Belanda dan Impian yang Tertunda

Belanda, sebuah negara dimana selama 7 tahun kebelakang saya ingin sekali pergi kesana. Awalnya saya tidak terlalu ambisi karena pada saat itu masih dimasa awal bekerja. Sibuk ini itu sebagai lulusan baru. Kemudian seorang teman menceritakan betapa dia ingin ke Belanda, melanjutkan kuliah disana, ingin berkelana ke Eropa. Saya pun jadi tertarik untuk menelusuri seperti apakah Belanda itu. Beberapa fakta yang saya cari saat itu sama seperti yang tertera pada gambar dibawah ini. Hanya saja saat itu saya mencari versi tahun 2007.

 Fact About Netherlands

Karena latar belakang kuliah saya adalah Statistik, dan bidang kerja adalah Marketing Riset, maka yang perlu saya cari adalah universitas apa yang cocok untuk menampung saya disana, bidang riset apa saja yang bisa saya lakukan, dan bagaimana keilmuan saya bisa beradaptasi disana. Selain itu, karena saya penyuka sesuatu yang berhubungan dengan seni, maka informasi tentang kehidupan berkesenian menjadi sangat penting.

Singkat cerita, akhirnya saya mencari berbagai macam informasi tentang beasiswa ke Belanda. Beberapa kali tes TOEFL di Nesso, tapi selalu gagal, tidak memenuhi syarat minimal yang diajukan. Setiap tahun menghadiri pameran pendidikan di Belanda di Jakarta. Menjadi pengumpul sejati brosur-brosur dan gimmick universitas-universtitas disana. Tekad saya semakin bulat, saya harus kuliah di Belanda. Berkali-kali gagal tidak menyurutkan langkah. Tempelan kata-kata “2009 berangkat ke Belanda” “Ayok Semangat, Belanda menanti” “Bangun, raih Tulipmu. Raih Belanda” dan beberapa kata-kata motivasi lainnya menghiasi dinding kamar, buku agenda kerja sampai layar monitor computer.

Dengan kata-kata motivasi yang saya buat itu, mau tidak mau selalu teringat sampai alam bawah sadar. Tidak hanya di kamar, di buku catatan kerja juga saya tuliskan. Selain itu, ada satu buku yang menjadi penyemangat saya untuk tetap mewujudkan impian itu. Buku Negeri Van Oranje. Berisi tentang dinamika kehidupan mahasiswa S2 di Belanda asal Indonesia. Namun pada suatu saat dipekerjaan, saya dipromosikan dan deskripsi kerja semakin banyak. Saya diharuskan keluar kota dalam jangka waktu yang lama dengan frekuensi yang sering. Dan harapan untuk kuliah ke Belanda semakin jauh dari jangkauan karena kesibukan dan saya yang mulai patah semangat karena tidak kunjung lulus tes TOEFL. Tapi didalam hati kecil, saya selalu mengucap, suatu hari saya akan menginjakkan kaki di Eropa dan Belanda, entah kapan, entah dengan cara apa.

Ketika memutuskan berhenti kerja di Jakarta dan kembali untuk kuliah lagi di Teknik Industri ITS Surabaya pada tahun 2012, saya mulai cari-cari lagi beasiswa short course ke Belanda. Belum berhasil juga karena gagal dalam persyaratan. Malah saya lolos untuk double degree ke Taiwan, namun tidak saya ambil. Akhirnya kesibukan kuliah (kembali) menenggelamkan ambisi saya untuk ke Belanda.

Hingga pada saatnya tiba, saya menikah dengan seorang berkewarganegaraan Belanda. Pertemuan yang tidak diduga, singkat padat jelas kemudian kami menikah. Sebelum menikah, saya diminta ke Belanda oleh orangtua Mas E. Mereka ingin mengenal saya lebih dekat. Juga berkenalan dengan saudara-saudara disana. Sayangnya sewaktu Mei saya kesana tidak bisa dalam waktu yang lama karena sedang kejar tayang untuk seminar proposal tesis. Dan saat itulah pertama kali saya melihat dan memegang bunga Tulip secara nyata di Keukenhof, yang selama ini hanya ada di mimpi saya, melihat di majalah ataupun di media sosial lainnya. Saya terkagum-kagum dengan cara kerja Tuhan yang misterius. Dia selalu bekerja dengan cara yang tidak mampu kita pikirkan. Tidak pernah mengijinkan saya untuk ke Belanda dalam rangka kuliah, malah saya dipertemukan dengan suami asli Belanda dan dalam waktu dekat akan pindah kesana.

