“Apalah arti sebuah nama” – begitu yang sering kita baca. Tentu saja nama sangat berarti, kalau tidak maka calon orang tua tidak akan pusing mencari dan memutar otak untuk padu padan nama calon bayi mereka, bahkan buka primbon serta bertanya pada yang dituakan. Jadi, setiap nama pasti punya arti atau bahkan mungkin peristiwa yang ada dibaliknya. Tulisan ini sebenarnya datang dari kejadian yang akhir-akhir ini saya alami, perihal nama belakang. Tapi sebelum masuk dalam cerita tersebut, saya mau merunut sejenak tentang nama saya dan suami.
Nama Depan
Nama depan sekaligus panggilan saya adalah Deny. Untuk orang Indonesia, nama Deny kebanyakan dipakai untuk nama pria. Tidak lazimlah nama Deny disematkan pada wanita. Kesimpulan tersebut saya tuliskan karena setiap ada yang bertanya atau ketika saya menyebutkan nama, hampir seluruhnya berkomentar “lho kok perempuan namanya Deny?” Dari yang awalnya saya antusias menjelaskan tentang nama Deny sampai akhirnya malas menjawab atau memberi jawaban ala kadarnya “anda orang ke sepuluh ribu sekian yang berkomentar seperti itu.” Kalau menulis email, saya sudah menaruh nama lengkap pun masih sering dipanggil Bapak atau Mas, padahal nama belakang saya jelas untuk perempuan. Kalau sedang malas, maka akan saya biarkan. Kalau sedang rajin akan saya jawab dan menerangkan kalau saya perempuan. Kalau yang tidak saya jelaskan dan kami ada hubungan kerja, lalu melanjutkan komunikasi lewat telepon, mereka akan meminta maaf karena sudah menyebut saya Mas atau Bapak, karena sadar begitu ketemu, yang ditemui adalah perempuan atau ditelepon yang terdengar suara perempuan. Deny adalah nama yang terbentuk dari gabungan nama kedua orangtua. Karena penulisannya seperti “deny” dalam bahasa inggris yang artinya menyangkal, pada saat kerja dulu, beberapa kolega dari Eropa dan Amerika banyak yang salah memanggil saya dengan penyebutan deny dalam bahasa Inggris, yaitu “dinai.” Kalau yang bagian ini jelas perlu saya luruskan. Lagian kan ga enak dipanggil keminggris gitu ya.
Lain permasalahan dengan pelafalan, lain juga dengan penulisan. Saya dari dulu selalu rewel dengan yang namanya penulisan nama. Saya selalu memperhatikan penulisan nama orang lain, jangan sampai ketika menuliskan nama, salah eja ataupun salah huruf karena hal ini yang sering terjadi pada saya. Pada bagian atas blog ini jelas-jelas sudah tertulis besar namanya adalah Deny and Ewald. Walaupun demikian masih saja ada yang menulis : deni, denny, ataupun denni. Tidak itu saja, kalau saya menulis email, pasti akan saya tutup dengan nama saya (kalau email formal pasti dengan nama lengkap, kalau email tidak formal pasti nama deny saja). Sudah ditulis nama saja masih sering yang menjawab email menuliskan nama saya dengan salah. Disitu saya merasa semacam lelah *nyemil ote ote.
Nama depan suami juga untuk orang Indonesia agak susah dalam penulisan maupun pelafalan. Beberapa sepupu saya memanggil mas Ewald dengan “Ewold” yang seharusnya antara penulisan dan pengucapannya sama. Sudah diberitahu beberapa kali tetap saja salah pengucapannya. Akhirnya suami bilang “biarkan saja, variasi panggilan :D” Penulisan nama Ewald juga begitu, Seringnya ditulis jadi “Edwald” oleh beberapa kenalan orang Indonesia, padahal jelas-jelas dia selalu menuliskan namanya dengan Ewald. Menurut suami, nama “Ewald” sendiri bukanlah nama Belanda. Ewald adalah nama Jerman karena memang dari Papa mertua ada keturunan Jerman, selain itu Papa mertua suka sekali dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan Jerman (karena dulu sewaktu kerja sering ditugaskan ke Jerman), karenanya anak-anaknya diberikan nama Jerman.
Nama Belakang
Kalau tadi adalah lika liku seputar nama depan, sekarang giliran nama belakang. Nama saya hanya terdiri dari dua kata, depan dan belakang tanpa nama tengah. Sebenarnya nama belakang saya itu tidak ruwet, cuma sering salah penulisannya. Dan saya hampir selalu mengeja. Ini tidak hanya terjadi di Belanda saja tetapi juga di Indonesia. Kalau di Indonesia seringnya salah dengan penulisan, dan saya selalu mengeja huruf per huruf, untuk orang Belanda rupanya nama belakang saya susah disebutkan (dan dituliskan).
Sejak datang ke Belanda sampai sekarang, saya masih memakai nama asli untuk semua dokumen, jadi tidak mengadopsi nama keluarga dari suami untuk nama belakang. Hanya untuk asuransi kesehatan dan tanda pengenal tertera nama belakang suami. Jadi selama ini untuk urusan apapun, saya masih memakai nama sendiri, termasuk untuk keperluan sehari-hari misalkan menuliskan di media sosial.
