Hidup berpindah bukan hal baru lagi buat saya. Sejak umur 15 tahun saya sudah merantau. Lulus SMP di Situbondo saya memutuskan ingin melanjutkan sekolah di Surabaya. Orangtua menyetujui. Walhasil sejak umur 15 tahun saya sudah menjadi anak rantau, tinggal di rumah kos, hidup mandiri demi cita-cita melanjutkan pendidikan di SMA favorit di Surabaya. Selama 10 tahun setelahnya saya habiskan waktu di kota yang sama. Melanjutkan kuliah dan bekerja di salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia. Selama kurun waktu tersebut, tercatat saya pindah 4 kali tempat kos. Pada tahun ke 10, saya merasa saatnya untuk pindah kota. Menetap di satu tempat yang sama dalam jangka waktu yang lama membuat saya terlalu merasa nyaman, malas bergerak, dan menjadi tidak peka untuk berbuat lebih dari yang sudah ada. Awalnya saya diliputi rasa cemas harus memulai segala sesuatunya dari awal. Mengenal kota yang baru, teman baru, lingkungan baru. Segala sesuatunya baru. Tetapi jika tidak memutuskan pindah, saya merasa hidup tidak ada tantangan. Bukankah manusia pada dasarnya melakukan perpindahan untuk kelangsungan hidupnya. Saya juga ingin hidup tetap berlangsung, tapi dengan keadaan yang berbeda, tidak melulu itu itu saja.
Akhirnya saya diterima kerja di Jakarta. Tidak tanggung-tanggung kantor tempat saya bekerja adalah perusahaan asing. Gegar budaya tentu saja saya alami. Bermodalkan nekad, saya seperti ingin menantang diri sendiri untuk bekerja di perusahaan tersebut. Bagaimana tidak, Bahasa Inggris saja minim sekali, pas-pasan, bahkan nyaris tidak bisa berkomunikasi. Pasti Tuhan sedang bercanda, pada saat itu pikir saya. Satu tim dengan orang-orang asing, bosnya pun orang asing, dan sehari-hari komunikasi dipaksa untuk menggunakan Bahasa Inggris. Laporan serta presentasi pun dalam Bahasa Inggris. Saya yang awalnya hampir menyerah karena nyaris tidak bisa mengikuti ritme kerja mereka, serta terkendala bahasa, pada akhirnya mampu mengimbangi. Saya berpikir lagi tujuan pindah ke Jakarta apa. Saya memotivasi diri sendiri sambil terus berusaha keras belajar untuk bisa membuktikan bahwa saya mampu dan bisa lebih dari yang mereka kira. Bersyukur, pelan-pelan tapi pasti hampir tiap tahun mendapatkan promosi jabatan. Dari awalnya posisi paling bawah, pelan-pelan bisa naik sampai pada posisi yang saya targetkan. Dari anak kampung yang awalnya belepotan berbicara dan menulis dalam Bahasa Inggris, dengan kerja keras dan semangat ingin maju, saya bisa selangkah lebih pada yang dituju. Pada akhirnya saya berterima kasih pada diri sendiri bahwa dulu memutuskan pindah. Berpindah memberikan saya waktu untuk bergerak maju, tidak membiasakan diri untuk diam karena bisa belajar banyak hal baru. Pindah itu seperti mencari ilmu.
Enam tahun di Jakarta, berkarir pada satu tempat yang sama kembali membuat saya gelisah. Sudah saatnya harus kembali pindah. Saya merasa ditempat itu tidak terlalu memberikan tantangan lagi. Saya kembali mencari alasan untuk keluar dari zona nyaman. Kuliah, ya itu sepertinya jawaban yang tepat. Momennya juga tepat. Akhirnya saya kembali mengemas barang, pindah ke kota yang lama pernah saya singgahi, Surabaya. Kenapa harus Surabaya? Karena saya sudah jatuh cinta dengan kota ini, terutama makanan dan orang-orangnya. Lain waktu saya akan bercerita tentang Surabaya. Saya sangat antusias ketika menyadari bahwa pindah kali ini adalah untuk menuntut ilmu. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Surabaya kembali, saya ingat betul pernah berujar dalam hati โPindah kali inipun bersifat sementara. Setelah kuliah ini selesai, saya ingin tinggal diluar Indonesia. Entah dimana, tapi saya harus bertualang jauh dari negeri ini. Saya ingin seperti busur panah yang kali ini dalam tahap ditarik pemanahnya, disuatu saat nanti akan dilepas, meluncur jauh dari titik semulaโ
“Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman.
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan.
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang”
-Imam Syafi’i-
Dan apa yang saya ucapkan pada waktu itu, 2.5 tahun lalu, saat ini terjadi. Saya akan pindah lagi, jauh dari Negeri sendiri, merantau mengadu nasib di Negara orang. Saya akan mencoba peruntungan, mencari penghidupan dan kembali berburu ilmu disamping menjalankan peran sebagai seorang istri. Beradaptasi bukan perkara yang kecil. Tapi dengan pengalaman yang sudah saya lewati sebagai perantau, saya yakin bahwa semua akan teratasi, perlahan tapi pasti.
Karena pindah kali ini jaraknya sangat jauh, lintas benua, maka pengalaman mengemas barang juga berbeda. Banyak barang yang harus saya relakan untuk dihibahkan. Contohnya buku-buku yang sedikit demi sedikit saya kumpulkan, karena dulu niatnya ingin mempunyai taman baca, akhirnya dengan berat hati saya hibahkan untuk taman baca milik teman. Baru menyadari ternyata buku yang saya kumpulkan selama ini mencapai 300an buku. Semoga mereka menemukan pemilik yang akan selalu menyayangi dan merawat penuh kasih. Proses Packing ini pun memakan waktu lama. Saya harus memilih satu persatu barang yang harus dibawa, barang yang harus dibuang, ataupun barang yang harus diberikan pada orang supaya tetap bermanfaat. Seperti sebuah kenangan, ada yang harus disimpan, ada yang harus dibuang. Begitu juga barang. Pindah juga mengajarkan keikhlasan. Merelakan barang kesayangan berpindah tangan.
Pindah juga artinya berpisah dengan orang-orang tersayang. Keluarga, teman, dan handai taulan. Proses berpamitan pun dilakukan, untuk mengabarkan bahwa saya tidak akan bisa mereka temui lagi dalam kurun waktu tertentu. Meskipun tidak bisa bertemu secara fisik, namun dengan kemajuan teknologi, tentu saja berkirim pesan bukan hal yang jauh dari jangkauan . Semua tetap menjadi mungkin untuk saling menjaga silaturahmi.
Dalam hitungan jam, sekarang saya siap untuk terbang. Pergi ke tempat baru, lingkungan baru, bersiap mendapatkan kenalan baru, pengalaman baru, dan keluarga baru.
Pindah selalu menimbulkan sensasi yang luar biasa meskipun melewatinya tidak selalu mudah. Pindah kali ini berbeda karena menuju Suami tercinta.
9 Januari 2015. 5 bulan pernikahan, daaanโฆ Akhirnya lulus juga. Yiaayy!! Rasanya senaangg sekali. Bahagia tiada tara. Seminggu ini dipenuhi perasaan berkecamuk setelah jadwal sidang diumumkan dan mendapati salah satu penguji adalah Professor yang memang ahlinya berkaitan dengan topik Tesis saya. Antara pengen mundur tidak mau melanjutkan karena takut diuji beliau (terbayang pertanyaan-pertanyaan kritis yang akan terlontarkan), tapi sayang juga kalau mundur karena tinggal selangkah lagi. Seminggu penuh drama air mata, nangis sana sini tidak jelas juga nangis karena apa. Belum lagi selama proses mengerjakan Tesis juga dipenuhi drama-drama lainnya yang tidak kalah luar biasanya. Nggondok sama Dosen Pembimbing, menyerah dengan topik yang terlalu sulit, LDM sama suami semakin membuat rasa malas makin menjadi untuk segera mengakhiri kuliah ini
Hari yang dinanti akhirnya datang juga. Ternyata sidang Tesis tidak seseram seperti yang diduga (sekarang aja bisa ngomong gini, tadi malam blingsatan ga bisa tidur ga doyan makan). 45 menit tidak terasa karena suasana seperti diskusi. Tidak ada pertanyaan menjatuhkan. Bahkan Bapak Professor memberikan arahan untuk perbaikan Tesis saya. Wah! Bapak ternyata tidak seseram yang saya kira ๐
Terima kasih untuk Ibu yang selalu menenangkan, membesarkan hati walaupun berkali-kali saya telepon hanya untuk sekedar menangis, yang selalu ada kapanpun saja. Terima Kasih untuk Mas Ewald yang hari ini tidurnya tidak nyenyak karena saya paksa untuk bangun jam 3 pagi waktu Belanda dan harus tetap bangun sampai saya selesai sidang, juga orang pertama yang menelepon saya ketika tadi siang dinyatakan lulus. Mas Ewald juga yang selalu menguatkan saya untuk jangan menyerah, fokus pada apa yang ingin saya raih. Dan yang tidak kalah pentingnya, terima kasih kepada Almarhum Bapak. Kalau tidak karena janji yang terlontar sebelum Bapak meninggal, saya tidak akan mungkin sampai pada tahap ini. Dan hari ini saya membuktikan dan menepati janji saya untuk Almarhum Bapak bahwa pada akhirnya saya lulus kuliah. Terima kasih Bapak.