Seneng banget bisa sampai Belanda, menghirup udara Eropa. Norak foto depan Schiphol
Seneng banget bisa sampai Belanda, menghirup udara Eropa. Norak foto depan Schiphol 🙂

Yang selalu saya yakini adalah : Tuhan selalu memberikan yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Dia selalu tahu apa yang terbaik untuk kita. Memberikan disaat yang tepat, tidak kurang, tidak lebih. Tidak terlalu cepat, tidak terlambat. Kalau kita merasa Tuhan tidak mengabulkan doa kita, yakin saja bahwa doa kita sedang menunggu saat yang tepat dan dalam keadaan yang lebih baik dari apa yang kita minta. Tuhan itu Maha Segalanya.

Suatu ketika Mas E pernah berkata “Kalau kamu nanti susah dapat kerja di Belanda, lanjutkan saja kuliah di universitas impian kamu.” Dan memang, impian untuk kuliah itu masih saja tersimpan rapi dalam angan saya. Tuhan memberi lebih dari apa yang saya inginkan selama ini. Suami impian, dan harapan untuk kuliah di Belanda.

Lalu, apa impianmu yang terwujud seolah-olah itu adalah sebuah keajaiban?

-Surabaya, 6 November 2014-

 

DSC_9774DSC_9574DSC_9535DSC_9654DSC_9652 (2)DSC_9663DSC_9655 (2)deny-may-2014-netherlands48DSC_9764 (2)

DSC_9638deny-may-2014-netherlands11

33% – 67%

Those are the cold statistics when measuring the percentage of time we actually spend together since our marriage (33%) versus the time were forced to live apart (67%). Although we are supposed to live in an age of globalisation, this certainly does not hold up when you choose a partner that coincidentally does not come from the same country you live in.

Then you will find yourself confronted with larger-than-life entities without faces and names, but that come to you through mail addresses, forms and service desks. These entities have no face, they know no emotions and their names usually come as an abbreviation. So far Deny has successfully passed her exam that tells the authorities that she knows enough of the culture and language to cope with Dutch society. It sometimes feel that we are in an episode of Fear Factor goes Kafka. Instead of eating creepy insects we have to deal with getting things done at bureaucratic institutions.

At this moment we have delivered an impressive amount of documents at IND, the Dutch immigration and naturalisation organisation that will ultimately decide on our faith when we will be allowed to live together again as a pair.

Cuti Facebook

Tulisan ini terinspirasi dari Kebablasan Berbagi di Sosmed

Sudah lebih dari sebulan saya sedang “cuti” dari dunia per-Facebook-an. Awalnya karena saya memang sedang fokus untuk ujian bahasa Belanda. Ditambah lagi saya sedang dikejar-kejar dosen pembimbing pada saat itu karena sudah lebih dari 3 bulan tidak menghadap beliau untuk bimbingan. Pastinya saya tidak bimbingan, karena saya menikah, dilanjutkan jalan-jalan sebulan bersama Suami. Otomatis lupa dengan yang namanya Tesis.

Nah, atas nama ingin fokus, saya memutuskan untuk cuti dulu dari hingar bingar dunia Facebook (FB). Selain alasan (sok) serius diatas, saya juga punya alasan (sok) bijaksana. Saya introspeksi diri, sepertinya beberapa waktu kebelakang saya terlalu banyak “pamer” di FB. Merasa banyak hal yang saya posting hanya ingin memenuhi kebutuhan untuk memuaskan ego. Ego ingin diperhatikan maupun cari-cari perhatian. Seringnya yang saya lakukan adalah posting foto jalan-jalan maupun sedang makan dimana atau foto hasil masakan saya. Niatnya memang tulus ingin berbagi informasi tempat-tempat yang bagus untuk dikunjungi, tempat makan yang asik, ataupun berbagi resep masakan. Tapi lama-lama saya kok merasa terlalu berlebihan berbagi infonya. Merasa “kok aku kayaknya pamer gini ya.” Walaupun tidak bisa dipungkiri, dijaman sosial media yang mewabah ini, pamer adalah salah satu modus operandi yang tidak bisa terelakkan *modus operandi, kok kayak penjahat :D.

