Pagi ini sebelum keluar rumah, seperti biasa sembari menunggu jamnya tiba, saya membuka twitter sekedar membaca berita terbaru atau gosip atau mencari kesenangan dengan menjadi pengamat twitwar. Iya, saya memang menikmati sekali segala hal yang disuguhkan twitter. Kemudian tanpa sengaja saya menemukan foto berisi tulisan :
Mengapa Istri harus bisa masak?
Padahal itu rumah tangga bukan rumah makan?
-Pidi Baiq-
Saya otomatis tergelak. Tulisan tersebut melemparkan ingatan akan cerita kedua orang tua saya (yang diceritakan berulang sampai saya dan adik-adik hafal luar kepala), Ibu dan almarhum Bapak. Siapa sangka Ibu yang mempunyai pekerjaan sampingan usaha katering, sebelum menikah adalah wanita yang sama sekali tidak bisa memasak. Wajar saja, kalau merunut dari cerita Mbah Putri, sewaktu kecil tugas ibu adalah bekerja mencari tambahan uang setelah pulang sekolah. Memasak menjadi tugas Pak Lek (adik Ibu) dan Mbah Putri. Ibu adalah anak kedua dari sembilan bersaudara. Meskipun Ibu datang dari keluarga yang cukup (tidak berlebihan maupun tidak kekurangan), tetapi untuk menambah dan membantu perekonomian keluarga, Ibu bekerja serabutan sepulang sekolah. Walhasil yang namanya memasak ataupun mengenal bumbu dapur sama sekali tidak ada dikamus Ibu sebelum menikah. Ditambah lagi setelah merantau ke Situbondo untuk bekerja, Ibu ngekos yang fasilitasnya sudah termasuk makan.
Bapak dan Ibu sejak pertama kenalan sampai menikah membutuhkan waktu yang tidak lama, hanya 6 bulan saja. Mereka bukan hasil perjodohan ataupun kenalan di online dating (ya kali tahun ’80 sudah ada online dating), melainkan murni dari kenalan biasa. Kapan-kapan saya akan ceritakan bagaimana kisah mereka bertemu, yang mengikuti aliran kalau memang jodoh tidak akan kemana. Entah mengikuti jejak orangtua atau memang sudah jalannya, Adik saya menikah dalam waktu 6 bulan sejak kenalan, saya 8 bulan. Oke, kembali lagi ke cerita Ibu dan Bapak. Dalam masa 6 bulan pengenalan tersebut, Bapak sudah tahu kalau Ibu tidak bisa memasak. Tetapi Bapak tidak pernah mempermasalahkannya. Pada saat Ibu diajak untuk berkenalan dengan keluarga Bapak dan oleh Mbah (ibu dari Bapak) diajak ke dapur untuk membantu masak, Ibu sama sekali tidak tahu segala jenis bumbu-bumbu disana. Apakah kemudian Mbah tidak menyetujui Ibu dan Bapak untuk menikah karena Ibu tidak bisa memasak?
Terlahir sebagai bungsu dari 4 bersaudara, Bapak adalah satu-satunya anak lelaki dikeluarga. Semua kakak Bapak (saya memanggil bude) sangat jago memasak. Legendaris sekali masakan mereka dikeluarga besar kami, TOP enaknya. Hal itu disebabkan karena Mbah memang jago masak juga, dan Mbah tidak pernah menyuruh anak-anak perempuannya untuk belajar memasak. Semua datang dari kesadaran sendiri. Bude-bude masuk ke dapur karena mereka ingin belajar memasak, bukan karena memasak adalah sebuah keharusan. Kembali ke pertanyaan sebelumnya : Apakah kemudian Mbah tidak menyetujui Ibu dan Bapak untuk menikah karena Ibu tidak bisa memasak? jawaban Mbah (aslinya dalam bahasa jawa, saya sudah terjemahkan) :
Perempuan itu tidak harus bisa memasak. Namanya Rumah Tangga, semuanya ya dikerjakan bersama. Kalau istri tidak bisa memasak, ya berarti suaminya yang belajar masak, atau keduanya sama-sama belajar masak. Kalau malas dan punya uang, ya beli saja diwarung, kan gampang. Urusan yang simpel jangan dibuat susah.
Ya, kepandaian memasak ternyata bukan kriteria utama Ibu diterima sebagai menantu. Bapak yang sejak SMA sudah hidup ngekos dan memang sudah biasa ikut membantu memasak Mbah, tumbuh sebagai lelaki yang terbiasa didapur. Jadi, yang mengajari Ibu memasak sejak kawin adalah Bapak dan Bude-bude. Memperkenalkan satu persatu segala bumbu dapur dan resep masakan. Saya selalu ingat cerita ini : suatu hari, Ibu ceritanya ingin sekali membuat soto ayam untuk Bapak. Berbekal dari catatan resep yang diberitahu bude, mulailah Ibu mengolah soto ayam sepulang mengajar. Ketika Bapak pulang kerja, dengan bangganya Ibu berujar kalau nanti malam menunya spesial, yaitu soto ayam. Bapak tentu girang bukan kepalang. Saat yang dinanti tiba. Ketika soto ayam dihidangkan, kening Bapak sempat berkerut melihat soto ayam yang tersaji di mangkok. Tapi itu tidak berlangsung lama karena setelahnya Bapak berujar, “wah, terima kasih ya, kamu sudah memasak soto ayam buat saya. Saya senang sekali soto ayam kali ini sangat spesial karena warnanya berbeda dari biasanya. Tapi tidak masalah, yang penting namanya soto ayam.” Saya bertanya kepada Bapak memang sotonya berwarna apa. Soto ayamnya ternyata berwarna hijau karena Ibu mengulek seledrinya berbarengan dengan bumbu halus lainnya. Saya kalau teringat cerita itu selalu tertawa. Karena Ibu sendiri selalu menceritakan dengan ditambahi guyon-guyon lainnya. Bapak tetap menyantap soto ayam tersebut sampai tandas, yang dikemudian hari Bapak menyebutnya soto ayam rasa seledri.