Dan terima kasih untuk mereka yang selalu saya repotkan dengan cerita-cerita putus asa saya, terima kasih untuk saudara, teman-teman, dan adik-adik yang telah mendoakan saya. Terima kasih.
Kelulusan ini juga semacam kado 5 bulan pernikahan. Sekarang saatnya tidur nyenyak, dan makan-makanan enak, kemudian memikirkan revisi.
Benar adanya, bahwa ujian itu harus dihadapi, diselesaikan, bukan dihindari.
2014 memang tahun penuh kejutan untuk saya. Banyak kejadian tidak terduga, tidak hanya yang menyenangkan, yang tidak menyenangkan juga singgah dalam roda waktu ditahun ini. Sama seperti tahun lalu, tidak banyak perjalanan yang sempat saya lakukan karena sebagai mahasiswa masih mengirit uang buat jalan-jalan sementara kebutuhan penelitian juga lumayan banyak. Bersyukurnya diberikan kesehatan yang baik sepanjang tahun. Semakin berkomitmen untuk menjalankan Raw Food dan Food Combining (sejak lama saya tidak makan daging dan unggas). Semakin rajin lari pagi dan berenang. Dan 2014 menjadi tahun yang mengesankan karena diberikan kesempatan bertemu belahan jiwa dan berbagi hidup serta cinta dengannya.
Januari 2014
Januari selalu menjadi bulan penuh kenangan. Pada tahun ini, genap dua tahun Bapak sudah tenang bersama Allah. Setiap tahun saya, ibu, dan adik-adik harus berjuang keras mengatasi trauma ditinggalkan Bapak secara mendadak. Dan saya selalu percaya bahwa waktu yang akan menyembuhkan trauma itu.
Februari 2014
Bulan yang tidak akan pernah dilupa. Di bulan ini saya pertama kali bertemu muka dengan Mas Ewald (kali ini pakai nama lengkap, karena sedang tidak malas mengetik :D) pada tanggal 2 Februari, yang kemudian dilanjutkan dengan melamar langsung ke Ibu. Kami sekeluarga tidak pernah menduga kalau dia akan seserius itu. Lamaran tidak langsung dijawab. Ibu masih keberatan karena saya masih kuliah dan belum siap kalau harus tinggal berjauhan. Tapi saya tentu saja senang dilamar. Yiaayy!! ๐ Di bulan ini pertama kali Mas Ewald menginjakkan kaki di Indonesia, bahkan sampai ke Situbondo, kota saya dibesarkan. Akhirnya saya dan adik mengajak jalan-jalan dia ke Bromo, Kawah Ijen, Pantai Merah, dan Air Terjun Madakaripura. Cerita Kawah Ijen ada disini
Maret 2014
Anggota keluarga bertambah satu karena adik saya melahirkan bayi laki-laki yang lucu. Di bulan Maret ini juga usia saya berkurang secara arti namun bertambah secara angka. Harus lebih baik lagi dalam menjalani hari karena saya tidak tahu sampai dimana dan kapan usia saya harus terhenti. Lebih banyak bersyukur dan melakukan kegiatan yang berarti
April 2014
Visa ke Belanda akhirnya disetujui. Saya ke Belanda dalam rangka berkenalan dengan keluarga Mas Ewald dan mencari kemantapan hati bahwa Mas Ewald adalah “orangnya”. Jadi, lamaran Mas Ewald belum bisa dijawab sebelum saya berkenalan dengan keluarganya dan melihat kehidupan disana.
Mei 2014
Untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Eropa, tepatnya di Belanda. Tidak pernah terpikirkan akan sampai di Negara yang selama ini saya selalu berjuang untuk mendapatkan beasiswa disalah satu universitasnya. Jungkir balik saya mengikuti tes untuk mendapatkan beasiswa di TU Delft, tapi tidak pernah lolos. Ternyata saya malah ke Belanda dalam rangka bertemu calon mertua. Dan salah satu impian terbesar saya dapat terwujud yaitu mengunjungi Keukenhof dan Red Light District. Pasti tidak menyangka bahwa saya sangat ingin pergi ke RLD ๐ Entah kenapa, banyak hal di hidup saya selalu bermula dari mimpi. Pertemuan dengan keluarga di Belanda berjalan lancar. Dan dibulan ini juga hati saya sudah mantap untuk berbagi hidup dalam suka dan duka dengan Mas Ewald. Setelah 2 minggu di Belanda, saya dan keluarga memulai persiapan pernikahan yang dilaksanakan bulan Agustus 2014.
Juni 2014
Akhirnya saya maju proposal Tesis juga. Setelah sekian lama ditunda dan berganti topik beberapa kali, pada saatnya lulus juga proposal Tesis. Senangnya bukan main. Tinggal selangkah lagi menuju lulus. Dan dibulan Juni ini juga untuk pertama kalinya saya belajar Bahasa Belanda. Jadi bulan Juni ini adalah bulan sibuk. Belajar Bahasa Belanda, sibuk mengerjakan Tesis, dan mempersiapkan pernikahan. Tapi saya jalani semua dengan santai. Saya selalu yakin bahwa pada saatnya nanti, semua akan terlewati. Jadi tidak perlu bingung atau tertekan.
Juli 2014
Ada berita tidak nyaman di bulan ini. Saya tidak bisa maju sidang Tesis yang artinya tidak bisa wisuda bulan September dan harus molor satu semester. Rasanya campur aduk. Sedih, kesal, jengkel, dan kecewa. Tapi saya mencoba berdamai dengan diri sendiri. Mungkin memang ini yang terbaik karena beberapa bulan kedepan saya akan sibuk dengan banyak urusan .
Berita baiknya, proses aplikasi Beasiswa S3 satu tahun lalu mendapatkan jawaban baik. Iya, saya mendapatkan beasiswa S3. Tapi sayangnya pada saat ini saya tidak bisa mengambil beasiswa itu. Rencana hidup setahun lalu dan saat ini sudah berubah. Sedih karena dulu saya ingin sekali melanjutkan sekolah disana. Namun, hidup adalah tentang memilih. Mudah-mudahan ini pilihan terbaik untuk masa depan saya dan suami.
Agustus 2014
Bulan yang tidak akan dilupa. 9 Agustus 2014 saya resmi menjadi Istri Mas Ewald. Setelah 8 bulan lalu sejak pertama berkenalan akhirnya ini adalah awal baru dalam kehidupan saya. Kini, saya menemukan tangan yang bisa selalu digenggam dalam setiap gerak menuju masa depan yang belum pasti, tapi akan bersama kami lalui. Dengan persiapan hanya 3 bulan, dengan segala macam birokrasi di Indonesia dan Kedutaan Belanda, bersyukur semua berjalan lancar. Mas Ewald sangat menikmati proses pernikahan di Indonesia. Dia juga senang mendapatkan keluarga baru, keluarga besar. Dibulan ini juga saya memulai memperkenalkan tentang Indonesia dengan perjalanan yang tidak akan terlupa selama 3 minggu : Bali-Surabaya-Jember-Jogjakarta-Semarang-Karimunjawa-Solo-Jakarta-Bandung. Mas Ewald belajar dan mengenal banyak hal baru. Dari makanan, budaya, dan adat istiadat. Bahkan Mas Ewald akhirnya menemukan kembali jejak rumah keluarganya di Jl. Surabaya No.40 Jakarta. Ceritanya pernah saya tulis disini.
September 2014
Untuk pertama kalinya saya dan Mas Ewald mengikuti lomba lari bersama. Kami mengikuti Bromo Marathon pada tanggal 7 September 2014. Saya pada 10K sedang Mas Ewald pada Half Marathon. Ya, kami memang mencintai lari. Karenanya kami berkomitmen untuk tetap mengikuti perlombaan lari bersama setelah saya pindah ke Belanda. Buat kami, berlari bukan hanya tentang mengalahkan diri sendiri, tetapi berlari adalah tentang meditasi dan kontemplasi. Pada bulan ini Mas Ewald harus kembali ke Belanda dan babak baru Long Distance Marriageย (LDM) pun dimulai.
Oktober 2014
Setelah sekian lama tidak pernah melakukan kegiatan mendongeng, akhirnya pada tanggal 18 Oktober 2014 saya bersama teman-teman yang tergabung dalam Bookstart Indonesia melakukan kegiatan berbagi buku kepada anak-anak Kelud. Salah satu kegiatannya adalah pelatihan story telling kepada para Ibu. Senang rasanya kembali bergelut dengan hobi saya, yaitu bercerita.
Pada tanggal 28 Oktober 2014, setelah kurang lebih 5 bulan belajar Bahasa Belanda, akhirnya saya lulus tes Bahasa Belanda di Kedutaan Belanda Jakarta sebagai syarat untuk mendapatkan ijin tinggal. Senang sekali perjuangan belajar bahasa baru membuahkan hasil yang sangat memuaskan. Ceritanya pernah saya tulis disini. Dan proses pengajuan ijin tingal (MVV) pun dimulai. Semakin percaya bahwa segala sesuatu yang dikerjakan secara maksimal dan penuh cinta, pasti akan membuahkan hasil yang sepadan.