Alasan yang lain, saya merasa pertemanan di FB sudah tidak sehat lagi. Saya sering membaca status dari beberapa teman yang hawanya tidak positif. Mengeluh, menghujat si Anu, mengomentari si Itu, melontarkan sindiran, bahkan secara terang-terangan mengecam beberapa hal yang sebenarnya jauh dari jangkauan mereka. Jadi teringat beberapa waktu lalu saat Indonesia sedang heboh dengan pesta demokrasi. Saling serang antar pendukung, saling melontarkan status yang tak pantas, merasa (paling) benar sendiri, sampai saling unfriend karena ngotot sampai bertengkar di kolom komentar. Lha kalau sampai seperti itu mereka dapat apa sih. Hanya ingin melampiaskan nafsu semata. Saya yang memang apatis dengan dunia politik, hanya senyum-senyum gerah membaca perang status dan perang komentar. Sementara yang lain sedang berlomba-lomba dengan status dunia politiknya, saya konsisten pasang foto jalan-jalan dan makanan. Lha wong ga paham mau ngomong apa tentang politik. Setelah pesta demokrasi berlalu, beberapa orang tidak bisa move on. Tetap menjadi komentator utama dengan status sinis dan menjatuhkan terhadap pemerintahan sekarang. Ya wes lah ya, mau nuntut apalagi. Masak iya musti gegoleran di aspal, atau nangkring di menara sutet, atau nyemplung ke laut ketika jagoannya ga jadi Presiden.

Pada saat itu, saya sampai (ikut-ikutan) unfriend beberapa orang, karena merasa sudah tidak kuat lagi membaca status yang “menyesatkan”. Beberapa ada yang sampai mengirim email atau mengirim sms “kamu unfriend aku ya, kok ga ada lagi di daftar temenku.” Dan saya menjawab “Iya, aku mau hidupku tenang. Berteman dengan kamu didunia maya bikin jiwaku ga sehat.” Oh, bagi yang belum mengenal saya, jawaban saya memang sadis. Tapi bagi yang sudah tahu, mulut saya memang silet berjalan. Maksudnya saya tidak pintar berbasa-basi. Berbicara apa adanya. Tapi saya melakukan itu juga pilah pilih orang. Tidak pada semua orang saya melakukan hal tersebut. Sebagai orang yang berkecimpung di dunia Marketing, tentunya saya juga lihai untuk berbasa-basi. Intinya, fleksibel lah mulut silet saya. Sudah tahu kapan waktunya bekerja, kapan waktunya diam ^^. Ada yang sampai menelepon Ibu saya menanyakan kenapa saya tidak pernah muncul lagi di FB. Ketahuan kan sebelumnya saya terlalu aktif dan berlebihan di FB, sampai ngilang sebentar saja sudah dicari.

Nah, setelah beberapa waktu cuti dari FB, saya kok merasa lebih nyaman ya. Tidak tahu kenapa, hanya merasa nyaman saja. Tidak lagi harus membaca status-status negatif, tidak lagi harus membaca komentar yang saling menjelekkan, tidak lagi harus membaca status yang merasa benar sendiri, dengan menjelekkan yang tidak segolongan dan sebagainya. Dan lagi, waktu saya lebih produktif. Karena sebelumnya, saya bisa menghabiskan waktu yang lama kalau sudah main FB, beberapa kali sehari. Tentunya tidak semua teman-teman di FB saya yang auranya negatif. Lebih banyak yang menyenangkan kok. Terima kasih buat teman-teman yang tetap menjaga dan menyebarkan energi positif. Sekarang saya bisa memanfaatkan lebih banyak waktu untuk tesis dan mengurus kepindahan saya ke Belanda. Kalau begini, saya merasa ternyata memang perlu untuk mundur sejenak dari keramaian FB. Ya, mungkin memang saya yang salah memilih teman. Atau saya memang sedang jenuh dengan FB dan mencoba membuka arena “pamer” ditempat yang berbeda.

Lalu kemana saya sekarang? Saya kembali lagi menjadi anak (sok) gaul Twitter dan Instagram. Kalau twitter saya senang karena sarat informasi, dan komentar-komentarnya juga lucu-lucu. Selain itu, saya pernah menang kuis di twitter. Lumayan kan dapat hadiah. Kalau instagram, saya senang melihat foto-foto tempat dari seluruh dunia. Keindahan dan cerita dibaliknya. Juga foto-foto masakan. Jadi adem dan merasa termotivasi ingin ke tempat-tempat tersebut, atau mendapatkan inspirasi untuk membuat masakan tertentu. Dan beberapa kali ikut kuis juga di Instagram, tapi tidak menang *lho saya kok jadi semacam wanita pemburu kuis ya 😀

