Akhir Januari 2024, tepat sembilan tahun saya tinggal dan menjadi penduduk di Belanda. Perjalanan yang lumayan panjang. Antara terasa dan tidak. Terasanya kalau musim dingin datang, badan saya sampai saat ini belum sepenuhnya beradaptasi dan hati saya tetap tidak menyukai musim gugur serta musim dingin. Selalu saja sakit dan semakin tahun, sakitnya makin macam – macam. Awal tahun 2023, saat saya sedang hamil, sakit parah sampai Ambulans didatangkan ke rumah oleh pihak UGD. Itu sakit terparah selama di Belanda, semoga menjadi yang terakhir juga. Tahun ini saya terkena covid dan sinusitis parah. Pokoknya ada saja cerita sakit kalau musim dingin datang.
Selebihnya, saya sudah lumayan bisa beradaptasi dengan baik.
Bahasa Belanda, meski levelnya ya begitu – begitu saja, tapi saya bisa berbangga diri karena dalam 9 tahun ini makin banyak perkembangan. Ya memang sudah seharusnya begitu. Masa sudah 9 tahun masih jalan di tempat saja. Malu sama anak – anak yang kosakata Bahasa Belandanya lebih canggih dari saya. Untuk urusan sekolah anak – anak. saya lancar bercakap dan saling bertukar kabar sesama orangtua murid. Dengan para guru pun, saya punya kepercayaan diri yang tinggi saat datang ke evaluasi anak – anak tiap 3 bulan sekali. Meski suami juga datang, tapi saya melakukan percakapan aktif dengan pihak sekolah. Setiap kali pihak sekolah menawarkan untuk berbicara dalam bahasa Inggris, saya langsung bilang bahasa Belanda saja. Sejujurnya, bahasa Inggris saya sudah kacau beliau. Menelepon dokter, rumah sakit dan segala aktifitas saya di Belanda, 95% sudah full bahasa Belanda. Lisan dan tulisan. Yang 5% sisanya, kalau saya tidak mengerti bahasa Belandanya, baru dengan terpaksa ganti ke bahasa Inggris. Kecuali dengan anak – anak di rumah, saya memakai bahasa Indonesia (dan dengan sesama orang Indonesia lainnya tentu saja).
Urusan birokrasi, saya mulai berkompromi. Alias, ya sudah lah diikuti saja. Mau cepet2an juga tidak bisa karena memang jalurnya lama.
Selama 9 tahun di Belanda, saya banyak belajar hal – hal yang baru. Dari bekerja di Rumah Jompo, bakery, sampai punya usaha sendiri di rumah. Dari pertama kali belajar nyetir mobil dengan segala tangisan yang menyertai sampai mendapatkan SIM, kursus baking, mendapatkan dana dari pemerintah Belanda untuk kursus Data Analyst dan bisnis management, ujian HACCP. Belajar bagaimana membangun bisnis rumahan di Belanda dari nol, memantau bisnis di Indonesia dan beberapa investasi. Rajin ikut race lari. Semua saya lakukan atas dasar ingin belajar banyak hal, rasa ingin tau yang besar, dan tidak pernah berhenti untuk tetap mengaktifkan otak. Dari berat badan 45kg sampai sekarang entahlah saking malesnya nimbang haha yang pasti tidak akan bisa lagi ke 45kg.
Diantara banyak hal yang sudah terjadi 9 tahun ini, yang paling tak tergantikan dan sangat berharga adalah membentuk sebuah keluarga. Menjadi seorang istri, menjadi pendamping suami saat senang dan susah, saling menopang dan memberikan dukungan. Kalau bukan karena support yang besar dari dia, saya tidak akan pernah ada di titik ini. Dialah alasan saya bertahan dan tetap menggapai segala mimpi yang ingin saya wujudkan. Dialah orang yang paling berjasa atas banyak hal yang terjadi dalam 9 tahun ini. Dialah yang saya cintai dengan sepenuh hati *mendadak romantis
Hal yang paling berharga lainnya adalah kehamilan 5 kali dan 3 anak yang terlahirkan dengan selamat dan sehat.
Menjadi seorang Ibu mengajarkan banyak hal kepada saya. Bagaimana mencintai, memberi, mencurahkan kasih sayang dan mengelola emosi kepada anak yang tidak pernah tau sebelumnya tentang hidup mereka di dunia. Bagaimana mereka menggantungkan seluruh hal pada kami sebagai orang tua. Bagaimana kami benar – benar ikhlas menjalankan peran ini sebaik – baiknya. Menjadikan mereka anak – anak yang bahagia, sehat, dan tumbuh dipenuhi banyak cinta, serta tercukupi secara materi dan kasih sayang.
Keputusan terbaik yang saya tidak pernah sesalkan dalam 9 tahun ini adalah menjadi seorang Ibu Rumah Tangga yang tinggal di rumah. Karir, bukan lagi tujuan saya saat ini. Saya pernah bekerja kantoran di Indonesia selama 13 tahun. Dari level bawah sampai posisi atas yang saya inginkan. Dari gaji kecil sampai gaji yang cukup untuk membeli rumah dan sawah. Karir saya sekarang adalah membersamai suami dan mendampingi anak – anak sampai mereka bisa mandiri.
Dua tahun saat mudik ke Indonesia, disitulah saya merasa, kalau Belanda adalah rumah saya. Mudik pertama kali setelah 7 tahun pindah ke Belanda, rasanya sudah beda. Indonesia masih menjadi rumah bagi saya karena di sanalah keluarga besar berada. Hanya saja, rasanya sudah beda saat saya terakhir meninggalkan 7 tahun sebelumnya. Lalu saya tersadar, bahwa Belanda memanglah rumah saya. Di sinilah keluarga saya berada. Suami, anak – anak, dan diri saya sendiri. Teman – teman baik, para tetangga, Mama dan para ipar, segala kegiatan sehari – hari, tempat saya belajar banyak hal, serta orang – orang yang saya kenal dari sekolah anak – anak. Merekalah yang ada di hidup saya sehari – hari.
Saya bahagia di Belanda dengan segala naik turunnya, dengan segala hiruk pikuk yang ada, dengan segala suka dukanya.
Saya bisa menyebut sekarang, bahwa Belanda adalah rumah saya. Negara di mana semua orang – orang yang saya sayangi berada, tempat mereka yang peduli dengan saya selama di sini. Negara yang tidak sempurna namun membuat saya lebih berkembang secara individu maupun kedewasaan.
Dan juga, tempat saya ingin menjalani waktu bersama yang saya cintai dan sayangi dengan sepenuh hati, yang bisa menerima saya dengan segala kekurangan, yang tak pernah berhenti melimpahkan cinta yang tulus kepada saya : suami dan ketiga anak saya. Merekalah hidup saya saat ini.
Sembilan tahun di Belanda, inilah hidup saya sekarang. Semoga semakin banyak berkah, berlimpah cinta dan makin bisa memberikan manfaat untuk diri sendiri dan orang – orang yang membutuhkan. Terutama keluarga, teman – teman, dan siapapun yang pernah beririsan hidup selama ini.
Kok sudah akan April ya, lah Maret saya ke mana saja kok tidak berasa *mikir. Beberapa hal yang terjadi di bulan Maret ini.
KOPDAR DENGAN PUJI
Setelah beberapa kali saling mengirim email tentang rencana Puji dan Suaminya akan liburan ke Eropa dan Belanda salah satu tujuan liburan mereka, kami lalu membuat janji untuk saling ketemu. Mendekati hari H, keadaan antara pasti dan tidak pasti dari pihak saya karena ada satu hal. Setelah berunding di WhatsApp, bersyukur mereka menyanggupi ke Den Haag (karena satu keadaan saya tidak bisa mendatangi mereka) dari Amsterdam, tempat merek menginap, demi supaya saya dan Puji bisa saling ketemu. Saya kenal Puji dari blog sejak sekitar 2014, jadi tidak terlalu lama juga. Saya suka Puji apalagi kalau sudah bercerita tentang makanan. Rasanya saya seakan berada disekitarnya menikmati hasil memasaknya saat akhir pekan. Beberapa kali saya mengirim kartupos ke Puji dan saling kirim-kirim email juga. Jadi rasanya seperti sudah kenal lama.
Saya telat 10 menit saat ketemu Puji karena ada perbaikan rel kereta (berangkat lebih awal tetep aja telat) dan sudah memberitahu sebelumnya ke Puji. Saat ketemu Puji dan Suaminya, saya tidak merasa canggung sama sekali. Biasanya saya kalau ketemu orang baru pertama kali, pasti suasananya jadi canggung, karena saya tidak bisa langsung ngobrol atau cerita ini itu. Saya harus memetakan situasi dulu. Tapi dengan Puji dan suaminya beda. Seperti sudah kenal lama, padahal tahu cerita tentang mereka ya hanya mengandalkan dari blog.
Singkat cerita, sebelum ke tempat makan, saya membawa mereka berkeliling sebentar ke sekitar Den Haag kota. Karena sudah jam 8 malam, jadi tidak banyak yang bisa dilihat. Cuma yang saya ingat dari Puji beberapa kali ngomong “Lho ini Den Haag kok sepi ya, kok jam 8 malam sudah banyak toko tutup ya padahal ini kan sabtu malam. Lho ini mallnya kok seuplik gini, aku kira dulu Mbak deny becanda lho kalau di Den Haag ga ada mall gede.” hahaha Puji terkaget mungkin tidak menyangka Den Haag ga ada apa-apanya dibandingkan Jakarta.
Kami lalu menuju restoran Indonesia karena saya sudah reservasi sebelumnya lewat telefon. Waktu kami tidak terlalu banyak di sana karena restorannya akan tutup jam 9 malam. Setelah memesan dan mengobrol sambil makan, tidak menyangka saya diberi buah tangan oleh Puji, dua botol sambel Bu Rudy. Plus makanan saya dibayarin oleh mereka. Jadi (ga) enak hati nih, tuan rumah macam apa saya sampai makan dibayarin (padahal ya seneng sih, kan rejeki ya jangan ditolak :D). Kesampaian juga ketemu dengan Puji dan Mas Eri yang super ramah jadi berasa sudah berteman lama. Sekitar jam setengah 10, saya dijemput suami sekalian saya kenalkan dengan mereka. Lalu kami berpisah karena mereka menuju Den Haag Centraal untuk kembali ke Amsterdam dan saya pulang ke rumah. Semoga kita bisa ketemu lagi nanti ya Puji dan semoga lancar liburan keliling Eropanya.
MASUK KORAN BELANDA
Ini sebenarnya tidak disengaja. Jadi sewaktu acara ulang tahun Piet Mondriaan ke 145 dan juga De Stijl ke 100, Pemerintah kota Den Haag mengadakan acara bagi-bagi Taart gratis ke 5000 orang di balai kota. Jadi ini Taart raksasa. Nah saya hari itu ada urusan ke kota, akhirnya mampir untuk lihat sebesar apa taartnya. Ternyata memang besar sekali dengan motif Mondriaan. Saat sedang asyik makan Taartnya (yang enak sekali rasanya), ada seseorang menawari saya untuk berfoto di depan taart bersama dua orang lainnya. Beliau adalah wartawan koran Belanda AD (Algemeen Dagblad). Lalu berposelah kami bertiga. Kata wartawannya, berita bisa di baca online sorenya. Saya bilang suami ternyata memang sorenya sudah ada beritanya di website mereka dengan foto kami bertiga (yang dua lagi saya tidak kenal) di depan taart. Keesokan paginya, Mama mertua heboh kasih tahu kalau foto saya ada di koran lalu Beliau bersemangat menggunting bagian yang ada foto saya itu. Lumayanlah pernah masuk koran Belanda, makan taart haha.
