Beberapa hari lalu kami baru merayakan 1.5 tahun usia perkawinan, dimana sebenarnya saya lupa tapi suami dengan berbesar hati bisa menerima kekurangan saya yang selalu lupa tanggal. Iya, saya gampang sekali lupa tanggal, tapi saya gampang mengingat momen. Seringnya seperti ini :
Suami “Besok kita tanggal 9 kemana nih”
Saya “Lho, ada acara apa tanggal 9?”
Suami “………..”
Padahal tanggal 9 itu adalah tanggal perkawinan kami. Dan hampir setiap bulan saya lupa :D. Kami memang punya kebiasaan untuk merayakan ulang bulan perkawinan. Seru aja sih rasanya. Setelah makan malam dirumah dengan memesan Sushi, suami tiba-tiba bertanya apakah saya ingat ada kejadian apa dua tahun lalu. Tentu saja saya tidak akan lupa, dua tahun lalu pertama kali kami bertemu, trus dia main kerumah lalu berbicara serius kepada Ibu. Setelahnya kami jalan-jalan ke Kawah Ijen, Gunung Bromo dan Air Terjun Madakaripura. Saya ingat ketika kami jalan-jalan ke Gunung Bromo dan Air Terjun Madakaripura itu tanggal 14 Februari 2014 dan dia membelikan saya sandal jepit merah, huahaha penting banget disebut. Tuh kan, kalau bertepatan dengan momen tertentu, gampang untuk saya mengingat.
Jadi kali ini saya akan melanjutkan cerita setelah kami ke Kawah Ijen yang sudah pernah saya tuliskan diblog ini. Jadi dalam perjalanan menuju rumah dari Pantai Pulau Merah, mas Ewald bertanya kapan rencana ke Bromo. Dia penasaran ingin ke Gunung Bromo karena membaca sebuah artikel majalah dalam pesawat Garuda menuju Indonesia. Saya sebenarnya bingung mengatur waktunya karena lusa dia sudah harus kembali ke Belanda. Setelah berunding, akhirnya dia menyanggupi kalau kami akan pergi jam 12 malam ke Bromo dengan tetap menggunakan mobil sewa sekaligus Pak Sopirnya. Terbayang kan hardcorenya setelah naik turun Kawah Ijen trus ke Pantai Pulau Merah jam 10 malam baru sampai Situbondo lalu jam 12 berangkat lagi ke Gunung Bromo. Tapi ya sudahlah, ada turis yang kebelet banget ingin melihat sunrise di Bromo.
Gunung Bromo
Sekitar jam setengah 3 pagi kami sampai dibagian bawah gunung bromo, duh apa ya nama daerahnya lupa. Mobil tidak bisa naik jadi harus menggunakan jip atau sewa ojek. Saya kalau ke Bromo sebelum-sebelumnya selalu bersama keluarga atau teman-teman, menginap semalam, trus ke kawah Bromo kami jalan kaki melintas lautan pasir untuk melihat sunrise dari atas kawah. Saya belum pernah melihat sunrise dari Penanjakan. Karena baru pertama itulah saya tidak ada pengalaman tentang sewa jip atau sewa ojek. Untungnya Pak Sopir sudah berpengalaman mengantarkan tamu kesini, jadi sudah tau medan. Awalnya ingin sewa jip, tapi kok ya mahal sekali, kalau tidak salah 600 ribu tapi jamnya dibatasi. Sedangkan sewa ojek lebih murah dan jam selesainya terserah kita. Untuk 2 sepeda motor, sewanya 200 ribu.
Dengan kedaan saya yang super mengantuk, kami berempat akhirnya menembus lautan pasir menuju Penanjakan. Pagi itu super dingin dan angin berhembus kencang. Walhasil saya menggigil menahan dingin yang menusuk. Ada disatu tempat saya hampir terjungkal kebelakang karena tiba-tiba tertidur. Untungnya saya sigap langsung memegang bagian kanan kiri sepeda motor. Untungnya tidak otomatis memeluk abang ojeknya :D.
