If all goes well, Adek Deny and I will be reunited within two weeks from now! Then we -finally- can start with the new phase in life, living together as husband and wife. Just in time before we celebrate our half year celebration anniversary (February 9th). After Adek Deny’s graduation and thesis revision, she will spend her remaining time in Indonesia with family and friends before flying to the Netherlands.
Meanwhile I will prepare things over here in the Netherlands, so the administrative things will not too much be in the way once that Adek Deny arrives. I set up a check list so I am sure not to forget things that need to be taken care of before and after Adek Deny’s arrival. The items on the list vary from signing up for general practitioner, dentist, health insurance, registering at the ‘gemeente’ as well as things like arranging a mobile phone subscription.
From a letter I received from IND, they said they will contact me after Adek Deny arrives, I guess to inform us about the ‘verblijfsvergunning’, the identification document that Adek Deny will have to account for her legal stay in the Netherlands. We also will be informed by DUO (the institute from the government dealing with education affairs) about the continuation of the ‘inburgering’ (literally: becoming a citizen) education.
Last week when I wanted to fill in an electronic form for the Dutch Tax Authority I already ran into an issue. One of the first question was ‘Are you married?’, so I filled in ‘Yes’. ‘What is the name and date of birth of your wife?’ and I could answer that one too of course :). But at the third question I stumbled. The question was ‘What is your wife’s ‘BSN’ (a sort of social security number)?’ and that one I couldn’t answer (yet). I don’t even know in which phase Adek Deny will have that BSN number, so another thing to find out!
Adek Deny has been preparing lots of things on her side in Surabaya. She has sent a 30 kilo package with goods to Netherlands, to arrive in 2-3 months. She already has bought a small clothing winter collection, because in January-February weather conditions in the Netherlands can still be harsh! Luckily in Jakarta there are shops that sell winter clothing, so she can arrive at Schiphol well prepared :).
9 Januari 2015. 5 bulan pernikahan, daaan… Akhirnya lulus juga. Yiaayy!! Rasanya senaangg sekali. Bahagia tiada tara. Seminggu ini dipenuhi perasaan berkecamuk setelah jadwal sidang diumumkan dan mendapati salah satu penguji adalah Professor yang memang ahlinya berkaitan dengan topik Tesis saya. Antara pengen mundur tidak mau melanjutkan karena takut diuji beliau (terbayang pertanyaan-pertanyaan kritis yang akan terlontarkan), tapi sayang juga kalau mundur karena tinggal selangkah lagi. Seminggu penuh drama air mata, nangis sana sini tidak jelas juga nangis karena apa. Belum lagi selama proses mengerjakan Tesis juga dipenuhi drama-drama lainnya yang tidak kalah luar biasanya. Nggondok sama Dosen Pembimbing, menyerah dengan topik yang terlalu sulit, LDM sama suami semakin membuat rasa malas makin menjadi untuk segera mengakhiri kuliah ini
Hari yang dinanti akhirnya datang juga. Ternyata sidang Tesis tidak seseram seperti yang diduga (sekarang aja bisa ngomong gini, tadi malam blingsatan ga bisa tidur ga doyan makan). 45 menit tidak terasa karena suasana seperti diskusi. Tidak ada pertanyaan menjatuhkan. Bahkan Bapak Professor memberikan arahan untuk perbaikan Tesis saya. Wah! Bapak ternyata tidak seseram yang saya kira 😀
Terima kasih untuk Ibu yang selalu menenangkan, membesarkan hati walaupun berkali-kali saya telepon hanya untuk sekedar menangis, yang selalu ada kapanpun saja. Terima Kasih untuk Mas Ewald yang hari ini tidurnya tidak nyenyak karena saya paksa untuk bangun jam 3 pagi waktu Belanda dan harus tetap bangun sampai saya selesai sidang, juga orang pertama yang menelepon saya ketika tadi siang dinyatakan lulus. Mas Ewald juga yang selalu menguatkan saya untuk jangan menyerah, fokus pada apa yang ingin saya raih. Dan yang tidak kalah pentingnya, terima kasih kepada Almarhum Bapak. Kalau tidak karena janji yang terlontar sebelum Bapak meninggal, saya tidak akan mungkin sampai pada tahap ini. Dan hari ini saya membuktikan dan menepati janji saya untuk Almarhum Bapak bahwa pada akhirnya saya lulus kuliah. Terima kasih Bapak.
Dan terima kasih untuk mereka yang selalu saya repotkan dengan cerita-cerita putus asa saya, terima kasih untuk saudara, teman-teman, dan adik-adik yang telah mendoakan saya. Terima kasih.
Kelulusan ini juga semacam kado 5 bulan pernikahan. Sekarang saatnya tidur nyenyak, dan makan-makanan enak, kemudian memikirkan revisi.
Benar adanya, bahwa ujian itu harus dihadapi, diselesaikan, bukan dihindari.
Saya ingin lebih awal mewujudkan keinginan Bapak dan berharap Bapak ada dimomen yang selama ini selalu dinantikan.
Saya ingin lebih awal melanjutkan kuliah, sesuai yang Bapak selalu ucapkan berulang bahwa saya harus melanjutkan kuliah. Tapi saya selalu punya 1000 alasan untuk menunda. Tak pernah tahu bahwa itu permintaan terakhir sampai saat itu benar-benar tiba
Bapak ingin melihat saya menikah, menggunakan kebaya putih dan menikahkan saya secara langsung. 2 tahun berselang, saya baru bisa mewujudkan keinginan itu, tanpa ada Bapak disana melihat saya berkebaya.
Jika waktu bisa diputar kembali,
Saya akan lebih banyak menghabiskan waktu dengan Bapak, bukan bepergian melancong kesana kemari mengejar segala mimpi dan cita-cita, yang kata Bapak tak pernah ada habisnya
Saya akan menyediakan waktu untuk mengenal Ibu lebih baik, tidak selalu bertengkar dan bersitegang meskipun Bapak mempunyai stok sabar yang tidak terbatas untuk menjadi penengah antara kami berdua.