Dibulan Oktober ini juga, Ibu harus menjalani operasi ketiga setelah mengalami kecelakaan pada 2012 lalu. Operasi tempurung kepala. Bersyukur semuanya berjalan lancar.
November 2014
Saya mulai kembali mengerjakan Tesis yang terbengkalai karena hanya punya waktu 2 bulan sampai pada deadline untuk mengumpulkannya. Diantara rasa malas, kangen suami, dan ingin memenuhi janji pada Almarhum Bapak bahwa saya harus menyelesaikan kuliah, mengerjakan Tesis pun diisi dengan rasa yang campur aduk. Tapi saya tetap bertekad bahwa kuliah ini harus segera diakhiri, karena suami memberi ultimatum bahwa saya tidak boleh pindah ke Belanda sebelum dinyatakan lulus.
Desember 2014
Awal bulan mendapatkan berita yang menggembirakan. 1 Desember 2014 MVV saya sudah keluar. Bahagia rasanya bahwa dalam waktu yang tidak lama lagi saya bisa berkumpul dengan suami. LDM dalam waktu hampir 4 bulan sangat tidak nyaman rasanya.
24 Desember 2014 akhirnya saya mengumpulkan draft Tesis. Belum ada jadwal sidangnya, tapi rasanya senang karena pada akhirnya bisa juga menyelesaikan mengerjakan Tesis. Semoga Januari 2015 saya mendapatkan kabar gembira, lulus kuliah. Amin.
27 Desember 2014 tulisan yang saya kirim terpilih menang. Ceritanya saya tulis disini. Hadiahnya memang tidak seberapa, tapi penghargaan atas karya itu lebih dari segalanya.
Dan, berita gembira di penghujung tahun benar-benar tiba. 31 Desember 2014, Yap hari ini, Visa tinggal saya (MVV) sudah keluar. Bersyukur berkali-kali bahwa saya dan Mas Ewald sebentar lagi akan segera bersama kembali setelah hampir 4 bulan terpisah. Kejutan akhir tahun yang menyenangkan.
Saya meyakini bahwa Tuhan selalu mempunyai rencana yang indah dibalik setiap kejadian yang mengisi kehidupan kita. Tawa bahagia, kisah sedih merupakan bagian roda waktu yang tidak dapat dipisahkan. Benar adanya bahwa ketika rencana yang sudah disiapkan tidak berjalan dengan baik, Tuhan menyiapkan yang lebih baik. Saya sudah mencapai garis finish dengan baik dan selamat. 2014 adalah tahun yang luar biasa. Bertemu teman-teman baru, keluarga baru, pengalaman baru, dan banyak pembelajaran baru. Terima kasih 2014.
Selamat datang 2015. Biarkan saya menyambut tahunmu dengan rasa penasaran tentang kejutan apakah yang sudah kau persiapkan. 2015 akan menjadi tahun yang penuh tantangan. Semoga rasa syukur tidak pernah terhenti terucap disetiap desah nafas yang terhembuskan. Semoga keberkahan, kebahagiaan, dan kesehatan yang baik selalu menyertai langkah kami dan keluarga, juga teman-teman semua di tahun 2015.
Hidup itu seperti berlari marathon, tak ada tempat pemberhentian dan selalu butuh perjuangan sampai pada satu titik bernama impian
Ini tentang cerita sebuah kejutan manis menjelang akhir tahun. Tadi malam sekitar jam 10, seperti biasa menjelang tidur saya menjelajah Twitter, karena social media ini seringkali membuat saya jadi gampang mengantuk, pengganti buku walaupun fungsinya tidak sepenuhnya bisa menggantikan buku. Mata terpaku pada salah satu akun yang saya follow . Jia Effendie, salah seorang penulis buku, pencerita, penulis puisi, pembaca puisi, dan editor yang memang saya kagumi tulisannya sejak dia mempunyai blog di Multiply. Bahkan saya juga pembeli setia buku-bukunya. Mungkin saya pernah menceritakan sebelumnya kalau saya itu penggila puisi dan cerita pendek. Saya penikmat puisi dan sangat menikmati waktu, ketika bermain dengan kata-kata. Iya, saya adalah pencinta aksara yang terjalin menjadi sebuah cerita. Karenanya saya sangat jatuh cinta dengan Bahasa Indonesia. Ah, mari kembali lagi ke bahasan utama, melantur terlalu panjang. Jadi, tadi malam Jia mengumumkan semacam sayembara : membuat tulisan tentang Menemukan Teman Hidup diblognya. Saya membaca persyaratannya, ternyata tidak sulit. Tulisan ditunggu sampai jam 12 malam. Mata menahan kantuk, tapi saya penasaran ingin ikut. Saya buka laptop, lalu perlahan mengotak-atik tulisan lama yang pernah diposting juga diblog ini tentang โ301113 โ Masa Dimana Semuanya Bermulaโ. Setelah otak-atik sebentar, saya kirim, lalu tidur. Tidak berharap banyak akan menang, karena saya tahu selera Jia akan sebuah tulisan sangatlah tinggi. Jadi niatnya iseng, lumayan kalau bisa nambah teman.
Sekitar jam 2 dini hari saya terbangun, seperti biasa waktunya ngobrol sama suami. Resiko LDR beda benua salah satunya harus semacam jadi Hansip di Pos Ronda, terjaga sampai dini hari. Saya melihat ada email yang masuk. Begitu saya buka, tarraaa!! Ternyata tulisan saya yang menang. Waahh, senangnyaa! Padahal saya membaca tulisan-tulisan lainnya juga tidak kalah bagus. Alhamdulillah ๐
Saya akan mendapatkan hadiah sebuah buku dari Winna Efendi berjudul Happily Ever After. Seperti biasa, hadiah buat saya adalah bonus. Melihat nama terpampang itulah rasa yang sangat luar biasa. Seperti pengakuan akan sebuah karya.
Dan ini bukan kali pertama saya menang semacam kuis yang berawal dari Twitter, dan semuanya memang selalu berhubungan dengan tulisan. Awal saya mulai aktif di Twitter, sekitar 2009, menang kuis pertama kali dari Detik, membuat tulisan tentang liburan. Saya menang payung, mug, kaos, buku, dan pulpen. Setelahnya ikut kuis-kuis yang berhubungan dengan menulis puisi dan cerpen, sampai beberapa tulisan saya termuat dalam beberapa buku tentang antologi cerpen dan puisi. Saya pernah menuliskan ceritanya disini. Dan sekarang, tulisan saya menang lagi. Senangnya bukan main ๐ Selain Twitter, saya juga pernah menang kartu pos lewat Instagram. Jadi, social media tidak selalu menyebalkan. Hubungan saya dengan Twitter dan Instagram serta Blog sejauh ini yang paling menyenangkan. Lumayan bisa mengumpulkan pernak-pernik hadiah, bahkan sampai bisa membuat buku juga berawal dari social media.
Namun impian besar saya tetaplah sama. Mempunyai buku berisi hasil karya sendiri, bukan antologi. Buku tentang Puisi atau Cerita Imajinasi.
Tahun masih belum berakhir, dan saya sedang menunggu kejutan yang lain. Bagaimana denganmu?
Apa yang ada dipikiran ketika mendengar kata deadline atau tenggat? Bagi saya deadline adalah kepanikan. Saya tidak suka dengan deadline malah cenderung benci karena merasa kreatifitas dan waktu saya dibatasi. Tapi kalau tidak ada deadline seringkali saya menjadi tidak disiplin. Meremehkan dan menggampangkan. Ujung-ujungnya tidak menyelesaikan apa yang sudah dikerjakan. Santai kayak dipantai . Atau kalaupun menyelesaikan , seringkali jauh dari waktu yang sudah ditargetkan.
Target dan tenggat adalah dua hal yang berbeda. Target adalah sesuatu yang sudah ditetapkan untuk dicapai. Sedangkan tenggat adalah batas waktu. Jadi kalau target adalah obyeknya. Sedangkan tenggat adalah batas waktu yang ditetapkan untuk mencapai target.
Dulu waktu saya masih aktif bekerja, setiap hari selalu ada deadline. Tidak pernah tidak. Dan tenggatnya pun tidak tanggung-tanggung. 1 jam sejak diberikan tugas. Kadang saya suka kesal sekali sama yang memberi batas waktu. Senangnya mendadak, tidak memikirkan tingkat kesulitannya. Bahkan kalau saya sedang diluar kota pun masih sering mendapat tugas mendadak dan diberikan batas waktu dihari yang sama untuk menyelesaikannya.
Deadline tidak selalu sesuatu yang negatif untuk saya. Seringkali saya malah berterimakasih dengan adanya deadline karena tingkat kreatifitas mendadak diatas rata-rata. Kalau orang bilang sih, bisa karena terpaksa. Iya, awalnya saya menganggap susah untuk menyelesaikan sesuatu sesuai batas waktu yang diharapkan. Tapi kalau sudah mendekati tenggat, entah kenapa ada saja ide yang muncul dan mengalir deras sampai terkadang berlebihan, malah keluar dari jalur dan tidak sesuai dengan yang seharusnya.
