun dengan suhu 5 derajat celcius, dingin sekali. Jadi kami berjalan kaki sepanjang desa dengan menggunakan payung. Kami juga tidak mencoba jasa perahu yang harganya 15 euro per 55 menit karena sudah bisa menyusuri sepanjang desa dengan berjalan kaki. Kalau cuaca cerah dan langitnya bagus, mungkin kami akan menyewa perahu agar bisa menyusuri danaunya juga. Kesan yang saya dapat setelah menyusuri Giethoorn : menyenangkan karena sepi (mungkin karena belum musim liburan sehingga tidak banyak turis. Saya membayangkan kalau musim panas pasti ramai sekali desa ini oleh turis), dan rumah-rumahnya juga unik dengan warna warni dan bentuknya yang bagus. Suami sempat berujar kalau rumah-rumah yang ada di Giethoorn mengingatkan pada cerita dongeng-dongeng. Dan satu lagi, sewaktu berjalan kaki sepanjang Giethoorn, saya merasa suasananya romantis, cocok untuk tempat bulan madu, atau pacaran dengan suami. Saya sempat bilang ke Suami pada saat berjalan “Saya kok merasa makin jatuh cinta ya sama kamu disini,” dan suamipun hidungnya kembang kempis :p.
Selamat berakhir pekan bersama keluarga, pasangan, dan teman-teman tersayang
Tulisan semacam ini sudah ada beberapa blogger yang membahas. Karena saya mempunyai pengalaman sendiri, maka saya juga (ikut) membahas disini.
Beberapa hari lalu, seseorang menyapa saya ketika sedang berbelanja disalah satu Supermarket dekat rumah. Lalu kami berbincang sebentar setelah memperkenalkan diri satu sama lain. Saya tinggal di Den Haag sehingga bertemu dengan orang Indonesia bukan sesuatu yang luar biasa disini karena banyak Imigran dari Indonesia. Jadi tidak mengherankan kalau tiba-tiba saya sering disapa sesama imigran dari Indonesia juga. Kalau saya memang jarang menyapa terlebih dahulu orang yang tidak saya kenal :). Singkat cerita ditengah pembicaraan, Mbak Z, sebut saja begitu namanya, melontarkan ucapan “Mbak, dari Jawa Timur ya? Medhok Surabayanya kelihatan.” Saya spontan tertawa sambil menjawab “Darah yang mengalir ditubuh saya ini darah Jawa Timur, jadi sampai kapanpun lidah tidak akan mungkin bisa hilang logat asal.”
Pembicaraan tersebut melemparkan kembali ingatan pada memori satu tahun lalu. Bulan Mei 2014 pertama kali saya menginjakkan kaki di Belanda untuk berkunjung selama dua minggu. Disuatu sore saya berbelanja sendiri di Supermarket yang sama. Tiba-tiba ada yang menepuk pundak dan bertanya apakah saya berasal dari Indonesia, tapi bertanya dengan menggunakan Bahasa Inggris. Pada saat itu saya berpikir dia berasal dari Malaysia atau Vietnam atau Thailand atau negara Asia lainnya. Saya kembali bertanya dengan menggunakan Bahasa Inggris juga darimana asalnya. Ternyata dia dari Indonesia juga. Pada saat itu saya senang sekali karena (awalnya berpikir) bisa berbincang menggunakan Bahasa Indonesia dengan dia. Tapi saya cegek (apa ya Bahasa Indonesianya cegek ini, ungkapan Jawa Timuran) ketika dia mengatakan sudah tidak lancar lagi dan agak lupa berbicara menggunakan Bahasa Indonesia. Kembali saya bertanya sudah berapa lama tinggal di Belanda, saya berpikir pasti sudah puluhan tahun, meskipun dari segi penampakan usianya sepertinya tidak jauh berbeda dengan saya. Dia menjawab sejak 2 tahun menikah dengan Nederlander. Hah?? Saya ternganga tidak percaya. Apa benar 2 tahun tinggal di Belanda menjadi lupa Bahasa Indonesia. Tingkat keingintahuan bertambah, saya bertanya lagi asalnya darimana. Ternyata sama-sama Jawa Timur. Oh iya, sejak tahu dia dari Indonesia, saya langsung menggunakan Bahasa Indonesia, dan dia tetep kekeuh menggunakan Bahasa Inggris (yang menurut saya samalah tingkatannya dengan saya, Bahasa Inggris standar). Satu yang saya tidak suka ketika dia berujar (ini sudah saya terjemahkan) “Kita ngobrol pakai Bahasa Inggris saja ya, saya sudah tidak lancar lagi dan agak lupa ngomong Bahasa Indonesia karena dirumah berbicara dengan suami seringnya pakai Bahasa Belanda dan sesekali Bahasa Inggris. Kamu kan pasti belum bisa Bahasa Belanda, jadi kita ngobrol inggrisan aja.” Duh rasanya saya kesal sekali. Saya memang pada saat itu belum bisa sama sekali Bahasa Belanda (dan pada saat ini juga masih dalam taraf belajar lebih lanjut), tetapi tidak elok juga asal menuduh seperti itu. Kebetulan saja tuduhannya benar, kalau ternyata saya sudah lancar Bahasa Belanda, kan bisa senjata makan tuan untuk dia.
