Saya bukan tipe yang gampang ngobrol ketika bertemu orang baru. Seringnya, saya akan menghindari percakapan atau mempercepat jalan ketika berpapasan dengan orang yang sering saya lihat di sekitar rumah. Tujuannya ya supaya tidak diajak ngobrol. Sejak di Indonesia saya sudah seperti itu. Dibanding adik – adik yang akrab dengan tetangga kanan kiri, saya lebih memilih leyeh – leyeh di rumah daripada ngobrol di rumah tetangga. Saya bergaul dengan tetangga di sana, sekedarnya saja. Bahkan boleh dibilang, kalau sedang butuh saja atau kalau tetangga sedang ada acara, saya baru muncul untuk membantu (memasak biasanya). Tapi para tetangga tidak pernah mempermasalahkan kenapa saya jarang ngobrol dengan mereka. Sudah terwakilkan dengan adik – adik, Ibu, dan Bapak. Mereka lebih bersosialisasi dibanding saya. Hubungan kami dengan para tetangga sangat baik, sudah seperti saudara sendiri. Mereka pun bukan tipe tetangga yang ikut campur urusan pribadi, termasuk saat saya belum menikah, mereka tidak pernah bertanya kenapa saya belum menikah. Intinya, tetangga saya di sana, bukan tipe yang suka mencampuri urusan orang.
Kesan orang ketika pertama kali melihat raut muka saya, sebagian besar mengatakan kalau saya ini nampak judes, congkak, angkuh. Kalau saya sedang berkaca, ya ternyata memang benar apa yang dikatakan mereka. Raut muka saya judes, jika sedang tidak tersenyum. Bertolak belakang dengan raut muka, saya ini gampang tersenyum kalau bertemu orang. Gampang memberikan salam. Hal ini yang akhirnya sedikit melunturkan kesan judes di muka. Ya lumayanlah, akhirnya ga judes – judes banget. Seingat saya, saat di Indonesia, kebiasaan orang saling menyapa itu diantara mereka yang saling kenal. Minimal menanyakan apa kabar. Kalau random orang bertemu di jalan dan tidak saling kenal, sepertinya mereka tidak akan saling sapa. Apalagi hanya saling sapa hallo, selamat pagi/siang/malam.
Berbeda dengan di Indonesia, di Belanda orang gampang sekali saling melontarkan sapaan. Saat bertemu di manapun, kalau berpapasan entah di jalan, taman bermain, danau, atau di manapun mereka paling tidak akan saling bertukar salam : hai, hallo, morgen, dag sambil tersenyum. Ini benar – benar random yang papasan tidak mengenal satu sama lain. Kebanyakan di kota kecil ya, kalau kota besar seperti Amsterdam sepertinya sudah tidak terlalu apalagi di pusat kotanya. Kalau di Den Haag (asal bukan di pusat kotanya), sepertinya masih meskipun tidak banyak (karena kami dulu tinggal di Den Haag pinggiran). Sekarang kami tinggal di kampung, ketemu siapa saja akan saling menyapa. Apalagi ini kampung kecil sekali yang kalau ketemu di pusat perbelanjaan atau danau atau taman sepertinya sudah hapal karena ya mukanya itu – itu saja.
Awalnya saya agak canggung dengan budaya menyapa ini. Belum terbiasa dan berasa agak aneh. Lama – lama akhirnya terbiasa juga lalu jadi spontan kalau berpapasan akan memberikan salam sambil tersenyum. Tidak semua orang Belanda akan gampang menyapa tentu saja. Ada juga kalau berpapasan ya jalan aja dia seperti tidak ada orang lain disekitarnya. Contohnya suami saya haha. Dia sangat jarang sekali menyapa orang kalau tidak disapa duluan. Itupun kalau disapa, dia ya jawabnya datar jarang ada senyumnya. Beda dengan saya yang selalu melemparkan senyum penuh suka cita dan sumringah sekali kalau memberikan salam pada orang. Itulah akhirnya di sini saya gampang tersenyum dan memberikan salam saat berpapasan, termasuk dengan tetangga. Jiwa gampang tersenyum saya jadi makin terasah. Pun ngobrol dengan tetangga saat berpapasan.