Saya akan lebih dekat dengan adik-adik, tidak menjadi kakak yang cuek dan tidak peduli dihari sejak saya meninggalkan rumah dan tidak lagi hidup satu atap dengan mereka
Harusnya saya lakukan itu semua lebih awal, sebelum saat itu benar-benar datang
Namun waktu tidak pernah bisa diputar kembali,
Saya sudah mewujudkan keinginan Bapak, disaat semua mungkin sudah terlambat
Saya sudah berdamai dengan Ibu, menjaga dan selalu membuat Ibu gembira, meskipun tidak ada Bapak disana
Saya mencoba menjadi kakak yang perhatian, meskipun itu belum cukup adanya
Bapak akan selalu ada dalam langkah dan hati saya. Bapak ada dalam setiap doa yang terpanjatkan dan sujud panjang yang saya lakukan. Saya percaya bahwa Bapak selalu ada disekitar dan tidak pernah benar-benar pergi.
Saya, Kami semua hanya butuh waktu untuk menghilangkan trauma akan kehilangan yang tiba-tiba. Kami hanya membutuhkan waktu untuk berdamai dengan takdirNya.
Ya, kami masih berduka. Kami masih harus melewati masa-masa sulit itu bersama. Sejak saat itu hidup kami tidak pernah lagi sama. Namun kami harus tetap melangkah dan doa tidak pernah putus kami panjatkan agar Bapak selalu mendapatkan tempat terbaik disisi Allah. Kami yakin, Bapak sudah bahagia disana, dan sedang tersenyum bahagia melihat kami disini baik-baik saja.
2014 memang tahun penuh kejutan untuk saya. Banyak kejadian tidak terduga, tidak hanya yang menyenangkan, yang tidak menyenangkan juga singgah dalam roda waktu ditahun ini. Sama seperti tahun lalu, tidak banyak perjalanan yang sempat saya lakukan karena sebagai mahasiswa masih mengirit uang buat jalan-jalan sementara kebutuhan penelitian juga lumayan banyak. Bersyukurnya diberikan kesehatan yang baik sepanjang tahun. Semakin berkomitmen untuk menjalankan Raw Food dan Food Combining (sejak lama saya tidak makan daging dan unggas). Semakin rajin lari pagi dan berenang. Dan 2014 menjadi tahun yang mengesankan karena diberikan kesempatan bertemu belahan jiwa dan berbagi hidup serta cinta dengannya.
Januari 2014
Januari selalu menjadi bulan penuh kenangan. Pada tahun ini, genap dua tahun Bapak sudah tenang bersama Allah. Setiap tahun saya, ibu, dan adik-adik harus berjuang keras mengatasi trauma ditinggalkan Bapak secara mendadak. Dan saya selalu percaya bahwa waktu yang akan menyembuhkan trauma itu.
Februari 2014
Bulan yang tidak akan pernah dilupa. Di bulan ini saya pertama kali bertemu muka dengan Mas Ewald (kali ini pakai nama lengkap, karena sedang tidak malas mengetik :D) pada tanggal 2 Februari, yang kemudian dilanjutkan dengan melamar langsung ke Ibu. Kami sekeluarga tidak pernah menduga kalau dia akan seserius itu. Lamaran tidak langsung dijawab. Ibu masih keberatan karena saya masih kuliah dan belum siap kalau harus tinggal berjauhan. Tapi saya tentu saja senang dilamar. Yiaayy!! 🙂 Di bulan ini pertama kali Mas Ewald menginjakkan kaki di Indonesia, bahkan sampai ke Situbondo, kota saya dibesarkan. Akhirnya saya dan adik mengajak jalan-jalan dia ke Bromo, Kawah Ijen, Pantai Merah, dan Air Terjun Madakaripura. Cerita Kawah Ijen ada disini
Maret 2014
Anggota keluarga bertambah satu karena adik saya melahirkan bayi laki-laki yang lucu. Di bulan Maret ini juga usia saya berkurang secara arti namun bertambah secara angka. Harus lebih baik lagi dalam menjalani hari karena saya tidak tahu sampai dimana dan kapan usia saya harus terhenti. Lebih banyak bersyukur dan melakukan kegiatan yang berarti
April 2014
Visa ke Belanda akhirnya disetujui. Saya ke Belanda dalam rangka berkenalan dengan keluarga Mas Ewald dan mencari kemantapan hati bahwa Mas Ewald adalah “orangnya”. Jadi, lamaran Mas Ewald belum bisa dijawab sebelum saya berkenalan dengan keluarganya dan melihat kehidupan disana.
Mei 2014
Untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Eropa, tepatnya di Belanda. Tidak pernah terpikirkan akan sampai di Negara yang selama ini saya selalu berjuang untuk mendapatkan beasiswa disalah satu universitasnya. Jungkir balik saya mengikuti tes untuk mendapatkan beasiswa di TU Delft, tapi tidak pernah lolos. Ternyata saya malah ke Belanda dalam rangka bertemu calon mertua. Dan salah satu impian terbesar saya dapat terwujud yaitu mengunjungi Keukenhof dan Red Light District. Pasti tidak menyangka bahwa saya sangat ingin pergi ke RLD 🙂 Entah kenapa, banyak hal di hidup saya selalu bermula dari mimpi. Pertemuan dengan keluarga di Belanda berjalan lancar. Dan dibulan ini juga hati saya sudah mantap untuk berbagi hidup dalam suka dan duka dengan Mas Ewald. Setelah 2 minggu di Belanda, saya dan keluarga memulai persiapan pernikahan yang dilaksanakan bulan Agustus 2014.
