Masih dalam rangkaian Catatan Perjalanan jalan-jalan bulan Agustus – September 2014
Setelah dari Bali (Cerita Perjalanan di Bali bisa klik disini), maka perjalanan kami lanjutkan menuju Kota Ambulu, Kabupaten Jember. Mengapa ke Ambulu? Karena saya dilahirkan di Ambulu. Saya anak pertama dari 3 bersaudara. Kami sekeluarga sebenarnya tinggal di Situbondo. Tapi saya dan kedua adik dilahirkan di Ambulu yang merupakan kota asal Bapak. Ambulu adalah kecamatan di Kabupaten Jember, ProvinsiJawa Timur, Indonesia. Wilayah selatan kecamatan ini berbatasan dengan Samudera Hindia dengan pantai yang terkenal Pantai Watu Ulo dan Pantai Papuma. Kecamatan Ambulu mempunyai luas wilayah 104,56 Km² dengan ketinggian rata-rata 35 m di atas permukaan laut (Sumber : Wikipedia). Kami sekeluarga masih sering pergi ke Ambulu meskipun Bapak dan Mbah sudah meninggal. Ambulu kotanya nyaman, sejuk dengan masyarakatnya yang ramah (ramah yang tulus bukan kepo), setidaknya itu yang saya rasakan.
Mas Ewald ingin mengetahui lingkungan dimana saya dilahirkan dan ingin mengenal lebih jauh saudara-saudara yang ada disana. Kami menginap dirumah Bude karena kediaman Mbah yang biasanya saya dan keluarga tempati jika sedang di Ambulu, dalam tahap renovasi. Sejak sampai di Ambulu, Mas Ewald sudah sangat suka dengan lingkungannya. Tenang, tidak terdengar bising kendaraan lalu lalang, khas kota kecil, apalagi kami tinggal didesanya. Benar-benar nyaman dijadikan sebagai tempat istirahat, kalau malam hanya terdengar suara jangkrik dan kodok, suara adzan mengalun syahdu saat menjelang subuh. Bahkan Mas Ewald sudah punya cita-cita akan tinggal di Ambulu kalau sudah pensiun nanti. Selama 2 hari di Ambulu, Mas Ewald banyak mengenal hal baru. Pertama kali melihat kelapa yang langsung diambil dari pohon. Baru mengetahui tanaman sereh, jahe, dan beberapa tanaman bumbu lainnya yang langsung diambil dari tanah. Makan buah yang langsung dipetik dari kebun. Sayuran yang langsung diambil dari sawah. Dia senang karena semua makanan yang dia makan selama disana segar. Mandi dari air sumur, benar-benar segar dibadan. Saya senang karena bisa memperkenalkan kekayaan alam Indonesia dimulai dari lingkungan terdekat. Saya bahagia karena suami semakin kaya pengetahuannya akan Indonesia.
Malamnya Mas Ewald bercengkrama dengan beberapa saudara. Dalam satu desa ini, nyaris semua penduduknya masih mempunyai ikatan saudara. Meskipun dengan Bahasa Indonesia yang terbatas, tapi dia sangat menikmati berkumpul dengan mereka. Tertawa, menyimak beberapa hal, dan menceritakan tentang Belanda. Kalau seperti ini, bahasa tidak menjadi kendala utama lagi. Yang paling penting adalah saling memahami. Menjelang tidur, dia berkata bahwa menyenangkan mempunyai banyak saudara, karena di Belanda dia berasal dari keluarga yang sangat kecil. Mas Ewald merasakan kehangatan berkumpul dengan keluarga baru di Indonesia. Jadi memang benar, pernikahan itu bukan hanya tentang cinta 2 manusia, tetapi memperkenalkan budaya dan keluarga yang berbeda.
Keesokan paginya, saya membawa Mas Ewald ke Pantai Papuma yang terletak tidak jauh dari tempat tinggal kami, hanya 10 menit berkendara.
PANTAI PAPUMA
Sebenarnya di Jawa Timur memiliki banyak sekali pantai-pantai yang eksotis. Papuma adalah salah satunya. Pantai Papuma terletak diwilayah kabupaten Jember Kecamatan Ambulu, tepatnya didesa Sumberejo. Jalan menuju Pantai Papuma harus melewati tanjakan dimana kiri dan kanannya adalah hutan yang sebagian besar ditanami pohon jati, palem, serut dan beragam pohon kecil lainnya. Jalan ini pada saat Agustus kami kesana sedang rusak. Aspal yang berlubang disana sini membuat para pengendara harus esktra hati-hati mengendarai sepeda motor ataupun mobil.
