Tadi pagi, saya mengirim pesan kepada Ibu, Pak. Pesan yang saya kirim tidak terlalu panjang, “Hari ini, 9 Tahun Bapak meninggal. Saya merasa seperti baru tahun lalu. Saya merasa Bapak belum lama meninggalkan kita. Saya masih merasa Bapak ada di sekitar. Hati saya masih merasa belum lapang untuk melepaskan. Saya masih belajar untuk mengikhlaskan, Bu. Saya hanya butuh waktu.”
Ibu menjawab pesan saya juga tidak kalah singkat, “Ibu juga merasa Bapak belum lama sudah tidak ada lagi diantara kita. Ternyata sudah 9 tahun ya. Ikhlas memang butuh waktu, Nak. Semoga kenangan baik tentang Bapak bisa mempermudah langkah dan hati kita untuk lebih Ikhlas.
Pagi ini saya bangun dengan perasaan tidak seberat tahun lalu. Sedih Pak, masih sama rasanya. Tapi saya merasa lebih ringan dibandingkan tahun lalu. Tadi pagi mungkin sedikit teralihkan karena saya mengajak cucu – cucu Bapak jalan pagi membeli ikan goreng kesukaan mereka. Sama seperti Bapak yang sangat suka dengan ikan goreng, mereka juga suka dengan segala produk laut. Salah satu dari mereka bahkan punya sifat dan hati mirip Bapak. Penyayang. Saya selalu bercerita pada mereka sambil memperlihatkan foto Ibunya dipangku oleh Mbah Kakung. Mereka paham, kalau Mbah Kakung sudah berbeda alam. Mereka paham kalau Mbah Kakung tidak mungkin bisa mengajak jalan – jalan seperti anak – anak lain yang masih memiliki Opa. Mereka paham Pak, dengan pemahaman sederhana anak – anak.
Tahun Lalu, kami tidak jadi pulang, Pak. Tiket pesawat sudah kami beli, segala rencana sudah kami susun dengan matang, namun apadaya Tuhan berkehendak lain. Pandemi datang, kami memundurkan liburan ke Indonesia entah sampai kapan. Bahkan sampai saat ini, meskipun vaksin sudah ditemukan dan banyak orang sudah divaksin, dunia masih berjuang keras melawan pandemi. Belanda juga sedang Lockdown, Pak. Konon akan diperpanjang lagi entah sampai kapan. Semuanya sekarang serba entah, Pak. Serba tak pasti. Hanya virusnya saja yang pasti, membuat sakit parah bahkan sampai menyebabkan kematian. Kalau keadaan sudah aman, situasi sudah memungkinkan, kami akan datang ke Indonesia, melakukan ziarah yang sempat tertunda.
Tahun lalu, sangat sulit secara mental buat saya. Menantu Bapak punya stok sabar berlebih untuk mendampingi saya melalui masa – masa sulit. Tidak pernah lelah untuk menguatkan. Tidak pernah bosan melihat saya selalu berurai air mata dan sudah seperti orang linglung. Beruntung sekali saya berjodoh dengan dia. Saya yakin, dia adalah jawaban doa – doa yang Bapak panjatkan selama naik haji. Sayang Bapak pergi terlalu cepat sebelum bertemu dengan dia. Saya yakin, Bapak akan bangga punya menantu seperti dia.
Saya sangat rindu bercerita banyak hal, apapun, dengan Bapak, seperti yang selalu kita lakukan. Saya terkadang lupa kalau Bapak sudah tidak bisa menelepon saya lagi seperti biasanya. Saya terkadang masih sering mbatin kok Bapak sudah lama ya tidak menelepon saya. Lalu saya tersadar, sudah 9 tahun tidak bisa mendengar suara Bapak. Setelahnya saya hanya menangis, memendam kembali rindu ingin berbicara dengan Bapak. Setiap bercerita tentang Bapak, airmata tetap mengalir. Padahal yang saya ceritakan adalah hal – hal yang lucu. Rindu dan tidak bisa bertemu adalah perpaduan yang menyakitkan.
Jika saya sedang rindu, seperti siang tadi, saya makan nasi goreng hijau yang biasa Bapak buat untuk saya dan adik – adik. Setiap tanggal Bapak pergi, saya selalu makan nasi goreng ini, Pak. Semuanya masih sama saya ikuti persis seperti yang Bapak lakukan. Bumbu sama persis meskipun cabe rawit hijau di sini tidak sepedas di Indoensia, masih menggunakan daun jeruk, semua diuleg kasar bukan diblender, bumbu dioseng agak kering sebelum nasi dimasukkan. Hanya satu yang susah saya ikuti yaitu menggunakan nasi sisa. Bagaimana nasi di rumah bisa bersisa kalau saya masih suka makan nasi dalam jumlah banyak, tidak berubah sejak dulu. Hanya badan yang berubah Pak, tidak semungil saat Bapak masih ada.
Kami sehat Pak, sekeluarga. Ibu sehat meskipun selalu di rumah saja karena kondisi belum memungkinkan untuk ke mana-mana. Adik juga sehat. Adik yang satu lagi, entah saya tidak tahu, tidak mencoba mencari tahu, dan tidak mau tahu. Dia sudah memilih jalannya sendiri. Saya sudah mengikhlaskan kalau kami tidak bisa seperti dulu lagi. Sudah tidak ada yang perlu dipertahankan. Saya sudah berusaha keras waktu itu, tapi semua saya kembalikan pada dia. Saya lebih baik mundur. Manusia bisa berubah, bahkan yang mempunyai hubungan darah. Bapak tidak usah sedih melihat kami seperti ini. Kami baik – baik saja dengan jalan kami masing – masing.
Keyakinan saya tetap sama, bahwa Bapak masih ada di sekitar sini. Kita memang sudah berbeda alam, tapi saya selalu merasa bahwa Bapak tidak pernah jauh pergi. Setiap hari, setiap langkah, dan setiap cerita, saya hidup bersama kenangan Bapak yang tidak ada cela buat Saya, Ibu, dan adik – adik. Pun dari kesaksian banyak orang yang selalu bercerita bahwa Bapak selama hidup melakukan banyak kebaikan. Tak heran saat Bapak pergi, yang menghantarkan ke kuburan, iringan orang sampai membludak. Meskipun tidak ada di sana saat itu, tapi saya bahagia bahwa banyak orang mengenang Bapak sebagai sosok yang baik. Setiap orang memang tidak ada yang sempurna, namun Bapak buat kami lebih dari sekedar teladan. Bapak menjadi panutan dengan memberi contoh, bukan menyuruh. Kami menghormati Bapak bukan karena takut, tapi karena Bapak sangat penyayang.
Saya rindu, Pak. Sangat. Saya masih mencoba belajar perlahan mengikhlaskan. Saya mencoba mencerna dan memahami selama sembilan tahun ini. Bukan saya tidak bisa menerima yang sudah ditakdirkan. Bukan, Pak. Saya hanya butuh waktu yang entah sampai kapan bisa lebih ikhlas, lebih lepas.
Sudah sembilan tahun Pak, rasanya masih baru saja. Insya Allah nanti pada saatnya kita akan dipertemukan kembali dan saya akan bercerita langsung, hal yang tidak bisa saya lakukan sejak Bapak pergi. Sekarang, saya akan selalu ceritakan semua kebaikan Bapak pada siapapun, juga pada cucu – cucu Bapak.
Bapak akan selalu hidup dalam kenangan baik disetiap langkah kami.
-6 Januari 2021-