Pada saat itu saya masih mempunyai pikiran positif. Mungkin saja dia sudah lama tidak tinggal di Indonesia sehingga beberapa kata dalam Bahasa Indonesia lupa. Saya bertanya kembali sebelum tinggal di Belanda dia tinggalnya dimana. Jawabannya sungguh mencengangkan, ternyata dia tidak pernah kemana-mana sebelumnya. Tinggal hanya seputaran Jawa Timur saja, kemudian pindah ke Belanda. Saya akhirnya mengajak berbicara memakai Bahasa Jawa, ya mungkin saja memang dia tidak lancar menggunakan Bahasa Indonesia sejak di Indonesia. Dia bilang kalau Bahasa Jawa juga sudah lupa. Ok, saya langsung angkat tangan. Saya merasa tidak nyaman bertemu orang Indonesia, sama-sama Jawa Timur dan harus berbicara sepanjang waktu menggunakan Bahasa Inggris.
Saya juga pernah bertemu seseorang dari Indonesia dalam sebuah acara. Kami berbicara santai, tapi dia bicaranya campur-campur dengan menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Belanda. Jadi terlihat sekali kesulitan dalam memilah memilih kata. Kemudian saya dengan kalem berujar “Mbak, pakai Bahasa Indonesia saja yuk ngobrolnya, biar enakan. Kalau campur-campur saya jadi bingung, mbak juga jadi ga lancar ngobrolnya,” dimana beberapa menit kemudian saya tahu kalau dia baru beberapa bulan tinggal di Belanda, tetapi sudah sangat susah berbicara Bahasa Indonesia, asalnya dari Jakarta.
Satu lagi selingan cerita (bisa juga dibuat sebagai pembanding). Mama mertua yang memang berdarah Belanda (kedua orangtua Beliau asli Belanda), lahir di Jakarta dan tinggal sampai umur 15 tahun, kemudian baru pindah ke Belanda. Ceritanya pernah saya tulis disini. Sampai sekarang Beliau masih ingat kata-kata dan masih bisa berbicara lancar menggunakan Bahasa Indonesia ketika sesekali berbincang dengan saya. Padahal itu sudah berpuluh tahun lalu aktif menggunakan Bahasa Indonesia. Mama masih mengingat Bahasa Indonesia karena pada saat itu diasuh oleh Ibu sambung yang memang asli Indonesia, dan sehari-hari berkomunikasi menggunakan Bahasa Indonesia sejak kecil sampai umur 15 tahun.
Saya kelahiran Jember, dari Bapak yang berasal dari Jember dan Ibu dari Nganjuk. Tetapi sejak kecil saya tinggal di Situbondo, 6 tahun tinggal di Jakarta, dan 13 tahun tinggal di Surabaya. Ibu dan Bapak sehari-hari menggunakan Bahasa Jawa kepada anak-anaknya. Lingkungan Situbondo mayoritas suku Madura, sehingga saya menjadi lancar juga berbicara Bahasa Madura karena selalu menggunakannya diluar rumah untuk berbicara dengan teman-teman maupun tetangga. Bahasa Indonesia saya pelajari disekolah. Jadi, buat saya sampai kapanpun tidak pernah akan lupa Bahasa Jawa, Bahasa Madura, dan Bahasa Indonesia karena sampai detik ini dan sampai nanti saya akan selalu menggunakannya ketika berbicara dengan saudara-saudara, Ibu, dan adik-adik yang ada di Indonesia. Bagaimana mungkin akan lupa, kalau setiap berbicara ditelepon dengan Ibu, adik-adik, dan tetangga saya masih menggunakan Bahasa Jawa dan Bahasa Madura. Dan yang pasti, logat saya masih medhok Jawa, bahkan ada seorang kawan menyebutkan seperti logat Bungurasih, saking mendhoknya (Bungurasih ini nama terminal di Surabaya).