KANGEN DENGAN MAKANAN RUMAH, MAKANAN WARUNG, DAN JAJANAN MALAM
Entah kenapa sepanjang maret ini saya benar-benar kangen dengan makanan rumah, makanan warung, dan jajanan malam di Indonesia (khususnya di Surabaya dan Situbondo). Makanan rumah ini maksudnya adalah makanan yang biasa dimasak Ibu atau tetangga atau Bude saya. Kalau makanan warung yang saya kangen adalah warung-warung di dekat kampus saya dulu. Kalau jajanan malam yang saya kangen semacam terang bulan, martabak, gorengan ote-ote dimakan dengan sambel petis dan cabe (duh nulis ini saja saya ileran sendiri), singkong goreng yang ngeprul, tahu tek, nasi goreng dan mie goreng gerobak (ini bukan jajanan ya, tergolong makan besar haha). Dulu kan kalau lapar pas malam saya keluar kos lalu keluyuran jalan kaki cari tukang gerobak trus beli. Di sini kan tidak ada mas yang jualan dorong gerobak. Saking nelongsonya saya, beberapa minggu lalu sampai nangis trus ditanya suami kenapa, saya jawab pengen makan nasi goreng merah gerobakan. Dia cuma menghela nafas, dipikir ada masalah serius, ternyata ingin makan nasi goreng merah. Tapi kan buat saya segala sesuatu yang berhubungan dengan makanan itu menjadi serius haha!.
Daripada nelongso berkepanjangan, akhirnya saya singsingkan lengan baju, masak sendiri (lah emang biasanya masak sendiri :D). Saya masak lodeh tewel kacang pete. Kali ini lodeh tewelnya istimewa karena saya campuri dengan tempe busuk (tempe bosok). Saya memang punya persediaan tempe semanggit untuk dibuat sambel tumpang. Saya ambil sedikit tempe bosok ini untuk campuran lodeh (karena Ibu kalau masak lodeh pasti dicampuri tempe bosok). Waaahh aromanya luar biasa bisa mengobati kangen lodeh buatan Ibu. Lodeh ini dimakan pakai ikan asin dan sambel trasi. Ikan asinnya saya buat sendiri. Saya beli ikan kebanyakan di pasar lalu saya jemur buat ikan asin. Suami saya sampai nambah makan lodehnya. Dia tanya “ini kok beda ya lodehnya?” Saya jawab “iya, aku kasih tempe bosok.” Dia manggut-manggut saja haha.
Lalu saya masak jangan klentang. Di pasar Den Haag sini kan ada kios langganan yang jual klentang, makanya saya bisa sering masak sayur asem klentang. Ihhh seger sekali pakai belimbing wuluh. Ibu saya sampai heran kok di sini ada klentang dan belimbing wuluh.
Lalu saya masak rawon labu siem dan kacang panjang. Makan pakai telur asin dan sambel trasi pakai kecambah pendek dari kacang hijau yang direndam. Wuahhh saya dan suami nambah makan rawon ini.
Saya juga buat nasi bakar, botok tempe teri, dan bumbu urap banyak karena ada yang pesan. Lumayan bisa buat stok saya juga kalau sewaktu-waktu malas masak. Nasi bakar isi osengan sayur plus pete dimakan pakai botok, lalapan dan sambel bawang. Suami bawa bekal nasi bakar tiga hari berturut ke kantor. Mudah-mudahan setelah makan dia gosok gigi ya, kan ada petenya :)))
Kangen mie goreng gerobak, akhirnya buat sendiri mie goreng pakai kol, sawi, telur, tuna dan saya taburi ebi. Masih kalah sih rasanya dengan yang dijual gerobakan itu. tapi lumayanlah tombo kangen.
Saya sudahi saja cerita makanannya, sebenarnya masih ada beberapa tapi saya jadi lapar ketika nulis ini. Intinya saya bersyukur meskipun kangen sekali dengan masakan rumah tapi masih dikasih kekuatan untuk masak sendiri. Bersyukur masih bisa makan.
MASTER EVENT TU DELFT 2017
Awal Maret saya datang ke TU Delft untuk melihat Master Event TU Delft 2017. Padahal ingat sekali hari itu badan saya lemas seperti tidak ada tenaga. Rasanya ingin tidur seharian. Tapi sayang juga acara ini kalau dilewatkan dan cuaca di luar cerah sekali, langitnya biru. Akhirnya saya seret pantat ke Master Event TU Delft karena juga sudah terlanjur daftar sehari sebelumnya. Jadi acara ini adalah pemberian informasi untuk semua program S2 yang ada di TU Delft. Jadi saya benar-benar memanfaatkan kesempatan ini untuk bertanya sejelas mungkin tentang informasi yang ingin saya tahu ke beberapa jurusan yang saya incar. Selain itu, ada sesi pemberian informasi, tanya jawab untuk mereka yang lulusan S1 (dan juga S2) nya berasal dari luar Belanda. Saya bertanya di forum ini tentang biaya kuliahnya jika saya punya ijin tinggal karena menikah dengan orang Belanda. Ternyata membayarnya 1/8 nya dibanding dengan siswa Internasional yang normal. Lumayan menghemat. Ini ceritanya kan saya sedang berencana untuk kuliah lagi. Untuk kapannya masih belum tahu, yang penting niat dulu dan sudah mulai cari-cari informasi dan memantapkan jurusan mana yang ingin saya ambil. Mudah-mudahan ya bisa merealisasikan niat ini.
KE LIMBURG
Rencana liburan ke Limburg ini diputuskan beberapa hari sebelum ulang tahun saya. Jadi awalnya sekitar dua bulan lalu kami berencana merencanakan ulang tahun jalan-jalan ke beberapa negara ke LN. Rencana sempat ganti beberapa kali sampai akhirnya kami memutuskan tidak jadi liburan ke LN karena satu hal. Daripada tidak kemana-mana, akhirnya saya bilang bagaimana kalau jalan-jalan sehari saja ke kota yang dekat. Jadi masih bisa jalan-jalan di hari ulang tahun saya. Akhirnya suami mengajukan cuti, saya memilih ke Limburg. Jadi kami ke dua kota yaitu ke Thorn dan Valkenburg. Jaraknya 2.5 jam berkendara dari rumah kami. Setelah dari Thorn, sempat istirahat dulu di pemberhentian untuk tidur karena saya dan suami ngantuk sekali. Setelah tidur selama satu jam, kami melanjutkan perjalanan ke Valkenburg. Eh ternyata setelah sampai Valkenburg tempat yang ingin kami datangi sudah tutup. Sempat kesal sih tapi ya mau bagaimana lagi. Kami terlalu lama tidurnya haha. Akhirnya kami hanya jalan-jalan di kota saja lalu makan. Saya senang sekali dengan alam di Limburg karena seperti alam di Jerman. Beda dengan struktur alam di tempat tinggal kami. Rasanya saya akan kerasan kalau tinggal di Limburg (tapi jauh ya kalau mau ke kota besar *lalu bingung). Senang menghabiskan hari ulang tahun dengan berjalan-jalan dan seharian bersama suami. Senang mendapatkan ucapan dari teman-teman dekat dan keluarga. Bersyukur masih diberikan kesempatan untuk tinggal di dunia, bilangan umur nambah, dan sehat bersama seluruh keluarga. Kami menghabiskan sisa hari di Limburg dengan makan malam di sebuah restoran.
Maret memang berlalu sangat cepat, mungkin pertanda saya sangat menikmati setiap detiknya. Bagaimana dengan Maret kalian?
Pecah telur juga tahun ini bisa ikutan lomba lari. Setelah dari awal tahun ada saja halangan mau ikut race ini dan itu tapi terhalang satu dan lain hal. Sudah daftar jauh-jauh hari eh ternyata dekat hari H tidak bisa. Hangus jadinya uang pendaftaran. Beruntung yang kali ini tidak gagal lagi, meskipun 2 jam sebelum pelaksaan lomba nyaris gagal lagi karena hujan deras.
Jadi hari minggu 2 Oktober 2016, saya dan Mas Ewald ikut lomba lari 10 Km di Rotterdam. Nama lombanya adalah Rottermerenloop. Ada tiga kategori yaitu 1.5 km untuk anak-anak, 10 km dan half marathon (21.1 km). Dua kategori terakhir untuk dewasa. Biasanya Mas Ewald ikut yang kategori 21.1 km kalau ada lomba lari. Tapi kali ini dia ingin ikut yang 10 km. Akhirnya bisa satu kategori sama suami setelah dua kali lomba lari bersama, kami selalu beda (Pertama waktu Bromo Marathondan kedua waktu CPC Loop di Den Haag). Niatnya sih tahun ini saya bisa pecah telur naik kelas ke 21.1 km. Apa daya selain halangannya ada saja, latihan juga masih kurang maksimal, ditambah kurang nekat. Mudah-mudahan tahun depan bisa.
Ikut lomba yang pagi inipun sebenarnya dadakan. Daftarnya baru seminggu lalu. Rencananya kami justru akan ikut lomba yang akhir Oktober 2016. Ternyata ada yang lebih dulu meskipun tempatnya agak jauh, akhirnya kamipun sepakat ikut. Hitung-hitung sebagai pemanasan karena sudah lama tidak ikut lomba. Nah, pagi tadi hujan pun turun. Kami ragu-ragu berangkat atau tidak ke lomba. Kalau dilihat dari prakiraan cuaca, ada saat-saat yang tidak hujan meskipun secara keseluruhan sepanjang hari akan turun hujan. Tapi menjelang jam 10, matahari bersinar terang. Akhirnya kami putuskan berangkat saja, toh kami bawa jaket yang anti air. Jadi kalau hujan tinggal jaketnya dipakai.
Ternyata waktu jam 11 mataharinya bersinar terang meskipun hawanya tetap dingin. Wah, syukurlah jadi bisa lari tanpa khawatir hujan. Saya lupa kalau ini Belanda, artinya 4 musim bisa terjadi dalam satu hari. Pada saat menjelang km ke 7, saya melihat dari kejauhan mendungnya tebal. Benar saja, saat memasuki km ke 7, hujan deras langsung mengguyur dan angin kencang tiba-tiba datang. Saya yang sejak start sampai km ke 7 terus lari, tiba-tiba langsung berhenti tidak kuat kena angin kencang dan hujan deras. Saya berjalan sampai saya melihat peserta HM (Half Marathon = 21.1 km) melintas, akhirnya saya ikutan lari lagi sampai finish. Hujannya deras sejak km ke 7 sampai km ke 9. Jadi selama 2km saya menguatkan diri lari ditemani hujan deras dan angin kencang.
Lomba kali ini sangat istimewa untuk saya karena saya menjadi peserta terakhir yang sampai finish. Saya memang tidak bisa cepat kalau lari, meskipun untuk 10 km saya pasti lari terus tanpa berhenti (kalau pas tidak hujan). Mungkin kalau dilatih bisa untuk sedikit cepat, tapi saya saja yang memang agak bebal selalu beralasan kalau suami berencana melatih lari dengan metode interval. Kalau dua lomba sebelumnya saya boleh jumawa karena tidak menjadi peserta terakhir yang sampai finish, karena dua lomba sebelumnya pesertanya jauh lebih banyak dan lebih beragam dibanding yang kali ini. Nah tadi pagi pesertanya orang Belanda semua, mereka kan tingginya menjulang (alasan :p), jadi pasrah sejak awal kalau akan lambat sampai finish. Buat saya, 2km awal dan 2km akhir itu adalah jarak kritis. Jadi harus pintar-pintar mengatur strategi nafas dan ritme kaki.