Dan yang terpenting adalah saya punya lebih banyak waktu untuk melakukan hal-hal positif. Ngurusin blog yang sudah dibuatkan Suami salah satunya, karena blog saya sebelumnya mati suri. Berkenalan dengan teman-teman diseluruh penjuru dunia lewat blog. Berbagi cerita, kisah  suka, duka dan segala pernak pernik kehidupan. Atau mungkin ada yang mau menyebut saya sedang pamer cerita lewat blog. Iya, saya memang sedang membangun relasi pertemanan lewat “pamer” dengan cara yang berbeda. Membuka wacana saya tentang kehidupan diluar sana. Tidak hanya sekedar status “Haduh hujan nih ga bisa ngapa-ngapain” atau “Ya Tuhan, semoga hari ini semua berjalan lancar” <–mungkin Tuhan punya akun FB ya sampai berdoa pun di FB (semoga saya tidak pernah melakukan ini), atau status-status yang saling menjatuhkan karena merasa golongan mereka paling baik dan memandang orang-orang diluar mereka derajatnya lebih rendah. Atau yang setipe dengan saya, nyinyir.

Sudah tahu kan sekarang kemana kalau mau mencari saya? ^^

Segala sesuatu yang berlebihan itu (pada umumnya) tidak baik. Termasuk berlebihan di Facebook.

Jadi, bagaimana pertemananmu di Facebook?

-Surabaya, 5 November 2014-

Tuan Bersuara Merdu

Tuan, aku melihatmu terpaku menatap bulir hujan yang perlahan luruh ke tanah aspal didepan kedai kopi. Sudah satu jam berlalu, bahkan kopimu pun sudah mulai membeku. Namun rahang kerasmu tetap termangu menatap rintik air yang menari riang, seolah ingin mengajakmu berdendang.

Tuan, aku duduk disudut ruang, hanya mampu menatapmu bimbang. Tanganku gelisah memainkan cangkir yang tak berisi apa – apa, pun air yang tak berwarna. Menggerakkan kaki dengan irama tak berarah, gelisah. Aku mencoba bertahan hanya untuk sekedar menatap lekuk indah wajahmu, ingin merasakan setiap hembusan hangat nafasmu, walaupun semua hanya dalam imajinasiku karena kita terpisah oleh rindu.

Tuan, biarkan aku menebak apa yang engkau pikirkan. Sebenarnya aku tidak pintar membaca isi kepala, namun aku sudah terlatih meraba isi hati, apalagi hatimu. Berhentilah berpura – pura karena kita tidak lagi di era mereka, gadis berkepang dua dan anak lelaki bercelana pipa,  yang saling menyatakan cinta tanpa berani bertatap mata.

Tuan, jangan mengikat terlalu erat pada masa lalu. Nanti engkau merasa nyaman disitu dan tak mau beranjak menuju awal yang baru.

Tuan, aku bukan ingin menunggu. Aku hanya ingin mempersilahkanmu untuk menghampiriku dan melantunkan semua mimpi yang telah engkau susun dikepalamu. Meracaukan kastil asa yang kau bangun melalui lempengan doa.

Tuan, aku bukanlah cermin yang indah untukmu dan kau bukan pula cermin yang sempurna untukku. Kita hanyalah dua insan yang terperangkap bisu, saling bertumpu pada gerimis waktu.

Tuan, Tuhan tidak akan pernah menangkupkan tangan kita jika kau tidak berusaha untuk menelusupkan jemarimu diantara hangat kepalan tanganku, lalu menggenggam dan membawanya menelusuri ruang hatimu.

Tuan, aku tidak mau banyak bicara ataupun bertanya. Teriring doaku yang selalu menyelimutimu sampai saatnya nanti aku dan kamu bersatu.

Untukmu, yang selalu kusebut dengan, Tuan bersuara merdu.

-Jakarta, 8 Agustus 2011-

Gambar dipinjam dari sini

Secangkir Kopi

“Bukan sebuah kebetulan bila kolonial Belanda mengintroduksi tanaman kopi ke bumi Nusantara. Tentu juga bukan sebuah kebetulan bila rakyat atau petani kecil mengikuti jejak kaum kolonial menanam kopi di pekarangan rumah ataupun di ladang-ladang mereka.”