Tulisan ini juga akan menjadi pengingat saya ketika mungkin nanti (berencana sok-sok akan) lupa menggunakan tiga bahasa yang saya sebutkan sebelumnya.
Saya tidak mau menuduh, hanya heran sekaligus bertanya saja apakah mungkin seseorang akan lupa dengan Bahasa Ibu?
CaMbah (Catatan tambahan, iya ini mengarang singkatan) = Sebenarnya pertanyaan diatas sudah terpatahkan oleh pengalaman saya ketika Kopdar dengan Mbak Yoyen yang tinggal 20 tahun di Belanda dan Indah yang tinggal sekitar 10 tahunan di Belanda (mohon koreksinya kalau salah). Mbak Yoyen, seorang yang Multilingual (Bahasa Inggris, Belanda, Perancis, Spanyol juga ya Mbak, apalagi ya?) dan Indah yang juga pasti sangat fasih berbahasa Belanda, Inggris, tetapi mereka masih sangat lancar menggunakan Bahasa Indonesia ketika berbicara dengan kami yang hadir dikopdar waktu itu. Bahkan Mbak Yo beberapa kali menimpali obrolan dengan menggunakan Bahasa Jawa. Saya tidak terlalu punya banyak kenalan yang tinggal diluar negeri dalam waktu yang lama. Tapi mengenal Mbak Yoyen dan Indah, sudah sangat cukup untuk menjawab pertanyan retorika yang saya tuliskan sendiri diatas.
Ada tulisan Mbak Yoyen yang sangat bagus untuk disimak, direnungi, dan diresapi : Berbahasa Satu dan Bahasa Ibu
Toleransi menurut pandangan saya adalah saling menghormati terhadap perbedaan yang ada, tahu batasan, tidak memaksakan kehendak pribadi, serta bisa menempatkan diri terhadap situasi yang tidak ideal.
Jumat minggu lalu ada acara perayaan ulang tahun keponakan yang berusia 9 tahun. Dia gadis kecil yang manis, selalu tersenyum, dan beberapa minggu lalu memenangkan turnamen gymnastic pada urutan kedua di Amsterdam. Saya ingin memberikan sesuatu yang spesial. Berbekal kenekatan dan ilmu yang pas-pasan dalam dunia per-oven-an, akhirnya saya dan suami memutuskan untuk memberikan kue ulang tahun buatan saya sendiri sebagai hadiah. Ini kali pertama seumur hidup saya membuat kue ulang tahun dan mendekorasinya sendiri. Walhasil jadinya ya masih acakadut. Tetapi begitu saya serahkan kepada Chimene, nama keponakan, dia sangat senang. Orangtua Chimene yang adalah ipar, serta Mama mertua terkagum dengan kerajinan tangan saya, mengatakan kreasi yang saya buat bagus adanya. Tentu saja saya senang bukan kepalang, berharap rasanya juga cocok untuk mereka.
Tamu-tamu berdatangan, acara demi acarapun sudah terlewati, termasuk pemotongan kue. Kata mereka yang makan, kue buatan saya enak. Ah, kembali rasanya senang. Kemudian seorang lelaki, teman dari ipar saya mengedarkan makanan. Dari jauh saya melihat kalau itu adalah daging, roti, dan keju. Saya tentu saja tidak bisa mengambil bagian dagingnya. Pertama karena saya tidak makan segala jenis daging, yang kedua tentu saja karena saya tidak tahu itu jenis daging apa. Tetapi ketika lelaki itu sampai didepan saya, dia mengatakan kalau ada yang ikan “This is fish and i think it’s safe for you” entah mengapa ketika lelaki itu mengatakan hal tersebut, saya jadi terharu. Dia tidak tahu kalau saya tidak makan daging, karena kami belum pernah bertemu sebelumnya, yang dia tahu adalah saya tidak diperbolehkan memakan daging babi sebagai seorang muslim. Dia melihat saya berbeda dari yang lain.