Begitu sampai finish, semua bersorak sambil menyebut nama saya. Sementara saya senyum-senyum simpul haha! Makanya saya menyebut lomba kali ini istimewa, karena punya pengalaman jadi peserta terakhir yang sampai finish. Ah tak mengapa, yang penting sampai juga dengan keadaan sehat karena ada dua peserta ditengah-tengah jarak tidak melanjutkan, karena kakinya kram. Jadi suami catatan waktunya 49 menit, sementara saya 1 jam 25 menit. Catatan waktu saya lebih lama dibanding yang tahun lalu. Sampai finish saya lalu minum dua gelas dan makan jeruk. Saking laparnya saya sampai nambah berkali-kali jeruk yang disediakan panitia. Setiap peserta diberi Flash Disk ketika sampai finish, sebagai kenang-kenangan.
Saya suka baca buku di bawah ini, bercerita kisah orang orang yang tergerak untuk lari dengan tempo masing-masing sesuai kemampuan. Mengingatkan akan tempo saya sendiri.
Jadi itulah pengalaman lomba lari hari ini. Menyenangkan karena banyak kejadian yang bisa membuat senyum-senyum sendiri kalau diingat. Cerita Akhir Pekan
Numpang sedikit tentang cerita akhir pekan selain lomba lari. Jadi hari sabtu, saya tiba-tiba kepengen klepon (lagi). Akhirnya saya buat klepon dalam porsi banyak karena untuk dikasih ke Mertua juga. Selain buat klepon, saya juga buat serundeng untuk persediaan. Lumayan bisa jadi teman makan atau ditabur pas makan salad. Saya kasih juga Serundeng ke Mama mertua karena Beliau suka sekali dengan Serundeng dan Klepon
Lalu makan siang kami, saya masak yang cepat saja. Tumis kangkung dan tempe penyet. Kami berdua suka sekali sambel penyet tempe. Tempenya dipanggang soalnya males goreng-goreng. Saking malesnya saya dengan goreng-goreng, minyal 1L selama 4 bulan masih ada separuh botol.
Pulang dari rumah Mama, kami mampir sepedahan di hutan dan tiduran sebentar di pinggir danau mumpung cuaca cerah dan matahari bersinar meskipun dingin. Anggap saja sedang menabung vitamin D.
Begitulah cerita akhir pekan kami. Minggu depan dari ramalan cuaca mengatakan kalau matahari bersinar sepanjang minggu. Yiayy!
Bagaimana cerita akhir pekan kalian? Semoga juga menyenangkan. Selamat hari Senin, selamat mengawali minggu dengan keceriaan. Semoga sepanjang minggu keberkahan selalu menyertai kita semua.
Tidak terasa hampir satu tahun saya tinggal dinegara yang cuacanya silih berganti antara hujan dan angin, walaupun sesekali matahari muncul juga. Banyak hal-hal baru yang saya temui ketika menjadi seorang imigran. Bukan hanya adaptasi lingkungan, cuaca, bahasa, kenalan baru, orang-orang baru, kegiatan baru, bahkan adaptasi makanan. Saya suka tinggal di Belanda dengan udaranya yang segar dan terasa nyaman dipernafasan (saya punya sinusitis akut, sudah operasi dua kali tetapi semenjak tinggal di Den Haag tidak pernah kambuh), transportasinya, fasilitas kesehatan, cepat kalau berurusan dengan instansi pemerintahan, banyak fasilitas yang gratis dan menunjang adaptasi saya sebagai imigran, toko dan pasar yang menjual segala jenis bumbu dan bahan masakan Indonesia, restoran halal yang gampang dijumpai, dan restoran Indonesia yang bertebaran disana sini. Intinya, di Den Haag semuanya ada. Meskipun nampaknya disini semua lengkap, adakalanya saya tetap rindu dengan beberapa hal yang ada di Indonesia. Rindu menggunakan pakaian yang tidak bertumpuk-tumpuk (disini dingin, jadi kalau keluar rumah harus menggunakan pakaian yang berlapis dengan segala perlengkapannya), mbok tukang pijat di Situbondo (bahkan suami sampai pijat 3 kali selama 1 bulan disana), dan terutama saya kangen dengan makanannya.
Sebelum pindah, saya tidak cukup mencari informasi tentang tempat untuk mendapatkan bumbu-bumbu untuk memasak makanan Indonesia. Karena itulah saya membeli bumbu instant di Indonesia sebanyak-banyaknya yang kemudian dikirim ke Belanda. Selang satu bulan setelah saya datang, barulah seorang kenalan mengajak ke Haagse Markt, pasar tradisional yang super lengkap di Den Haag. Tidak hanya lengkap, harga barang-barang yang dijual disana sangat murah. Selain itu, suami juga menunjukkan toko oriental yang menjual semua bumbu untuk masakan Indonesia (kapan-kapan saya akan membahas tentang toko ini secara terpisah). Pada akhirnya, bumbu instant yang dikirim tersebut tidak tersentuh dan saya bagikan ke beberapa kenalan. Awal saya tinggal di Den Haag, setiap akhir minggu kami selalu menjelajah restoran Indonesia, hanya ingin sekedar tahu rasa makanannya seperti apa. Beberapa saat kemudian, setelah saya cukup tahu dengan beberapa restoran Indonesia yang ada di Den Haag, perburuan makanan diakhir pekan frekuensinya berkurang secara bertahap. Ada yang makanannya cocok dengan lidah saya, ada yang tidak. Karenanya saya mulai bertekad untuk belajar memasak sendiri makanan-makanan yang saya inginkan.
Sejak kecil, saya memang suka sekali memasak. Ibu memiliki usaha katering di Situbondo sebagai pekerjaan kedua selain profesi Beliau sebagai guru. Karenanya, membantu ibu sejak usia 7 tahun, mengenali bumbu-bumbu dan segala jenis masakan Indonesia bukanlah hal yang baru buat saya. Saya cinta memasak. Namun ketika usia 15 tahun meninggalkan rumah untuk tinggal dikota Surabaya, saya nyaris jarang memasak lagi karena fasilitas kos saat itu termasuk dengan makan. Hal tersebut berlangsung sampai saya sebelum pindah ke Belanda. Apalagi sebagai anak kos, akan cukup simpel kalau membeli makanan jadi. Ditunjang lagi sejak mengikuti Food Combining, saya lebih sering mengkonsumsi sayuran mentah. Kesempatan saya memasak kalau pulang ke Situbondo. Karenanya, ketika pada akhirnya saya memiliki dapur sendiri, rasanya gembira luar biasa, seperti menemukan ruang kerja, seperti menemukan hobi lama kembali lagi. Kalau untuk makanan Indonesia, saya tidak mempunyai banyak kesulitan ketika memasak. Takaran bumbu biasanya saya memakai perkiraan atau feeling.
Saya baru menemui kesulitan ketika mulai ada niatan untuk membuat kue. Kebetulan pada saat itu saya ingin sekali makan kue coklat. Akhirnya saya menemukan resep mud cake diblog Ria. Karena belum pernah membuat kue sebelumnya, jadi saya buta pengetahuan tentang tepung. Saya sampai bertanya beberapa kali ke Ria tentang jenis-jenis tepung. Nah, ketika kopdar dengan Mbak Yoyen, akhirnya ada kesempatan untuk bertanya jenis-jenis tepung di Belanda. Waktu itu saya cerita ke Mbak Yoyen kalau ingin sekali membuat kue, tapi takut tidak jadi. Mbak Yoyen memberi semangat kalau saya harus mencoba. Akhirnya pulang kopdar saya bersemangat untuk segera membuat mud cake. Tantangan selanjutnya adalah mempelajari cara kerja oven. Bersama suami, saya membaca secara seksama petunjuk penggunaan oven. Agak canggung juga awalnya, takut bantet tidak bisa dimakan, atau takut gosong. Tapi begitu hasilnya keluar, terharu rasanya karena berhasil bisa dimakan. Saya sampai loncat-loncat kegirangan. Seminggu kemudian, salah satu keponakan berulangtahun. Saya mengusulkan ke Mas Ewald untuk memberi kado kue ulang tahun. Asli ini semacam uji nyali. Saya tidak ada bayangan sama sekali membuat kue ulang tahun itu bagaimana. Akhirnya nekad dengan bahan dasar mud cake kemudian saya hias dengan coklat dan beberapa hiasan lainnya. Saya sebenarnya tidak tahu rasanya seperti apa, pada waktu itu hanya berdoa semoga para undangan, adalah keluarga dan teman-teman yang berulang tahun, ketika memakan tidak tiba-tiba sakit perut. Ternyata mereka suka sekali dengan kuenya. Habis ludes, padahal ada 2 kue ulang tahun lainnya. Saya dipuji Mama mertua dan saudara-saudara. Pulang dari acara, senyum tidak putus tersungging dibibir.
Setelah pengalaman tersebut, ketika menghadiri beberapa acara ulang tahun teman suami, dia meminta saya untuk membuat kue ulang tahun sebagai kado. Saya dengan senang hati membuat aneka kue ulang tahun variasi lainnya. Dan sejauh ini masih diterima dengan baik, dibilangnya sih sesuai dengan selera mereka. Malah ketika dua keponakan berulang tahun awal tahun ini, ibunya memesan kue ulang tahun pada saya. Awalnya aneh, kok keluarga memesan kue, yang artinya membayar. Tapi kata suami tidak apa-apa karena keinginan yang berulang tahun. Akhirnya saya buatkan, lumayan uangnya untuk membeli buku. Lain cerita kue, lain cerita masakan Indonesia yang dimakan oleh keluarga dan teman-teman suami.
Beberapa kali suami mengundang keluarga dan teman-temannya untuk makan dirumah. Saya bertanya mau masak apa *nantangin, padahal cuma bisa masakan Indonesia. Untungnya suami bilang kalau teman-teman dan keluarga tidak ada masalah jika disajikan makanan Indonesia. Saya dengan senang hati memasak makanan Indonesia, sekalian untuk memperkenalkan ke mereka betapa Indonesia kaya akan kulinernya, *sekalian promosi juga siapa tahu mereka mau pesan ke saya :D. Sejauh ini, komentarnya positif, makanan yang saya sajikan selalu ludes tidak bersisa karena mereka selalu nambah dan nambah lagi. Bahkan ada teman suami dengan terus terang meminta ijin nasi kuning dan sayur urap serta perkedel tahu untuk dibawa pulang. Saya malah senang karena tidak harus menyimpan makanan dikulkas.
Suatu waktu, suami bilang akan ada meeting untuk divisinya. Saya diminta tolong memasak untuk seluruh anggota meeting kalau tidak salah berjumlah 10 orang, menunya terserah saya. Akhirnya saya putuskan untuk membuat menu terdiri dari nasi kuning, perkedel kentang, urap sayur, ayam bumbu kuning dan dessert puding. Saya tempatkan semua perbox. Pulang kerja suami girang karena teman-temannya menyukai dan tandas tidak bersisa. Beberapa waktu lalu, saya menerima pesanan dari kantor suami tetapi berbeda divisi, untuk meeting, masakan Indonesia juga. Lumayan, buat tambahan beli cabe dipasar. Ketika ulang tahun suami sebenarnya saya ingin memasak sendiri untuk 25 undangan (keluarga dan teman), tetapi karena paginya harus menemani dia ujian thesis dan dia tidak mau saya terlalu capek didapur, akhirnya menu utama pesan yaitu nasi tumpeng lengkap dan es cendol. Saya tinggal menyiapkan camilan saja.