Disepanjang Pantai Papuma terhampar pasir putih yang bersih dan indah. Meskipun ombak di pantai ini tidak terlalu tinggi tetapi tidak diperbolehkan untuk berenang karena Pantai Papuma merupakan gugusan pantai selatan yang terkenal dengan ombaknya yang tidak bersahabat. Papuma merupakan singkatan dari Pasir Putih Malikan. Malikan adalah nama yang diberikan Perhutani setelah membuka lokasi wisata ini. Kata Tanjung ditambahkan didepannya menjadi Pantai Tanjung Papuma yang menggambarkan posisi pantai yang menjorok ke laut barat daya. Selain pantai, hutan dikawasan ini juga menjadi daya tarik wisatawan karena ada beberapa hewan seperti orang hutan, ayam hutan, dan burung yang berkeliaran.
Pantai Papuma juga terkenal dengan karang-karang besar yang diberi nama tokoh pewayangan. Tempat makan banyak terdapat didalam kawasan pantai ini. Menu yang ditawarkan tentu saja sekitar makanan laut. Terdapat beberapa penginapan juga yang disewakan oleh pihak Perhutani jika ada wisatawan yang ingin menginap dengan harga yang bervariasi.
Bagaimana, tertarik untuk mengunjungi Pantai Papuma? Atau sudah pernah ke Papuma?
Catatan Perjalanan bulan madu kami selanjutnya adalah Karimunjawa. Pulau Karimunjawa memberikan kesan yang tidak terlupakan buat kami dalam proses pengenalan satu sama lain juga keindahan alam dan lautnya. Ingin tahu ceritanya? silahkan klik disini.
Update : Ini sebenarnya postingan lama, tapi gara-gara saya ngubek folder foto, akhirnya menemukan foto-foto liburan saya dengan teman-teman sekitar tahun 2009 di Jogja, akhirnya saya update sekalian rekomendasi tempat makan yang di Jogja. Saya posting ulang siapa tahu ada yang akan ke Jateng libur panjang besok dan ingin wisata kuliner.
Menjelang akhir pekan seperti ini rasanya ingin ngabur sebentar buat jalan-jalan ya. Melepaskan sedikit penat karena rutinitas harian yang tidak ada habisnya. Kalau menuruti pekerjaan, memang tidak akan pernah selesai. Perlu sesekali memanjakan diri untuk berlibur disuatu tempat, membuat rileks pikiran dan badan. Tidak harus jalan-jalan serius, wisata kuliner juga bisa membuat hati senang. Tidak harus makanan yang mahal, yang penting hati riang.
Saya dan Mas Ewald suka makan dan mencoba beragam makanan baru, kecuali unggas dan daging buat saya. Nah, mumpung Mas Ewald sebulan di Indonesia, saya ingin memperkenalkan beragam makanan Indonesia. Supaya dia tahu kalau makanan Indonesia itu tiada duanya dan selalu membuat kangen siapapun yang merantau keluar negeri.
Dibawah ini beberapa tempat makan yang kami datangi ketika jalan-jalan pada bulan Agustus 2014 di 3 kota yaitu Semarang, Jogjakarta, dan Solo. Tempat makan di 3 kota ini kebanyakan saya kenal karena pernah mendatangi sebelumnya (saya sering ditugaskan di 3 kota ini sewaktu bekerja). Jadi bukan dari rekomendasi atau tempat yang jadi rujukan website travelling, melainkan dari pengalaman pribadi. Tetapi ada juga tempat yang kami datangi karena tidak sengaja, kepepet sudah kelaparan dan malas mencari tempat lainnya, eh ternyata tempatnya nyaman.
Restoran Bandeng Juwana yang terletak di Jalan Pandanaran ini saya ketahui pertama kali sewaktu sering ditugaskan ke Semarang oleh kantor. Awalnya tidak tahu kalau dipusat oleh-oleh ini terdapat tempat makan di lantai 2. Tempatnya nyaman, makanannya enak, harga bersahabat. Kami 2 kali makan ditempat ini. Oh iya, kita juga bisa memesan lumpia dengan bermacam variasinya di lantai satu, kemudian diantar ke lantai 2.