Sesampainya di Penanjakan, ternyata tempatnya sudah penuh dengan wisatawan domestik dan mancanegara yang sama-sama ingin berburu foto sunrise. Mas Ewald dengan santainya berdiri dititik yang strategis dan dengan sabar menunggu sunrise datang dengan kameranya. Sementara saya yang masih mengantuk berat mencari tempat yang nyaman untuk bersandar dan tidur :D. Setelah ditunggu beberapa lama sampai menjelang jam 6, matahari tidak kunjung datang. Inilah yang ditakutkan para pemburu sunrise, yaitu mendung. Iya, pagi itu kami belum beruntung karena cuaca yang sebelumnya cerah, tiba-tiba tanpa disangka mendung menggelayut dan tidak berapa lama kemudian rintik hujan datang. Mas Ewald tentu saja kecewa karena dia tidak bisa menyaksikan secara langsung keindahan sunrise di Bromo yang dia lihat dari majalah. Namun demikian, dia tetap senang karena sudah menginjakkan kaki dikawasan Gunung Bromo.
Setelahnya kami melanjutkan perjalanan menuju kawah Gunung Bromo. Sewaktu kami kesana ternyata berbarengan dengan upacara pelemparan sesajen ke kawah. Bukan upacara besar, hanya terlihat beberapa orang menggunakan baju seperti yang dikenakan penduduk Bali jika sedang ada upacara adat.
Setelah dari Kawah, kami melanjutkan ke Pura yang letaknya tidak jauh dari situ. Pura ini bernama Pura Luhur Poten Gunung Bromo. Pura ini merupakan tempat pusat ibadah Suku Tengger yang mayoritas beragama Hindu.
Setelah berkeliling dan puas melihat bagian dalam Pura, kami memutuskan kembali ke tempat mobil berada. Saat berada diboncengan, tangan abang ojek tiba-tiba menunjuk ke arah depan. Kemudian dia berkata kalau kepulan asap didepan sana itu berasal dari gunung kelud yang meletus. Wah, ternyata Gunung Kelud sedang meletus. Pada saat itu saya berpikir hanya letusan biasa. Ternyata sesampainya kami dirumah, Ibu memberitahu kalau letusannya besar dan Bandara Juanda ditutup, jadi tidak ada penerbangan karena hujan pasir sampai ke wilayah Surabaya.
Air Terjun Madakaripura
Setelah sampai mobil, Pak Sopirnya bertanya tujuan selanjutnya kemana lagi. Karena rencana kami hanya ke Bromo, maka saya bilang kalau langsung pulang kerumah saja. Beliau memberitahukan kalau searah dengan jalan pulang, kami akan melewati Air Terjun yang terkenal, namanya Air Terjun Madakaripura.Wah, saya bolak balik ke Bromo kok belum pernah mendengar keberadaan Air Terjun ini ya sebelumnya. Karena memang hari masih siang, saya mengiyakan usulan beliau, toh searah dengan jalan pulang.
Setelah melewati jalanan yang penuh kelokan dan disuguhi pemandangan lereng yang penuh dengan tanaman wortel, kubis maupun kol serta udara pegunungan yang segar, sampailah kami di Air Terjun Madakaripura yang berlokasi dikecamatan Lumbung, masih dalam kawasan Taman Nasional Gunung Bromo. Menurut cerita yang beredar, Madakaripura ini dulunya adalah sebidang tanah yang dihadiahkan oleh Raja Hayam Wuruk kepada Patih Gajah Mada. Konon ditempat inilah Patih Gajah Mada menghilang secara fisik maupun spiritual atau moksa dari muka bumi. Karenanya dibagian depan area terdapat patung Patih Gajah Mada. Air pada air terjun ini masih dianggap sebagai air suci atau Tirta Sewana dan biasanya penduduk tengger menggunakannya pada prosesi Mendhak Tirta yang dilakukan setiap tahun.