Dan satu lagi, saya tipe orang yang perfeksionis. Mengerjakan sesuatu selalu menaruh target yang setinggi-tingginya. Dan tipe orang perfeksionis, tidak bisa mengerjakan sesuatu dalam waktu yang singkat. Butuh waktu lebih untuk membuat segala yang dia kerjakan lebih sempurna dibandingkan pekerjaan orang lain. Misalkan : ketika sedang mengerjakan presentasi di powerpoint, ada saja yang membuat lama si perfeksionis ini. Mengotak-atik tipe huruf, tebal tipis, garis bawah, huruf miring, belum lagi memilih animasi. Sampai teman sering gregetan karena saya selalu mengeluh, merasa pekerjaan saya tidak sempurna. Jadi selain isi dari presentasinya, tampilan luar juga tidak kalah penting buat saya. Selain itu, saya selalu membuat outline tentang apa yang akan saya lakukan. Jadi walaupun mengerjakan dengan waktu yang singkat dengan membuat outline lebih membantu menyelesaikan pekerjaan secara cepat dengan hasil yang mendekati maksimal.
Nah, saya sekarang sedang kejar tayang atau sedang dikejar deadline tesis. Tanggal 24 Desember 2014 (6 hari lagi-tabuh genderang) adalah batas waktu penyerahan draft final tesis. Sebenarnya saya mempunyai waktu yang panjang sejak lulus proposal pada awal Juni 2014. Enam bulan seharusnya waktu yang sangat cukup untuk menyelesaikan tesis. Tapi, ada saja halangan. (Dan alasan sebagai pembenaran diripun mulai dijabarkan), setelah proposal, dosen pembimbing saya liburan ke Belanda satu bulan, saya sibuk les Bahasa Belanda, mempersiapkan pernikahan, menikah, jalan-jalan sebulan, dan terakhir mempersiapkan tes Bahasa Belanda. Setelah lulus tes Bahasa Belanda, tiba-tiba saya tersadar kalau waktu tinggal 1.5 bulan untuk menyelesaikan tesis. Saya panik. Awalnya saya tidak tahu harus mulai darimana karena terus terang setelah sekian lama terbengkalai, saya tidak ingat lagi apa topik tesis saya. Setelah saya mencoba membaca secara perlahan, saya mulai paham. Tapi merasa terlalu susah metode yang saya pilih (milih-milih sendiri, susah menggerutu). Akhirnya saya mencoba mencari metode yang lebih sederhana tetapi tidak keluar jalur dan masih sesuai dengan topiknya. Singkat cerita, karena saya harus menyelesaikan kuliah semester ini (kalau tidak selesai tidak boleh berangkat ke Belanda kata suami. Hiks kejam), akhirnya saya menemukan banyak cara kreatif berhubungan dengan metode. Karena saya kuliah di teknik pasti banyak angka-angka yang bertaburan di tesis saya. Tetapi karena topik tesis saya adalah tentang marketing, diwajibkan juga merangkai kata-kata indah untuk analisa mendalam. Semakin mendekati batas waktu, semakin kreatif saja yang saya rasakan. Entah benar atau tidak secara akademis, yang penting saya mengerjakan sesuai dasar teori, dan benar menurut alur berpikir. Selain mengandalkan daya analisa, kalau sedang kepepet begini, saya juga mengandalkan lobi-lobi. Seperti hari ini, saya menghadap dosen pembimbing dua dan menyodorkan form pendaftaran sidang tesis. Padahal saya belum selesai mengerjakan. Tapi saya โmerayuโ minta tanda tangan terlebih dulu dengan mengatakan ini itu, jangan lupa pasang muka sendu dan mata yang sayu, supaya tujuan lancar.
Dan ditanggal yang sama, saya harus mengurus visa ke Jakarta. Ah, mendadak heboh. Ya sudah dikerjakan satu persatu. Yakin pasti selesai. Ya minimal bagian ucapan terima kasih sudah saya persiapkan. Menurut saya, inti dari mengerjakan skripsi, tesis atau menulis buku, adalah bagian ucapan terima kasih.
Dan walaupun sedang kejar tayang, masih juga sempat-sempatnya curhat diblog, sempat komentar sana sini, sempat ngegosip sama dosen, sempat… ah, sudahlah, sempat semua ternyata.
Beberapa hari ini saya pulang ke rumah. Kegiatan pagi hari yang saya lakukan ketika pulang ke Situbondo adalah belanja ke tukang sayur dekat rumah. Dalam perjalanan menuju kesana, saya berpapasan dengan teman SD yang rumahnya tidak jauh dari rumah orangtua. Kemudian terjadilah percakapan seperti ini :
โGimana, sudah hamil belum?โ
โBelumโ
โLho, kenapa belum hamil?โ
โKamu sedang bertanya kepada saya, atau sedang bertanya kepada Allah yang berhak menjadikan saya hamil?โ
Saya jarang pulang ke Situbondo, rumah orangtua, kota saya dibesarkan. Paling cepat, satu bulan sekali. Dan ketika saya pulang, otomatis saya juga jarang kemana-mana. Paling jauh ya beli rujak, atau belanja di tukang sayur, atau ke supermarket dekat rumah untuk beli es krim. Saya memang dari kecil tidak terlalu suka bersosialisasi dengan tetangga. Menyapa seadanya, selebihnya tinggal dirumah. Tidak kemana-mana. Ditambah lagi sejak umur 15 tahun saya sudah hidup merantau, tinggal di Surabaya yang menyebabkan tidak mempunyai banyak kawan lagi di Situbondo.
Dengan keadaan seperti itu, otomatis saya pun hampir tidak pernah bertemu dengan teman SD itu dalam jangka waktu yang lama. Terakhir bertemu 4 bulan lalu sewaktu dia menikah, seminggu sebelum pernikahan saya. Seyogyanya, pertanyaan yang lazim adalah โHai Den, kapan datang? Gimana kabarnya? Suami ikut?โ ya, basa basi dulu lah, bukan langsung main tembak dengan melontarkan pertanyaan yang pertama.
Mungkin bagi dia, atau bagi beberapa orang, pertanyaan seperti itu adalah cara mereka untuk berbasa-basi, cara untuk memulai sebuah percakapan. Sama halnya dengan โGimana kabarnya? Sudah menikah belum?โ Buat sebagian orang Indonesia, pertanyaan itu (mungkin dikategorikan) sangatlah lumrah karena masyarakat kita sangat terkenal dengan keramahannya, peduli dengan kabar terkini lingkungannya, yang dikemudian hari saya artikan bahwa antara ramah, peduli dan menuntaskan keingintahuan pribadi perbedaannya sangatlah besar. Karena terlalu peduli dengan kabar orang lainpun menjadikan infotainment di Negeri ini seolah tidak pernah berhenti hilir mudik membombardir tayangan televisi, bahkan dini hari sekalipun โiya, saya pernah menonton yang tayangan dini hari.
Saya sangat tidak bermasalah, tidak sensitif maupun tersinggung jika menjawab tipe pertanyaan yang seperti itu, jika ditanyakan dengan tulus. Bukan ingin menuntaskan keingintahuan yang berujung dengan pertanyaan-pertanyaan penghakiman ataupun pelabelan. Bagaimana saya bisa membedakan yang tulus dan tidak tulus? Ya kalau itu berdasarkan jam terbang. Saya tumbuh diantara pertanyaan โKenapa belum menikah?โ jadi saya sudah tahu dengan pasti mana pertanyaan datang dari hati ataukah yang hanya basa basi.
Sebenarnya pertanyaan โKenapa belum hamil?โ ini bukan hanya sekali dua kali saja ditanyakan. Sejak seminggu menikah, ada teman SMA yang secara khusus mengirim pesan ke whatsapp dan bertanya โSudah ada hasil?โ yang membuat saya tercekat. Mungkin dia pikir satu-satunya tujuan menikah adalah wadah untuk mencetak anak secara legal. Dan mungkin dia pikir ketika pernikahan sudah terjadi artinya mesin pencetak anak sudah mulai berfungsi sehingga anak harus segera terealisasi. Dan rentetan pertanyaan juga bertubi datang dari keluarga. Pada saat hampir bersamaan dengan saya menikah, ada beberapa sepupu juga menikah. Dan sekarang mereka sudah hamil semua. Saya tentu saja senang. Artinya saya akan mempunyai beberapa calon keponakan. Tetapi rasa senang saya terkadang ternodai dengan komentar saudara yang lain. Membandingkan saya dengan sepupu-sepupu yang menurut mereka tingkat kesuburannya jauh lebih baik dari saya. Pernah tidak mereka berpikir sedikit saja tentang apa yang saya rasakan ketika mereka berpendapat seperti itu. Pernah tidak terlintas bagaimana perasaan ibu saya apabila perkataan itu didengar oleh beliau. Saya bisa bersikap tidak peduli karena saya sudah terbiasa dengan omongan dan gunjingan orang. Tapi belum tentu dengan Ibu saya.
