Horst adalah sebuah desa yang terletak di dekat lembah Groote Molenbeek, merupakan bagian dari pemerintahan Horst aan de Maas, Provinsi Limburg, Belanda. Populasi Horst aan de Maas sebanyak 41.700 orang (2015), 0.246% dari total populasi di Belanda. Horst terkenal dengan budidaya jamur skala besar dan holtikultura. Penduduk Horst mempunyai beberapa dialek saat berbicara. Ada beberapa tempat menarik yang bisa dikunjungi di Horst seperti Het Aarbeinland, Museum de Kantfabriek, Kasteelse Bossen, dan beberapa tempat lainnya. Sayangnya kunjungan saya ke Horst minggu lalu bukan untuk mengunjungi tempat-tempat tersebut, melainkan untuk memeriahkan Van Horster Land dan berkunjung ke rumah seorang teman.
Van Horster Land adalah festival kuliner dan kebudayaan Horst yang diadakan di pusat kota (centrum) Horst. Acara ini baru diadakan selama dua tahun berturut. Tahun ini Van Horster Land diadakan pada tanggal 24 dan 25 September 2016. Untuk ukuran kota kecil, festival ini tergolong cukup besar karena banyak sekali stan yang ada di sana. Tidak hanya stan, panggungnya pun ada 3 yang terletak di 3 tempat berbeda. Teman saya yang tinggal di Horst ini adalah salah satu yang ikut memeriahkan acara ini, dimana dikemudian hari dia mengajak saya dan seorang teman yang tinggal di Amsterdam untuk mengisi stan yang disediakan untuk dia. Stan yang disediakan untuk dia merupakan bagian stan dari tempat kursus integrasi yang dia ikuti, namanya Siham. Jadi stan yang kami gunakan adalah stan Indonesia.
Sebulan lalu saat saya dan teman dari Horst sedang jalan-jalan sehari ke Volendam, Edam, dan Marken (ceritanya menyusul), dia mengatakan tentang acara ini pada saya. Sebenarnya saya ingin datang karena saya memang suka sekali dengan acara-acara lokal semacam ini. Tapi tergantung tiket kereta juga, apakah ada tiket kereta murah yang dijual (dagkaart), karena kalau memakai tiket kereta biasa ke Horst mahal juga mengingat jarak tempuh dari Den Haag ke Horst 2.5 jam berkereta. Bersyukurnya akhir Agustus ada dagkaart yang dijual di salah satu supermarket di Belanda. Kesampaian juga akhirnya mengunjungi Horst.
Beberapa minggu lalu, saya pernah memamerkan foto ke dia saat saya berhasil untuk pertama kalinya membuat sate lilit Bali dan sate ayam. Saat itu saya bilang kalau nanti ke Horst, saya akan membawa sate lilit untuk dimakan bersama di rumahnya bersama 3 teman lainnya. Saya tidak menyangka kalau membuat sate lilit begitu mudah. Saya pikir selama ini agak ruwet, ternyata gampang sekali dan prosesnya cepat. Hari jumat sepulang kerja, saya bilang ke dia kalau sate lilit siap diproses dan meminta dia untuk mempersiapkan sambel matah sebagai teman makan sate lilit. Ternyata dia memberikan ide, bagaimana kalau saya membuat sate lilit dengan porsi yang lebih banyak supaya bisa dijual di stan dia. Wah, dadakan sekali karena saya tidak terlalu cukup bahan juga. Tetapi sayang juga ya kalau dilewatkan. Kesempatan emas untuk memperkenalkan sate lilit kepada orang Belanda karena di Belanda yang terkenal adalah sate ayam. Akhirnya saya membuat sate lilit dengan bahan yang ada saat itu. Saat saya memberitahu suami, dia ikut antusias juga sampai membuatkan deskripsi sate lilit itu apa. Dia sampai menawarakan untuk membuatkan saya kartu nama, siapa tahu ada yang mau pesan katanya. Walah, saya sampai tidak berpikir sepanjang itu karena untuk saat ini memasak itu bagian dari hobi meskipun beberapa kali juga saya memasak pesanan dari teman-teman dekat suami dan saya.
Setelah 2.5 jam perjalanan, sampai juga saya di Stasiun Horst-Sevenum (Suami tinggal di rumah. Setiap bulan kami memang selalu ada me time sehari melakukan kegiatan sendiri-sendiri). Saya dan seorang teman dijemput lalu kami langsung menuju ke tempat acara. Teman saya bersama teman lainnya sudah ada di stan. Teman yang tinggal di Amsterdam membawa barang jualannya yaitu batik-batik. Sedangkan teman saya yang di Horst menjual lumpia lalu saya menjual sate lilit. Saya antusias sekali selain karena bertemu dengan mereka, juga pertama kali ikut dalam acara lokal seperti ini. Sebenarnya suami sudah menawarkan beberapa kali untuk ikut serta di festival kuliner yanga ada di Den Haag, tapi saya masih males-malesan menyanggupi. Suami saya ini memang selalu berapi-api kalau mendukung saya untuk usaha makanan. Tapi saya masih belum sepenuh hati, meskipun cita-cita besar saya di masa depan ingin punya restoran yang dipadukan dengan toko buku atau perpustakaan. Mudah-mudahan terwujud. Saya dan teman-teman menggunakan batik, nyambung dengan apa yang dijual di stan tersebut.