Juni 2014
Akhirnya saya maju proposal Tesis juga. Setelah sekian lama ditunda dan berganti topik beberapa kali, pada saatnya lulus juga proposal Tesis. Senangnya bukan main. Tinggal selangkah lagi menuju lulus. Dan dibulan Juni ini juga untuk pertama kalinya saya belajar Bahasa Belanda. Jadi bulan Juni ini adalah bulan sibuk. Belajar Bahasa Belanda, sibuk mengerjakan Tesis, dan mempersiapkan pernikahan. Tapi saya jalani semua dengan santai. Saya selalu yakin bahwa pada saatnya nanti, semua akan terlewati. Jadi tidak perlu bingung atau tertekan.
Juli 2014
Ada berita tidak nyaman di bulan ini. Saya tidak bisa maju sidang Tesis yang artinya tidak bisa wisuda bulan September dan harus molor satu semester. Rasanya campur aduk. Sedih, kesal, jengkel, dan kecewa. Tapi saya mencoba berdamai dengan diri sendiri. Mungkin memang ini yang terbaik karena beberapa bulan kedepan saya akan sibuk dengan banyak urusan .
Berita baiknya, proses aplikasi Beasiswa S3 satu tahun lalu mendapatkan jawaban baik. Iya, saya mendapatkan beasiswa S3. Tapi sayangnya pada saat ini saya tidak bisa mengambil beasiswa itu. Rencana hidup setahun lalu dan saat ini sudah berubah. Sedih karena dulu saya ingin sekali melanjutkan sekolah disana. Namun, hidup adalah tentang memilih. Mudah-mudahan ini pilihan terbaik untuk masa depan saya dan suami.
Agustus 2014
Bulan yang tidak akan dilupa. 9 Agustus 2014 saya resmi menjadi Istri Mas Ewald. Setelah 8 bulan lalu sejak pertama berkenalan akhirnya ini adalah awal baru dalam kehidupan saya. Kini, saya menemukan tangan yang bisa selalu digenggam dalam setiap gerak menuju masa depan yang belum pasti, tapi akan bersama kami lalui. Dengan persiapan hanya 3 bulan, dengan segala macam birokrasi di Indonesia dan Kedutaan Belanda, bersyukur semua berjalan lancar. Mas Ewald sangat menikmati proses pernikahan di Indonesia. Dia juga senang mendapatkan keluarga baru, keluarga besar. Dibulan ini juga saya memulai memperkenalkan tentang Indonesia dengan perjalanan yang tidak akan terlupa selama 3 minggu : Bali-Surabaya-Jember-Jogjakarta-Semarang-Karimunjawa-Solo-Jakarta-Bandung. Mas Ewald belajar dan mengenal banyak hal baru. Dari makanan, budaya, dan adat istiadat. Bahkan Mas Ewald akhirnya menemukan kembali jejak rumah keluarganya di Jl. Surabaya No.40 Jakarta. Ceritanya pernah saya tulis disini.
September 2014
Untuk pertama kalinya saya dan Mas Ewald mengikuti lomba lari bersama. Kami mengikuti Bromo Marathon pada tanggal 7 September 2014. Saya pada 10K sedang Mas Ewald pada Half Marathon. Ya, kami memang mencintai lari. Karenanya kami berkomitmen untuk tetap mengikuti perlombaan lari bersama setelah saya pindah ke Belanda. Buat kami, berlari bukan hanya tentang mengalahkan diri sendiri, tetapi berlari adalah tentang meditasi dan kontemplasi. Pada bulan ini Mas Ewald harus kembali ke Belanda dan babak baru Long Distance Marriage (LDM) pun dimulai.
Oktober 2014
Setelah sekian lama tidak pernah melakukan kegiatan mendongeng, akhirnya pada tanggal 18 Oktober 2014 saya bersama teman-teman yang tergabung dalam Bookstart Indonesia melakukan kegiatan berbagi buku kepada anak-anak Kelud. Salah satu kegiatannya adalah pelatihan story telling kepada para Ibu. Senang rasanya kembali bergelut dengan hobi saya, yaitu bercerita.
Pada tanggal 28 Oktober 2014, setelah kurang lebih 5 bulan belajar Bahasa Belanda, akhirnya saya lulus tes Bahasa Belanda di Kedutaan Belanda Jakarta sebagai syarat untuk mendapatkan ijin tinggal. Senang sekali perjuangan belajar bahasa baru membuahkan hasil yang sangat memuaskan. Ceritanya pernah saya tulis disini. Dan proses pengajuan ijin tingal (MVV) pun dimulai. Semakin percaya bahwa segala sesuatu yang dikerjakan secara maksimal dan penuh cinta, pasti akan membuahkan hasil yang sepadan.
Dibulan Oktober ini juga, Ibu harus menjalani operasi ketiga setelah mengalami kecelakaan pada 2012 lalu. Operasi tempurung kepala. Bersyukur semuanya berjalan lancar.
November 2014
Saya mulai kembali mengerjakan Tesis yang terbengkalai karena hanya punya waktu 2 bulan sampai pada deadline untuk mengumpulkannya. Diantara rasa malas, kangen suami, dan ingin memenuhi janji pada Almarhum Bapak bahwa saya harus menyelesaikan kuliah, mengerjakan Tesis pun diisi dengan rasa yang campur aduk. Tapi saya tetap bertekad bahwa kuliah ini harus segera diakhiri, karena suami memberi ultimatum bahwa saya tidak boleh pindah ke Belanda sebelum dinyatakan lulus.
Desember 2014
Awal bulan mendapatkan berita yang menggembirakan. 1 Desember 2014 MVV saya sudah keluar. Bahagia rasanya bahwa dalam waktu yang tidak lama lagi saya bisa berkumpul dengan suami. LDM dalam waktu hampir 4 bulan sangat tidak nyaman rasanya.
