Tidak menyangka, salah satu anggota keluarga (pada akhirnya) ada yang bersinggungan dengan SWAB test. Baiklah, akan saya ceritakan runut dari awal ya.
Hampir 2 minggu ini, Belanda menerapkan parsial lockdown. Ada beberapa yang mulai diperketat yaitu horeca ditutup (hanya boleh pesan bawa pulang), penerapan jam malam beraktifitas di luar (maksimal sampai jam 8 malam), menerima tamu maksimal 3 orang dalam satu hari (tidak termasuk anak-anak), pembelian terakhir minuman beralkohol jam 8 malam dan beberapa aturan lainnya. Untuk sekolah, tetap masuk seperti biasa. Meskipun penelitian yang dilakukan pemerintah sini bilang kalau tingkat penyebaran virus di sekolah itu lebih tinggi daripada horeca, tetap sekolah tidak ditutup sementara karena proses belajar mengajar di sekolah penting *lalu batinku : kalau anak-anak sekolah dari rumah (online), paling nggak mereka dan anggota keluarga kemungkinan tidak tertularnya lebih tinggi dibandingkan mereka tetap sekolah dan bawa virus ke rumah. Anak sekolah dari rumah, masih bisa hidup. Lha anak masuk sekolah trus mati, lak ga onok gantinya. Kasarnya saya mikir seperti itu
Ada satu aturan lagi yang sulit diterima, paling tidak buat kami pribadi. Jadi, kalau ada anak sekolah yang sakit lalu tes SWAB, sambil menunggu hasilnya mereka tetap boleh masuk sekolah. Hasil tes SWAB keluar dalam waktu 48 jam. Lha, kalau ternyata mereka positif, sudah berapa orang itu yang kemungkinan tertular di sekolah dan membawa virus ke rumah lalu menulari orang rumah? Sering saya tidak paham aturan pemerintah sini yang ngambang, berasa kurang tegas. Kayak yang antara iya dan tidak. Jadi orang disuruh mikir sendiri, padahal kan tidak semua orang bisa berpikir rasional. Wes mbuh lah sak karepmu.
Panjang lebar saya tuliskan tentang aturan sekolah selama pandemi, karena berhubungan dengan apa yang terjadi di rumah kami. Sebagai keluarga yang mempunyai anak usia sudah masuk sekolah, situasi saat ini benar-benar horor buat kami. Sekolah tidak lagi sama seperti sebelum Maret. Sekolah kan memang sumbernya penyakit. Satu anak sakit, bakal menulari yang lainnya, apalagi untuk anak balita yang masih membangun daya tahan tubuh mereka. Tergantung imun masing-masing anak juga tentunya. Setelah intelligent lockdown dicabut bulan Mei (jadi sekolah sempat online sejak Maret sampai Mei) sebenarnya ada aturan dari pemerintah yang menyebutkan jika anak sedang sakit (batuk, pilek, demam dsb) atau ada anggota keluarga yang sakit, mereka tidak boleh masuk sekolah. Wah senang donk dengan aturan ini. Paling tidak jadi tahu kalau mereka yang di sekolah adalah anak-anak yang sedang tidak sakit dan anggota keluarganya juga tidak sakit. Tapi sejak Juli, aturan tersebut dicabut. Jadi, kalau sakit atau anggota keluarga sakit, tetap boleh masuk sekolah (kecuali sakit Corona jelas tidak boleh ke sekolah).
Dengan aturan baru ini, apalagi di situasi saat ini, akhirnya seperti mengirimkan anak ke medan perang. Pergi sehat wal afiat, pulang-pulang bisa sakit dan menularkan ke anggota keluarga lainnya. Sebenarnya sebelum ada Corona, keadaan ini adalah hal yang biasa. Ya terbiasa dengan anak yang sakit karena bawa penyakit dari sekolah. Tapi sejak ada Corona, begitu si anak sakit lalu menularkan pada yang lain, pikiran jadi macam-macam, cemas dan was-was ini sebenarnya sakit pilek batuk panas biasa atau ada penyakit lainnya. Selama Corona pun, sudah 3 kali anggota keluarga (kecuali saya) sakit berjamaah ya karena anak bawa penyakit dari sekolah lalu nulari yang di rumah. Tapi tidak separah kali ini.