Resep sate lilit ikan ini saya menyontek dari blog Melly. Dari beberapa yang mengunjungi stan kami dan membeli makanan dan barang-barang yang kami jual, mereka belum pernah mendengar yang namanya sate lilit. Akhirnya mereka membeli dan mencoba. Menurut mereka rasanya enak sekali (dengan mengatakan “heerlijk” yang artinya lezat). Lalu mereka bertanya bagaimana cara membuatnya dan bahan-bahan yang digunakan apa. Untung saja ada deskripsi yang dibuatkan oleh suami sehingga saya tidak terlalu banyak menjelaskan. Ada yang suka rasanya, ada yang tidak suka rasa kelapanya, ada yang merasa terlalu pedas, dan ada yang bilang rasanya tidak pedas sama sekali. Yang mengejutkan, ada yang ingin pesan lumpia dan sate lilit. Mereka minta kartu nama kami untuk pemesanan. Kami lalu bilang kalau kami tidak buka katering. Saya bilang bisa saja saya membuat sate lilit lalu dikirim ke Horst dari Den Haag, kalau mereka mau. Tapi mereka bilang terlalu jauh. Lalu teman saya ditodong untuk membuat lumpia. Teman saya tidak menyanggupi karena dia bekerja penuh waktu, jadi tidak ada waktu untuk menerima pesanan. Ketika saya cerita ke suami, dia bilang “wat jammer!” (=sayang sekali!).
Beberapa saat kemudian, saya mulai berkeliling melihat stan-stan lainnya. Meskipun tidak semua stan saya kunjungi, tapi senang sekali dengan kemeriahan acara ini. Beberapa kebudayaan dari negara-negara lain seperti Afrika, Irlandia, Indonesia, Ukraina, Maroko, dan masih banyak lainnya ikut memeriahkan festival ini. Dan yang pasti, banyak sekali stan yang menawarkan makanan untuk dicicipi. Nah bagian ini yang saya suka, incip makanan gratis 😀
Selain stan di luar ruangan, ada juga produk pertanian yang dijual di dalam gereja.
Saya dan teman-teman juga berkesempatan membuat Henna. Awalnya melihat ada seorang perempuan membuat Henna untuk anak kecil. Lalu saya bertanya harus bayar berapa dan tahan berapa lama Henna tersebut. Ternyata gratis dan cuma tahan kurang lebih satu minggu. Saya lalu tertarik lalu minta dibuatkan salah satu model yang tertera di salah satu bukunya. Sambil menunggu dilukis, saya bisa mendengarkan alunan gendang (entah apa nama alat semacam gendang) yang dimainkan dari stan Afrika dan beberapa orang ikut belajar memukul gendang tersebut. Begitu sampai rumah, suami kaget ada Henna di tangan saya. Saya suka karena gambarnya tidak ramai. Sampai hari ini, Henna yang ada di tangan sudah agak memudar.
Selain stan-stan yang memang berjualan untuk mendapatkan uang pribadi, ada juga stan-stan yang berjualan untuk mendapatkan uang yang nantinya akan disumbangkan pada yayasan dimana mereka berada. Salah satu stan yayasan tersebut ada di depan stan kami. Yayasan ini namanya Wahyu, didirikan untuk membantu anak-anak di Bali utara. Yayasan Wahyu ini didirikan pada tahun 2008 atas prakarsa Perancis Gardingen dan Willemien van Gardingen- van den Elzen. Keduanya adalah pengusaha yang sudah pensiun. Sejak tahun 2003, mereka aktif bersama-sama dengan pemberian bantuan kepada anak-anak di wilayah Bali Utara, Indonesia. Yayasan Wahyu ingin memberikan bantuan untuk pelatihan pemuda di Bali Utara. Anak-anak ini layak mempunyai masa depan yang lebih baik dengan kesempatan untuk bersekolah di tempat yang baik, dengan atap yang tidak bocor dan fasilitas sanitasi yang memadai dan higienis karena banyak sekolah tidak memiliki irigasi dan air minum (dari website Yayasan Wahyu). Rasanya saya malu hati melihat bangsa lain mengumpulkan dana untuk membantu bangsa Indonesia. Jadi bertanya pada diri sendiri, apa yang sudah saya lakukan untuk Indonesia. Ada kejadian yang menggelitik, stan-stan disekitar yayasan Wahyu ini kalau memanggil Meneer yang menjaga stan dengan panggilan Wahyu, padahal nama Beliau bukan Wahyu.
Van Horster Land berlangsung dari jam 12 sampai jam 5 sore. Sekitar jam setengah lima kami mulai beres-beres. Kami sudah lapar dan ingin segera makan di rumah temen. Senang sekali bisa ikut berpartisipasi di acara ini. Selain saya dan teman-teman yang tinggal di Belanda baru 1.5 tahun bisa langsung praktek menggunakan bahasa Belanda, bisa berinteraksi dengan masyarakat lokal dan orang dari beberapa negara, bisa mengetahui kebudayaan bangsa lain, bisa memperkenalkan Indonesia lewat makanan dan barang-barang khas Indonesia serta bisa menjelaskan jika ada yang bertanya tentang Indonesia. Pengalaman sangat berharga.
Setelah acara selesai, kami langsung menuju rumah teman untuk makan, berbincang dan tertawa saling bertukar cerita tentang pengalaman kami saat awal-awal tinggal di Belanda. Ternyata banyak sekali kejadian lucu yang kami alami karena saat itu kami belum bisa bahasa Belanda sama sekali, jadi banyak sekali salah paham kalau sedang berbicara dengan orang Belanda. Kami tertawa tiada henti mengenang masa-masa itu. Bersyukurnya saat ini kami sudah bisa berbicara menggunakan bahasa Belanda, meskipun tetap masih harus belajar lebih giat lagi untuk meningkatkan kemampuan bahasa Belanda kami. Terima kasih untuk teman saya yang sudah memasak dengan sangat enak dan untuk teman-teman lainnya atas segala cerita serta kebersamaan hari itu. Tot volgende keer!
-Den Haag, 28 September 2016-