Beberapa hari lalu, saya melihat status salah satu mutual di Facebook yang membahas betapa orang Belanda itu kalau ngomong atau menyampaikan sesuatu tanpa basa basi. Dia menuliskan sebuah cerita. Ada seorang Expat yang baru pindah ke Belanda, mengirimkan teh satu kotak ke tetangga orang Belanda, sebelah rumah persis. Maksudnya tentu baik, sebagai salam perkenalan dan semacam oleh – oleh gitu mungkin ya. Tidak jelas juga apakah saat memberikan diterima langsung oleh tetangga atau cuma dicentelkan di pintu rumah si tetangga, karena teh sekotak tersebut pada akhirnya dikembalikan kepada si Expat.
Bukan hanya dikembalikan saja tapi juga ada catatannya. Dituliskan kalau si Tetangga ini berterima kasih sudah diberikan teh sekotak. Hanya saja, si tetangga tidak mengkonsumsi teh dengan rasa tersebut. Jadi daripada dibuang, lebih baik dia kembalikan saja. Dia malah menyarankan untuk menukar saja teh tersebut dengan rasa yang dia konsumsi. Jadi akan bisa diminum.
Membaca cerita tersebut, saya tertawa terbahak. Saya punya cerita yang nyaris mirip. Bedanya, ini pengalaman saya langsung. Jadi begini ceritanya.
Saya sudah terbiasa mengirimkan makanan Indonesia yang saya masak ke Mama Mertua yang tinggalnya tidak jauh dari rumah kami. Biasanya suami yang membawa sambil main ke sana. Dia ke rumah Mamanya pasti seminggu sekali. Kalau saya bisa seminggu sekali atau 2 minggu sekali. Sejauh ini, semua yang saya masak, Beliau suka. Saya tau pasti omongan Beliau ini tanpa basa basi, kalau dibilang enak ya berarti betul enak. Kalau Beliau bilang tidak terlalu suka, artinya masih bisa dimakan tapi besok – besok jangan dikasih lagi. Jadi tidak pernah berpura – pura suka padahal makanan dibuang.
Beberapa tahun lalu (lupa tepatnya kapan, kira – kira ya sekitar 4 tahun lalu), saya memberikan olahan tempe ke Mama. Saya tau kalau Mama tidak terlalu suka tempe. Beliau lebih suka olahan tahu. Tapi saya ingat, saat datang sebagai turis tahun 2014 dan mengundang seluruh keluarga ke rumah (calon) suami untuk makan malam sebelum saya kembali ke Indonesia, Beliau memuji olahan tempe yang saya sajikan beserta makanan Indonesia lainnya. Bahkan Beliau meminta dibungkuskan untuk dibawa pulang. Papa mertua, yang saat itu masih ada, juga suka. Berbekal ingatan itu, saya lalu kembali memasak olahan yang sama. Ini semacam orek tempe tapi agak basah. Tidak terlalu kering.
Saya berikan ke suami untuk dibawa ke rumah Mama. Seperti biasa, saat menerima, Mama lalu mengirimkan pesan ke saya, mengucapkan terima kasih dan akan dimakan nanti saat makan malam. Dan biasanya pula, setelah makan Mama akan kembali mengirimkan pesan untuk bilang rasa masakan saya bagaimana. Keesokan harinya, tengah hari lebih tepatnya, suami menerima telepon dari Mama. Saya mendengar mereka bercakap dan salah satu obrolannya tentang Tempe. “Wah, ada apa nih,” pikir saya. Setelah telepon ditutup, suami agak ragu – ragu ngomong. Setelah saya desak, dia cerita kalau Mama tidak suka masakan tempe yang saya berikan. Beliau menelepon suami untuk mengambil kembali tempe tersebut karena masih ada banyak yang belum dimakan. Beliau bilang daripada dibuang kan lebih baik dikembalikan. Jadi suami disuruh ke rumah untuk mengambil tempe yang masih ada.
Setelah mendengar cerita suami, saya beberapa detik tertegun sambil mikir, “wow, super sekali ya orang Belanda.” Lalu saya tertawa terbahak. Suami yang awalnya takut saya akan marah atau tersinggung karena masakan saya dikembalikan, kaget melihat saya tertawa. Saya bilang, “meskipun aku tau Mama selalu direct kalau ngomong, tapi baru kali ini aku lebih tau Mama yang lebih direct. Ya sudah ambil nanti ya tempenya, kita makan di sini bersama.” Lalu kami tertawa bareng.
Cerita ini sudah jadi rahasia umum. Sering saya ceritakan ke teman – teman. Bahkan di keluarga besar kami cerita ini semacam jadi bahan pembicaraan hangat. Apa saya tersinggung diperlakukan Mama seperti itu? Tentu tidak. Kaget iya, tapi tidak marah atau tersinggung. Saya tau Mama orangnya sangat direct kalau ngomong. Dan benar apa kata Beliau, daripada dibilang tempenya enak padahal tidak suka lalu dibuang, lebih baik dikembalikan jadi bisa saya makan bersama suami.