2. Noeri’s Cafe
Jl. Nuri no. 6 – Kota Lama, Semarang
Nah, Cafe ini tidak sengaja kami temukan karena aslinya salah jalan. Jadi setelah membeli tiket ke Jakarta dari Stasiun Tawang, kami ingin ke Gereja Blenduk. Tapi kami tidak tahu arah kesana lewat jalan mana. Akhirnya kami gambling lewat jalan kecil, persis depan stasiun. Ketika berjalan melewati tempat ini, kami merasa tidak ada yang spesial. Seperti Cafe biasa pada umumnya. Mas Ewald sempat berhenti untuk mengambil gambar dari depan. Tiba-tiba dari dalam ada seorang lelaki yang mempersilahkan masuk. Kami ragu-ragu karena memang tidak berencana untuk makan, selain itu hari sudah menjelang malam. Tapi Mas Ewald bilang, mampir saja sebentar. Setelah masuk, Wow! kami ternganga. Interiornya benar-benar vintage dan barang-barang yang ada disana antik semua. Jadi Cafe ini memang didirikan untuk menyalurkan hobi pemiliknya yang merupakan kolektor benda antik professional, Pak Handoko. Tema Cafe ini adalah kolonial. Mas Ewald tentu saja girang melihat banyak benda yang sangat Belanda. Lebih lengkap tentang Noeri’s Cafe akan saya ceritakan lengkap pada postingan berbeda. Pada akhirnya kami tidak menikmati makan dan minum disini, hanya tour singkat yang dipandu oleh salah satu pengelola Cafe yaitu Pak Wawan. Saya sempat melihat sekilas menu makan dan minum, tidak berbeda dengan Cafe pada umumnya. Makanan dan minuman ringan. Jika ingin mencari alternatif Cafe dengan suasana yang berbeda, sangat disarankan ke Noeri’s Cafe
Pasti sudah tidak asing lagi dengan nama Toko Oen. Toko yang terkenal dengan es krim yang rasanya super lezat itu, terletak tidak jauh dari kota lama Semarang. Toko Oen adalah toko roti dan kue pertama di Yogyakarta yang berdiri tahun 1922. Berikutnya menyusul dibuka di Semarang, Malang dan Jakarta. Akan tetapi, tahun 1958 Toko Oen di Yogyakarta dan Jakarta ditutup, sementara yang di Malang dibeli seorang pengusaha. Kini hanya tersisa Toko Oen di Jalan Pemuda 52, Semarang. Toko Oen di Semarang telah berdiri sejak 1936, bangunannya barcat putih dengan kaca besar dan pintu kayu yang masih lekat nuansa klasik. Toko Oen dibangun dengan model jendela dan atap melengkung tinggi meniru desain yang popular di Eropa abad ke-19. Interior bangunannya masih asli ditambah langit-langit yang tinggi dan digantungi lampu-lampu elegan. Furniture resto ini juga menarik karena dilengkapi sebuah mesin kasir tua, jam kayu kuno besar, dan sebuah piano kuno berwarna hitam. Suasana ruangannya menenangkan berpadu dengan lagu-lagu klasik yang mampu membangkitkan nostalgia. Tepat di depan pintu masuknya terpampang etalase dan toples kaca besar berisi kue-kue kering. Sejak dulunya Toko Oen merupakan tempat makan orang-orang Belanda. Bahkan hingga kini pun toko ini tetap menjadi tujuan wajib wisatawan asal Belanda yang datang ke Semarang. (sumber : Wonderful Indonesia)
Mas Ewald senang sekali disini karena suasananya yang kental dengan negeri Belanda. Kami sebenarnya tidak membeli makanan yang banyak. Hanya mencicipi Es Krim yang terkenal enaknya. Niatnya ke Toko Oen sih ingin menumpang Wifi. Duduk berlama-lama hampir satu jam dengan bermodalkan segelas Es Krim. Tapi benar, Toko Oen sangat kami rekomendasikan selain tempatnya yang nyaman juga Es krimnya yang lezat.
4. Bakmi Djowo Doel Noemani
Nah, Bakmi Djowo ini juga tidak sengaja kami temukan. Setelah selesai Mas Ewald Tour Lawang Sewu, kami merasa lapar, tapi tidak ingin makanan yang terlalu berat. Kami sepakat untuk makan seadanya yang kami temukan sepanjang jalan menuju hotel. Ternyata didepan hotel Amaris, tempat kami menginap, ada tempat makan yang pembelinya terlihat banyak sekali. Tanpa pikir panjang kami pun menghampiri. Ternyata Bakmi. Setelah bakmi yang kami pesan datang, dan karena kelaparan, kamipun makan tanpa banyak bicara. Rasanya enak sekali. Kami memesan Bakmi Goreng. Mas Ewald sampai tambah 1 piring lagi. Mas, luwe nemen yo kok sampek nambah hehe. Porsinya menurut saya pas, tidak terlalu banyak maupun sedikit. Harganya juga tidak mahal per porsinya Rp 8000 kalau tidak salah ingat untuk sepiring Bakmi Goreng. Yang membutuhkan tempat makan dimalam hari, datang saja ke Bakmi Djowo Pak Doel Noemani.