Mengingat kebelakang, keluarga suami juga pada awalnya merasa tidak nyaman dengan kehadiran saya yang tentu saja berbeda dengan mereka. Wanita muslim berjilbab yang akan menjadi anggota keluarga besar. Namun saya tahu bahwa ini adalah bagian dari proses untuk bertoleransi. Saya sebagai pendatang baru dan berbeda dari yang lain harus bisa menempatkan diri. Apa yang tidak bisa saya makan atau lakukan, akan saya beritahukan diawal. Misalkan : saya tidak bisa makan ditempat yang dimenunya ada makanan yang mengandung Babi, atau saya tidak bisa melakukan cium pipi kepada lelaki yang bukan Muhrim, meskipun cium pipi tiga kali adalah ciri khas di Belanda. Pada akhirnya mereka bisa menerima saya secara perlahan dengan mulai melakukan penyesuaian disana sini. Contohnya : kalau ada acara makan di Restoran, mereka akan mencari yang tidak ada menu yang mengandung babi. Karenanya, pada saat Mama mertua ulang tahun, kami makan malam di Restoran Indonesia yang halal. Bagaimana bentuk toleransi saya kepada mereka? Misalkan : jikapun ternyata mereka menghidangkan menu yang mengandung babi kepada tamu jika ada acara disalah satu rumah anggota keluarga, saya tidak akan makan, dan tentu saja saya tidak akan protes. Itu bentuk penghormatan saya dan berusaha untuk bisa menempatkan diri pada posisi yang tidak ideal.
Suatu ketika, Mama mertua pernah bertanya tentang jam berapa saya bangun tidur dipagi hari. Saya menjawab sekitar jam 5 sampai setengah enam. Mertua kaget, kenapa pagi sekali. Saya menjelaskan bahwa selain untuk menyiapkan bekal makan siang suami, saya juga harus melaksanakan sholat subuh. Setelahnya kami berbincang tentang berapa kali sembahyang yang saya laksanakan dalam sehari. Dilain waktu, ketika Papa mertua meninggal dan ada upacara kremasi, saya juga mengikuti setiap prosesnya sampai selesai. Saya berdoa sesuai agama saya, dan mereka tidak menolak kehadiran saya pada acara tersebut. Bahkan ada salah satu anggota keluarga yang menanyakan apakah diperbolehkan dalam Islam untuk menghadiri upacara tersebut. Saya menjawab, buat saya tidak masalah, karena tidak keluar dari Aqidah.
Memang semuanya butuh proses, tidak bisa instan. Saya yang sebagai orang baru dinegara ini harus belajar banyak untuk bisa menempatkan diri dan bersikap. Apa yang tidak perbolehkan oleh agama, akan saya hindari dengan cara yang santun. Hidup sebagai pendatang memang tidak mudah, tetapi juga jangan dibuat sulit. Hidup memang tidak selalu semanis kue ulang tahun. Tapi jika perbedaan dapat bersanding dengan manis seperti hiasan pada kue ulang tahun, maka semua akan terlihat indah, itupun tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Bertoleransi terhadap perbedaan bukan sesuatu yang susah, jika kita tahu batasannya. Intinya, jangan rewel kalau pada kenyataannya kita punya banyak keterbatasan. Terbatas bukan berarti kita tidak bisa bergerak dengan leluasa. Seringkali kita tidak bisa menyatukan perbedaan dan membuatnya menjadi sama, tetapi berdamai dengan perbedaan adalah jalan yang bisa kita lakukan.
Lately I faced a dilemma because my trustworthy Chrysler PT Cruiser, the car I had been driving since 2006 is starting to show its age and I was faced with rather high costs for maintenance of the car. On the other hand in my current situation I only use a car very irregularly and mostly for short distances, anyway hardly enough to justify a big investment in a new car.
So I started to look for alternatives and became interested in Greenwheels. Greenwheels is a Dutch company that already is in business since 1995. Now and then I saw these cars drive with their remarkable color settings of red and green. I always suspected it had to do something with the Dutch railways (NS) because it carried their logo on the side of the car, but this was not really the case, although Greenwheels offer services combined with NS. From their website I understand they operate in Netherlands and Germany only, a subbranch in the United Kingdom was terminated recently.