-Secangkir Kopi Meracik Tradisi-

 Minum kopi bukan sekedar kebiasaan bagi masyarakat Indonesia, bahkan sudah membudaya. Lihat saja, banyak sekali gerai minum kopi bertebaran di negeri ini. Dari kelas warung sampai kelas coffee shop. Minum kopi merupakan media bagi mereka yang ingin berkumpul dengan teman, kolega, maupun kerabat serta orang tersayang untuk saling menyapa, bahkan hanya sekedar ingin melepas lelah. Dalam secangkir kopi ada kehangatan diantara riuh tawa, ada keakraban dalam hangatnya sapa, serta ada cinta untuk mereka yang sedang larut dalam asmara. Secangkir kopi, bukan hanya sekedar pengisi waktu luang, melainkan sebuah ritual. Kopi, bisa menjadi sebuah candu. Namun kopi juga mampu menjadi pengobat rindu.

Lalu, apa hubungan tulisan saya ini dengan secangkir kopi? Saya akan bercerita dari awal. Blog bukanlah hal baru bagi saya. Beberapa kali pindah tempat. Tergusur di multiply, tidak sempat menyelamatkan tulisan, tapi beberapa sudah terdokumentasikan dengan baik. Lalu pindah ke blogspot dengan judul blog adalah Selimut Kedamaian. Isi dari blog saya ini hampir sebagian besar adalah puisi. Iya, saya senang sekali berpuisi. Saya selalu menikmati bermain dengan imajinasi dan kata-kata. Apalagi jika dalam keadaan tertekan atau suasana hati yang tidak nyaman, pasti lancar sekali jemari saya dalam bermain aksara. Maklumlah, pada masa itu saya sedang diusia yang resah gundah gulana. Jadilah blog saya ajang curhat tersamar lewat puisi. Maksud hati ingin bikin blog dengan isi yang damai-damai, karenanya selimut kedamaian menjadi judul blog saya. Realitanya malah curhat selipan

Suatu ketika, saya menerima email dari seseorang yang tidak saya kenal. Rupanya dia membaca blog saya dan menyukai beberapa puisi yang saya tulis disana. Dia meminta ijin untuk menyertakan satu puisi saya untuk antologi puisi yang akan dia buat dalam rangka amal. Jadi hasil penjualannya untuk amal. Tentu saja saya senang. Lumayan, numpang tenar 😀

 Untukmu Pena Inspirasi

Dan setelahnya ada beberapa tawaran untuk menulis cerita pendek di beberapa antologi. Semuanya berawal dari ngeblog dan Twitter sebagai perpanjangan tangannya. Kesenangan yang membuat banyak jalinan pertemanan.

Kumpulan Buku

Tapi setelah memutuskan kuliah lagi, dari yang awalnya mbak-mbak kantoran banyak waktu luang buat nulis, saya menjadi tidak produktif dalam menulis, apapun itu. Puisi, cerita pendek, ataupun hanya sekedar kisah sehari-hari. Waktu dan pikiran saya bener-benar tercurah dengan segala macam dinamika perkuliahan. Hobi menulis saya tersalurkan menjadi menulis tugas-tugas kuliah yang datangnya seperti rentetan peluru, bertubi-tubi. Walhasil selama 2 tahun belakang saya benar-benar vakum.

Nah, sekarang saya punya blog baru. Dibuatkan sama suami. Biar saya rajin nulis lagi katanya. Dia membuat blog ini buat kami berdua. Jadi kalau sesekali ada postingan dalam bahasa Belanda atau bahasa Inggris, berarti dia yang lagi posting. Kecuali saya lagi kesurupan, trus lancar nulis dalam 2 bahasa tersebut.

Cita-cita mulia saya adalah blog ini bisa menjadi seperti secangkir kopi. Mampu membuat orang-orang yang membacanya merasa hangat, senang, gembira ataupun segala macam rasa menjadi satu. Membuat saya mempunyai banyak teman baru dan saling bertukar cerita.

Jadi, mari seruput secangkir kopi, dan duduk bersama disini ^^

Saya dan suami bukan penikmat kopi. Saya air putih mania, dan suami penikmat teh dan rempah-rempah yang setia. Tapi saya menyukai aroma kopi

-Surabaya, 1 November 2014-

 

Gambar halaman depan dipinjam dari sini

Wedding Day

On August 9th 2014 we tied the knot. It was a beautiful day for us that we will always remember with a lovely memory. Images from the wedding day are now online! Soon they will be followed by the images of our honeymoon.

 

Watch our wedding images here.

Wedding ring picture from private collection

Together Forever

Let’s build a future
Let’s make it fast
Let’s share a history
That was meant to last
Let’s move on forward
In love You and I
Together .. Forever

-Penggalan lirik lagu yang diciptakan oleh Mas E dan dinyanyikan pada hari pernikahan kami-