Semua orang pasti punya yang namanya pengalaman pertama, apapun kisah dan ragamnya. Pengalaman pertama ada yang meninggalkan kesan mendalam dan berkesan, ada yang terasa pahit, maupun ada yang merasa biasa saja dan tidak istimewa. Pada umumnya yang namanya pengalaman pertama itu susah dilupakan ya walaupun juga ada beberapa yang malah tidak sadar kalau yang sudah terjadi adalah hal yang pertama kali ada dalam hidupnya.
Banyak hal dalam hidup saya yang berkaitan dengan pengalaman pertama yang berkesan sehingga susah untuk dilupakan. Kesan yang membekas disini biasanya kalau yang tidak pahit sekali ya bahagia sekali. Yang akan saya ceritakan kali ini adalah pengalaman pertama yang mempunyai kesan mendalam karena perasaan sedih yang menyelimuti.
Sejak awal tahun 2016, suami sudah bertanya kepada saya apakah kami ada rencana pulang ke Indonesia saat lebaran. Saya tegaskan, tidak. Selama ini suami mengatakan berkali-kali kalau dia rindu dengan Indonesia, rindu masakan ibu dan bude, rindu suasana desa di Ambulu. Intinya dia yang paling punya keinginan kuat untuk ke Indonesia dibanding saya. Bahkan pada akhir 2015 lalu dia sudah berencana akan membeli tiket ke Indonesia, sendiri, tanpa saya, saking sudah kangen dengan Indonesia. Namun rencana itu tidak berjalan lancar, ada satu hal yang harus kami lakukan pada akhir tahun di Belanda sehingga keinginannya untuk ke Indonesia harus tertunda.
Ketika mengetahui bahwa saya tidak ingin pulang saat lebaran 2016, dia bertanya apakah saya tidak rindu berlebaran dengan keluarga besar di sana? Tentu saja saya rindu. Tetapi saya pernah berjanji dengan diri sendiri bahwa jika tidak ada sesuatu yang penting sekali, paling tidak setelah dua atau tiga tahun saya baru akan pulang. Saya melakukan itu supaya proses adaptasi saya di Belanda tidak porak poranda ditengah jalan. Jauh dari keluarga di Indonesia itu butuh kekuatan dan keteguhan hati supaya kerasan tinggal di negara yang baru. Saya tidak pernah tinggal terpisah sejauh ini dari keluarga di Indonesia, apalagi untuk waktu yang tidak tahu berapa lama akan menetap di sini. Karenanya, jika hati dan pikiran tidak dibiasakan dengan lingkungan yang baru, takutnya perasaan ingin pulang dan rindu rumah di Indonesia itu akan selalu bergelayut.
Setelah yakin lebaran ini kami tidak akan pulang ke Indonesia, suami mengusulkan untuk pergi liburan sekitar bulan Juli, sekaligus merayakan ulangtahunnya. Karena dia yang berulangtahun, dia juga yang memutuskan kami akan pergi kemana. Italia, pada akhirnya adalah negara yang akan kami tuju (untuk cerita road trip kami di Italia akan saya tulis terpisah). Singkat cerita, saat lebaran, kami sedang berada di Italia.
Jauh sebelum Ramadan, saat saya sedang menyusun rencana perjalanan dan mengotak atik kota-kota di Italia yang akan kami kunjungi, sekiranya ada tempat yang menyelenggarakan sholat Idulfitri bersama. Setelah bertanya kesana kesini, mencari informasi di internet, saya tidak menemukan informasi yang akurat apakah ada yang menyelenggarakan sholat idulfitri di Le Spezia, kota yang akan kami kunjungi bertepatan tanggal 6 Juli 2016, hari dimana dilaksanakan sholat idulfitri berdasarkan dari surat edaran dari KBRI di Den Haag. Karena informasi tentang sholat tidak juga saya temukan, dan dari hasil bertanya, diperbolehkan jika sholat idulfitri tidak berjamaah.