Dan sebenarnya pertanyaan seperti itu (mungkin) lumrah terlontar ketika dalam sebuah rumah tangga masih belum dikaruniai anak, tidak peduli jangka waktunya. Apakah baru seminggu menikah, ataupun sudah berpuluh tahun bersama. Yang menjadi tidak santun adalah โseperti yang sudah saya sebut sebelumnya- rentetan penghakiman dan pelabelan yang tanpa ampun datang bertubi. Tidak semua pasangan menjadikan anak sebagai prioritas dalam sebuah pernikahan. Pertanyaan seperti ini yang sekarang menghiasi hidup (baru) 4 bulan pernikahan saya:
โKamu kenapa belum hamil? Menunda ya? Kenapa harus ditunda? Anak kan rejeki. Rejeki kan dari Tuhan, jadi kalau menunda punya anak, berarti menunda dapat rejekiโ <–oh well, yang ngomong seperti ini seperti agen asuransi yang sedang menawarkan investasi jangka panjang yang bernama anak.
โKamu kenapa belum hamil? Wanita itu punya batas waktu bereproduksi lho. Kalau tidak disegerakan, bisa-bisa susah dan malah ga bisa punya anak nantinyaโ <– yang inipun tidak kalah menyeramkan, seakan dia Maha Penentu segalanya sehingga tahu pasti apa yang akan terjadi nantinya.
โKamu kenapa belum hamil? Sudah periksa ke dokter penyebabnya? Takutnya karena telat menikah jadi ada masalah dengan hormonnyaโ <– belum hamil dan telat menikah dalam satu rentetan kalimat. Well, perfect.
โKamu kenapa belum hamil? Suami kamu tidak ada masalah kan? Coba diperiksakan saja, takutnya yang bermasalah malah suami kamu. Ya kita kan tidak tahu disana sebelum menikah dia ngapain saja. Takutnya ada penyakit apa gituโ <– Pengen nempelin semacam lakban ga ke mulut orang yang nanya. Kalau saya tidak pernah mempermasalahkan hidup suami sebelum menikah, kenapa dia harus repot berpikir sampai sejauh itu.
โKamu kenapa belum hamil? Kasihan ibu kamu lho ditanya tetangga dan saudara kenapa anaknya belum hamil jugaโ <– Kamu kasihan ga sama saya ketika bertanya seperti ini?
Terima kasih untuk segala macam perhatian dan masukannya. Saya sangat berterimakasih sekali. Terima kasih untuk segala doa yang selalu terucap pada saya dan suami utuk segera mempunyai anak.
Namun saya akan lebih berterimakasih jika membiarkan kami menjalani hidup secara normal. Tanpa pertanyaan yang menyudutkan. Tanpa perhatian yang membuat jengah. Tanpa perasaan mencoba peduli yang ujungnya membuat sakit hati. Dan disetiap pertanyaan yang terlontar, sayapun tidak harus menjawab secara rinci tentang rencana hidup kami. Saya akan berbagi cerita hanya dan hanya kepada orang yang saya percaya. Dan hey, kami saja tidak ribet dengan urusan anak.
Mari membiasakan diri untuk memilah dan memilih, mana yang perlu dan pantas untuk diucapkan, mana yang santun untuk dikatakan. Tempatkan diri kita pada lawan bicara. Jika memang tujuannya hanya sekedar basa-basi, pikirkan berulang kali. Tidak masalah berbasa-basi, jika memang betul-betul peduli, bukan menghakimi. Meminimalkan basa-basi, membuat hidup jauh lebih berarti. Hal ini juga menjadi catatan penting buat saya.
Jadi, ketika ada yang bertanya โkenapa kamu belum hamil?โ sudah tahu kan saya akan menjawab apa.
Saya dan kamu adalah dua asing dalam ruang yang berbeda. Kamu melihat saya, tanpa ada niat untuk menyapa. Hanya memandang dari sudut ruang yang berbeda. Saya memulai menyapa kamu. Tanpa ada rasa, tanpa ada asa. Hanya sebuah sapaan biasa. Iseng tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Kamu membalas sapaan saya, lugas, tegas, tanpa ada kata yang bias. Kita kemudian saling bertegur sapa, memulai percakapan yang jauh dari kata istimewa. Saya dan kamu memulai semuanya dari sepotong kata. Delapan bulan kemudian, saya dan kamu melebur menjadi kita, berucap janji setia saling menjaga selamanya dan tidak akan menyia-nyiakan yang telah dipersatukanNya menjadi ikatan yang tidak akan lepas seberapa kuat goncangan dan ujian yang ada dihadapan.
Hari ini setahun kemudianโฆ
Saya dan kamu telah berubah menjadi kita dalam ruang yang sama. Kita yang pada awalnya memulai dengan sapa yang sederhana, melanjutkan langkah dengan sebongkah doa agar niat tetap kuat, saling bergandengan tangan sampai maut memisahkan. Meskipun saat ini kita masih terpisah oleh jarak namun selalu yakin bahwa keikhlasan hati untuk saling bersama mampu meretas rentang yang membentang. Jalan kita masih panjang dan tidak pernah tahu apa yang ada didepan. Mari kita jalani segalanya secara sederhana namun dengan langkah luar biasa. Langkah penuh cinta, saling berbagi tawa, suka dan duka dalam balutan doa.
Teruntuk kamu, suami dan teman terbaik dalam hidupku, Mas Ewald. Terima kasih sudah menemukan saya. The most wonderful thing i decided to do was to share my life and heart with you. Thank you
NB : 301113 adalah mahar pernikahan kami, sebuah penanda tentang masa dimana semuanya bermula.
Dan puisi dibawah ini saya tulis pada waktu itu untuk seseorang yang kelak akan menjadi imam saya. Sekarang coretan kata ini saya berikan untuk suami tercinta sebagai tanda mata karena yakin telah menjadikan saya sebagai istrinya.
Ada bentangan pantai berpasir putih di sini dengan beragam fauna yang menakjubkan, juga hutan mangrove dan hutan tropis dataran rendah yang menyajikan pemandangan menyejukan mata.
Masih dalam rangkaian jalan-jalan sebulan dari Bali dan seluruh Jawa, kali ini episode Karimunjawa. Tulisan kali ini agak panjang, jadi sabar ya membacanya. Karena pengalaman di Karimunjawa sangat sayang untuk tidak ditulis semua.
Sebelum dengan suami, saya sudah pernah ke Kepulauan Karimunjawa sebelumnya, tahun 2009, backpacker-an berenam dari Jakarta. Saat itu, Karimunjawa belum terlalu ramai seperti saat ini.
Karimunjawa adalah gugusan pulau yang sangat indah dengan hamparan pasir putih menawan, meliputi 27 pulau dalam 1 kecamatan dan terbagi dalam 3 desa. Luas tempat indah ini adalah 107.225 ha, sebagian besar wilayahnya berupa lautan (100.105 ha) sementara sisanya adalah daratan seluas 7.120 ha. Karimunjawa dijuluki Perawan Jawa, sebuah inisial yang merujuk pada perairannya begitu bening sehingga sebuah koin yang jatuh ke dalamnya akan dengan mudah ditemukan karena kejernihannya (Wonderful Indonesia)
Tidaklah susah menuju Karimunjawa. Ada dua cara melalui Jepara atau Semarang. Kalau bertanya lewat Google, maka informasi kapal menuju Karimunjawa akan sangat gampang ditemukan. Dan, tidak setiap hari ada kapal menuju pulau ini. Jadi rajin-rajin update karena jadwal bisa berubah mendadak karena kondisi cuaca, seperti yang kami alami waktu itu.
Karena sebelumnya saya menyeberang melalui Semarang, maka kali ini saya ingin merasakan melalui Jepara. Penyeberangan melalui Jepara ini dibumbui oleh drama-drama dan kejutan-kejutan. Segala informasi saya cari di google. Saya sudah memesan tiket Express Bahari (Harga tiket Rp 110.000) melalui telepon ke Agen yang (katanya) resmi. Ketika saya tanya uang harus ditransfer kemana, mas yang menerima telepon bilang tidak usah. Langsung datang ke loket pada hari H. Dari sini saja saya sudah mulai curiga kenapa uang tidak mau ditransfer. Tapi menurut mas tersebut, nama saya sudah dicatat. Jadi saya antara tenang dan tidak juga sih rasanya. Masih was-was. Sedangkan untuk tiket kembalinya, yaitu Karimunjawa โ Semarang, kami menggunakan Kapal Cepat Kartini, dan saya sudah menelepon (024) 70400010 dengan Ibu Chandra. Ini adalah nomer telepon Pelni Semarang. Jadi saya lumayan tenang karena sudah mentransfer uang (Harga tiket Rp 130.000). Ibu Chandra bilang kalau tiket fisiknya mendekati jadwal kepulangan akan dititipkan kepada salah satu awak kapal.