JOGJAKARTA
1. Pasar Bringharjo
Setiap ke Jogjakarta, saya tidak pernah absen menyempatkan diri untuk sarapan di bagian depan Pasar Bringharjo. Rasa makanannya khas rumahan dan pilhan makanannya beragam. Tempat makan depan Pasar yang terletak di Jalan Malioboro ini menyedikan segala macam jenis sate, pecel, mie, baceman, gudeg, dan lainnya. Harganya tentu saja sangat bersahabat. Kalau sudah disini, dipastikan pasti kalap mata. Rasanya semua ingin disantap. Silahkan mampir kesini jika ingin mencari alternatif tempat untuk sarapan
2. Jejamuran
Jl. Magelang KM 10 Yogyakarta /Sleman
Jejamuran ini salah satu tempat yang saya selalu kunjungi jika mendapat tugas kantor ke Jogjakarta. Saya mengajak Mas Ewald kesini karena ingin menunjukkan bahwa jamur bisa diolah menjadi berbagai jenis makanan yang sangat lezat. Kami ke Jejamuran ini setelah dari Borobudur. Jadi kami turun di perempatan sleman, kemudian jalan kaki sekitar satu kilo ke arah kiri dari perempatan sleman arah dari Borobudur. Untuk menuju ke Jejamuran, tidak ada kendaraan umum yang melintas karena tidak terletak dijalan besar. Jejamuran berdiri sejak tahun 1997 dan pemiliknya adalah Pak Ratidjo, seorang pengusaha jamur. Semua menu yang tersedia disini berbahan dasar Jamur. Cocok untuk mereka yang vegetarian. Jika ingin berkunjung, tempat makan khas jamur ini buka dari pukul 10.00 WIB hingga pukul 21.00. Sekedar saran, jika datang pada siang hari, usahakan sebelum jam makan siang, karena bisa dipastikan restoran yang memiliki parkir luas ini, penuh pengunjung terutama para pegawai kantor di seputaran Kota Yogyakarta. Rasa enak, namun harga tidak menguras kantong.
Restoran Legian ini juga salah satu tempat yang kami temukan tanpa sengaja. Jadi, pada saat itu seharian kami penuh drama menuju Museum Ullen Sentalu. Akses kendaran umum yang susah menuju dan dari Ullen Sentalu-Jogja membuat energi kami terkuras karena harus berganti berkali-kali kendaraan umum. Setelah turun dari TransJogja, kami memutuskan untuk makan di mall Malioboro saja karena malas dan terlalu capek kalau harus cari-cari lagi tempat makan. Tiba-tiba sebelum mall persis kami melewati tempat ini. Saya bilang ke Mas Ewald, yuk kita lihat sebentar. Setelah naik kelantai 2, kami langsung suka dengan tempatnya. Konsepnya adalah restoran diatap semi outdoor yang berkonsep kebun. Jadi suasananya sejuk karena semilir angin juga romantis karena seperti makan ditengah kebun ditemani temaram lilin. Makanannya enak, harga tidak terlalu mahal, suasananya pun romantis. Perfect!. Oh iya, saya melihat pengunjungnya banyak yang bule.
4. The House Of Raminten
Jl. FM Noto 7, Kotabaru, Yogyakarta
The House of Raminten juga tempat makan yang selalu saya kunjungi jika ke Jogja. Menurut saya, rasa makanannya sangat biasa dan harganya murah meriah. Tapi entah kenapa meskipun rasanya biasa, saya selalu ingin kembali datang kesini. Mungkin saya suka dengan suasananya yang unik. Jadi sejarah The House of Raminten adalah diawali dari hobby, Hamzah.HS yang sangat menyukai makanan dan minuman tradisional yaitu jamu dan sego kucing dan juga rasa sosialnya yang tinggi akhirnya Hamzah.HS membuka suatu peluang usaha yang diberi nama The House of Raminten. Dimana nama Raminten adalah nama tokoh yang diperankan oleh Hamzah HS dalam sebuah sitcom di Jogja TV yang ditayangkan setiap Minggu jam 17.00 dengan judul Pengkolan. The House Of Raminten sendiri buka 24 jam dengan nonstop musik gamelan. Untuk lebih lengkap tentang sejarahnya, bisa dibaca disini
Selain nama-nama menunya yang unik, pramusajinya juga selalu menggunakan kostum yang khas. Selalu menggunakan kemben atau kebaya untuk wanitanya, berjarik dan berompi untuk yang pria.