Masuk kedalam kawasan Air Terjun Madakaripura ini cukup dengan membayar retribusi sebesar Rp 5000, kalau tidak salah. Dan sebaiknya menggunakan sandal atau sepatu khusus untuk trekking karena melewati bebatuan dan menyeberangi sungai. Medannya cukup sulit, saya sampai terpeleset dua kali karena bebatuan yang licin. Karena memang tidak ada persiapan akan ke air terjun, walhasil saya harus membeli sandal jepit disini, ya daripada sepatu basah. Ehm, ralat, bukan saya yang membeli. Lebih tepatnya sandal jepit merah ini kado, “sandal jepit merah ini anggap saja kado hari Valentine ya,” err yang lain dapat coklat, ini dikasih sandal jepit :D. Sandal jepitnya masih ada sampai sekarang, bukan karena sengaja disimpan, tapi memang tidak ada yang memakainya di Situbondo. Oh iya, ada jasa pemandu juga disini. Saya pikir waktu itu bakal dibohongi harus menyewa pemandu segala. Ternyata memang karena medannya cukup susah, bersyukur juga akhirnya memutuskan untuk bayar pemandu, jadi selain membantu sebagai penunjuk jalan, juga menolong ketika menyeberang sungai plus jadi tukang foto dadakan.
Pemandangan menuju air terjunnya benar-benar indah diiringi dengan suara gemericik air sungai dan suara burung yang saling bersahutan berbunyi. Tapi saya agak ngeri juga sih, membayangkan tiba-tiba ada air bah datang. Beruntungnya hujan tidak turun karena kalau ada hujan, kami tidak akan diijinkan masuk, terlalu beresiko.
Setelah hampi 1km (kata pemandunya) melalui medan yang sulit, naik turun bebatuan, menyeberangi sungai, akhirnya sampai juga kami dilokasi Air Terjun Madakaripura. Ketika sampai disini, entah kenapa perasaan saya menjadi tidak nyaman. Berasa hawa horor, atau mungkin saya saja yang membayangkan ada makhluk-makhluk halus disana. Berasa merinding selama didalam sini. Air terjun ini memiliki ketinggian sekitar 200 meter, berada diantara tebing-tebing yang menjulang tinggi dan seakan-akan membentuk tirai pada seluruh bidang tebingnya.
Setelah cukup puas disini, dengan tidak berlama-lama, akhirnya kami kembali menyusuri jalan semula menuju ke tempat parkir mobil. Akhirnya kesampaian dengan tanpa rencana sebelumnya ke Air Terjun Madakaripura. Ternyata Air Terjun ini sudah pernah masuk diacara traveling beberapa stasiun TV. Wah, saya berarti yang kurang gaul sampai tidak pernah mendengar ada air terjun ini sebelumnya :D.
Kami langsung pulang dengan singgah direstoran di Probolinggo untuk makan siang yang tertunda. Saya lupa nama restorannya apa. Subuh keesokan harinya kami harus berangkat ke Surabaya karena Mas Ewald harus kembali ke Belanda. Ternyata Juanda ditutup dan semua penerbangan dibatalkan. Setelah mengurus jadwal ulang keberangkatan, akhirnya dia menginap 2 malam lagi di Surabaya. Waktu dua hari tersebut kami manfaatkan untuk berkeliling Surabaya.
Sudah dua tahun lalu rupanya awal sebuah cerita, cerita tentang pertemuan pertama kami. Dan dua tahun kemudian kami sudah melalui 1.5 tahun perkawinan. Semoga selalu bahagia langgeng jaya damai sentosa *semacam slogan dibelakang truk.
Selamat berakhir pekan bersama orang terkasih dan teman-teman tersayang. Ada rencana khusus apa nih akhir pekan ini?
-Den Haag, 11 Februari 2016-
Semua foto adalah dokumentasi pribadi.