Jadwal penyeberangan kami Jepara-Semarang Jumat 22 Agustus 2014 (14:00-17:00). Karena sebelum ke Jepara kami menginap di Semarang, maka saya memesan travel Semarang-Jepara untuk keberangkatan Jumat jam 7 pagi, dengan asumsi masih punya banyak waktu untuk jalan-jalan disekitar pelabuhan karena lama perjalanan Semarang-Jepara sekitar 3 jam. H-1 saya masih belum memesan penginapan dan kapal untuk snorkeling disana. Malamnya, ketika sedang menunggu Mas E yang sedang menjelajah Lawang Sewu (Saya tidak pernah berani masuk ke gedung Lawang Sewu, jadi saya menunggu diluar, duduk-duduk dengan bapak satpam), iseng-iseng saya menelepon salah satu penginapan yang (lagi-lagi) saya dapat dari Google. Setelah deal masalah penginapan, mas yang terima telpon saya (lupa namanya, maaf ya mas:D) bertanya saya sedang ada dimana. Saya jawab saja masih di Semarang karena penyeberangan dari Jepara jam 2 siang jadi saya baru berangkat ke Jepara jumat pagi. Masnya terkejut, dibilang kalo penyeberangan dari Jepara dipindah pagi jam 10 karena alasan cuaca buruk. Dan pemberitahuan tentang pindah jadwal ini sudah diumumkan seminggu sebelumnya. Lah, mana saya tahu. Waakk!! Saya langsung panik. Bagaimana ini? Kalau jam 10 pagi, harus berangkat jam berapa dari Semarang, dan saya tidak tahu apakah ada travel pagi sebelum jam 7 berangkat ke Jepara. Huhh!! Asli panik sekali. Saya langsung tanya sana sini, akhirnya saya memperoleh satu nama travel (lupa lagi namanya), ada pemberangkatan jam 5, dan kursi yang tersisa tinggal 2. Pas!!
Paginya sekitar jam 5 kami sudah dijemput dan jam 6 mulai meninggalkan Semarang. Sampai di Pelabuhan Jepara sekitar jam 9.30. Dan itu yang namanya pelabuhan sudah penuh dengan lautan manusia. Wisatawan asing dan wisatawan lokal memenuhi pelabuhan. Saya tiba-tiba panik. Kami kan belum membeli tiket kapal. Kami langsung menuju loket, ternyata masih tutup. Dan antrian sudah panjang. Beberapa saat, kami mendengar kalau tiket penyeberangan sudah terjual habis beberapa hari sebelumnya. Duh! Rasanya kesal sekali. Jadi yang saya pesan lewat telepon tidak berguna. Menyebalkan!. Saya bilang ke Mas E untuk menjaga tas. Saya mau keliling nyari calo (hahaha, baru kali ini rasanya saya nyari calo). 10 menit sebelum keberangkatan saya sudah pasrah saja tidak dapat tiket karena setelah keliling, para calo bilang kalau tiket sudah habis. Saya berjalan gontai. Dan ketika sudah pasrah seperti itu, ternyata keajaiban datang. Saya melewati beberapa lelaki yang bergerombol membicarakan tiket. Sayup-sayup mendengar ada 2 tiket lebih. Langsung saya berteriak kalau saya bersedia membeli berapapun harganya. Dan, diluar dugaan, tiket dijual dengan harga normal dengan syarat saya dan Mas E disuruh menginap di penginapan saudaranya. Saya langsung menyanggupi dengan konsekuensi saya harus membatalkan reservasi penginapan yang sudah saya buat sebelumnya. Yiaayy!! Saya jogged-joged India karena kesenengan dapat tiket last minute. Mas E yang tidak mengerti jalan ceritanya saya cium-cium karena saya terlalu senang. Saya bilang kalau Tuhan selalu bersama orang-orang yang sedang bulan madu ๐
Perjalanan 3.5 jam laut kami lalui dengan lancar. Tidak ada drama mabuk laut meskipun ombak sedang tinggi. Tetapi ada drama lain didalam kapal. Kami baru sadar ternyata tiket yang sudah dibeli beda kelas. Satu VIP dan satu bisnis. Akhirnya saya yang mengalah, saya yag dikelas bisnis. Tanpa AC tentu saja, dan Mas E di VIP. Alasan saya yang mengalah, karena dia kan belum lama di Indonesia, saya takut dia merasa tidak nyaman kalau harus kepanasan tanpa AC, dan duduk berdesakan dengan penumpang yang lain. Rasanya sangat tidak nyaman duduk terpisah ruangan begitu. Biasanya runtang runtung, ngobrol dan tertawa bareng, sekarang jadi manyun sendiri. Mas E juga ternyata merasa seperti itu. Tanpa sepengetahuan saya, ternyata dia โmenyuapโ a.k.a dengan membayar tambahan 10.000 kepada awak kapal agar saya bisa satu ruangan. Suapan pertama yang dia lakukan, karena awak kapal yang ternyata memberi ide untuk membayar uang tambahan.
Sesampainya di Karimunjawa kami langsung dijemput mobil (sebenarnya jalan kaki juga bisa, sekitar 15 menit) langsung menuju penginapan. Ternyata penginapannya bersih dan nyaman sekali. Semalam harganya 80 ribu sekamar. Kamar mandi bersih dengan toilet duduk dan setiap pagi sore dapat minuman dengan rasa (kacang hijau, es cincau, teh, dan es apa ya satu lagi lupa). Pelayanan memuaskan. Di Karimunjawa penginapannya adalah rumah penduduk. Rata-rata sih bersih dan nyaman. Kalau mau menginap di hotel atau resort sih bisa. Harga menyesuaikan, artinya jauh lebih mahal dibandingkan penginapan di rumah penduduk, karena biasanya dimiliki oleh warga negara asing. Ada juga penginapan apung ditengah laut. Tapi saya juga tidak tahu harganya berapa. Di Karimunjawa pasokan listrik dibatasi. Dari jam 7 pagi sampai jam 17.00 sore listrik padam. Jadi kalau malam segala gadget harap di charge sebelum paginya listrik dipadamkan
HARI PERTAMA
Hari pertama langsung nyebur kelaut. Snorkeling dengan paket snorkeling yang dapatnya dadakan dengan harga Rp 150.000 per orang untuk alat snorkeling lengkap, makan siang dan sewa kapal. Jadi, untuk siapapun yang ke Karimunjawa tidak ikut paket tur, jangan khawatir. Selalu ada paket snorkeling dadakan seperti pengalaman kami. Seperti yang sudah disebutkan, Karimunjawa terdapat 27 pulau. Tetapi tidak semua pulau bisa dimasuki atau bisa menjadi tempat snorkeling karena beberapa pulau sudah dibeli oleh warga negara asing. Biasanya yang menjadi tempat snorkeling adalah Pulau Menjangan besar dan kecil, Pulau cemara besar dan kecil, Tanjung Gelam, Pulau Tengah dan Pulau Cilik. Kami snorkeling di 2 tempat, Pulau Cemara Besar dan Pulau Menjangan Besar. Setelah muter sana sini, komentar suami bagus banget pemandangan bawah lautnya meskipun biota laut tidak sebanyak di Pulau Menjangan, Bali.
Setelah puas snorkeling 2 dua tempat, kami melanjutkan ke Penangkaran Hiu. Jadi ditempat ini ada satu kolam berisi anak-anak hiu, dan kita diperbolehkan bermain-main dengan mereka asal tidak ada luka atau kalau yang wanita tidak sedang menstruasi (kata penjaganya sih begitu).
Dari penangkaran hiu, kami kembali ke penginapan karena sudah menjelang malam. Malam harinya kami menikmati suasana Karimunjawa yang tenang dengan berkumpul di Alun-alun bersama banyak pengunjung menikmati kuliner lokal. Makanan yang ditawarkan kebanyakan makanan laut pastinya dengan harga yang masih masuk akal. 1 ikan bakar ukuran besar sekali (Saya makan berdua berasa kenyang sekali dan masih sisa karena sudah kekenyangan) harganya Rp 50.000. Selain kuliner, di Alun-alun juga banyak yang menjual Souveni Karimunjawa seperti kaos, gantungan kunci, pernak pernik dari laut. Kaos yang dijual rata-rata Rp 30.000. Kami membeli di malam kedua karena kehabisan baju.
HARI KEDUA
Hari kedua Mas E mengajak mengelilingi pulau dengan menyewa sepeda motor. Dia sudah merasa cukup snorkeling karena sebelumnya sudah snorkeling di Bali. Saya sebenarnya agak cemas dengan ide Mas E untuk mengelilingi pulau dengan menggunakan sepeda motor. Sebabnya dia baru sekali naik sepeda motor ketika sedang liburan di Yunani. Jadi ini menjadi pengalaman keduanya. Waduh! Saya kan takut kalau dia tidak stabil mengendarai karena untuk mengelilingi pulau jalannya kan naik turun dan tidak semua jalan rata. Tapi kecemasan saya tidak terbukti, sepanjang jalan baik-baik saja kami. Jadi, mengelilingi pulau bisa dijadikan alternatif wisata di Karimunjawa. Dengan menyewa sepeda motor matic penduduk setempat seharga Rp 70.000 per hari plus bensin 3 liter (saat itu satu liter harganya Rp 10.000 disana) sangat cukup untuk mengelilingi pulau dari ujung sampai ujung, dari pagi sampai malam.