24 Desember 2014 akhirnya saya mengumpulkan draft Tesis. Belum ada jadwal sidangnya, tapi rasanya senang karena pada akhirnya bisa juga menyelesaikan mengerjakan Tesis. Semoga Januari 2015 saya mendapatkan kabar gembira, lulus kuliah. Amin.
27 Desember 2014 tulisan yang saya kirim terpilih menang. Ceritanya saya tulis disini. Hadiahnya memang tidak seberapa, tapi penghargaan atas karya itu lebih dari segalanya.
Dan, berita gembira di penghujung tahun benar-benar tiba. 31 Desember 2014, Yap hari ini, Visa tinggal saya (MVV) sudah keluar. Bersyukur berkali-kali bahwa saya dan Mas Ewald sebentar lagi akan segera bersama kembali setelah hampir 4 bulan terpisah. Kejutan akhir tahun yang menyenangkan.
Saya meyakini bahwa Tuhan selalu mempunyai rencana yang indah dibalik setiap kejadian yang mengisi kehidupan kita. Tawa bahagia, kisah sedih merupakan bagian roda waktu yang tidak dapat dipisahkan. Benar adanya bahwa ketika rencana yang sudah disiapkan tidak berjalan dengan baik, Tuhan menyiapkan yang lebih baik. Saya sudah mencapai garis finish dengan baik dan selamat. 2014 adalah tahun yang luar biasa. Bertemu teman-teman baru, keluarga baru, pengalaman baru, dan banyak pembelajaran baru. Terima kasih 2014.
Selamat datang 2015. Biarkan saya menyambut tahunmu dengan rasa penasaran tentang kejutan apakah yang sudah kau persiapkan. 2015 akan menjadi tahun yang penuh tantangan. Semoga rasa syukur tidak pernah terhenti terucap disetiap desah nafas yang terhembuskan. Semoga keberkahan, kebahagiaan, dan kesehatan yang baik selalu menyertai langkah kami dan keluarga, juga teman-teman semua di tahun 2015.
Hidup itu seperti berlari marathon, tak ada tempat pemberhentian dan selalu butuh perjuangan sampai pada satu titik bernama impian
Ini tentang cerita sebuah kejutan manis menjelang akhir tahun. Tadi malam sekitar jam 10, seperti biasa menjelang tidur saya menjelajah Twitter, karena social media ini seringkali membuat saya jadi gampang mengantuk, pengganti buku walaupun fungsinya tidak sepenuhnya bisa menggantikan buku. Mata terpaku pada salah satu akun yang saya follow . Jia Effendie, salah seorang penulis buku, pencerita, penulis puisi, pembaca puisi, dan editor yang memang saya kagumi tulisannya sejak dia mempunyai blog di Multiply. Bahkan saya juga pembeli setia buku-bukunya. Mungkin saya pernah menceritakan sebelumnya kalau saya itu penggila puisi dan cerita pendek. Saya penikmat puisi dan sangat menikmati waktu, ketika bermain dengan kata-kata. Iya, saya adalah pencinta aksara yang terjalin menjadi sebuah cerita. Karenanya saya sangat jatuh cinta dengan Bahasa Indonesia. Ah, mari kembali lagi ke bahasan utama, melantur terlalu panjang. Jadi, tadi malam Jia mengumumkan semacam sayembara : membuat tulisan tentang Menemukan Teman Hidup diblognya. Saya membaca persyaratannya, ternyata tidak sulit. Tulisan ditunggu sampai jam 12 malam. Mata menahan kantuk, tapi saya penasaran ingin ikut. Saya buka laptop, lalu perlahan mengotak-atik tulisan lama yang pernah diposting juga diblog ini tentang “301113 – Masa Dimana Semuanya Bermula”. Setelah otak-atik sebentar, saya kirim, lalu tidur. Tidak berharap banyak akan menang, karena saya tahu selera Jia akan sebuah tulisan sangatlah tinggi. Jadi niatnya iseng, lumayan kalau bisa nambah teman.
Sekitar jam 2 dini hari saya terbangun, seperti biasa waktunya ngobrol sama suami. Resiko LDR beda benua salah satunya harus semacam jadi Hansip di Pos Ronda, terjaga sampai dini hari. Saya melihat ada email yang masuk. Begitu saya buka, tarraaa!! Ternyata tulisan saya yang menang. Waahh, senangnyaa! Padahal saya membaca tulisan-tulisan lainnya juga tidak kalah bagus. Alhamdulillah 🙂
Saya akan mendapatkan hadiah sebuah buku dari Winna Efendi berjudul Happily Ever After. Seperti biasa, hadiah buat saya adalah bonus. Melihat nama terpampang itulah rasa yang sangat luar biasa. Seperti pengakuan akan sebuah karya.
Dan ini bukan kali pertama saya menang semacam kuis yang berawal dari Twitter, dan semuanya memang selalu berhubungan dengan tulisan. Awal saya mulai aktif di Twitter, sekitar 2009, menang kuis pertama kali dari Detik, membuat tulisan tentang liburan. Saya menang payung, mug, kaos, buku, dan pulpen. Setelahnya ikut kuis-kuis yang berhubungan dengan menulis puisi dan cerpen, sampai beberapa tulisan saya termuat dalam beberapa buku tentang antologi cerpen dan puisi. Saya pernah menuliskan ceritanya disini. Dan sekarang, tulisan saya menang lagi. Senangnya bukan main 🙂 Selain Twitter, saya juga pernah menang kartu pos lewat Instagram. Jadi, social media tidak selalu menyebalkan. Hubungan saya dengan Twitter dan Instagram serta Blog sejauh ini yang paling menyenangkan. Lumayan bisa mengumpulkan pernak-pernik hadiah, bahkan sampai bisa membuat buku juga berawal dari social media.
Namun impian besar saya tetaplah sama. Mempunyai buku berisi hasil karya sendiri, bukan antologi. Buku tentang Puisi atau Cerita Imajinasi.