5. Gudeg dan Ronde
Makanan lainnya yang tidak boleh lupa untuk dicicipi ketika datang ke Jogjakarta tentu saja Gudeg dan Ronde. Waktu itu, kami tidak memilih secara khusus pergi ke Gudeg yang terkenal di Jogja. Kami makan gudeg pun karena sudah lapar setelah berkeliling di Keraton Jogja. Jadi kami makan seadanya disekitaran pintu keluar Keraton Jogja. Saya dan Mas Ewald sama-sama bukan penyuka manis. Jadi untuk Gudeg, kalau tidak terpaksa, kami akan mencari alternatif makanan yang lainnya.
Sedangkan Ronde, kalau malam pasti banyak sekali ditemui disetiap sudut Jogja. Kami menikmati wedang ronde didepan hotel kami menginap, yaitu Ameera Boutique. Wedang Ronde merujuk pada air jahe panas (wedang adalah bahasa Jawa yang merujuk pada minuman panas) yang disajikan bersama dengan ronde. Air jahe juga bisa menggunakan gula kepala, diberi taburan kacang tanah goreng (tanpa kulit), potongan roti, kolang-kaling, dan sebagainya. Sedangkan ronde adalah makanan tradisional China dengan nama asli Tāngyuán (Hanzi=湯圓;penyederhanaan=汤圆; hanyu pinyin=tāngyuán). Nama tangyuan merupakan metafora dari reuni keluarga (Hanzi=團圓;penyederhanaan=团圆) yang dibaca tuányuán (menyerupai tangyuan). Ronde terbuat dari tepung ketan yang dicampur sedikit air dan dibentuk menjadi bola, direbus, dan disajikan dengan kuah manis (Wikipedia)
6. Oseng-oseng Mercon Bu Narti
Oseng mercon ini letaknya kalau tidak salah waktu itu di Jl. KH Ahmad Dahlan (mudah-mudahan tidak pindah). Oseng-oseng yang berisi kulit, tulang muda, gajih, dan kikil ini dimasak dengan sekitar 6-7kg cabe rawit merah untuk 50kg koyoran. Kenapa disebut mercon?karena rasa pedasnya yang meledakkan mulut, dan rasanya seperti melelehkan lidah. Teman saya yang memakan oseng-oseng mercon ini sampai kebingungan meredakan rasa pedasnya dengan meminum teh hangat berkali-kali. Saya yang waktu itu makan lele bakar dengan sambel dari oseng-oseng mercon ini saja rasanya tidak sanggup menghabiskan, saking pedasnya. Tetapi meskipun pedas, rasanya memang mantap. Nasi hangat panas disantap dengan sambel atau oseng-oseng mercon ditemani dengan lele bakar dan teh hangat plus kerupuk. Haduh, saya jadi lapar.
SOLO
Kami singgah ke Solo hanya beberapa jam. Kami pergi dari Jogjakarta menuju Solo menggunakan Pramex. Mas Ewald ingin melihat Kraton Solo. Saya sudah bercerita sebelumnya kalau Mas Ewald ini suka sekali dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan sejarah. Karenanya, dia selalu mengajak ke tempat yang bersejarah, seperti museum dan yang lainnya.
Kalau saya ke Solo, pertama kali yang ingin saya tuju untuk makan adalah Spesial Sambal (SS). Sebenarnya SS ini tidak hanya ada di Solo, di beberapa kota juga sudah ada cabangnya. Tapi entah kenapa saya makan SS ini hanya kalau sedang di Solo. Di Solo pun, lokasinya ada di beberapa titik. Karena saya adalah penggila sambal, tentu yang saya buru adalah berbagai jenis sambal yang enak sekali rasanya dan tingkat kepedasannya pun bisa disesuaikan dengan permintaan pembeli. Yang ingin merasakan berbagai jenis sambal, silahkan ke SS untuk merasakan sensasi kepedasannya.