Pertama kali dibonceng sama suami, rasanya romantis hahaha. Karena kami santai, tidak terburu oleh apapun, maka kami banyak berhenti di pantai-pantai yang tersembunyi, misalkan Pantai Barakuda, Pantai Nirwana dan yang lainnya (lupa saking banyaknya singgah). Kami juga berhenti untuk trekking di Hutan Mangrove yag terletak di desa Kemojan. Juga menemukan bukit yang bernama Joko Tuo dimana kami bisa melihat seluruh Karimunjawa dari atas. Perjalanan kami berujung di Bandar Udara Dewandaru. Baru tahu ternyata Karimunjawa mempunyai Bandara, meskipun bukan pesawat komersil yang beroperasi melainkan beberapa pesawat pribadi dari warga negara asing dan pesawat milik pemerintah. Sepanjang perjalanan beberapa kali kami berhenti untuk makan. Mas E yang doyan banget makan kelapa muda selama di Indonesia jadi seperti merasakan surga di Karimunjawa karena bisa makan kelapa muda yang langsung dipetik dari pohon. Ketika makan di salah satu rumah penduduk, tiba-tiba kami ditawari untuk membeli tanah dengan harga per meter persegi Rp 340.000 tersedia untuk 1000 meter persegi. Woohh, murah hitungannya. Mereka bilang kalau banyak sekali warga asing yang membeli tanah di Karimunjawa untuk dijadikan resort atau sekedar tempat tinggal untuk liburan. Mas E sempat menyelutuk โuntung disini ga ada ATM, kalau ada bisa langsung aku beli ituโ <— Mbujuukk Mas Mas :D. Oh iya, di Karimunjawa tidak ada ATM ya, jadi bawalah uang yang cukup selama tinggal disana
Perjalanan darat kami diakhiri dengan melihat sunset di Tanjung Gelam. Rupanya pulau ini menjadi salah satu tempat terbaik untuk mengabadikan sunset di Karimunjawa selain bukit Joko Tuo. Dan memang benar, sunsetnya sungguh menghipnotis. Perjalanan hari itu sungguh menyenangkan. Banyak sekali mengunjungi pantai dan tempat yang kami belum tahu sebelumnya. Berkenalan dengan penduduk setempat, berbincang dan bercanda bersama mereka
Inilah yang kami suka dari sebuah perjalanan. Tidak hanya mengenal tempat yang baru, tetapi bisa berinteraksi dengan penduduk setempat, mengenal dan berbaur dengan mereka. Perjalanan itu bukan hanya tentang sebuah tujuan, melainkan mendapatkan pengalaman.
HARI KETIGA
Hari ini waktunya kami pulang. Kami sudah siap sejak jam 7 pagi karena kapal akan pergi pada pukul 10. Kami memutuskan untuk jalan kaki menuju pelabuhan karena kami rasa jaraknya masih normal dengan menggendong ransel yang besar. Sesampainya di Pelabuhan, kami sudah diberi tahu awak kapal bahwa ombak sedang tinggi. Ternyata benar, tidak lama setelah kami bertolak dari tepi pantai, ombak mulai membuat kapal bergoyang kesana sini. Konon waktu itu ombak sampai ketinggian 5 meter. Walhasil saya dan Mas E mabuk muntah-muntah sepanjang jalan. Saya muntah didalam kapal, dia muntah diluar kapal. Kocak banget sekarang kalau diingat. Sesampainya di Semarang, kami sudah lemas karena seluruh isi perut keluar. Lapar ujung-ujungnya. Mas E sampai bilang โaku ga akan naik kapal ini lagi. Nightmareโ hahaha. Yang bikin mabuk sebenarnya bukan kapalnya, tapi ombak yang tinggi itu.
Kesan Mas E terhadap Karimunjawa adalah pulau yang menyenangkan dan ideal buat tempat liburan. Tidak rame dan alamnya masih alami belum banyak eksploitasi sana sini. Awalnya dia terpikir untuk membeli tanah dan tinggal disini. Tapi setelah melewati drama mabuk laut, jadi berpikir ulang, kecuali menuju Karimunjawa naik pesawat pribadi *berasa pejabat ya Mas ๐
Selama di Karimunjawa, saya lebih mengenal Mas E. Ya maklum saja, selama ini kami selalu menjalin hubungan jarak jauh, dan waktu 8 bulan sejak kenal sampai memutuskan menikah sangatlah singkat untuk mengenal satu sama lain apalagi dipisahkan oleh jarak. Tidak dipungkiri selama di Karimunjawa kami sering bertengkar, dari hal-hal sepele sampai yang besar. Tapi kami menyadari bahwa itu adalah proses pengenalan kami satu sama lain. Istilahnya pacaran setelah menikah. Dan saya senang telah memilih traveling selama sebulan dari Bali sampai seluruh kota-kota besar di Jawa sebagai proses kami untuk saling mengenal. Selama perjalanan, baik buruk pasangan jadi terkuak semua. Traveling adalah cara yang paling efektif untuk lebih dekat mengerti dan memahami pasangan
Perjalanan bukan hanya tentang sebuah tujuan, melainkan tentang pengalaman, termasuk pengalaman dalam mengenal pasangan
NB : Saya bukan pengingat dan pencatat yang baik. Karenanya saya jarang mengabadikan detail perjalanan dalam sebuah catatan. Saya hanya bisa mengingat detail kejadian. Dan saya bukan perencana perjalanan yang baik. Saya biasanya hanya merencanakan secara garis besar. Tapi tidak bisa sampai detail, karena terlalu ribet. Dan saya juga biasa menikmati perjalanan yang mengalir dengan segala kejutan-kejutannya :). Tapi saya selalu punya senjata. Mengandalkan kecanggihan teknologi dan tanya sana sini ^^. Jadi buat yang ingin pergi mandiri, jangan malas untuk cari informasi sebanyak-banyaknya dari internet ya. Jangan gampang bertanya sesuatu yang sebetulnya informasinya mudah didapat dari google. Happy traveling ๐
โAku sudah pacaran bertahun-tahun. Rencananya setelah lulus S2 ini kami akan segera menikah. Tapi rencana itu sedikit terhambat. Pacarku anak terakhir. Dia masih punya Mas dan Mbak yang belum menikah. Ibu pacarku tidak mau kalau kedua kakaknya dilangkahi. Bagaimana ini?โ
โSaya serius dengan anak Ibu, Saya ingin melamar secara resmi. Apakah Ibu mengijinkan?โ
Sayup-sayup terdengar suara pacar adik saya berbicara dengan ibu di ruang tamu. Deg!! Hati saya tiba-tiba mencelos. Adik saya yang paling kecil sudah ada yang melamar. Dia 6 tahun lebih muda dan sedang meniti karir disebuah Bank milik Negara. Hidupnya selangkah lagi menjadi lebih sempurna, menurut doktrin yang menancap di masyarakat Indonesia. Saya sedih akan kehilangan saudara perempuan satu-satunya dan yang paling dekat dengan saya. Saya akan dilangkahi
Yang pertama, itu curhatan seorang teman tentang keresahan dia dan pacarnya yang berhubungan dengan rencana mereka untuk menikah akan tertunda karena Ibu dari pacarnya tidak mau jika anaknya yang terakhir melangkahi kedua kakaknya untuk menikah terlebih dahulu. Menurut adat jawa, itu tidak elok dan bisa menimbulkan kesialan buat kedua pihak, ataupun salah satunya.
Pada bagian kedua, Itu yang saya rasakan bulan Februari 2013. Pada saat adik saya dilamar. Terus terang saya sedih sekali. Saya merasa hubungan kami tidak akan menjadi sama lagi nantinya setelah dia menikah. Saya tidak bisa cerita apapun lagi jika dia sudah pindah dan mempunyai rumah sendiri. Saya merasa akan kehilangan dia. Apakah saya sedih karena saya dilangkahi? Sejak lama, saya menyadari bahwa usia saya sudah lewat dari masa -yang kata lingkungan saya telat- untuk menikah. Dan sejak lama juga saya selalu mengatakan pada Ibu dan kedua adik saya, tidak masalah saya dilangkahi menikah jika mereka sudah ada calon. Saya sungguh tidak merasa keberatan dan sedih, karena sesungguhnya yang saya yakini adalah jodoh itu sudah ada yang mengatur, datang tepat waktu, tidak telat maupun tidak terlalu cepat. Saya tidak ngoyo, juga tidak santai. Biasa saja. Tapi Ibu sedikit merasa keberatan karena beliau percaya bahwa jika saya dilangkahi, apalagi bagi seorang perempuan, maka akan tambah lama lagi untuk menikah karena ada kepercayaan jika dilangkahi membuat susah dapat jodoh. Namun saya selalu memberikan pengertian pada mereka bahwa jangan takut dengan mitos. Jika kita selalu meyakini hal-hal baik, maka kita akan mendapatkan yang baik. Begitu juga sebaliknya. Karena apa yang kita ucapkan berkali-kali itu sesungguhnya adalah doa.