Tahun masih belum berakhir, dan saya sedang menunggu kejutan yang lain. Bagaimana denganmu?
Apa yang ada dipikiran ketika mendengar kata deadline atau tenggat? Bagi saya deadline adalah kepanikan. Saya tidak suka dengan deadline malah cenderung benci karena merasa kreatifitas dan waktu saya dibatasi. Tapi kalau tidak ada deadline seringkali saya menjadi tidak disiplin. Meremehkan dan menggampangkan. Ujung-ujungnya tidak menyelesaikan apa yang sudah dikerjakan. Santai kayak dipantai . Atau kalaupun menyelesaikan , seringkali jauh dari waktu yang sudah ditargetkan.
Target dan tenggat adalah dua hal yang berbeda. Target adalah sesuatu yang sudah ditetapkan untuk dicapai. Sedangkan tenggat adalah batas waktu. Jadi kalau target adalah obyeknya. Sedangkan tenggat adalah batas waktu yang ditetapkan untuk mencapai target.
Dulu waktu saya masih aktif bekerja, setiap hari selalu ada deadline. Tidak pernah tidak. Dan tenggatnya pun tidak tanggung-tanggung. 1 jam sejak diberikan tugas. Kadang saya suka kesal sekali sama yang memberi batas waktu. Senangnya mendadak, tidak memikirkan tingkat kesulitannya. Bahkan kalau saya sedang diluar kota pun masih sering mendapat tugas mendadak dan diberikan batas waktu dihari yang sama untuk menyelesaikannya.
Deadline tidak selalu sesuatu yang negatif untuk saya. Seringkali saya malah berterimakasih dengan adanya deadline karena tingkat kreatifitas mendadak diatas rata-rata. Kalau orang bilang sih, bisa karena terpaksa. Iya, awalnya saya menganggap susah untuk menyelesaikan sesuatu sesuai batas waktu yang diharapkan. Tapi kalau sudah mendekati tenggat, entah kenapa ada saja ide yang muncul dan mengalir deras sampai terkadang berlebihan, malah keluar dari jalur dan tidak sesuai dengan yang seharusnya.
Dan satu lagi, saya tipe orang yang perfeksionis. Mengerjakan sesuatu selalu menaruh target yang setinggi-tingginya. Dan tipe orang perfeksionis, tidak bisa mengerjakan sesuatu dalam waktu yang singkat. Butuh waktu lebih untuk membuat segala yang dia kerjakan lebih sempurna dibandingkan pekerjaan orang lain. Misalkan : ketika sedang mengerjakan presentasi di powerpoint, ada saja yang membuat lama si perfeksionis ini. Mengotak-atik tipe huruf, tebal tipis, garis bawah, huruf miring, belum lagi memilih animasi. Sampai teman sering gregetan karena saya selalu mengeluh, merasa pekerjaan saya tidak sempurna. Jadi selain isi dari presentasinya, tampilan luar juga tidak kalah penting buat saya. Selain itu, saya selalu membuat outline tentang apa yang akan saya lakukan. Jadi walaupun mengerjakan dengan waktu yang singkat dengan membuat outline lebih membantu menyelesaikan pekerjaan secara cepat dengan hasil yang mendekati maksimal.
Nah, saya sekarang sedang kejar tayang atau sedang dikejar deadline tesis. Tanggal 24 Desember 2014 (6 hari lagi-tabuh genderang) adalah batas waktu penyerahan draft final tesis. Sebenarnya saya mempunyai waktu yang panjang sejak lulus proposal pada awal Juni 2014. Enam bulan seharusnya waktu yang sangat cukup untuk menyelesaikan tesis. Tapi, ada saja halangan. (Dan alasan sebagai pembenaran diripun mulai dijabarkan), setelah proposal, dosen pembimbing saya liburan ke Belanda satu bulan, saya sibuk les Bahasa Belanda, mempersiapkan pernikahan, menikah, jalan-jalan sebulan, dan terakhir mempersiapkan tes Bahasa Belanda. Setelah lulus tes Bahasa Belanda, tiba-tiba saya tersadar kalau waktu tinggal 1.5 bulan untuk menyelesaikan tesis. Saya panik. Awalnya saya tidak tahu harus mulai darimana karena terus terang setelah sekian lama terbengkalai, saya tidak ingat lagi apa topik tesis saya. Setelah saya mencoba membaca secara perlahan, saya mulai paham. Tapi merasa terlalu susah metode yang saya pilih (milih-milih sendiri, susah menggerutu). Akhirnya saya mencoba mencari metode yang lebih sederhana tetapi tidak keluar jalur dan masih sesuai dengan topiknya. Singkat cerita, karena saya harus menyelesaikan kuliah semester ini (kalau tidak selesai tidak boleh berangkat ke Belanda kata suami. Hiks kejam), akhirnya saya menemukan banyak cara kreatif berhubungan dengan metode. Karena saya kuliah di teknik pasti banyak angka-angka yang bertaburan di tesis saya. Tetapi karena topik tesis saya adalah tentang marketing, diwajibkan juga merangkai kata-kata indah untuk analisa mendalam. Semakin mendekati batas waktu, semakin kreatif saja yang saya rasakan. Entah benar atau tidak secara akademis, yang penting saya mengerjakan sesuai dasar teori, dan benar menurut alur berpikir. Selain mengandalkan daya analisa, kalau sedang kepepet begini, saya juga mengandalkan lobi-lobi. Seperti hari ini, saya menghadap dosen pembimbing dua dan menyodorkan form pendaftaran sidang tesis. Padahal saya belum selesai mengerjakan. Tapi saya “merayu” minta tanda tangan terlebih dulu dengan mengatakan ini itu, jangan lupa pasang muka sendu dan mata yang sayu, supaya tujuan lancar.