The way Greenwheels operates is not similar to a car renting company. Greenwheels does not have the same infrastructure as a car renting company, where you pick up your car from a central spot, usually near a station or industrial site (at least that is the case here in the Netherlands). Greenwheels have special marked parking places in a great number of decentralised spots all over Netherlands. In my case that means that the closest location where I can pick up a car is a 800 meter distance (ca, 15-20 minutes walk from home). They have 3 pricing models for private renters and three pricing models (monthly subscriptions) for businesses, based on a light, medium and heavy use. I choose the regular business package, with a price of € 25 euros per month. Besides the fixed monthly costs I pay in my case (costs differ with the package you choose):
an hourly fee (€ 3,10)
a fee for every kilometer you drive (€ 0,12 per km)
a fee for gasoline (currently € 0,0998 per km).
They offer on their website an Excel sheet through which you can calculate your monthly costs and choose the appropriate package.
Greenwheels developed a leaflet that instructs you on the most important things considering their customs when renting their cars.
Yesterday I made my first reservation and had a car (Peugeot 107) available for the afternoon. So here is my first hands on experience with this type of car renting.
To gain entrance to the car you need a card from the company or an OV chipcard, the most common card in Netherlands to use for public transport. That went well, the car opened without a hitch and the next step is to open the dashboard compartment and take out the board computer and a small book that contains notes about the damages to the car.
Before you drive off you have to inspect the car and see if there are any new damages. I did find a new small damage and had to report to Greenwheels. Because they only seemed to have one telephone number for all their services it took a long time for me to connect to someone to report the damage. So I already almost had the car rented for half an hour, when I was ready to take off, that felt like a bit disappointing, the contact person from Greenwheels was nice to offer a half hour reduction on my renting period. From the board computer you take out the keys of the car and the board computer also contains an ATM style card to tank gasoline (Greenwheels expect you to go tanking when the gasoline is around 1/4 from a full tank).
The car itself was not really super clean, a bit dusty and the windows could need a wash. Because we had a busy schedule at the end of the renting period you feel a bit the same pressure when you are constantly watching the clock in order to catch a train or bus, in this case to return the car in time.
My costs for renting a car in the afternoon were ((€ 0,12 +€ 0,0998) * 50 km) + (€ 3,10 * 4,5 hrs) = ca. € 25, (excluded the monthly subscription fee that you should take into account and divide by the number of trips you make in a month). Not really that cheap was my first impression.
So all in all the first experience felt a bit cumbersome because there are many things to take in account when you hire the car (see the leaflet). I still feel a bit unsure about some aspects (for example what happens if you miss a damage, what happens then?). There is -in my case- still a certain distance to pick up the car (almost 40 minutes to walk to the car and to return home walking). The car itself did not feel very clean.
Maybe when you get more experience with this type of renting you become more acquainted with it, but for now I am not yet convinced this will be really something for me.
Minggu 22 Maret 2015, pagi hari suasananya sendu. Mendung bergelayut pekat disekitar tempat saya tinggal, Den Haag. Sempat bimbang juga, nanti kalau hujan bagaimana dengan acara yang sudah direncanakan sebulan sebelumnya. Ya, pada hari itu akan ada temu muka dengan para Blogger yang tinggal di Belanda. Buat saya, tentu saja ini pertama kalinya akan bertemu dengan mereka. Mbak Yoyen yang memprakarsai acara ini dengan mengirimkan email satu persatu kepada kami tentang ide jumpa Bloggers ini serta tentang kesediaan tanggal yang memungkinkan kami untuk bertemu. Saya tentu saja sangat senang karena pada saat itu baru sekitar sebulan pindah ke Den Haag. Ingin mendengar pengalaman dari mereka yang sudah menetap lama disini, sekaligus berbagi cerita tentang apa saja yang saya rasakan selama sebulan di Belanda. Dari beberapa suara yang masuk, yang menyatakan bisa ditanggal terbanyak dan terdekat adalah 5 orang, termasuk saya. Akhirnya disepakati 22 Maret 2015 adalah hari pertemuan itu, yang dikemudian hari juga ditentukan kami akan berkumpul di Utrecht Centraal Station jam 12 siang didepan Ticket & Service.
Ada yang mengesankan dari Mbak Yo, yang (lagi-lagi) mengawali untuk mengirim email kepada saya menanyakan preferensi tempat makan,berkaitan dengan halal. Awalnya saya sempat mbatin, ingin meminta tempat makan yang halal, sempat maju mundur akan mengirimkan email, tapi saya takut malah merepotkan dengan permintaan itu. Akhirnya justru Mbak Yo yang terlebih dulu menanyakan. Lega juga karena tidak ada ganjalan lagi. Setelah beberapa kali berbalas email dengan menyampaikan kriteria halal menurut saya, pada akhirnya sudah jelas tipe tempat makan yang akan dituju.