Ketakutan ibu sebenarnya beralasan. Sudah lama saya tidak menjalin hubungan serius dengan seorang pria. Ya, karena belum ada yang cocok dihati, kenapa harus dipaksakan. Yang sibuk sendiri mengurusi hidup saya karena katanya saya telat menikah ya lingkungan, keluarga, tetangga dan beberapa kenalan. Jadi, hal tersebut yang membuat ibu semakin resah. Pada saat adik saya menikah, Mei 2013, saya memang belum mempunyai calon. Masih kosongan. Keluarga besar dan tetangga seperti ingin menjaga perasaan saya. Mereka sibuk menjaga supaya saya tidak sedih, tidak sensitif dan tidak merasa diabaikan pada saat adik saya menikah. Padahal, jujur saya lebih merasa sedih menerima kenyataan bahwa hubungan saya dan adik tidak akan menjadi sama lagi setelah dia menikah. Saya bukan sedih karena dilangkahi.
Tradisi langkahan, saya rasa ada hampir disetiap suku di Indonesia, tidak hanya Jawa. Langkahan adalah prosesi seorang adik akan melangkahi atau mendahului kakak(-kakak)nya untuk menikah. Dalam langkahan, ada simbol atau penanda berupa barang yang diberikan seorang adik untuk mereka yang dilangkahi, biasa disebut Pelangkah. Pelangkah ini merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk menolak bala, dan sebagai tanda bahwa yang dilangkahi telah memberikan ijin kepada adiknya. Biasanya si Adik akan menanyakan, barang apa yang diminta sebagai Pelangkah. Harus barang sesuai keinginan yang dilangkahi, dan masuk akal juga untuk dipenuhi adik.
Berdasarkan pengalaman, adik menanyakan kepada saya dan adik saya yang cowok mau pelangkah apa. Karena pada saat itu saya sedang mengincar buku, dan menunda untuk membeli karena harganya mahal, maka saya minta buku tersebut sebagai pelangkah. Sedang adik saya yang cowok minta sarung dan baju muslim. Pelangkah tersebut tidak langsung diberikan, tetapi melalui serangkaian proses. Saya tidak yakin proses yang pakem bagaimana. Tapi pada saat itu yang harus disediakan adalah lesung, janur, kain putih, dan kukusan beras. Lesung untuk saya dan adik saya yang cowok duduk. Tapi karena lesung susah mendapatkan, maka kami akhirnya duduk di kursi biasa. Kain putih dan kukusan nasi akan diletakkan sebagai penutup kepala. Sedangkan janur akan dipukulkan perlahan kepada adik saya yang akan menikah. Sebagai simbol bahwa saya sudah mengijinkan dia untuk melangkahi saya. Setelahnya, adik akan sungkem pada saya dan adik saya yang cowok. Lalu pelangkah akan diberikan. Prosesi ini saya anggap sebagai bagian dari tradisi, jadi saya santai saja mengikutinya.
Berikut ini beberapa foto pada saat prosesi langkahan.
Bagaimana kehidupan saya setelah dilangkahi adik menikah dan diberi pelangkah? Baik-baik saja. Beberapa bulan setelah adik menikah saya bertemu seseorang dan kami sudah merencanakan pernikahan. Namun, karena memang belum berjodoh, pernikahan tersebut tidak terjadi. Ibu kembali resah, merasa bahwa langkahan sudah membawa bala. Sebulan setelah pembatalan pernikahan tersebut, tepatnya bulan November 2013, saya mengenal Mas Ewald. 8 bulan setelahnya kami menikah. Jadi, apakah Pelangkah itu mitos, ataukah Fakta. Menurut saya, Pelangkah itu mitos, tapi karena hal tersebut ada dalam tradisi Jawa, itu Faktanya. Saya tidak mengatakan bahwa Pelangkah itu hanya isapan jempol belaka. Namun, saya selalu percaya, bahwa segala yang sudah ditentukan olehNya, akan datang tepat pada waktunya. Selalu berdoa dan berusaha, jangan mempercayai hal-hal yang jauh dari logika, apalagi percaya bahwa jodoh akan datang terlambat jika kita dilangkahi. Bersaudara kandung itu lahir berdasarkan urutan. Tetapi menikah tidaklah harus urut berdasarkan kelahiran. Siapa yang siap menikah terlebih dulu, ya dipersilahkan. Jangan jadikan tradisi Langkahan menjadi penghalang ataupun alasan untuk menghalangi siapapun yang telah siap menikah. Pelangkah hanyalah sebuah penanda. Yang nyata adalah kehidupan kita sudah diaturNya. Percaya, hal baik akan ada dikehidupan jika kita selalu meyakininya.
Jadi, apakah Pelangkah itu Mitos atau Fakta?
Punya pengalaman dilangkahi, ataupun pernah melangkahi? Mari berbagi disini ๐
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) definisi sambal adalah sambal /samยทbal /n makanan penyedap yg dibuat dari cabae, garam, dsb yg ditumbuk, dihaluskan, dsb, biasanya dimakan bersama nasi. Jenisnya pun bermacam. Ada Sambel terasi, bawang, mangga, kecap, kemiri dan lainnya. Saya termasuk penggila sambal. Tidak bisa makan enak kalo tidak didampingi dengan sambal yang super pedas. Saya juga suka bereksperimen membuat aneka jenis sambal. Akhir-akhir ini saya suka sekali membuat sambal matah. Gampang sekali bahannya : Cabe merah kecil, bawang merah, bawang putih, kencur, sereh, seledri. Semuanya dipotong kecil-kecil, dicampur jadi satu. Banyaknya sesuai selera. Bahannya semua mentah . Terakhir dikucuri jeruk nipis. Kalau mau bisa ditambah garam sesuai selera. Penampilan sambal matah jika disandingkan dengan ikan panggang seperti foto diatas. Super sedap *dipuji sendiri ๐
ย Lho kok jadi cerita resep sambal. Kembali lagi ke topik. Mas E sebelumnya pernah makan sambal di Den Haag, karena dia sering makan di restaurant-restaurant Indonesia yang banyak sekali disana. Tapi kalau makan sambal di tempat aslinya pasti akan beda sensasi. Dan level pedasnya disana pasti beda dengan Indonesia. Level aman, menurutnya. Awalnya saya tidak yakin dia akan suka yang namanya sambal, apalagi pedas. Tapi sewaktu pertama kali ke Indonesia saya membuatkan sambal terasi mentah super pedas, ternyata dia suka. Awalnya saya tanya โpedes banget ga?โ lalu dijawab โnggak, biasaโ. Beberapa saat kemudian baru kepedesan sampai hidung meler, keringetan, dan muka merah. Semakin dia meler-meler seperti itu, jiwa sadis dan penyiksa saya semakin terpuaskan *istrinya super sadis.
Kalau saya membuat sambal pedasnya tidak sesuai standar dia, suka diprotes. Sekarang level pedasnya sama dengan saya *asyiikk ada partner in crime. Intinya pengalaman pertama dia dengan sambal pedas bikin ketagihan. Tidak hanya sambal, semua makanan yang saya masak buat dia, harus ada unsur pedasnya. Sop, nasi goreng, apapun itu, harus ada cabe yang nongol. Dan anehnya, perut dia baik-baik saja. Tidak pernah sakit perut.
Beberapa masakan yang saya buat selama Mas E di Indonesia
Dan ini adalah makanan paling ekstrim yang pernah dimakan Mas E selama sebulan di Indonesia
Sebelum pulang ke Belanda, September lalu, dia sudah berpesan untuk dibelikan cobek dan ulekan. Katanya mau bikin sambel sendiri sebelum saya nyusul kesana. Ibu saya sampai terheran, ini kenapa ada bule kok lidahnya jawa. Akhirnya 2 hari sebelum pulang, ibu membelikan ulekan, cobek dan menggoreng terasi. Ada teman ibu yang baru pulang dari Lombok dan memberikan oleh-oleh terasi Lombok. Enak banget. Semuanya digoreng, kemudian dibungkus plastik rapat-rapat. Mas E minta diajari caranya membuat sambal. Walhasil H-1 adalah training langkah-langkah membuat sambal terasi. Saya juga mengajari caranya mengulek, bagaimana memegang ulekan, bahan-bahan apa saja yang perlu dicampurkan. Saya bilang sama dia, kalau bahannya tidak pakem, mau dimodifikasi ya silahkan. Antara terharu, lucu, bahagia ketika makan sambal hasil ulekan suami yang pertama kali.
Beberapa waktu setelah sampai di Belanda, suami mulai mempraktekkan membuat sambel terasi. Saya ceritakan ke Ibu, beliau tertawa senang. Menantu bulenya sudah mandiri membuat sambal. Dan sambal favorit suami adalah sambel terasi mentah. Oh iya, sambal yang dibuat dia selama ini sambel mentah semua karena dia memang tidak terlalu suka makanan yang digoreng.
Menikah itu seperti mencari ilmu. Perjalanan tiada akhir, dan selalu menemukan hal yang baru. Termasuk saya dan suami yang selalu senang mencoba sesuatu yang belum pernah kami coba atau lakukan sebelumnya. Selalu ada yang pertama dalam hidup,ย sekecil apapun itu. Nikmati, rasakan, dan bagikan jika dirasa berguna bagi orang lain. Dari secobek sambal, saya merasakan bagaimana Mas E sedang belajar untuk mencoba hal baru dalam hidupnya. Belajar mengerti kebiasaan disekitar saya, bahkan masyarakat Indonesia secara umumnya.