Dan ditanggal yang sama, saya harus mengurus visa ke Jakarta. Ah, mendadak heboh. Ya sudah dikerjakan satu persatu. Yakin pasti selesai. Ya minimal bagian ucapan terima kasih sudah saya persiapkan. Menurut saya, inti dari mengerjakan skripsi, tesis atau menulis buku, adalah bagian ucapan terima kasih.
Dan walaupun sedang kejar tayang, masih juga sempat-sempatnya curhat diblog, sempat komentar sana sini, sempat ngegosip sama dosen, sempat… ah, sudahlah, sempat semua ternyata.
Beberapa hari ini saya pulang ke rumah. Kegiatan pagi hari yang saya lakukan ketika pulang ke Situbondo adalah belanja ke tukang sayur dekat rumah. Dalam perjalanan menuju kesana, saya berpapasan dengan teman SD yang rumahnya tidak jauh dari rumah orangtua. Kemudian terjadilah percakapan seperti ini :
“Gimana, sudah hamil belum?”
“Belum”
“Lho, kenapa belum hamil?”
“Kamu sedang bertanya kepada saya, atau sedang bertanya kepada Allah yang berhak menjadikan saya hamil?”
—–Kemudian hening. Jawaban saya terdengar sinis? Mungkin iya.
Saya jarang pulang ke Situbondo, rumah orangtua, kota saya dibesarkan. Paling cepat, satu bulan sekali. Dan ketika saya pulang, otomatis saya juga jarang kemana-mana. Paling jauh ya beli rujak, atau belanja di tukang sayur, atau ke supermarket dekat rumah untuk beli es krim. Saya memang dari kecil tidak terlalu suka bersosialisasi dengan tetangga. Menyapa seadanya, selebihnya tinggal dirumah. Tidak kemana-mana. Ditambah lagi sejak umur 15 tahun saya sudah hidup merantau, tinggal di Surabaya yang menyebabkan tidak mempunyai banyak kawan lagi di Situbondo.
Dengan keadaan seperti itu, otomatis saya pun hampir tidak pernah bertemu dengan teman SD itu dalam jangka waktu yang lama. Terakhir bertemu 4 bulan lalu sewaktu dia menikah, seminggu sebelum pernikahan saya. Seyogyanya, pertanyaan yang lazim adalah “Hai Den, kapan datang? Gimana kabarnya? Suami ikut?” ya, basa basi dulu lah, bukan langsung main tembak dengan melontarkan pertanyaan yang pertama.
Mungkin bagi dia, atau bagi beberapa orang, pertanyaan seperti itu adalah cara mereka untuk berbasa-basi, cara untuk memulai sebuah percakapan. Sama halnya dengan “Gimana kabarnya? Sudah menikah belum?” Buat sebagian orang Indonesia, pertanyaan itu (mungkin dikategorikan) sangatlah lumrah karena masyarakat kita sangat terkenal dengan keramahannya, peduli dengan kabar terkini lingkungannya, yang dikemudian hari saya artikan bahwa antara ramah, peduli dan menuntaskan keingintahuan pribadi perbedaannya sangatlah besar. Karena terlalu peduli dengan kabar orang lainpun menjadikan infotainment di Negeri ini seolah tidak pernah berhenti hilir mudik membombardir tayangan televisi, bahkan dini hari sekalipun –iya, saya pernah menonton yang tayangan dini hari.
Saya sangat tidak bermasalah, tidak sensitif maupun tersinggung jika menjawab tipe pertanyaan yang seperti itu, jika ditanyakan dengan tulus. Bukan ingin menuntaskan keingintahuan yang berujung dengan pertanyaan-pertanyaan penghakiman ataupun pelabelan. Bagaimana saya bisa membedakan yang tulus dan tidak tulus? Ya kalau itu berdasarkan jam terbang. Saya tumbuh diantara pertanyaan “Kenapa belum menikah?” jadi saya sudah tahu dengan pasti mana pertanyaan datang dari hati ataukah yang hanya basa basi.
Sebenarnya pertanyaan “Kenapa belum hamil?” ini bukan hanya sekali dua kali saja ditanyakan. Sejak seminggu menikah, ada teman SMA yang secara khusus mengirim pesan ke whatsapp dan bertanya “Sudah ada hasil?” yang membuat saya tercekat. Mungkin dia pikir satu-satunya tujuan menikah adalah wadah untuk mencetak anak secara legal. Dan mungkin dia pikir ketika pernikahan sudah terjadi artinya mesin pencetak anak sudah mulai berfungsi sehingga anak harus segera terealisasi. Dan rentetan pertanyaan juga bertubi datang dari keluarga. Pada saat hampir bersamaan dengan saya menikah, ada beberapa sepupu juga menikah. Dan sekarang mereka sudah hamil semua. Saya tentu saja senang. Artinya saya akan mempunyai beberapa calon keponakan. Tetapi rasa senang saya terkadang ternodai dengan komentar saudara yang lain. Membandingkan saya dengan sepupu-sepupu yang menurut mereka tingkat kesuburannya jauh lebih baik dari saya. Pernah tidak mereka berpikir sedikit saja tentang apa yang saya rasakan ketika mereka berpendapat seperti itu. Pernah tidak terlintas bagaimana perasaan ibu saya apabila perkataan itu didengar oleh beliau. Saya bisa bersikap tidak peduli karena saya sudah terbiasa dengan omongan dan gunjingan orang. Tapi belum tentu dengan Ibu saya.
