Setiap orang kalau boleh memilih, pastinya akan selalu berdoa untuk dijauhkan dari segala macam musibah. Bagaimanapun juga musibah selalu datang tanpa diduga, meskipun kita sudah berhati-hati menjaga langkah, melantunkan segala macam doa, menjalankan segala yang diperintahkan juga menjauhi segala yang dilarang. Musibah adalah satu paket dalam kehidupan, tidak dapat kita hindari. Beberapa orang lebih mudah untuk bersyukur ketika mendapatkan kenikmatan dibandingkan bersyukur dan ikhlas ketika sedang diuji dengan musibah. Jangankan melihat sebagai berkah, ikhlas saja menjadi sangat jauh dari jangkauan kita. Ketika mendapat musibah, biasanya akan terlontar “Mengapa, Tuhan?” Namun banyak juga dari kita yang pada akhirnya menyadari bahwa dibalik sebuah musibah, ada suatu berkah.
2012 adalah tahun penuh musibah, begitu saya menyebutnya. Kejadian yang tidak menyenangkan datang secara beruntun. Awal tahun tersebut Bapak meninggal, 100 hari kemudian Ibu kecelakaan sampai koma selama satu minggu yang disusul operasi pada bagian kepala karena ada penggumpalan darah. Tempurung kepala dibuka. Tiga bulan kemudian harus menjalani operasi kedua untuk pemasangan kembali tempurung kepala. Pada saat itu, energi dan emosi saya terkuras habis. Diakhir tahun 2011 saya mendapatkan promosi dikantor. Jadwal kerja untuk tahun 2012 sudah tersusun rapi karena memang pada saat itu saya diberi tanggungjawab memegang satu produk yang baru diluncurkan. Jadwal promo diluar kotapun padat. Ketika Bapak meninggal, bubar jalan segala ambisi saya. Dunia seakan runtuh pada saat itu. Bapak tidak sakit apa-apa sebelumnya, bahkan 5 hari sebelum beliau berpulang, kami masih bertemu. Saat itu hidup saya melorot pada titik nol. Hancur. Orang yang selama ini selalu menjadi teman, panutan, tempat bercerita, yang selalu mendukung setiap keputusan, pergi meninggalkan saya tanpa ada tanda dan pesan apapun. Setiap hari saya meratap dan bertanya, “kenapa, Tuhan? kenapa secepat ini?” Saya menggugat Tuhan.
Belum kering air mata dan belum selesai meratap, saya harus dihadapkan pada musibah lainnya. Ibu kecelakaan dan koma. Saya sontak kembali bertanya, “apalagi ini Tuhan? Kenapa beruntun Kau datangkan musibah?” Pada saat itu saya merasa tak sanggup. Tapi kalau saya lemah, tidak ada yang kuat dalam keluarga. Saya yang tinggal di Jakarta harus sering bolak balik ke Situbondo dan Jember untuk menemani Ibu pada masa-masa pemulihan secara fisik karena kecelakaan maupun mental karena masih shock akan kepergian Bapak yang kami rasa sangat mendadak. Saya harus membagi antara jadwal super padat dikantor dan mendampingi Ibu. Pada akhirnya saya harus ikhlas memilih. Pada bulan Juni saya membuat keputusan besar dalam hidup. Pada saat sedang dipercaya untuk melakukan tugas besar dalam kantor, pada saat sedang menikmati posisi yang selama ini diperjuangkan, saya memilih untuk resign. Bukan keputusan yang mudah karena berbulan-bulan memikirkannya dengan penuh pertimbangan baik dan buruk. Pilihan resign diambil karena pada saat itu saya merasa sudah saatnya berbakti pada Ibu. Hubungan kami tidak terlalu baik sebelum Bapak meninggal, sering bersitegang dan berselisih paham. Kami sama-sama keras dalam hal apapun. Dan pada saat mendapatkan musibah beruntun, pada akhirnya saya menyadari, mungkin ini cara Tuhan mengembalikan saya pada keluarga, menuntun langkah saya kembali pada Ibu, menyelami arti berbakti yang sekian lama saya abaikan. Ya, setelah beberapa lama, kami sekeluarga harus berdamai dengan keadaan, menerima kenyataan bahwa Bapak memang sudah takdirnya dipanggil Yang Kuasa. Pada saat itu juga saya menyebut musibah yang beruntun tersebut sebagai sebuah berkah. Saya mencoba memperbaiki hubungan dengan Ibu untuk semakin membaik meskipun masih belum dalam taraf baik-baik saja sampai saat ini, begitupun hubungan dengan adik-adik. Saya bukan lagi seorang anak yang selalu “berkeliaran” kesana kemari mengejar segala ambisi. Saya bukan lagi seorang Mbak yang tidak terlalu peduli dengan adik-adiknya. Saya kembali ke keluarga, diterima pada program double degree Master Program di NTUST Taiwan (akhirnya saya lepaskan), lulus S2, dan bertemu suami tercinta. Pada akhirnya saya bersyukur telah diberikan kepercayaan untuk mengecap musibah.