Hari H datang juga. Sejak pagi saya sudah ribut sendiri akan memakai pakaian seperti apa, bongkar lemari mengeluarkan beberapa pilihan baju, meminta pendapat Suami mana yang pantas. Saya memang seperti itu, selalu gelisah jika akan bertemu orang-orang baru. Bingung nanti apa yang akan dibicarakan, takut kikuk tidak nyambung dengan obrolan, dan beberapa ketakutan yang lain. Maklum saja, saya tipe orang yang agak susah berbaur dengan segala sesuatu yang baru. Tapi Suami menenangkan dengan kata-kata “tenang saja, saya percaya teman-teman blogger kamu bukan tipe yang menilai dari kulit luarnya”. Setelahnya, saya menjadi santai.
Sesampainya di Utrecht Centraal, saya langsung menuju ke tempat pertemuan. Senang sekali karena sejak awal obrolan mengalir. Yayang, Crystal, Mbak Yoyen ramah sekali. Saya yang awalnya takut tidak bisa masuk kedalam obrolan, akhirnya ketakutan yang tidak beralasan itu lenyap. Tidak berapa lama kemudian formasi menjadi lengkap dengan datangnya Indah. Rasanya bagaimana setelah bertemu mereka? Girang bukan main. Karena selama ini hanya membaca tulisan-tulisan saja, sekarang bisa bertemu dan bercakap langsung dengan penulisnya. Yayang yang sama dengan saya, datang ke Belanda karena menikah, tinggal di Rotterdam. Mbak Yo tinggal di Arnhem, selama ini saya kagumi karena tulisan-tulisannya yang informatif, kritis, tajam ternyata aslinya ramah, tidak pelit ilmu, nuturi dan banyak berbagi pengalaman serta cerita-cerita yang bermanfaat, serta tips untuk menulis diblog dengan baik. Indah, tinggal di Rotterdam, selama ini selalu saya kagumi dengan foto-foto bawah lautnya yang super keren, sampai saya kadang bertanya-tanya dalam hati, bagaimana ya caranya mengambil gambar hewan-hewan laut yang kecil sampai dapat gambar yang menakjubkan. Indah juga berbagi banyak sekali cerita-cerita selama dia tinggal di Belanda. Sedangkan Crystal, saya baru mengenalnya hari itu juga. Terus terang belum sempat baca-baca blognya sebelum bertemu. Crystal mendapatkan beasiswa LPDP, tinggal di Leiden, sedang menempuh Master program di Leiden University jurusan Sejarah, sama dengan suami saya.
Waktu 6 jam bergulir dengan cepat. Obrolan seru mewarnai pertemuan kami. Makan siang di Sumo Sushi belum cukup menampung topik pembicaraan yang kian menghangat. Akhirnya pembicaraan berlanjut dengan duduk santai di Starbucks (tanpa Indah sebab dia harus pulang terlebih dahulu karena sedang tidak enak badan). Saya tentu saja berceloteh tentang cerita adaptasi selama satu bulan, pengalaman berbelanja ke pasar, kenekatan saya berbicara bahasa Belanda ketika berbelanja, dan culture schock dengan beberapa wanita Indonesia yang tinggal di Belanda. Yayang pada akhirnya nyaman bercerita pada kami tentang beberapa pengalaman pada saat proses melahirkan, yang ternyata ada tragedi dibaliknya. Crystal berbagi cerita tentang kehidupan mahasiswa dan pengalaman jalan-jalan ke beberapa negara tetangga. Ternyata Crystal dan saya datang ke Belanda berdekatan jaraknya. Dia Januari awal, saya Januari akhir. Jadi kami ini sama-sama pendatang baru. Mbak Yo dan Indah dengan sabar mendengarkan cerita kami diselingi dengan celutukan-celutukan lucu. Saya merasa siang itu menjadi gayeng dan menyenangkan dengan tawa, haru, serius yang mewarnai segala macam kisah yang terlontarkan.
Terima kasih buat semuanya. Pengalaman baru, bertemu orang-orang baru, saling berbagi cerita dan pengalaman yang seru. Semoga suatu saat ada kesempatan lagi bertemu dengan mereka dan beberapa Blogger lainnya yang berhalangan hadir pada saat itu.