Mas Ewald suka sekali masakan Indonesia, bahkan sejak sebelum bertemu saya. Karenanya, saya tidak menemui kesulitan dalam hal menyiapkan makanan. Dia akan makan apapun yang saya masak, kecuali udang karena dia tidak suka. Ikan asinpun masih mau mencicipi sedikit, apalagi sambel trasi dan pete yang merupakan favoritnya. Sambel wajib ada disetiap makanan Indonesia, ataupun disetiap saya masak kalau tidak terasa pedas, dia akan protes. Syukurlah saya juga doyan pedas. Saya tidak makan daging dan unggas, suami masih makan meskipun porsinya tidak banyak. Sesekali saya masih memasak rendang, ayam panggang, baso daging, maupun soto ayam favoritnya. Untuk masalah rasa, ketika memasak makanan yang saya tidak makan, saya memakai feeling dan dengan bantuan suami. Saya memasak besar setiap sabtu atau minggu, untuk persediaan lima hari kedepan. Seringkali Mama mertua saya bagi juga. Beliau adalah ahli rasa yang saya percaya karena selalu jujur. Pernah suatu ketika saya memasak semur tempe, dirasakan, ternyata tidak suka rasanya. Saya disuruh bawa pulang lagi. Saya malah senang yang seperti itu, daripada dibuang. Masakan yang selama ini saya masakkan untuk Mama : rendang, gado-gado, soto ayam, rawon, kaasstengels (Beliau sampai tidak percaya saya membuat sendiri kaasstengels ala Indonesia karena katanya seperti rasa ditoko kue, enak :D), beberapa kue, nasi kuning urap sayur, perkedel tahu, dadar jagung, dan beberapa masakan lainnya. Beliau juga suka pedas dan doyan makan pete.
Tinggal dinegara yang serba mahal dan tidak semua bahan bisa didapat, butuh kreatifitas tersendiri. Saya suka makan telur asin, tapi kalau beli disini mahal. Akhirnya saya belajar cara membuat telur asin dari telur ayam. Meskipun harus menunggu selama 3 minggu hanya untuk sekedar makan telur asin, saya masih bersyukur, lumayan tombo kangen. Begitu juga kalau makan rawon sayuran, saya ingin pendampingnya sambel trasi kecambah pendek. Tetapi kecambah pendek saya belum pernah jumpai disini. Akhirnya saya membuat sendiri dari kacang hijau yang dilembabkan. Hanya untuk makan kecambah pendek harus menunggu satu malam, tidak mengapa daripada ngiler. Hal-hal tersebut yang membuat saya merasa masih baik-baik saja di Belanda, karena beberapa masakan Indonesia masih bisa saya buat sendiri. Seperti akhir pekan lalu tiba-tiba ingin makan nasi bakar ikan asin, akhirnya setelah berkutat didapur, saya dan suami bisa makan siang dengan nasi bakar. Nah, nasi bakar ini menjadi menu makan siang suami dikantor selama 2 hari. Walhasil teman-temannya penasaran suami ini sebenarnya makan apa, setelah dijelaskan, mereka jadi tertarik pesan untuk minggu depan. The power of nasi bakar.
Tidak semua masakan memang bisa saya buat sendiri. Misalkan pempek atau baso ikan saya masih belum bisa membuatnya. Akhirnya ya pesan. Intinya ketika mampu membuat masakan atau kue dengan hasil yang memuaskan, saya lalu mencari-cari lagi resep lainnya untuk dipraktekkan. Terharu adalah ketika bisa membuat sendiri martabak manis dan pizza. Memasak sendiri itu lebih menyenangkan, jika kita memang punya waktu. Selain bahannya kita tahu dengan pasti, lebih murah, dan tentu rasanya bisa kita atur sesuai selera.
Sumber Resep
Apakah masakan saya hasil dari mengolah resep sendiri? Sebagian kecil sekali iya, tapi sebagian besar tidak. Saya belum pada tahap untuk membuat resep sendiri, masih pemula, jadinya masih mencontek. Ada beberapa sumber ide memasak dan resep :
Ibu dan Bude
Saya selalu rindu masakan Ibu dan Bude. Saya ingin memasak dengan rasa yang selama ini saya ingat. Merekalah sumber inspirasi saya dalam memasak maupun bertanya tentang segala macam resep.
Sewaktu masih aktif IG, saya suka mencari ide masakan dari akun-akun berikut ini : @anitajoyo, @icha.savitry, @tiyarahmatiya, @bundnina_, @omah_ijo, @s_fauziah (Beberapa masakan Puji membuat saya ngiler, akhirnya latah ikutan bikin), dan @isnasutanto. Pada akun mereka tersebut langsung disertakan resepnya. Gampang tinggal mencontek saja atau dimodifikasi sedikit.
Youtube
Youtube tentu saja menjadi rujukan dalam mencari resep. Berikut adalah akun favorit saya : Masaktv.com, Kokiku tv, Bake like a pro, Rasamasa, Gemma Stafford, atau simpel tinggal ketikkan resep apa yang diinginkan, sebagian besar saya temukan di youtube.
Grup Whatsapp dan Google
Saya hanya mempunyai 3 grup whatsapp. Dua grup berisi teman-teman di Indonesia, satu grup berisi ibu-ibu yang tinggal di Eropa, grup ini namanya MbakYurop. Saya banyak mendapatkan ide makanan maupun resep dari grup MbakYurop.
Begitulah cerita panjang saya tentang perjalanan karier memasak selama hampir satu tahun. Kalau misalkan nanti saya sudah bekerja diluar rumah, entah masih bisa lagi atau tidak untuk tetap konsisten memasak. Mudah-mudahan tetap ada waktu, karena saya cinta memasak.
Selamat berakhir pekan, selamat memasak untuk keluarga dan teman-teman tercinta. Saya mau mencoba membuat onde-onde dan dawet nangka akhir pekan ini. Kalian berencana memasak apa? Ada akun atau blog favorit tidak untuk mencari resep masakan, boleh dong dibagi disini 🙂
The World In Your Classroom (TWIYC) adalah sebuah proyek atau kegiatan sukarela yang diprakarsai oleh pemerintah kota (Gemeente) Den Haag yang bekerjasama oleh ACCESS, PEP, TheBridgeHague, HollandTimes sertaAngloInfosebagaimedia partner. The Hague atau yang dikenal dengan Den Haag adalah kota Internasional yang banyak sekali pendatang dari segala penjuru dunia dengan tujuan menetap ataupun bekerja. Pemerintah kota Den Haag melihat sebuah peluang dari keberagaman pendatang tersebut yang bisa dijadikan sebagai sebuah kegiatan sukarela (volunteer atau dalam bahasa Belanda disebut vrijwilliger), maka didirikanlah TWIYC. Kegiatan dalam TWIYC ini bertujuan memberikan kesempatan kepada para pendatang untuk menjadi Guest Lecturer dalam waktu satu jam pada siswa berusia 12 sampai 16 tahun disekolah menengah (Middelbare school) diseluruh Den Haag.
Para sukarelawan dapat memperkenalkan dan bercerita apapun tentang negara asal mereka dari segi sejarah, budaya, ekonomi, geografi, ataupun politik. Mereka diberikan waktu satu jam, mengambil jam pelajaran bahasa Inggris, bahasa Perancis, bahasa Jerman, Geografi, atau Sejarah. Para sukarelawan diberikan kesempatan menyampaikan topik yang telah dipilih dalam bahasa Inggris, bahasa Perancis, atau bahasa Jerman. Tetapi tidak menutup kemungkinan juga bisa menyampaikan dalam bahasa Belanda. Manfaat yang didapat oleh para sukarelawan tentu saja bisa langsung berinteraksi dengan siswa dan guru yang bertanggungjawab serta dapat menyampaikan hal-hal yang berhubungan dengan negara mereka. Sedangkan manfaat yang didapatkan oleh siswa adalah mereka mendapatkan kesempatan untuk berlatih keterampilan bahasa mereka, diluar bahasa Belanda (karena selain bahasa Inggris, mereka juga belajar bahasa lainnya seperti Perancis, atau Jerman) dan memperluas pengetahuan mereka tentang dunia. Beberapa bahkan mungkin terinspirasi belajar atau bekerja di luar negeri pada satu hari nanti.
Awal saya bergabung dengan TWICY karena pada saat itu sedang mencari kegiatan volunteer disekitar kota Den Haag untuk mempraktekkan bahasa Belanda agar lebih lancar. Sehari-hari saya memang sudah berbicara menggunakan bahasa Belanda dengan suami, keluarga, maupun ketika berbincang dengan orang-orang yang saya temui dipasar, supermarket maupun tetangga rumah. Bahkan saya sudah lihai melakukan tawar menawar dipasar supaya mendapatkan cabe rawit dengan harga murah perkilogramnya. Bangga beli cabe dengan harga murah. Jangan dibayangkan saya sudah cas cis cus lancar sekali berbahasa Belanda. Memang sudah cukup bagus kata guru saya untuk ukuran 10 bulan tinggal di Belanda, tapi menurut saya belum terlalu lancar dan saya belum puas. Justru karena itu, saya ingin lebih lancar lagi, tidak hanya berbicara dengan orang-orang yang saya sebut diatas, tapi saya juga ingin mencari pengalaman lain yang langsung terjun dalam sebuah kegiatan. Akhirnya suatu hari guru sekolah saya memberitahukan salah satu website yang memberikan informasi tentang kegiatan volunteer apa saja yang ada di kota Den Haag. Setelah membaca satu persatu sesuai minat, akhirnya saya memilih beberapa, salah satunya TWIYC ini.
Setelah mendaftar (saya mendaftar 2 hari menjelang tanggal penutupan), saya menerima email yang memberitahukan akan ada training sebelum langsung terjun ke sekolah yang ditunjuk. Singkat cerita pada tanggal 7 Oktober 2015 saya datang ke tempat training. Saya bertemu dengan 20 volunteer lainnya. Training ternyata dibagi 4 gelombang karena akan ada sekitar 80 volunteer (saya satu-satunya dari Indonesia). Pada training ini kami diberikan pengarahan cara menyampaikan materi dan memanfaatkan waktu 1 jam secara efektif dan efisien. Materi training diberikan oleh Irish dan didampingi oleh Lucie sebagai Koordinator TWICY. Ketika training berlangsung, saya langsung teringat ketika mengikuti Kelas Inspirasi. Bedanya Kelas Inspirasi memperkenalkan profesi sukarelawan, sementara TWICYÂ memperkenalkan negara asal sukarelawan.
Pada saat training, sukarelawan diharapkan sudah mempunyai ide topik yang akan dijadikan materi ketika menjadi Guest Lecturer. Terus terang saya masih belum ada ide ketika datang ke training tersebut. Indonesia sangat luas dan kaya akan segalanya, saya harus fokus pada satu topik. Tentunya topik tersebut yang saya senangi dan gampang ketika menyampaikan. Pada saat sesi brainstorming dengan semua sukarelawan, tiba-tiba saya mendapatkan ide cemerlang. Saya mantap mengatakan bahwa topik yang akan disampaikan adalah tentang ragam makanan di Indonesia., ragam kuliner Indonesia. Lucie mengatakan ide saya cemerlang karena menurutnya baru kali ini ada sukarelawan yang menyampaikan topik tentang ragam makanan suatu negara. Simpel saja sebenarnya kenapa saya tiba-tiba tercetus ide itu : Siapa yang tidak suka dengan obrolan tentang makanan. Saya juga mengatakan akan membawa alat peraga yaitu beberapa macam bumbu dan rempah yang digunakan dalam masakan Indonesia. Nantinya para siswa akan saya beri kesempatan untuk menyentuh dan mencium rempah dan bumbu yang akan saya bawa, jadi mereka mengetahui bumbu dan rempah seperti apa yang digunakan sehingga tercipta makanan Indonesia yang super lezat.