Di Belanda, nama lengkap yang tertera pada hampir semua dokumen adalah nama belakang (de achternaam), sedangkan nama depan (de voornaam) dan nama tengah (het tussenvoegsel) hanya satu huruf nama depan (inisial). Jadi misalkan ada seorang perempuan namanya Alfa Beta Gama, maka akan ditulis mevrouw A.B. Gama dan kalau dipanggil ya nama belakangnya yaitu mevrouv Gama (mevrouw artinya kalau bahasa Inggris Mrs. Kalau bahasa Indonesia Ibu atau Nyonya mungkin ya). Pada saat berurusan dengan Bank, kantor pemerintahan, rumah sakit, wawancara kerja, atau mengisi formulir apapun, pada umumnya saya menuliskan nama lengkap hanya untuk nama belakang, sedangkan nama depan hanya inisialnya saja (atau saya menuliskan nama depan juga, nanti mereka yang akan menyingkatnya). Nah, kalau saya mendaftar lewat telepon atau ingin konfirmasi apapun lewat telepon, hampir selalu saya mengeja nama belakang karena mereka kesulitan untuk menuliskannya. Begitu juga misalkan saat di rumah sakit atau praktek dokter, ketika memanggil nama saya, mereka selalu mengeja persuku kata nama saya, karena mungkin agak susah untuk diucapkan. Disitu saya sering senyum-senyum sendiri. Bahkan beberapa waktu lalu saat ada urusan dengan Bank, petugasnya bilang “nama belakangnya unik ya, bagus, tapi saya kesusahan menyebutkannya.” 😀
Adopsi Nama Keluarga Suami
Awal datang ke Belanda, suami sudah menanyakan apakah mau memakai nama belakangnya atau tidak. Saya menjawab tidak, saya mau memakai nama saya saja. Dia bilang kalau memakai nama belakang saya mungkin nanti agak kesusahan untuk melamar kerja. Dia berpikir kalau menggunakan nama belakangnya, setidaknya orang akan tahu bahwa saya menikah dengan dia (WN Belanda) dan itu mungkin akan memudahkan mendapatkan kerja. Saya agak tidak percaya saat itu, “masa iya sih,” begitu pikir saya. Selain itu, di Belanda juga tidak diharuskan untuk meletakkan nama belakang suami baik itu untuk surat menyurat ataupun dokumen lainnya, kecuali pada dua kartu yang saya sebutkan di atas. Karena tidak ada keharusan tersebutlah saya tetap memakai nama sendiri. Akhirnya saya membuktikan bahwa teori suami tentang susah mendapatkan pekerjaan ketika tanpa menggunakan nama belakangnya terbantahkan. Saya beberapa kali mendapatkan panggilan wawancara kerja sampai mendapatkan pekerjaan saat ini. Namun tidak dipungkiri juga ketika wawancara kerja saya mendapatkan pertanyaan kenapa tidak memakai nama belakang suami. Bahkan karena saya memakai nama sendiri, kadang mereka tidak tahu kalau saya sudah menikah, karena memang status tidak pernah ditanyakan pada saat mengisi formulir pada saat melamar kerja. Saya akan menjawab ketika ditanya, tetapi kalau tidak ditanya ya saya tidak jelaskan tentang status.
Nama keluarga suami tidak seperti layaknya nama belakang orang Belanda (tentang nama belakang orang Belanda pernah diulas lengkap oleh Mbak Yoyen disini) karena memang ada keturunan dari Jerman. Karenanya nama belakang yang sama dengan nama belakang suami sangat jarang ditemukan di Belanda.
Alasan saya sampai saat ini tidak memakai nama keluarga suami untuk nama belakang saya karena saya merasa tidak terbiasa (mungkin belum terbiasa) dan masih belum perlu. Saya merasa tidak nyaman menggunakan nama orang lain untuk nama belakang (meskipun dalam konteks ini adalah nama belakang suami), dan merasa aneh kalau nama belakang saya tiba-tiba berubah atau bertambah. Memang sampai saat ini masih belum ada keperluan yang sangat mendesak sampai saya harus membubuhkan nama keluarga suami pada nama belakang saya. Entah nanti kalau memang ada kebutuhan yang medesak dan mengharuskan saya membubuhkan nama keluarga suami pada nama belakang, maka akan saya lakukan. Konsekuensinya saat ini adalah saya akan tetap berurusan dengan pengejaan nama belakang yang agak sulit untuk orang Belanda. Tidak mengapa, lumayan untuk melatih otak juga, mengeja nama sendiri.
Punya cerita unik seputar nama?
Catatan tambahan : Membaca komentar Noni jadi teringat kalau kata Ibu saat saya baru lahir diberikan nama Sayekti (nama pemberian dari Mbah Kakung), tetapi beberapa hari badan saya panas sampai hampir kejang. Akhirnya nama Sayekti diganti menjadi Deny. Percaya tidak percaya, sakit panas jadi hilang.
-Den Haag, 18 Agustus 2016-
Foto dipinjam dari http://slideplayer.nl/slide/2827506/