Ternyata bertemu dengan orang-orang baru tidak selalu diawali dengan suasana kaku. Jika kita nyaman dan menempatkan diri berdasarkan porsinya, maka semua akan lancar dan terasa menyenangkan. Semoga April ini akan banyak pengalaman baru dan mengesankan yang akan dihadapi tanpa halangan.
Semoga tidak pernah lupa untuk selalu bersyukur dengan yang telah Allah titipkan dihari kemarin, saat ini, dan kapanpun juga. Semoga langkah kaki lebih bermanfaat bagi keluarga, lingkungan, dan mereka yang membutuhkan.
-Leeuwarden, 29 Maret 2015-
Semoga menjadi istri dan teman perjalanan yang mengasyikkan dalam mengarungi setiap suka dan duka kehidupan.
Dua pasang sepatu ini telah melalui perjalanan panjang. Tidak hanya melintasi benua, tetapi menjadi saksi bisu untuk mengantarkan pemiliknya melintasi segala yang berbeda. Perjuangan yang sangat melelahkan diawal, menegangkan dipertengahan, namun menjadi membahagiakan pada akhirnya.
Dua pasang sepatu ini sampai kini tetap setia menemani kemanapun pemiliknya melangkah pergi, tidak lagi sendiri tapi saling berbagi tawa, cerita, suka, dan duka. Petualangan ini baru saja dimulai. Mungkin akan panjang dan terasa melelahkan, tetapi jika dijalani dengan saling bergandeng tangan, berjalan beriringan, mungkin langkah yang berat akan menjadi lebih ringan.
Dua pasang sepatu ini memang tak bisa berkata-kata, tetapi sangat bahagia saat mengetahui bahwa mereka akan menjelajahi luasnya dunia, ketika nanti saatnya tiba.
Dua pasang sepatu ini memang harganya tak seberapa, hanya benda yang menjadi saksi bisu perjuangan lintas benua. Tetapi dari sinilah semua cerita bermula.
Those special memories of you will always bring a smile. If only i could have you back for just a little while then we could sit and talk again, just like we used to do. You always meant so very much and always will do too. The fact that you are no longer here will always cause me pain, but i hold you tightly within my heart and there you will remain. You are forever in my heart.
I can’t thank you enough for all that you’ve done for the love of my life, is the one who’s your son. As a father you loved him and taught him to find the best in himself. Thank you for raising a wonderful son.
Today is the day we will let you go. Thank you for letting me be part of your family. Thank you for being such an inspiration.
In sad circumstances my beloved father passed away last Thursday. His passing will leave a big feeling of emptiness in our lives. Besides his most friendly nature and an ultimate love for the ones around him, I will remember him as an exceptionally talented musician.
I feel very much blessed being born as his son and the opportunity of making with him this wonderful travel through life.
Tulisan ini dalam rangka dibuang sayang. Cerita tahun lalu saat saya dan suami mengikuti Bromo Marathon tanggal 7 September 2014, penutupan rangkaian bulan madu kami. Iya, bulan madu salah satunya ikut lomba lari :D. Dan tulisan ini juga sebagai penyemangat karena dalam beberapa hari lagi saya dan suami akan ikut lomba lari di Den Haag. Buat saya, lomba lari kali ini sangat spesial, karena akan menjadi lomba lari pertama di Belanda.
Saya memang suka lari sejak kecil. Olahraga yang saya tekuni sejak kecil adalah lari dan karate. Berenang baru 10 tahun kebelakang sejak didiagnosa dokter bahwa saya ada kelainan tulang punggung, yaitu Skoliosis yang sudah sangat parah, dan operasi adalah jalan keluar penyembuhannya. Tetapi saya tidak mau, akhirnya dokter menyarankan saya untuk berenang sebagai terapi. Akhirnya 3 olahraga yang saya tekuni yaitu lari, karate, dan berenang. Meskipun suka berlari, tetapi saya sangat jarang ikut lomba-lomba lari. Bromo Marathon ini sepertinya race pertama yang saya ikuti lagi setelah entah berapa tahun terakhir tidak pernah aktif berlomba lari. Rutinnya, saya selalu lari 2 kali seminggu. Tapi jika sedang malas ya sekali seminggu. Paling tidak, seminggu sekali saya pasti lari. Meskipun suhu sering dibawah 5 derajat dalam sebulan ini, berangin, hujan tiba-tiba, tetapi saya memaksakan diri untuk tetap berlari. Sekalinya malas, maka malas seterusnya. Kalaupun saya malas, pasti digeret sama suami. Dia ini raja tega kalau masalah olahraga. Tidak ada kata malas untuk berolahraga dikamusnya.