Beberapa waktu kemudian, saya menerima email dari Lucie yang mengatakan saya akan menjadi Guest Lecturer di Edith Stein College pada kelas ISK pada tanggal 24 November 2015 jam 11:20 – 12:20. Kelas ISK ini adalah kelas khusus untuk siswa yang baru datang ke Belanda, maksimal 2 tahun. Mereka belajar bahasa Belanda, bahasa Inggris dan Matematika dikelas tersebut. Siswanya berasal dari Indonesia, Polandia, Etopia, Syria, Afghanistan, Filipina, Spanyol, Brasilia, Bulgaria, China, Pakistan, Yunani, India, Portugal, Turki, dan Hungaria. Satu kelas terdiri dari 23 siswa. Kelas ISK ini semacam kelas Internasional. Saya senang sekali ada satu siswa dari Indonesia. Jadi saya bisa meminta dia untuk memberikan testimoni langsung tentang makanan Indonesia. Sebelum hari H, saya mengirim email ke Sytske yang merupakan guru bahasa Inggris di kelas ISK juga sebagai perwakilan sekolah pada saat saya menjadi Guest Lecturer di Edith Stein College, menanyakan beberapa hal salah satunya apakah ada murid yang mempunyai alergi ketika mencium bau tertentu. Beruntungnya tidak ada. Semua yang berkaitan dengan kegiatan TWIYC saya koordinasikan melalui email dengan Sytske. Saya juga membuat materi presentasi semenarik dan sesingkat mungkin karena waktunya hanya satu jam.
Selasa, 24 November 2015, sekitar jam 10.30 saya berangkat dari rumah. Hari itu, hujan deras mengguyur Den Haag, dingin dan angin kencang. Suhu udara 3 derajat celcius. Jarak antara rumah dan sekolah tidak terlalu jauh. Setelah sampai di Den Haag Centraal saya langsung menyalakan google maps menuju lokasi sekolah yang ternyata hanya 20 menit berjalan kaki. Sesampainya di sekolah, saya langsung menemui Sytske diruang guru. Menariknya adalah Sytske sudah 3 kali backpakeran ke Indonesia, tepatnya ke Tanjung Puting, Manado, Lombok, Flores, Jakarta, Bali, Sumbawa, Maluku, dan Raja Ampat. Saya malu hati dia sudah menjelajah beberapa tempat yang belum pernah saya datangi. Bahkan dia pernah backpackeran sendiri dalam keadaan hamil 6 bulan, menggendong tas ransel 50L. Setelah berbincang beberapa saat tentang teknis pelaksanaan, saya kemudian diperkenalkan dengan siswa asal Indonesia. Dia baru satu tahun di Belanda, tapi bahasa Belandanya sudah lancar sekali. Kami lalu menuju kelas untuk memulai sesi presentasi.
Saya lalu memperkenalkan diri kepada seluruh siswa. Kemudian saya bertanya kepada Sytske apakah pihak sekolah mengijinkan jika saya akan mendokumentasikan dalam bentuk foto selama kegiatan berlangsung dan akan saya taruh pada blog. Sytske mengijinkan sebagai perwakilan dari sekolah karena sekolah ini sudah terbiasa mendapatkan kunjungan. Kemudian saya bertanya kepada siswa apakah ada yang keberatan dengan hal tersebut, mereka menjawab serempak kalau mereka tidak keberatan. Jadi semua foto yang saya unggah disini sudah melalui persetujuan pihak sekolah maupun para siswa. Kemudian saya bertanya kepada mereka, apa yang mereka ketahui tentang Indonesia. Ada yang menjawab tarian, bakmi goreng, nasi goreng, Bali, bahkan ada yang menjawab cabe. Yang menjawab ini bukan siswa dari Indonesia. Dia sih diam saja, memberikan kesempatan pada yang lain untuk menjawab. Saya tersenyum dengan jawaban mereka. Ternyata ada yang tahu ya kalau mayoritas makanan Indonesia itu tidak jauh dari cabe :).
Presentasi saya buka dengan memutarkan video dari Good News From Indonesia yang saya dapat dari Youtube. Kemudian dilanjutkan ke slide berikutnya diantaranya saya menerangkan sekilas tentang sejarah rempah dan beberapa makanan Indonesia yang mendapatkan pengaruh dari beberapa negara yang pernah datang ke Indonesia, termasuk Belanda. Kemudian saya juga menceritakan kedekatan orang Indonesia dengan makanan Indonesia. Dimanapun orang Indonesia tinggal diseluruh penjuru dunia, mereka akan dengan suka cita menyambut topik pembicaraan tentang makanan Indonesia. Selain itu, saya juga menginformasikan bahwa makanan Indonesia itu jumlahnya ribuan (sesuai keterangan didalam video pada link diatas) karena masing-masing suku, masing-masing kota mempunyai jenis makanan sendiri. Lalu saya juga menerangkan tentang makanan yang berhubungan dengan perayaan atau hari besar keagamaan, misalkan tumpeng dan filosofi tumpeng. Selanjutnya juga saya jelaskan tentang waktu makan orang Indonesia dan jenis makanan yang biasanya dimakan, yang sebenarnya tidak pernah ada bedanya dari segi porsi ketika makan pagi, makan siang atau makan malam. Semua porsinya besar dan tidak ada pakem makanan tertentu dimakan pada saat tertentu. Satu lagi yang tidak kalah menarik, saya juga menginformasikan bahwa Rendang dan Nasi Goreng pernah dinobatkan menjadi makanan paling enak nomer 1 dan 2 didunia versi CNN Traveling pada tahun 2011. Terakhirnya saya tutup presentasi dengan video mencoba makanan Indonesia. Total slide presentasi saya sebanyak 16. Ditengah-tengah presentasi tersebut, saya ajak mereka untuk melihat dan mencium aroma dari rempah dan bumbu Indonesia.
Para siswa sangat antusias menyimak selama saya memberikan presentasi. Banyak sekali pertanyaan dari mereka misalkan kenapa makanan Indonesia bumbunya banyak, kenapa rendang memasaknya lama, Apa daging rendang tidak menjadi bubur setelah dimasak berjam-jam, kalau di Indonesia makan dipinggir jalan apa tidak sakit perut, kalau makan dengan tangan kosong (tidak menggunakan sendok atau garpu) apakah sehat, bahkan ada yang bertanya rasanya nasi goreng seperti apa. Saya membuat presentasi semenarik mungkin supaya para siswa tersebut merasa senang dan ada sesuatu yang baru yang mereka dapatkan. Pastinya banyak sekali foto makanan Indonesia didalamnya misalkan rendang, soto ayam, rendang, pempek, tumpeng, nasi goreng, sate padang, nasi bali, bebek betutu, bubur tinutuan dan masih banyak lainnya yang saya pinjam dari google, otomatis saya sertakan juga sumbernya. Saya juga meminjam beberapa foto makanan dari blog Melly dan Beth. Lucunya lagi, karena jam presentasi adalah jam menjelang makan siang, tentu saja foto-foto makanan tersebut membuat mereka lapar, sampai ada yang bilang “Stop, aku sangat lapar sekali.” Lalu ada yang curi-curi makan roti. Jangankan mereka, saya saja ikut-ikutan lapar ketika memperlihatkan satu persatu slide yang berisi makanan Indonesia tersebut.
Selama sesi Guest Lecturer tersebut hampir seluruhnya saya menggunakan bahasa Inggris. Selebihnya, di 15 menit terakhir saya menggunakan bahasa Belanda. Hal tersebut yang menjadi kesepakatan saya dan siswa diawal. Saat menggunakan bahasa Belanda, hanya satu yang saya fikirkan, “Semoga saya tidak menyesatkan mereka dengan bahasa Belanda yang pas-pasan.” Mereka juga sedang belajar bahasa Belanda, jadi posisinya antara saya dengan para siswa tersebut juga sedang sama-sama belajar bahasa Belanda. Secara keseluruhan saya senang sekali mendapatkan kesempatan untuk bergabung dengan TWIYC. Saya bangga memperkenalkan Indonesia melalui program ini. Dan saya juga bahagia ketika para siswa merasa senang dengan materi yang saya sampaikan karena mereka bilang bahwa ini adalah pengetahuan baru yang mereka dapatkan juga mendapatkan pengalaman untuk mengerti bahan-bahan yang digunakan memasak makanan Indonesia. Ada siswa yang menyelutuk “Saya mau makan di Restoran Indonesia. Saya ingin makan Rendang.” Wah, senangnya bisa membuat mereka tertarik untuk langsung merasakan masaka Indonesia. Diakhir sesi kami berfoto bersama, dan saya diberi buket bunga oleh pihak sekolah. Rabu besok dan bulan depan saya kembali akan mendatangi sekolah berbeda, materi yang saya sampaikan tetap sama. TWIYC adalah pengalaman sukarelawan pertama yang saya ikuti di Den Haag. Saya juga jadi mengenal orang-orang baru, para volunteer lainnya dari negara yang berbeda-beda. Ada beberapa program volunteer lainnya yang saya ikuti. Akan saya ceritakan pada tulisan terpisah. Saya meninggalkan sekolah dengan perasaan bahagia luar biasa. Pengalaman pertama saya terjun langsung dalam kegiatan di Den Haag memperkenalkan Indonesia. Berbagi itu selalu membuat senang hati, apalagi berbagi cerita tentang keragaman negara sendiri.
Dibawah ini adalah video yang menerangkan apa sebenarnya TWIYC itu.
Musim gugur atau Autumn atau dalam bahasa Belanda disebut Herfst tahun 2015 ini adalah yang pertama buat saya. Selama ini saya hanya menikmati musim gugur lewat serial Korea dan drama Jepang. Saya dulu memang maniak sekali melihat serial Korea dan Jepang. Masih ingat betul bagaimana saya lebih mementingkan begadang maraton serial korea dibandingkan mengerjakan revisi tesis. Lebih parahnya ketika sedang menunggu antrian bimbingan, teman-teman yang lain tidak tenang sambil membolak balik draft tesis, saya dengan santainya menunggu sambil melanjutkan menonton serial Korea. Cukup sekian info kecanduan saya pada serial Korea dan Jepang. Sekarang sudah insyaf kok (sementara).
Dulu suka membayangkan bagaimana rasanya melihat langsung daun berwarna merah, kuning, pink yang berguguran, berserakan ditanah atau trotoar, atau pohon yang siap meranggas dengan daun berwarna merah kehitaman. Pasti romantis sekali. Musim gugur yang awalnya hanya khayalan tingkat tinggi -seperti judul lagu Peter Pan- sekarang saya bisa merasakan sendiri, meskipun belum semua daunnya berubah warna menjadi kuning atau merah. Entah kenapa saya merasa durasi hari matahari bersinar lebih sering pada musim gugur dibandingkan pada musim panas lalu. Kalau saya tidak salah ingat, selama musim panas hujan hampir datang setiap hari meskipun ada saat tertentu ketika puasa selama 19 jam panasnya menyengat sampai 38 derajat celcius, yang setelah saya rasakan masih lebih panas di Surabaya dengan suhu yang sama. Selama musim gugur ini matahari berbaik hati selalu menampakkan sinarnya, cerah dan hangat. Birunya langit selalu menggemaskan, seperti tidak pernah cukup untuk mengagumi betapa indahnya langit yang berwarna biru bersih, meskipun beberapa kali hujan tetap rajin mampir. Ada kegiatan mewah yang rajin kami lakukan selama beberapa kali akhir pekan, yaitu berkegiatan di alam.