Nah, ternyata masing-masing sekolah punya aturan sendiri meskipun pemerintah menerapkan aturan umum untuk sekolah. Jadi ada sekolah yang menuliskan kalau anak sakit, tidak boleh masuk sekolah sampai sembuh. Ada yang boleh masuk sekolah tapi kalau makin parah diminta tes SWAB. Ada yang boleh masuk sekolah seperti biasa. Di sekolah anak kami pun ada aturan sendiri. Jadi mereka mengirimkan email seperti ada pohon screening, kapan anak boleh masuk kapan harus tinggal di rumah. Tapi kami tidak mengikuti aturan sekolah tersebut. Kami membuat aturan sendiri. Kalau anak sakit, dia harus tinggal di rumah sampai sembuh. Kami tidak mau mengirim anak kami ke sekolah karena menghindari menularkan sakit ke anak-anak lainnya (dan gurunya tentu saja) dan dia juga bisa tertular sakit anak lainnya (karena daya tahan tubuh menurun saat sakit).
Walhasil, setiap masuk satu minggu, dia jadi sakit dan akan tinggal di rumah minimal 2 minggu sampai benar-benar sembuh. Terakhir masuk sekolah (sekitar 3 minggu lalu), diinformasikan kalau salah satu guru di kelasnya sedang sakit dan sedang menunggu hasil tes SWAB. Wah, saya sudah mulai tidak enak hati dan kepikiran. Bagaimana kalau hasilnya positif. Pada hari yang sama, kami menerima email dari sekolah yang menyebutkan hasil dari tes guru tersebut, positif. Ditulis juga kalau si guru akan karantina mandiri selama 14 hari dan 2 guru lainnya (dalam satu kelas ada 3 guru) langsung tes juga. Dheg! bimbanglah kami. Ini bagaimana jadwal sekolah berikutnya masuk apa tidak karena ada pemberitahuan bahwa proses belajar di sekolah berjalan seperti biasanya hanya guru di kelas dia akan diganti sementara dengan mendatangkan guru dari cabang lainnya. Setelah mempertimbangkan A-Z, akhirnya kami memperbolehkan anak masuk.
Setelah hari terakhir masuk sekolah, 2 hari kemudian dia mulai pilek, batuk, badan menghangat. Muuuulaiiii, pikir kami. Lalu 2 hari kemudian, semua yang di rumah, sakit berjamaah, kecuali saya. Sampai saat ini, bersyukurnya, saya masih sehat tanpa ada gejala sakit sedikitpun. Mulailah minggu-minggu sibuk saya mengurusi semua yang sakit di rumah. Biasa saya dan suami mengerjakan berdua, eh ini suami ikut sakit jadi dia juga terbatas bisa bantu. Pontang panting semua hampir saya kerjakan sendiri. Segala urusan di rumah, urusan di luar rumah, merawat yang sakit, semuanya. Tapi saya bersyukur masih bisa istirahat tengah hari. Paling tidak jika badan saya sudah capek, saya tidak meneruskan pekerjaan *langsung kumerindu tukang pijet untuk meluruskan urat-urat yang mringkel dan mbak yang bersih-bersih rumah. Kadang saya berpikir jangan-jangan saya ini orang tanpa gejala yang ternyata menulari orang di rumah. Setiap mereka sakit, saya baik-baik saja. Bersyukur saya sehat karena tidak terbayang kalau ambruk semua.
Seminggu berlalu, yang lainnya mulai membaik, kecuali suami yang kondisinya kok makin parah. Suhu tubuh tidak stabil kadang meningkat panas, kadang normal. Batuknya mulai dalam sampai susah untuk dibuat ngomong, tersendat-sendat menahan batuk. Badannya terasa sangat lemas. Indera penciuman dan perasa dia tidak ada masalah, masih normal. Pernafasannya pun normal. Badannya sempat nyeri di otot tapi tak berapa lama hilang. Bahkan 3 hari dia sempat tidak kerja. Sejak Maret sampai sekarang dia kerja dari rumah, tidak pernah masuk kantor sama sekali. Dengan kondisinya yang tidak stabil seperti itu, saya menyarankan dia untuk daftar tes SWAB saja. Memastikan sakitnya dia ini karena ada hubungan dengan Corona atau sakit lainnya. Setidaknya jadi tahu langkah selanjutnya harus bagaimana. Akhirnya dia mendaftar tes di website Corona Test menggunakan akun DigiD. Dia langsung dapat jadwal keesokan harinya. Tesnya gratis.