Dan sebenarnya pertanyaan seperti itu (mungkin) lumrah terlontar ketika dalam sebuah rumah tangga masih belum dikaruniai anak, tidak peduli jangka waktunya. Apakah baru seminggu menikah, ataupun sudah berpuluh tahun bersama. Yang menjadi tidak santun adalah –seperti yang sudah saya sebut sebelumnya- rentetan penghakiman dan pelabelan yang tanpa ampun datang bertubi. Tidak semua pasangan menjadikan anak sebagai prioritas dalam sebuah pernikahan. Pertanyaan seperti ini yang sekarang menghiasi hidup (baru) 4 bulan pernikahan saya:
“Kamu kenapa belum hamil? Menunda ya? Kenapa harus ditunda? Anak kan rejeki. Rejeki kan dari Tuhan, jadi kalau menunda punya anak, berarti menunda dapat rejeki” <–oh well, yang ngomong seperti ini seperti agen asuransi yang sedang menawarkan investasi jangka panjang yang bernama anak.
“Kamu kenapa belum hamil? Wanita itu punya batas waktu bereproduksi lho. Kalau tidak disegerakan, bisa-bisa susah dan malah ga bisa punya anak nantinya” <– yang inipun tidak kalah menyeramkan, seakan dia Maha Penentu segalanya sehingga tahu pasti apa yang akan terjadi nantinya.
“Kamu kenapa belum hamil? Sudah periksa ke dokter penyebabnya? Takutnya karena telat menikah jadi ada masalah dengan hormonnya” <– belum hamil dan telat menikah dalam satu rentetan kalimat. Well, perfect.
“Kamu kenapa belum hamil? Suami kamu tidak ada masalah kan? Coba diperiksakan saja, takutnya yang bermasalah malah suami kamu. Ya kita kan tidak tahu disana sebelum menikah dia ngapain saja. Takutnya ada penyakit apa gitu” <– Pengen nempelin semacam lakban ga ke mulut orang yang nanya. Kalau saya tidak pernah mempermasalahkan hidup suami sebelum menikah, kenapa dia harus repot berpikir sampai sejauh itu.
“Kamu kenapa belum hamil? Kasihan ibu kamu lho ditanya tetangga dan saudara kenapa anaknya belum hamil juga” <– Kamu kasihan ga sama saya ketika bertanya seperti ini?
Terima kasih untuk segala macam perhatian dan masukannya. Saya sangat berterimakasih sekali. Terima kasih untuk segala doa yang selalu terucap pada saya dan suami utuk segera mempunyai anak.
Namun saya akan lebih berterimakasih jika membiarkan kami menjalani hidup secara normal. Tanpa pertanyaan yang menyudutkan. Tanpa perhatian yang membuat jengah. Tanpa perasaan mencoba peduli yang ujungnya membuat sakit hati. Dan disetiap pertanyaan yang terlontar, sayapun tidak harus menjawab secara rinci tentang rencana hidup kami. Saya akan berbagi cerita hanya dan hanya kepada orang yang saya percaya. Dan hey, kami saja tidak ribet dengan urusan anak.
Mari membiasakan diri untuk memilah dan memilih, mana yang perlu dan pantas untuk diucapkan, mana yang santun untuk dikatakan. Tempatkan diri kita pada lawan bicara. Jika memang tujuannya hanya sekedar basa-basi, pikirkan berulang kali. Tidak masalah berbasa-basi, jika memang betul-betul peduli, bukan menghakimi. Meminimalkan basa-basi, membuat hidup jauh lebih berarti. Hal ini juga menjadi catatan penting buat saya.
Jadi, ketika ada yang bertanya “kenapa kamu belum hamil?” sudah tahu kan saya akan menjawab apa.
Berpikir sederhana sehingga berusaha untuk tidak membencimu karena sesuatu
Bahkan aku selalu berdoa dengan bahasa yang sederhana
Aku hanya sanggup berbuat yang sederhana
Namun jangan paksa aku untuk bermimpi yang sederhana
Karena sesuatu yang berhubungan dengan kamu, tak pernah sederhana
Pengharapanku
Setapak menujumu
Lantunan rasa yang setia bergelayut disetiap langkahku
Dan rajutan doa yang terselip dalam desah asaku
Semua aku lakukan dengan cara yang luar biasa
Karena kamu memang istimewa
Teruntukmu, yang (tak pernah lupa untuk) tersebut disetiap sujudku
-Banjarmasin, 13 Desember 2011-
Selain senang menulis cerita pendek, terapi yang lain ketika perasaaan sedang tidak nyaman ataupun sedang senang, saya juga selalu menumpahkan dalam sebuah puisi. Iya, entah kenapa saya selalu menyukai bertutur melalui sebuah puisi. Puisi bagi saya adalah cara untuk berimajinasi, berkhayal, dan memperkaya kosakata Bahasa Indonesia. Bagaimana tidak, saya selalu melihat padanan kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) setiap saya menulis puisi, agar kata-kata yang tercipta tidak monoton. Seperti yang sudah pernah saya ceritakan sebelumnya disini bahwa salah satu puisi saya pernah masuk dalam sebuah buku antologi. Tapi, apapun itu, menulis bagi saya adalah sebuah kesenangan. Puisi, cerita pendek, maupun tulisan ringan lainnya adalah cara saya untuk berekspresi. Bersyukur kalau ternyata menjadi berguna bagi yang membaca. Makin senang jika membuat jadi bertambah teman dan saling berbagi pengetahuan.
Jadi, apa yang suka kamu lakukan untuk berekspresi?
Video dibawah adalah lanjutan tulisan Mas E tentang Jakarta, One Week In Java (Day 1, Jakarta), yang kami kunjungi akhir Agustus 2014. Mas E saat ini sedang sibuk mengerjakan paper kuliah dan tugas pekerjaannya juga banyak. Jadi saya yang disuruh menulis ini. Mungkin nanti ada tambahan dari Mas E.