Berdasarkan niat baik untuk tetap melaksanakan sholat idulfitri, meskipun tidak dalam kondisi yang ideal, akhirnya pertama kali dalam hidup, saya merasakan yang namanya sholat idulfitri tidak berjamaah rama-rame di masjid. Rasanya campur aduk, antara sedih, nelongso, dan membesarkan hati mencoba untuk tetap berusaha baik-baik saja. Kalau tahun kemarin lebaran saya rayakan di Belanda, sholat idulfitri di masjid Indonesia, bertemu dengan banyak orang Indonesia, dapat undangan makan di salah satu restoran padang, bahkan kami juga pergi ke acara silaturrahmi yang diadakan oleh KBRI, makan segala macam masakan khas lebaran. Lebaran tahun ini sangatlah berbeda.
Setelah saya selesai menunaikan sholat idulfitri, kami bergegas menuju Cinque Terre. Kalau tahun lalu lebarannya masih terasa, tidak berbeda jauh dengan ketika di Indonesia, kecuali bagian tidak merayakan dengan keluarga besar. Maka tahun 2016 ini lebarannya juga terasa, terasa liburan maksudnya :D. Hari pertama saya masih belum menelepon Ibu. Ketika kami sedang istirahat diantara rute mendaki gunung (atau bukit ya namanya karena tidak setinggi gunung tapi juga tidak sependek bukit) yang melintasi 5 desa, suami bilang kalau saya nampak sedih. Ya saya bilang kalau saya sedih dan kangen Ibu. Tapi rasa sedih itu saya buang jauh-jauh, kami kan sedang lliburan, jadi harus dinikmati secara maksimal. Cinque Terre panasnya maksimal, sampai 39 derajat, mirip lah sama panas di Indonesia (Surabaya maksudnya). Kami sangat menikmati trekking selama 6 jam sampai desa ke 4, cuaca panas tidak terlalu terasa karena keindahan dari atas melihat birunya langit dan laut seperti hampir menyatu (cerita lengkap tentang Cinque Terre akan saya tulis terpisah).
Jika hidangan lebaran pada umumnya adalah segala macam yang bersantan khas masing-masing keluarga, maka hidangan lebaran kami berbeda. Spaghetti, Gelatto dan satu lagi saya lupa namanya seperti lasagna tapi isinya ikan yang tertulis di menu adalah makanan lokal Cinque Terre. Enak semua rasanya.
Sambil menunggu senja, kami naik ke atas bukit dekat kebun anggur. Kami duduk di atas batu besar. Diam dan hening, tidak ada satupun dari kami yang bersuara. Hanya sesekali terdengar suara dari kamera ketika saya mencoba mengabadikan lukisan alam atau suara burung yang sedang melintasi kami. Suami tahu bahwa saya tidak terlalu ingin berbicara banyak. Dia tahu bahwa saya mencoba menyembunyikan kesedihan dengan mencoba ceria seperti tidak terjadi apa-apa. Dia tahu bahwa dalam hati terdalam saya rindu dengan Ibu dan keluarga di Indonesia. Ketika senja datang, air mata saya perlahan tumpah. Saya teringat almarhum Bapak. Sudah empat lebaran saya lalui tanpa Bapak dan kerinduan itu tidak pernah kering sampai sekarang, sampai kapanpun. Rindu yang teramat sangat tetapi saya tidak bisa lagi berbicara langsung. Hanya lewat doa saya bisa menuntaskan rindu kepada Bapak. Saya memandang senja dalam dekapan Mas Ewald, mencoba menyapu buliran air mata yang tetap menetes.