Lingkungan rumah kami kalau digamparkan semacam kompleks kecil. Penghuninya 90% orang Belanda, selebihnya imigran termasuk saya. Semacam kluster perumahan yang di dalamnya ada komplek rumah khusus untuk Oma Opa. Jadi tetangga kami kebanyakan ya para Oma dan Opa. Nah mereka ini punya kebiasaan kalau pagi pasti jalan kaki sekitaran rumah dengan anjing atau sendirian. Saya akhirnya mengenal beberapa diantara mereka karena sering berpapasan setelah aktifitas mengantar ke sekolah, lalu kami saling melemparkan salam. Karena sering bertemu, akhirnya kami mulai percakapan. Bukan percakapan yang serius, hanya saling bertanya kabar. Lama kelamaan, mulai melebarkan obrolan tentang makanan, anjing mereka, rencana akhir pekan apa, liburan mau ke mana, bahkan saya jadi tahu misalkan ada tetangga lain yang baru melahirkan, ada yang sedang masuk RS, atau punya cucu ya dari mereka ini. Lumayan ya jadi update informasi dari para Oma Opa. Obrolan yang kami lakukan ya sambil berdiri tentu saja karena memang sedang berpapasan. Bukan lantas mengundang duduk minum kopi di rumah lalu dilanjutkan dengan sesi rasan – rasan. Orang sini meskipun ramah, tapi mereka sangat menjaga jarak. Tidak akan gampang menjadikan seseorang itu temannya atau dengan gampang mengundang ke rumah. Tidak ada istilah nonggo atau nenangga atau duduk manis santai – santai nggosip di rumah tetangga. Saya beberapa kali memberi mereka camilan seperti lumpia, pukis, martabak. Hanya saya antarkan depan rumah mereka saja, tidak sampai masuk ke rumah. Bersyukurnya, para tetangga ini tidak ada yang berkelakuan aneh – aneh. Tidak pernah ada kejadian khusus di sekitar sini. Hanya memang karena lingkungan para orangtua dan depan kompleks adalah rumah jompo, jadi sering ada ambulans yang datang.
Pernah suatu malam, ada ambulans datang ke tetangga persis depan rumah kami. Lalu disusul dengan mobil pemadam kebakaran. Saya ingat sekali saat itu sekitar jam 9 malam karena kami sedang seru menonton film. Dua mobil ambulans datang, disusul 3 mobil pemadam kebakaran. Wah rasanya sangat serius. Lalu suami memutuskan ke luar rumah untuk mengecek apa yang sebenarnya terjadi. Eh ternyata para tetangga juga keluar rumah ingin tahu ada apa sebenarnya. Lalu saya mbatin : ternyata sama saja di sini pun orang – orang masih punya rasa penasaran. Bedanya, di sini tidak sampai ada kerumunan. Hanya melihat dari kejauhan saja, sangat jauh malah.
Diantara banyak tetangga, kami hanya akrab dengan dua tetangga, keluarga Belanda. Ya bukan akrab yang bagaimana, hanya memang sering mengobrol dan pasti diundang dan saling mengundang jika ada acara. Juga saling berkirim makanan. Hanya sebatas itu. Dengan mereka, kami juga saling membantu. Jika sedang pergi liburan, kami akan menitipkan rumah pada mereka untuk sesekali ditengok atau minta tolong untuk menaruh surat – surat yang datang ke atas meja. Jadi mereka pegang kunci rumah kami. Begitu juga sebaliknya mereka berlaku yang sama. Kami beruntung sekali punya tetangga seperti mereka, setidaknya masih berasa hidup bertetangga, tidak terlalu individualis. Obrolan diantara kami juga lumayan sering, jadi tahu tentang keluarga masing – masing. Mereka sangat perhatian, bahkan saat saya lulus ujian apapun (termasuk ujian praktek dan teori menyetir mobil), pasti dikirimi bunga dan ucapan selamat. Saya sungguh merasa terharu mereka seperhatian itu.
Ngobrol saat papasan dengan tetangga, ternyata sangat menyenangkan untuk saya. Memang tidak lama, hanya 5-10 menit tapi setelahnya bisa memberikan efek yang membuat bahagia. Entah kenapa seperti itu. Mungkin karena topik obrolannya tidak ada ucapan yang menghakimi atau pertanyaan basa basi atau pertanyaan sangat ingin tahu. Menanyakan kabar, kesehatan, saling berucap semoga harinya menyenangkan, bahkan ada satu Oma yang dengan ucapan tulus bilang kalau warna jilbab saya bagus, rok yang saya kenakan cantik motifnya dsb. Ucapan singkat yang bisa membuat hari saya ceria. Obrolan ringan seperti itu membuat saya merasa ternyata saya masih butuh hidup bertetangga. Saling ngobrol meskipun sebentar, saling melemparkan salam, saling mengundang, saling menanyakan kabar. Kehidupan bertetangga yang saling menjaga batasan dan privasi. Kehidupan bertetangga yang secukupnya tidak berlebihan. Menjaga hubungan baik dengan tetangga, buat saya sangat penting. Apalagi kami jauh dari saudara.
Jadi ingat ucapan Ibu sewaktu di Indonesia : berbuat baiklah dengan tetangga, jaga hubungan baik dengan mereka, karena jika kita butuh pertolongan, mereka yang pertama membantu.
-10 September 2021-
*Bagaimana hubungan kalian dengan tetangga? *Sayangnya kalau pas cabe atau beras habis, tidak bisa minta tetangga karena pasti mereka tidak punya cabe.