Maksud dari berkegiatan dialam yaitu bersepeda keliling kota Den Haag (meskipun dalam keseharian, kami juga bersepeda kemana-mana), duduk-duduk ditaman, jalan-jalan ke beberapa hutan yang lokasinya di Zoetermeer dan Delft, dan piknik membawa tikar sambil membaca buku dipinggir danau. Kenapa saya menyebut kegiatan mewah? karena ketika sinar matahari muncul disini mewah sekali rasanya, membuat hati riang gembira. Jadi ketika matahari sedang tampil maksimal, saya memanfaatkan juga lebih maksimal. Saya selalu berseloroh dengan menyebutnya sebagai kegiatan mengumpulkan vitamin D sebanyak mungkin sebagai cadangan pada musim dingin nanti. Bahkan sewaktu kehutan, saya melihat beberapa anak kecil terlihat asyik tertawa riang sambil membawa kantung, mengumpulkan jamur. Saya tidak tahu pasti jamur jenis mana yang bisa dikonsumsi ataupun yang beracun. Ada juga beberapa dari mereka yang membawa ember, mengumpulkan apel-apel yang sedang ranum memetik langsung dari pohonnya. Hari sabtu lalu saya juga berkesempatan bersepeda bersama Crystal, menjelajahi hutan, danau, dan taman ditiga kota.
Akhir pekan lalu, saya dan suami pergi ke sebuah bukit yang tidak jauh dari rumah untuk latihan lari. Bukit ini juga menjadi tempat suami berlatih mountain bike seminggu sekali. Rencananya tidak berapa lama lagi kami akan mengikuti lomba lari. Tanjakan bukit ini lumayan curam juga, mengingatkan saya pada tingkat kesulitan di Bromo Marathon. Berlatih jam 8 pagi dengan suhu 2 derajat celcius, angin yang menerpa pelan serta tanjakan yang susah dilalui, bukan perkara mudah. Saya yang memang latihan berdasarkan mood merasakan dampaknya. Nafas pendek, tangan berasa kebas kedinginan, bahkan pada satu titik saya merasakan susah bernafas seperti kehabisan oksigen. Tetapi begitu melihat pemandangan di bukit dan hutan, serta matahari yang perlahan bersinar membuat saya kembali bersemangat.
Dan tentu saja, oktober tidak lengkap tanpa kehadiran labu kuning atau pumpkin. Sepanjang mata memandang, pumpkin ada dimana-mana. Bahkan di pasar harganya juga lumayan murah. Dan ini kali pertama saya membuat pumpkin soup yang resepnya mencontek dari blog Beth. Rasanya luar biasa enak, sehat, hangat dibadan dan tentu saja gampang dan tidak ruwet dalam proses memasaknya. Suami sampai nambah berulangkali.
Namun sejak beberapa hari ini suhu menurun. Meskipun matahari tetap bersinar, tetapi hawa dingin semakin menusuk ditambah angin. Bahkan kemarin sewaktu saya pergi ke sekolah, suhu dipagi hari 1 derajat celcius, sekitar jam 10 naik menjadi 3 derajat celcius. Seorang teman yang tinggal di Groningen mengatakan bahwa suhu disana sudah -2 derajat celcius dipagi hari pada waktu yang sama. Saya sudah mengeluarkan perlengkapan winter : jaket tebal, sarung tangan, dan baju berlapis agar badan tetap hangat. Ada pemandangan yang menggelitik saat saya pulang sekolah. Matahari bersinar terang, tapi orang-orang lalu lalang dengan berpakaian winter lengkap : boots selutut, syal, jaket tebal, kupluk, dan beberapa memakai sarung tangan juga. Saya yang awalnya merasa aneh karena sudah memakai jaket tebal, begitu melihat mereka jadi tersenyum “Horeee, tidak saya saja!”
Sejauh ini menyenangkan perkenalan dengan musim gugur pertama saya di Belanda. Udara tidak terlalu panas dan juga tidak terlalu dingin (pada awalnya) , daun berwarna-warni, langit biru, dan banyak melakukan aktifitas di alam.
Sudah sebulan ini saya kembali bersekolah, lebih tepatnya belajar bahasa Belanda. Pada beberapa tulisan sebelumnya, saya pernah menyinggung bahwa saya tidak pernah mengikuti kursus bahasa Belanda ketika di Indonesia. Untuk keperluan MVV, diharuskan lulus A1 dikedutaan Belanda, dan semuanya lebih banyak saya pelajari secara otodidak. Jadi ketika sudah pindah ke Belanda, saya niatkan sejak awal ingin bersekolah, belajar secara benar tentang tata bahasa Belanda, tidak lagi menggunakan ilmu nekat. Awalnya saya tidak ingin cepat bersekolah, dengan pertimbangan pada saat itu saya baru selesai sidang tesis. Mendinginkan otak dulu, begitu pemikiran saya. Tetapi setelah satu bulan tidak ada kegiatan ternyata bosan juga. Akhirnya saya bilang suami kalau ingin segera sekolah saja supaya otak tidak terlalu lama menganggurnya.
Sebenarnya bersekolah ataupun kursus privat itu bukanlah sebuah keharusan karena sejak tahun 2014 semua harus kita sendiri yang membayar, dimana tahun sebelumnya semua pendatang diharuskan bersekolah dan semua biayanya ditanggung (disubsidi) oleh Gemeente kota setempat. Pada tahun tersebut, untuk mereka yang tidak bersekolah malah dikenakan denda. Kenapa harus sekolah? karena bagi para pendatang diharuskan untuk lulus ujian integrasi minimal level A2 atau yang disebut sebagai Inburgeringsexamen, dan batas waktu untuk lulus ujian adalah 3 tahun terhitung sejak hari pertama kedatangan di Belanda. Kelulusan ujian tersebut berhubungan dengan perpanjangan ijin tinggal di Belanda. Jika tidak lulus dalam waktu 3 tahun, berdasarkan pengalaman beberapa kenalan, akan dikenakan denda 200 euro tiap 3 bulan sampai beberapa bulan yang ditentukan. Jika tidak lulus juga sampai batas kelonggaran yang telah diberikan IND (Immigratie en Naturalisatiedienst), maka ijin tinggalnya akan dicabut, dan kembali ke negara asal, konon ceritanya seperti itu. Untuk informasi mengenai ini, lebih baik rajin memperbaharui informasi di website IND karena peraturannya seringkali berubah. Batas waktu 3 tahun untuk saya lulus berdasarkan surat yang dikirim IND adalah akhir Februari 2018 dengan ijin tinggal awal adalah selama 5 tahun.
Selain untuk kepentingan lulus ujian, dengan belajar bahasa Belanda, diharapkan para imigran melebur dan berbaur dengan masyarakat setempat. Meskipun hampir semua orang Belanda bisa berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Inggris, tetapi merekapun akan lebih senang kalau kita sebagai pendatang ini bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Belanda. Kita akan lebih nyaman juga untuk berkomunikasi kalau misalkan ke pasar atau supermarket atau mengurus sesuatu ke kantor pemerintahan atau bekerja jika menggunakan bahasa Belanda. Bayangkan saja jika kita tinggal di Indonesia kemudian ada pendatang dari negara lain bisa berkomunikasi dengan kita menggunakan bahasa Indonesia, lebih menyenangkan bukan. Seperti kata pepatah Di Mana Bumi Dipijak, Di Situ Langit Dijunjung. Jadi kita harus tahu diri, numpang hidup dinegara orang, jangan bersungut-sungut ketika harus belajar bahasa Belanda. Jangan hanya ingin dianggap sebagai turis dengan mengandalkan komunikasi menggunakan bahasa Inggris, padahal akan tinggal lama disini, lha wong kita ini imigran lho, begitu diwajibkan lulus ujian, menjadi bersungut-sungut. Selain itu, dengan belajar bahasa Belanda, kesempatan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik juga akan semakin luas, buat mereka yang bertujuan mencari kerja.
Kalau kita tidak ingin sekolah dan merasa mampu untuk belajar sendiri, itu juga sah-sah saja. Saya juga mendengar ada banyak orang yang lulus ujian A2 bahkan NT2 programma I dari belajar sendiri. Bagaimana caranya? Mencari bahan ajar yang banyak tersebar di internet ataupun membeli buku-buku yang diperlukan, mendatangi beberapa komunitas belajar mandiri dimasing-masing kota (langsung cari digoogle misalkan dengan kata kunci conversatieles + kota tinggal), belajar dengan partner, join grup Inburgeringsexamen (A2) di Facebook, atau Staatsexamen NT2 (Nederlands als Tweede Taal), atau mencari informasi tentang guru privat yang bisa datang kerumah tanpa membayar alias gratis (vrijwilliger). Ada beberapa kenalan yang menggunakan cara yang terakhir. Intinya, jangan pernah malas untuk mencari informasi sebanyak mungkin.
Kalau ingin sekolah, maka harus mencari informasi tentang sekolah berdasarkan dengan kebutuhan dan tujuan kita serta jika memungkinkan dekat dengan rumah. Hal pertama yang perlu ditetapkan diawal sebelum memutuskan akan belajar disekolah atau belajar sendiri sebenarnya adalah ujian tingkat apa yang akan kita inginkan. Hal ini berkaitan dengan tujuan apa yang akan kita raih kedepannya. Jika tujuannya untuk memenuhi syarat minimal yang diajukan DUO, maka Inburgeringsexamen (A2) sudah cukup. Jika tujuannya lebih dari itu, misalkan ingin melanjutkan sekolah atau ingin mendapatkan pekerjaan yang lebih bagus, atau pindah kewarganegaraan, maka perlu ujian yang tingkatannya lebih tinggi yaitu Staatsexamen NT2 Programma I atau II (B1 atau B2). Apa perbedaan tentang A2 dan NT2? Silahkan langsung ke website DUO karena disana informasinya sudah sangat terperinci. Tentu saja ujian A2 dan NT2 berbeda, karena level NT2 lebih tinggi dari A2 maka ujiannya juga lebih susah. Setelah tujuan jelas, maka selanjutnya kita akan putuskan apakah akan belajar di sekolah atau belajar sendiri. Jika belajar disekolah, maka setelah mencari beberapa alternatif sekolah, kita juga harus melihat program yang ditawarkan apakah sesuai dengan tujuan yang akan kita capai. Karena ada sekolah yang programnya memang langsung untuk ujian integrasi, ada juga beberapa sekolah yang programnya untuk belajar bahasa Belanda secara reguler. Informasi tentang sekolah ini bisa kita dapatkan dengan bertanya dari beberapa kenalan yang sudah tinggal lebih dulu di Belanda, bertanya langsung pada Gemeente setempat, atau dari google.
Setelah melihat cocok tidaknya program sekolah tersebut dengan tujuan kita, selanjutnya masalah penting lainnya yang perlu dipertimbangkan adalah biaya. Apakah biaya yang kita anggarkan sesuai dengan biaya pada sekolah tersebut. Jika memang keuangan kita tidak mencukupi, DUO menyediakan program pinjaman untuk kita belajar disekolah. Untuk lebih lengkapnya, bisa langsung dipelajari pada website DUOkarena ada beberapa syarat dan ketentuan yang berlaku. Secara garis besar, itulah gambaran tentang Staatsexamen NT2 dan Inburgeringsexamen (A2) serta beberapa cara untuk belajar bahasa Belanda, disekolah atau belajar sendiri.
Kembali kepada pengalaman saya, setelah melalui beberapa pertimbangan tentang tujuan belajar bahasa Belanda yang ingin saya lakukan yaitu : mampu berkomunikasi secara lancar lisan maupun tulisan dalam bahasa Belanda, lulus ujian integrasi, dan mencari pekerjaan serta jika memungkinkan ingin melanjutkan kuliah lagi. Karena tujuan tersebut maka saya memutuskan untuk mengikuti ujian Staatsexamen NT2. Jadi tujuan ini ditetapkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing orang. Jangan cepat menghakimi bahwa ketika seseorang ingin mengikuti ujian NT2 dianggap “sok-sok an” atau ketika ada yang ingin mengikuti ujian A2 terus kita anggap levelnya biasa-biasa saja. Setiap orang mempunyai kebutuhan dan kemampuan yang berbeda.