Begitulah catatan kuliner dari perjalanan kami Semarang – Jogjakarta – Solo. Semoga bisa memberikan rekomendasi tempat makan bagi yang ingin jalan-jalan disekitar 3 kota tersebut.
Punya pengalaman kuliner di 3 kota tersebut? Ada tempat favorit makan dikota-kota tersebut? yuk berbagi disini ^^
Selamat berakhir pekan ^^
-Situbondo, 12 Desember 2014-
Update : -Den Haag, 4 Februari 2016-
Saya lapar sekali malam-malam lihat foto makanan disini. Duh, kangen dengan Jogja! Selamat berlibur panjang ya buat yang di Indonesia.
PS : Semua foto adalah dokumentasi pribadi kecuali yang kami pinjam menggunakan keterangan.
Video dibawah adalah lanjutan tulisan Mas E tentang Jakarta, One Week In Java (Day 1, Jakarta), yang kami kunjungi akhir Agustus 2014. Mas E saat ini sedang sibuk mengerjakan paper kuliah dan tugas pekerjaannya juga banyak. Jadi saya yang disuruh menulis ini. Mungkin nanti ada tambahan dari Mas E.
Tujuan utama kami ke Jakarta sebenarnya mempunyai misi khusus, yaitu menelusuri jejak keluarga Mas E di daerah Menteng. Jadi, Kakek Mas E, orang Belanda, dulu sewaktu masa pendudukan Belanda (Sebelum tahun 1945, Ibu Mertua lupa tepatnya rentang waktunya) bekerja sebagai Engineering di Pelabuhan Sunda Kelapa. Mereka tinggal di Jalan Surabaya No.40 dan No.12. Menteng, Jakarta. Pada masa itu, Jalan Surabaya masih belum ada Pasar Antik, karena Pasar ini mulai ada sekitar awal tahun 70-an. Karenanya, begitu Mas E bilang kalau sekarang di Jalan Surabaya terkenal dengan Pasar Barang Antik, Ma (panggilan saya ke Ibu Mertua) kaget. Karena pada waktu Ma masih disana pasar antiknya belum ada.
Ma lahir tahun 1937 dan tinggal di Indonesia sampai umur 15 tahun sebelum kembali ke Belanda pada tahun 1953. Karena sejak kecil sampai remaja tinggal di Jakarta, Ma sampai sekarang masih bisa sedikit Bahasa Indonesia. Beberapa kali sepatah-sepatah masih bisa bercakap dengan saya dalam Bahasa Indonesia. Dan sejak mengetahui kalau anak lelakinya akan menikahi wanita Indonesia, Ma seperti bernostalgia dengan masa kecilnya di Jakarta
Kami terkejut ketika menemukan rumah Ma sekarang menjadi Penginapan milik Mabes TNI yang bernama Wisma Wira Anggini I (No. 40). Sedangkan No. 12 masih berbentuk rumah biasa. Memang benar, dulu ketika Kakek Mas E meninggalkan Indonesia, semua aset harus dijual karena menurut Ma, ketentuan dari pemerintah Indonesia ada dua untuk warganegara Belanda setelah Indonesia merdeka. Kalau ingin tetap tinggal di Indonesia, maka harus berganti warganegara menjadi Indonesia, atau jika ingin kembali ke Belanda, harus menjual segala aset yang dimiliki kepada negara. Kakek Mas E memilih yang kedua. Dibawah ini adalah foto-foto yang masih disimpan Ma
Ternyata Mas E memang sudah mempunyai keterikatan sejarah dan emosi dengan Indonesia sejak dulu. Pantas saja memilih wanita Indonesia untuk jadi istrinya *halaahh, informasi ga penting 😀
Nah, setelah misi selesai terlaksanakan, maka saatnya Mas E menikmati suasana Jakarta. Seperti yang sudah diceritakan Mas E sebelumnya, kami keliling Jakarta mengunakan Trans Jkt, Bis Tour City of Jakarta, KRL, bahkan naik angkot. Mas E mendokumentasikan perjalanannya selama di Jakarta dalam video singkat dibawah ini.
