Duh kok agak horor ya malam Jumat begini nulis tentang kematian. Tenang, ini bukan tulisan tentang setan dan kaumnya. Saya ingin bercerita tentang perbincangan beberapa hari lalu dengan suami.
Dua tahun lalu, saya pernah menuliskan topik tentang kematian di blog ini. Lebih lengkapnya, bisa dibaca di sini. Dulu, saat belum menikah, membicarakan kematian adalah hal yang saya hindari. Kayak ga ada topik pembicaraan yang lebih menarik lainnya kan. Ngeri takut kejadian kalau ngobrol tentang kematian. Setelah menikah, budaya di Belanda ternyata berbeda. Membicarakan kematian jadi hal yang biasa, setidaknya di lingkungan keluarga kami dan beberapa rekan yang kami kenal.
Pada akhirnya, saya jadi biasa membicarakan tentang kematian. Jadi semacam, ya biasa saja. Jadi lebih realistis, ya memang meninggal itu butuh dipersiapkan. Lebih realistis ya semua orang memang ujung-ujungnya akan meninggal. Dulu, saya sudah wanti-wanti suami kalau saya meninggal terlebih dahulu, ingin dikuburkan dekat Bapak. Jadi jenazah saya, minta dipulangkan ke Indonesia. Karena keinginan yang seperti itu, kami lalu mencari informsi tentang asuransi, supaya nanti tidak kelabakan. Asuransi pemakanan, super mahal.
Lalu beberapa hari lalu, saat saya sedang mencuci peralatan masak, tiba-tiba terlintas : kenapa harus dikuburkan di Indonesia ya kalau saya meninggal. Dulu ingin dimakamkan dekat Bapak dengan alasan supaya keluarga di sini tetap bisa untuk sesekali ke Indonesia menengok kuburan saya dan Bapak juga bisa bertemu dengan keluarga di sana. Jadi tidak putus hubungan dengan keluarga di Indonesia.
Lalu saya pikir-pikir lagi, kok ya repot sangat. Sudah jadi jenazah, kok ya jadi merepotkan yang masih hidup dengan harus mengirim ke Indonesia, mendampingi dan harus menempuh perjalanan sebegitu panjangnya. Padahal keinginan saya (dan suami), kalau kami meninggal tidak mau terlalu merepotkan yang sudah hidup.
Atas dasar pikiran yang tiba-tiba terlintas tersebut, saya utarakan ke suami kalau saya membatalkan rencana untuk dikuburkan di Indonesia. Saya ingin dikuburkan di Belanda saja. Saya tidak mau merepotkan yang masih hidup. Saya ingin yang simpel dan gampang saja, yang penting khidmat dan dikenang baik oleh keluarga. Yang datang di acara pemakaman juga hanya keluarga inti dan teman sangat dekat. Keluarga di Indonesia tidak perlu datang supaya tidak repot. Bahkan saya juga bilang, kalau misalkan tidak ada lahan untuk mengubur, dikremasi pun tidak masalah. Intinya, jangan dibuat susah dan tidak merepotkan. Sudah seikhlas itu.
Tanggapan suami : Ok, nanti mau diputarkan lagu apa waktu jenazah kamu disemayamkan. Bonjovi atau Coldplay?
Hahaha sungguh saya langsung tergelak. Belum terpikirkan tentang hal itu. Tapi saya sudah lega menyampaikan keinginan tersebut. Meninggal tanpa merepotkan yang masih hidup. Sederhana tapi manis dikenang. Obrolan macam ini memang sering kami lakukan.
Saya menulis begini jangan langsung dijadikan sebuah pertanda atau firasat atau apapun ya. Yang namanya umur tidak ada yang tahu. Inginnya diberikan kesehatan yang baik dan umur yang berkah. Ingin hidup yang lebih lama, berjodoh lama dengan suami, dan bersama dengan keluarga lebih lama. Utang puasa masih banyak dan belum lunas nih, jadi berdoa usia dipanjangkan.
Kalian pernah memikirkan tentang hal ini, atau sering ngobrol dengan pasangan tentang kematian?
-23 Juli 2020-