Belajar dari pengalaman tahun lalu, karena perbedaan waktu dan ketika hari pertama lebaran Ibu sibuk silaturahmi dengan seluruh keluarga di Ambulu dan setelahnya kecapaian, maka saya memutuskan tahun ini menelepon ibu saat lebaran hari kedua. Sebelum berangkat ke Pisa, kami menelepon Ibu, Adik, dan Bude. Pagi itu, acara menelepon menjadi terasa lebih emosional. Ibu mengatakan kalau beliau sangat kangen pada saya dan Mas Ewald. Bude mengatakan kalau beliau selalu teringat saya menjelang lebaran disaat acara masak besar karena saya selalu semangat membantu beliau untuk menyiapkan hidangan lebaran. Adik saya juga mengatakan kalau dia kangen. Saya mencoba menyembunyikan rasa sedih dengan tidak menangis di telepon. Setelah telepon ditutup, ada perasaan kosong dalam hati. Entah, waktu itu saya tidak bisa menjelaskan rasanya seperti apa. Hanya kosong.
Setelah dari Pisa, kami menuju ke kota selanjutnya yaitu San Gimignano. Kami menginap di rumah yang letaknya di tengah perkebunan anggur dan pohon zaitun. Suasananya sunyi, terdengar banyak sekali burung berkicau. Lebaran hari kedua masih terasa muram untuk saya. Tetapi sekali lagi saya ingat bahwa kami sedang liburan. Saya mencoba mengalihkan kesedihan dengan menikmati suasana kota kecil ini. Setelah makan malam, kami kembali ke penginapan. Selesai sholat, tiba-tiba saya menangis lagi. Kali ini bukan tangis kesedihan. Entah kenapa saya seperti diingatkan akan sesuatu. Harusnya saya bersyukur di hari yang fitri ini saya masih mempunyai keluarga yang menyayangi, masih ada orang-orang terkasih yang selalu merindukan dan saya rindukan. Bersyukur meskipun jauh di tanah rantau tapi saya masih bisa mendengarkan suara Ibu, Adik dan Bude. Bersyukur bahwa saya mempunyai alasan menabung rindu agar bisa segera bertemu Ibu. Bersyukur bahwa ada banyak hal yang saya rindukan dari keluarga di Indonesia. Baik dan buruknya mereka, tidak ada satupun yang bisa menggantikan kasih sayang mereka pada saya begitu juga sebaliknya. Bersyukur bahwa apapun yang telah terjadi, terjadi dan akan terjadi, mereka adalah alasan terbesar saya untuk selalu merindukan Indonesia sebagai rumah saya. Keluarga tidak akan pernah tergantikan. Maka bersyukurlah bagi mereka yang masih bisa merasakan dan selalu mengusahakan untuk merayakan lebaran ditengah kebersamaan bersama keluarga besar.
Dan satu hal, bersyukur meskipun jauh dari keluarga, ada satu orang yang selalu ada di samping saya, seorang suami yang mencintai saya sepenuh hati dalam keadaan terbaik maupun terburuk. Bersyukur bahwa dia tidak pernah bosan mendengarkan segala celoteh, tangisan, bercanda tidak mutu maupun segala cerita setiap waktu. Bersyukur bahwa dia selalu ada untuk saya, mendukung setiap langkah yang saya ambil untuk kebaikan. Apa yang saya putuskan untuk merantau jauh dari keluarga adalah keputusan saya sendiri. Jadi meskipun kesedihan terkadang datang menghampiri seharusnya saya tidak perlu terlalu larut didalamnya karena ada berjuta rasa syukur yang bisa saya ucapkan. Bersyukur saya bisa tersenyum dan tidak perlu banyak alasan untuk bahagia, karena dengan berucap syukur akan selalu mendatangkan kebahagiaan. Bersyukur bahwa saya bersama orang yang saya sayangi.
Dan malam itu, pada lebaran kedua, setelah saya puas menumpahkan segala tangisan syukur diatas sajadah, dia menghampiri saya dan berkata “pulanglah, temui keluargamu, kalau itu bisa membuat hatimu lebih tenang.”
-21 Juli 2016-