Ada cerita lucu dibalik pembuatan video ini. Jadi, di kantor Mas E punya kebiasaan kalau dalam satu team ada yang baru pulang liburan, wajib share pengalaman dan ceritanya pada saat jam makan siang. Pada 9 Desember 2014 kemarin, giliran Mas E yang harus berbagi cerita. Lalu Mas E membuat kompilasi beberapa foto dan Video singkat tentang beberapa tempat yang kami kunjungi selama Mas E sebulan di Indonesia, salah satunya Video tentang Jakarta ini. Nah Mas E bertanya, kira-kira makan siang menunya apa ya yang khas Indonesia. Trus saya ingat ada Restoran Padang Salero Minang yang tempatnya tidak terlalu jauh dari kantor dan bisa delivery order. Karena Mas E pernah makan Nasi Padang sewaktu di Indonesia dan senang sekali dengan yang namanya Rendang, akhirnya pesanlah ke Salero Minang untuk makan siang. Menunya Nasi Rames. Kebetulan satu teamnya (7 orang yang semuanya asli Belanda) belum pernah ada yang makan nasi padang. Ternyata ludes, mereka suka sekali dengan Rendang, si bintang utama. Bahkan minta Mas E alamat Salero Minang. Mau makan disana kata mereka. Ah senang sekali saya bisa memperkenalkan masakan Indonesia ke mereka 🙂
Kemudian Mas E bertanya pada saya, kira-kira lagu apa ya yang cocok dijadikan backsound video singkat ini. Dia menanyakan lagu yang sering diputer adik saya dirumah. Saya bilang itu lagu dangdut, saya tidak tahu karena saya bukan penikmat lagu dangdut. Lalu dia minta saya mencarikan lagu yang temponya cepat. Karena saya suka Sujiwotejo, saya rekomendasikan lagu Nadian. Saya suka lagu ini (meskipun tidak terlalu mengerti artinya) karena dinyanyikan tanpa alat musik. Keren!. Mas E bilang ok, akan memakai lagu ini. Tiba-tiba pagi ini saya membuka video dari youtube yang dia share di Twitter. Tawa saya langsung meledak sepanjang durasi, karena ternyata Nadian berubah jadi Bara Bere yang dinyanyikan Siti Badriyah. Kok yaaa jauh sekali menyimpangnya hahaha. Pantas malam sebelumnya Mas E bertanya ke saya apakah mengetahui lagu Indonesia berjudul Bara Bere? Saya menjawab pernah mendengar, tapi tidak tahu siapa penyanyinya, yang pasti saya tahu kalau itu lagu dangdut. Mas E bilang suka dengan musiknya. Ternyata lagu ini yang dipasang jadi backsound. Duh Mas! Ngerti opo ga isi lagu iki artine opo hahaha. Dan saya baru sadar, Mas E ini ternyata suka sekali dengan lagu Dangdut 😀
Silahkan menikmati Video singkat yang telah dibuat oleh Mas E tentang Jakarta dengan iringan lagu dangdut Bara Bere 🙂
In 2014 I spent a considerable amount of my time in Indonesia, in Java and Bali to be more precise. Lately I got the question from a friend which things to visit if he would spend a week in Java. The most obviously answer would of course be “That’s wayyy too short”, but it made me think how I would spend a week now that I have had so many wonderful experiences. I will write down in 7 episodes how I would spend such a week.
Day 1: Jakarta
Jakarta is a ‘must see’ although probably not everyone’s piece of cake. Be prepared for a continuous flow of cars and motor cycles, day and night. When you have bad luck you end up in one of its terrible traffic jams (not exclusively something that might happen to you in Jakarta, as we will discover along the journey). The air can be heavy polluted, garbage seems to be everywhere. But nevertheless Jakarta contains a lot of interesting experiences that you simply can not experience anywhere else in Java.
Public transportion is never an expensive thing in Indonesia, but in Jakarta they made it extra attractive with a free Jakarta City Tour. This tour will take you in a double deck bus along the most remarkable sites and buildings of the Jakarta centre, like the Monas (the national monument built in the 1960’s) and the presidential residence. It will take you an hour to finish the full tour and you can drop out in between when you think you found something interesting along its route. The tour guides on the bus are very friendly and speak English excellent.
After the bus tour visit the Monas, the Monument Nasional. You can go with a small elevator to the golden top and from there you will have an overview of modern Jakarta with its countless sky scrapers. Be aware though that the Monument is a very popular attraction, so there might be a long waiting line before you can go to the top. The Monas also contains an underground informative information centre where the history of Indonesia is displayed in countless three-dimensional scenes behind glass. You get a fast update on how Indonesia became the Republic it is nowadays.