Tetapi sejak saat itu Ibu semakin tertantang untuk belajar memasak. Bukan karena Bapak yang menuntut, tetapi karena Ibu memang ingin belajar memasak. Keinginan yang datang dari dalam hati, bukan karena tuntutan. Secara perlahan tapi pasti, akhirnya Ibu semakin mahir memasak. Tetapi kalau Ibu sedang capek atau malas, giliran Bapak yang memasak. Saat Ibu sering sakit, Bapak yang memasak untuk seluruh anggota keluarga, setiap hari sampai Ibu sembuh. Sampai sebelum Bapak meninggal, beliau tetap rajin memasak. Ada satu masakan Bapak yang membuat kami anak-anaknya selalu kangen. Kami menyebutnya nasi goreng super pedes Bapak. Bumbunya sangat sederhana : bawang putih, cabe rawit hijau dengan jumlah yang sangat banyak, garam diulek ditambah dengan daun jeruk. Juara sekali sekali rasa pedasnya, sampai telinga kami berdengung kalau makan nasi goreng Bapak, tapi rasanya joss gandoss enak. Walaupun saya mencoba membuat sendiri, tetapi selalu beda rasanya dengan buatan Bapak. Nasi goreng inilah salah satu hal yang membuat kami selalu merindukan Bapak.
Sering saya bertanya kepada Bapak, kenapa sebelum menikah dan tahu kalau Ibu tidak bisa memasak tidak membuat Bapak menyurutkan langkah?
Saya mencari wanita untuk dijadikan Istri, bukan Koki
Itu jawaban Bapak. Pertanyaan yang sama pernah saya lontarkan ke suami sebelum kawin “kalau saya tidak bisa memasak, apa kamu masih mau meneruskan rencana perkawinan kita?” suami tergelak kemudian menjawab, “pertanyaanmu aneh, kita kan akan kawin, bukan interview jadi tukang masak di restoran. Lagian kan saya bisa memasak. Kalau kamu tidak bisa dan tidak mau masak, saya tidak masalah memasak untuk kita.” Tetapi karena saya selalu kangen makanan Indonesia (dan kalau beli terus mahal), jadinya ya saya dengan senang hati masak makanan Indonesia. Giliran dia masak yang sesuai keahliannya, makanan Belanda dan Eropa (cerita tentang pembagian memasak dengan suami sudah pernah saya tulis disini). Bukan tanpa sebab saya mempertanyakan hal tersebut, karena ketika punya hubungan dengan lelaki-lelaki sebelum suami, pasti ada pertanyaan, “kamu bisa masak ga?” Kan njeketek kalau setiap pacaran ditanya seperti itu. Atau selalu ada celutukan, “Ibuku masakannya uenaakk lho, mudah-mudahan kamu bisa masak seenak Ibuku ya.”
Entah kalimat dalam foto tersebut sarkastis ataupun kalimat sesungguhnya, tetapi saya melihat dari sisi kehidupan saya dan lingkungan terdekat. Menurut pendapat saya, Istri memang tidak wajib untuk bisa memasak. Kalau bisanya hanya memasak mie instant, ya terimalah sesuai keadaan yang ada. Memasak mie instant juga butuh keahlian lho, tetap saja namanya memasak. Kalaupun suatu hari istri ternyata ingin belajar memasak, berarti memang dia ingin, bukan dituntut. Memasak untuk keluarga itu paling enak dengan penuh rasa cinta karena sampainya juga penuh cinta, tidak menyoal rasanya seperti apa. Tetapi jika istri tidak bisa memasak bukan berarti dia tidak punya rasa cinta ataupun tidak perduli kepada keluarga. Meskipun memang menyenangkan kalau bisa menyajikan makanan hasil olahan sendiri ke keluarga, selain lebih hemat juga (mudah-mudahan) lebih sehat. Tetapi kembali lagi, menurut saya itu tidak mutlak, apalagi di Indonesia disetiap pengkolan pasti ada warung, restoran atau tukang jual makanan yang aduhai enak rasanya. Kalau istri tidak bisa atau tidak mau memasak, tidak ada salahnya juga lho para suami turun ke dapur untuk belajar masak atau bergantian masak untuk keluarga. Memasak itu bukan hanya tugas istri. Rumah tangga itu tidak sama algoritmanya antara satu dengan lainnya seperti yang pernah saya tulis disini (terima kasih untuk komentar-komentar yang mencerahkan). Karena tidak sama tersebut, maka tidak elok juga rasanya menyerang istri-istri yang tidak bisa memasak, atau para suami yang membandingkan istri-istri yang jago memasak. Semua istri itu hebat dengan segala kekurangan dan kelebihan masing-masing, jago atau tidaknya dia memasak bukan menjadi persoalan utama.
Bagi lelaki yang sedang mencari istri dengan kriteria harus bisa memasak, semoga kembali berpikir ulang dan bijak terhadap kriteria yang ditetapkan. Memang tidak salah mempunyai keinginan seperti itu, wong masing-masing orang pasti punya kriteria idaman. Saya hanya teringat ucapan Bapak saja, “mau cari istri atau cari koki.”
–Den Haag, 25 Februari 2016-
catatan seorang istri yang sudah sebulan lebih sedang muaaales masak, males semales malesnya, berharap tukang nasi goreng atau tahu tek-tek atau tahu campur lewat depan rumah, atau ada warung kepiting saos padang disebelah rumah.