Kembali ke Bromo Marathon, awalnya saya yang mendaftar. Waktu itu posisinya kami belum menikah, bahkan tanggalnyapun belum ditetapkan. Setelah tanggal pernikahan ditetapkan dan ijin cuti dari kantor suami keluar, dia akhirnya ikut mendaftar. Saya yang 10km, dia yang half Marathon 21km. Kalau suami memang rajin ikut race yang 21km sejak lama. Medalinya saja sampai bertumpuk dirumah. Sehari sebelum hari H, kami berangkat dari Surabaya rame-rame tujuh orang bersama kakak kelas saya dikampus. Menginap dirumah penduduk yang tempatnya sangat bersih dan nyaman dengan makanan berlimpah
Pagi harinya saat hari H, kami menggunakan mobil bak terbuka menuju ke tempat pemberangkatan (start). Full marathon (42km) berangkat terlebih dahulu, disusul yang half marathon (21km), kemudian yang terakhir adalah 10km. Rute yang ditempuh awalnya sama untuk ketiga tetapi dititik tertentu menjadi terpisah. Pada saat Bromo Marathon ini kondisi saya sedang sangat tidak fit. Sinusitis saya kambuh sejak beberapa hari sebelumnya. Ketika awal-awal berlari, udara dingin, semakin membuat hidung saya sakit, napas tersengal. Ditambah lagi medan lari yang aduhai sangaaattt melelahkan. Tanjakan lebih dari 50 derajat kemiringannya, berdebu, semakin membuat saya tersiksa. Ditengan jalan, hampir saja saya menyerah karena hidung sudah mengeluarkan darah. Tapi pada saat itu sudah lebih dari 5km, sayang juga kalau tidak diteruskan. Meskipun lari saya tidak kencang, tapi saya selalu usahakan ritmenya selalu sama, tidak pernah berhenti. Sekalinya berhenti, biasanya saya malas untuk berlari kembali. Mengambil beberapa foto juga saya lakukan sambil berlari. Yang menjadi menyenangkan adalah pemandangan yang dilalui sepanjang jalan sangat menghibur, serta sorak semangat yang diberikan oleh penduduk setempat dan sapaan hangat sesama peserta. Senangnya lagi, saya tanpa sengaja bisa bertemu dengan beberapa teman dari Jakarta yang saya kenal dari organisasi maupun beberapa kegiatan sosial, bahkan teman sesama penyuka olahraga lari.
Akhirnya dengan segenap perjuangan sampailah saya di finish dengan waktu 1:58:41 dan suami dengan waktu 2:49:32. Ternyata suami mengalami sedikit kecelakaan. Nyungsep saat jalan menurun karena kemiringan yang terlalu tajam, mungkin juga karena dia sudah kelelahan. Medan yang 21km dari ceritanya lebih mengerikan lagi susahnya. Saya sampai finish dengan keadaan baik-baik saja sudah sangat bersyukur dengan catatan waktu yang sudah disebutkan. Bromo Marathon memberikan pengalaman yang sangat berharga bagi kami. Banyak kejadian lucu yang bisa membuat kami tertawa terbahak bahak kalau sedang mengingatnya
Keterangan lebih lengkap tentang Bromo Marathon, langsung bisa klik di website nya. Pendaftaran untuk tahun 2015 akan segera dibuka.
Nah, beberapa hari lagi kami akan mengikuti NN CPC Loop 2015 Den Haag. Saya konsisten ikut yang 10km, suami yang 21km. Antusias sekali karena race ini akan diikuti oleh ribuan peserta juga. Namun juga ada rasa grogi, kuat apa tidak sampai finish. Buat saya, dicoba saja dulu sampai batas maksimal kemampuan, yang penting sudah berusaha :). Kalau ada kesempatan, dan kesehatan memungkinkan, akhir tahun 2015 saya ingin ikut yang 21km. Membayangkan bisa berlari bersama suami pasti sangat menyenangkan.
Yuk, Olahraga biar badan seger 🙂
-Den Haag, 4 Maret 2015-
Foto-foto yang ada disini adalah dokumentasi pribadi
Dan inilah yang akan saya ikuti beberapa hari lagi. 10km di NN CPC Loop Den Haag. Mudah-mudahan sampai finish dengan aman sentausa sehat jiwa raga 🙂