Selanjutnya yang saya lakukan adalah mencari beberapa informasi sekolah yang lokasinya tidak jauh dari tempat tinggal (penentuan lokasi juga penting berhubungan dengan efisiensi waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk pulang dan pergi ke sekolah). Pada awalnya ada tiga tempat yang masuk kriteria yaitu Universitas A, Universitas B, dan sekolah bahasa Belanda C. Setelahnya saya membuat janji untuk mengikuti placement test supaya ketika masuk nanti sesuai niveau (tingkat) berdasarkan hasil placement test tersebut. Pada akhirnya saya hanya mengikuti placement test di 2 tempat yaitu di Universitas A dan Sekolah bahasa Belanda C. Hasil tes dikedua tempat tersebut sama yaitu saya ada di niveau A2. Â Jadi saya masuk kelas A2 sebagai permulaan levelnya untuk menuju level B2 sebelum ujian NT2 programma II. Setelah melakukan beberapa pertimbangan : program yang ditawarkan, untuk tempat yang terakhir memang tempat untuk belajar yang tujuannya langsung pada ujian integrasi, sedangkan di Universitas A lebih pada program bahasa Belanda sistemnya reguler. Waktu dan tempat : di Universitas A waktu yang tersisa jam 7-10 malam, 3 kali seminggu, lama belajarnya membutuhkan waktu 1.5 tahun sampai level B2 (jika lancar), biaya sekolahnya total sekitar 3000 euro diluar buku dan biaya ujian, serta biaya yang dibutuhkan untuk akomodasi setiap kali datang 10 euro naik kereta PP. Sedangkan di Sekolah bahasa Belanda C, bisa ditempuh naik sepeda sekitar 20 menit dari rumah, atau satu kali naik tram dengan biaya 3 euro PP, waktu belajarnya jam 9-12 pagi seminggu 2 kali, lama belajarnya 9 bulan sampai pada level B2 untuk bisa mengikuti ujian NT2 Programma II, biaya sekolahnya sekitar 2000 euro (bisa dicicil 2 kali pembayaran) sudah termasuk segala macam buku dan biaya ujian di DUO.
Dengan pertimbangan yang sudah disebutkan, maka saya dan suami memutuskan untuk memilih Sagenn karena sesuai dengan tujuan dan keadaan saya. Awalnya saya ingin mengajukan pinjaman ke DUO, tetapi ternyata syaratnya tidak memenuhi karena gaji suami melebihi syarat minimal yang ditentukan oleh DUO. Dengan sistem pembayaran 2 kali sudah lumayan meringankan karena tidak harus membayar sekali waktu dalam jumlah yang lumayan besar. Pertimbangan lainnya kenapa saya lebih memilih belajar di sekolah adalah supaya bisa berinteraksi langsung dengan berbagai macam tipe orang dari berbagai macam negara. Menambah wawasan dan pengetahuan. Saya senang berinteraksi dengan lingkungan baru, meskipun saya akui tidak bisa cepat beradaptasi. Tetapi dengan memilih belajar disekolah, saya jadi mengetahui banyak hal dibandingkan jika saya belajar sendiri atau memilih belajar privat. Keuntungan lainnya bisa langsung praktek berbicara, berdiskusi, maupun belajar kelompok dengan teman-teman sekelas.
Begitulah pengalaman saya dalam memilih dan mempertimbangkan sistem belajar mana yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan, serta ujian tingkat apa yang akan saya lakukan nantinya. Kembali lagi, semuanya disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan masing-masing. Pertimbangkan baik-baik sebelum memutuskan karena Belanda adalah negara yang mahal, setiap euronya sangat berarti jadi jangan sampai membuang uang untuk sesuatu yang kita putuskan secara tergesa ataupun ikut-ikutan saja.
Semoga berguna apa yang telah saya tuliskan dan selanjutnya akan saya bagikan pengalaman selama sebulan saya bersekolah, tentang sistem belajarnya juga interaksi saya dengan teman baru dan guru-guru disana dari beberapa negara.
Jika ada informasi tambahan dan yang terbaru, monggo dengan senang hati saya menerimanya.
27 April 2015 lalu adalah libur nasional Belanda, Koningsdag, karena Raja Belanda yang bernama Willem Alexander berulangtahun. Baru kali ini saya merasakan hari ulangtahun orang penting disebuah negara menjadi hari libur nasional. Dan tentu saja ini menjadi pengalaman pertama saya mengikuti kemeriahan Koningsdag. Dosen saya disekolah mengatakan bahwa kemeriahan tidak hanya berlangsung saat Koningsdag, tapi berlangsung pada malam sehari sebelumnya. Setelah mendapat informasi tersebut, saya antusias mengajak suami untuk melihat Koningsnacht di Den Haag Centrum. Dan sehari setelahnya kami menghabiskan waktu untuk merasakan kemeriahan Koningsdag di Rotterdam Centrum.
Koningsnacht (26 April 2015, malam hari)
Setelah makan malam, saya dan suami bergegas menuju Den Haag Centrum. Ada festival musik Life I Live gratis di 9 tempat berbeda. Jadi ada 9 panggung bervariasi besar kecilnya, yang bergantian diisi dengan 40 lebih musisi dan grup band. Kami mendatangi semua panggung, karena memang saya senang sekali melihat live music seperti ini. Terakhir saya melihat live music gratisan setahun lalu di Surabaya sewaktu Naif tampil untuk meramaikan hari jadi Surabaya. Sedangkan konser musik berbayar yang saya datangi terakhir kali adalah Maroon 5 sewaktu di Jakarta. Jadi ketika di Den Haag ada Festival Musik semacam ini, terus terang saya sangat antusias.
Semakin malam, semakin ramai, dan musik yang ditampilkan oleh para musisi ini juga semakin menarik.  Keuntungan memiliki badan mungil, bisa merangsak maju mendekati panggung. Meskipun hampir semuanya saya tidak mengerti mereka ini siapa, tapi ada satu grup band yang saya senang sekali dengan musiknya, yaitu The Cool Quest. Penyanyinya interaktif, dan musiknya menghentak asyik. Saya seperti merasa salah kostum, menggerakkan badan diantara muda mudi yang tangannya menggenggam bir dan bergerak mengikuti alunan musik. Namun musik bersifat universal, jadi siapapun boleh menikmatinya, tanpa memandang kostum apa yang dikenakan. Dan pada saat Koningsnacht memang saatnya berpesta, jadi semua bergembira dengan caranya masing-masing.
Kami meninggalkan Den Haag Centrum saat jam menunjukkan angka 11. Kota semakin ramai, tapi punggung saya sudah sakit karena terlalu lama berdiri, dan kami juga perlahan merasa mengantuk. Faktor umur sangat mempengaruhi rupanya. Disaat yang lain baru berdatangan untuk berpesta, kami malah pulang untuk istirahat.
Koningsdag (27 April 2015)
Saya dan suami melihat kemeriahan Koningsdag di Rotterdam. Awalnya karena kami berencana mengunjungi Markthal, tapi akhirnya sekaligus melihat suka cita masyarakat Belanda dihari ulang tahun Raja di Rotterdam. Oranje tentu saja menjadi warna yang hampir dikenakan oleh semua orang-orang, termasuk saya yang antusias menyiapkan baju dengan warna oranye sejak beberapa hari sebelumnya. Sampai suami geleng-geleng kepala. Sedangkan dia sama sekali tidak punya baju warna oranye. Akhirnya hanya saya sendiri yang totalitas menggunakan warna oranye.
Kata Dosen saya, Koningsdag identik dengan Vrijmarkt. Jadi ada orang-orang berjualan barang bekas layak jual disetiap sudut kota. Dan pada hari itu semua toko katanya juga tutup, yang pada kenyataannya kemarin saya mendapati beberapa toko dan supermarket masih buka. Senang sekali melihat barang-barang bekas yang dijual. Karena memang niat awalnya ke Rotterdam hanya jalan-jalan melihat keramaian disana, maka saya tidak membeli satupun barang-barang yang dijual. Tidak hanya kemeriahan dari berburu barang bekas, tapi juga ada pertunjukan musik, serta ada antrian mengular dari toko es krim terkenal disana.
Libur nasional pertama yang saya rasakan sejak pindah ke Belanda. Kemeriahan pertama yang saya ikut bersuka ria didalamnya. Koningsdag tahun 2015.
Tulisan semacam ini sudah ada beberapa blogger yang membahas. Karena saya mempunyai pengalaman sendiri, maka saya juga (ikut) membahas disini.
Beberapa hari lalu, seseorang menyapa saya ketika sedang berbelanja disalah satu Supermarket dekat rumah. Lalu kami berbincang sebentar setelah memperkenalkan diri satu sama lain. Saya tinggal di Den Haag sehingga bertemu dengan orang Indonesia bukan sesuatu yang luar biasa disini karena banyak Imigran dari Indonesia. Jadi tidak mengherankan kalau tiba-tiba saya sering disapa sesama imigran dari Indonesia juga. Kalau saya memang jarang menyapa terlebih dahulu orang yang tidak saya kenal :). Singkat cerita ditengah pembicaraan, Mbak Z, sebut saja begitu namanya, melontarkan ucapan “Mbak, dari Jawa Timur ya? Medhok Surabayanya kelihatan.” Saya spontan tertawa sambil menjawab “Darah yang mengalir ditubuh saya ini darah Jawa Timur, jadi sampai kapanpun lidah tidak akan mungkin bisa hilang logat asal.”
Pembicaraan tersebut melemparkan kembali ingatan pada memori satu tahun lalu. Bulan Mei 2014 pertama kali saya menginjakkan kaki di Belanda untuk berkunjung selama dua minggu. Disuatu sore saya berbelanja sendiri di Supermarket yang sama. Tiba-tiba ada yang menepuk pundak dan bertanya apakah saya berasal dari Indonesia, tapi bertanya dengan menggunakan Bahasa Inggris. Pada saat itu saya berpikir dia berasal dari Malaysia atau Vietnam atau Thailand atau negara Asia lainnya. Saya kembali bertanya dengan menggunakan Bahasa Inggris juga darimana asalnya. Ternyata dia dari Indonesia juga. Pada saat itu saya senang sekali karena (awalnya berpikir) bisa berbincang menggunakan Bahasa Indonesia dengan dia. Tapi saya cegek (apa ya Bahasa Indonesianya cegek ini, ungkapan Jawa Timuran) ketika dia mengatakan sudah tidak lancar lagi dan agak lupa berbicara menggunakan Bahasa Indonesia. Kembali saya bertanya sudah berapa lama tinggal di Belanda, saya berpikir pasti sudah puluhan tahun, meskipun dari segi penampakan usianya sepertinya tidak jauh berbeda dengan saya. Dia menjawab sejak 2 tahun menikah dengan Nederlander. Hah?? Saya ternganga tidak percaya. Apa benar 2 tahun tinggal di Belanda menjadi lupa Bahasa Indonesia. Tingkat keingintahuan bertambah, saya bertanya lagi asalnya darimana. Ternyata sama-sama Jawa Timur. Oh iya, sejak tahu dia dari Indonesia, saya langsung menggunakan Bahasa Indonesia, dan dia tetep kekeuh menggunakan Bahasa Inggris (yang menurut saya samalah tingkatannya dengan saya, Bahasa Inggris standar). Satu yang saya tidak suka ketika dia berujar (ini sudah saya terjemahkan) “Kita ngobrol pakai Bahasa Inggris saja ya, saya sudah tidak lancar lagi dan agak lupa ngomong Bahasa Indonesia karena dirumah berbicara dengan suami seringnya pakai Bahasa Belanda dan sesekali Bahasa Inggris. Kamu kan pasti belum bisa Bahasa Belanda, jadi kita ngobrol inggrisan aja.” Duh rasanya saya kesal sekali. Saya memang pada saat itu belum bisa sama sekali Bahasa Belanda (dan pada saat ini juga masih dalam taraf belajar lebih lanjut), tetapi tidak elok juga asal menuduh seperti itu. Kebetulan saja tuduhannya benar, kalau ternyata saya sudah lancar Bahasa Belanda, kan bisa senjata makan tuan untuk dia.