Tujuan utama kami ke Jakarta sebenarnya mempunyai misi khusus, yaitu menelusuri jejak keluarga Mas E di daerah Menteng. Jadi, Kakek Mas E, orang Belanda, dulu sewaktu masa pendudukan Belanda (Sebelum tahun 1945, Ibu Mertua lupa tepatnya rentang waktunya) bekerja sebagai Engineering di Pelabuhan Sunda Kelapa. Mereka tinggal di Jalan Surabaya No.40 dan No.12. Menteng, Jakarta. Pada masa itu, Jalan Surabaya masih belum ada Pasar Antik, karena Pasar ini mulai ada sekitar awal tahun 70-an. Karenanya, begitu Mas E bilang kalau sekarang di Jalan Surabaya terkenal dengan Pasar Barang Antik, Ma (panggilan saya ke Ibu Mertua) kaget. Karena pada waktu Ma masih disana pasar antiknya belum ada.
Ma lahir tahun 1937 dan tinggal di Indonesia sampai umur 15 tahun sebelum kembali ke Belanda pada tahun 1953. Karena sejak kecil sampai remaja tinggal di Jakarta, Ma sampai sekarang masih bisa sedikit Bahasa Indonesia. Beberapa kali sepatah-sepatah masih bisa bercakap dengan saya dalam Bahasa Indonesia. Dan sejak mengetahui kalau anak lelakinya akan menikahi wanita Indonesia, Ma seperti bernostalgia dengan masa kecilnya di Jakarta
Kami terkejut ketika menemukan rumah Ma sekarang menjadi Penginapan milik Mabes TNI yang bernama Wisma Wira Anggini I (No. 40). Sedangkan No. 12 masih berbentuk rumah biasa. Memang benar, dulu ketika Kakek Mas E meninggalkan Indonesia, semua aset harus dijual karena menurut Ma, ketentuan dari pemerintah Indonesia ada dua untuk warganegara Belanda setelah Indonesia merdeka. Kalau ingin tetap tinggal di Indonesia, maka harus berganti warganegara menjadi Indonesia, atau jika ingin kembali ke Belanda, harus menjual segala aset yang dimiliki kepada negara. Kakek Mas E memilih yang kedua. Dibawah ini adalah foto-foto yang masih disimpan Ma
Ternyata Mas E memang sudah mempunyai keterikatan sejarah dan emosi dengan Indonesia sejak dulu. Pantas saja memilih wanita Indonesia untuk jadi istrinya *halaahh, informasi ga penting 😀
Nah, setelah misi selesai terlaksanakan, maka saatnya Mas E menikmati suasana Jakarta. Seperti yang sudah diceritakan Mas E sebelumnya, kami keliling Jakarta mengunakan Trans Jkt, Bis Tour City of Jakarta, KRL, bahkan naik angkot. Mas E mendokumentasikan perjalanannya selama di Jakarta dalam video singkat dibawah ini.
Ada cerita lucu dibalik pembuatan video ini. Jadi, di kantor Mas E punya kebiasaan kalau dalam satu team ada yang baru pulang liburan, wajib share pengalaman dan ceritanya pada saat jam makan siang. Pada 9 Desember 2014 kemarin, giliran Mas E yang harus berbagi cerita. Lalu Mas E membuat kompilasi beberapa foto dan Video singkat tentang beberapa tempat yang kami kunjungi selama Mas E sebulan di Indonesia, salah satunya Video tentang Jakarta ini. Nah Mas E bertanya, kira-kira makan siang menunya apa ya yang khas Indonesia. Trus saya ingat ada Restoran Padang Salero Minang yang tempatnya tidak terlalu jauh dari kantor dan bisa delivery order. Karena Mas E pernah makan Nasi Padang sewaktu di Indonesia dan senang sekali dengan yang namanya Rendang, akhirnya pesanlah ke Salero Minang untuk makan siang. Menunya Nasi Rames. Kebetulan satu teamnya (7 orang yang semuanya asli Belanda) belum pernah ada yang makan nasi padang. Ternyata ludes, mereka suka sekali dengan Rendang, si bintang utama. Bahkan minta Mas E alamat Salero Minang. Mau makan disana kata mereka. Ah senang sekali saya bisa memperkenalkan masakan Indonesia ke mereka 🙂
Kemudian Mas E bertanya pada saya, kira-kira lagu apa ya yang cocok dijadikan backsound video singkat ini. Dia menanyakan lagu yang sering diputer adik saya dirumah. Saya bilang itu lagu dangdut, saya tidak tahu karena saya bukan penikmat lagu dangdut. Lalu dia minta saya mencarikan lagu yang temponya cepat. Karena saya suka Sujiwotejo, saya rekomendasikan lagu Nadian. Saya suka lagu ini (meskipun tidak terlalu mengerti artinya) karena dinyanyikan tanpa alat musik. Keren!. Mas E bilang ok, akan memakai lagu ini. Tiba-tiba pagi ini saya membuka video dari youtube yang dia share di Twitter. Tawa saya langsung meledak sepanjang durasi, karena ternyata Nadian berubah jadi Bara Bere yang dinyanyikan Siti Badriyah. Kok yaaa jauh sekali menyimpangnya hahaha. Pantas malam sebelumnya Mas E bertanya ke saya apakah mengetahui lagu Indonesia berjudul Bara Bere? Saya menjawab pernah mendengar, tapi tidak tahu siapa penyanyinya, yang pasti saya tahu kalau itu lagu dangdut. Mas E bilang suka dengan musiknya. Ternyata lagu ini yang dipasang jadi backsound. Duh Mas! Ngerti opo ga isi lagu iki artine opo hahaha. Dan saya baru sadar, Mas E ini ternyata suka sekali dengan lagu Dangdut 😀
Silahkan menikmati Video singkat yang telah dibuat oleh Mas E tentang Jakarta dengan iringan lagu dangdut Bara Bere 🙂
“I have given you my hand to hold, so i give you my life to keep. I promise to support, to honor, and to always respect you because it’s your heart that moves me, your head that challenges me, your humor that delights me, and i wish to hold your hands until the end of my days”