Lima bulan lalu, tepatnya pertengahan bulan Mei ada sebuah musibah yang mampir dalam kehidupan pernikahan kami. Saya keguguran. Kami yang sedang bergembira karena ada bayi dalam kandungan harus menerima kenyataan dan merelakan bayi itu pergi sebelum terlahirkan secara sehat dan normal, sebelum kami bisa menyentuhnya, sebelum kami bisa melihat seperti siapa raut mukanya. Saya sedih luar biasa. Suami terus menerus membesarkan hati saya, Ibu tidak pernah alpa untuk selalu menguatkan dalam setiap telepon dan smsnya. Kemudian saya teringat dengan apa yang terjadi tahun 2012. Musibah yang beruntun yang pada akhirnya ada berkah yang didapatkan. Saya kemudian bangkit, tidak ingin terlalu lama tertimbun sedih karena kehilangan. Namun kehilangan tetaplah meninggalkan luka yang mendalam. Apalagi ini adalah kehamilan pertama, yang berarti anak saya yang pertama meninggal dunia. Ibu selalu berucap, tidak ada suatu kejadian tanpa seijinNya, bahkan sehelai daun yang gugur sekalipun. Jadi pasti ada hikmah dibaliknya.
Setelah keguguran, saya ingin dilakukan pemeriksaan menyeluruh oleh Ginekolog. Saya pernah ada riwayat kista dan setiap menstruasi sakitnya luar biasa. Setelah berkonsultasi pada Huisarts dan mendapatkan rekomendasi ke Ginekolog, pemeriksaan menyeluruhpun dilakukan. Hasilnya bagus. Tidak ada kista dan rahim bersih. Menurut Ginekolog, saya dan suami siap untuk proses menuju kehamilan selanjutnya. Berkah apa yang saya dapatkan setelah keguguran? Setiap bulan saya tidak pernah merasakan lagi sakit yang luar biasa ketika menstruasi, lancar tanpa hambatan. Hubungan dengan Suami semakin kuat dan harmonis. Saya semakin mencintai dia luar biasa. Pada hari saya keguguran, dia terus mendampingi sepanjang hari, sibuk kesana kemari, beberapa kali menelepon bidan, membersihkan darah yang berceceran, bahkan ketika saya jatuh pingsan karena tidak kuat menahan sakit, dia ada untuk saya. Proses keguguran itu bukan hanya menguras energi secara fisik, tetapi juga menguras emosi. Dia sedih harus kehilangan anak dalam kandungan saya, tetapi dia menguatkan diri dan tegar supaya saya juga kuat menerima kenyataan. Kami beruntung saling dipertemukan, karenanya kami bisa saling menguatkan. Memang benar saya mendapatkan musibah, tetapi setelahnya saya mendapatkan berkah yang luar biasa.
Sedih dan kecewa ketika mendapatkan musibah itu hal yang lumrah, normal. Kita manusia bukan malaikat. Butuh beberapa waktu untuk menyadari bahwa disetiap musibah ada sebuah berkah, sekecil apapun itu. Bersyukur ketika musibah datang hampir mustahil bagi saya untuk melakukannya. Namun seiring berjalannya waktu, berkurangnya umur, dan semakin bertambah pengalaman hidup yang dijalani, saya belajar untuk ikhlas dan bersyukur atas segala ujian hidup yang telah dipercayakan oleh Tuhan. Memang benar, bahwa semua sudah atas kehendakNya. Ikhlas dan bersyukur atas segala keadaan memang lebih gampang untuk diucapkan daripada dilakukan, tetapi bukan tidak mungkin untuk dilaksanakan. Ikhlas dan bersyukur akan selalu menjadi pelajaran seumur hidup.
Semoga atas segala musibah, ujian, kesenangan, kebahagiaan, maupun kesedihan yang dihampirkanNya dalam hidup, kami tidak lupa untuk selalu bersyukur serta mengingat bahwa selalu ada berkah dibaliknya, sekecil apapun itu. Saya belajar untuk tidak lagi bertanya “kenapa?” dan percaya bahwa Tuhan jauh lebih tahu apapun yang terbaik untuk hambaNya.
-Den Haag, 8 Oktober 2015-