Pada saat itu saya masih mempunyai pikiran positif. Mungkin saja dia sudah lama tidak tinggal di Indonesia sehingga beberapa kata dalam Bahasa Indonesia lupa. Saya bertanya kembali sebelum tinggal di Belanda dia tinggalnya dimana. Jawabannya sungguh mencengangkan, ternyata dia tidak pernah kemana-mana sebelumnya. Tinggal hanya seputaran Jawa Timur saja, kemudian pindah ke Belanda. Saya akhirnya mengajak berbicara memakai Bahasa Jawa, ya mungkin saja memang dia tidak lancar menggunakan Bahasa Indonesia sejak di Indonesia. Dia bilang kalau Bahasa Jawa juga sudah lupa. Ok, saya langsung angkat tangan. Saya merasa tidak nyaman bertemu orang Indonesia, sama-sama Jawa Timur dan harus berbicara sepanjang waktu menggunakan Bahasa Inggris.
Saya juga pernah bertemu seseorang dari Indonesia dalam sebuah acara. Kami berbicara santai, tapi dia bicaranya campur-campur dengan menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Belanda. Jadi terlihat sekali kesulitan dalam memilah memilih kata. Kemudian saya dengan kalem berujar “Mbak, pakai Bahasa Indonesia saja yuk ngobrolnya, biar enakan. Kalau campur-campur saya jadi bingung, mbak juga jadi ga lancar ngobrolnya,” dimana beberapa menit kemudian saya tahu kalau dia baru beberapa bulan tinggal di Belanda, tetapi sudah sangat susah berbicara Bahasa Indonesia, asalnya dari Jakarta.
Satu lagi selingan cerita (bisa juga dibuat sebagai pembanding). Mama mertua yang memang berdarah Belanda (kedua orangtua Beliau asli Belanda), lahir di Jakarta dan tinggal sampai umur 15 tahun, kemudian baru pindah ke Belanda. Ceritanya pernah saya tulis disini. Sampai sekarang Beliau masih ingat kata-kata dan masih bisa berbicara lancar menggunakan Bahasa Indonesia ketika sesekali berbincang dengan saya. Padahal itu sudah berpuluh tahun lalu aktif menggunakan Bahasa Indonesia. Mama masih mengingat Bahasa Indonesia karena pada saat itu diasuh oleh Ibu sambung yang memang asli Indonesia, dan sehari-hari berkomunikasi menggunakan Bahasa Indonesia sejak kecil sampai umur 15 tahun.
Saya kelahiran Jember, dari Bapak yang berasal dari Jember dan Ibu dari Nganjuk. Tetapi sejak kecil saya tinggal di Situbondo, 6 tahun tinggal di Jakarta, dan 13 tahun tinggal di Surabaya. Ibu dan Bapak sehari-hari menggunakan Bahasa Jawa kepada anak-anaknya. Lingkungan Situbondo mayoritas suku Madura, sehingga saya menjadi lancar juga berbicara Bahasa Madura karena selalu menggunakannya diluar rumah untuk berbicara dengan teman-teman maupun tetangga. Bahasa Indonesia saya pelajari disekolah. Jadi, buat saya sampai kapanpun tidak pernah akan lupa Bahasa Jawa, Bahasa Madura, dan Bahasa Indonesia karena sampai detik ini dan sampai nanti saya akan selalu menggunakannya ketika berbicara dengan saudara-saudara, Ibu, dan adik-adik yang ada di Indonesia. Bagaimana mungkin akan lupa, kalau setiap berbicara ditelepon dengan Ibu, adik-adik, dan tetangga saya masih menggunakan Bahasa Jawa dan Bahasa Madura. Dan yang pasti, logat saya masih medhok Jawa, bahkan ada seorang kawan menyebutkan seperti logat Bungurasih, saking mendhoknya (Bungurasih ini nama terminal di Surabaya).
Tulisan ini juga akan menjadi pengingat saya ketika mungkin nanti (berencana sok-sok akan) lupa menggunakan tiga bahasa yang saya sebutkan sebelumnya.
Saya tidak mau menuduh, hanya heran sekaligus bertanya saja apakah mungkin seseorang akan lupa dengan Bahasa Ibu?
CaMbah (Catatan tambahan, iya ini mengarang singkatan) = Sebenarnya pertanyaan diatas sudah terpatahkan oleh pengalaman saya ketika Kopdar dengan Mbak Yoyen yang tinggal 20 tahun di Belanda dan Indah yang tinggal sekitar 10 tahunan di Belanda (mohon koreksinya kalau salah). Mbak Yoyen, seorang yang Multilingual (Bahasa Inggris, Belanda, Perancis, Spanyol juga ya Mbak, apalagi ya?) dan Indah yang juga pasti sangat fasih berbahasa Belanda, Inggris, tetapi mereka masih sangat lancar menggunakan Bahasa Indonesia ketika berbicara dengan kami yang hadir dikopdar waktu itu. Bahkan Mbak Yo beberapa kali menimpali obrolan dengan menggunakan Bahasa Jawa. Saya tidak terlalu punya banyak kenalan yang tinggal diluar negeri dalam waktu yang lama. Tapi mengenal Mbak Yoyen dan Indah, sudah sangat cukup untuk menjawab pertanyan retorika yang saya tuliskan sendiri diatas.
Ada tulisan Mbak Yoyen yang sangat bagus untuk disimak, direnungi, dan diresapi : Berbahasa Satu dan Bahasa Ibu
Toleransi menurut pandangan saya adalah saling menghormati terhadap perbedaan yang ada, tahu batasan, tidak memaksakan kehendak pribadi, serta bisa menempatkan diri terhadap situasi yang tidak ideal.
Jumat minggu lalu ada acara perayaan ulang tahun keponakan yang berusia 9 tahun. Dia gadis kecil yang manis, selalu tersenyum, dan beberapa minggu lalu memenangkan turnamen gymnastic pada urutan kedua di Amsterdam. Saya ingin memberikan sesuatu yang spesial. Berbekal kenekatan dan ilmu yang pas-pasan dalam dunia per-oven-an, akhirnya saya dan suami memutuskan untuk memberikan kue ulang tahun buatan saya sendiri sebagai hadiah. Ini kali pertama seumur hidup saya membuat kue ulang tahun dan mendekorasinya sendiri. Walhasil jadinya ya masih acakadut. Tetapi begitu saya serahkan kepada Chimene, nama keponakan, dia sangat senang. Orangtua Chimene yang adalah ipar, serta Mama mertua terkagum dengan kerajinan tangan saya, mengatakan kreasi yang saya buat bagus adanya. Tentu saja saya senang bukan kepalang, berharap rasanya juga cocok untuk mereka.
Tamu-tamu berdatangan, acara demi acarapun sudah terlewati, termasuk pemotongan kue. Kata mereka yang makan, kue buatan saya enak. Ah, kembali rasanya senang. Kemudian seorang lelaki, teman dari ipar saya mengedarkan makanan. Dari jauh saya melihat kalau itu adalah daging, roti, dan keju. Saya tentu saja tidak bisa mengambil bagian dagingnya. Pertama karena saya tidak makan segala jenis daging, yang kedua tentu saja karena saya tidak tahu itu jenis daging apa. Tetapi ketika lelaki itu sampai didepan saya, dia mengatakan kalau ada yang ikan “This is fish and i think it’s safe for you” entah mengapa ketika lelaki itu mengatakan hal tersebut, saya jadi terharu. Dia tidak tahu kalau saya tidak makan daging, karena kami belum pernah bertemu sebelumnya, yang dia tahu adalah saya tidak diperbolehkan memakan daging babi sebagai seorang muslim. Dia melihat saya berbeda dari yang lain.
Mengingat kebelakang, keluarga suami juga pada awalnya merasa tidak nyaman dengan kehadiran saya yang tentu saja berbeda dengan mereka. Wanita muslim berjilbab yang akan menjadi anggota keluarga besar. Namun saya tahu bahwa ini adalah bagian dari proses untuk bertoleransi. Saya sebagai pendatang baru dan berbeda dari yang lain harus bisa menempatkan diri. Apa yang tidak bisa saya makan atau lakukan, akan saya beritahukan diawal. Misalkan : saya tidak bisa makan ditempat yang dimenunya ada makanan yang mengandung Babi, atau saya tidak bisa melakukan cium pipi kepada lelaki yang bukan Muhrim, meskipun cium pipi tiga kali adalah ciri khas di Belanda. Pada akhirnya mereka bisa menerima saya secara perlahan dengan mulai melakukan penyesuaian disana sini. Contohnya : kalau ada acara makan di Restoran, mereka akan mencari yang tidak ada menu yang mengandung babi. Karenanya, pada saat Mama mertua ulang tahun, kami makan malam di Restoran Indonesia yang halal. Bagaimana bentuk toleransi saya kepada mereka? Misalkan : jikapun ternyata mereka menghidangkan menu yang mengandung babi kepada tamu jika ada acara disalah satu rumah anggota keluarga, saya tidak akan makan, dan tentu saja saya tidak akan protes. Itu bentuk penghormatan saya dan berusaha untuk bisa menempatkan diri pada posisi yang tidak ideal.
Suatu ketika, Mama mertua pernah bertanya tentang jam berapa saya bangun tidur dipagi hari. Saya menjawab sekitar jam 5 sampai setengah enam. Mertua kaget, kenapa pagi sekali. Saya menjelaskan bahwa selain untuk menyiapkan bekal makan siang suami, saya juga harus melaksanakan sholat subuh. Setelahnya kami berbincang tentang berapa kali sembahyang yang saya laksanakan dalam sehari. Dilain waktu, ketika Papa mertua meninggal dan ada upacara kremasi, saya juga mengikuti setiap prosesnya sampai selesai. Saya berdoa sesuai agama saya, dan mereka tidak menolak kehadiran saya pada acara tersebut. Bahkan ada salah satu anggota keluarga yang menanyakan apakah diperbolehkan dalam Islam untuk menghadiri upacara tersebut. Saya menjawab, buat saya tidak masalah, karena tidak keluar dari Aqidah.
Memang semuanya butuh proses, tidak bisa instan. Saya yang sebagai orang baru dinegara ini harus belajar banyak untuk bisa menempatkan diri dan bersikap. Apa yang tidak perbolehkan oleh agama, akan saya hindari dengan cara yang santun. Hidup sebagai pendatang memang tidak mudah, tetapi juga jangan dibuat sulit. Hidup memang tidak selalu semanis kue ulang tahun. Tapi jika perbedaan dapat bersanding dengan manis seperti hiasan pada kue ulang tahun, maka semua akan terlihat indah, itupun tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Bertoleransi terhadap perbedaan bukan sesuatu yang susah, jika kita tahu batasannya. Intinya, jangan rewel kalau pada kenyataannya kita punya banyak keterbatasan. Terbatas bukan berarti kita tidak bisa bergerak dengan leluasa. Seringkali kita tidak bisa menyatukan perbedaan dan membuatnya menjadi sama, tetapi berdamai dengan perbedaan adalah jalan yang bisa kita lakukan.