Then visit the National Museum. The Museum is a two-part building: one is a reminiscent of the Dutch colonial days, the other part is multi store modern building. The impressive thing of the Museum is that you get a real good overview on the complexity of all the different cultures of Indonesia. For me it was an eye-opener because here I learned that Indonesia is such a diverse multi-cultural and multi-racial country (which obviously brings a lot of challenges in keeping its unity). There is a lot to see about the different races, clothing, religions, music, house constructions from its habitants.
Now that it is afternoon visit the ‘Old City’ (Kota Tua in Bahasa Indonesia), the part of Jakarta that reminds most of its colonial past, when the Dutch were in charge for circa 500 years. In those days Jakarta was called Batavia (and Batavia refers to ‘Batavians’ one of the original tribes that lived in the Netherlands some 2000 years ago). Many of the interesting places are centred around the square where the so called Gourverneurskantoor (Office of the Governor) is situated. In front of the building you can even rent bikes and discover the surroundings on a bike. You will surely be noticed by the local people, but be careful: pedestrians and bikers are somewhere at the bottom of the Indonesian traffic hierarchy chain! You can visit the Gouverneurskantoor, it contains a nice museum that gives you an impression how the colonial Dutch decorated their office.
So when you have had enough for the day and you want to relax a little bit among the local Jakarta people, return to the Monas park, sit down in the grass and order a typical Betawi (name of the local Jakarta people) meal: Kerak Telor. In the park at night there is an abundant choice of souvenirs that are being sold by local Jakarta people.
This ends our first day in Java and Jakarta! On the second day we will explore more of Jakarta.
Sebulan sebelum menikah, saya bertanya ke Mas E apakah setelah menikah mau jalan-jalan atau mau langsung kembali ke Belanda. Ternyata Mas E mendapat cuti selama 5 minggu dari kantor. Wah, senang sekali! Dia maunya sebulan jalan-jalan dari Bali sampai Bandung. Dia mempercayakan semua pada saya untuk mengatur mekanismenya. Terserah mau dibuat ala backpacker apa ala koper. Karena saya tidak terbiasa jalan-jalan dengan budget mahal, akhirnya saya mengatur ala backpacker. Yang pada akhirnya nanti praktek dilapangan kombinasi antara keduanya. Rute bulan madu kami adalah : Bali-Jember-Surabaya-Jogjakarta-Solo-Semarang-Jepara-Karimunjawa-Jakarta-Bandung-Surabaya-Situbondo-Bromo dari tanggal 11 Agustus 2014 sampai 7 September 2014. Mas E ingin lebih mengenal Indonesia, termasuk mengenal budaya dan masyarakatnya. Jadi bulan madu ini ada misi khusus selain memperkenalkan tempat wisata juga memperkenalkan ragam kuliner Indonesia.
BALI
Mas E belum pernah ke Bali. Jadi dia sangat antusias pergi ke pulau Dewata. Sebelumnya Mas E sudah mencari info tempat-tempat mana saja yang ingin dikunjungi. Kami menggunakan jasa Wonderful Menjangan untuk mengatur rute perjalanan selama kami di Bali. Mereka sangat kooperatif dan fleksibel. Terima kasih Pak Rico yang menemani kami selama 4 hari 12-15 Agustus 2014. Tempat-tempat yang kami datangi tentu saja lokasi turis seperti Bedugul, Ubud, Tanah Lot, Sanur, Tampak Siring, GWK, Pantai Balangan, Kecak di Uluwatu, Jimbaran, Pantai Pendawa, Snorkeling satu hari di Pulau Menjangan.
Sangat direkomendasikan untuk mengeksplor keindahan bawah laut Pulau Menjangan yang merupakan wall diving terbaik di Bali. Taman laut dengan visibility yang baik dan kaya akan biota laut penuh warna. Mas E sangat senang snorkeling disini. Dia sangat terkagum-kagum dengan keindahan biota lautnya. Snorkeling di dua spot sampai musti diingatkan untuk mentas. Sepanjang perjalanan pulang perjalan kembali ke Denpasar yang memakan waktu sekitar 3 jam, tidak berhenti Mas E bercerita tentang keindahan bawah laut Pulau Menjangan. Suami senang, Istri bahagia 🙂
Dibawah ini beberapa foto dari beberapa tempat yang kami kunjungi :
Pantai Pandawa, Bali. Disini pengunjung diperbolehkan berenang karena ombak tidak tinggi. Banyak sekali wisatawan domestik
Travelling through Indonesia in August-September 2014 we shot over 2000 images. So that needs some time to collect the most interesting ones. Today here are our pictures from visiting the Sacred Monkey Forest of Ubud, Bali.