Bagaimana, dari 2 cerita tersebut, ada bayangan orang Belanda seperti apa ya. Saya tidak men-generelasi bahwa semua orang Belanda seperti ini. Pasti ada prosentase yang masih berbasa basi kalau ngomong. Tapi saya yakin tanpa harus survey, tidak banyak jumlahnya. Sebelum bersalah sangka, orang Belanda kalau papasan gampang menyapa : hallo, hoi, goedemorgen, middag dan sebagainya. Jadi ramah dan direct. Ada satu cerita lagi. Kalau memberikan kado, beberapa orang yang saya kenal juga menyertakan faktur pembelian. Alasannya, kalau pilihan kadonya tidak disukai, bisa langsung ditukar dengan barang yang sesuai keinginan penerima kado. Itu kenapa, di Belanda sangat biasa kalau ada yang mengundang ulang tahun atau sekedar ingin memberikan hadiah untuk acara tertentu, yang diundang akan bertanya : ingin kado apa? Atau si pengundang akan memberikan daftar barang yang bisa diberikan saat acara. Memang tidak ada sisi surprise nya. Buat saya, lebih berguna seperti itu, jadi barang yang diberikan sesuai kebutuhan penerima.
Saat baru pindah ke Belanda, saya tidak punya banyak kenalan dan juga tidak terlalu sibuk mencari teman sesama orang Indonesia. Saya langsung mendaftar sekolah bahasa Belanda dan mencari kegiatan sebagai sukarelawan untuk memperlancar bahasa Belanda dan berkegiatan. Tidak berapa lama, saya juga diterima bekerja. Tidak sampai 3 bulan pertama di Belanda, saya langsung mengetahui kalau orang Belanda secara umum omongannya apa adanya, tak terlalu banyak basa basi. Kalau mau mengkritik, ya langsung tanpa muter – muter dulu alur obrolannya. Kalau mau diskusi ya langsung ke pokok pembicaraan. Kalau mau memuji ya langsung memuji. Sebelumnya kan lingkup pergaulan saya hanya sebatas suami dan keluarganya. Kalau suami sih sudah tau dari awal kalau omongannya ya, tajem :)))). Setelah terjun langsung ke lapangan, lebih tau apa yang sering orang bilang kalau orang Belanda itu dikenal direct.
Untuk saya tidak terlalu jadi masalah. Hanya kaget biasa. Tidak sampai yang mengganggu kehidupan sehari – hari. Kalau ada omongan dari mereka yang saya kurang setuju, ya langsung saya jawab juga apa adanya. Kalau diskusi, ya saya akan menyampaikan opini langsung jika memang ada. Kalau saya menerima kritikan, ya saya terima dengan lapang dada kalau memang sesuai. Kalau tidak sesuai, saya akan ajak dialog. Saat itu juga. Beruntungnya, saya lahir dan besar di lingkungan Jawa Timur wilayah timur. Di area ini, orang ngomong tanpa tedeng aling – aling. Kalau A ya A, B ya B. Kalau tidak suka ya ngomong di depan, bukan bermanis muka di depan lalu di belakang ngomongin sampai berbusa. Setiap ada masalah ya diselesaikan dulu dengan yang bersangkutan sampai tuntas. Setelahnya ya selesai. Yang penting diselesaikan dulu dengan orangnya. Perkara nanti ada rasan – rasan di belakang, tergantung situasi haha. Sewaktu kerja di Jakarta, saya suka dijuluki bonek sama orang kantor. Bahkan bos saya sendiri suka ngomong gini : cuma loe nih den yang berani ngomong begitu sama bos besar. Ini berkaitan dengan pekerjaan tentu saja. Kalau saya punya opini yang relevan, ya saya sampaikan langsung
Saya memang tidak terlalu suka berbasa basi bermulut manis. Makanya saya paling anti dengan namanya orang yang bermuka dua dan suka menikung dari belakang. Dan saya punya radar yang kuat untuk hal ini. Hidup cuma sekali, jangan sampai terperosok dalam lubang si manis bermuka dua suka mengadu domba. Saya paling tidak bisa berpura – pura. Kalau sudah tidak suka dengan orang, ya sudah. Kelihatan dari muka atau perilaku saya.
Ada satu teman baik di Belanda yang sama – sama berasal dari Jatim dan saya kenal sebelum pindah dan berteman baik sampai sekarang, dulu pernah ngomong begini “koen ancene cocok hidup di Belanda. Cocok sama orang Belanda. Ga perlu susah payah berintegrasi. Lek ngomong tas tes koyok clurit menyabet ulu hati. Memang benar yang kamu omongkan, meskipun mungkin ga bisa diterima oleh lawan bicara. Malah disangka omonganmu nylekit padahal yo ancene kenyataane sing kamu omongno ngono. Ancene kebenaran itu seringnya susah diterima banyak orang.” Hahaha saya cuma terbahak mendengarnya. Benar sih. Padahal de’e lek ngomong ga kalah pedes e, clurit ae kalah :))) *Iya kamu, lak mesti moco blogku tho, dadi bukan rasan – rasan yo iki :))).
Saya sih cocok ya dengan kultur tanpa basa basi seperti di Belanda ini atau orang Jatim bagian timur pada umumnya. Tanpa basa basi yang melihat sikon juga, yang elegan cara menyampaikannya. Langsung pada pokok utama bahasan. Runtun dan detail. Tidak lantas langsung sruduk hantam segala arah tanpa ada pemicunya. Wong gendeng lek iku.
*Perdana nulis lagi setelah 5 bulan absen
-28 Agustus 2022-