Tempat tes dari rumah kami sangat dekat, jadi suami ke sana naik sepeda. Ruangan tes bagi mereka yang datang naik sepeda atau jalan kaki, dipisah dengan mereka yang datang naik mobil.
Setelah tes, diberikan kertas yang berisi keterangan hasil tes akan keluar dalam waktu 48 jam (notifikasi hasil sudah keluar melalui email tapi hasil positif atau negatif langsung di akun DigiD) dan juga apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama menunggu hasil tes. Misalnya tidak boleh ke luar rumah. Malam hari setelah suami tes, saya gundah gulana donk. Mikir bagaimana nanti kalau hasilnya positif. Selama 2 minggu saya benar-benar capek secara fisik dan mental merawat yang sakit, ketambahan suami tes SWAB, memendam kekhawatiran sendiri, meledaklah malam itu saya menangis. Terjadi percakapan berikut ini :
Saya : Besok bagaimana ya kalau hasilnya positif. Kamu jangan ninggalin kami lho. Pokoknya kamu jangan mati sekarang. Kamu musti tetap hidup sampai berpuluh-puluh tahun lagi *sambil menangis
Suami : Lho ya aku ga ada rencana buat mati sekarang *dengan muka datar.
Awalnya saya menangis, begitu mendengar jawabannya yang pendek dan datar, jadi tertawa terbahak-bahak. Kok ya kocak gitu lho jawabannya.
Keesokan harinya, pagi hari hasil sudah keluar. Tidak sampai 15 jam. Alhamdulillah hasilnya Negatif. Hati saya langsung mak nyless begitu diberi tahu hasilnya. Lega. Berkurang setengah kekhawatiran. Setengahnya lagi masih khawatir karena suhu badan suami masih naik turun, badan masih lemas, dan batuknya masih dalam. Besok dia ada rencana telpon dokter untuk minta diperiksa sebenarnya ada apa dengan badannya. Semoga bukan sakit yang serius. Semoga hanya sakit karena pergantian musim.
Minggu depan sudah mulai masuk sekolah. Seminggu lalu sekolah libur musim gugur. Kami sudah berdiskusi kalau seminggu pertama anak tidak kami hantarkan sekolah. Biar di rumah dulu sambil melihat situasi terkini di sekolah dan di Belanda. Angka tes positif di sini sampai saat ini makin meningkat dan selasa minggu depan akan ada konferensi pers lanjutan.
Mengurus seorang diri anggota keluarga yang sakit benar-benar lelah secara badan dan mental, ketambahan lagi saat pandemi seperti ini. Pikiran ke mana-mana ditambah masih tetap mengerjakan rutinitas yang lainnya. Bagi yang sekarang ada anggota keluarga yang sedang sakit, jangan lupa jaga kesehatan diri sendiri juga ya. Klise tapi saya ingatkan jangan telat makan, tetap sediakan waktu untuk istirahat, cari teman bicara untuk sekedar curhat. Lakukan hal yang sekiranya bisa mengalihkan sesaat fokus dari yang sakit, misalnya jalan-jalan sebentar ke lua rumah, sepedahan, olahraga, baca buku, nulis blog, atau mainan media sosial. Tetap waras secara sehat dan mental itu sangat perlu.
Semoga kita semua tetap sehat jasmani dan rohani. Jaga jarak, gunakan masker di tempat umum, sering-sering cuci tangan, hindari kerumunan, tidak usah pesta-pesta terlebih dahulu, tidak usah kumpul-kumpul terlebih dahulu, keluar rumah seperlunya saja, dan makan makanan yang bergizi. Tidak kalah pentingnya, jangan lupa bahagiakan diri. Kita tidak bisa bergantung sepenuhnya pada pemerintah. Lakukan apa yang bisa dilakukan untuk melindungi diri dan keluarga. Hal-hal yang susah diterima dari peraturan pemerintah, sudah diluar kuasa kita. Kita lakukan yang dalam kuasa kita saja, minimal seperti itu. Daripada ruwet sendiri.
-25 Oktober 2020-